Anda di halaman 1dari 124

GEOLOGI DAN POLA SEBARAN LAPISAN BATUBARA

DAERAH LEMBAH DURI, KECAMATAN PINANG RAYA


DAN SEKITARNYA, KABUPATEN BENGKULU UTARA,
PROVINSI BENGKULU

SKRIPSI

Oleh :
ALAN NOVITER
111.140.071

PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI


FAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”
YOGYAKARTA
2019
i
HALAMAN PERSEMBAHAN

Kepada Allah SWT atas berkat rahmat dan karunia- Nya saya disini diberi
semangat dan kesehatan dalam menempuh perkuliahan sampai pengerjaan
tugas akhir.

Dipersembahkan untuk keluarga saya


Ayahanda, Ibunda, dan Saudara saya yang senantiasa memberikan dukungan
dan selalu mendoakan untuk kelancaran anaknya dalam menempuh
perkuliahan sampai menempuh gelar strata satu.

Dan
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta yang telah
membangun karakter kejuangan dan nasionalisme tinggi dalam jiwa penulis.

~ Finish what you’ve started ~

ii
UCAPAN TERIMA KASIH

Laporan ini dimaksudkan sebagai syarat untuk menyelesaikan studi. Penulis


berterimakasih kepada beberapa pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan
studi ini, maka penulis mengucapkan terimakasih kepada:
• Allah SWT yang selalu memberikan petunjuk, pertolongan dan perlindungan-
Nya, kemudian penulis ingin mengucapkan terimakasih atas bantuan yang telah
diberikan sehingga laporan skripsi ini dapat terselesaikan, yaitu kepada Kedua
Orang tua, kakak, dan teman jurusan teknik geologi yang selalu memberikan
semangat dan doa kepada penulis.
• Bapak Dr. Ir. H. Dwi Fitri Yudiantoro, M.T. selaku Ketua Jurusan Teknik
Geologi, Fakultas Teknologi Mineral, Universitas Pembangunan Nasional
‘Veteran” Yogyakarta.
• Bapak Ir. Ir. Sugeng Raharjo M.T selaku Dosen Pembimbing I dan Bapak Ir.
Teguh Jatmiko M. T selaku Dosen Pembimbing II di Kampus.
• Bapak Febri Ardianto S. T. M. T, Bapak Dwi Hartanto, Pak Budi Praba Kusuma
S. T. dan Pak Dinaldi S. T. selaku Dosen Pembimbing di lapangan.
• PT. CDE (Cakrawala Dinamika Energi) yang sudah memberikan fasilitas baik
segi material maupun non-material dan izin tempat lokasi penelitian.
• Bapak Irianto yang telah banyak membantu dan menemani penulis selama di
lapangan, saudara-saudari “Pangea” 2014 seperjuangan yang telah memberikan
semangat kepada penulis dalam hal menyelesaikan laporan ini.
• Saudara saudari TAMBARTA yang telah menemani penulis dalam menikmati
alam Indonesia.
• Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu dalam segala bentuk
dukungan untuk berkontribusi menyelesaikan dan menyempurnakan laporan
pemetaan ini.

iii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya dengan rahmat dan
bimbingan-Nya penulis dapat menyelesaikan Hasil Laporan Tugas Akhir ini yang
berjudul “GEOLOGI DAN POLA SEBARAN LAPISAN BATUBARA DAERAH
LEMBAH DURI, KECAMATAN PINANG RAYA DAN SEKITARNYA,
KABUPATEN BENGKULU UTARA, PROVINSI BENGKULU”
Penulis menyadari dalam penyusunan laporan ini masih jauh dari
kesempurnaan dan masih banyak kekurangan, maka dari itu penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang nantinya dapat dijadikan sebagai
masukan demi tercapainya kesempurnaan dalam pembuatan laporan ini nantinya.
Akhir kata, penulis mengucapkan banyak terima kasih.
Semoga hasil laporan Tugas Akhir ini dapat membantu para pembaca untuk
mengerti lebih dalam daerah telitian ini.

Yogyakarta, Agustus 2019


Penulis,

Alan Noviter

iv
GEOLOGI DAN POLA SEBARAN LAPISAN BATUBARA
DAERAH LEMBAH DURI, KECAMATAN PINANG RAYA DAN
SEKITARNYA, KABUPATEN BENGKULU UTARA,
PROVINSI BENGKULU

SARI
Alan Noviter
111.140.071
Secara geografis daerah penelitian terletak pada koordinat UTM (Universal
Transverse Mactator) di dalam zona WGS84 - 47S dengan koordinat telitian yaitu
823574-826804 mT dan 9635334- 9639636 mU. Luas daerah telitian 3x4 km dengan
skala 1 : 10.000. Sedangkan secara administratif daerah telitian masuk ke dalam
wilayah Desa Lembah Duri dan Sekitarnya, Kecamatan Pinang Raya, Kabupaten
Bengkulu Utara, Provinsi Bengkulu.
Berdasarkan analisis aspek-aspek geomorfologi, daerah penelitian dibagi
menjadi dua satuan bentuk asal dan lima satuan bentuk lahan, yaitu Satuan bentuk
asal denudasional yang terdiri dari dua satuan bentuk lahan yaitu Perbukitan
Terkikis Bergelombang Kuat (D1), Perbukitan Terkikis Bergelombang Sedang (D2)
serta Lembah Denudasional (D14) dan Bentuk asal Fluvial terdiri dari dua satuan
bentuk lahan yaitu Tubuh Sungai (F1) dan Dataran Banjir (F2). Pola Pengaliran yang
berkembang pada daerah penelitian yaitu Subdendritik.
Stratigrafi daerah penelitian terdiri dari tiga satuan batuan tidak resmi yaitu
Satuan batulempung Simpang-Aur (Pliosen) yang terendapkan pada lingkungan
Upper - Lower Delta Plain, Satuan batupasir Simpang-Aur (Pliosen) yang
terendapkan pada lingkungan Upper - Lower Delta Plain dan Satuan endapan
Aluvial terendapkan pada lingkungan darat (Holosen – Resen). Hubungan stratigrafi
antara Satuan batulempung Simpang-Aur dengan Satuan batupasir Simpang-Aur
selaras. Hubungan stratigrafi Satuan batupasir Simpang-Aur dengan Satuan endapan
Aluvial tidak selaras (Angular unconformity).
Struktur geologi yang berkembang pada daerah telitian yaitu berupa dua
kelompok kekar dengan arah relatif tenggara – barat laut. Sesar daerah penelitian
berupa sesar turun “Right Normal Slip Fault” dengan arah utara – selatan.
Berdasarkan korelasi penampang bor pada lintasan C - C’ dan D – D’, dimana pada
korelasi tersebut memperlihatkan elevasi batubara yang berbeda yang
mengindikasikan adanya kontrol struktur.
Berdasarkan hasil metode pemetaan dilapangan dengan menggunakan data
permukaan dan bawah permukaan maka, pada daerah penelitian terdapat pengaruh
kendali geologi terhadap pola sebaran lapisan batubara disebabkan oleh adanya
kontrol struktur, proses pelapukan erosi dan morfologi serta dikendalikan oleh
sedimentasi dan tektonik sehingga dengan data tersebut pola sebaran lapisan
batubara relatif barat – timur dengan kemiringan relatif berarah selatan – barat daya.

Kata kunci: Geologi, Pola Sebaran, Batubara

v
DAFTAR ISI

COVER
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ i
HALAMAN PERSEMBAHAN ......................................................................... ii
UCAPAN TERIMA KASIH .............................................................................. iii
KATA PENGANTAR......................................................................................... iv
SARI ..................................................................................................................... v
DAFTAR ISI ....................................................................................................... vi
DAFTAR GAMBAR........................................................................................... ix
DAFTAR TABEL ............................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................... 1
1.1 Latar belakang.................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................ 2
1.3 Maksud dan Tujuan ......................................................................... 2
1.4 Lokasi Daerah Penelitian ................................................................. 3
1.5 Hasil Penelitian ................................................................................ 4
1.6 Manfaat Penelitian ........................................................................... 4
BAB II METODOLOGI DAN TAHAPAN PENELITIAN ............................ 5
2.1 Metode Penelitian ............................................................................. 5
2.1.1 Tahap Pendahuluan ..................................................................... 5
2.1.2 Tahap Penelitian Lapangan ......................................................... 5
2.1.3 Tahap Analisis dan Pengolahan Data .......................................... 6
2.2 Tahapan Penelitian ........................................................................... 6
BAB III KAJIAN PUSTAKA ............................................................................ 8
3.1 Pengertian Batubara .......................................................................... 8
3.2 Proses Pembentukan Batubara .......................................................... 9
3.3 Penggambutan (peatification) ......................................................... 9
3.4 Pembatubaraan (Coalification) ......................................................... 10
3.5 Lingkungan Pengendapan................................................................. 12
3.5.1 Delta Plain ......................................................................... 13
3.5.2 Delta Front ......................................................................... 14

vi
3.5.3 Pro Delta ............................................................................ 14
3.6 Faktor - faktor Pembentuk Batubara ................................................ 16
3.7 Sifat Batubara ................................................................................... 22
3.8 Karakteristik Fisik Batubara ............................................................. 22
3.9 Variasi Ketebalan Lapisan Batubara ................................................ 23
3.10 Bentuk Lapisan Batubara ................................................................ 24
3.11 Geometri Lapisan Batubara ............................................................ 28
3.12 Pola Sebaran Batubara .................................................................... 32
BAB IV GEOLOGI REGIONAL ...................................................................... 34
4.1 Fisiografi Cekungan Bengkulu ......................................................... 34
4.2 Stratigrafi Regional Cekungan Bengkulu ......................................... 35
4.3 Kerangka Tektonik dan Struktur Regional........................................ 37
BAB V GEOLOGI DAERAH PENELITIAN .................................................. 41
5.1.Geomorfologi Daerah Penelitian ...................................................... 41
5.1.1 Bentuk Asal Denudasional ......................................................... 43
5.1.1.1 Perbukitan Terkikis Bergelombang Kuat (D1) ...................... 43
5.1.1.2 Perbukitan Terkikis Bergelombang Sedang (D2) .................. 43
5.1.1.3 Lembah Denudasional (D14) ................................................. 44
5.1.2 Bentuk Asal Fluvial ..................................................................... 46
5.1.2.1 Satuan Bentuklahan Tubuh Sungai (F1) ................................ 46
5.1.2.1 Satuan Bentuklahan Dataran Banjir (F2) ............................... 46
5.1.3 Pola Pengaliran ............................................................................ 47
5.2 Stratigrafi Daerah Penelitian ............................................................ 49
5.2.1 Satuan Batulempung Simpang-Aur ............................................. 49
5.2.1.1 Ciri Litologi ........................................................................... 49
5.2.1.2 Penyebaran dan Ketebalan ..................................................... 50
5.2.1.3 Umur dan Lingkungan Pengendapan ..................................... 50
5.2.1.4 Hubungan Stratigrafi .............................................................. 52
5.2.2 Satuan Batupasir Simpang-Aur ................................................... 53
5.2.2.1 Ciri Litologi ........................................................................... 54
5.2.2.2 Penyebaran dan Ketebalan ..................................................... 56

vii
5.2.2.3 Umur dan Lingkungan Pengendapan ..................................... 56
5.2.2.4 Hubungan Stratigrafi .............................................................. 59
5.2.3Satuan endapan aluvial ................................................................. 60
5.2.3.1 Ciri Litologi ........................................................................... 61
5.2.3.2 Hubungan Stratigrafi .............................................................. 61
5.3 Struktur Geologi Daerah Penelitian ................................................. 63
5.3.1 Kekar ........................................................................................... 63
5.3.2 Sesar ............................................................................................ 66
5.4 Sejarah Geologi Daerah Penelitian .................................................. 69
BAB VI POLA SEBARAN LAPISAN BATUBARA....................................... 72
6.1 Pendahuluan...................................................................................... 72
6.2. Pola Sebaran Lapisan Batubara ....................................................... 73
6.2.1. Karakteristik dan Kemiringan Lapisan Batubara ....................... 73
6.2.2. Ketebalan Lapisan Batubara....................................................... 75
6.2.3. Bentuk Endapan Batubara .......................................................... 77
6.3 Cropline Batubara ............................................................................. 81
BAB VII KESIMPULAN ................................................................................... 82
Kesimpulan ............................................................................................. 82
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

viii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Peta adminitrasi Lokasi Penelitian .................................................. 3
Gambar 2.1 Diagram alir tahap penelitian .......................................................... 7
Gambar 3.1 Proses pembentukan batubara (Speight, 1994) ................................ 11
Gambar 3.2 Morfologi lingkungan pengendapan Delta Mahakam (Allen and
Chamber, 1998) ...................................................................................... 15
Gambar 3.3 Pembagian lingkungan pada delta dengan ciri khas endapannya (Allen
and Chamber, 1998) ........................................................................ 15
Gambar 3.4 Pengendapan Delta .......................................................................... 16
Gambar 3.5 Deposit Bentuk Batubara Horse Back (Robert Stefanko, 1983) ..... 25
Gambar 3.6 Deposit Bentuk Batubara Split Coal (Robert Stefanko, 1983) ........ 25
Gambar 3.7 Deposit Bentuk Batubara Washed Out (Robert Stefanko, 1983) .... 26
Gambar 3.8 Deposit Bentuk Batubara Intrusi (Robert Stefanko, 1983) ............. 26
Gambar 3.8 Deposit Bentuk Batubara Fault (Robert Stefanko, 1983) ............... 27
Gambar 3.8 Deposit Bentuk Batubara Fold (Robert Stefanko, 1983) ................ 27
Gambar 4.1 Fisiografi Cekungan Bengkulu (Gafoer, dkk. 1992) ....................... 34
Gambar 4.2 Stratigrafi Cekungan Bengkulu berdasarkan Peta Geologi
Lembar Bengkulu (Gafoer, dkk. 1992) ............................................ 35
Gambar 4.2 Model Ellipsoid Sumatera dari Jura Akhir – Resen (modifikasi
dari Pulunggono, 1992).................................................................... 38
Gambar 4.3 Konfigurasi struktur Paleogen – Eosen Graben System yang
bekerja pada Cekungan Bengkulu (modifikasi dari Yulihanto
dkk, 1995) ........................................................................................ 40
Gambar 5.1 Perbukitan Terkikis Bergelombang Kuat (D1) ............................... 44
Gambar 5.2 Perbukitan Terkikis Bergelombang Sedang (D2) ........................... 45
Gambar 5.3 Lembah Denudasional (D14) .......................................................... 45
Gambar 5.4 Bentuklahan Tubuh Sungai Urai (F1) ........................................ 46
Gambar 5.5 Bentuklahan Tubuh Sungai Limas (F1) ..................................... 47
Gambar 5.6 Ciri litologi Satuan batulempung Simpang-Aur ......................... 53
Gambar 5.7 Sayatan Petrografi Arkosic Wacke pada LP 20 ............................... 55
Gambar 5.8 Sayatan Petrografi Arkosic Wacke pada LP 46 ............................... 55

ix
Gambar 5.9 Ciri litologi Satuan batupasir Simpang-Aur .................................... 59
Gambar 5.10 Ciri litologi batubara pada lokasi penelitian.................................. 60
Gambar 5.11 Ciri litologi Satuan endapan Aluvial ............................................. 61
Gambar 5.12 Kenampakan struktur geologi kekar LP-30................................... 63
Gambar 5.13 Hasil Analisa Kekar LP-30............................................................ 64
Gambar 5.14 Kenampakan struktur geologi kekar LP-90................................... 65
Gambar 5.15 Hasil Analisa Kekar Gerus LP 90 ................................................. 66
Gambar 5.16 Zona Sesar pada LP-25.................................................................. 67
Gambar 5.17 Kenampakan shear dan gash fracture pada LP-25 ........................ 67
Gambar 5.18 Hasil Analisa Sesar LP-25 ............................................................. 68
Gambar 5.19 Awal terendapkan satuan batulempung Simpang-Aur pada
lingkungan Upper - Lower Delta Plain pada Kala Pliosen Awal
yang terendapkan selaras diatas Formasi Lemau ............................. 69
Gambar 5.20 Terendapkannya Satuan batulempung Simpang-Aur .................... 70
Gambar 5.21 Terendapkannya Satuan batupasir Simpang-Aur .......................... 70
Gambar 5.22 Terjadinya proses pengangkatan pada satuan batulempung dan
batupasir Simpang-Aur akibat adanya gaya kompresi .................... 71
Gambar 5.23 Proses erosi dan pelapukan pada daerah penelitian membentuk
endapan aluvial ................................................................................ 71
Gambar 6.1 A.) Singkapan lapisan batubara di lokasi pengamatan 29 ............... 73
Gambar 6.2 A.) Singkapan lapisan batubara di lokasi pengamatan 54 ............... 74
Gambar 6.3 A.) Singkapan lapisan batubara di lokasi pengamatan 116 ............. 74
Gambar 6.4 Korelasi data lubang bor lintasan I ................................................. 75
Gambar 6.5 Korelasi data lubang bor lintasan II .............................................. 76
Gambar 6.6 Korelasi data lubang bor lintasan III ............................................... 77
Gambar 6.7 Bentuk Washed Out (Robert Stefanko, 1983) ................................ 78
Gambar 6.8 Bentuk Pinch(Robert Stefanko, 1983) ........................................... 79
Gambar 6.9 Bentuk Fault (Robert Stefanko, 1983) ........................................... 80
Gambar 6.10 Bentuk Parting (Robert Stefanko, 1983) ..................................... 81

x
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Koordinat Lokasi Penelitian................................................................. 3
Tabel 5.1 Klasifikasi kemiringan lereng (Van Zuidam, 1983) ................................ 41
Tabel 5.2 Klasifikasi bentuk asal menurut Van Zuidam (1983) .............................. 42
Tabel 5.3 KOP Peta Geomorfologi Modifikasi Van Zuidam (1983) ....................... 48
Tabel 5.4 Ringkasan Stratigrafi Daerah Telitian..................................................... 62
Tabel 5.5 Tabulasi data hasil Analisa Kekar LP-30 ................................................ 64
Tabel 5.6 Tabulasi data hasil Analisa Kekar LP-90 ................................................ 65
Tabel 6.1 Tabulasi data lubang bor I ...................................................................... 75
Tabel 6.2 Tabulasi data lubang bor II..................................................................... 76
Tabel 6.3 Tabulasi data lubang bor III ................................................................... 77

xi
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Daerah penelitian termasuk kedalam Fisiografi Cekungan Bengkulu (Gafoer, dkk.


1992), dimana cekungan ini merupakan salah satu cekungan batuan sedimen Tersier di
Pulau Sumatera yang termasuk ke dalam cekungan busur muka. Stratigrafi Cekungan
Bengkulu terdiri dari Lajur Barisan, Lajur Bengkulu, Lajur Palembang, Batuan
Terobosan, dan Endapan Permukaan. Daerah penelitian termasuk ke dalam Lajur
Bengkulu (dari yang tua ke muda terdiri dari Formasi Seblat, Formasi Lemau, Formasi
Simpangaur, dan Formasi Bintunan).
Berdasarkan kajian geologi sebelum Miosen Tengah atau Paleogen, Cekungan
Bengkulu masih merupakan bagian paling barat Cekungan Sumatera Selatan, lalu
pada periode setelah Miosen Tengah atau Neogen setelah Pegunungan Barisan naik,
Cekungan Bengkulu dipisahkan dari Cekungan Sumatera Selatan. Mulai saat itulah,
Cekungan Bengkulu menjadi Cekungan Fore Arc (depan busur) dan Cekungan
Sumatera Selatan menjadi Cekungan Back Arc (belakang busur), (Hall et al. 1993).
Cekungan Bengkulu merupakan salah satu tempat terendapkannya batubara di
Indonesia, yang mana formasi pembawa batubara di Cekungan Bengkulu terdiri dari
Formasi Lemau dan Formasi Simpang Aur.
Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis akan membahas mengenai pola
sebaran batubara yang berkembang di daerah penelitian berdasarkan data permukaan
berupa profil singkapan dan di dukung data bawah permukaan berupa data bor.
Kegiatan penelitian ini untuk mengetahui proses geologi dan geometri batubara
terutama pola sebaran batubara di daerah penelitian sehingga sumber daya batubara
bisa diperbarui dan diharapkan dapat menjadi sarana untuk menjadikan seorang
calon ahli geologi menjadi ahli geologi yang profesional, baik secara teori maupun
aplikasi di lapangan. Kegiatan juga ditujukan untuk menerapkan ilmu yang telah
didapatkan selama perkuliahan maupun praktikum.

1
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah sebagai batasan penelitian yang akan dilakukan agar kegiatan
dilapangan lebih efektif dan efisien. Adapun persoalan yang ada, yaitu sebagai
berikut :
1. Geomorfologi : Bentuk geomorfologi suatu daerah mencerminkan kondisi
geologi daerah tersebut, dapat ditafsirkan melalui peta topografi maupun
dengan pengamatan langsung bentang alam di lapangan. Permasalahan
geomorfologi mencakup pengelompokan bentuk bentang alam, pola
pengaliran sungai, bentuk–bentuk erosi, proses endogen, dan eksogen yang
mempengaruhi.
2. Stratigrafi : Permasalahan stratigrafi meliputi penyebaran dan ketebalan
satuan batuan, ciri litologi, hubungan antar satuan batuan, lingkungan
pengendapan, serta umurnya.
3. Struktur Geologi: Permasalahan ini mencakup jenis-jenis struktur geologi
yang terbentuk (termasuk klasifikasi dan polanya), serta arah tegasan yang
terbentuk dan penamaannya.
4. Batubara : Permasalahan ini mencakup pola sebaran batubara yang
merupakan salah satu dari geometri batubara.
Batasan masalah penelitian ini adalah kondisi morfologi, keadaan geologi,
karakteristik batubara berdasarkan sifat fisik batubara yang terdapat pada daerah
penelitian untuk mengetahui pola sebaran batubara pada daerah penelitian.

1.3 Maksud dan Tujuan

Maksud dari penelitian ini adalah untuk melakukan pengamatan data


geomorfologi, mengetahui kondisi geologi daerah penelitian, stratigrafi, struktur
geologi di permukaan serta karakteristik batubara.
Tujuan penelitian adalah untuk menghimpun data geometri lapisan batubara
pada satu seam yang sama, yang terdiri dari pola sebaran lapisan batubara di lokasi
daerah penelitian.

