Anda di halaman 1dari 71

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Manajemen Fasilitas dan Keselamatan

Rumah sakit dalam kegiatannya menyediakan fasilitas yang

aman, berfungsi dan supportif bagi pasien, keluarga, staf dan

pengunjung. Untuk mencapai tujuan ini, fasilitas fisik, medis dan

peralatan lainnya dan orang-orang harus dikelola secara efektif.

(Komisi Akreditasi Rumah Sakit 2011), Secara khusus, manajemen

harus berusaha keras untuk :

1. Mengurangi dan mengendalikan bahaya dan risiko;

2. Mencegah kecelakaan dan cidera ; dan

3. Memelihara kondisi aman.

Manajemen yang efektif meliputi perencanaan, pendidikan

dan pemantauan yang multi disiplin:

1. Pimpinan merencanakan ruang, peralatan dan sumber daya yang

dibutuhkan agar aman dan efektif untuk menunjang pelayanan

klinis yang diberikan.


2. Seluruh staf dididik tentang fasilitas, cara mengurangi risiko,

dan bagaimana memonitor dan melaporkan situasi yang

menimbulkan risiko

3. Kriteria kinerja digunakan untuk mengevaluasi sistem yang

penting dan untuk mengidentifikasi perbaikan yang diperlukan.

Perencanaan tertulis dibuat dan mencakup enam bidang

berikut, sesuai dengan fasilitas dan kegiatan rumah sakit :

1. Keselamatan dan Keamanan

a. Keselamatan adalah Suatu tingkatan keadaan tertentu

dimana gedung, halaman/ground dan peralatan rumah sakit

tidak menimbulkan bahaya atau risiko bagi pasien, staf dan

pengunjung

b. Keamanan adalah Proteksi dari kehilangan, pengrusakan

dan kerusakan, atau akses serta penggunaan oleh mereka

yang tidak berwenang

2. Bahan berbahaya: penanganan, penyimpanan dan penggunaan

bahan radioaktif dan bahan berbahaya lainnya harus

dikendalikan dan limbah bahan berbahaya dibuang secara aman.

3. Manajemen emergensi: tanggapan terhadap wabah, bencana dan

keadaan emergensi direncanakan dan efektif


4. Pengamanan kebakaran: Properti dan penghuninya dilindungi

dari kebakaran dan asap.

5. Peralatan medis: peralatan dipilih, dipelihara dan digunakan

sedemikian rupa untuk mengurangi risiko.

6. Sistem utilitas: listrik, air dan sistem pendukung lainnya

dipelihara untuk meminimalkan risiko kegagalan pengoperasian

Bila di rumah sakit ada unit nonhospital di dalam

fasilitas pelayanan pasien yang disurvei (seperti sebuah warung

kopi yang atau toko souvenir independen), rumah sakit

memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa unit independen

tersebut mematuhi rencana manajemen dan keselamatan

fasilitas,

(Jovanoviae 2005) sebagai berikut:

1. Rencana keselamatan dan keamanan

2. Rencana penanganan bahan berbahaya

3. Rencana manajemen emergensi

4. Rencana pengamanan/penanggulangan kebakaran

Peraturan perundangan dan pemeriksaan/inspeksi oleh yang

berwenang di daerah banyak menentukan bagaimana fasilitas

dirancang, digunakan dan dipelihara. Seluruh rumah sakit, tanpa

memperdulikan ukuran dan sumber daya yang dimiliki, harus


mematuhi ketentuan yang berlaku sebagai bagian dari tanggung

jawab mereka terhadap pasien, keluarga, staf dan para pengunjung.

Pertama-tama rumah sakit harus mematuhi peraturan perundangan.


Kemudian, rumah sakit harus lebih memamahami tentang detail fasilitas fisik
yang mereka tempati. Mereka mulai secara proaktif mengumpulkan data dan
menggunakannya dalam strategi mengurangi risiko dan meningkatkan
keamanan lingkungan asuhan pasien.
B. Keselamatan dan Keamanan (MFK 4)

Pimpinan rumah sakit menggunakan seluruh sumber daya

yang ada untuk menyediakan fasilitas yang aman, efektif dan

efisien. Pencegahan dan perencanaan penting untuk menciptakan

fasilitas pelayanan pasien yang aman dan mendukung. Untuk

merencanakan secara efektif, rumah sakit harus menyadari akan

seluruh risiko yang ada pada fasilitas. Ini meliputi keselamatan,

seperti keamanan kebakaran, maupun risiko keamanan. Tujuannya

adalah untuk mencegah kecelakaan dan cidera, menjaga kondisi

bagi keselamatan dan keamanan pasien, keluarga, staf dan

pengujung; serta mengurangi dan mengendalikan bahaya dan risiko.

Ini khususnya penting selama masa pembangunan atau renovasi.

Sebagai
tambahan, untuk menjamin keamanan, semua staf, pengunjung,

vendor/pedagang dan lainnya di rumah sakit diidentifikasi dan

diberi tanda pengenal (badge) yang sementara atau tetap atau

langkah identifikasi lain, juga seluruh area yang seharusnya aman,

seperti ruang perawatan bayi baru lahir, yang aman dan dipantau.

(Komisi Akreditasi Rumah Sakit 2011).

Ini dapat dilakukan dengan menyusun suatu Rencana

Perbaikan Fasilitas (Facility Improvement Plan) dengan inspeksi

yang komprehensif terhadap fasilitas, mencatat semua perabot yang

tajam atau rusak yang dapat menyebabkan cidera, sampai lokasi

dimana tidak ada jalan penyelamatan bila terjadi kebakaran atau

tidak ada cara memonitor area yang aman. Pemeriksaan berkala

ini didokumentasikan untuk membantu rumah sakit merencanakan

dan melaksanakan peningkatan dan anggaran perbaikan dan

penggantian fasilitas dalam rencana jangka lebih panjang.

Kemudian, dengan memahami risiko yang ada di fasilitas fisik

rumah sakit, maka rumah sakit dapat menyusun rencana yang

proaktif untuk mengurangi risiko tersebut terhadap pasien,

keluarga, staf dan pengunjung. Rencana tersebut dapat meliputi hal-

hal seperti memasang kamera keamanan (security camera) di

area terpencil,
mengganti fenerator emergensi, mengganti pintu kebakaran dan

sejenisnya. Rencana ini meliputi keselamatan dan keamanan (Lucas

et al. 2013).

Elemen-elemen penilaian pada manajemen fasilitas dan

keselamatan bagian Keselamatan dan Keamanan Rumah Sakit

berdasarkan buku Akreditasi Rumah Sakit tahun 2012:

1. Elemen Penilaian MFK 4

a. Rumah sakit mempunyai program untuk memberikan

keselamatan dan keamanan bagi fasilitas fisik, termasuk

memonitor dan mengamankan area yang diidentifikasi

sebagai risiko keamanan.

b. Program tersebut memastikan bahwa semua staf,

pengunjung dan pedagang/vendor dapat diidentifikasi, dan

semua area yang berisiko keamanannya dimonitor dan

dijaga keamanannya.

c. Program tersebut efektif untuk mencegah cidera dan

mempertahankan kondisi aman bagi pasien, keluarga, staf

dan pengunjung.

d. Program meliputi keselamatan dan keamanan selama masa

pembangunan dan renovasi


e. Pimpinan memanfaatkan sumber daya sesuai rencana yang

disetujui

f. Bila terdapat badan independen dalam fasilitas pelayanan

pasien akan disurvei, rumah sakit memastikan bahwa badan

tersebut mematuhi program keselamatan.

2. Elemen Penilaian MFK 4.1.

a. Rumah sakit mempunyai hasil pemeriksaan fasilitas fisik

terkini dan akurat yang didokumentasikan

b. Rumah sakit mempunyai rencana mengurangi risiko yang

nyata berdasarkan pemeriksaan tersebut

c. Rumah sakit memperlihatkan kemajuan dalam

melaksanakan rencananya.

3. Elemen Penilaian MFK 4.2.

1. Rumah sakit menyusun rencana dan anggaran yang

memenuhi peraturan perundangan dan ketentuan lain

2. Rumah sakit menyusun rencana dan anggaran untuk

meningkatkan atau mengganti sistem, bangunan, atau

komponen yang diperlukan agar fasilitas tetap dapat

beroperasi secara aman dan efektif.


C. Kesiapan Menghadapi Bencana (MFK 6)

Kedaruratan komunitas, wabah dan bencana mungkin terjadi

di rumah sakit, seperti kerusakan pada area/ruang rawat pasien

akibat gempa atau wabah flu yang menyebabkan staf tidak dapat

masuk kerja. Untuk menanggapi secara efektif, rumah sakit

membuat rencana dan program penanganan kedaruratan seperti itu.

(Komisi Akreditasi Rumah Sakit 2011). Rencana tersebut berisikan

proses untuk :

1. Menetapkan jenis, kemungkinan dan konsekuensi dari bahaya,

ancaman dan kejadian;

2. Menetapkan peran rumah sakit dalam kejadian tersebut;

3. Strategi komunikasi pada kejadian;

4. Pengelolaan sumber daya pada waktu kejadian, termasuk

sumber daya alternatif;

5. Pengelolaan kegiatan klinis pada waktu kejadian, termasuk

alternatif tempat pelayanan;

6. Identifikasi dan penugasan peran dan tanggung jawab staf pada

waktu kejadian

7. Proses untuk mengelola keadaan darurat/kedaruratan bila terjadi

pertentangan antara tanggung jawab staf secara pribadi dengan


tanggung jawab rumah sakit dalam hal penugasan staf untuk

pelayanan pasien

Rencana kesiapan menghadapi bencana diujicoba melalui :

1. ujicoba tahunan seluruh rencana penanggulangan bencana baik

secara internal maupun sebagai bagian dan dilakukan bersama

dengan masyarakat; atau

2. ujicoba sepanjang tahun terhadap elemen kritis dari c) sampai

dengan g) dari rencana tersebut. di atas.

