Anda di halaman 1dari 9

ANALISIS PUTUSAN

PENOLOGI

Penyusun :

Gita Millenia Prameswari

180111100260

UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

2020
BAB 1

POSISI KASUS

KARMAN Alias KARBON Bin ABDUL AZIS Pada hari Sabtu tanggal 21 Pebruari 2015
sekitar pukul . 06.00 wita atau setidak-tidaknya pada suatu waktu dalam tahun 2015 atau sekitar
waktu itu, di dalam rumah saksi korban di Desa Banua Hanyar Rt. 8 Kec. Daha Selatan Kab.
HSS, atau setidak-tidaknya di suatu tempat yang masih termasuk dalam daerah hukum
Pengadilan Negeri Kandangan yang berwenang memeriksa dan mengadili, melakukan perbuatan
kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf a (terhadap orang dalam lingkup
rumah tangganya yaitu saksi korban NAIMAH BINTI JUNI.

Pada waktu dan tempat tersebut di atas, awalnya pada hari sabtu tanggal 28 Pebruari
2015 skp. 06.00 wita saat itu saksi korban berada di kamar miliknya sedang tidur di atas ranjang
kemudian terdakwa yang dalam keadaan mabuk alcohol datang ke rumah dan langsung masuk ke
dalam kamar saksi korban. Setelah terdakwa berada di dalam kamar saksi korban, terdakwa
melihat saksi korban tidur di dalam kelambu lalu terdakwa langsung membuka kelambu dan
mendekati saksi korban kemudian terdakwa langsung mengikat kedua tangan saksi korban
dengan menggunakan jiblab / kerudung dan juga memutup mulut saksi korban dengan cara dikat
menggunakan jiblab / kerudung milik saksi korban. Saksi korban yang terkejut berusaha
berontak tetapi tidak berdaya karena terdakwa telah mengikat kedua tangan saksi korban, dengan
posisi jongkok terdakwa melepas celana korban lalu terdakwa dengan kedua tangannya
membuka kedua paha saksi korban dan terdakwa juga melepaskan celana sendiri dihadapan saksi
korban kemudian memasukan alat kelaminnya yang sudahtegang ke dalam alat kelamin saksi
korban lalu menggerakan pantatnya maju mundur kurang lebih 5 menit setelah itu terdakwa
melepaskan alat kelaminnya dan memakai celananya setelah itu keluar dari kamar saksi korban
dengan tangan dan mulut saksi korban masih terikat.

Bahwa sekitar 15 menit kemudian terdakwa datang lagi kedalam kamar dan langsung
mendekati saksi korban yang masih dalam keadaan terikat diatas ranjang tanpa celana dan
terdakwa langsung membuka kedua paha saksi korban dengan posisi jongkok dan terdakwa
langsung melepaskan celananya dihadapan saksi korban kemudian memasukan kembali alat
kelaminnya ke dalam alat kelamin saksi korban lalu mengerakan pantatnya maju mundur kurang
lebih 6 (enam) menit kemudian terdakwa melepaskan alat kelaminnya dari alat kelamin saksi
korban kemudian memakai kembali celananya setelah itu melepaskan ikatan tangan saksi korban
dan memasangkan celana saksi korban dan membuka punutup mulut saksi korban lalu terdakwa
pergi dan keluar dari kamar saksi korban.

Bahwa setelah disetubuhi oleh terdakwa, saksi korban langsung pergi ke rumah sepupu
saksi korban saksi Delima Manis dan menceritakan bahwa terdakwa telah menyetubuhi saksi
korban. Setelah kejadian tersebut saksi korban mengalami trauma dan sakit pada bagian alat
kelaminya.

Bahwa saksi korban yang merupakan adik ipar terdakwa atau adik dari isteri terdakwa
dan tinggal satu rumah dan berdasarkan kartu keluarga No. 6306072208070467 bahwa terdakwa
dan saksi korban Naimah tinggal dalam satu rumah dan masuk dalam satu kartu keluarga dengan
kepala keluarga yang bernama Juni.
BAB 2

ANALISIS KASUS

2.1 Analisis Kasus Di tinjau Dari Tujuan Pemidanaan Dalam RUU KUHP

Pelecehan seksual di lingkungan keluarga kerap terjadi. Untuk menjeratnya, acapkali


aparat kesusahan karena tidak ada pasal dalam KUHP saat ini yang bisa mempidananakannya.
Nah dalam Pasal 421 RUU KUHP, mereka bisa dijerat dengan ancaman maksimal 1,5 tahun
penjara.

Berikut bunyi Pasal 421 huruf a RUU KUHP:

Setiap Orang yang melakukan perbuatan cabul terhadap orang lain yang berbeda atau
sama jenis kelaminnya di depan umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu)
tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Kategori III.

"Yang dimaksud dengan 'perbuatan cabul' adalah segala perbuatan yang melanggar norma
kesusilaan, kesopanan, atau perbuatan lain yang tidak senonoh, dan selalu berkaitan dengan
nafsu birahi atau seksualitas," demikian penjelasan Pasal 421.

