Anda di halaman 1dari 8

Seminar Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan Indonesia (IPLBI) 1, A 083-090

https://doi.org/10.32315/sem.1.a083

Adaptasi Bangunan Cagar Budaya Perspektif Indonesia


Adang Sujana

Manajemen Sumber Daya Budaya, Magister Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia
Korespondensi : aslgdesain@yahoo.com

Abstrak

Bangunan heritage hidup dalam arus perkembangan kota sehingga harus menyesuaikan diri demi
kelestariannya. Bangunan heritage yang cenderung langka dan semakin berkurang jumlahnya, perlu
bahkan harus dilestarikan oleh negara dengan langkah pelindungan, pengembangan, dan
pemanfaatan. Pelestarian heritage oleh negara ini melalui proses penetapan sehingga disebut Cagar
Budaya. Perkembangan kota berakibat pula pada penyesuaian kekinian terhadap fungsi dan bentuk
bangunan. Konsep adaptasi sebagai salah satu langkah penyesuaian mengalami perkembangan di
dunia arsitektur sesuai dengan konteksnya. Bagaimanakah seharusnya adaptasi ini berlaku di
Indonesia? Untuk itu perlu diketahui konsep adaptasi berdasarkan paradigma hukum di Indonesia
sehingga kegiatan adaptasi lebih relevan dan aplikatif. Dengan demikian dapat diketahui batasan
konsep adaptasi yang sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia.

Kata-kunci: adaptasi, bangunan, cagar, hukum

Pendahuluan

Adaptasi menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) adalah penyesuaian terhadap lingkungan,
pekerjaan, dan pelajaran. Adaptasi yang dimaksud disini adalah adaptasi dalam pengertian
pengembangan Bangunan Cagar Budaya. Sedangkan Bangunan Cagar Budaya diatur oleh Undang
Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya, dimana pengertian
adaptasi didalam Undang-Undang tersebut adalah upaya pengembangan Cagar Budaya untuk
kegiatan yang lebih sesuai dengan kebutuhan masa kini dengan melakukan perubahan terbatas yang
tidak akan mengakibatkan kemerosotan nilai pentingnya atau kerusakan pada bagian yang
mempunyai nilai penting.

Adapun pengertian Bangunan Cagar Budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda alam
atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang berdinding dan/atau tidak berdinding,
dan beratap. Sedangkan yang dimaksud Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan
berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya,
dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena
memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan
melalui proses penetapan. Istilah Heritage itu sendiri memiliki beberapa pengertian. Heritage yaitu
sejarah, tradisi, dan nilai-nilai yang dimiliki suatu bangsa atau Negara selama bertahun-tahun dan
dianggap sebagai bagian penting dari karakter bangsa tersebut. (Sumber : Kamus Oxford hal:202),
sedangkan menurut UNESCO memberikan definisi “heritage’’ sebagai warisan (budaya) masa lalu,
yang seharusnya dilestarikan dari generasi ke generasi karena memiliki nilai-nilai luhur. Dalam buku
Heritage Management Interpretation Identity, karya Peter Howard memberikan makna heritage
sebagai segala sesuatu yang ingin diselamatkan orang, termasuk budaya material maupun alam.
Sedangkan menurut Hall & McArther (1996:5) dalam bukunya Heritage Management memberikan
definisi heritage sebagai warisan budaya dapat berupa kebendaan (tangible) seperti monument,

Sekolah Tinggi Teknologi Cirebon, Universitas Indraprasta, Universitas Trisakti Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | A 083
ISBN 978-602-17090-5-4 E-ISBN 978-602-17090-4-7
Adaptasi Bangunan Cagar Budaya Perspektif Indonesia

arsitektur bangunan, tempat peribadatan, peralatan, kerajinan tangan, dan warisan budaya yang
tidak berwujud kebendaan (intangible) berupa berbagi atribut kelompok atau masyarakat, seperti
cara hidup, folklore, norma dan tata nilai.