Bila rumah sakit mengalami bencana secara nyata,

mengaktifasi rencana yang ada, dan setelah itu diberi pengarahan

yang tepat, dan situasi ini digambarkan setara dengan uji coba

tahunan.

Elemen-elemen penilaian pada manajemen fasilitas dan

keselamatan bagian Kesiapan Menghadapi Bencana berdasarkan

buku Akreditasi Rumah Sakit tahun 2012:

Elemen Penilaian MFK 6

1. Rumah sakit telah mengidenfikasi bencana internal dan

eksternal yang besar, seperti keadaan darurat di masyarakat,

wabah dan bencana alam atau bencana lainnya, serta kejadian

wabah besar yang bisa menyebabkan terjadinya risiko yang

signifikan.
2. Rumah sakit merencanakan untuk menanggapi kemungkinan

terjadinya bencana, meliputi item a) sampai g) Maksud dan

Tujuan

Elemen Penilaian MFK 6.1.

1. Seluruh rencana diujicoba secara tahunan atau sekurang-

kurangnya elemen kritis dari c) sampai g) dari rencana

2. Pada akhir setiap uji coba, dilakukan tanya-jawab (debriefing)

mengenai ujicoba yang dilakukan

3. Bila terdapat badan independen dalam fasilitas pelayanan pasien

yang akan disurvei, rumah sakit memastikan bahwa unit

tersebut mematuhi rencana kesiapan menghadapi bencana.

D. Definisi dan Konsep Bencana

1. Bahaya (hazard)

Hampir semua komunitas terpapar dengan berbagai

macam kejadian bencana,, baik karena alam maupun karena

aktivitas manusia. Di antaranya adalah badai, banjir, gempa

bumi, kebakaran hutan, kekeringan, erupsi vulkanik, kecelakaan

zat kimia, serangan teroris dan wabah penyakit. Semua kejadian

ini mengganggu kehidupan rutin suatu komunitas dan

menimbulkan dampak yang luas bagi jiwa dan materi. Rumah-

rumah hancur,
penduduk terisolir, dan pelayanan dasar rusak. Sejumlah warga

kehilangan pekerjaan, panen hancur dan produksi pertanian

berhenti. Hewan domestik hilang, orang hilang, terluka atau

meninggal (PAN AMERICAN HEALTH ORGANIZATION

2008).

Ancaman bencana adalah suatu kejadian atau peristiwa

yang bisa menimbulkan bencana (Penanggulangan Bencana

2007). Bahaya (hazard) adalah kemungkinan terjadi suatu

fenomena yang menyebabkan kerusahan (PAN AMERICAN

HEALTH ORGANIZATION 2008). Definisi lain mengenai

hazard adalah sumber bahaya, suatu peristiwa yang hebat, atau

kemungkinan menimbulkan kerugian atau korban manusia.

Hazard dapat mengganggu kehidupan manusia, khususnya

penduduk yang mudah terserang bencana dan bahaya tersebut

dapat menyebabkan bahaya harta benda seseorang, kehidupan

dan juga kesehatan. Contoh hazard meliputi gempa bumi, banjir

atau konflik (Direktorat Jenderal Pelayanan Medik n.d.).

2. Kerawanan (susceptibility)
Kerawanan adalah tingkat keterpaparan terhadap risiko

(Direktorat Jenderal Pelayanan Medik n.d.). Rawan bencana

adalah kondisi atau karakteristik geologis, biologis, hidrologis,

klimatologis, geografis, sosial, budaya, politik, ekonomi, dan

teknologi pada suatu wolayah untuk jangka waktu tertentu yang

mengurangi kemampuan mencegah, merendam, mencapai

kesiapan, dan mengurangi kemampuan untuk menanggapi

dampak buruk bahaya tertentu (UU RI No.24 Tahun 2007

tentang Penanggulan Bencana).

3. Ketahanan (resilience)

Ketahanan (resilience) adalah sejauh mana masyarakat

mampu menahan kerugian (Direktorat Jenderal Pelayanan

Medik n.d.).

4. Kerentanan (vulnerability)

Kerentanan dalah tingkat kepasrahan struktur masyarakat,

jasa atau lingkungan yang mungkin mengalami kerusakan atau

terganggu oleh dampak sebuah bahaya. Misalnya, sebuah

masyarakat yang menghadapi potensi banjir (bahaya), apabila

masyarakat tersebut telah mempersiapkan diri dengan baik,

maka mereka telah menurunkan tingkat kerawanannya,

sehingga
penderitaan risiko banjir akan relatif lebih rendah. Kerentanan

merupakan kombinasi dari ketahanan (resilience) dan

kerawanan (susceptibility).

Kerentanan = ketahanan x kerawanan

Kerawanan tinggi x ketahanan rendah = tinggkat kerentanan

tinggi (keterpaparan terhadap risiko tinggi x kemampuan untuk

menahan kerugian rendah = kerentanan tinggi)

Kerawanan rendah x ketahanan tinggi = tingkat kerentanan

rendah (tingkat keterpaparan rendah x kemampuan untuk

menahan kerugian = kerentanan rendah)

Dengan kata lain, pada saat menentukan kerentanan

sebuah masyarakat terhadap dampak bahaya, maka perlu

menumbuhkan kemampuan masyarakat dan lingkungan tersebut

dalam usaha mnengantisipasi, penanggulangan dan pemulihan

bencana tersebut (Direktorat Jenderal Pelayanan Medik n.d.).

5. Risiko Bencana (disaster risk)

Risiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan

akibat bencana pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu

yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam,

hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan

harta, dan
gangguan kegiatan masyarakat (Penanggulangan Bencana

2007). Risiko bencana adalah suatu kecenderungan dimana

kerusakan akan melampaui kemampuan re4spon masyarakat

yang terkena bahaya. Ini merupakan suatu probabilitas kerugian

yang akan terjadi sebagai akibat dari peristiwa yang tidak

diharapkan. Risiko bencana adalah kombinasi dari bahaya dan

kerentanan.

Risiko bencana = Bahaya x Kerentanan

Pada International Strategy for Disaster Reduction tahun

2005 dikatakan bahwa “Disater risk arises when hazards

interact with physica, social, economic, and environmental

vulnerabilities”. Hal ini cukup menggambarkan persamaan

diatas.

Bahaya (hazard) merupakan fenomena yang bersalah dari

alam atau non-alam, tetapi kerentanan selalu merupakan

gambaran dari perencanaan, konstruksi dan pengembangan.

Maka, kemampuan respon suatu komunitas akan menentukan

suatu hazard menjadi kejadian darurat atau menjadi bencana.

Semakin tinggi ketahanan (resilience), semakin rendah kerugian

yang terjadi.

6. Bencana (disaster)
Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang

mengancam dan mengaangu kehidupan dan penghidupan

masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam dan/atau

faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga

mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan

lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis

(Penanggulangan Bencana 2007). Bencana dalah segala

kejadian yang menyebabkan kerugian, gangguan ekonomi,

kerugian jiwa manusia dan kemerosotan kesehatan dan

pelayanan kesehatan dengan skala yang cukup besar sehingga

memerlukan penangana yang lebih besar dari biasanya dari

masyarakat atau daerah luar yang tidak terkena dampak. Ada

tiga hal penting yang merupakan unsur suatu bencana, yaitu

fungsi normal dari masyarakat yang terganggu, bencana

melebihi kemampuan mekanisme penanggulangan dari

masyarakat dan gangguannya begitu besar sehingga ada

ketidakmampuan untuk kembali ke fungsi normal tanpa bantuan

dari luar. Dengan demikian, bencana menimbulkan sejumlah

masalah manajemen yang tidak dialami dalamk insiden sehari-

hari (Direktorat Jenderal Pelayanan Medik n.d.).


Suatu bencana terjadi sebagai suatu akibat dari interaksi

antara bahaya (hazard) dan masyarakat. Apabila sebuah bahaya

mengancam sebuah daerah terpencil atau terisoalasi dan tidak

mempengaruhi masyarakat, maka hal ini juga tidak bisa

dikatakan sebagai bencana. Sebagai contoh, suatu penyakit yang

merembak disuatu masyarakat yang memiliki infrastruktur

kesehatan publik dsn perawatan medis yang sudah siap untuk

menangani bencana, atau badai yang terjadi di tengah laut lepas,

maka hal tersebut bukan merupakan suatu bencana (Direktorat

Jenderal Pelayanan Medik n.d.).