2
1.4 Lokasi Daerah Penelitian
Lokasi penelitian skripsi (Gambar 1.1) secara adminitrasi terletak pada
daerah Lembah Duri, Kecamatan Pinang Raya, Kabupaten Bengkulu Utara, Provinsi
Bengkulu. Secara geografis daerah tersebut dengan menggunakan UTM (Universal
Transverse Mercator) WGS 84 termasuk ke dalam zona 47 S dengan koordinat
telitian yaitu X (823574 – 826804) dan Y (9635334 – 9639636). Waktu pelaksanaan
penelitian skripsi ini dilaksanakan selama 2 (Dua) bulan yaitu 20 Agustus 2018 – 20
Oktober 2018. Untuk mencapai lokasi tersebut menggunakan kapal udara dari
Yogyakarta – Jakarta yang ditempuh dalam waktu 1 jam dan kemudian transit dari
Jakarta - Bengkulu menggunakan kapal udara yang ditempuh kurang lebih 1 jam,
setelah itu dilanjutkan menggunakan transportasi darat untuk menuju ke daerah
telitian yang ditempuh kurang lebih 2 jam.
Tabel 1.1 Koordinat Lokasi Penelitian
No Koordinat No Koordinat
1. X : 823574 3. X : 826804
Y : 9639636 Y : 9639636
2. X : 823574 4. X : 823804
Y : 9635334 Y : 9635334

: Lokasi Penelitian
Gambar 1.1 Peta Adminitrasi Lokasi Penelitian

3
1.5 Hasil Penelitian
Hasil yang diharapkan dari penelitian skripsi ini berupa laporan hasil
penelitian dengan lampiran peta pola pengaliran, peta geomorfologi daerah telitian,
peta lintasan dan lokasi pengamatan daerah telitian, peta geologi daerah telitian, peta
cropline batubara, serta informasi-informasi lainnya.

1.6 Manfaat Penelitian


Hasil penelitian skripsi bermanfaat bagi :
1. Mahasiswa
Memberikan informasi terbaru mengenai kondisi geologi daerah
penelitian terutama pada Formasi Simpang Aur sehingga bisa digunakan
untuk penelitian-penelitian selanjutnya atau yang akan datang serta
memberikan informasi terbaru mengenai geometri batubara pada daerah
penelitian.
2. Institusi
Menambah serta melengkapi informasi geologi dari data permukaan yang
terdapat pada Formasi Simpang Aur.
3. Perusahaan
Dapat memberikan informasi tentang geologi daerah telitian secara lebih
detail, terutama data mengenai tipe pola sebaran lapisan batubara pada daerah
telitian sehingga dapat berguna nantinya untuk keberlanjutan data eksplorasi.

4
BAB II
METODOLOGI DAN TAHAPAN PENELITIAN
2.1 Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode pemetaan dengan metode
pengamatan pengukuran di lapangan secara deskriptif yaitu metode pemprosesan
data untuk memberikan gambaran aktual di lapangan dengan mengkombinasikan
data lapangan dengan metode analisis data uji laboratorium (Gambar 2.1). Dalam
kegiatan penelitian skripsi ini digunakan metode pendekatan supaya mencapai tujuan
penelitian, sebagai berikut:

2.1.1. Tahap Pendahuluan


Pada tahapan ini merupakan tahap sebelum dilakukannya pemetaan ke daerah
telitian. Tahap ini meliputi penentuan daerah telitian, perihal perizinan dan
administrasi, studi pustaka daerah telitian, pembuatan peta pola pengaliran dan peta
geomorfologi, peta rencana lintasan berdasarkan peta topografi daerah telitian,
pembuatan proposal serta penentuan jadwal kegiatan yang akan dilaksanakan selama
berada di daerah telitian.

2.1.2 Tahap Penelitian Lapangan


Pada tahapan ini penelitian dilakukan dengan perekaman data primer dan data
sekunder yang diperoleh di lapangan. Data primer didapatkan dari pengambilan data
lapangan meliputi Pemetaan Geologi, pembuatan Profil, pengambilan sampel batuan
untuk uji laboratorium, dokumentasi, serta perekaman data yang mendukung
lainnya. Data sekunder yang digunakan adalah Data Log Bor dan data kualitas
batubara.

5
2.1.3 Tahap Analisis dan Pengolahan Data
Pada tahapan ini merupakan tahapan setelah penelitian lapangan. Tahapan ini
meliput analisis laboratorium serta pengolahan data yang didapat dari tahap
penelitian lapangan. Analisis laboratorium terdiri dari :
A. Analisis Petrografi
B. Analisis Paleontologi
C. Analisis Struktur Geologi
D. Analisis Tebal dan Penampang

2.2 Hasil Analisis dan Kesimpulan


A. Analisa geomorfik serta pola pengaliran menghasilkan Peta geomorfologi
serta Peta pola pengaliran
B. Melakukan pengamatan lapangan menghasilkan Peta lintasan & lokasi
pengamatan serta Peta geologi
C. Analisa struktur geologi menggunakan klasifikasi (Rickard, 1971)
D. Analisis profil menggunakan klasifikasi dari (Allen et al,1998)
E. Analisis petrografis batuan menggunakan klasifikasi dari :
(Gilbert, 1982) untuk analisa sayatan tipis batuan sedimen
F. Analisis Korelasi log bor

6
Tahap Pendahuluan

- Studi Geologi Regional Daerah Telitian


- Studi Dasar Teori & Kajian Pustaka
- Perizinan, Persiapan perlengkapan & Penyusunan Proposal
- Analisis Peta Topografi

Tahap Penelitian Lapangan

- Observasi Lapangan - Pengamatan Stratigrafi


- Pengamatan Geomorfologi - Pengukuran Struktur Geologi

Tahap Analisis dan Pengolahan Data

- Analisis Petrografi
- Analisis Satuan Geomorfik
- Analisis Struktur Geologi
- Analisis Mikropaleontologi
- Analisis Korelasi Log Bor

Hasil Analisis

- Peta Lintasan dan Lokasi Pengamatan


- Peta Pola Pengaliran - Korelasi antar Log Bor
- Peta Geomorfologi - Penampang Profil
- Peta Geologi - Peta Cropline Batubara
- Laporan Hasil Akhir

Kesimpulan

Gambar 2.1 Diagram Alir Tahap Penelitian

7
BAB III
KAJIAN PUSTAKA
3.1 Pengertian Batubara

Batubara adalah salah satu bahan bakar fosil. Pengertian umumnya adalah batuan
sedimen yang dapat terbakar, terbentuk dari endapan organik, utamanya adalah sisa-
sisa tumbuhan dan terbentuk melalui proses pembatubaraan. Unsur-unsur utamanya
terdiri dari karbon, hydrogen dan oksigen. Batubara juga merupakan batuan organik
yang memiliki sifat-sifat fisika dan kimia yang kompleks yang dapat ditemui dalam
berbagai bentuk.
Menurut Sukandarrumidi (2009), batubara terbentuk dengan cara yang sangat
kompleks dan memerlukan waktu yang lama dibawah pengaruh fisika, kimia
maupun keadaan geologi. Untuk memahami bagaimana batubara terbentuk dari
tumbuh-tumbuhan perlu diketahui di mana batubara terbentuk dan faktor-faktor yang
akan mempengaruhinya, serta bentuk lapisan batubara.
Menjelaskan tempat terbentuknya batubara dikenal 2 macam teori sebagai berikut:
a. Teori Insitu

Teori ini menyatakan bahwa bahan-bahan pembentuk lapisan batubara,


terbentuknya ditempat di mana tumbuh tumbuhan asal itu berada. Setelah
tumbuhan mati, namun belum mengalami proses transportasi sehingga akan
tertutup oleh lapisan sedimen dan mengalami proses coalification. Jenis
batubara seperti ini penyebarannya merata dan memiliki kualitas baik karena
kadar abunya relatif kecil. Contohnya ada di lapangan batubara Muara Enim
daerah Sumatera Selatan.

b. Teori Drift

Teori ini menyatakan bahwa bahan bahan pembentuk batubara terjadinya


ditempat yang berbeda dengan tempat tumbuhan semula hidup dan
berkembang. Tumbuhan yang mati diangkut oleh media air dan berakumulasi
disuatu tempat, kemudian tertutup oleh material sedimen dan mengalami proses

8
coalification. Jenis batubara seperti ini penyebarannya tidak luas, kualitas
kurang baik karena banyak mengandung material pengotor yang terangkut
bersama dalam proses pengangkutan dari tempat awal ke tempat
sedimentasinya. Contohnya di Mahakan Purba, Kalimantan Timur.
3.2 Proses pembentukan batubara
Dua tahap penting yang dapat dibedakan untuk mempelajari genesa batubara adalah
gambut dan batubara. Menurut Wolf 1984, secara definisi dapat di terangkan sebagai
berikut :
a. Gambut
Gambut adalah batuan sedimen organik yang dapat terbakar berasal dari
tumpukan hancuran atau bagian dari tumbuhan yang terhumifikasi dan dalam
kondisi tertutup udara, umumnya dibawah air, tidak padat, dengan kandungan
air lebih dari 75 %, berat air serta kandungan mineralnya lebih kecil dari 50 %
dalam kondisi kering.
b. Batubara
Batubara adalah batuan sedimen ( padatan ) yang terbakar, berasal dari
tumbuhan, berwarna coklat sampai hitam yang sejak pengendapannya
mengalami proses fisika dan kimia yang mengakibatkan pengkayaan
kandungan karbon.
Proses pembatubaraan didefinisikan sebagai peningkatan karbon secara
bertahap dari materi fosil organik dalam suatu proses yang alami. Proses ini
dibedakan menjadi tahapan biokimia yang meliputi seluruh proses pembentukan
rawa gambut (peatification) dan tahapan geokimia (biochemical coalification)
yang merupakan proses metamorfosis.
3.3 Penggambutan (peatification)
Menurut Speight (1994) tahap awal pembentukan batubara adalah
pembentukan gambut. Tahap penggambutan adalah tahap dimana sisa-sisa
tumbuhan yang terakumulasi tersimpan dalam kondisi reduksi di daerah rawa
dengan sistem pengeringan yang buruk dan selalu tergenang air pada kedalaman

9
0,5 – 10 meter. Material yang busuk ini melepaskan H, N, O, dan C dalam bentuk
senyawa CO2, H20 dan NH3 untuk menjadi humus, kemudian oleh bakteri
anaerobic dan fungi diubah menjadi gambut. Proses terpenting dalam tahap ini
adalah pembentukan humic subtance (humification), yang dikontrol oleh suplai
oksigen, kenaikan temperatur, fasies, dan lingkungan alkali. Proses pembentukan
gambut mencakup proses mikrobial dan perubahan kimia (biokimia). Tahap
selanjutnya adalah tahap geokimia dimana dalam prosesnya tidak melibatkan
bakteri (proses mikrobial). Berikutnya derajat humifikasi tidak tergantung pada
kedalaman akan tetapi bergantung pada fasies. Pada tahap biokimia, subtansi
tumbuhan seperti selulosa, pektin, karbohidrat, dan lain-lain terdekomposisi oleh
aktifitas aerobik mikroba di bagian permukaan yang mengakibatkan pengkayaan
lignit yang kaya karbon dan pembentukan asam humin.
Alterasi paling kuat dengan kondisi tertutup oksigen yang terjadi pada
permukaan gambut sampai dengan kedalaman 0,5 meter dikenal dengan istilah
peatigenic layer. Pada bagian ini terjadi aktifitas bakteri aerobik, actinomyces, dan
fungi. Dengan bertambahnya kedalaman, bakteri aerobik digantikan oleh bakteri
anaerobik, karena suplai oksigen semakin berkurang. Bertambahnya kedalaman ini
sebanding dengan bertambahnya kandungan karbon. Pada kedalaman lebih dari 10
meter praktis bakteri tidak lagi memiliki peranan. Proses yang terjadi di kedalaman
ini hanyalah proses kimia (polimerisasi, kondensasi, dan reaksi reduksi).
Meningkatnya tekanan pada tahap geokimia menyebabkan kandungan air
berkurang dengan cepat, sehingga kandungan air dapat dijadikan parameter
pengukur tingkat diagenesa gambut. Munculnya selulose bebas (tak bercampur
dengan lignin) juga merupakan indikator diagenesa gambut yang baik.

3.4 Pembatubaraan (Coalification)


Menurut Speight (1994) tahap pembatubaraan merupakan gabungan proses
biologi, kimia dan fisika yang terjadi karena pengaruh pemebebanan dari sedimen
yang menutupinya, temperature, tekanan dan waktu terhadap komponen organic
dari gambut. Pada tahap ini persentase karbon akan meningkat sedangkan

10
persentase hydrogen dan oksigen akan berkurang. Proses ini akan menghasilkan
batuabra dalam berbagai tingkat kematangan material organiknya yang disebabkan
oleh kombinasi perubahan baik secara fisik dan kimia dari gambut melalui lignit,
sub-bituminus, bituminus, antrasit, sampai meta-antrasit. Kontrol utama perubahan
ini adalah derajat metamorfisme (temperatur dan tekanan). Tahapan yang dicapai
oleh batubara dalam urutan pembatubaraan ini disebut sebagai peringkat batubara.
Pada proses ini, tekanan yang bertambah besar akan mengakibatkan porositas
gambut berkurang dan anisotrop meningkat. Sifat porositas dapat dilihat dari
kandungan airnya (moisture content) yang berkurang selama proses perubahan dari
gambut menjadi brown coal. Porositas dan anisotrop ini paralel dengan bidang
perlapisan dan bisa dikorelasikan dengan tekanan overburden. Sementara itu,
secara kimia, gambut mengalami perubahan komposisi dari unsur-unsur karbon,
oksigen, dan hidrogen. Derajat pembatubaraan ditentukan oleh perubahan
komposisi kimianya (C, H, O dan VM) atau dengan sifat optis (reflektansi vitrinit).
Selama tahap hard brown coal (lignit-sub bituminus) maka sisa terakhir dari
selulose dan lignit ditransformasikan menjadi material humik. Asam humik
terkondensasi menjadi molekul yang lebih besar dan kehilangan sifat keasamannya
membentuk humin yang tak larut dalam alkali.

Gambar 3.1. Proses pembentukan Batubara (Speight, 1994)

11
3.5 Lingkungan Pengendapan
Lingkungan pengendapan adalah lingkungan yang kompleks yang disebabkan
interaksi antara faktor-faktor fisika, kimia dan biologi dimana sedimen diendapkan
(Koesoemadinata, 1981).
Batubara tidak dapat terbentuk disemua lingkungan , hanya lingkungan tertentu
seperti swamp atau marsh yang dipengaruhi proses-proses reduksi yang dapat
menghasilkannya. Oleh karena itu analisis lingkungan pengendapan sangat penting
diketahui untuk menafsirkan pola-pola penyebaran dan ketebalan lapisan batubara.
Batubara terbentuk bersama-sama dengan bahan anorganik yang umumnya
berupa sedimen klastik halus seperti batulempung, batulanau dan batupasir. Asosiasi
batuan tersebut merupakan lapisan pembawa batubara (coal bearing strata).
Delta merupakan garis pantai yang menjorok ke laut, terbentuk oleh adanya
sedimentasi sungai yang memasuki laut, danau atau laguna dan pasokan sedimen lebih
besar daripada kemampuan pendistribusian kembali oleh proses yang ada pada
cekungan pengendapan (Elliot, 1986 dalam Allen, 1998). Delta diartikan sebagai suatu
endapan yang terbentuk oleh proses sedimentasi fluvial yang memasuki tubuh air yang
tenang. Dataran delta menunjukkan daerah di belakang garis pantai dan dataran delta
bagian atas didominasi oleh proses sungai dan dapat dibedakan dengan dataran delta
bagian bawah didominasi oleh pengaruh laut, terutama penggenangan tidal. Delta
terbentuk karena adanya suplai material sedimentasi dari sistem fluvial. Ketika sungai-
sungai pada sistem fluvial tersebut bertemu dengan laut, perubahan arah arus yang
menyebabkan penyebaran air sungai dan akumulasi pengendapan yang cepat terhadap
material sedimen dari sungai mengakibatkan terbentuknya delta. Bersamaan dengan
pembentukan delta tersebut, terbentuk pula morfologi delta yang khas dan dapat
dikenali pada setiap sistem yang ada. Morfologi delta secara umum terdiri dari tiga,
yaitu : delta plain, delta front dan prodelta (Allen, 1998).

12
3.5.1 Delta Plain
Menurut Allen (1998) Delta plain merupakan bagian delta yang terdiri dari
channel yang sudah ditinggalkan. Delta plain merupakan bagian dataran dari delta dan
terdiri atas endapan sungai yang lebih dominan daripada endapan laut dan membentuk
suatu dataran rawa – rawa yang didominasi oleh material sedimen berbutir halus,
seperti serpih organik dan batubara. Delta Plain terletak di atas permukaan laut,
endapannya berasal dari endapan alluvial yang berupa sedimen fraksi halus seperti:
1. Batulempung yang diendapkan di daerah floodplain yang merupakan
lingkungan rawa-rawa (coal swamp) dan marsh dengan jenis endapannya
adalah overbank deposits.
2. Sedimen fraksi kasar berupa batupasir yang diendapkan di sub-lingkungan
pengendapan distributary channel (channel deposits), ciri-ciri litologi
batupasir antara lain: laminasi karbonan, cross bedding, finning upward,
kontak erisional di bagian bawah dan terdapat lag deposit yang berupa
fragmen-fragmen batubara. Channel deposits diendapkan secara akresi
lateral pada point bar, secara lateral channel deposits akan berubah secara
berangsur menjadi overbank deposits di daerah floodplain.
Batas antara channel deposits dengan overbank deposits dibatasi oleh tanggul
alam (natural levee), endapannya disebut levee deposits, ciri-ciri lithologinya adalah:
batulanau, sortasi buruk, sisipan batupasir, dan batulempung dengan susunan tidak
teratur, bentuk batupasir dan batulempung adalah lenticular, struktur sedimen flaser
bedding.
Sub-lingkungan pengendapan distributary channel akan membentuk cabang-
cabang aliran (crevasse) di sub-lingkungan rawa dengan cara memotong tanggul alam
(natural levee), hasil endapannya disebut splay deposits yang berubah secara
berangsur kearah lateral menjadi overbank deposits (Allen and Chamber, 1998)
Pada kondisi iklim yang cenderung kering (semi-arid), sedimen yang terbentuk
didominasi oleh lempung dan evaporit. Dataran delta plain tersebut digerus oleh
channel pensuplai material sedimen dan membentuk suatu percabangan.

13
Gerusan – gerusan tersebut biasanya mencapai kedalaman 5 – 10 meter dan
menggerus sampai pada sedimen delta front.

3.5.2 Delta Front


Menurut Allen (1998) Delta front merupakan sub-lingkungan dengan energi
yang tinggi dan sedimen secara tetap dipengaruhi oleh adanya proses pasang-surut,
arus laut sepanjang pantai dan aksi gelombang. Delta front terbentuk pada lingkungan
laut dangkal dan akumulasi sedimennya berasal dari distributary channel. Batupasir
yang diendapkan dari distributary channel tersebut membentuk endapan bar yang
berdekatan dengan teluk atau mulut distributary channel tersebut. Pada penampang
stratigarfi, endapan bar tersebut memperlihatkan distribusi butiran mengkasar ke atas
dalam skala yang besar dan menunjukkan perubahan fasies secara vertikal ke atas,
mulai dari endapan lepas pantai atau prodelta yang berukuran butir halus ke fasies
garis pantai yang disominasi batupasir. Diantara bar dan mulut distributary channel
akan terakumulasi lempung lanauan atau lempung pasiran dan bergradasi menjadi
lempung ke arah laut.

3.5.3 Prodelta
Prodelta merupakan sublingkungan transisi antara delta front dan endapan
normal marine shelf yang berada di laur delta front. Prodelta merupakan kelanjutan
delta front ke arah laut dengan perubahan litologi dari batupasir bar ke endapan
batulempung dan selalu ditandai oleh zona lempungan tanpa pasir. Daerah ini
merupakan bagian distal dari delta, dimana hanya terdiri dari akumulasi lanau dan
lempung dan biasanya sendiri serta fasies mengkasar ke atas memperlihatkan transisi
dari lempungan prodelta ke fasies yang lebih batupasir dari delta front. Litologi dari
prodelta ini banyak ditemukan bioturbasi yang merupakan karakteristik endapan laut.
Struktur sedimen bioturbasi bermacam – macam sesuai dengan ukuran sedimen dan
kecepatan sedimennya. Struktur deformasi sedimen dapat dijumpai pada lingkungan
ini, sedangkan struktur sedimen akibat aktivitas gelombang jarang dijumpai Prodelta
ini kadang – kadang sulit dibedakan dengan endapan paparan (shelf), tetapi pada

14
prodelta ini sedimennya lebih tipis dan memperlihatkan pengaruh proses endapan laut
yang tegas (Allen, 1998).

Gambar 3.2. Morfologi lingkungan pengendapan Delta Mahakam (Allen and Chamber, 1998)

Gambar 3.3. Pembagian lingkungan pada delta dengan ciri khas endapannya
(Allen and Chamber, 1998)

15
Gambar 3.4. A. Sistem progradasi pada pengendapan delta (Allen and Chamber,1998)
B. Morfologi lingkungan pengendapan pada delta (Allen and Chamber, 1998)
C. Komponen dasar lingkungan pengendapan delta (Allen and Chamber, 1998)

3.6. Faktor-faktor Pembentuk Batubara


Schlatter’s (1973) menyebutkan bahwa pembentukan batubara merupakan
proses yang kompleks yang harus dipelajari dari banyak segi, karena ada bermacam-
macam proses yang berbeda satu dengan lainnya yang mempengaruhi pembentukan
batubara, baik derajat maupun jenis batubaranya pada suatu cekungan. Faktor-faktor
pembentuk batubara adalah sebagai berikut :
1. Posisi Geotektonik (Geotectonic Position)
Di dalam genesa cekungan batubara, posisi geotektonik merupakan faktor yang
umum, dominan, dan memegang peranan penting. Posisi geotektonik mempengaruhi
iklim, morfologi cekungan, kecepatan sedimentasi, kecepatan penurunan dasar
cekungan, jenis flora, dan pada akhirnya akan berpengaruh terhadap jenis batubara
(coal type), derajat batubara (coal rank), dan geometri lapisan batubara yang terbentuk
pada daerah yang tektonik kuat, penurunan cekungan akan berjalan cepat selama
pengendapan berlangsung. Akibatnya akan berpengaruh terhadap perbedaan petrografi
dan geometri lapisan batubara serta menambah kontaminasi mineral, seperti sulfida,
klorit, dan karbonat.