Dalam perspektif hukum di Indonesia, tidak semua heritage merupakan Cagar Budaya, melainkan
heritage yang sudah ditetapkan melalui proses Penetapan Cagar Budaya oleh Pemerintah
Kota/Kabupaten berdasarkan kajian dan usulan Tim Ahli Cagar Budaya. Sehingga yang dimaksud
adaptasi dalam tulisan ini adalah adaptasi suatu bangunan heritage yang sudah ditetapkan sebagai
Bangunan Cagar Budaya. Adapun adaptasi bangunan heritage yang bukan sebagai Bangunan Cagar
Budaya tidak terikat perlakuan adaptasinya dengan peraturan perundang-undangan tentang Cagar
Budaya.

Adanya perkembangan kekinian kota yang sejalan dengan konsep-konsep pemikiran adaptasi yang
juga berkembang menjadi perlu untuk dipahami bahwa apakah konsep-konsep pemikiran tersebut
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, dalam hal ini apakah
sesuai dengan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya.
Menjadi penting untuk diketahui untuk menghindari pelanggaran dan penentangan-penentangan
yang bisa menjadi konflik masyarakat dan lingkungan perkotaan.

Untuk itu perlu dipahami mengenai aspek hukum dalam pelestarian Cagar Budaya yang berlaku di
Indonesia. Juga perlu untuk memahami perkembangan konsep-konsep pemikiran yang berkaitan
dengan adaptasi yang berkembang di kota-kota besar selama ini. Apakah konsep-konsep itu dapat
diterapkan di Indonesia ataukah tidak dapat diterapkan, atau penyesuaian apa yang bisa dilakukan
terhadap konsep-konsep tersebut untuk dapat diterapkan dan dilaksanakan. Sehingga dengan
demikian dapat diketahui prinsip adaptasi Bangunan Cagar Budaya di Indonesia dan konsep-konsep
dari perkembangan pemikiran adaptasi yang dapat diterapkan di Indonesia.

Landasan Hukum dan Prinsip-Prinsip Adaptasi

Hierarki produk hukum di Indonesia diatur melalui Undang Undang Republik Indonesia No. 10 Tahun
2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menggantikan Ketetapan MPRS No.
XX/1966, dapat diuraikan sebagai berikut; UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-
Undang / Perpu, Peraturan Pemerintah / PP, Peraturan Presiden / Perpres, dan Peraturan Daerah /
Perda. Adapun asas kekuatan Undang-Undang adalah :

- UU yang lebih tinggi membatalkan atau mengenyampingkan UU yang lebih rendah (lex superior
derogate lex inferior)
- UU yang lebih baru membatalkan atau mengenyampingkan UU yang lebih lama (lex posterior
derogate lex priori)
- UU yang lebih khusus membatalkan atau mengenyampingkan UU yang lebih umum (lex spesialis
derogate lex generalis)

Adaptasi bangunan heritage di Indonesia diatur oleh setidaknya tiga undang-undang, yaitu Undang
Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya, Undang Undang Republik
Indonesia Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung, dan Undang Undang Republik
Indonesia Nomor 26 Tahun 27 Tentang Penataan Ruang. Akan tetapi undang-undang yang khusus
mengatur adaptasi Bangunan Cagar Budaya adalah Undang Undang Republik Indonesia Nomor 11
Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya. Di dalam undang-undang tersebut telah diatur hal-hal mengenai
Adaptasi Bangunan Cagar Budaya, yaitu di Bab I Ketentuan Umum pasal 1, Bab VII Pelestarian Pasal
53, 54, 55, 78, 81, dan khususnya pasal 83, serta pasal 84. sedangkan tugas dan wewenang serta
pendanaan Pelestarian Cagar Budaya diatur pada pasal 95, 96, 97, dan pasal 98.
A 084 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017
Adang Sujana
Berdasarkan landasan hukum tersebut di atas, maka dapat disusun prinsip-prinsip dari Adaptasi
Bangunan Cagar Budaya sebagai bagian kegiatan Pengembangan pada Pelestarian Cagar Budaya,
sebagai berikut:

1. Bangunan Cagar Budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda alam atau benda
buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang berdinding dan/atau tidak berdinding, dan
beratap.
2. Pelestarian Cagar Budaya dilakukan berdasarkan hasil studi kelayakan yang dapat
dipertanggungjawabkan secara akademis, teknis, dan administratif.
3. Kegiatan Pelestarian Cagar Budaya harus dilaksanakan atau dikoordinasikan oleh Tenaga Ahli
Pelestarian dengan memperhatikan etika pelestarian.
4. Tata cara Pelestarian Cagar Budaya harus mempertimbangkan kemungkinan dilakukannya
pengembalian kondisi awal seperti sebelum kegiatan pelestarian.
5. Pelestarian Cagar Budaya harus didukung oleh kegiatan pendokumentasian sebelum dilakukan
kegiatan yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan keasliannya.
6. Setiap orang berhak memperoleh dukungan teknis dan/atau kepakaran dari Pemerintah atau
Pemerintah Daerah atas upaya Pelestarian Cagar Budaya yang dimiliki dan/atau yang dikuasai.
7. Setiap orang dilarang dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi, atau menggagalkan
upaya Pelestarian Cagar Budaya
8. Pengembangan Cagar Budaya dilakukan dengan memperhatikan prinsip kemanfaatan,
keamanan, keterawatan, keaslian, dan nilai-nilai yang melekat padanya.
9. Setiap orang dapat melakukan Pengembangan Cagar Budaya setelah memperoleh izin
Pemerintah atau Pemerintah Daerah dan izin pemilik dan/atau yang menguasai Cagar Budaya.
10. Pengembangan Cagar Budaya dapat diarahkan untuk memacu pengembangan ekonomi yang
hasilnya digunakan untuk Pemeliharaan Cagar Budaya dan peningkatan kesejahteraan
masyarakat.
11. Bangunan Cagar Budaya atau Struktur Cagar Budaya dapat dilakukan adaptasi untuk
memenuhi kebutuhan masa kini dengan tetap mempertahankan ciri asli dan/atau muka
Bangunan Cagar Budaya atau Struktur Cagar Budaya; dan/atau
12. Bangunan Cagar Budaya atau Struktur Cagar Budaya dapat dilakukan adaptasi untuk
memenuhi kebutuhan masa kini dengan tetap mempertahankan ciri asli lanskap budaya
dan/atau permukaan tanah Situs Cagar Budaya atau Kawasan Cagar Budaya sebelum dilakukan
adaptasi.
13. Adaptasi dilakukan dengan mempertahankan nilai-nilai yang melekat pada Cagar Budaya;
14. Adaptasi dilakukan dengan menambah fasilitas sesuai dengan kebutuhan;
15. Adaptasi dilakukan dengan mengubah susunan ruang secara terbatas; dan/atau
16. Adaptasi dilakukan dengan mempertahankan gaya arsitektur, konstruksi asli, dan keharmonisan
estetika lingkungan di sekitarnya.

Adaptasi dalam Perkembangan kekinian Kota

Seiring laju perkembangan kota ditengah hambatan keterbatasan lahan juga berakibat terhadap
Bangunan Cagar Budaya yang jumlahnya tetap, malah cenderung berkurang. Memang jumlah
bangunan heritage selalu bertambah yang dipengaruhi oleh perkembangan kebudayaan dalam
pemikiran antropologi. Akan tetapi Bangunan Cagar Budaya pada suatu masa tertentu jumlahnya
tidaklah bertambah. Seperti bangunan heritage di Jakarta pastilah bertambah, tetapi bangunan
heritage masa kolonial di Jakarta juga mengalami penyusutan akibat desakan kebutuhan ekonomi
dan lahan yang semakin mahal.