Setiap masyarakat memiliki potensi bencana sendiri

berdasarkan hazard yang muncul serta keunikan kepekaan

masyarakat terhadap bencana dan kesiapan masyarakat tersebut

untuk merespon bencana tertentu. Misalnya, potensi bencana

terjadi apabila orang-orang tinggal didaerah yang rawan gempa

bumi, banjir tornado, dan peristiwa sejenis lainnya. Jika orang-

orang memutuskan untuk tidak tinggal didataran yang mudah

terkena banjir, maka tidak akan ada bencana banjir. Jika orang-

orang tidak tinggal disepanjang daerah gempa bumi, maka tidak

akan ada bencana gempa bumi. Oleh karena itu, program dan
langkah-langkah yang berhubungan dengan bencana dirancang

untuk menghincari bahaya atau risiko bagi masyarakat atau

untuk mengubah interkasi mereka.

7. Klasifikasi Bencana

Berdasarkan UU RI No.24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan

Bencana, bencana dibagi menjadi tiga jenis, yaitu:

a. Bencana alam

Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh

peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh

alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunjung

meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor.

b. Bencana non-alam

Bencana non-alam adalah bencana yang diakibatkan oleh

peristiwa atau rangkaian peristiwa non-alam yang antara

lain berupa gagal teknologi, gagal moderniasasi, epidemi,

dan wabah penyakit.

c. Bencana sosial

Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh

periatiwa atau rangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh


manusia yang meliputi konflik sosial antarkelompok atau

antarkomunitas masyarakat, dan teror.

Sedangkan dalam konteks kesiapsiagaan rumah sakit,

bencana dibagi menjadi dua, yaitu:

1. Bencana internal

Bencana internal adalah bencana yang berasal dari internal

rumah sakit dan menimpa rumah sakit dengan segala onjek

vitalnya yaitu pasien, pegawai, material dan dokumen.

2. Bencana eksternal

Bencana yang bersumber atau berasal dari luar rumah sakit

yang dalam waktu singkat mendatangkan korban bencana

dalam jumlah melebihi rata-rata/keadaan biasa sehingga

memerlukan penanganan khusus dan mobilisasi tenaga

pendukung lainnya (Mukti 2009).

8. Konsep Kesiapsiagaan

a. Pengertian Kesiapsiagaan
Menurut UU RI No. 24 Tahun 2007 tentang

Penanggulangan Bencana, definisi kesiapsiagaan adalah

serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi

bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah

yang tepat guna dan berdaya guna.

Kesiapsiagaan merupakan salah satu bagian dari

proses manajemen bencana. Dalam konsep pengelolaan

bencana yang berkembang saat ini, peningkatan

kesiapsiagaan merupakan salah satu elemen penting dari

kegiatan pengurangan risiko bencana yang bersifat pro-aktif,

sebelum terjadinya suatu bencana (Lembaga Ilmu

Pengetahuan Indonesia 2006).

Dalam jangka panjang diharapkan terjadinya proses

pergeseran paradigma, dari pendekatan kesiapsiagaan ke

pendekatan pencegahan dan mitigasi. Hal ini memerlukan

perubahan cara pandang dari tindakan-tindakan individual

ke pengembangan kebijakan dan arah dari pengambilan

keputusan (Lewis & Payant 2003).

b. Usaha Peningkatan Kesiapsiagaan


Dalam mengembangkan kesiapsiagaan dari suatu

masyarakat, terdapat beberapa aspek yang memerlukan

perhatian (Lewis & Payant 2003), yaitu:

1) Perencanaan dan organisasi: adanya arahan dan

kebijakan, perencanaan penanganan situasi darurat yang

tepat dan selalu diperbaharui serta struktur organisasi

penanggulangan bencana yang memadai.

2) Sumber daya: inventarisasi dari semua organisasi

sumber daya secara lengkap dan pembagian tugas dan

tanggungjawab yang jelas.

3) Koordinasi: penguatan koordinasi antar

lembaga/organisasi serta menghilangkan friksi dan

meningkatkan kerjasama antar lembaga/organisasi

terkait.

4) Kesiapan: unit organisasi penanggulangan bencana

harus bertanggung jawab penuh untuk memantau dan

menjaga standar kesiapan semua elemen.

5) Pelatihan dan kesadaran masyarakat: perlu adanya

perlatihan yang memadai dan adanya kesadaran


masyarakat serta ketersediaan informasi yang memadai

dan akurat (LIPI, 2006).

Untuk mendukung usaha-usaha peningkatan

kesiapsiagaan, diperlukan adanya unsur-unsur sebagai

berikut:

1) Kebijakan dan peraturan sebagai produk hukum yang

memadai.

2) Instansi/Unit penanggulangan Bencana yang permanen

dan bersifat spesialis untuk memantau dan menjaga

tingkat kesiapsiagaan.

3) Identifikasi, kajian dan pemantauan bentuk ancaman

bencana (sumber, kemungkinan korban, kerugian,

gangguan layanan, gangguan kegiatan ekonomi/sosial).

4) Perencanaan keadaan darurat (contingency planning),

melibatkan berbagai organisasi sumber daya, kejelasan

tugas dan tanggung jawab.

5) Pemanfaatan sumber daya, perlu inventarisasi semua

sumber daya yang ada secara up-to-date (LIPI, 2006).


c. Elemen-elemen Penting Kesiapsiagaan

Dalam mengembangkan dan memelihara suatu tingkat

kesiapsiagaan berbagai usaha perlu dilakukan untuk

mengadakan elemen-elemen penting berikut ini:

1) Kemampuan koordinasi semua tindakan (adanya

mekanisme tetap koordinasi).

2) Fasilitas dan sistem operasional.

3) Peralatan dan persediaan kebutuhan dasar atau suplai.

4) Pelatihan.

5) Kesadaran masyarakat dan pendidikan.

6) Informasi.

7) Kemampuan untuk menerima beban yang meningkat

dalam situasi darurat/krisis (LIPI, 2006).

Khususnya fasilitas dan sistem operasional dari suatu

kesiapsiagaan, perlu disediakan elemen-elemen berikut ini:

1) Sistem komunikasi darurat.

2) Sistem peringatan dini.

3) Sistem aktivasi organisasi darurat.

4) Pusat pengendalian operasi darurat sebagai pusat

pengelolaan informasi.
5) Sistem untuk survei kerusakan dan pengkajian

kebutuhan.

6) Pengaturan untuk bantuan darurat misalnya makanan,

perlindungan sementara dan pengobatan.

Fasilitas-fasilitas penting yang dibutuhkan untuk dapat

melaksanakan kegiatan tanggap darurat secara memadai

meliputi sarana-sarana antara lain (Diana et al. 2013):

1) fasilitas pertolongan darurat seperti SAR dan ambulans.

2) Rumah sakit / fasilitas kesehatan.

3) Pemadam kebakaran.

4) Pusat pengendalian operasi darurat.

5) Sistem komunikasi darurat, misalnya Telkom, operator

seluler, ORARI, RAPI, SSB atau jaringan internet.

6) Media informasi seperti radio siaran, televisi, dan

lainnya.

7) Sistem cadangan tenaga listrik.

8) Penyediaan air bersih darurat.

9) Jalur logistik darurat seperti jalan, jembatan, pelabuhan,

bandara atau stasiun kereta api.

10) Jalur pengungsian.


11) Bangunan umum yang aman untuk perlindungan seperti

sekolah dan masjid.

9. Siklus Manajemen Bencana

Didalam proses manajemen bencana yang

direpresentasikan sebagai model siklus, peningkatan

kesiapsiagaan merupakan bagian dari proses pengelolaan risiko

bencana.

Manajemen bencana bertujuan untuk mengurangi, atau

menghindari potensi kerugian akibat hazard, memastikan

bantuan yang sesuai sesegera mungkin untuk korban bencana

dan mencapai pemulihan yang cepat dan efektif. Siklus

manajemen bencana menggambarkan proses perencanaan

berkelanjutan oleh pemerintah dan masyarakat dan mengurangi

dampak bencana, reaktif pada saat dan segera setelah bencana

dan mengambil langkah-langkah pemulihan setelahnya.

Tindakan yang sesuai pada setiap fase dari siklus tersebut akan

menghasilkan kesiapsiagaan yang lebih baik, peringatan dini

yang lebih baik, pengurangan kerentanan dan pencegahan

bencana selama periode berikutnya dalam siklus. Siklus

manajemen bencana juga menggambarkan pembentukan

peraturan-peraturan umum dan


perencanaan yang selain memodifikasi kausa bencana juga

memitigasi efek bencana tersebut pada manusia, harta benda

dan infrastruktur (WARFIELD n.d.).

a. Mitigasi

Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi

risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun

penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi

ancaman bencana (Undang-undang No. 24 Tahun 2007

tentang Penanggulangan Bencana). Mitigasi bertujuan untuk

meminimalkan efek bencana. Tindakan-tindakan yang

dilakukan dalam mitigasi ini antara lain pembuatan zona

rawan bencana, manajemen penggunaan lahan, analisis

kerentanan dan edukasi masyarakat (WARFIELD n.d.).

Contoh tindakan mitigasi lain adalah perbaikan standar

bangunan, imunisasi, perencanaan sanitasi dan pembuangan

sampah (Direktorat Jenderal Peayanan Medik, 2007).