16
2. Topografi Purba (Paleotopografi)
Morfologi cekungan mempunyai arti penting di dalam menentukan penyebaran
rawa-rawa tempat batubara terbentuk. Pada daerah pantai datar dan tidak berbukit
merupakan lingkungan yang baik untuk pembentukan batubara, demikian juga di
daerah cekungan benua, tetapi jumlahnya terbatas. Pada dataran stabil, erosi akan
mempengaruhi ukuran dan bentuk lakustrin, asal dan luas pengaliran, aliran air, dan
permukaan airtanah. Faktor-faktor tersebut mempengaruhi pembentukan batubara.

3. Posisi Geografi (Geographycal Position)


Posisi geografi berpengaruh terhadap iklim, khususnya temperatur. Pada daerah
tropik dan subtropik, tumbuhan dapat tumbuh subur dibanding di daerah sedang, di
daerah kutub tidak baik bagi pertumbuhan tumbuhan. Pembentukan batubara akan baik
pada rawa-rawa paralik yang tingginya sama dengan permukaan air laut.
Lingkungan pembentukan endapan gambut dipengaruhi oleh :
- Kenaikan muka airtanah lambat atau penurunan dasar cekungan lambat,
sehingga endapan gambut terhindar dari abrasi air laut.
- Adanya beting pantai, gosong pasir, atau tanggul alam yang menghalangi rawa-
rawa dari abrasi air laut, sehingga dapat mempertahankan endapan gambut dari
banjir sungai dan abrasi laut.
- Relief daratan yang rendah, sehingga pengendapan material fluviatil berbutir
halus akan menutupi endapan gambut yang terbentuk terlebih dahulu.
Berdasarkan posisi geografinya, terjadinya endapan batubara dapat di lingkungan
daratan (limnic) dan pantai laut (paralic). Pada prinsipnya pembentukan endapan
gambut memerlukan kondisi pemukaan airtanah yang konstan sepanjang tahun,
sehingga endapan organik dari tumbuhan yang mati segera terdekomposisi. Kondisi
demikian tergantung posisi geografinya, di samping iklim dan biasanya dijumpai di
daerah tepi pantai dimana air laut membendung air yang datang dari daratan. Juga pada
rawa-rawa dekat pantai. Untuk gambut di daratan dapat pada garis tepi danau atau
rawa yang besar.

17
4. Iklim (Climate)

Gambut berasal dari tumbuhan, sedangkan perkembangan tumbuhan dipengaruhi


oleh iklim, lebih khusus lagi adalah kelembaban. Pada daerah beriklim tropik dan
subtropik yang bertemperatur tinggi, umumnya sesuai untuk pertumbuhan tumbuhan
dibandingkan daerah beriklim dingin. Di samping itu, suhu yang lebih panas tidak
hanya mempercepat pertumbuhan tumbuhan, tetapi juga mempercepat pembusukan.

Hasil penelitian menyebutkan bahwa hutan rawa tropis mempunyai siklus


pertumbuhan setiap 7-9 tahun dan tumbuhan mencapai tinggi sekitar 30 m, sementara
di iklim dingin atau sedang untuk waktu yang sama pertumbuhannya hanya mencapai
ketinggian 5-6 m. Daerah iklim sedang miskin bahan makanan, sehingga didominasi
oleh lumut, sedangkan daerah tropik didominasi pohon.
Pada Karbon Akhir atau Tersier Awal, umumnya gambut terbentuk di iklim
tropis dan basah. Meskipun demikian, di belahan bumi selatan dan Siberia dijumpai
batubara yang terbentuk di iklim sedang dan basah, bahkan di iklim dingin seperti
batubara Gondwana (Permo-Karbon) dengan tumbuhan utama Gangamopteris,
Glossopteris, Cycadophyta, dan Conifers.
Lapisan batubara yang terbentuk di lingkungan iklim tropis basah umumnya
tebal dan cemerlang (bright coal), sebaliknya di iklim sedang atau dingin terdiri dari
sedikit batubara cemerlang. Meskipun demikian, selama pembentukan batubara tidak
selalu iklimnya tetap, seperti di belahan bumi selatan terdapat batubara tebal diselingi
lapisan yang tidak mengandung batubara. Kondisi ini ditafsirkan sebagai masa yang
kering dengan ciri sedimen berkadar garam tinggi dan diperkirakan suhunya lebih
dingin dibanding suhu sekarang.
5. Tumbuhan (Flora)
Tumbuhan merupakan unsur utama pembentuk batubara. Protoplasma adalah sel
pengisi tumbuhan hidup yang merupakan zat koloidal yang sebagian besar terdiri dari
air dan albumin kompleks atau campuran unsur C, H, O, N, S, dan P. Albumin hampir
tidak memiliki daya tahan terhadap pembusukan, fungsinya sebagai zat makan atau
nutrient bagi bakteri penyebab pembusukan.

18
Selaput sel terutama terdiri dari cellulose, merupakan karbohidrat yang tahan
terhadap perubahan kimiawi, tetapi dapat dengan mudah ditelan oleh mikro-
organisme. Di alam, cellulose bersama-sama dengan sederet unsur lain seperti
hemicellulose, pectins, lemak, dan lignin. Tiga yang pertama tidak memiliki daya
tahan terhadap pembusukan, sehingga kurang penting dalam pembentukan batubara.
Lignin diperlukan dalam perubahan bentuk tumbuhan, selalu terjalin secara
submikroskopis dengan cellulose dan merupakan bahan dasar jaringan kayu, walau
terdapat pula dalam daun. Resin dan lilin juga dihasilkan oleh tumbuhan, biasanya
termasuk hidrokarbon polimer tinggi dengan oksigen dan belerang dalam jumlah kecil.
Keduanya sangat tahan terhadap pembusukan.
Pemunculan tumbuhan tidak terlepas dari evolusi kehidupan yang
menghasilkan kondisi berbeda selama masa sejarah geologi. Mulai Paleozoik-
Devonian, tumbuhan tidak tumbuh dengan baik. Setelah Devon pertama kali terbentuk
lapisan batubara di daerah lagunal yang dangkal. Periode ini merupakan titik awal dari
pertumbuhan tumbuhan secara besar-besaran dalam kurun waktu yang singkat pada
setiap kontinen. Hutan tumbuh dengan subur selama Karbon, pada Tersier merupakan
perkembangan yang sangat luas dari berbagai jenis tumbuhan.
6. Pembusukan (Decomposition)
Pembusukan tumbuhan adalah proses peruraian unsur yang merupakan bagian
transformasi biokimia dari bahan organik tumbuhan. Setelah tumbuhan mati, maka
yang berperan adalah proses degradasi biokimia. Prosesnya adalah pembusukan oleh
kerja bakteri dan jamur, terutama di daerah yang bertemperatur hangat dan lembab
daripada di daerah kering dan bertemperatur dingin. Bakteri bekerja pada lingkungan
tanpa oksigen, mula-mula menghancurkan bagian yang lunak dari tumbuhan seperti
cellulose, protoplasma, dan pati. Dalam suasana kekurangan oksigen akan berakibat
keluarnya air dan sebagian unsur karbon dalam bentuk karbondioksida,
karbonmonoksida, dan metan. Akibat pelepasan unsur atau senyawa tersebut, maka
jumlah relatif unsur karbon akan bertambah. Dari proses ini akan terjadi perubahan
dari kayu menjadi gambut.

19
Kecepatan pembentukan gambut bergantung pada kecepatan pertumbuhan
tumbuhan dan proses pembusukan. Bila tumbuhan yang mati tertutup oleh air dengan
cepat, maka akan terjadi proses penguraian oleh bakteri. Sebaliknya apabila tumbuhan
yang telah mati terlalu lama berada di udara terbuka, maka kecepatan pembentukan
gambut akan berkurang, karena hanya bagian yang keras saja yang tertinggal, sehingga
menyulitkan penguraian oleh bakteri.
Pembusukan umumnya berjalan lebih cepat pada kondisi lingkungan yang selalu
berganti, yaitu dari reduksi ke oksidasi dan seterusnya. Kadar pembusukan akan
berpengaruh terhadap batubara yang akan terbentuk.
7. Penurunan Dasar Cekungan (Subsidence)
Penurunan cekungan merupakan hal penting, yaitu jika penurunan dan akumulasi
tumbuhan berjalan seimbang, maka akan menghasilkan endapan batubara tebal.
Pergantian transgresi dan regresi juga akan mempengaruhi pertumbuhan tumbuhan dan
pengendapannya, juga menyebabkan adanya infiltrasi material dan mineral yang akan
mempengaruhi komposisi batubara.
Kecepatan penurunan yang lebih cepat dari kecepatan akumulasi tumbuhan akan
mengakibatkan air menggenangi rawa-rawa dan hutan sekelilingnya, sehingga
kehidupan tumbuhan terganggu. Jika penurunan lebih lambat dari kecepatan akumulasi
tumbuhan, maka akan menyebabkan akumulasi tumbuhan di permukaan. Akibatnya
permukaan airtanah akan turun dan tumbuhan membusuk oleh udara.
8. Waktu Geologi (Geological age)
Waktu geologi menentukan berkembangnya beragam tumbuhan, misal pada
jaman Karbon dijumpai endapan batubara yang melimpah karena pada jaman tersebut
perkembangan tumbuhan mencapai puncaknya.
Waktu geologi juga dapat meningkatkan derajat batubara, karena makin tua umur
endapan batubara, maka besar kemungkinannya tertimbun lebih dalam dan lebih tebal
oleh endapan sedimen dibandingkan yang berumur muda. Meskipun demikian, pada
batubara yang lebih tua selalu ada risiko mengalami deformasi tektonik dan pengaruh
erosi, sehingga dapat mengganggu atau mengurangi endapan batubara yang ada.

20
Perkecualian dapat terjadi, sekalipun endapan batubara berumur tua, belum tentu
akan tertimbun oleh sedimen yang lebih tebal atau mempunyai peringkat yang lebih
tinggi. Bahkan adanya terobosan batuan beku dapat membuat endapan batubara muda
mencapai peringkat yang tinggi, misalnya endapan semi-antrasit yang berumur Mio-
Pliosen di Suban, Tanjung Enim dan berumur Miosen Tengah di Bukit Sunur,
Bengkulu.
9. Sejarah Setelah Pengendapan (Post-depositional history)
Sejarah cekungan batubara sangat tergantung pada posisi geotektoniknya, karena
posisi geotektonik mempengaruhi perkembangan cekungan batubara dan berpengaruh
pada tebalnya lapisan penutup yang pada akhirnya menentukan proses kecepatan
metamorfosa organik dan bertanggungjawab terhadap struktur cekungan batubara,
lipatan, sesar, atau terobosan batuan beku. Secara singkat dapat berpengaruh terhadap
aspek geometri lapisan batubara dan kualitas batubara.
10. Metamorfosa Organik (Organic metamorphism)
Perubahan fisik dan kimia dari organisme secara berangsur menjadi bentuk lain
yang susunannya lebih kompleks, umumnya pada kondisi tanpa oksigen. Prosesnya
dibagi menjadi dua tahap, yaitu perubahan biokimia dan perubahan geokimia.
Proses biokimia yaitu perubahan dari tumbuhan mati menjadi gambut dan
proses geokimia yaitu perubahan dari gambut menjadi batubara. Pada proses geokimia,
kenaikan suhu memegang peranan penting, yaitu berkurangnya unsur hidrogen dan
oksigen yang diikuti oleh meningkatnya unsur karbon, sehingga derajat batubara
makin meningkat. Kenaikan suhu ini terutama disebabkan oleh tebalnya batuan yang
menindihnya atau adanya terobosan magma batuan beku.
Metamorfosa organik dipengaruhi oleh proses yang bekerja setelah
pengendapan, secara tidak langsung juga dipengaruhi oleh posisi geotektonik,
kecepatan penurunan cekungan, dan waktu geologi.

21
3.7. Sifat Batubara
Batubara merupakan suatu campuran padatan yang heterogen dan terdapat di
alam dalam tingkat yang berbeda mulai dari lignit, subbitumine, bitumine dan antrasit.
a. Sifat batubara jenis lignit
- Warna hitam, sangat rapuh.
- Nilai kalori rendah, kandungan karbon sedikit.
- Kandungan air tinggi.
- Kandungan abu banyak.
- Kandungan sulfur banyak.
b. Sifat batubara jenis bitumine / subbitumine
- Warna hitam mengkilat, kurang kompak.
- Nilai kalori tinggi, kandungan karbon relatif tinggi.
- Kandungan air sedikit.
- Kandungan abu sedikit.
- Kandungan sulfur sedikit.
c. Sifat batubara jenis antrasit
- Warna hitam sangat mengkilat, kompak.
- Nilai kalori sangat tinggi, kandungan karbon sangat tinggi.
- Kandungan air sangat sedikit.
- Kandungan abu sangat sedikit.
- Kandungan sulfur sangat sedikit.

3.8. Karakteristik Fisik Batubara

Data karakteristik fisik lapisan batubara didapat dari data profil yaitu dengan
melakukan pengamatan langsunng di lapangan. Adapun parameternya adalah sebagai
berikut:
1. Warna : Warna batubara bervariasi dari coklat hingga hitam legam. Warna
batubara yang hitam, mengkilap penyusunnya terdiri dari vitrain (berbentuk
lapisan, sangat mengkilap, pecahan konkoidal; kaya akan maseral vitrinite yang
berasal dari kayu dan serat kayu), dan clarain (berbentuk lapisan-lapisan tipis

22
sebagian mengkilap dan kusam; kaya akan maseral vitrinite dan liptinite berasal
dari spora, kutikula, serbuk sari, getah). Warna hitam : bituminous – antrasit (high
rank). Warna coklat : lignite (low rank).
2. Pelapukan : Batubara yang cepat lapuk (low rank), sedangkan high rank tidak cepat
lapuk. Proses penguapan air lembab menyebabkan pecahnya batubara, sehingga
mempercepat proses oksidasi dan penghancuran tekstur umum batubara.
3. Gores : Warna gores bervariasi dari hitam legam hingga coklat. Lignit mempunyai
gores coklat, bituminous goresnya hitam sampai hitam kecoklatan.
4. Kilap : Kilap tergantung dari tipe dan derajat batubara. Kilap kusam umumnya
berderajat rendah (low rank), batubara berderajat tinggi (high rank) umumnya
mengkilap.
5. Kekerasan : Kekerasan berhubungan dengan struktur batubara, yaitu komposisi dan
jenisnya. Batubara kusam dan berkualitas rendah umumnya keras, sedangkan
batubara cerah dan berkualitas baik umumnya tidak keras atau mudah pecah.
6. Pecahan : Pecahan memperlihatkan bentuk dari potongan batubara dalam sifat
memecahnya. Antrasit atau high bituminous pecahannya konkoidal, sedangkan
bituminous dan lignit pecahannya tidak teratur. Batubara dengan kandungan zat
terbang (volatile matter) rendah pecahannya meniang, sedangkan batubara
kandungan zat terbang tinggi pecahannya persegi atau kubus.
3.9. Variasi Ketebalan Lapisan Batubara

Bentuk tiga dimensi atau geometri dari tubuh lapisan batubara dipengaruhi
secara langsung oleh letak pengendapan dimana sikuen tersebut terakumulasi. Kontrol
topografi ini akan berpengaruh terhadap ketebalan, kadar dan kemenerusan lapisan
batubara. Demikian juga dengan pengeruh kondisi lingkungan, yaitu pengaruh proses
internal rawa seperti perkembangan tanaman, proses pembusukan tanaman,
pembakaran dan aliran air dapat mempengaruhi kemenerusan lapisan batubara.
Variasi ketebalan batubara juga dipengaruhi oleh proses-proses yang bekerja
selama pengendapan dan sesudah pengendapan. Proses yang bekerja selama
pengendapan meliputi perbedaan kecepatan penimbunan batubara, bentuk morfologi

23
cekungan pengendapan batubara, proses penurunan cekungan pada waktu sedimentasi,
pensesaran pada waktu sedimentasi dan akibat proses karst. Adapun proses yang
bekerja sesudah pengendapan, itu adanya chanelling seperti washout, akan
berpengaruh terhadap ketebalan dan kemenerusan lapisan batubara. Tektonik yang
berkembang di cekungan sedimentasi juga mempengaruhi variasi ketebalan.
Berdasarkan kontrol lingkungan pengendapannya, maka Horne (1978)
menyebutkan bahwa batubara yang terbentuk di lingkungan back-barrier cenderung
tipis. Pada lingkungan lower delta plain umumnya juga tipis, sebaliknya pada upper
delta plain dan transisi batubaranya relatif tebal.
Faktor-faktor diatas bisa digunakan untuk standard perencanaan dan program
eksplorasi skala besar, termasuk aspek-aspek yang ada sebagai penentuan secara
selektif rencana titik bor yang lebih tepat. Hal-hal yang berhubungan dengan
perencanaan dan pengoperasian tambang batubara dan sejumlah contoh penggunaan
data tersebut secara rinci telah dikemukakan oleh Horne (1978).
3.10. Bentuk Lapisan Batubara
Menurut Robert Stefanko (1983) bentuk cekungan, proses sedimentasi, proses geologi
selama dan sesudah proses pembatubaraan akan menentukan lapisan batubara.
Mengetahui bentuk lapisan batubara sangat menentukan dalam menghitung cadangan
dan merencanakan cara penambangannya. Bentuk lapisan batubara terdiri dari sebagai
berikut :
• Bentuk Pinch dan Horse Back
Istilah pinch, squeeze atau swell digunakan ketika suatu bagian dari
lapisan batubara menjadi mengecil atau menipis kemudian menebal kembali.
Hal ini disebabkan oleh naiknya lantai (floor) atau turunnya atap (roof) dari
lapisan batubara. Pinch dan horseback terbentuk sebagai akibat dari adanya
tekanan yang mempengaruhi lapisan batubara oleh pergerakan kerak bumi
selama masa pembentukan atau oleh perubahan lapisan yang berbatasan
langsung dengan lapisan batubara.

24
A

Gambar 3.5. Deposit Batubara Bentuk A.) Horse Back dan B.) Pinch (Robert Stefanko, 1983)
• Bentuk Parting
Parting adalah lapisan batuan atau material yang terdapat di dalam
lapisan batubara sehingga memisahkan batubara menjadi beberapa lapisan.
• Bentuk Split Coal
Split coal adalah lapisan batubara yang terpisah oleh parting lempung,
serpi atau sandstone dengan ketebalan tertentu sehingga mengakibatkan
lapisan yang terpisah tidak dapat ditambang secara bersamaan.

Gambar 3.6. Deposit Batubara Bentuk Split Coal (Robert Stefanko, 1983)
• Bentuk Washed Out
Washed Out adalah adanya cut out lapisan batubara. Cut Out sendiri
didefenisikan sebagai batulempung atau batuserpih yang mengisi bagian
tererosi dalam lapisan batubara. Menurut Robert Stefanko (1983), washed

25
out adalah hilangnya sebagian atau seluruh lapisan batubara yang kemudian
tergantikan oleh endapan sedimen lain akibat adanya erosi dan pengendapan.

Gambar 3.7. Deposit Batubara Bentuk Washed Out (Robert Stefanko, 1983)
• Bentuk Intrusi Batuan Beku
Kontribusi utama dari intrusi batuan beku pada struktur lapisan batubara
adalah pemanasan dan efek devolatilisasi (penguapan materi volatile) yang
terjadi ketika magma panas membentuk suatu sill atau laccolith di dekat
lapisan batubara atau ketika korok (dike) menembus formasi batubara.
Lacolith dan sill memiliki daerah pengaruh pemanasan yang lebih besar
terhadap formasi batuan di sekitarnya disbanding korok. Kualitas batubara
atau kandungan karbon akan meningkat dengan semakin dekatnya jarak
lapisan batubara terhadap sumber panas. Terjadinya gradasi dalam rank ini
adalah disebabkan oleh perbedaan tingkat devolatilisasi yang dipengaruh
oleh panas.

Gambar 3.8. Deposit Batubara Bentuk Intrusi Batuan Beku (Robert Stefanko, 1983)

26
• Bentuk Fault
Rekahan atau patahan pada kerak bumi atau batuan dengan satu bagian
bergerak relatif terhadap bagian yang lain (Robert Stefanko, 1983).
Pergerakan – pergerakan ini bisa secara vertikal, horizontal atau perputaran.

Gambar 3.9. Deposit Batubara Bentuk Fault (Robert Stefanko, 1983)


• Bentuk Fold
Lipatan adalah hasil perubahan bentuk atau volume dari suatu bahan
yang ditunjukkan sebagai lengkungan atau kumpulan di lingkungan pada
unsur garis atau bidang di dalam bahan tersebut (Robert Stefanko, 1983).
Pada umumnya unsur yang terlibat di dalam lipatan adalah struktur bidang,
misalnya bidang perlapisan atau foliasi. Lipatan merupakan gejala penting
yang mencerminkan sifat dari deformasi batuan.