Dalam perkembangannya, kota juga memiliki solusi atas permasalahan yang dihadapi, solusi ini juga
berpengaruh terhadap adaptasi suatu bangunan, dengan kata lain solusi tersebut merupakan faktor-
Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017| A 085
Adaptasi Bangunan Cagar Budaya Perspektif Indonesia

faktor adaptasi bangunan heritage umumnya, dan Bangunan Cagar Budaya khususnya. Adapun
sebagian faktor-faktor tersebut adalah:

- Konsep Urban Infill, Infill Perkotaan didefinisikan sebagai perkembangan baru yang berlokasi di
lahan kosong atau belum berkembang dalam suatu masyarakat yang ada, dan yang tertutup oleh
jenis pembangunan lainnya. Istilah "infill perkotaan" itu sendiri menyiratkan bahwa tanah yang
ada sebagian besar dibangun dengan maksud "mengisi" kekosongan.
pengembangan infill perkotaan memungkinkan kota untuk merebut kembali lahan kosong atau
kurang dimanfaatkan dengan mendorong campuran lebih besar dari perumahan, ritel, dan
kesempatan kerja, ini biasanya mencakup integrasi menggunakan kesehatan-nurani tanah;
seperti ruang terbuka untuk taman kota yang produktif, hortikultura komersial, dan bahkan
taman bermain lingkungan. infill perkotaan sangat penting untuk memberikan ruang untuk
infrastruktur angkutan serta pengembangan dekat dengan stasiun transit dalam bentuk
pengembangan berorientasi transit (TOD) daerah.

Gambar 1. Konsep Urban Infill

- Revitalisasi, Revitalisasi adalah upaya untuk memvitalkan kembali suatu kawasan atau bagian
kota yang dulunya pernah vital/hidup, akan tetapi kemudian mengalami kemunduran/degradasi.
Skala revitalisasi ada tingkatan makro dan mikro. Proses revitalisasi sebuah kawasan mencakup
perbaikan aspek fisik, aspek ekonomi dan aspek sosial. Pendekatan revitalisasi harus mampu
mengenali dan memanfaatkan potensi lingkungan (sejarah, makna, keunikan lokasi dan citra
tempat) (Danisworo, 2002). Revitalisasi sendiri bukan sesuatu yang hanya berorientasi pada
penyelesaian keindahan fisik saja, tapi juga harus dilengkapi dengan peningkatan ekonomi
masyarakatnya serta pengenalan budaya yang ada. Untuk melaksanakan revitalisasi perlu
adanya keterlibatan masyarakat. Keterlibatan yang dimaksud bukan sekedar ikut serta untuk
mendukung aspek formalitas yang memerlukan adanya partisipasi masyarakat, selain itu
masyarakat yang terlibat tidak hanya masyarakat di lingkungan tersebut saja, tapi masyarakat
dalam arti luas (Laretna, 2002)

- Jentrifikasi, merupakan proses pembangunan wilayah yang kurang berkembang disertai dengan
adanya perpindahan penduduk kelas menengah atas seperti pembangunan kawasan permukiman
elit, kawasan pendidikan, atau kawasan perkantoran (CBD, Central Business District-red) di
wilayah pinggir kota. Gentrifikasi terjadi ketika pusat kota sudah tidak dapat menampung
aktivitas penduduk karena keterbatasan lahan dan sumber daya fisik lainnya.

- Konservasi dan Preservasi, Menurut Adishakti (2007) istilah konservasi yang biasa digunakan
para arsitek mengacu pada Piagam dari International Council of Monuments and Site (ICOMOS)
tahun 1981 yaitu : Charter for the Conservation of Places of Cultural Significance, Burra, Australia.
Dalam Burra Charter konsep konservasi adalah semua kegiatan pelestarian sesuai dengan
kesepakatan yang telah dirumuskan dalam piagam tersebut. Konservasi adalah konsep proses
pengelolaan suatu tempat atau ruang atau obyek agar makna kultural yang terkandung
A 086 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017
Adang Sujana
didalamnya terpelihara dengan baik. Pengertian ini sebenarnya perlu diperluas lebih spesifik yaitu
pemeliharaan morfologi (bentuk fisik) dan fungsinya.
Preservasi (dalam konteks yang luas) ialah kegiatan pemeliharaan bentukan fisik suatu temapt
dalam kondisi eksisting dan memperlambat bentukan fisik tersebut dari proses kerusakan.
Preservasi (dalam konteks yang terbatas) ialah bagian dari perawatan dan pemeliharaan yang
intinya adalah mempertahankan keadaan sekarang dari bangunan dan lingkungan cagar budaya
agar keandalan kelaikan fungsinya terjaga baik (Ref. UNESCO.PP. 36/2005)