Aktivitas mitigasi mengurangi kemungkinan kejadian

bencana atau mengurangi dampak buruk bencana yang tidak

dapat dihindari. Upaya mitigasi sangat tergantung dari

tindakan-tindakan yang sesuai antara perencanaan nasional


dan perencanaan regional. Efektifitasnya juga tergantung

dari ketersediaan dan kecepatan penyampaian informasi saat

terjadi hazard dan risiko bencana (WARFIELD n.d.).

b. Kesiapsiagaan

Kesiapsiagaan berarti merencanakan bagaimana cara

merespon situasi bencana, misalnya dengan membuat

rencana kontijensi, latihan kedaruratan dan sistem

peringatan. Upaya-upaya yang dapat dilakukan antara lain

penyusunan prosedur dan mekanisme respon bencana,

latihan, pembuatan strategi jangka pendek dan jangka

panjang serta edukasi masyarakat. Kesiapsiagaan ini dapat

berbentuk kepastian penyediaan makanan, alat kesehatan,

air, obat-obatan dan persediaan penting lain yang digunakan

saat bencana. Tujuan program kesiapsiagaan bencana adalah

untuk mencapai tingkat kesiapan yang memuaskan terhadap

setiap situasi darurat melalui program-program yang

memperkuat rumah sakit secara teknis maupun manajerial

(Lewis & Payant 2003).

c. Prediksi dan peringatan dini


Prediksi dan peringatan dini merupakan tindak lanjut

dari kesiapsiagaan. Peringatan dini adalah serangkaian

kegiatan pemberian peringatan sesegera mungkin kepada

masyarakat tentang kemungkinan terjadinya bencana pada

suatu tempat oleh lembaga yang berwenang (Undang-

undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan

Bencana).

d. Assesment

Penilaian dampak hazard pada masyarakat dilakukan

oleh Tim Reaksi Cepat. Tim ini merupakan tim yang

diharapkan dapat segera bergerak dalam waktu 0-24 jam

setelah ada informasi kejadian bencana, terdiri dari tenaga

kesehatan seperti dokter, perawat, tenaga identifikasi korban

bencana, apoteker, tenaga epidemiolog dan petugas

komunikasi serta supir ambulans. Tim ini akan melakukan

Rapid Health Assesment atau penilaian cepat masalah

kesehatan, yaitu serangkaian kegiatan yang meliputi

pengumpulan informasi subyektif dan obyektif guna

mengukur kerusakan dan mengidentifkiasi kebutuhan dasar

penduduk yang menjadi korban dan memerlukan

ketanggapdaruratan segera. Kegiatan ini dilakukan secara


cepat karena harus dilakukan dalam waktu yang terbatas

selama atau segera setelah kedaruratan (DEPKES RI 2007).

e. Respon

Respon adalah usaha-usaha yang dilakukan untuk

meminimalkan bencana yang timbul oleh hazard, misalnya

dengan membentuk tim emergency relief atau tim respon

bencana (WARFIELD n.d.). Respon adalah upaya-upaya

yang dilakukan segera setelah terjadi bencana dengan tujuan

untuk menyelematkan jiwa, mengurangi tingkat kesakitan

akibat bencana dan mengurangi kerugian ekonomi, misalnya

evakuasi korban ke daerah yang aman dan penyediaan

makanan dan pakaian (MITHTHAPALA 2008). Rumah

sakit merespon bencana dengan mengaktifkan sistem

penanggulangan bencana, mengaktifkan sistem informasi

dan sistem manajemen sumber daya (Direktorat Jenderal

Pelayanan Medik n.d.).

f. Rehabilitasi
Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua

aspek pelayanan publik atau masyarakat sampai tingkat

yang memadai pada wilayah pascabencana dengan sarana

utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar

semua aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada

wilayah pascabencana (Undang-undang No. 24 Tahun 2007

tentang Penanggulangan Bencana).

g. Rekonstruksi

Rekonstruksi adalah pembangunan kembali semua

sarana dan prasarana, kelembagaan pada wilayah

pascabencana, baik pada tingkat pemerintahan maupun

masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan

berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial dan budaya,

tegaknya hukum dan ketertiban, dan bangkitnya peran serta

masyarakat dalam segala aspek kehidupan bermsyarakat

pada wilayah pascabencana (Undang-undang No. 24 Tahun

2007 tentang Pennaggulangan Bencana). Di rumah sakit,

dapat dilakukan peninjauan kembali dan perbaikan rencana

kontijensi (Direktorat Jenderal Pelayanan Medik n.d.).

10. Pendekatan Manajemen Bencana


Menurut Hyogo Framework for Action (2005) dijelaskan

bahwa:

“The systematic incorporation of risk reduction approaches


into the design and implememtation of emergency
preparedness, response and recovery programme is the
reconstruction of affected communities.”

Karakteristik pendekatan manajemen bencana yang efektif

memiliki empat karakteristik, yaitu:

d. Perencanaan tunggal untuk semua jenis hazard

Perencanaan manajemen bencana ini harus

menggunakan serangkaian kesepakatan yang telah disetujui

untuk mengatasi semua hazard. Daripada mengembangkan

rencana yang berbeda untuk setiap hazard, maka

perencanaan manajemen tunggal seharusnya diterapkan dan

dikembangkan untuk semua hazard yang dihadapi oleh

masyarakat.

e. Pendekatan komprehensif

Pendekatan yang menyeluruh dari semua fase

manajemen bencana yaitu mitigasi, kesiapan, respon, dan

pemulihan.

f. Keterpaduan antar instansi


Manajemen bencana yang efektif memerlukan

komitmen yang aktif antar semua instansi dan pejabat

berwenang yang terkait. Hal ini berarti bahwa semua

organisasi yang berperan harus bekerjasama di dalam

manajemen bencana.

g. Kesiapan masyarakat

Masyarakat harus menyadari adanya bahaya dan tahu

bagaimana cara melindungi diri mereka, keluarga dan

rumah mereka dari bencana. Jika individu dapat melakukan

langkah-langkah protektif terhadap bencana, maka hal ini

dapat memperkecil tingkat kerentanan mereka (Direktorat

Jenderal Pelayanan Medik n.d.).

2. Konsep Rumah Sakit Aman (Safe Hospital)

Safe hospital adalah fasilitas kesehatan yang dapat tetap

terakses dan berfungsi pada kapasitas maksimum, dan dalam

infrastruktur yang sama, selama dan segera setelah terkena

hazard (PAN AMERICAN HEALTH ORGANIZATION

2008).

Hilangnya fungsi adalah penyebab utama gangguan

pelayanan di rumah sakit setelah terjadi bencana. Bencana alam

bukan satu-satunya penyebab kolapsnya fungsi dan bangunan


fisik fasilitas kesehatan. Rumah sakit yang dibangun tanpa

memperhatikan natural hazard dan perawatan, sistemnya akan

berangsur-angsur menurun dengan berjalannya waktu. Namun,

kerentanan (vulnerability) fasilitas kesehatan dapat diturunkan

dengan dukungan peraturan-peraturan tertentu. Dalam

mendesain rumah sakit yang aman, ada tiga tujuan keselamatan:

a. Melindungi hidup pasien, penjenguk dan staf rumah sakit

b. Melindungi inventarisasi peralatan dan perabot

c. Melindungi penampilan fasilitas kesehatan

Tujuan strategi “rumah sakit selamat dari bencana” adalah

untuk memastikan bahwa rumah sakit tidak hanya tetap tegak

berdiri saat terjadi bencana, tapi juga bisa terus beroperasi

secara efektif tanpa gangguan. Kedaruratan memerlukan

peningkatan kapasitas perawatan, dan rumah sakit harus siapn

untuk menggunakan sumber daya yang ada secara optimal.

Rumah sakit juga harus memastikan ketersediaan personel-

personel terlatih untuk merawat korban bencana dengan kualitas

yang baik (PAN AMERICAN HEALTH ORGANIZATION

2008).

11. Lokasi Geografis Rumah Sakit


Analisis lokasi geografis fasilitas memungkinkan bahaya

yang akan dinilai dalam kaitannya dengan keadaan darurat

sebelumnya dan bencana yang terjadi di zona, dan tempat dan

jenis tanah tempat fasilitas kesehatan telah dibangun. Bencana

alam dan antropogenik harus diperhitungkan. Aspek ini dibagi

menjadi dua kategori: Bahaya dan sifat geoteknik tanah (Lucas

et al. 2013).

Komite bencana rumah sakit harus diminta untuk

menyediakan terlebih dahulu peta atau peta yang menentukan

bahaya di zona. Apabila tidak ada peta, entitas lokal lainnya

harus didekati, seperti multi-sektoral badan pengurangan risiko,

misalnya, Perlindungan Sipil atau Pertahanan, Komisi Darurat

dll Hal ini diperlukan untuk menganalisis informasi ini untuk

mengevaluasi keselamatan fasilitas di sekitarnya dalam

kaitannya dengan bahaya. Ini adalah fundamental bagi tim

evaluasi dan komite rumah sakit karena mereka akan

menetapkan batas-batasevaluasi sehubungan dengan hal-

hal berikut, mengoreksi pengaturan keluar "faktor

terhadap yang fasilitas harus aman", mengingat frekuensi,

besaran dan intensitas

fenomena destruktif (bahaya) dan sifat geoteknik tanah.


Ini titik evaluasi tidak meminjamkan dirinya untuk

pengukuran, juga tidak merupakan bagian dari perhitungan

indeks keamanan rumah sakit. Namun demikian, hal ini berguna

untuk menilai masing-masing variabel tepat, dengan

mempertimbangkan lingkungan dan konteks daerah di mana

rumah sakit adalah

Berada (PAN AMERICAN HEALTH ORGANIZATION 2008).