Gambar 3.10. Deposit Batubara Bentuk Fold (Robert Stefanko, 1983)

27
3.11. Geometri Lapisan Batubara
Geometri lapisan batubara adalah aspek dimensi atau ukuran dari suatu lapisan
batubara yang meliputi parameter tebal, kemiringan, pola sebaran, kemenerusan,
bentuk, keteraturan, roof dan floor, serta pelapukan.
Menurut Jeremic (1985) ada 4 parameter geometri lapisan batubara sebagai berikut:
1. Ketebalan: sangat tipis (<0,5 m), tipis (0,5 – 1,5 m), sedang (1,5 – 3,5 m),
tebal (3,5 – 25 m), sangat tebal (>25 m).
2. Kemiringan: horizontal, landai (<25o), miring (25 o – 45 o), miring – curam (45
o
-75 o), dan vertikal.
3. Pola kedudukan atau sebaran: teratur dan tidak teratur.
4. Kemenerusan: ratusan meter, ribuan meter (5 – 10 km) dan lebih dari 200 km.
Menurut Kuncoro (2000) menjelaskan agar geometri lapisan batubara menjadi berarti
dan menunjang untuk perhitungan cadangan, bahkan sampai pada tahap perencanaan
tambang, penambangan, pencucian, pengangkutan, penumpukan, maupun pemasaran,
maka parameternya adalah sebagai berikut :
• Ketebalan
Ketebalan lapisan batubara berhubungan langsung dengan perhitungan
cadangan, perencanaan produksi, sistem panambangan dan umur tambang.
Karenanya, maka faktor pengendali terjadinya arah perubahan ketebalan,
penipisan, pembajian, splitting dan kapan terjadinya perlu diketahui. Apakah
terjadi selama proses pengendapan, antara lain akibat perbedaan kecepatan
akumulasi batubara, perbedaan morfologi dasar cekungan, hadirnya channel, sesar
dan proses karst atau terjadi setelah pengendapan, antara lain karena sesar atau
erosi permukaan.
Pengertian tebal perlu dijelaskan, apakah tebal tersebut termasuk parting
(gross coal thickness), tebal lapisan batubara tidak termasuk parting (net coal
thickness) atau tebal lapisan batubara yang dapat ditambang (mineable thickness).

28
• Kemiringan
Besarnya kemiringan lapisan batubara berpengaruh terhadap perhitungan
cadangan ekonomis, nisbah pengupasan, dan sistem penambangan. Besarnya
kemiringan harus berdasarkan hasil pengukuran dengan akurasi tinggi. Dianjurkan
pengukuran kedudukan lapisan batubara menggunakan kompas dengan metode dip
direction, sekaligus harus mempertimbangkan kedudukan lapisan batuan yang
mengapitnya.
Pengertian kemiringan, selain besarnya kemiringan lapisan juga masih perlu
dijelaskan: apakah pola kemiringan lapisan batubara tersebut bersifat menerus dan
sama besarnya sepanjang cross strike maupun on strike atau hanya bersifat
setempat, apakah pola kemiringan lapisan batubara tersebut membentuk pola linier,
pola lengkung, atau pola luasan (areal) serta mengenai faktor-faktor pengendalinya.
• Pola Sebaran Lapisan Batubara
Pola sebaran lapisan batubara akan berpengaruh pada penentuan batas
perhitungan cadangan dan pembagian blok penambangan. Oleh karena itu,
faktor pengendalinya harus diketahui, yaitu apakah dikendalikan oleh
struktur lipatan (antiklin, sinklin, menunjam), homoklin, struktur sesar
dengan pola tertentu atau dengan pensesaran kuat.
• Kemenerusan Lapisan Batubara
Faktor pengendalinya adalah jarak dan apakah kemenerusannya dibatasi
oleh proses pengendapan dan split, sesar,, intrusi atau erosi. Contoh pada
split, kemenerusan lapisan batubara dapat terbelah oleh bentuk membaji dari
sedimen, bukan batubara. Berdasarkan penyebabnya dapat karena proses
sedimentasi (autosedimentational split) atau tektonik yang ditunjukkan oleh
perbedaan penurunan dasar cekungan yang mencolok akibat sesar.
• Keteraturan Lapisan Batubara
Faktor pengendalinya adalah pola kedudukan lapisan batubara (jurus dan
kemiringan), artinya : apakah pola lapisan batubara di permukaan
menunjukkan pola teratur (garis menerus yang lurus, melengkung pada

29
elevasi yang hampir sama) atau membentuk pola tidak teratur (garis yang
tidak menerus, melengkung pada elevasi yang tidak sama), apakah bidang
lapisan batubara membentuk bidang permukaan yang hampir rata,
bergelombang lemah atau bergelombang, serta juga harus dipahami faktor
pengendali keteraturan lapisan batubara.
• Bentuk Lapisan Batubara
Bentuk lapisan batubara adalah perbandingan antara tebal lapisan
batubara dan kemenerusannya, apakah termasuk kategori bentuk melembar,
membaji, melensa, atau bongkah.
• Roof dan Floor
Kontak batubara dengan roof merupakan fungsi dari proses
pengendapannya. Pada kontak yang tegas menunjukkan proses pengendapan
berlangsung secara tiba- tiba, sebaliknya jika proses pengendapan lambat
kontaknya akan terlihat berangsur kandungan karbonannya. Roof banyak
mengandung fosil sehingga baik untuk korelasi.
Litologi pada floor lebih bervariasi seperti serpih, batulempung,
batulanau, batupasir, batugamping atau soil yang umumnya lebih masif. Bila
berupa seatearth (merupakan istilah umum untuk batuan berbutir kasar
maupun halus yang mengandung akar tumbuhan dalam posisi tumbuh dan
berada di bawah lapisan batubara) umumnya mengandung bekas akar
tumbuhan, berwarna abu-abu cerah sampai coklat, plastis, merupakan tanah
purba tempat tumbuhan hidup, tidak mengandung alkali, kandungan kalsium
dan besi rendah. Terjadi karena proses perlindian oleh air yang jenuh asam
humik dari pembusukan tanaman.
• Cleat
Cleat adalah kekar didalam lapisan batubara, khusunya pada batubara
bituminous yang ditunjukkan oleh serangkaian kekar yang sejajar. Adanya
cleat dapat disebabkan beberapa faktor :

30
• Mekanisme pengendapan • Tektonik (struktur geologi)
• Petrografi batubara • Aktifitas penambangan
• Derajat batubara
Berdasarkan genesanya membedakan cleat menjadi tiga jenis, yaitu :
Endogenous cleat dibentuk oleh gaya internal akibat pengeringan atau
penyusutan material organic. Umumnya tegak lurus bidang perlapisan
sehingga bidang kekar cenderung membagi lapisan batubara menjadi
fragmen-fragmen tipis yang tabular.
Exogenic cleat dibentuk oleh gaya eksternal yang berhubungan dengan
kejadian tektonik. Mekanismenya tergantung pada karakteristik struktur
dari lapisan pembawa batubara. Cleat ini terorientasi pada arah tegasan
utama dan terdiri dari dua pasang kekar yang saling membentuk sudut.
Included cleat bersifat lokal akibat proses penambangan dengan adanya
perpindahan beban kedalam struktur tambang. Frekuensi included cleat
tergantung pada tata letak tambang dan macam teknologi penambangan yang
digunakan.
Terjadinya cleat ada hubungannya dengan pola kekar pada lapisan
pembawa batubara, sehingga dapat digunakan untuk menghubungkan pola
cleat dengan struktur geologi dari suatu daerah.
• Pelapukan
Tingkat pelapukan batubara penting dilakukan karena berhubungan
dengan dimensi lapisan batubara, kualitas, perhitungan cadangan dan
penambangannya. Oleh karena itu karakteristik pelapukan dan batas
pelapukan harus ditentukan. Pada batubara lapuk selain harus ditentukan
batasnya dengan batubara segar, juga berpengaruh pada pengukuran
tebalnya. Kondisi ini umumnya dijumpai pada batubara dengan kandungan
abu dan moisture tinggi.

31
3.12. Pola Sebaran Batubara
Pola adalah bentuk atau model (atau lebih abstrak) yang biasa dipakai untuk
membuat atau menghasilkan suatu bagian dari sesuatu, khususnya sesuatu yang
ditimbulkan cukup memiliki sesuatu yang sejenis untuk pola dasar yang dapat
ditunjukkan atau terlihat. Sebaran adalah sesuatu yang disebarkan atau melampar luas
(Kamus Besar Bahasa Indonesia).
Secara umum geometri lapisan batubara memang lebih sederhana apabila
dibandingkan dengan endapan mineral yang lain (Spero Carras, 1984; dalam B.
Kuncoro, 2000). Tetapi kenyataan di lapangan, selain ditemukan sebagai lapisan yang
melampar luas dengan ketebalan menerus dan dalam urutan yang teratur, juga
dijumpai lapisan batubara yang menyebar tidak teratur, tidak menerus atau setempat,
menebal, menipis, terpisah dan melengkung dengan geometri yang bervariasi.
Pola sebaran lapisan batubara di dapat dari data permukaan berupa data
kedudukan lapisan batuan pada singkapan batubara kemudian dilakukan penarikan
cropline dengan menggunakan metode kontur struktur (ks) dan memperhatikan
bentukan morfologi (hukum V) serta didukung pula dari data bawah permukaan berupa
data lubang bor. Pola sebaran lapisan batubara akan berpengaruh pada penentuan batas
perhitungan cadangan dan pembagian blok penambangan. Oleh karena itu, faktor
pengendalinya harus diketahui, yaitu apakah dikendalikan oleh struktur lipatan
(antiklin, sinklin, menunjam), homoklin, struktur sesar dengan pola tertentu atau
dengan pensesaran kuat.
Diketahuinya secara baik geometri lapisan batubara merupakan hal yang sangat
penting di dalam penentuan sumber daya atau cadangan batubara. Pola sebaran dan
kemenerusan lapisan batubara merupakan parameter di dalam geometri lapisan
batubara. Menurut Kuncoro (2000), pola sebaran dan kemenerusan lapisan batubara
dapat hadir bervariasi, bahkan pada jarak dekat sekalipun.
Pola sebaran dan kemenerusan lapisan batubara dilakukan untuk menentukan
endapan batubara yang memiliki cadangan ekonomis. Pola sebaran ini sangat berkaitan
dengan penaksiran cadangan batubara sebagai evaluasi potensi batubara. Pada

32
pembuatan peta tematik cadangan batubara, pola sebaran dan kemenrusan lapisan
batubara mempunyai pengaruh dalam penentu ukuran tingkat ketidakpastian (nilai data
tersebut). Informasi ketidakpastian suatu nilai (variable/data) sangat penting bagi para
pengambil keputusan untuk memperkirakan output apa yang mungkin didapat dari
setiap lokasi yang diinterpolasi (Indarto, 2013).

33
BAB IV
GEOLOGI REGIONAL
4.1 Fisiografi Cekungan Bengkulu
Berdasarkan posisi geografisnya, daerah penelitian termasuk ke dalam zona
fisiografi cekungan Bengkulu (Gafoer, dkk. 1992) (Gambar 4.1.) Lembar Bengkulu
didominasi Pegunungan Barisan dan Perbukitan Bergelombang, pada bagian Timur
termasuk pada bagian cekungan Sumatera Selatan, sedangkan pada bagian Barat
termasuk ke dalam cekungan Bengkulu. Secara fisiografi, cekungan bengkulu dapat
dibagi menjadi lima satuan fisiografi ; Dataran Rendah, Pebukitan Bergelombang
Lemah, Dataran Tinggi, Pegunungan dan Kerucut Gunung Api. Daerah penelitian
termasuk ke dalam satuan fisiografi Perbukitan bergelombang lemah.

Daerah Penelitian

Gambar 4.1. Fisiografi Cekungan Bengkulu dan Sekitarnya (Gafoer. dkk, 1992)

34
4.2 Stratigrafi Regional Cekungan Bengkulu
Tatanan stratigrafi yang terdapat di daerah Bengkulu terdiri dari batuan yang
memiliki umur kisaran Tersier- Kuarter. Berdasarkan Peta Geologi Regional Lembar
Bengkulu (Gafoer. dkk, 1992) (Gambar 4.2).

Gambar 4.2. Stratigrafi cekungan Bengkulu berdasarkan Peta Geologi Lembar Bengkulu (Gafoer dkk,
1992)

Cekungan Bengkulu di bagian Timur berbatasan dengan cekungan Sumatera


Selatan sedangkan dibagian Barat cekungan Bengkulu terbuka ke Samudera Hindia.
Adapun urutan formasinya dari tua ke muda adalah sebagai berikut:
- Formasi Hulusimpang

Formasi Hulusimpang berumur (Oligosen Akhir-Miosen Tengah), pada


umumnya litologi formasi Hulusimpang terdiri atas lava, breksi gunungapi dan tufa
bersusunan andesit dan lava. Batuan pada formasi ini sering didapatkan sudah
mengalami ubahan,urat-urat kuarsa sering dijumpai. Pada beberapa tempat formasi
Hulusimpang diterobos oleh batuan plutonik berkomposisi Diorit dan Granodiorit.

35
- Formasi Seblat

Formasi Seblat berumur (Oligosen Akhir- Miosen Tengah) menjemari dengan


formasi Hulusimpang. Didaerah inventarisasi batuan yang tersingkap terdiri atas
lapisan batupasir mengandung kayu terkesikkan, batulempung, batupasir
konglomeratan, batugamping, serpih, napal, batulempung tufan dengan sisipan
batupasir. Pada bagian bawahnya terdapat lapisan konglomerat dan lapisan
batulempung. Formasi ini diendapkan dalam lingkungan laut dangkal.
- Formasi Lemau

Formasi Lemau berumur Miosen Tengah didominasi oleh breksi dengan


sisipan batupasir, breksi gunungapi klastika dengan sisipan dasit, batupasir
mengandung moluska, batulempung, batulanau, batugamping. Pada beberapa tempat
terdapat lempung menyerpih yang mengandung lapisan batubara. Formasi ini
diperkirakan diendapkan dalam lingkungan laut dangkal.
- Formasi Bal

Formasi Bal berumur Miosen Tengah penyebaran litologinya terdiri atas breksi
gunungapi dan batupasir. Breksi gunungapi bersifat epiklastik, dasitan, terdapat
sisipan batupasir. Formasi Bal berumur Miosen Tengah dan berada tidak selaras diatas
formasi Seblat dan menjemari dengan formasi Lemau.
- Formasi Simpang Aur

Formasi Simpangaur berada selaras diatas formasi Lemau. Di daerah


inventarisasi litologinya terdiri atas konglomerat dengan sisipan batupasir tufan dan
batulempung sisipan batubara, batulempung dan batulanau. Konglomerat dijumpai
dengan ukuran komponen antara 0.5- 2 cm, berwarna abu-abu sampai kecoklatan,
pemilahan cukup baik. Batupasir berbutir sedang sampai kasar, karbonan, berlapis
tipis-tipis.

36
- Formasi Bintunan

Konglomerat polimik, breksi, batulempung mengandung lapisan lignit tipis.


Konglomerat, kelabu kekuningan, terpilah sedang, berkomponen pecahan andesit,
batuapung, tuf, batusabak dan batuan terubahkan. Breksi, kelabu-kehitaman
didominasi oleh pecahan batuan gunung api, terutama lava. Batulempung, berwarna
kelabu kecoklatan, lunak dan mudah pecah, tufaan mengandung batuapung dan kayu
terkersikan serta sisipan lignit. Menindih tak selaras formasi dibawahnya dan dapat di
sebandingkan dengan Formasi Maur pada Lajur Barisan. Serta Formasi Kasai Pada
Lajur Palembang. Diendapkan pada lingkungan peralihan yang berair payau.
- Batuan Gunung Api Kuarter

Batuan gunungapi berumur kuarter terdiri atas Batuan Gunungapi


berkomposisi andesit-basal dan batuan Gunungapi kuarter formasi Bintunan terdiri
atas konglomerat, batulempung dan batuan gunungapi riodasit- andesit. Posisi batuan
gunungapi Kuarter ini berada tidak selaras diatas Formasi Simpangaur dan
mempunyai kisaran umur antara Pliosen sampai Plistosen.
- Endapan Permukaan

Endapan permukaan terdiri atas Aluvium dan endapan rawa, terdiri atas
material-material lepas tak terkonsolidasi, berupa bongkah, kerakal, pasir dan lumpur
mengandung sisa-sisa tumbuhan.

4.3 Kerangka Tektonik dan Struktur Regional

Sumatera terbentuk akibat adanya tumbukan antara Lempeng Indo – Australia


yang menunjam masuk ke dalam Lempeng Eurasia, dengan tiga kali perubahan system
subduksi yang menyebabkan terbentuknya tiga pola sesar dengan arah baratlaut –
tenggara pada Jura Akhir – Kapur Akhir dengan fase kompresi, arah utara – selatan
pada Kapur Akhir – Tersier Awal dengan fase tensional dan arah timurlaut –
baratdaya pada Miosen Tengah – Resen dengan fase kompresi (Pulunggono, 1992)
(Gambar 4.3). Pada Tersier – Resen terjadi pertemuan lempeng secara oblique dengan

37
kecepatan 5 – 7 cm per tahun yang kemudian membentuk sudut N 0250E pada bagian
selatan Sumatera dan membentuk sudut N 0310E pada bagian utara Sumatera,
sehingga terbentuk sesar utama Sumatera dengan pergerakan strike-slip fault berupa
Sesar Semangko yang membentuk struktur penyerta sepanjang jalur sesar (Newcomb
dan McCann, 1987). Selain itu, akibat pertemuan lempeng tersebut menyebabkan
terbentuknya ruang berupa half graben, horst dan blok sesar yang kemudian
membentuk cekungan-cekungan tersier yang terdiri dari cekungan muka busur,
belakang busur dan cekungan antar gunung.

Gambar 4.3. Model Ellipsoid Sumatera dari Jura Akhir – Resen (modifikasi dari Pulunggono, 1992)

Cekungan Bengkulu merupakan cekungan muka busur dengan aktivitas


tektonik relative tinggi yang berada di antara zona subduksi serta gugusan gunung api
di sepanjang Bukit Barisan. Menurut Yulihanto dkk. (1995) Cekungan Bengkulu
merupakan cekungan muka busur yang terdiri dari daerah darat dan lepas pantai yang
terbentuk sejak Eosen – Oligosen. Awalnya cekungan ini tersusun oleh material
sedimen yang equivalent dengan Formasi Lahat di Cekungan Sumatera Selatan. Area
cekungan terbentuk relatif oval yang memanjang baratlaut – tenggara pada bagian
barat Sumatera, dibatasi oleh Tinggian Mentawai – Enggano dibagian Barat, Tinggian
Bukit Barisan dibagian timur, Busur Keanpini dibagian baratlaut dan ditenggara
berbatasan langsung dengan Selat Sunda. Wilayah cekungan melebar dari Batasan

38
Cekungan Sumatera Selatan sampai Mentawai yang berada diantara dua sistem sesar
utama Sumatera yaitu Sesar Mentawai dan Sesar Semangko. Cekungan Bengkulu
terbagi menjadi dua cekungan akibat adanya Tinggian Masmambang yang
memisahkan antar cekungan dengan arah utara – selatan yang menjadi Sub-Cekungan
Pagarjati dan Ipuh pada bagian utara dan Sub-Cekungan Kedurang pada bagian
selatan.
Pada Oligosen Akhir – Miosen Awal sedimentasi di Cekungan Bengkulu
berlangsung pada kondisi perubahan lingkungan dari daratan berupa produk vulkanik
yang dominan menuju genang laut dengan kehadiran batuan-batuan sedimen pencari
lingkungan laut dangkal – dalam, yang berlangsung pada fase transgresi sepanjang
Daratan Padang – Bengkulu (Mukti dkk, 2011) pada Miosen Tengah – Miosen Akhir
sedimentasi terus berlangsung dengan penciri sedimen klastik laut dangkal dan
terdapat kehadiran batugamping yang berlangsung pada perubahan fase transgresi
menuju fase regresi, sehingga terjadi perubahan pengendapan dari sedimen laut
dangkal menuju transisi. Pada Miosen Akhir terjadi peningkatan tektonik yang
menyebabkan terjadinya pengangkatan blok-blok sesar, sehingga muncul zona
accretionary complex di atas jalur subduksi yang membentuk pulau-pulau kecil
sepanjang sisi barat pantai Sumatera (Mukti dkk, 2011). Akibat letusan gunungapi
yang terjadi pada Plio-Plistosen sepanjang jalur Bukit Barisan menyebabkan cekungan
yang ada di Sumatera termasuk cekungan muka busur mengandung produk vulkanik
yang dominan pada akhir pengendapan.
Cekungan Bengkulu terbentuk seiring dengan pembentukan Sundaland dan
Sumatera Fault System (Sesar Ketahun – Tanjung Sakti dan Sesar Manna)
menghasilkan transtentional duplex berarah baratlaut – tenggara dan tensional fault
berarah utara – selatan. Menurut Pulunggono (1984) cekungan ini berasal dari
microcontinental plate pada bagian barat Sumatera. Kemudian, Yulihanto dkk. (1995)
menjelaskan akibat gaya tensional yang bekerja terjadi penarikan cekungan yang
melampau batas elastisitasnya, sehingga regangan tersebut membentuk blok-blok sesar
berupa graben dan half-graben yang menyebabkan penurunan cekungan pada Miosen.

39
Cekungan Bengkulu mengalami dua fase pembentukan sistem graben, yaitu sistem
graben Paleogen – Eosen yang memiliki arah timurlaut – baratdaya berupa Sesar
Napalan dan sistem graben Oligosen Akhir – Miosen dengan arah utara – selatan
(Yulihanto dkk, 1995).

Keterangan :
: Daerah Penelitian

Gambar 4.4. Konfigurasi struktur Paleogen – Eosen Graben System yang bekerja pada Cekungan
Bengkulu (modifikasi dari Yulihanto dkk, 1995)

40
BAB V
GEOLOGI DAERAH PENELITIAN
5.1 Geomorfologi Daerah Telitian

Geomorfologi merupakan studi yang mempelajari bentuklahan di permukaan bumi.