Hukuman akan diperberat apabila:


1. secara paksa dengan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan dipidana dengan pidana penjara
paling lama 9 (sembilan) tahun.
2. yang dipublikasikan sebagai muatan pornografi dipidana dengan pidana penjara paling lama 9
(sembilan) tahun.

"Setiap Orang dengan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan memaksa orang lain untuk
melakukan perbuatan cabul terhadap dirinya dipidana dengan pidana penjara paling lama 9
tahun," demikian bunyi Pasal 421 ayat 2.

Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwasannya pasal yang ada di RKUHP kurang tegas
dalam melaksanakan tindakan pidana, dikarenakan hukuman penjara saja sebenarnya masih
kurang maksimal dan belum membuat jera sang pelaku,seharusnya bisa dikenakan hukuman
seperti penyiksaan dan hal hal yang serupa dan seimbanng antara yang dilakukan pelaku kepada
korban, sehingga pelakubisa merasakan rasa traumatis yang dia lakukan kepada korban.

Hal ini pun bisa membuat korban menjadi puas dan rasa adil itu bisa tercipta, sehingga
pelaku pun akan jera dan takut untuk melakukan hal serupa terlepas dia dalam keadaan sadar
maupun tidak sadar karena pengaruh alcohol dan lain lain.

2.2 Analisis Kasus Ditinjau Dari Tujuan Pemidanaan Dari Segi Sosiologi

Poerwandari (2000) mendefinisikan kekerasan seksual sebagai tindakan yang mengarah


ke ajakan/desakan seksual seperti menyentuh, meraba, mencium, dan atau melakukan tindakan-
tindakan lain yang tidak dikehendaki oleh korban, memaksa korban menonton produk
pornografi, gurauan-gurauan seksual, ucapan- ucapan yang mengandung unsur pornografi

Berdasarkan kasus yang dialami oleh korban terkait Pencabulan dan Pelecehan Seksual
yang dilakukan oleh orang terdekat dan satu ruang lingkup didalam rumahnya yakni kakak
iparnya, hal ini sebenarnya apabila kita tinjau lebih luas banyak perempuan yang mengalami hal
ini di ruang lingkup rumahnyanya atau lingkungan sekitarnya. Hal ini cukup meresahkan
kalangan perempuan dan harus di tindak lanjuti dengan sangat tepat dan keras agar pelaku bisa
jera dan tidak melakukan hal itu, begitu pula orang lain yang mengetahui hukuman itu bisa
menjadi takut untuk melakukan hal tersebut.

Menurut Komnas Perempuan, rata-rata 35 perempuan menjadi korban kekerasan seksual


di Indonesia setiap harinya. Hampir 70 persen dari kasus kekerasan terhadap perempuan, baik
fatal maupun nonfatal, dilakukan oleh anggota keluarga atau pasangan (pacar atau suami).

Meski konsekuensi dari setiap kejahatan dan pengalaman korban berbeda, ada bukti yang
berkembang tentang hubungan antara korban kekerasan seksual dengan kesehatan mental dan
fisik. Cedera fisik dan kematian adalah konsekuensi paling jelas dari kasus kekerasan. Dalam 4
bulan pertama tahun 2016, ada 44 perempuan indonesia, anak remaja dan dewasa, yang tewas di
tangan pasangan atau mantan pasangan seksual setelah mendapatkan penganiayaan seksual,
dilansir dari BBC — tetapi ada konsekuensi lain yang ternyata lebih lazim ditemukan kini
semakin diakui Berbagai macam reaksi dapat mempengaruhi korban. Efek dan dampak
kekerasan seksual (termasuk perkosaan) dapat mencakup trauma fisik, emosional, dan
psikologis.

Disamping itu dalam ruang lingkup penegakan hukum pun sedikit sekali membahas
mengenai kekerasan seksual dan kurang adil dalam hukuman yang diberikan apabila ditinjau
sesuai pasalnya. Hal ini menjadikan pelaku semakin berani dalam melakukan pelecehan seksual
terhadap orang lain, dan meresahkan dilingkungan masyarakat.

Indonesia sendiri sangat sakral dan menjunjung tinggi harga diri, sehingga ketika ada
pelecehan seksual apapun pakaian yang kita kenakan, bukanlah semata mata menjadi tolak ukur
untuk menyalahkan perempuan dan membela pelaku yang sudah sangat konkrit bukti
kesalahannya. Hal ini pun sering digunakan oleh sesama perempuan yang ikut menyalahkan
perempuan dari segi pakaian dan perilaku seperti merokok, meminum alcohol hal ini tidak bisa
menjadikan kita sebagai sesama perempuan turut andil menyalahkan korban dan membela
pelaku pencabulan dan pelecehan seksual tersebut.