Lokasi geografis akan menentukan hazard yang

kemungkinan besar terjadi di daerah tersebut. Kemungkinan

hazard antara lain bersumber dari:

a. Geologis

1) Gempa bumi

Menilai tingkat bahaya rumah sakit dalam hal analisis

tanah geoteknik.

2) Letusan gunung berapi

Mengacu pada peta bahaya daerah untuk menilai

eksposur rumah sakit terhadap bahaya dalam hal

kedekatannya untuk gunung berapi, aktivitas gunung

berapi, lintasan lava, dan abu jatuh.

3) Longsor
Lihat peta bahaya untuk menilai tingkat bahaya rumah

sakit dalam hal tanah longsor yang disebabkan oleh

tanah yang tidak stabil (antara penyebab lainnya).

4) Tsunami

Lihat peta bahaya untuk menilai tingkat bahaya rumah

sakit dalam hal tsunami sebelumnya peristiwa yang

disebabkan oleh aktivitas seismik atau gunung berapi

bawah laut.

5) Lain-lain (sebutkan)

Lihat peta bahaya untuk mengidentifikasi fenomena

geologi lain yang tidak tercantum di atas. Tentukan

bahaya dan menilai tingkat bahaya yang sesuai untuk

rumah sakit.

b. Hidrometeorologis

c. Sosial

d. Lingkungan

e. Kimia atau teknologi

12. Keamanan Struktural


Mengevaluasi keamanan struktural fasilitas melibatkan

penilaian dari jenis struktur, bahan, dan paparan sebelumnya

terhadap bencana alam dan lainnya. Tujuannya adalah untuk

menentukan apakah struktur memenuhi standar untuk

memberikan pelayanan kepada penduduk bahkan dalam kasus

bencana besar, atau apakah itu bisa berdampak dengan cara

yang akan membahayakan integritas struktural dan kapasitas

fungsional.

Keselamatan dalam hal peristiwa sebelumnya melibatkan

dua elemen. Yang pertama adalah apakah fasilitas telah terkena

bencana alam di masa lalu, dan kerentanan relatif terhadap

bahaya alam. Kedua, evaluator harus menentukan bagaimana

fasilitas dipengaruhi atau rusak di masa lalu dan bagaimana

kerusakan itu ditujukan.

Evaluator mencoba untuk mengidentifikasi potensi risiko

dalam hal jenis desain, struktur, bahan bangunan, dan kritis

komponen struktur.

Sistem struktur dan kualitas dan kuantitas bahan

konstruksi memberikan stabilitas dan ketahanan bangunan

terhadap kekuatan alam. Membuat penyesuaian dalam struktur

untuk
sebuah fenomena yang diberikan sangat penting, karena solusi

struktural dapat berlaku untuk badai tetapi tidak untuk gempa

bumi (Lewis & Payant 2003).

a. Kondisi-kondisi terdahulu yang mempengaruhi tingkat

keselamatan bangunan rumah sakit, misalnya bangunan

rusak karena banjir yang telah lampau, atau bangunan yang

tidak sesuai standar keamanan dan renovasi yang mengubah

struktur bangunan.

b. Kondisi struktural bangunan saat ini dan tipe material yang

digunakan

1) Kondisi dari bangunan

Kondisi bangunan berkaitan erat dengan jenis

bahan konstruksi yang digunakan untuk elemen

struktural. Retak dapat terjadi karena berbagai hal,

beberapa menunjukkan sesuatu yang serius (desain,

overload) dan yang lainnya tidak (perubahan volume).

Hal ini juga penting untuk menilai lokasi celah-celah

dan sudut mereka untuk menentukan kondisi bangunan.

2) Bahan konstruksi yang digunakan

3) Interaksi antara lemen non struktural dan struktural


4) Kedekatan bangunan

Bangunan yang erat spasi dapat menyebabkan

masalah yang berbeda tergantung pada kekuatan-

kekuatan yang mempengaruhi mereka. Sebagai contoh,

dalam kasus gempa, bangunan yang terlalu dekat jarak,

tergantung pada ketinggian mereka, dapat memukul satu

sama lain sampai salah satu atau kedua runtuh. Dalam

kasus badai, ada efek terowongan angin antara bangunan

yang berdekatan. Tekanan dari angin dapat membangun

sekitar bagian tertentu dari struktur, menempatkan

kekuatan jauh lebih besar daripada beban yang

bangunan bertingkat dirancang.

5) Redundansi struktural

Redundansi adalah bagian normal dari sistem

struktural, dan sangat penting untuk keselamatan

bangunan rumah sakit. Evaluasi ini bertujuan untuk

memastikan bahwa rumah sakit dapat menahan gaya


lateral yang disebabkan oleh gempa bumi dan angin topan

dalam dua arah orthogonal utama bangunan.

6) Merinci struktural termasuk koneksi

Sendi untuk komponen struktural adalah salah satu

elemen desain yang paling penting untuk beban lateral,

terutama bila disebabkan oleh gempa bumi. Meskipun

tahun pembangunan gedung, evaluator harus mencoba

untuk menentukan karakteristik sendi baik melalui

pengamatan di tempat dan dengan meninjau rencana

struktural, dan mengembangkan kriteria yang jelas bagi

mereka, terutama di daerah seismik

7) Keselamatan pondasi

Pondasi adalah elemen struktur yang paling sulit

untuk mengevaluasi karena mereka tidak dapat diakses

atau dilihat. Dan untuk menambah kesulitan ini, rencana

yang sesuai untuk yayasan sering tidak tersedia. Jika

fasilitas tua rencana mungkin tidak dalam diarsipkan

baik dalam pemerintahan atau departemen

pemeliharaan. Dalam beberapa kasus rencana

mungkin dengan
perusahaan konstruksi yang telah melakukan penelitian

untuk tujuan ekspansi, renovasi, atau perbaikan.

8) Penyimpangan dalam rencana

9) Penyimpangan tinggi

10) Ketahanan struktural untuk berbagai fenomena

11) Keamanan Non-Struktural

Kegagalan elemen non-struktural biasanya tidak

menempatkan stabilitas bangunan beresiko, tetapi bisa

membahayakan orang dan isi bangunan. Evaluator

menentukan apakah elemen-elemen ini bisa

memisahkan, jatuh, atau ujung yang bisa berdampak

pada elemen struktural penting. Evaluator akan

memverifikasi stabilitas elemen non-struktural (yang

diberikan oleh, misalnya, mendukung, jangkar, dan

penyimpanan yang aman) dan apakah peralatan dapat

berfungsi selama dan setelah bencana (misalnya, apakah

ada katup pengaman untuk tangki air cadangan dan

alternatif koneksi ke jaringan, dll). Analisa ini meliputi

keamanan jaringan kritis (misalnya, sistem air, listrik,

komunikasi), panas, ventilasi, dan pendingin udara

(HVAC) sistem di daerah


kritis, dan peralatan diagnostik dan perawatan medis

(PAN AMERICAN HEALTH ORGANIZATION 2008).

Elemen arsitektur seperti facings, pintu, jendela, dan

cantilevers dievaluasi untuk menentukan kerentanan mereka

terhadap air dan dampak dari benda terbang. Keamanan akses

ke fasilitas dan perawatan traffi internal dan eksternal

diperhitungkan dalam bagian ini, bersama dengan sistem

pencahayaan, sistem proteksi kebakaran, langit-langit palsu, dan

komponen lainnya.

a. Sistem penting

1) Sistem listrik

a) Generator memiliki kapasitas untuk memenuhi

100% dari permintaan

b) Tes rutin kinerja pembangkit dilakukan di daerah

kritis

c) Generator dilindungi dari kerusakan akibat

fenomena alam

d) Keamanan peralatan listrik, kabel, dan saluran kabel

e) Sistem berlebihan untuk catu daya listrik lokal


f) Perlindungan panel kontrol, kelebihan breaker

switch, dan kabel

g) Sistem pencahayaan untuk area kritis rumah sakit

h) Sistem listrik eksternal diinstal pada halaman rumah

sakit

2) Sistem telekomunikasi

a) Kondisi antena dan antena bracing

b) Kondisi sistem tegangan rendah (koneksi / kabel

internet dan telepon)

c) Kondisi sistem komunikasi alternatif

d) Kondisi jangkar dan kawat gigi untuk peralatan

telekomunikasi dan kabel

e) Kondisi sistem telekomunikasi eksternal diinstal

pada halaman rumah sakit

f) Situs memiliki kondisi yang memadai untuk sistem

telekomunikasi

g) Keamanan sistem komunikasi internal

3) Sistem persediaan air

4) Persediaan bahan bakar

5) Gas medis
b. Sistem HVAC (Heating, Ventilation and Air-conditioning)

c. Perabot dan peralatan kantor

d. Peralatan medis dan laboratoris

e. Elemen arsitektural

3. Kapasitas Fungsional Rumah Sakit

Kapasitas fungsional rumah sakit adalah kesiapan rumah

sakit untuk merespon situasi bencana dari segi sistem

penanggulangan bencana rumah sakit, pusat komando bencana,

rencana kontijensi, standard operating procedure pada berbagai

bencana, rencana operasional, pemeliharaan preventif, dan

pemulihan layanan penting dan ketersediaan obat-obatan, alat

kesehatan, instrumen dan peralatan darurat lain (PAN

AMERICAN HEALTH ORGANIZATION 2008).

a. Sistem komando penanggulangan bencana dan pusat

komando

1) Sistem komando telah secara resmi dibentuk untuk

mennaggapi keadaan darurat atau bencana besar.