Bentuklahan tersebut dipengaruhi oleh proses – proses geomorfologi, yaitu proses
endogen dan proses eksogen. Proses endogen merupakan aktivitas tektonik yang
membentuk struktur lipatan dan sesar di daerah telitian. Proses eksogen berupa
pelapukan, proses erosi, maupun proses pengendapan oleh air, angin, dan sungai.
Metode yang digunakan dalam pembagian satuan geomorfologi pada daerah
penelitian berdasarkan klasifikasi Van Zuidam, 1983 dengan mengacu pada aspek-
aspek geomorfologi, yaitu:

1. Morfologi
Studi bentuk lahan yang mempelajari relief secara umum, meliputi :
a. Morfografi : bersifat deskriptif atau pemerian suatu bentuk lahan,
antara lain perbukitan, dataran, tubuh sungai, dan lain-lain.
b. Morfometri : merupakan aspek kuantitatif dari suatu bentuk lahan,
antara lain kelerengan, ketinggian, beda tinggi dan lain-lain.
Tabel 5.1. Klasifikasi kemiringan lereng (Van Zuidam, 1983)
No Keadaan Lereng (%) (O)

1. Datar – Hampir datar 0-2 0–2

2. Landai 3-7 2–4

3. Miring 8-15 4–8

4. Agak curam 16-30 8 –16

5. Curam 31-70 16 – 35

6. Sangat curam 71-140 35 – 55

7. Curam sekali >140 >55

41
2. Morfogenesa
Merupakan asal usul pembentukan dan perkembangan bentuklahan serta proses-
proses geomorfologi yang terjadi, dalam hal ini adalah struktur geologi, litologi
penyusun dan proses geomorfologi.
a. Morfostruktur pasif : berdasarkan tipe batuan berkaitan dengan
resistensi batuan dan pelapukan
b. Morfostruktur aktif : berhubungan dengan tenaga endogen yang
dinamis misal pengangkatan, perlipatan, dan
lain-lain
c. Morfodinamik : berkaitan erat dengan tenaga eksogen seperti
proses air, fluvial, es, angin, dan gerakan tanah
misal gumuk pasir, undak sungai, pematang
pantai
Pembagian morfogenesa didasarkan atas kontrol utama pembentuknya atau proses
geologi, yang mengacu pada klasifikasi Van Zuidam, 1983, yang membagi satuan
geomorfologi menjadi 8 satuan, untuk setiap satuan diberi warna. Pembagian satuan
geomorfologi tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.2.
Tabel 5.2. Klasifikasi bentuk asal menurut Van Zuidam, 1983
Warna Satuan Bentukasal

Ungu Satuan bentuk asal Struktural

Merah Satuan bentuk asal Vulkanik

Coklat Satuan bentuk asal Denudasional

Biru Satuan bentuk asal Marine / pantai

Hijau Satuan bentuk asal Fluvial

Biru terang Satuan bentuk asal Glasial

Jingga Satuan bentuk asal Karst

Kuning Satuan bentuk asal Aeolian

42
Berdasarkan morfologi, litologi dan struktur yang ada di daerah penelitian, maka
daerah penelitian dapat dibagi menjadi 2 bentukan asal dan 5 satuan bentuk lahan,
yaitu :
1. Bentuk asal Denudasional yang terdiri atas: Satuan Bentuk Lahan Perbukitan
Terkikis Bergelombang Kuat (D1), Bentuk Lahan Perbukitan Terkikis
Gelombang Sedang (D2) dan Bentuk Lahan Lembah Denudasional (D14).
2. Bentuk Asal Fluvial yang terdiri dari: Satuan bentuk lahan Tubuh Sungai (F1)
dan bentuk lahan Dataran Banjir (F2).
5.1.1 Bentuk Asal Denudasional
5.1.1.1 Satuan Bentuklahan Perbukitan Terkikis Bergelombang Kuat (D1)

Satuan bentuklahan Perbukitan Terkikis Bergelombang Kuat (D1) menempati


sekitar 35 % pada daerah penelitian. Litologi dominan penyusunnya berupa batupasir,
batupasir tufan, batulanau, batulempung pasiran, batupasir lempungan dan
batulempung sisipan batubara. Pada bentuklahan ini bermorfografi perbukitan dan
morfometri kelerengan 21 – 55% (agak curam – curam), dan relief topografi berbukit
– pegunungan berlereng terjal, bentuk lembah U - V, luasan 35%, pola pengaliran
subdendritik, morfostruktur aktif proses endogen dengan kedudukan lapisan batuan
ke arah tenggara – barat laut, kekar dan sesar, morfostruktur pasif resistensi sedang –
kuat dengan ciri batuan sedimen klastika berukuran lempung – pasir, morfodinamis
tingkat pelapukan tinggi dengan adanya sungai dan lereng yang berasal dari erosi air
dan angin. (Gambar 5.1).
5.1.1.2 Satuan Bentuklahan Perbukitan Terkikis Bergelombang Sedang (D2)
Satuan bentuklahan Perbukitan Terkikis Bergelombang Sedang (D2)
menempati sekitar 45 % pada daerah penelitian. Litologi dominan penyusunnya
berupa batulempung, batulempung tufan, batulempung karbonan, dan batulempung
pasiran. Pada bentuklahan ini bermorfografi perbukitan dan morfometri kelerengan
14 – 20% (miring – agak curam) dan relief topografi berbukit – berlereng sedang,
bentuk lembah U – V, luasan 45%, pola pengaliran subdendritik, morfostruktur aktif
proses endogen dengan kedudukan lapisan batuan ke arah tenggara – barat laut, kekar,
morfostruktur pasif resistensi sedang – kuat dengan ciri batuan sedimen klastika

43
berukuran lempung – pasir, morfodinamis tingkat pelapukan tinggi dengan adanya
sungai dan lereng yang berasal dari erosi air dan angin. (Gambar 5.2).
5.1.1.3 Satuan Bentuklahan Lembah Denudasional (D14)
Satuan bentuklahan Lembah Denudasional (D14) menempati sekitar 15 %
pada daerah penelitian. Litologi dominan penyusunnya berupa batulempung -
batupasir. Pada bentuklahan ini bermorfografi lembah dan morfometri kelerengan 0 -
4% (datar – landai) dan relief topografi datar - landai, bentuk lembah U, luasan 17%,
pola pengaliran Subdendritik, morfostruktur aktif proses endogen dengan kedudukan
lapisan batuan ke arah tenggara – barat laut, morfostruktur pasif resistensi lemah
dengan ciri batuan sedimen klastika berukuran lempung – pasir, morfodinamis tingkat
pelapukan tinggi dengan adanya sungai dan lereng yang berasal dari erosi air dan
angin. (Gambar 5.3).

Gambar 5.1. Bentuk lahan Perbukitan Terkikis Bergelombang Kuat (D1) dengan arah azimuth foto
N 310°E

44
B

Gambar 5.2. Bentuk lahan Perbukitan Terkikis Perbukitan Sedang (D2) dengan arah azimuth foto
N 360°E

Gambar 5.3. Bentuk lahan Lembah Denudasional (D14) dengan arah azimuth foto N 190°E

45
5.1.2. Bentuk Asal Fluvial
5.1.2.1. Satuan Bentuklahan Tubuh Sungai (F1)
Satuan bentuklahan Tubuh Sungai (F1) menempati sekitar 1 % pada daerah
penelitian. Pada bentuklahan ini bermorfografi lembah dan morfometri kelerengan 0
– 2% dan relief topografi datar – hampir datar, bentuk lembah U, pola pengaliran
subdendritik, morfostruktur pasif resistensi lemah dengan ciri batuan endapan
material lepas hasil rombakan batuan asal yang tertransport, morfodinamis proses
fluviatil aktivitas sungai dengan adanya erosi dan pengendapan, morfoasosiasi di
sepanjang sungai. (Gambar 5.4).
5.1.2.2. Satuan Bentuklahan Dataran Banjir (F2)
Satuan bentuklahan Dataran Banjir (F1) menempati sekitar 4 % pada daerah
penelitian. Pada bentuklahan ini bermorfografi lembah dan morfometri kelerengan 0
– 2% dan relief topografi datar – hampir datar, bentuk lembah U, pola pengaliran
subdendritik, morfostruktur pasif resistensi lemah dengan ciri batuan endapan
material lepas hasil rombakan batuan asal yang tertransport, morfodinamis proses
fluviatil aktivitas sungai dengan adanya erosi dan pengendapan, morfoasosiasi di
sepanjang sungai. (Gambar 5.5).
A

Gambar 5.4. A.) Bentuklahan Tubuh Sungai Urai yang berada di sebelah Barat Laut daerah
penelitian dengan arah azimuth N 205°E

46
B

Gambar 5.5. Bentangalam bentuk asal Fluvial : A.) Bentuklahan Tubuh Sungai Limas yang berada
di tengah daerah penelitian dengan arah azimuth N 195°E

5.1.3 Pola Pengaliran


Menurut Howard (1967), pola pengaliran adalah kumpulan jalur-jalur
pengaliran hingga bagian terkecilnya pada batuan yang mengalami pelapukan atau
tidak ditempai oleh sungai secara permanen. Dalam menentukan pola pengaliran di
daerah telitian berdasarkan kelerengan, kontrol litologi serta struktur geologi yang
bekerja di daerah telitian maka pola aliran yang terdapat pada daerah penelitian adalah
Subdendritik. Pola pengaliran subdendritik yaitu pola aliran modifikasi dendritik yang
dicirikan dengan adanya pengaruh dari struktur, dimana tofografi yang miring serta
faktor geologi yang berperan. Bentuk lembah agak sempit membentuk huruf V landai
sampai huruf U agak terjal dengan dinding landai – agak terjal, pada umumnya
disusun oleh batuan berbutir sampai dengan halus seperti batulempung dan batupasir
ukuran sangat halus - sedang, berdasarkan klasifikasi Howard (1967).

47
Tabel 5.3. KOP Peta Geomorfologi Modifikasi Van Zuidam, 1983 (Lampiran 1 – C )

48
5.2 Stratigrafi Daerah Telitian
Berdasarkan pengamatan singkapan (Lampiran 1 – A), lintasan stratigrafi
terukur (Lampiran 3) serta penyebaran lateral batuan yang dominan (Lampiran 1 –
D dan Lampiran 2), maka dapat dikelompokkan dalam 2 (dua) satuan batuan tidak
resmi dan 1 (satu) endapan di daerah telitian. Penamaan satuan batuan mengikuti tata
nama satuan litostratigrafi tidak resmi menurut Sandi Stratigrafi Indonesia (SSI, 1996)
dengan urutan dari tua sampai muda, sebagai berikut:
1. Satuan batulempung Simpang-Aur
2. Satuan batupasir Simpang-Aur
3. Satuan endapan Aluvial
5.2.1. Satuan batulempung Simpang-Aur
Satuan batulempung Simpang-Aur ini merupakan satuan batuan tertua yang
tersingkap di daerah penelitian menempati di bagian utara daerah penelitian, serta
menyebar dari utara ke selatan di daerah penelitian. Singkapan yang baik atau fresh
jarang dijumpai, kecuali pada tempat – tempat tertentu, seperti di tebing jalan atau
tebing lembah-lembah. Dibedakan dengan satuan batuan lainnya karena kandungan
batulempung yang dominan dan didukung oleh data penampang stratigrafi terukur.
5.2.1.1. Ciri Litologi
Dalam pengamatan singkapan batuan di lapangan pada satuan ini di dominasi
oleh perselingan batulempung sisipan batupasir, batulempung tufan, batulempung
karbonan, serta batulanau yang hanya dijumpai setempat (Lampiran 1 – A).
Di lokasi pengamatan, batulempung memiliki ciri litologi lunak, dengan
warna abu-abu kehitaman, berukuran butir lempung, terdapat semen silika, dengan
sisipan batupasir. Batupasir dengan ciri litologi lunak, berwarna coklat kekuningan,
ukuran butir pasir sangat halus – pasir halus, berbentuk membundar tanggung –
menyundut tanggung, memiliki kemas terbuka dengan pemilahan baik, berkomposisi
mineral ukuran lempung, litik, silika dengan struktur masif dan perlapisan.
Batulempung tufan dengan ciri litologi lunak, dengan warna abu-abu keputihan
sampai dengan coklat keputihan, ukuran butir lempung, dengan komposisi mineral
ukuran lempung dan kandungan debu tuff halus, semen silikaan, struktur masif dan
perlapisan. Batulempung karbonan dengan ciri litologi lunak, berwarna abu-abu
hitam, ukuran butir lempung, komposisi didominasi oleh mineral lempung dan unsur

49
karbon, struktur sedimen masif dan berlapis. Batulanau dengan ciri litologi lunak,
berwarna abu-abu kecoklatan sampai dengan coklat abu-abu, ukuran butir lanau,
komposisi mineral ukuran lempung, massa dasar lempung semen silika dengan
struktur masif.
5.2.1.2. Penyebaran dan Ketebalan
Penentuan penyebaran dan ketebalan Satuan batulempung Simpang-Aur
berdasarkan Peta Lintasan dan Lokasi Pengamatan serta penampang stratigrafi
terukur. Peta Lintasan dan Lokasi Pengamatan menunjukkan sebaran satuan batuan
secara lateral, sedangkan penampang stratigrafi terukur menunjukkan urut-urutan
kejadian pengendapan secara vertikal.
Satuan batulempung Simpang-Aur pada daerah telitian memiliki luasan
sekitar 55 % dari luas seluruh daerah telitian. Singkapan yang baik jarang dijumpai,
kecuali pada tempat-tempat tertentu seperti di tebing jalan atau tebing lembah-lembah
sungai kecil. Pola kedudukan pada satuan ini relatif Tenggara – Barat laut dengan
kemiringan lapisan ke arah selatan – barat daya dengan besaran kemiringan relatif
landai dengan sudut kemiringan 15 - 220. Dibedakan dengan satuan batuan lainnya
karena kandungan batulempung yang dominan dan warna lapuk yang khas yaitu
coklat. Satuan ini umumnya memperlihatkan morfologi terjal – landai dan pada
lintasan seringkali tidak teramati dengan baik karena kondisi lapuk yang kuat dengan
warna pelapukan abu-abu kecoklatan. Berdasarkan rekonstruksi penampang geologi
tebal terkira satuan batulempung ini sekitar 650 m.
5.2.1.3. Umur dan Lingkungan Pengendapan
A. Umur
Penentuan umur Satuan batulempung Simpang-Aur ini berdasarkan pengambilan
sampel pada satuan batulempung di lokasi pengamatan 67 dan 80 yang kemudian
dilakukan analisa mikropaleontologi, tidak dijumpai adanya fosil foraminifera kecil
plankton maupun bentos, sehingga penulis menentukan umur mengacu berdasarkan
kesamaan ciri litologi, penulis melakukan pendekatan Satuan batulempung Simpang-
Aur ini mengacu pada peneliti terdahulu (Gafoer, dkk. 1992) yang menentukan umur
Formasi Simpang Aur berdasarkan posisi stratigrafinya terhadap Formasi Lemau
(Miosen Tengah – Miosen Akhir) berada dibawahnya dan Formasi Bintunan
(Plistosen) berada diatasnya maka umur satuan ini adalah Pliosen.

50
B. Lingkungan Pengendapan
Penentuan lingkungan pengendapan dilakukan berdasarkan analisa paleontologi
dan asosiasi fasies. Dalam menginterpretasi lingkungan pengendapan Satuan
batulempung Simpang-Aur, penulis menggunakan model pendekatan yang telah
dikemukakan oleh (Allen, dkk. 1998). Berdasarkan ciri yang didapatkan dari analisa
profil pada LP 67 dan 80 diinterpretasikan Satuan batulempung Simpang-Aur di
daerah telitian terendapkan di lingkungan Delta Plain dengan sub-lingkungan
pengendapan Upper - Lower Delta Plain. Penentuan lingkungan pengendapan pada
Satuan batulempung Simpang-Aur ini didasarkan pada:
1. Aspek Fisik
Dalam penentuan lingkungan pengendapan secara fisik, dilakukan dengan
metode menganalisis dari struktur sedimen dan tekstur sedimen pada litologi atau
formasi batuan yang akan dianalisis, dan dilihat bagaimana proses sedimentasi pada
saat struktur tersebut terjadi (Lampiran 3 – E dan 3 - F).
Penentuan lingkungan pengendapan berdasarkan aspek fisik dari batuan dapat
dilihat dari beberapa profil batuan yang berkembang pada daerah penelitian.
Penentuan lingkungan pengendapan menggunakan asosiasi sub-lingkungan yang
kemudian dibandingkan dengan model lingkungan pengendapan menurut Allen, dkk.
(1998). Pada satuan ini dilakukan analisa profil pada LP 67 dan LP 80.
Pada analisa (Profil LP 67) (Lampiran 3 – E), dijumpai sub-lingkungan
berupa Flood Plain dengan penciri litologi berukuran lempung – pasir dengan
kecendrungan menghalus ke atas ditandai dengan struktur masif pada batulempung
dan perlapisan pada batupasir. Berdasarkan asosiasi sub-lingkungan yang dijumpai
dan tidak bereaksi dengan HCL, maka satuan ini diinterpretasikan terendapkan di
lingkungan Upper - Lower Delta Plain (Allen, dkk. 1998).
Pada analisa (Profil LP 80) (Lampiran 3 – F), dijumpai sub-lingkungan
berupa Flood Plain dengan penciri litologi berukuran lempung – pasir dengan
kecendrungan mengkasar dan menghalus ke atas ditandai dengan struktur masif pada
batulempung dan perlapisan pada batupasir. Berdasarkan asosiasi sub-lingkungan
yang dijumpai dan tidak adanya reaksi dengan HCL, maka satuan ini diinterpretasikan
terendapkan di lingkungan Upper - Lower Delta Plain (Allen, dkk. 1998).

51
2. Aspek Biologi

Penentuan aspek biologi didasarkan pada kandungan fosil, pada daerah telitian
tidak adanya dijumpai kandungan fosil sehingga Satuan batulempung Simpang-Aur
diinterpretasikan terendapkan di lingkungan darat hingga payau.
3. Aspek Kimia

Penentuan aspek kimia dari Satuan batulempung Simpang-Aur didasarkan


pada kandungan dan komposisi dari litologi penyusun satuan ini, seluruh batuan pada
satuan ini memiliki semen silika dibuktikan dengan tidak adanya reaksi dengan HCL.
Dapat disimpulkan pada litologi pada satuan ini terendapkan di lingkungan darat
hingga payau.
5.2.1.4. Hubungan Stratigrafi
Satuan batulempung Simpang-Aur mempunyai pola umum kedudukan
lapisan batuan yang relatif sama dengan Satuan batupasir Simpang-Aur yang
terendapkan di atasnya. Berdasarkan hasil pengukuran jurus dan kemiringan lapisan
batuan serta analisa sayatan penampang geologi, maka dapat disimpulkan bahwa
hubungan stratigrafi antara Satuan batulempung Simpang-Aur dengan Satuan
batupasir Simpang-Aur secara normal adalah selaras dikarenakan persamaan formasi.
(Lampiran 1 – D).

52
Gambar 5.6. Ciri litologi pada Satuan batulempung Simpang-Aur, A.) batulempung karbonan pada
LP 70 dengan Azimuth N 335°E; B.) close-up dari batulempung karbonan; C.) batulempung tufan
pada LP 101 dengan Azimuth N 128 °E; D.) close-up batulempung tufan; E.) batulanau pada LP 67
dengan Azimuth N 060 °E; F.) close-up batulanau

5.2.2. Satuan batupasir Simpang-Aur


Satuan batupasir Simpang-Aur ini merupakan satuan batuan yang tersingkap
di bagian selatan daerah penelitian, serta menyebar dari utara ke selatan di daerah
penelitian. Singkapan yang baik atau fresh jarang dijumpai, kecuali pada tempat –
tempat tertentu, seperti di tebing jalan atau tebing lembah-lembah. Dibedakan dengan
satuan batuan lainnya karena kandungan batupasir yang dominan dan didukung oleh
data penampang stratigrafi terukur.

53
5.2.2.1. Ciri Litologi

Dalam pengamatan singkapan batuan di lapangan pada satuan ini di dominasi


oleh perselingan batupasir, batupasir tufan, batulanau, serta batulempung sisipan
batubara yang hanya dijumpai setempat (Lampiran 1 – A).
Di lokasi pengamatan, Batupasir memiliki ciri litologi lunak, dengan warna
kuning kecoklatan sampai dengan coklat, berukuran butir pasir sangat halus – sedang,
membundar tanggung – menyudut tanggung, memiliki kemas terbuka dengan
pemilahan buruk, berkomposisi kuarsa, litik, semen silika, struktur sedimennya masif,
laminasi, perlapisan, dan cross laminasi. Batupasir mengandung tufan memiliki ciri
litologi lunak, berwarna coklat keputihan sampai dengan coklat abu-abu, ukuran butir
pasir sangat halus – halus, dengan komposisi kuarsa, debu tuff halus, semen silika,
struktur sedimennya laminasi dan perlapisan. Batupasir lempungan dengan ciri
litologi lunak, berwarna abu – abu, berukuran butir pasir sangat halus, struktur
sedimennya flaser bedding. Batulanau memiliki ciri litologi lunak, berwarna abu-abu
kecoklatan sampai dengan coklat abu-abu, ukuran butir lempung, komposisi mineral
ukuran lempung, massa dasar lempung semen silika dengan struktur masif dan
perlapisan. Serta batubara dengan warna hitam kusam sampai hitam cemerlang, gores
coklat kehitaman, pecahan uneven – sub-konkoidal, kilap arang – cemerlang kusam,
kekerasan sedang – ringan, pengotor amber – clay, pelapukan sedang – tipis, mineral
amorf, komposisi monomineralik karbon, batubara dengan tebal 0.40 – 3.1 meter.
Berdasarkan hasil analisis petrografi (Lampiran 4 – A dan 4 - B) yang
ditunjukkan oleh sayatan LP 20 dan LP 46 (Gambar 5.16) dan (Gambar 5.17) dalam
sayatan tipis memperlihatkan:

54
Gambar 5.7. Sayatan Petrografis Arkosic Wacke pada LP 20
Berdasarkan hasil analisis petrografi dari sayatan LP 20 (Lampiran 4 - C)
didapatkan batuan berupa: Sayatan tipis batuan sedimen; warna coklat kekuningan;
bertekstur klastik; ukuran butir <0,05 – 0,6 mm; bentuk butir : menyudut tanggung
– membundar tanggung; matrix supported; terpilah buruk; disusun oleh kuarsa 30%,
plagioklas 23%, hornblende 17%, litik 5%, kalium feldspar (22%) dan mineral opak
(3%) dari hasil analisis petrografi nama batuan yang diperoleh adalah Arkosic Wacke
(Gilbert, 1954).

Gambar 5.8. Sayatan Petrografis Arkosic Wacke pada LP 46


Berdasarkan hasil analisis petrografi dari sayatan LP 46 (Lampiran 4 - D)
didapatkan batuan berupa: Sayatan tipis batuan sedimen; warna coklat keabuan;
bertekstur klastik; ukuran butir <0,05 – 0,5 mm; bentuk butir : menyudut tanggung–
membundar tanggung; matrix supported; terpilah buruk; disusun oleh kuarsa 35%,
plagioklas 25%, hornblende 15%, litik 5%, kalium feldspar (17%) dan mineral opak
(3%) dari hasil analisis petrografi nama batuan yang diperoleh adalah Arkosic Wacke
(Gilbert, 1954).