Gambar 2. Kegiatan Konservasi bangunan


bekas PT. Perkebunan XV yang terletak di
jalan Mpu Tantular, Kota Lama Semarang

- Adaptive Reuse, adalah proses yang mengubah suatu item bekas atau tidak efektif ke item baru
yang dapat digunakan untuk tujuan yang berbeda. Terkadang, tidak ada perubahan tapi
penggunaan item tambahan. Penggunaan kembali bangunan bersejarah harus memiliki dampak
minimal pada bangunan heritage dan signifikansinya. Pengembang harus memahami tentang
mengapa bangunan memiliki status heritage, dan kemudian melakukan pembangunan untuk
memberikan tujuan baru.

Gambar 3. Konsep Adaptive Reuse


- Transfer Development Right, Pengalihan Hak Pembangunan (TDR) adalah teknik zonasi
digunakan untuk secara permanen melindungi lahan pertanian dan sumber daya alam dan
budaya lainnya dengan mengarahkan pembangunan yang seharusnya terjadi pada lahan sumber
daya tersebut ke daerah-daerah yang direncanakan untuk mengakomodasi pertumbuhan dan
perkembangan. Pengalihan hak pembangunan (TDR) adalah teknik berbasis pasar yang
mendorong transfer sukarela pertumbuhan dari tempat di mana komunitas ingin melihat
perkembangan yang kurang (disebut daerah pengirim) ke tempat-tempat di mana komunitas
akan ingin melihat lebih banyak pembangunan (disebut daerah penerima). Daerah pengirim
dapat sifat sensitif lingkungan, ruang terbuka, lahan pertanian, habitat satwa liar, landmark
bersejarah atau tempat-tempat lain yang penting bagi masyarakat. penerima yang harus
disepakati sesuai untuk pembangunan tambahan karena mereka dekat dengan pekerjaan,
belanja, sekolah, transportasi dan layanan perkotaan lainnya "(Sumber: Pruetz, AICP, 1999).

Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017| A 087


Adaptasi Bangunan Cagar Budaya Perspektif Indonesia

Gambar 4. Konsep Transfer Development Right


Adaptasi Perspektif KeIndonesiaan

Konsep-konsep adaptasi bangunan dan perkembangan kota yang “memaksa” dilakukannya adaptasi
pada Bangunan Cagar Budaya umumnya sudah diterapkan di negara-negara maju dan negara-
negara yang sangat pesat pertumbuhan kotanya. Indonesia sebagai bagian dari entitas dunia juga
ikut terpengaruh akan pemikiran atau konsep-konsep dalam urban desain tersebut. Akibatnya kota-
kota yang berada di Indonesia turut pula mengadopsinya baik secara budaya maupun dalam
peraturan-peraturan/hukum, baik tingkat pusat dan daerah. Dengan mengacu pada prinsip-prinsip
adaptasi berdasarkan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar
Budaya maka pada dasarnya konsep-konsep pemikiran yang mempengaruhi adaptasi bangunan
Cagar Budaya tersebut dapat diterapkan di Indonesia selama mengukuti prinsip-prinsip adaptasi :

untuk memenuhi kebutuhan masa kini dengan tetap mempertahankan ciri asli dan/atau muka
Bangunan Cagar Budaya atau Struktur Cagar Budaya; dan/atau untuk memenuhi kebutuhan masa
kini dengan tetap mempertahankan ciri asli lanskap budaya dan/atau permukaan tanah Situs Cagar
Budaya atau Kawasan Cagar Budaya sebelum dilakukan adaptasi; mempertahankan nilai-nilai yang
melekat pada Cagar Budaya; menambah fasilitas sesuai dengan kebutuhan; mengubah susunan
ruang secara terbatas; dan/atau mempertahankan gaya arsitektur, konstruksi asli, dan
keharmonisan estetika lingkungan di sekitarnya.