Istilah ini dapat dibedakan antara satu rumah sakit

dengan rumah sakit lain. Sistem Komando Bencana

Rumah Sakit (atau biasa dikenal dengan “Komite

Kegawatdaruratan
dan Bencana” atau “Komite Reduksi Resiko”) adalah

organisasi atau kesatuan yang ada di rumah sakit yang

bertanggung jawab untuk mengatur, menilai dan

mengkoordinasikan aktivitas-aktivitas rumah sakit

dalam periode sebelum, selama dan setelh terjadinya

bencana, dengan partisipasi seluruuh karyawan rumah

sakit. Komite ini harus sudah dibentuk dan diresmikan

sebelum ecaluasi diadakan.

2) Keanggotaan sistem komando bersifat disiplin.

Struktur sistem komando harus merefleksikan struktur

rumah sakit yang biasanya, namun secara umum

keanggotaannya harus terdiri dari direktur rumah sakit,

kepala UGD, kepala keperawatan, direktur pelayanan

medik, kepala bagian pemeliharaan dan transportasi,

kepala bagian keamanan, perwakilan dari bagian SDM,

humas dan staf-staf rumah sakit lain yang diperlukan

(PAN AMERICAN HEALTH ORGANIZATION

2008).

3) Setiap anggota mengetahui tanggung jawab khususnya.


Seluruh anggota tim memiliki tugasnya masing-masing.

Mereka harus tahu dan dapat menjabarkan tugasnya

melalui tulisan secara detail.

4) Ruang yang digunakan sebagai pusat Komando.

Fungsi utama dari Pusat Komando adalah koordinasi

perencanaan anatara pos-pos komando, pihak rumah

sakit dan yuridiksi pemerintah.

5) Pusat Komando berada dalam lokasi yang terlindung

dan aman.

Yang harus dipertimbangkan dalam hal ini adalah

kemudahan dalam menjangkau Pusat Komando, aman

dan keterlindungan dari pengaruh hazard.

6) Pusat Komando mempunyai komputer dan sistem

komputer.

Evaluator harus memeriksa adanya internet dan intranet,

yaitu jaringan komputer yang menghubungkan Pusat

Komando dengan bagian lain di rumah sakit.

7) Sistem komunikasi internal dan eksternal berfungsi

dengan baik.
Tujuan penting saat perencanaan komunikasi adalah

untuk mengirimkan informasi yang tepat pada orang

yang tepat di saat yang tepat pula. Ini seharusnya

dilaukan dengan dormat yang mudah dimengerti.

Komunikasi disebutkan sering menjadi salah satu

masalah yang paling sulit saat terjadi bencana. Rencana

kontijensi juga harus mengatur bagaimana cara

penyampaian onformasi kepada staf selama dan setelah

bencana (Counts 2001).

8) Pusat Komando mempunyai sebuah sistem komuniikasi

aternatif.

Jika sistem penatalaksanaan korban bencana telah

berjalan dengan baik akan dijumpai hubungan

komunikasi nyang konstan anatara pos komando rumah

sakit, pos medis lanjutan dan pos komando lapangan.

Dalam lingkungan rumah sakit, perlu adanya aliran

informasi yang konstan anatara tempat triase, unit-unit

perawatan utama dan pos komando rumah sakit.

Ambulans harus menghubungi tempat triase rumah sakit

lima menit sebelum ketibaannya di rumah sakit

(DEPKES RI 2007).
9) Pusat Komando mempunyai peralatan dan perabot yang

memadai

Perabot yang dimaksud anatara lain adalah meja, kursi,

sambungan listrik, penerangan, persediaan air, dan

drainase (PAN AMERICAN HEALTH

ORGANIZATION 2008).

10) Buku alamat telepon yang terbaru tersedia di Pusat

Komando.

Dalam rencana kontijensi baru harus terdapat sebuah

daftar telepon yang akan digunakan saaat darurat

(Counts 2001). Peneliti akan secara acak memeriksa

nomor telepon yang tersedia di Pusat Komando.

11) “Kartu Tugas” tersedia bagi semua personalia.

Kartu tugas menggambarkan tugas yang diberikan pada

setiap anggota staf rumah sakit seandainya ada bencana

internal maupun eksternal.

b. Rencana kontijensi
Rencana kontijensi adalah suatu perencanaan ke depan

pada keadaan yang tidak menentu dengan skenario dan

tujuan yang telah disepakati, teknik, manajemen, dan

pelaksanaan yang ditetapkan bersama serta sistem

penanggulangan yang telah ditentukan untuk mencegah dan

meningkatkan cara penanggulangan keadaan darurat

(DEPKES RI 2007). Sedangkan karakteristik rencana

kontijensi yang baik adalah:

1) Rencana harus mudah untuk dimengerti dan disebar

secara luas.

2) Rencana harus bersifat fungsional, sangat fleksibel dan

mudah diimplementasikan agar dapat disesuaikan

dengan berbagai jenis situasi dan keadaan.

3) Dalam pengembangan rencana, harus dipertimbangkan

variasi pandangan dari dokter, keperawatan, teknisi, staf

pendukung dan pasien. Berbagai pendapat dari lembaga

pelayanan masyarakat dan otoritas daerah setempat juga

harus diperhatikan.

4) Rencana harus ditulis dan perbaharui setiap tahun.

Rencana harus menjamin adanya sumber daya dan


personel yang berpengetahuan, terlatih dan siap untuk

melahksakan rencana kontijensi.

5) Rencana harus bersifat mehnyeleuruh, diaplikasikan

untuk bencana internal maupun eksternal dengan tingkat

keparahan sedang dan berat.

6) Rencana harus dikoordinasikan dengan unit-unit lain di

dalam rumah sakit sehingga kelanjutan perawatan pasien

dapat dilakukan selama periode bencana.

7) Rencana harus memiliki stempel dari otoritas rumah

sakit. Rencana ini menggambarkan figur otoritas sentral

dan meletakan tanggun jawab yang didelegasikan

kepada orang-orang tertentu secara spesifik (Counts

2001).

Yang termasuk dalam penilaian rencana kontijensi

adalah:

a) Memeprkuat layanan rumah sakit yang penting.

Rencana kontijensi harus merinci tindakan

yang diambil sebelum, selama dan setelah bencana

di layanan penting rumah sakit, misalnya ruang

darurat, ICU, unit sterilisasi, ruang operasi, dan

sebagainya.
b) Prosedur untuk mengaktifkan dan menon-aktifkan

rencana kontijensi.

c) Prosedur administratif (kontak personalia) khusus

untuk bencana.

Rumah sakit juga harus memiliki prosedur

dalam merekrut tenaga kerja dari luar saat terjadi

bencana.

d) Sumber dana untuk keadaan darurat dianggarkan dan

dijamin.

Rumah sakit harus memiliki anggaran khusus

untuk keperluan saat situasi bencana. Konfirmasi

sumber daya keuangan antara lain:

(1) Anggaran yang cukup untuk

menginplementasikan rencana kontijensi.

(2) Anggaran tunai tersedia untuk pengeluaran-

pengeluaran yang bersifat segera dan terdapat

daftar pemasok untuk rumah sakit.

(3) Jumlah dan ketersediaan alat-alat elekttromedik

telah diketahui.
(4) Sumber-sumber finansial tambahan untuk

kedaruratan dikalkulasi setahun sekali,

berdasarkan tingkat kerentanan daerah rumah

sakit berada, potensial gazard bagi rumah sakit

dan pengalaman-pengalaman bencana terdahulu

(PAN AMERICAN HEALTH

ORGANIZATION 2008).

e) Prosedur untuk memeprluas ruang yang bisa

digunakan, termasuk ketersediaan tenpat tidur

tambahan.

Rencana kontijensi harus mengidentifikasi

ruang-ruang fisik yang bisa dilengkapi untuk

menangani korban luka dan meninggal massal.

f) Prosedur penerimaan (admisis) ke IGD.

Tempatpenerimaan korban di rumah sakit

adalah tempat dimana triase dilakukan. Untuk hal itu

dibutuhkan akses langsung dengan tempat dimana

ambulans menurunkan korban, merupakan tempat

yang tertutup, dilengkapi dengan penerangan yang

cukup dan memiliki akses yang mudah ke


temoatperawatan utama seperti IGD, kamar operasi,

dan unit perawatan intensif (DEPKES RI 2007).

Rencana kontijensi harus merinci tempat dan

personalia yang bertanggung jawab melaksanakan

triase.

g) Prosedur untuk memperluas IGD.

Jika penatalaksanaan pra rumah sakit berjalan

efisien, jumlah korban yang dikirim ke rumah sakit

akan terkontrol sehingga setelah triase korban dapat

segera dikirim ke unit perawatan yang sesuai dengan

kondisi mereka. Tapi jika hal ini gagal akan banyak

korban yang dibawa ke rumah sakit sehingga

korban- korban tersebut harus di tampung terlebih

dahulu dalam suatu ruangan sebelum dapat

dilakukan triase. Dalam situasi seperti ini daya

tampung rumah sakit akan terlampaui (DEPKES RI

2007). Rencana kontijensi harus menunjukkan

tindakan yang diperlukan untuk memperluas layanan

rumah sakit (PAN AMERICAN HEALTH

ORGANIZATION 2008).
h) Prosedur untuk melindungi rekam medis pasien.

i) Pemeriksaan keselamatan reguler (penanggulangan

kebakaran) dilakukan oleh pihak berwenang.

j) Prosedur surveilans epidemiologis rumah sakit.

k) Prosedur penempatan sementara mayat dan untuk

kedokteran forensik.