55
5.2.2.2. Penyebaran dan Ketebalan
Penentuan penyebaran dan ketebalan Satuan batupasir Simpang-Aur
berdasarkan Peta Lintasan dan Lokasi Pengamatan serta penampang stratigrafi
terukur. Peta Lintasan dan Lokasi Pengamatan menunjukkan sebaran satuan batuan
secara lateral, sedangkan penampang stratifrafi terukur menunjukkan urut-urutan
kejadian pengendapan secara vertikal.
Satuan batupasir Simpang-Aur pada daerah telitian memiliki luasan sekitar
40 % dari luas seluruh daerah telitian. Singakapan yang baik jarang dijumpai, kecuali
pada tempat-tempat tertentu seperti di tebing jalan atau tebing lembah-lembah sungai
kecil. Pola kedudukan pada satuan ini relatif Tenggara – Barat laur dengan kemiringan
lapisan ke arah selatan – barat daya dengan besaran kemiringan relatif landai hingga
15 - 300. Dibedakan dengan satuan batuan lainnya karena kandungan batupasir yang
dominan dan warna lapuk yang khas yaitu coklat. Satuan ini umumnya
memperlihatkan morfologi miring – landai dan pada lintasan seringkali tidak teramati
dengan baik karena kondisi lapuk yang kuat dengan warna pelapukan abu-abu
kecoklatan. Berdasarkan rekonstruksi penampang geologi didapatkan tebal terkira
satuan batupasir ini sekitar 450 m.
5.2.2.3. Umur dan Lingkungan Pengendapan
A. Umur
Penentuan umur Satuan batupasir Simpang-Aur ini berdasarkan
pengambilan sampel pada satuan batupasir di lokasi pengamatan 12 dan 117 yang
kemudian dilakukan analisa mikropaleontologi, tidak dijumpai adanya fosil
foraminifera kecil plankton maupun bentos, sehingga penulis menentukan umur
mengacu berdasarkan kesamaan ciri litologi, penulis melakukan pendekatan Satuan
batupasir Simpang-Aur ini mengacu pada peneliti terdahulu (Gafoer, dkk. 1992) yang
menentukan umur Formasi Simpang Aur berdasarkan posisi stratigrafinya terhadap
Formasi Lemau (Miosen Tengah – Miosen Akhir) berada dibawahnya dan Formasi
Bintunan (Plistosen) berada diatasnya maka umur satuan ini adalah Pliosen.

56
B. Lingkungan Pengendapan
1. Aspek Fisik
Penentuan lingkungan pengendapan berdasarkan aspek fisik dari batuan
dapat dilihat dari beberapa profil batuan yang berkembang pada daerah penelitian.
Penentuan lingkungan pengendapan menggunakan asosiasi sub-lingkungan yang
kemudian dibandingkan dengan model lingkungan pengendapan menurut Allen, dkk.
(1998). Pada satuan ini dilakukan analisa profil pada LP 29, LP 32, LP 44, LP 54 LP
12, LP 116 dan LP 117.
Pada analisa (Profil LP 32) (Lampiran 3 – A), dijumpai sub-lingkungan
berupa Fluvial Distributary Channel dengan penciri litologi berukuran lempung –
pasir dengan kecendrungan menghalus ke atas ditandai dengan struktur masif pada
batulempung dan perlapisan pada batupasir. Berdasarkan asosiasi sub-lingkungan
yang dijumpai dan tidak bereaksi dengan HCL, maka satuan ini diinterpretasikan
terendapkan di lingkungan Upper - Lower Delta Plain (Allen, dkk. 1998).
Pada analisa (Profil LP 44) (Lampiran 3 – B), dijumpai sub-lingkungan
berupa Fluvial Distributary Channel dengan penciri litologi berukuran pasir -
lempung dengan kecendrungan mengkasar ke atas ditandai dengan struktur masif
pada batulempung dan perlapisan, laminasi pada batupasir. Berdasarkan asosiasi sub-
lingkungan yang dijumpai dan tidak adanya reaksi dengan HCL, maka satuan ini
diinterpretasikan terendapkan di lingkungan Upper - Lower Delta Plain (Allen, dkk.
1998).
Pada analisa (Profil LP 12) (Lampiran 3 – C) dijumpai sub-lingkungan
berupa Levee dengan penciri litologi berukuran lempung – pasir dengan
kecendrungan menghalus ke atas ditandai dengan struktur masif pada batulempung
dan perlapisan, flaser bedding, laminasi pada batupasir. Berdasarkan asosiasi sub-
lingkungan yang dijumpai dan tidak adanya reaksi dengan HCL, maka satuan ini
diinterpretasikan terendapkan di lingkungan Upper - Lower Delta Plain (Allen, dkk.
1998).
Pada analisa (Profil LP 117) (Lampiran 3 – D) dijumpai sub-lingkungan
berupa Fluvial Distributary Channel dan Backswamp. Fluvial Distributary Channel
dengan penciri litologi berukuran lempung - pasir dengan kecendrungan mengkasar
dan menghalus ke atas ditandai dengan struktur masif pada batulempung dan

57
perlapisan, laminasi, cross laminasi dan lenticular bedding pada batupasir. Sedangkan
Backswamp dengan penciri litologi batupasir, batulempung karbonan dan serpih
batubaraan. Berdasarkan asosiasi sub-lingkungan yang dijumpai dan tidak adanya
reaksi dengan HCL, maka satuan ini diinterpretasikan terendapkan di lingkungan
Upper - Lower Delta Plain (Allen, dkk. 1998).
Pada analisa (Profil LP 29) (Lampiran 3 – G), dijumpai sub-lingkungan
berupa Swamp dengan penciri litologi berukuran lempung dengan struktur massif
dicirikan adanya kandungan karbonan dan batubara. Berdasarkan asosiasi sub-
lingkungan yang dijumpai dan tidak bereaksi dengan HCL, maka satuan ini
diinterpretasikan terendapkan di lingkungan Upper – Lower Delta Plain (Allen, dkk.
1998).
Pada analisa (Profil LP 54) (Lampiran 3 – H), dijumpai sub-lingkungan
berupa Swamp dengan penciri litologi berukuran lempung dengan struktur massif
dicirikan adanya kandungan karbonan dan batubara. Berdasarkan asosiasi sub-
lingkungan yang dijumpai dan tidak bereaksi dengan HCL, maka satuan ini
diinterpretasikan terendapkan di lingkungan Upper – Lower Delta Plain (Allen, dkk.
1998).
Pada analisa (Profil LP 116) (Lampiran 3 – I), dijumpai sub-lingkungan
berupa Swamp dengan penciri litologi berukuran lempung dengan struktur massif
dicirikan adanya kandungan karbonan dan batubara. Berdasarkan asosiasi sub-
lingkungan yang dijumpai dan tidak bereaksi dengan HCL, maka satuan ini
diinterpretasikan terendapkan di lingkungan Upper – Lower Delta Plain (Allen, dkk.
1998).
2. Aspek Biologi
Penentuan aspek biologi didasarkan pada kandungan fosil, pada daerah telitian
tidak adanya dijumpai kandungan fosil sehingga batupasir Simpang-Aur
diinterpretasikan terendapkan di lingkungan darat hingga payau.
3. Aspek Kimia
Penentuan aspek kimia dari Satuan batupasir Simpang-Aur didasarkan pada
kandungan dan komposisi dari litologi penyusun satuan ini, seluruh batuan pada
satuan ini memiliki semen silika dibuktikan dengan tidak adanya reaksi dengan HCL.

58
Dapat disimpulkan litologi pada satuan ini terendapkan di lingkungan darat hingga
payau.
5.2.2.4. Hubungan Stratigrafi
Satuan batupasir Simpang-Aur mempunyai pola umum kedudukan lapisan
batuan yang relatif sama dengan Satuan batulempung Simpang-Aur yang berada di
bawahnya. Berdasarkan hasil pengukuran jurus dan kemiringan lapisan batuan, maka
dapat disimpulkan bahwa hubungan stratigrafi antara Satuan batupasir Simpang-Aur
dengan Satuan batulempung Simpang-Aur adalah selaras. Sedangkan hubungan
stratigrafi antara Satuan batupasir Simpang-Aur dengan Satuan endapan Aluvial yang
berada di atasnya tidak selaras, jenis ketidakselarasan angular unconformity
(Lampiran 1 – D).

Gambar 5.9. Ciri litologi pada Satuan batupasir Simpang-Aur, A.) batupasir pada LP 124 dengan
Azimuth N 275°E; B.) close-up dari batupasir; C.) batupasir tufan pada LP 44 dengan Azimuth N
010°E; D.) close-up dari batupasir tufan

59
Gambar 5.10. Ciri litologi batubara pada lokasi penelitian : A.) batubara pada LP 29 dengan
Azimuth N 250°E; B.) close-up dari batubara yang memiliki parting lempung; C.) batubara pada LP
54 dengan Azimuth N 085°E; D.) close-up dari batubara dengan roof & floor batulempung; E.)
batubara pada LP 116 dengan Azimuth N 115°E; F.) close-up dari batubara dengan roof
batulempung & floor tertutup air.
5.2.3. Satuan endapan Aluvial
Satuan endapan Aluvial ini merupakan satuan batuan termuda yang tersingkap
di daerah penelitian, menempati di sepanjang sungai limas yang mengalir dari arah
timur laut ke arah barat daya di daerah penelitian. Satuan endapan Aluvial terdiri dari
material lepas yang berukuran lempung – pasir dengan komposisi lumpur dan pasir
lepas yang merupakan hasil erosi batuan yang mencirikan kegiatan geologi yang

60
masih berlangsung hingga sekarang, endapan ini terdapat di sepanjang sungai limas
dan di dataran aluvial pada daerah penelitian menempati 5 % dari lokasi penelitian.

Gambar 5.11. Ciri litologi pada Satuan endapan Aluvial A.) endapan Aluvial, B.) Tubuh sungai limas
yang terdapat di daerah telitian LP 126 dengan Azimuth N 195°E
5.2.3.1 Ciri Litologi
Di lokasi pengamatan, endapan aluvial dicirikan dengan material lepas yang
berukuran lempung – pasir dengan komposi lumpur dan pasir lepas yang merupakan
hasil erosi batuan yang mencirikan kegiatan geologi yang masih berlangsung hingga
sekarang.
5.2.3.2 Hubungan Stratigrafi
Hubungan stratigrafi antara Satuan endapan Aluvial dengan Satuan batupasir
Simpang-Aur yang ada dibawahnya tidak selaras (Angular unconformity).

61
Tabel 5.4. Ringkasan Stratigrafi Daerah Telitian

62
5. 3. Struktur Geologi Daerah Telitian
Dari data pengamatan singkapan yang didapatkan, dapat diketahui kedudukan
lapisan batuan yang relatif sama, yaitu berarah tenggara - barat laut, dengan besar
kemiringan yang relatif sama. Analisa struktur geologi yang terdapat di daerah
penelitian didasarkan pada data – data pengukuran bidang kekar, jurus dan
kemiringan perlapisan batuan serta data – data indikasi sesar dimana dari hasil
pengeplotan kedudukan tersebut menunjukkan arah umum tegasan daerah telitian.
Pada daerah penelitian ditemukan adanya struktur kekar dan sesar.
5.3.1 Kekar
Kekar ini dijumpai di bagian barat daya (lokasi pengamatan 30) dan barat laut
(lokasi pengamatan 90) daerah telitian. Data kekar pertama (lokasi pengamatan 30)
yang diambil oleh penulis merupakan data jenis kekar gerus (shear joint).
Pengambilan data kekar ini untuk memperoleh data tegasan utama (σ1), tegasan
medium (σ2), dan tegasan minimum (σ3). Berdasarkan analisa stereografis
didapatkan arah umum shear joint 1 N 183° E / 67° dan shear joint 2 N 141 °E / 78°;
extension joint N 164° E / 70°; dan release joint N 259° E / 75° dengan tegasan utama
(σ1) 14°, N 169° E; tegasan medium (σ2) 66°, N 292° E; dan tegasan minimum (σ3)
19°, N 074° E. Dari data diatas penulis dapat menarik kesimpulan bahwa tegasan
utama atau tegasan maksimum daerah telitian umumnya relatif barat laut – tenggara
(Lampiran 6 – A).

Gambar 5.12. Kenampakan struktur geologi kekar yang berkembang di daerah penelitian: (A, B)
kekar pada Satuan batupasir Simpang-Aur lokasi pengamatan 30 dengan Azimuth N 290o E

63
Tabel 5.5. Tabulasi data hasil Analisa Kekar LP-30
Shear Joint 1 N 183° E / 67°
Shear Joint 2 N 141° E / 78°
Extension Joint N 164° E / 70°
Release Joint N 259° E / 75°
ρ1 14°, N 169° E
ρ2 66°, N 292° E
ρ3 19°, N 074° E

Gambar 5.13. Hasil Analisa Kekar LP-30

64
Data kekar kedua (lokasi pengamatan 90) yang diambil oleh penulis
merupakan data jenis kekar gerus (shear joint). Pengambilan data kekar ini untuk
memperoleh data tegasan utama (σ1), tegasan medium (σ2), dan tegasan minimum
(σ3). Berdasarkan analisa stereografis didapatkan arah umum shear joint 1
N303°E/72° dan shear joint 2 N 172°E/66°; extension joint N 146°E/86°; dan release
joint N 239°E/46° dengan tegasan utama (σ1) 42°, N 148°E; tegasan medium (σ2)
48°, N 324°E; dan tegasan minimum (σ3) 03°, N 056°E. Dari data diatas penulis dapat
menarik kesimpulan bahwa tegasan utama atau tegasan maksimum daerah telitian
umumnya relatif barat laut – tenggara (Lampiran 6 – A).
Tabel 5.6. Tabulasi data hasil Analisa Kekar
Shear Joint 1 N 303° E / 72°
Shear Joint 2 N 172° E / 66°
Extension Joint N 146° E / 86°
Release Joint N 239° E / 46°
ρ1 42°, N 148° E
ρ2 48°, N 324° E
ρ3 03°, N 056° E

Gambar 5.14. Kenampakan struktur geologi kekar yang berkembang di daerah penelitian: (A, B)
kekar pada Satuan batulempung Simpang-Aur lokasi pengamatan 90 dengan Azimuth N 310o E

65
Gambar 5.15. Hasil Analisa Kekar pada LP 90
5.3.2 Sesar
Struktur sesar pada daerah telitian didapatkan berdasarkan data arah umum
breksiasi, shear fracture dan gash fracture dari lapisan batuan pada lokasi pengamatan
25 (Lampiran 1-A), namun tidak dijumpai gores garis pada sesar ini, maka data yang
digunakan oleh penulis merupakan data jenis arah umum breksiasi dengan kekar
penyerta sesar berupa shear fracture dan gash fracture (Gambar 5.15 dan 5.16).
Penamaan sesar ini berdasarkan klasifikasi sesar menurut Rickard (1972), dari hasil
analisis menggunakan data – data tersebut maka di dapatkan nama sesar yaitu Right
Normal Slip Fault (Rickard, 1972) (Gambar 5.17) .

66
Gambar 5.16. Zona Sesar pada LP-25 daerah telitian dengan Azimuth N 130o E

Gambar 5.17. Kenampakan shear dan gash fracture pada LP 25 daerah telitian dengan Azimuth N
130o E

67
Gambar 5.18. Hasil Analisa Sesar LP 25
Berdasarkan analisa stereografis didapatkan :
- Netslip : 68, N 174 oE
- Rake : 70o
- Bidang Sesar : N 014 °E / 76°
- Arah umum Shear Fracture : N 331 °E / 28°
- Arah umum Gash Fracture : N 209 °E / 68°
Berdasarkan data hasil analisa, maka disimpulkan bahwa jenis sesar ini adalah
Right Normal Slip Fault (Rickard, 1972)

68
5. 4. Sejarah Geologi Daerah Telitian
Awal pengendapan terjadi pada Pliosen Awal dengan lingkungan
pengendapan berupa delta plain. Penciri lingkungan pengendapan ini berupa
kehadiran batubara dan sedimen berbutir halus dengan energi pengendapan yang
dipengaruhi pasang surut air laut yang kemudian terjadi peningkatan energi
pengendapan, sehingga terdapat material dengan sedimen destritus sedang. Kondisi
geologi regional pada Kala Pliosen di Cekungan Bengkulu menurut Gafoer, dkk.
(1992) berlangsung pada fase transgresi yang menyebabkan ruang akomodasi
sedimen bertambah bersamaan dengan naiknya muka air laut yang mengalami pasang
surut pada lingkungan darat, transisi dan laut dangkal – dalam.

Gambar 5.19. Awal terendapkan satuan batulempung Simpang-Aur pada lingkungan Lower - Upper
Delta Plain pada Kala Pliosen Awal yang terendapkan selaras diatas Formasi Lemau

Kondisi tersebut memiliki kesesuaian dengan sedimentasi yang berlangsung pada


daerah penelitian. Ciri yang ditemukan pada daerah penelitian berupa kehadiran
litologi berupa batubara, batupasir dan batulempung. Pengendapan batulempung pada
kala Pliosen Awal terendapkan di lingkungan Upper - Lower Delta Plain, kemudian
secara selaras di endapkan batupasir pada kala Pliosen Akhir terendapkan di
lingkungan Upper - Lower Delta Plain.

69
Gambar 5.20. Terendapkannya satuan batulempung Simpang-Aur

Gambar 5.21. Terendapkannya satuan batupasir Simpang-Aur selaras diatas satuan batulempung
Simpang-Aur
Pada akhir pengendapan Pliosen menurut Gafoer dkk. (1992) terjadi perubahan dari
fase transgresi menuju fase regresi akibat adanya peningkatan aktivitas tektonik
sehingga terjadinya pengangkatan pada daerah penelitian akibat adanya gaya
kompresi. Dengan demikian terjadi perubahan lingkungan pengendapan dari delta
plain menuju lingkungan darat, serta struktur geologi yang berkembang pada daerah
penelitian berupa kekar dengan arah tegasan relatif berarah tenggara – barat laut dan
sesar dengan arah tegasan relatif berarah utara - selatan.

70
Gambar 5.22. Terjadinya pengangkatan pada satuan batupasir Simpang-Aur dan satuan batulempung
Simpang-Aur akibat adanya gaya kompresi
Kegiatan tektonik pada daerah telitian masih berlanjut sampai sekarang, sehingga
proses erosional dan pelapukan tetap bekerja memiliki tingkat pelapukan yang tinggi
dicirikan dengan hadirnya soil yang tebal pada daerah penelitian. Endapan hasil dari
erosi dan pelapukan kemudian terendapkan di sekitar tubuh sungai membentuk
endapan aluvial yang memiliki kontak tidak selaras dengan satuan batuan yang berada
di bawahnya.

Gambar 5.23. Proses erosi dan pelapukan pada daerah penelitian membentuk endapan aluvial

71
BAB VI
POLA SEBARAN LAPISAN BATUBARA
6.1. Pendahuluan
Pola adalah bentuk atau model yang bisa dipakai untuk membuat atau untuk
menghasilkan suatu model, khususnya sesuatu yang ditimbulkan cukup mempunyai
arti penting untuk pola dasar yang dapat ditunjukkan atau terlihat. Sebaran adalah
sesuatu yang disebarkan atau melampar luas (Kamus Besar Bahasa Indonesia).
Secara umum geometri lapisan batubara memang lebih sederhana apabila
dibandingkan dengan endapan mineral yang lain (Spero Carras, 1984; dalam B.
Kuncoro, 2000). Tetapi kenyataan di lapangan, selain ditemukan sebagai lapisan
yang melampar luas dengan ketebalan menerus dan dalam urutan yang teratur, juga
dijumpai lapisan batubara yang menyebar tidak teratur, tidak menerus atau
setempat, menebal, menipis, terpisah dan melengkung dengan geometri yang
bervariasi.

Pola sebaran lapisan batubara di dapat dari data permukaan berupa data
kedudukan lapisan batuan pada singkapan batubara kemudian dilakukan penarikan
cropline dengan menggunakan metode kontur struktur (ks) dan memperhatikan
bentukan morfologi (hukum V) serta didukung pula dari data bawah permukaan
berupa data lubang bor.

Pola penyebaran batubara pada lokasi penelitian dikontrol oleh beberapa faktor,
yaitu proses-proses sedimentasi dan pengendapan batubara pada lingkungan
pengendapannya serta proses-proses struktur geologi yang bekerja sebelum,
bersamaan dan sesudah pengendapan lapisan batubara pada suatu cekungan.
Tentunya untuk memperkuat hasil interpretasi penarikan pola sebaran serta
kemenerusan batubara, diperlukan pula data seam yang menunjukkan kesamaan ciri
fisik, dari kesamaan ciri fisik tersebut menjadi penunjang data bahwa seam satu
dengan yang lainnya saling berhubungan, sehingga menambah keyakinan peneliti
untuk menarik pola sebaran serta kemenerusan lapisan batubara.

72
6.2. Pola Sebaran Lapisan Batubara
Dalam penentuan pola sebaran batubara data yang digunakan berupa data
hasil pemetaan singkapan di permukaan dan data bawah permukaan berupa data
lubang bor di daerah penelitian. Data hasil pemetaan di permukaan terdiri dari data
singkapan yang berupa kedudukan lapisan batubara dan data bawah permukaan
berupa data lubang bor yang digunakan terdiri dari 3 (tiga) lintasan, yaitu : lintasan I
(Kode bor AL_11, AL_08 dan AL_06 (Tabel 6.1), lintasan II (Kode bor SB_14,
SB_26, SB_19 dan SB_24 (Tabel 6.2), lintasan III (Kode bor SB_14, SB_24,
SB_08, SB_13 dan SB_10 (Tabel 6.3). Berikut hasil penyebaran batubara
berdasarkan data singkapan dan data lubang bor yang diolah menggunakan Autocad
Land Dekstop 2009.
6.2.1. Karakteristik dan kemiringan Lapisan Batubara
Berdasarkan data pemetaan singkapan didapatkan 3 (tiga) singkapan
batubara pada lokasi penelitian yaitu pada lokasi pengamatan 29, lokasi pengamatan
54 dan lokasi pengamatan 116. Karakteristik batubara secara fisik berwarna hitam
kusam – hitam cemerlang, gores coklat kehitaman, pecahan uneven – sub konkoidal,
kilap cemerlang – kusam, kekerasan sedang – ringan, pengotor amber dan clay,
pelapukan sedang – tipis, mineral amorf, komposisi monomineralic karbon.