Urban Infill dapat diterapkan karena tidak merubah Bangunan Cagar Budaya dan hanya melakukan
penambahan pada bagian bangunan. Kegiatan revitalisasi sangat berkaitan dengan adaptasi dan
tidak ada prinsip yang saling bertentangan, revitalisasi hanya lebih umum dan kuat pada unsur
intangible, artinya adaptasi sangat mendukung kegiatan revitalisasi. Konservasi dan preservasi
merupakan kegiatan pelindungan terhadap Cagar Budaya dimana bersama kegiatan adaptasi
melakukan kegiatan Pelestarian Cagar Budaya. Untuk adaptive Reuse tentu sangat sejalan dengan
adaptasi Bangunan Cagar Budaya yang mana bukan hanya fisik bangunan yang diadaptasikan tetapi
juga fungsi bangunan disesuaikan atau dialih fungsikan menjadi suatu fungsi yang lebih berguna.
Adapun pemikiran Transfer Development Right merupakan salah satu solusi dalam pembiayaan
pelestarian Cagar Budaya dan solusi akan kebutuhan ruang di perkotaan yang sangat mahal dan
mendesak.

Jadi pada dasarnya semua konsep adaptasi tersebut dapat diterapkan di Indonesia dengan
mengikuti prinsip-prinsip adaptasi bangunan Cagar Budaya tersebut di atas yang didasarkan pada
peraturan perundang-undangan yang berlaku.Selama dalam kegiatan adaptasi dilakukan koordinasi
dengan Pemerintah dan melibatkan Tenaga Ahli Pelestari maka adaptasi dapat dilakukan, bahkan
akan memperoleh dukungan teknis dan/atau kepakaran dari Pemerintah atau Pemerintah Daerah
atas upaya Pelestarian Cagar Budaya yang dimiliki dan/atau yang dikuasainya. Undang Undang
A 088 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017
Adang Sujana
Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya hanya mengatur adaptasi pada
bangunan heritage yang sudah ditetapkan atau yang sudah menjadi Bangunan Cagar Budaya.
Adapun bangunan heritage yang bukan Bangunan Cagar Budaya boleh tidak mengikuti peraturan
perundang-undangan yang berlaku, akan tetapi sebaiknya tetap mengikuti kaidah-kaidah adaptasi
dalam dunia arsitektur dan arkeologi.

Artinya konsep adaptasi di Indonesia bersifat dinamis dan mengikuti perkembangan konsep urban
design selama mengikuti peraturan yang ada. Karena pada dasarnya adaptasi bangunan hanyalah
penambahan fasilitas sesuai dengan kebutuhan dan mengubah susunan ruang secara terbatas,
sebagian. Bukan mengganti atau menghancurkan secara keseluruhan.

Apakah Adaptive Reuse pada gambar 5 diatas dapat diterapkan di Indonesia? Tergantung dari
signifikansi atau nilai pentingnya untuk melakukan adaptasi seperti diatas. Jika ada signifikansi, yang
dijadikan alas an, yang sangat kuat maka dapat diterapkan, tetapi bila signifikansinya tidak kuat
maka tidak boleh dilakukan. Pada dasarnya kegiatan pelestarian dimana adaptasi masuk didalamnya
tergantung dari nilai penting dari Cagar Budaya tersebut. Signifikansi atau nilai penting menjadi
dasar pertimbangan dalam Pelestarian Cagar Budaya. Akan tetapi jika ada suatu kompleks Bangunan
Cagar Budaya yang memiliki beberapa periode kebudayaan dan harus memilih pada periode
kebudayaan mana yang harus dipertahankan maka nilai penting lain yang dikalahkan oleh nilai
penting utamanya berdasarkan kajian yang telah dilakukan, maka sebagian Bangunan Cagar Budaya

Gambar 5. Adaptive Reuse?

tersebut boleh diabaikan bahkan dihilangkan, tentunya dengan terlebih dahulu melakukan
perekaman / preserve by record Cagar Budaya tersebut. Bangunan heritage di Indonesia dibedakan
dengan bangunan heritage yang telah menjadi Bangunan Cagar Budaya yang terikat perlakuan
pelestariannya dengan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar
Budaya dan peraturan turunannya.