Sebagai bagian dari penatalaksanaan korban

bencana, di rumah sakit harus disiapkan suatu

ruangan yang dapat menampung sedikitnya sepuluh

korban meninggal dunia (DEPKES RI 2007).

l) Prosedur triase, resusitasi, stabilisasi dan perawatan.

m) Dukungan transportasi dan logistik.

n) Jatah makanan bagi staf rumah sakit pada keadaan

darurat.

Harus ada rencana untuk memenuhi kebuthan

makan staf ambulans, jatah makanan ekstra untuk

pasien, karyawan dan semua orang yang bertugas

saat darurat bencana.

o) Kewajiban yang ditugaskan bagi personalia

tambahan yang dikerahkan selama keadaan darurat.


Beberapa staf rumah sakit mungkin cedera dan

beberapa lainnya mungkin tidak dapat menjangkau

rumah sakit. Selama bencana, staf rumah sakit

mungkin lebih meperhatikan keselamatan keluarga

dan barang-barangnya dan tidak masuk kerja atau

meninggalkan rumah sakit dengan atau tanpa

melapor. Sebuah rencana kontijensi akan dapat

berjalan hanya bila jumlah stafnya adekuat. Selama

bencana, sukarelawan yang memiliki pengetahuan

tentang fungsi internal rumah sakit dan lay-out

rumah sakit mungkin dapat membantu. Misalnya

anggota keluarga staf yang ikut ke rumah sakit dapat

menjawab telepon dan menerima pesan. Bila

sukarelawan diatur dengan baik, mereka dapat

banyak membantu, sebaliknya bila tidak, mereka

akan menjadi hambatan (Counts 2001).

p) Kepastian kesejahteraan personalia tambahan yang

dikerahkan selama keadaan darurat.

Selama dan segera setelah bencana, kebuthan

fisik dan mental staf rumah sakit menjadi sangat


besar. Sangat penting untuk mengingatkan staf afar

mereka beristirahat dan mengasup nutrisi yang

cukup. Reaksi stres mereka juga perlu dievaluasi

(Counts 2001).

q) Pengaturan kerja sama dengan rencana

penanggulangan bencana lokal (daerah).

Tugas utama dari sistem komando ini adalah

untuk mengarahkan pengembangan sebuah rencana

yang mengintegrasikan manajemen risiko bencana

dan respon kedaruratan. Diantara tanggung

jawabnya adalah sistem komando menentukan

standar dan fungsi respon bencana internal,

mengadakan pelatihan yang berkelanjutan bagi staf

rumah sakit dan melakukan integrasi dengan

komunitas masyarakat yang dilayaninya.

r) Mekanisme sensus pasien masuk.

Rumah sakit harus memiliki formulir khusus

sebagai fasilitas pendataan pasien selama darurat.

s) Sistem rujukan dan perujukan balik pasien.

t) Prosedur komunikasi publik dan media.


u) Prosedur untuk tanggap pada jam kerja malam, akhir

pekan dan hari libur.

Rencana kontijensi harus mengatur bagaimana

respon darurat dilakukan saat malam hari, akhir

pekan dan hari libur.

v) Prosedur evakuasi fasilitas.

Rencana kontijensi harus mengatur bagaimana

rencana evakuasi pasien, pengunjung dan staf dari

rumah sakit (bila evakuasi rumah sakit diperlukan).

w) Jalur darurat dan jalur keluar lain mudah dijangkau.

x) Simulasi dan drill.

c. Rencana darurat untuk penanganan medis pada berbagai

bencana

Rumah sakit harus memiliki rencana kontijensi untuk

msding-msding jenis bencana:

1) Gempa bumi, tsunami, gunung berapi, dan tanah longsor.

2) Konflik sosial dan terorisme.

3) Bajir dan badai.

4) Kebakaran dan ledakan.


5) Kecelakaan bahan kimia atau terkena radiasi yang

mengionisasi.

6) Patogen dengan potensi epidemik.

7) Penanganan psiko-sosial bagi pasien, keluarga dan

petugas kesehatan lainnya.

8) Kontrol infeksi nosokomial.

d. Rencana operasional, pemeliharaan preventif, dan

pemulihan pelayanan kesehatan

1) Persediaan listrin dan generator cadangan

Lokasi panel kontrol dan saluran distribusi listrik

internal dan eksternal harus ditulis. Listrik adalah sistem

yang pertama kali tidak berfungsi pada badai besar,

yang membuat cadangan listrik menjadi prioritas utana.

Generator dan suplai bahan bakarnya harus ditempatkan

di atas level ketinggian air saat banjit dan harus

memiliki kapasitas yang adekuat untuk mengoperasikan

tidak hanya peralatan medik tetapi juga AC dalam

jangka waktu yang cukup lama

e. Persediaan air minum


Dalam rangka pemenuhan kebuthan akan air secara

keseluruhan, bagi fasilitas pelayanan kesehatan dalam

rangka melayani korban bencana, volume air bersih perlu

disediakan di rumah sakit adalah 50 liter/orang/hari. Bila

sumber air diperoleh dari PDAM atau sumber lain yang

cukup jauh, harus dilakukan pengangkutan dengan mobil

tangki air. Untuk pengolahan dapat menggunakan alat

penyuling air (DEPKES RI 2007).

f. Cadangan bahan bakar

g. Persediaan gas medis

Bila fasilitas kesehatan memiliki suplai gas, sangat

penting untuk mengetahui lay-out pipa dan lokasi katup

kemanannya. Gas harus dimatikan karena risiko kebakaran.

Perawatan tertentu juga harus dilakukan untuk mencegah

kebocoran yang dapat menyebabkan ledakan. Oksigen harus

selalu terjaga dengan aman dan disimpan dengan baik.

Bahan kimia seperti formaldehid harus dilabel dan disimpan

dengan daftar keamanan bahan kimia (Counts 2001).

h. Sistem komunikasi standar


Salah satu alternatif komunikasi yang mungkin

dilakukan di dalam rumah sakit adalah sebuah papan buletin

yang diletakan di tengah rumah sakit dimana pesan-pesan

tertentu dapat diletakkan di sana. (Counts 2001).

i. Pengelolaan limbah cair

Rencana kontijensi juga harus menunjukkan lokasi

drainase, selokan dan tempat pembuangan limbah padat.

Biasanya dalam periode bencana, pembuangan sampah

secara normal mungkin terganggu selama beberapa minggu.

Salah satu cara mengatasinya adalah dengan menggunakan

truk yang membawa sampah tersebut untuk dibuang dan

diolah ti tempat lain yang lebih baik. Dalam sistem

pengolahan air limbah, rumah sakit harus mampu

menguraikan sistem pengolahan air limbah, jumlah fasilitas

pengolahan air limbah dan pengaturan pengolahan air

limbah melalui prosedur tetap atau Standard Operating

Procedure (Adisasmito, 2009). Divisi pemeliharaan harus

memastikan bahwa air limbahrumah sakit mengalir ke

sistem pembuangan air publik dan tidak mencemari air

minum.

j. Pengelolaan limbah padat


Sebagian besar pengelolaan limbah medis dari rumah

sakit, puskesmas, dan laboratorium masih jauh di bawah

standar kesehatan lingkungan, karena umumnya dibuang

begitu saja ke tempat pembuangan akhir (TPA) sambah

dengan sistem dumping (tempat sampah terbuka). Padahal,

limbah medis semestinya dibakar menjadi abu di

incenerator (tempat pembakaran) yang bersuhu minimal

12000C. Divisi pemeliharaan harus menyediakan buku

petunjuk operasional untuk pengelolaan limbah padat dan

catatan yang menunjukkan pengumpulan limbah dan

pembuangan selanjutnya.

k. Pemeliharaan sistem penanganan kebakaran

Sistem perlindungan bahaya kebakaran di rumah sakit,

dengan merencanakan pintu keluar darurat, sistem

peringatan bahaya, sumber air terdekat dan perawatan alat

pemadam kebakaran (ARYAWAN 2002). Divisi

pemeliharaan harus menyediakan buku petunjuk operasional

untuk sistem pelindung kebakaran dan cataatan yang

menunjukkan pemeliharaan preventif pada tabung pemadam

kebakaran dan
saluran hidran. Harus diperiksa bahwa hal berikut ini sesuai

dengan:

a) Buku petunjuk dan pelatihan pada pengelolaan sistem

perlingdungan kebakaran tersedia. Ada catatan

pemeliharaan pencegahan alat pemadam dan hidran.

b) Perlengkapan harus ditemukan di tempat yang dan dapat

diakses secara bebas.

c) Selang air tersambung dengan benar pada katup pada

kabinet untuk hidran.

d) Jaringan pipa, pompa dan tambahannya secara eksklusif

untuk hidran.

e) Jaringan hidran mempunyai tangki air sendiri.

f) Pasukan pemadam api sudah didirikan.

g) Ada personalia yang telah diberikan pelatihan dan

latihan telah dilaksanakan.

h) Tersedia perencanaan tindakan.

i) Bahan cair yang mudah terbakar tersimpan di tempat

aman yang digunakan secara ekslusif untuk zat-zat ini.