Gambar 6.1. A.) Singkapan lapisan batubara di lokasi pengamatan 29, B.) Kontak batulempung
dengan batubara dengan pengotor batulempung. Arah azimuth N 250 oE

73
Gambar 6.2. A.) Singkapan lapisan batubara di lokasi pengamatan 54, B.) Kontak
batulempung dengan batubara. Arah azimuth N 340oE

Gambar 6.3. A.) Singkapan lapisan batubara di lokasi pengamatan 116, B.) Kontak
batulempung dengan batubara. Arah azimuth N 115oE

Pada pengukuran kemiringan singkapan yang dijumpai pada lokasi


pengamatan 29, 54 dan 116 lapisan batubara relatif berarah tenggara – barat laut
dengan kemiringan 14o – 20o. Pada penampang lapisan I tampak bahwa lintasan
tersebut terdiri dari 3 lubang bor, yaitu :
• Kode bor AL_11 memiliki kedalaman pengeboran 40.50 m, elevasi 50
dengan tebal batubara 3.10 m (Tabel 6.1)
• Kode bor Al_08 memiliki kedalaman pengeboran 48.00 m, elevasi 45
dengan tebal batubara 2.08 m (Tabel 6.1)
• Kode bor AL_06 memiliki kedalaman pengeboran 51.00 m, elevasi 35
dengan tebal batubara 2.2 m (Tabel 6.1)

74
Berdasarkan korelasi penampang bor pada lintasan I (AL_11, AL_08 dan
AL_06), kemiringan lapisan batubara menunjukkan relatif ke arah selatan.
Tabel 6.1. Tabulasi data lubang bor lintasan I (Kode AL_11, AL_08 dan AL_06)
NO Kode Elevasi Elevasi Kedalaman Total Tebal
Bor (z) Coal Top Coal Depth Batubara
(m) (m) (m)
1 AL_11 50 45.70 04.30 40.50 3.10
2 AL_08 45 30.30 14.70 48.00 2.08
3 AL_06 35 19.90 15.10 51.00 2.20

Gambar 6.4. Korelasi data lubang bor lintasan I ( Kode AL_11, AL_08 dan AL_06 )
6.2.2. Ketebalan Lapisan Batubara
Berdasarkan data pemetaan singkapan di permukaan didapatkan 3 (tiga)
singkapan batubara pada lokasi penelitian yaitu pada lokasi pengamatan 29 dengan
ketebalan lapisan batubara 1.30 m (roof dan floor berupa batulempung) , lokasi
pengamatan 54 dengan ketebalan 1.70 m (roof dan floor berupa batulempung) dan
lokasi pengamatan 116 memiliki ketebalan 1.60 m (roof batulempung dan floor
tertutup oleh air).
Berdasarkan data bawah permukaan berupa data lubang bor didapatkan
ketebalan lapisan batubara pada data pemboran yang disajikan dalam bentuk suatu
korelasi stratigrafi pada bor lintasan II (Kode bor SB_14, SB_26, SB_19 dan
SB_23). Dari korelasi tersebut ketebalan seam utama mengalami penebalan dan
penipisan. Pada lintasan II tampak bahwa lintasan tersebut terdiri dari 4 lubang bor,
yaitu :

75
• Kode bor SB_14 memiliki kedalaman pengeboran 14.00 m, elevasi 50
dengan tebal batubara 2.35 m (Tabel 6.2)
• Kode bor SB_26 memiliki kedalaman pengeboran 36.00 m, elevasi 45
dengan tebal batubara 2.70 m (Tabel 6.2)
• Kode bor SB_19 memiliki kedalaman pengeboran 45.00 m, elevasi 45
dengan tebal batubara 2.80 m (Tabel 6.2)
• Kode bor SB_23 memiliki kedalaman pengeboran 46.00 m, elevasi 50
dengan tebal batubara 2.95 m (Tabel 6.2)
Berdasarkan korelasi penampang bor pada lintasan II (SB_14, SB_26, SB_19
dan SB_23), ketebalan batubara pada seam utama mengalami penipisan pada bor
SB_14 dengan tebal 2.35 m yang terletak pada bagian utara, sehingga penipisan
batubara dipengaruhi oleh bentukan cekungan yang menyebabkan pada utara lokasi
penelitian penyebaran batubara semakin tipis.
Tabel 6.2. Tabulasi data lubang bor lintasan II (Kode SB_14, SB_26, SB_19 dan SB_23)
NO Kode Elevasi Elevasi Kedalaman Total Tebal
Bor (z) Coal Top Coal Depth Batubara
(m) (m) (m)
1 SB_14 50 38.40 11.60 14.00 2.35
2 SB_26 45 24.40 20.60 36.00 2.70
3 SB_19 45 3.90 41.10 45.00 2.80
4 SB_23 50 8.35 41.65 46.00 2.95

Gambar 6.5. Korelasi data lubang bor stratigrafi lintasan II ( Kode SB_14, SB_26, SB_19 dan
SB_23 )

76
Berdasarkan korelasi penampang bor pada lintasan III (SB_10, SB_13, SB_08,
SB_24 dan SB_14), ketebalan batubara pada seam utama mengalami penipisan pada
bor SB_24 dengan tebal 1.10 m yang terletak mendekati garis cropline, sehingga
penipisan batubara ini dipengaruhi oleh bentukan cekungan yang menyebabkan
pada utara lokasi penelitian penyebaran batubara semakin tipis.
Tabel 6.3. Tabulasi data lubang bor lintasan III (Kode SB_10, SB_13, SB_08, SB_24 dan SB_14)
NO Kode Elevasi Elevasi Kedalaman Total Tebal
Bor (z) Coal Top Coal Depth Batubara
(m) (m) (m)
1 SB_10 45 15.10 29.90 33.00 2.70
2 SB_13 40 15.70 24.30 50.00 2.70
3 SB_08 35 19.75 19.75 22.55 2.72
4 SB_24 40 35.80 04.20 21.00 1.10
5 SB_14 50 38.40 11.60 14.00 2.35

Gambar 6.6. Korelasi data lubang bor lintasan III ( Kode SB_10, SB_13, SB_08, SB_24 dan
SB_14 )
6.2.3. Bentuk Endapan Batubara (Robert Stefanko, 1983)
Pada wilayah daerah telitian bentukan batubara dibagi menjadi 3
berdasarkan Robert Stefanko, 1983 yaitu :
1. Washed Out
Washed Out adalah adanya cut out lapisan batubara. Cut Out
sendiri didefenisikan sebagai batulempung atau batuserpih yang
mengisi bagian tererosi dalam lapisan batubara. Menurut Robert
Stefanko (1983), washed out adalah hilangnya sebagian atau seluruh
lapisan batubara yang kemudian tergantikan oleh endapan sedimen
lain akibat adanya erosi dan pengendapan. Hilangnya lapisan
batubara tersebut bisa dikontrol oleh morfologi maupun disebabkan

77
oleh pengikisan sungai purba maupun recent, ataupun gletser. Pada
daerah telitian disebabkan akibat adanya kontrol morfologi dan erosi
atau pelapukan serta pengikisan oleh sungai (Gambar 6.7)

Gambar 6.7. Bentuk Washed Out pada daerah penelitian (Robert Stefanko, 1983)
2. Pinch
Istilah pinch, squeeze atau swell digunakan ketika suatu
bagian dari lapisan batubara menjadi mengecil atau menipis
kemudian menebal kembali. Hal ini disebabkan oleh naiknya lantai
(floor) atau turunnya atap (roof) dari lapisan batubara. Pinch dan
horseback terbentuk sebagai akibat dari adanya tekanan yang
mempengaruhi lapisan batubara oleh pergerakan kerak bumi selama
masa pembentukan atau oleh perubahan lapisan yang berbatasan
langsung dengan lapisan batubara. Pada daerah telitian dapat dilihat
dari korelasi stratigrafi pada seam utama berasarkan pada bagian
lubang bor AL_11 ditemukan lapisan batubara tebal kemudian pada
data lubang bor AL_06 lapisan batubara menipis (Gambar 6.8)

78
Gambar 6.8. Bentuk Pinch pada daerah penelitian (Robert Stefanko, 1983)
3. Fault
Rekahan atau patahan pada kerak bumi atau batuan dengan
satu bagian bergerak relatif terhadap bagian yang lain (Robert
Stefanko, 1983). Pergerakan – pergerakan ini bisa secara vertikal,
horizontal atau perputaran. Pada daerah telitian terlihat dari korelasi
struktur menunjukkan adanya pengaruh dari kontrol struktur
(Gambar 6.9)

79
Gambar 6.9. Bentuk Fault pada daerah penelitian (Robert Stefanko, 1983)
4. Parting
Parting adalah lapisan batuan atau material yang terdapat di dalam
lapisan batubara sehingga memisahkan batubara menjadi beberapa
lapisan (Robert Stefanko, 1983). Pada daerah telitian terlihat adanya
kandungan parting secara fisik berdasarkan data bawah permukaan
berupa data core bor dan data singkapan di permukaan (Gambar
6.10)

80
A B

Gambar 6.10. A.) Bentuk Parting pada singkapan, B.) Bentuk Parting pada data core bor
pada daerah penelitian (Robert Stefanko, 1983)
6.3. Cropline Batubara
Dari semua lintasan diatas pola penyebaran batubara dapat dilihat pada
cropline (Lampiran 1 - E), pola cropline batubara memiliki kemenerusan timur –
barat, kemiringan ke arah selatan - barat daya. Pada jalur cropline bagian tengah
daerah penelitian di kontrol oleh morfologi, pengikisan, erosi dan pelapukan karena
tidak dijumpai lagi batubara pada lokasi tersebut disebabkan adanya erosi dan
pelapukan, sehingga penarikan jalur cropline diperkirakan menerus menjadi seam
utama.
Pada korelasi stratigrafi, batubara pada lokasi penelitian mengalami
penebalan dan penipisan, selain bertujuan untuk mengetahui penebalan dan
penipisan, korelasi tersebut juga bertujuan untuk mengetahui kondisi awal batuan
tersebut diendapkan serta mengetahui kemenerusan lapisan batuan yang ada di
bawah permukaan.

81
BAB VII
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian lapangan serta pembahasan pada bab – bab
sebelumnya, maka pada daerah penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Secara geomorfik, daerah penelitian dibagi menjadi 2 bentukan asal dan 5
bentukan lahan yang terdiri dari bentuk asal denudasional yang terdiri dari :
bentuk lahan perbukitan terkikis bergelombang kuat (D1), bentuk lahan
perbukitan terkikis bergelombang sedang (D2), dan bentuk lahan lembah
denudasional (D14), bentuk asal fluvial terdiri dari bentuk lahan tubuh
sungai (F1) dan bentuk lahan dataran banjir (F2). Jenis pola pengaliran yang
berkembang di daerah penelitian adalah subdendritik.
2. Daerah telitian terdapat 3 satuan batuan dari tua ke muda adalah sebagai
berikut : a.) Satuan batulempung Simpang-Aur diendapkan pada lingkungan
pengendapan Upper - Lower Delta Plain, dengan sub-lingkungan
pengendapan Flood Plain, b.) Satuan batupasir Simpang-Aur diendapkan
pada lingkungan pengendapan Upper - Lower Delta Plain, dengan sub-
lingkungan pengendapan Swamp, Levee, Fluvial Distributary Channel, dan
Backswamp, serta Satuan endapan Aluvial diendapkan pada lingkungan
darat.
3. Struktur geologi yang dijumpai pada daerah penelitian berupa dua struktur
kekar: a.) kekar pertama pada lokasi pengamatan 30 dan b.) kekar kedua
pada lokasi pengamatan 90 yang memliki tegasan utama berarah relatif barat
laut – tenggara serta struktur sesar yaitu “Right Normal Slip Fault” pada
lokasi pengamatan 25, berdasarkan korelasi penampang bor lintasan C – C’
dan D – D’ memperlihatkan elevasi batubara yang berbeda sebagai indikasi
adanya patahan berupa sesar.
4. Karakteristik dari lapisan batubara secara fisik memiliki warna hitam kusam
sampai hitam cemerlang, gores coklat kehitaman, pecahan uneven – sub-
konkoidal, kilap arang – cemerlang kusam, kekerasan sedang – ringan,
pengotor amber – clay, pelapukan sedang – tipis, mineral amorf, komposisi
monomineralik karbon. Formasi Simpang Aur sebagai pembawa batubara

82
pada daerah telitian. Didapatkan 2 (dua) seam batubara berdasarkan data
singkapan permukaan dan data bawah permukaan. Secara umum tebal
batubara pada daerah telitian mencapai 0.40 – 3.1 meter dengan kemiringan
(14o – 20o).
5. Pola penyebaran lapisan batubara daerah telitian memiliki orientasi
kemenerusan berarah timur – barat dengan kemiringan berarah selatan –
barat daya. Berdasarkan korelasi Stratigrafi tebal batubara pada daerah
telitian mengalami penebalan dan penipisan. Penipisan terdapat di bagian
timur dan barat pada bor SB_30 memiliki tebal 0.90 m, bor SB_24 memiliki
tebal 1.70 m dan penebalan batubara dengan tebal 3.10 m. Bentuk endapan
batubara terdiri dari Washed Out, Pinch, Fault dan Parting. Pada jalur
cropline bagian tengah daerah penelitian di kontrol oleh morfologi,
pengikisan, erosi dan pelapukan karena tidak dijumpai lagi batubara pada
lokasi tersebut disebabkan adanya erosi dan pelapukan, sehingga penarikan
jalur cropline diperkirakan menerus menjadi seam utama.

83
DAFTAR PUSTAKA

Allen. G.P. Chambers. J. L. C. 1998. “Sedimentation in the Modern Miocene


Mahakam Delta”, 24th Indonesian Petroleum Association Proceeding.
Jakarta. P.225 – 231.
Ardianto Febri (2012). Skripsi: Geologi dan Pola Sebaran Lapisan Batubara
Daerah Tabapenanjing, Kecamatan Pengambir, Kabupaten Bengkulu
Tengah, Provinsi Bengkulu. Jurusan Teknik Geologi. Fakultas
Teknologi Mineral, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”
Yogyakarta (tidak dipublikasikan).
Diesel. C.F.K. 1992. “Coal Bearing Depositional Systems”, Springer Verlag.
Berlin. Heidelberg.
Cook. A.C. 1999. “Coal Geology and Coal Properties”, Keiraville Konsultants,
Australia, p:68-78 and 179-185.
Gafoer. T.C. S dan R. Pardede (1992). Peta Geologi Regional Lembar Bengkulu,
Sumatera, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi (P3G).
Bandung.
Hall et all. 1993. Ikatan Ahli Geologi Indonesia ”Cekungan Bengkulu”. (22 Maret
2009).
Hazred Umar Fathan. 2018. Skripsi: Geologi dan Persebaran Tebal Batubara di
Daerah Gunung Payung dan Sekitarnya, Kecamatan Ketahun,
Kabupaten Bengkulu Utara, Provinsi Bengkulu. (tidak dipublikasikan).
Heryanto. R. 2007. Kemungkinan Keterdapatan Hidrokarbon di Cekungan
Bengkulu, Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 2 No.3 September 2007: 119-
131.
Heryanto. R. dan Suyoko. 2007. Karakteristik Batubara di Cekungan Bengkulu,
Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 2 No.3 September 2007: 247-259.
Horne. J.C. Farm. J.C. Carrucio. F.T. and Baganz. B.P. 1978. “Depositional Models
In Coal Exploration and Mine Planning In Appalachilan Region”, The
American Association Of Petroleum Geologists Bulletin: Vol. 62 No.12
pp. 2379-2411.
Howard. A. D. 1967. “Drainage Analysis In Geologic Interpretation A Summation”,
The American Association Of Petroleum Geologists Bulletin: V. 51,
No.11 pp. 2246-2259.
Howles. A.C. 1986. “Structural and Stratigraphic Evolution of The Southwest
Sumatra Bengkulu Shelf”. Proceeding Indonesian Petroleum
Association. 15th, pp. 215-243.
Ikatan Ahli Geologi Indonesia. 1996. “Sandi Stratigrafi Indonesia”. Komisi Sandi
Stratigrafi Indonesia (revisi SSI 1973).
Islamy Fajrul. 2016. Skripsi: Geologi dan Pola Sebaran Serta Kemenerusan
Lapisan Batubara Daerah Gunung Megang, Kecamatan Gunung
Megang, Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumatera Selatan. (tidak
dipublikasikan).
Koesoemadinata. 1974. “Teknik Penyelidikan Geologi Bawah Permukaan,
Pedoman Pratikum Geologi Minyak dan Gas Bumi”, Institut Teknologi
Bandung, Bandung.
Koesoemadinata. R.P. 2002. “Outline Of Tertiary Coal Basin Of Indonesia”, in :
The Sedimentology Commission of Indonesian Association of
Geologists Newsletter, number 17, V. 1, p. 2-13.
Kuncoro Prasongko. B. 1996. “Model Pengendapan Batubara Untuk Menunjang
Eksplorasi dan Perencanaan Penambangan”, Program Pascasarjana,
ITB, Bandung. 138p.
Kuncoro Prasongko. B. 2000. “Geometri Lapisan Batubara”. Proseding seminar
tambang Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta.
Kuncoro. 1996. “Perencanaan Eksplorasi Batubara”. Program Studi Khusus
Eksplorasi Sumberdaya Bumi Program Pasca Sarjana, Institut Teknologi
Bandung. Bandung.
Kusnama R. Pardede. S. Mangga A and Sidarto. 1992. “Geological Map of Sungai
Penuh Quadrangle, Sumatra. Map Scale 1:250.000”, Geological
Research and Development Centre, Bandung.
Kusnama. R. Andi M.S. and Sukarna. D. 1993. “Tertiary Stratigraphy and Tectonic
Evolution of Southern Sumatra”, Geological Society of Malaysia
Bulletin, 33, pp. 143 – 152.
Kusuma Praba B. 2017. Skripsi: Geologi dan Pola Sebaran Lapisan Batubara
Berdasarkan Data Permukaan dan Bawah Permukaan Desa
Sukamakmur, Kecamatan Girimulya, Kabupaten Bengkulu Utara,
Provinsi Bengkulu. (tidak dipublikasikan).
Pardede. K.R. Mangga S.A. dan Sidarto. 1993. Geologi Lembar Sungaipenuh dan
Ketaun, Sumatera (0812-0813), Skala 1: 250.000, Pusat Penelitian dan
Pengembangan Geologi, Bandung.
Pulunggono. A (1986). Tertiary Structural Features Related To Extentional and
Compressive Tectonics The Palembang Basin South Sumatra.15th
Indonesian Petroleum Association Proceeding. Ann. Conv.
Pulunggono. dkk (1992) Peristiwa Tektonik Yang Berperan Dalam Perkembangan
Pulau Sumatra dan Cekungan Sumatra Selatan.
Rahmad. B. 2017. “Fasies dan Kualitas Batubara Berdasarkan Komposisi
Mikroskopi Terhadap Pembentukan Gas Metana Batubara Daerah
Idamanggala, Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan”, Penelitian
Unggulan Perguruan Tinggi Kemenristek dikti 2017.
Rahmad Basuki (2005) “Pengantar Kuliah Geologi Batubara” Teknik Geologi,
UPN (GL.1352).
Rahmad Basuki. 2007. “Struktur Geologi dan Sedimentasi Lapisan Batubara
Formasi Berau,” (Tidak dipublikasikan).
Rickard. M.J. 1972. “Fault Classification – Discussion”, Geological Society of
America Bulletin, v.83, pp.2545-2546.
Sandi Stratigrafi Indonesia. 1996. “Komisi Sandi Stratigrafi Indonesia”, Ikatan Ahli
Geologi Indonesia.
Servianus Bernabas Meta. 2011. Skripsi: Geologi dan Pengaruh Lingkungan
Pengendapan Terhadap Ketebalan Lapisan Batubara di Formasi
Balikpapan, Desa Tepok, Kecamatan Loa Janan, Kabupaten Kutai
Kartanegara, Kalimantan Timur. (tidak dipublikasikan).
Stefanko Robert. 1983. “Coal mining technology: theory and practice”.U.S.
Department of Energy. Office of Scientific and Technical Information.
United States.
Step. Nalendra Jati. 2011. Skripsi: Tipe Pola Sebaran dan Kemenerusan Lapisan
Batubara di Lokasi Penelitian, Sekitar Lokasi, dan Regional. Mahasiswa
Pascasarjana. Magister Teknik Geologi. Universitas Pembangunan
Nasional “Veteran” Yogyakarta.
Sukandarrumidi. 2008. “Batubara dan Gambut”. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Tahir S. Musta Baba. 2007. “Pengenalan Kepada Stratigrafi”. University Malaysia
Sabah. Kota Kinabalu. Sabah.
Thornbury. W.D. 1969. “Principles of Geomorphology”. John Wiley and Sons Inc.,
New York, U.S.A.
Van Zuidam. R.A. 1983. Guide to Geomorphologic aerial photographic
interpretation and mapping, ITC, Netherland.
Van Bemmelen. R.W. 1949. The Geology of Indonesia, Vol. IA: General Geology
of Indonesia and Adjacent Archipelagoes, The Hague.
Williams. H. Turner. F. J. dan Gilbert. C. M. 1982. “Petrography; An Introduction to

the Study of Rocks in Thin Sections”, 2nd edition. New York: W. H.