Kesimpulan

Perubahan paradigma pelestarian Cagar Budaya terkini yang memasukkan unsur pemanfaatan,
selain pelindungan dan pengembangan pada kegiatan pelestarian Cagar Budaya turut
mempengaruhi tujuan pelestarian tersebut, dimana kesejahteraan masyarakat juga diwadahi dalam
pelestarian. Hal ini sangat berbeda dengan paradigm sebelumnya yang hanya menitikberatkan pada
kegiatan pelindungan saja. Bangunan Cagar Budaya adalah bangunan heritage yang sudah
ditetapkan sebagai Cagar Budaya. Perlakuan terhadap Bangunan Cagar Budaya berbeda dengan
bangunan heritage pada umumnya karena sudah terikat dan diatur perlindungan dan pelestariannya
dengan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya.
Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017| A 089
Adaptasi Bangunan Cagar Budaya Perspektif Indonesia

Cagar Budaya merupakan kekayaan budaya bangsa sebagai wujud pemikiran dan perilaku
kehidupan manusia yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu
pengetahuan, dan kebudayaan dalam kehidupan bermasyarakat, bernagsa dan bernegara sehingga
perlu dilestarikan dan dikelola secara tepat melalui upaya pelindungan, pengembangan, dan
pemanfaatan dalam rangka memajukan kebudayaan nasional untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat.

Tentunya tulisan ini merupakan perspektif penulis yang didasarkan pada peraturan perundang-
undangan yang berlaku terhadap adaptasi Bangunan Cagar Budaya. Masukan dan saran diperlukan
untuk menutupi kekurangan dan melengkapi tulisan ini sebagai tulisan manajemen sumber daya
budaya. Sekian dan terima kasih.

Daftar Pustaka

Alimuddin, S.H. (2011). Sosialisasi Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya: Mekanisme
Pendaftaran dan Penetapan Cagar Budaya. Makasar: Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Makassar.
B. Setiawan, H. (2014). Arsitektur, Lingkungan dan Perilaku; Pengantar ke Teori, Metodologi dan Aplikasi.
Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Dark, K.R. 1995. Theoretical Archaeology. New York: Cornell University Press.
Derek, W. & Stephen, B. (2008). Managing Built Heritage, The Role of Cultural Significance. Oxford: Blackwell
Publishing.
Howard, P. (2003). Management, Interpretation, Identity . London: Continuum.
http://kbbi.web.id/, Depok, 20 Maret 2017, pukul 21.30 wib.
http://makalahdanskripsi.blogspot.co.id/2009/03/definisi-revitalisasi.html, Depok, 20 Maret 2017, pukul 21.30 wib.
https://www.environment.gov.au/system/files/resources/3845f27a-ad2c-4d40-8827-18c643c7adcd/files/adaptive-
reuse.pdf, Depok, 20 Maret 2017, pukul 21.30 wib.
http://www.bpn.go.id/Publikasi/Peraturan-Perundangan/Undang-Undang/undang-undang-nomor-28-tahun-2002-
2056.
https://www.setneg.go.id/index.php?option=com_perundangan&id=1601&task=detail&catid=1&Itemid=42&tahu
n=2007.
Ikhwanuddin. (2005). Menggali Pemikiran Postmodernisme Dalam Arsitektur. Yogyakarta: Gajah Mada University
Press.
Magetsari, N. (2016). Perspektif Arkeologi Masa Kini. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara.
(2011). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya. Direktorat Tinggalan
Purbakala, Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.
Rahardjo, S. (2012). Arkeologi Untuk Publik. Jakarta: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia.
Uzzell, D. & Ballantyne, R. (2008). The Heritage Reader. 2008. New York: Routledge.

A 090 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017

Anda mungkin juga menyukai