Penting untuk memastikan bahwa aktifitas yang

diberikan pada pasukan untuk mengendalikan dan

meredakan
kebakaran dilaksanakan sesuai dengan rencana. Secara

umum, layanan pemeliharaan bertanggung jawab atas

pasukan ini dan sekurang-kurangnya terdiri dari 10 orang

dari shift yang berbeda. Pasukan ini membuatbuletin dengan

rekomendasi dasar untuk mengjhindari kebakaran dan

melakukan kunjungan ke daerah risiko dan mengidentifikasi

rute evakuasi.

l. Ketersediaan obat-obatan, alat kesehatan, instrumen dan

peralatan lain untuk digunakan dalam keadaan darurat

a) Persediaan obat-obatan

Penyediaan obat dalam situasi bencana merupakan

salah satu unsur penunjang yang sangat penting dalam

pelayanan kesehatan pada saat bencana. Oleh karena itu,

diperlukan adanya persediaan obat dan perbekalan

kesehatan sebagai penunjang bila terjadi bencana mulai

dari tingkat kabupaten, provinsi dampai pusat.

Pengaturan dan pendistribusian obat dan perbekalan

kesehatan adalah sebagai berikut:

b) Posko kesehatan langsung meminta obat dan perbekalan

kesehatan kepada Dinas Kesehatan setempat.


c) Obat dan perbekalan kesehatan yang tersedia di Pustu

dan Puskemsmas dapat langsung dimanfaatkan untuk

melayani korban bencana, bila terjadi kekurangan minta

tambahan ke Dinkes Kab/Kota (Instalasi Farmasi

Kab/Kota).

d) Dinkes Kab/Kota menyiapkan obat dan perbekalan

kesehatan selama 24 jam untuk seluruh sarana kesehatan

yang melyanai korban bencana baik di Puskesmas, pos

kesehatan, RSU, sarana kesehatan TNI dan POLRI

maupun swasta.

e) Bila persediaan obat di Dinkes Kab/Kota mengalami

kekurangan dapat segera minta kepada Dinkes Provinsi

atau Depkes Pusat Penanggulangan Krisis berkoordinasi

dengan Ditjen Binfar dan Alkes.

Prinsip dasar dari pengelolaan obat dan perbekalan

kesehatan pada situasi bencana adalah harus cepat, tepat

dan sesui kebutuhan.

f) Alat kesehatan dan bahan-bahan lain

Unit sterilisasi mempunyai persediaan bahan-

bahan yang steril untuk digunakan dalam keadaan

darurat dan
persediaan yang dipersiapkan untuk keesokan harinya

(PAN AMERICAN HEALTH ORGANIZATION 2008).

g) Persediaan instrumen

Keberadaan dan pemeliharaan peralatan-peralatan

khusus yang dipakai dalam keadaan darurat juga penting

untuk dinilai, minimal untuk 72 jam pertama.

h) Gas medis

Terdapat nomor telepon dan alamat penyedia gas

medis dan pastikan ketersediaannya dalam keadaan

darurat.

i) Ventilator

Rumah Sakit harus menyediakan dokumentasi

kuantitas dan kondisi penggunaan perlengkapan ini dan

menilai tingkat keamanan menurut ketersediaan alat ini

saat bencana.

j) Perlengkapan elektro-medis

Rumah Sakit harus menyediakan dokumentasi

kuantitas dan kondisi penggunaan perlengkapan ini

(PAN AMERICAN HEALTH ORGANIZATION

2008).

k) Perlengkapan pendukung kehidupan


Rumah Sakit harus menyediakan dokumentasi

kuantitas dan kondisi penggunaan perlengkapan ini dan

menilai tingkat keamanan menurut ketersediaan alat ini

saat bencana.

l) Alat Pelindung Diri untuk epidemik (dapat dibuang)

Periksalah persediaan perlengkapan alat pelindung

diri milik rumah sakit untuk staf yang bekerja di daerah

kontak dan penanganan awal.

m) Alat defibrilasi untuk kegagalan sistem jantung dan

paru- paru

Komite bencana Rumah Sakit harus menyediakan

dokumentasi kuantitas dan kondisi penggunaan

perlengkapan dan lokasi alat defibrilasi untuk

penanganan kegagalan sistem jantung dan paru-paru.

n) Kartu triase untuk korban luka dan meninggal massal

Bagian darurat mendistibusikan dan menggunakan

kartu triase seandainya terjadi korban luka dan

meninggal massal (PAN AMERICAN HEALTH

ORGANIZATION 2008).
E. Hasil Penelitian Terdahulu

Penilaian tingkat keaman rumah sakit dengan menggunakan

formulir Indeks Keselamatan Rumah Sakit (Hospital Safety Index)

yang dilakukan di Meksiko, Bolivia, Ekuador dan Peru

menunjukkan elemen non-struktural (arsitektur, instalasi dasar dan

peralatan) merupakan komponen rumah sakit yang paling rentan.

Komitmen politis terbukti merupakan faktor penting untuk

meningkatkan keselamatan fasilitas kesehatan. Selain itu, sangat

penting untuk memiliki legal framework yang menjamin adanya

tindakan perbaikan. Pengaplikasian Indeks Keselamatan Rumah

Sakit membutuhkan motivasi dan advokasi untuk memastikan

direksi rumah sakit menyediakan seluruh sumber daya yang

dibutuhkan untuk meningkatkan keselamatan fasilitas kesehatan.

Di Kabupaten Karibia, Indeks Keselamatan Rumah Sakit

digunakan di Nevis, St. Kitts, Grenada, Montserrat, St. Vincent and

Grenadies, Anguilla, Dominica, dan Barbados. Berdasarkan hasil

dan rekomendasi tim evaluasi, kedelapan rumah sakit tersebut telah

memulai usaha0usaha perbaikan yang diperlukan. Kuba merupakan

salah satu negara yang pertama menggunakan formulir Indeks

Keselamatan Rumah Sakit dan hasilnya adalah kapasitas rumah

sakit
dapat tetap berfungsi segera setelah badai Gustav dan Ike. Sampai

saat ini, Jamaika, Trinidad dan Tobago dalam perencanaan untuk

mengaplikasikan Indeks Keselamatan Rumah Sakit di beberapa

rumah sakit. Sejauh yang penulis ketahui, belum ada penelitian

sejenis yang menggunakan Indeks Keselamatan Rumah Sakit di

Indonesia.

F. Landasan Teori

1. Keamanan struktural bangunan fisik rumah sakit

Yang dimaksud dengan struktur bangunan adalah bagian

bangunan yang menahan beban, seperti rangka beton, dinding

dan bagaimana kondisi material yang digunakan untuk

membangun. Hal ini mencakup:

a. Kondisi-kondisi terdahulu yang mempengaruhi tingkat

keselamatan bangunan rumah sakit, misalnya bangunan

rusak karena gempa yang telah lampau, atau bangunan yang

tidak sesuai standar keamanan dan renovasi yang mengubah

struktur bangunan

b. Kondisi struktural bangunan saat ini dan tipe material yang

digunakan

2. Keamanan non-struktural
Elemen non-struktural tidak membentuk sistem

penyangga beban bangunan. Elemen ini mencakup:

a. Sistem penting (sistem listrik, sistem telekomuniasi, sistem

persediaan air, persediaan bahan bakar, gas medis)

b. Sistem HVAC (heating, ventilation and air-conditioning)

c. Perabot dan peralatan kantor

d. Peralatan medis dan laboratoris

e. Elemen arsitektural (tangga, jendela, lantai dan lain-lain)

3. Kapasitas fungsional rumah sakit

Elemen ini menilai tingkat pengorganisasian sistem-sistem

manajemen bencana yang dapat menentukan kapasitas rumah

sakit dalam penanggulanagan bencana, yaitu:

1. Sistem Komando Penanggulangan Bencana dan Pusat

Komando

2. Rencana Kontijensi

3. Rencana darurat untuk penanganan medis pada berbagai

bencana
4. Rencana operasional, pemeliharaan preventif, dan

pemulihan layanan penting

5. Ketersediaan obat-obatan, alat kesehatan, instrumen dan

peralatan lain untuk digunakan dalam keadaan darurat


G. Kerangka Konsep
Keamanan Struktural
- Kondisi bangunan yang
mempengaruhi
keamanan RS
Kebijakan - Material bangunan yang
digunakan

Keamanan Non Struktural


- Sistem penting
Hospital Safety (Listrik,
telekomunikasi, dll)
- Peralatan laboratorium
- Elemen arsitektural
Perbaikan
Manajemen Fasilitas
dan Keamanan
SDM Rumah Sakit
Kapasitas Fungsional RS
- Sistem komando
penanggulangan bencana
RS dan pusat komando
- Rencana kontijensi
- Rencana nkontijensi untuk
berbagai jenis bencana Gambar 2.1. Kerangka Konsep
- Rencana, operasional,
pemeliharaan dan
pemulihan layanan penting
- Ketersediaan obat-obatan,
alat kesehatan,
instrument dan peralatan
darurat lain
H. Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana kebijakan yang dimiliki RSUD Prambanan dalam menghadapi bencana?

2. Apa saja kendala yang dihadapi saat pelaksanaan tanggap bencana di RSUD

Prambanan?

3. Bagaimana sumber daya yang dimiliki RSUD Prambanan dalam menghadapi bencana?

Berapa indeks kapasitas fungsional di RSUD Prambanan?

Anda mungkin juga menyukai