Maka dari itu kita sebagai manusia yang berakal dan beradab haruslah
mengimplementasikan hukum yang mengatur mengenai kekerasan seksual dan harus juga
membantu korban pelecehan seksual. Berhentilah menjadi manusia yang tidak memanusiakan
manusia salah satunya dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan juga patuh terhadap
hukum yang ada.

2.3 Analisis Kasus Ditinjau dari Tujuan Pemidanaan Dalam UU Terkait

Pengaturan Kekerasan Seksual dalam KUHP hanya terdapat tentang Pemerkosaan, dan
Pencabulan di dalam Pasal 285 dan Pasal 289, Rancangan KUHP memperluas tentang kekerasan
seksual dan sekarang ada RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang mengatur pencegahan
kekerasan seksual.

Berdasarkan Pasal 8 huruf a jo pasal 46 UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga serta pasal-pasal dari peraturan perundang-undangan yang berlaku yang
bersangkutan dengan perkara ini. Pasal tersebut pun dikenakan kepada pelaku tersebut
Pembuktian dalam hukum pidana adalah berdasarkan Pasal 184 UU No. 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (“KUHAP”), menggunakan lima macam alat bukti, yaitu:
1)     keterangan saksi
2)     keterangan ahli
3)     surat
4)     petunjuk
5)     keterangan terdakwa.

 
Sehingga, dalam hal terjadi pelecehan seksual, bukti-bukti tersebut di atas dapat digunakan
sebagai alat bukti. Untuk kasus terkait percabulan atau perkosaan, biasanya menggunakan
salah satu alat buktinya berupa Visum et repertum. Menurut “Kamus Hukum” oleh JCT
Simorangkir, Rudy T Erwin dan JT Prasetyo, visum et repertum adalah surat
keterangan/laporan dari seorang ahli mengenai hasil pemeriksaannya terhadap sesuatu,
misalnya terhadap mayat dan lain-lain dan ini dipergunakan untuk pembuktian di
pengadilan. 

 
Meninjau pada definisi di atas, maka visum et repertum dapat digunakan sebagai alat bukti
surat, sebagaimana diatur dalam Pasal 187 huruf c KUHAP: 

 
“Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya

mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya.” 

 
Penggunaan Visum et repertum sebagai alat bukti, diatur juga dalam Pasal 133 ayat (1)
KUHAP:

 
“Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka,
keracunan ataupun mati yang diduga karena perstiwa yang merupakan tindak pidana, ia
berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman
atau dokter dan atau ahli lainnya.”
 
Apabila visum memang tidak menunjukkan adanya tanda kekerasan, maka sebaiknya dicari
alat bukti lain yang bisa membuktikan tindak pidana tersebut. Pada akhirnya, Hakim yang
akan memutus apakah terdakwa bersalah atau tidak berdasarkan pembuktian di pengadilan.

Dengan demikian, unsur penting dari pelecehan seksual adalah adanya ketidakinginan atau
penolakan pada apapun bentuk-bentuk perhatian yang bersifat seksual. Sehingga bisa jadi
perbuatan seperti siulan, kata-kata, komentar yang menurut budaya atau sopan santun (rasa
susila) setempat adalah wajar. Namun, bila itu tidak dikehendaki oleh si penerima perbuatan
tersebut maka perbuatan itu bisa dikategorikan sebagai pelecehan seksual.

  Jadi, pelecehan seksual dapat dijerat dengan pasal percabulan (Pasal 289 s.d. Pasal 296
KUHP). Dalam hal terdapat bukti-bukti yang dirasa cukup, Jaksa Penuntut Umum yang akan
mengajukan dakwaannya terhadap pelaku pelecehan seksual di hadapan pengadilan. Pasal ini
pun bisa digunakan kepada pelaku.
BAB 3
KESIMPULAN

Negara Indonesia ialah Negara Hukum yang menganut system Civil Law. Dalam hal ini
terdapat intisari bahwasannya Indonesia memiliki berbagai peraturan hukum yang mengatur
mengenai kekerasan seksual, pelecehan, dan pencabulan, baik itu dalam ruang lingkup keluarga
ataupun orang lain. Oleh karena itu korban bisa terlindungi dengan sangat baik dan adil apabila
apparat penegak hukum mengatur hal ini sesuai dengan hukum yang ada.
Selain ada KUHP dan KUHAP yang mengatur mengenai kekerasan seksual ada juga
RUU PKS (Penghapusan Kekerasan Seksual) dan juga RUU KUHP yang memuat berbagai
macam hukuman tindak pidana kepada pelaku kekerasan seksual. Sehingga pelaku bisa jera dan
tidak akan melakukan perbuatan tindak pidana tersebut.
Berdasarkan pendapat para ahli baik dari politikus, komnas perempuan, komnas HAM,
Kemenkumham dan tokoh public di masyarakat memiliki satu pendapat dan satu tujuan terkair
kekerasan seksual ini harus dihapuskan dengan mengsahkan RUU PKS yang didalamnya
memuat penegakan hukum yang adil terkait kasus tindak pidana Kekerasan Seksual.

Anda mungkin juga menyukai