Freeman and Company.
Yulihanto. B. Sofyan, S. Widjaja, S. Nurdjajadi, A. Hastuti, S. 1995. “Structural
Analysis Of The Onshore Bengkulu Forearc Basin and Implication For
Future Hydrocarbon Exploration Activity, Indonesian Petroleum
Association Post Convention Field Trip 1996. Bengkulu Forearc Basin”,
pp. 1 – 55.
LAMPIRAN
LAMPIRAN 2 - A
PENAMPANG KORELASI DATA BOR DATA GEOLOGI LUBANG BOR
DAERAH LEMBAH DURI DAN SEKITARNYA LOKASI : LEMBAH DURI SKALA : 1 : 100
KECAMATAN PINANG RAYA, KABUPATEN BENGKULU UTARA
KODE BOR : AL_11 MESIN BOR : JAKRO 175
PROVINSI BENGKULU

µ
KOORDINAT : X : 824017.000 KEDALAMAN : 40.50 M
Y : 9637012.00 DATA GEOLOGI LUBANG BOR
Z : 50.00
Ukuran Butir LOKASI : LEMBAH DURI SKALA : 1 : 100

TEBAL (M)

LITOLOGI
Pasir Sangat Kasar

Pasir Sangat Halus


KODE BOR : AL_08 MESIN BOR : JAKRO 175
Skala 1 : 100

Konglomerat

Pasir Sedang
Pasir Kasar

Pasir Halus
KOORDINAT : X : 824030.000 KEDALAMAN : 48.00 M

Lempung
Breksi

Lanau
Y : 9636754.00 DATA GEOLOGI LUBANG BOR
0 1 2 5m
0 100 200 500 cm
1M Z : 45.00
Ukuran Butir LOKASI : LEMBAH DURI SKALA : 1 : 100

TEBAL (M)

LITOLOGI
Pasir Sangat Kasar

Pasir Sangat Halus


2M
KODE BOR : AL_06 MESIN BOR : JAKRO 175
Oleh :

Konglomerat

Pasir Sedang
Pasir Kasar

Pasir Halus
KOORDINAT : X : 824074.000 KEDALAMAN : 51.00 M

Lempung
Alan Noviter 1.3 M

Breksi

Lanau
111.140.071 Y : 9636614.00
Z : 35.00
3.07 M
Ukuran Butir

TEBAL (M)
KETERANGAN :

LITOLOGI
Pasir Sangat Kasar

Pasir Sangat Halus


Konglomerat

Pasir Sedang
: Soil

Pasir Kasar

Pasir Halus
7M

Lempung
Breksi

Lanau
: Batubara
5.60 M
: Batupasir
3M

: Batulempung

7.7 M

6M

9.1 M

1M

2.8 M

5.1 M

5.9 M
1.60 M

9.22 M

3.60 M

0.90 M

2.5 M
14.5 M

5.5 M
12.8 M

200 M

0.60 M

LINTASAN A - A’
4.1 M

19.7 M
4.5 M

150 M
LAMPIRAN 2 - B

PENAMPANG KORELASI DATA BOR


DAERAH LEMBAH DURI DAN SEKITARNYA
KECAMATAN PINANG RAYA, KABUPATEN BENGKULU UTARA
PROVINSI BENGKULU

µ
LINTASAN B - B’

Skala 1 : 100

0 1 2 5 cm DATA GEOLOGI LUBANG BOR


0 100 200 500 m
DATA GEOLOGI LUBANG BOR
LOKASI : LEMBAH DURI SKALA : 1 : 100
LOKASI : LEMBAH DURI SKALA : 1 : 100
KODE BOR : SB_23 MESIN BOR : JAKRO 175
Oleh : KODE BOR : SB_19 MESIN BOR : JAKRO 175
Alan Noviter KOORDINAT : X : 825431.000 KEDALAMAN : 46.00 M
KOORDINAT : X : 825199.000 KEDALAMAN : 45.00 M
111.140.071 Y : 9636140.00
Y : 9636113.00 Z : 50.00
Z : 45.00 Ukuran Butir
KETERANGAN :

TEBAL (M)
Ukuran Butir

LITOLOGI
Pasir Sangat Kasar

Pasir Sangat Halus


TEBAL (M)

LITOLOGI
Pasir Sangat Kasar

Pasir Sangat Halus


: Soil

Konglomerat

Pasir Sedang
Pasir Kasar

Pasir Halus
Konglomerat

Pasir Sedang

Lempung
Pasir Kasar

Pasir Halus

Breksi
Lempung

Lanau
: Batubara

Breksi

Lanau
1.0 M
: Batupasir 1.0 M

: Batulempung 3.0 M
3.0 M

3.5 M

5.0 M

DATA GEOLOGI LUBANG BOR


7.5 M

LOKASI : LEMBAH DURI SKALA : 1 : 100


KODE BOR : SB_26 MESIN BOR : JAKRO 175 7.0 M

KOORDINAT : X : 825134.000 KEDALAMAN : 36.00 M


Y : 9636167.00
Z : 45.00 3.0 M
Ukuran Butir
TEBAL (M)

LITOLOGI
Pasir Sangat Kasar

Pasir Sangat Halus

3.0 M
Konglomerat

Pasir Sedang
Pasir Kasar

Pasir Halus

Lempung

3.0 M
DATA GEOLOGI LUBANG BOR
Breksi

Lanau

LOKASI : LEMBAH DURI SKALA : 1 : 100


KODE BOR : SB_14 MESIN BOR : JAKRO 175 2.0 M

KOORDINAT : X : 824947.000 KEDALAMAN : 14.00 M


Y : 9636229.00
Z : 50.00
13.5 M
Ukuran Butir
TEBAL (M)

LITOLOGI
Pasir Sangat Kasar

Pasir Sangat Halus

12 M
9.9 M
Konglomerat

Pasir Sedang
Pasir Kasar

Pasir Halus

Lempung
Breksi

Lanau

1M

6M

6.0 M 6.0 M
6.0 M

2M

2.6 M 2.7 M 2.6 M 2.65 M

2.28 M
2.70 M 2.8 M 2.95 M

1.2 M
1.1 M
1.4 M

9.80 M

0.40 M

2.50 M

200 M 90 M 200 M
LAMPIRAN 2 - C

PENAMPANG KORELASI DATA BOR


DAERAH LEMBAH DURI DAN SEKITARNYA
KECAMATAN PINANG RAYA, KABUPATEN BENGKULU UTARA
PROVINSI BENGKULU

µ
Skala 1 : 100

0 1 2 5 cm
0 100 200 500 m

Oleh :
Alan Noviter
DATA GEOLOGI LUBANG BOR 111.140.071 DATA GEOLOGI LUBANG BOR
LOKASI : LEMBAH DURI SKALA : 1 : 100 LOKASI : LEMBAH DURI SKALA : 1 : 100
KETERANGAN :
KODE BOR : SB_14 MESIN BOR : JAKRO 175 : Soil
KODE BOR : SB_10 MESIN BOR : JAKRO 175
KOORDINAT : X : 824947.000 KEDALAMAN : 14.00 M KOORDINAT : X : 825676.000 KEDALAMAN : 33.00 M
Y : 9636229.00 : Batubara Y : 9636651.00
DATA GEOLOGI LUBANG BOR DATA GEOLOGI LUBANG BOR
Z : 50.00 : Batupasir Z : 45.00
Ukuran Butir LOKASI : LEMBAH DURI SKALA : 1 : 100 LOKASI : LEMBAH DURI SKALA : 1 : 100 Ukuran Butir
TEBAL (M)

TEBAL (M)
LITOLOGI

LITOLOGI
Pasir Sangat Kasar

Pasir Sangat Kasar


Pasir Sangat Halus

Pasir Sangat Halus


KODE BOR : SB_24 MESIN BOR : JAKRO 175 : Batulempung KODE BOR : SB_13 MESIN BOR : JAKRO 175
Konglomerat

Konglomerat
Pasir Sedang

Pasir Sedang
Pasir Kasar

Pasir Kasar
Pasir Halus

Pasir Halus
KOORDINAT : X : 825073.000 KEDALAMAN : 21.00 M KOORDINAT : X : 825522.000 KEDALAMAN : 50.00 M
Lempung

Lempung
Breksi

Breksi
Lanau

Lanau
Y : 9636291.00 DATA GEOLOGI LUBANG BOR Y : 9636570.00
1M Z : 40.00 Z : 40.00
Ukuran Butir LOKASI : LEMBAH DURI SKALA : 1 : 100 Ukuran Butir

TEBAL (M)

TEBAL (M)
LITOLOGI

LITOLOGI
Pasir Sangat Kasar

Pasir Sangat Kasar


Pasir Sangat Halus

Pasir Sangat Halus


KODE BOR : SB_08 MESIN BOR : JAKRO 175

Konglomerat

Konglomerat
Pasir Sedang

Pasir Sedang
Pasir Kasar

Pasir Kasar
Pasir Halus

Pasir Halus
KOORDINAT : X : 825188.000 KEDALAMAN : 22.55 M

Lempung

Lempung
Breksi

Breksi
Lanau

Lanau
6M
Y : 9636404.00
Z : 35.00 11 M

3.0 M
Ukuran Butir

TEBAL (M)

LITOLOGI
Pasir Sangat Kasar

Pasir Sangat Halus


5M

Konglomerat

Pasir Sedang
2M

Pasir Kasar

Pasir Halus

Lempung
1.2 M

Breksi

Lanau
2.6 M 1.7 M

2M
0.7 M
1M

2.28 M
2M
4.0 M
4M
1.2 M
150 M

1M

6.2 M 19.3 M

9M
0.40 M 15.9 M

4.4 M

150 M

2.5 M

1.25 M

2.7 M
2.75 M
2.70 M

0.08 M
350 M 0.40 M
180 M

12.5 M

0.40 M

9.1 M
LINTASAN C - C’
KOLOM SEDIMENTOLOGI RINCI LAMPIRAN 3 - A
ANALISA PROFIL
Litologi : Warna Litologi: Struktur Sedimen :
0 10 20 50 cm
Batupasir Batupasir Perlapisan

0 1 2 5 cm
Batulempung Masif
Batulempung

Formasi : Simpang Aur Singkatan :


Satuan : Batupasir Simpang Aur Koordinat :
Batulanau Batulanau W : warna F : fragmen
Umur : Pliosen X : 0823831
UB : ukuran butir M : matriks
Daerah : Bukit Harapan Lembah Duri Dpb : derajat pembundaran S : semen Y : 9635733
Lokasi : LP 32
Dpm : derajat pemilahan
Skala : 1 : 10
Kms : kemas
Psr : pasir
STRUKTUR
SEDIMEN
SATUAN BATUAN
F O R M A S I

Allen, BESAR BUTIR


et al (1998)
T E B A L (M)

SIMBOL
PEMERIAN Model Pendekatan Lingkungan Pengendapan
Sub Lingkungan

FOTO
Pengendapan

Pengendapan

LITOLOGI
Lingkungan

PASIR SANGAT KASAR

PASIR SANGAT HALUS


PASIR SEDANG
PASIR KASAR

PASIR HALUS
BONGKAH

LEMPUNG
KERAKAL
KERIKIL

LANAU

0.10 m

Batulempung, w: abu-abu, ub: lempung


(<0,004 mm), masif

Batupasir, w: coklat kekuningan, ub: psr


sedang (0.25 - 0.5 mm), dpb: agak mem-
bundar, dpm: baik, kms: tertutup, f: kuarsa
0.90 m m: litik, mineral lempung, s: silika,
perlapisan

Batulanau, w: coklat keabuan, ub: lanau


(0,004 - 0,06 mm), masif

0.15 m Berdasarkan kenampakan fisik batuan dan fakta lapangan pada profil ini
Upper Delta Plain (Allen et al, 1998)

didapatkan endapan Upper Delta Plain dengan sub-lingkungan Fluvial


Satuan Batupasir Simpang Aur

Distributary Channel (Allen et al, 1998)


Fluvial Distributary Channel
Formasi Simpang Aur

0.25 m Batulempung, w: abu-abu, ub: lempung Fluvial Distributary Channel : endapan ini dicirikan dengan litologi
(<0,004 mm), masif berukuran pasir - lempung yang mengkasar dan menghalus ke atas ditandai
dengan adanya struktur perlapisan pada batupasir serta struktur masif pada
batulempung, tidak bereaksi dengan hcl yang mana dapat diketahui bahwa
Batupasir, w: kuning kecoklatan, ub : wa endapan ini merupakan penciri endapan darat.
pasir sedang (0,25 - 0,5 mm), dpb: agak
0.30 m
membundar, dpm: buruk, kms: tertutup,
f: kuarsa, m: litik, mineral lempung s:
silika, perlapisan

0,48 m
Batupasir, w: coklat kekuningan, ub: pasir
halus (0.125 - 0.25 mm), perlapisan

Batupasir, w: coklat kekuningan, ub: pasir


sangat halus (0.06 - 0.125 mm), masif
0.55 m

Batulempung, w: abu-abu, ub: lempung


(<0,004 mm), masif
0.15 m
KOLOM SEDIMENTOLOGI RINCI LAMPIRAN 3 - B
ANALISA PROFIL
Litologi : Warna Litologi Struktur Sedimen :
0 10 20 50 cm
Batupasir Batupasir Perlapisan

0 1 2 5 cm
Batulempung Batulempung Masif

Formasi : Simpang Aur


Koordinat :
Satuan : Batupasir Simpang Aur
Batulanau Batulanau Laminasi
Umur : Pliosen X : 0823798
Daerah : Lembah Duri Y : 9636704
Lokasi : LP 44 Singkatan :
Skala W : warna Dpm : derajat pemilahan F : fragmen
: 1 : 10
UB : ukuran butir Kms : kemas M : matriks
Dpb : derajat pembundaran Psr : pasir S : semen
STRUKTUR
SEDIMEN
Allen, BESAR BUTIR
SATUAN BATUAN

et al (1998)
F O R M A S I

T E B A L (M)

SIMBOL PEMERIAN Model Pendekatan Lingkungan Pengendapan


FOTO
LITOLOGI
Sub Lingkungan
Pengendapan

Pengendapan
Lingkungan

PASIR SANGAT KASAR

PASIR SANGAT HALUS


PASIR SEDANG
PASIR KASAR

PASIR HALUS
BONGKAH

LEMPUNG
KERAKAL
KERIKIL

LANAU

0.10 m

Batulempung, w: abu-abu, ub: lempung


(<0,004 mm), masif

0.90 m

Batupasir, w: coklat kekuningan, ub: pasir


halus (0.125 - 0.25 mm), perlapisan

Berdasarkan kenampakan fisik batuan dan fakta lapangan pada profil ini
Batulempung, w: abu-abu, ub: lempung didapatkan endapan Upper Delta Plain dengan sub-lingkungan Fluvial
Upper Delta Plain (Allen et al, 1998)

0.20 m
(<0,004 mm), masif
Satuan Batupasir Simpang Aur

Distributary Channel (Allen et al, 1998)


Fluvial Distributary Channel

Fluvial Distributary Channel : endapan ini dicirikan dengan litologi ber-


Formasi Simpang Aur

0.20 m
ukuran pasir - lempung dengan kecenderungan mengkasar ke atas. Ditandai
Batupasir, w: coklat kekuningan, ub: pasir dengan adanya struktur sedimen perlapisan dan laminasi pada batupasir
halus (0.125 - 0.25 mm), perlapisan
serta struktur masif pada batulempung tidak bereaksi dengan hcl yang mana
dapat diketahui bahwa endapan ini merupakan penciri endapan darat.

Batupasir, w: kuning kecoklatan, ub :


0,40 m
pasir sedang (0,25 - 0,5 mm), dpb: agak
membundar, dpm: buruk, kms: tertutup,
f: kuarsa, m: litik, mineral lempung s:
silika, perlapisan

0,20 m Batupasir, w: coklat kekuningan, ub: pasir


sangat halus (0.06 - 0.125 mm), laminasi

0.70 m

Batupasir, w: coklat kekuningan, ub: pasir


halus (0.125 - 0.25 mm), perlapisan

0.40 m Batulanau, w: coklat keabuan, ub: lanau


(0,004 - 0,06 mm), masif
KOLOM SEDIMENTOLOGI RINCI LAMPIRAN 3 - C
ANALISA PROFIL
Litologi : Struktur Sedimen : Warna Litologi
0 5 10 25 cm
Batupasir Perlapisan Batupasir

0 1 2 5 cm Batulempung
tufan Masif Batulempung
Formasi : Simpang Aur Koordinat :
Satuan : Batupasir Simpang Aur Batupasir Singkatan :
Umur : Pliosen lempungan Flaser
W : warna F : fragmen
X : 0825790
Daerah : Blok G Lembah Duri bedding
UB : ukuran butir M : matriks Y : 9636220
Lokasi : LP 12 Dpb : derajat pembundaran S : semen
Skala :1:5 Dpm : derajat pemilahan
Batulempung
Kms : kemas
Psr : pasir

STRUKTUR
SEDIMEN
Allen, BESAR BUTIR
SATUAN BATUAN
F O R M A S I

et al (1998)
T E B A L (M)

SIMBOL PEMERIAN Model Pendekatan Lingkungan Pengendapan


FOTO
LITOLOGI
Sub Lingkungan
Pengendapan

Pengendapan
Lingkungan

PASIR SANGAT KASAR

PASIR SANGAT HALUS


PASIR SEDANG
PASIR KASAR

PASIR HALUS
BONGKAH

LEMPUNG
KERAKAL
KERIKIL

LANAU

0.20 m Batulempung tufan, w: abu-abu, ub: lem


pung (<0,004 mm), masif

Batupasir lempungan, w: coklat kekuning-


0.10 m an, ub: pasir sangat halus (0.06 - 0.125
mm), flaser bedding

0.20 m
Batulempung tufan, w: abu-abu, ub: lem
pung (<0,004 mm), masif
Upper Delta Plain (Allen et al, 1998)
Satuan Batupasir Simpang Aur
Formasi Simpang Aur

Batupasir lempungan, w: coklat kekuning- Berdasarkan kenampakan fisik batuan dan fakta lapangan pada profil ini
an, ub: pasir sangat halus (0.06 - 0.125 didapatkan endapan Upper Delta Plain dengan sub-lingkungan levee
0.20 m
mm), flaser bedding (Allen et al, 1998).
Levee

Levee : endapan ini dicirikan dengan litologi berukuran lempung - pasir


dengan kecenderungan menghalus ke atas. Ditandai dengan adanya
struktur sedimen perlapisan, flaser bedding pada batupasir serta struktur
masif pada batulempung tidak bereaksi dengan Hcl yang mana dapat di-
ketahui bahwa endapan ini merupakan penciri endapan darat.
0.15 m
Batupasir, w: coklat kekuningan, ub: pasir
halus (0.125 - 0.25 mm), perlapisan

0.20 m
Batulempung, w: abu-abu, ub: lempung
(<0,004 mm), masif

0.30 m
Batupasir, w: coklat kekuningan, ub: pasir
sangat halus (0.06 - 0.125 mm), perlapisan
KOLOM SEDIMENTOLOGI RINCI LAMPIRAN 3 - D
ANALISA PROFIL
Litologi : Struktur Sedimen :
0 10 20 50 cm Batupasir Serpih Lenticuler
Batubaraan Perlapisan
bedding

Batulempung
0 1 2 5 cm tufan Batulanau Laminasi Masif

Formasi : Simpang Aur Batulempung Warna Litologi: Singkatan : Koordinat :


Satuan : Batupasir Simpang Aur pasiran W : warna F : fragmen
Cross Laminasi
Umur : Pliosen Batupasir UB : ukuran butir M : matriks X : 0826389
Daerah : Blok G Lembah Duri Dpb : derajat pembundaran S : semen
Lokasi : LP 117
Batulempung Y : 9636930
Dpm : derajat pemilahan
Skala : 1 : 50 Warna Litologi:
Kms : kemas
Batulempung Batulempung
karbonan Batulanau Komp : komposisi

STRUKTUR
SEDIMEN
Allen, BESAR BUTIR
SATUAN BATUAN

et al (1998)
F O R M A S I

T E B A L (M)

SIMBOL PEMERIAN FOTO Model Pendekatan Lingkungan Pengendapan


LITOLOGI
Sub Lingkungan

Pengendapan
Pengendapan

Lingkungan

PASIR SANGAT KASAR

PASIR SANGAT HALUS


PASIR SEDANG
PASIR KASAR

PASIR HALUS
BONGKAH

LEMPUNG
KERAKAL
KERIKIL

LANAU

Batulempung tufan, w: abu-abu, ub: lem


pung (<0,004 mm), masif

4m
Fluvial Distributary Channel

Batupasir, w: coklat kekuningan, ub: pasir


1m sangat halus (0.06 - 0.125 mm), perlapisan

0.70 m
Berdasarkan kenampakan fisik batuan dan fakta lapangan pada profil ini
Batulempung pasiran, w: abu-abu, ub:
lempung (< 0.004 mm), lenticuler bedding
didapatkan endapan Upper Delta Plain dengan sub-lingkungan Backswamp
& Fluvial Distributary Channel (Allen et al. 1998).

1.30 m
Fluvial distributary channel : endapan ini dicirikan dengan litologi berukuran
lempung - pasir dengan kecendrungan mengkasar dan menghalus ke atas. Di
Batupasir, w: coklat keabuan, ub: pasir tandai dengan adanya struktur sedimen perlapisan, laminasi, cross laminasi
Satuan Batupasir Simpang Aur

halus (0.125 - 0.25 mm), perlapisan lenticuler bedding pada batupasir serta struktur masif pada batulempung.
Upper Delta Plain (Allen et al, 1998)

0.30 m
Tidak bereaksi dengan Hcl yang mana dapat diketahui bahwa endapan ini
Formasi Simpang Aur

Batupasir, w: coklat, ub: pasir sedang


merupakan penciri endapan lingkungan darat.
(0.25 - 0.5 mm), dpb: agak membundar,
1.10 m
dpm: baik, kms: tertutup, f:kuarsa, m:litik,
Backswamp : endapan ini dicirikan dengan litologi berukuran lempung
mineral ukuran lempung, s: silika, cross Ditandai dengan adanya batulempung karbonan dan serpih batubara-
laminasi an. Tidak bereaksi dengan Hcl yang mana dapat diketahui bahwa
endapan ini merupakan penciri endapan lingkungan darat.
Batulanau, w: abu-abu, ub: lanau (<0,004 -
1m
0.06 mm), masif

Batupasir, w: coklat kekuningan, ub: pasir


sangat halus (0.06 - 0.125 mm), perlapisan
1.50 m

Batupasir, w: coklat kekuningan, ub: pasir


0.40 m
halus (0.125 - 0.25 mm), perlapisan

1.20 m Batulempung karbonan, w: abu-abu, ub:


lempung (<0,004 mm), karbon, masif
Backswamp

WS : coklat, UB : pasir halus (0.125 - 0.5


1.40 m mm), K : mineral ukuran lempung, S :
silika, SS : laminasi

0.70 m
Batupasir, w: coklat keabuan, ub: pasir
halus (0.125 - 0.25 mm), perlapisan

Serpih batubaraan, w: hitam, ub:


lempung (<0,004 mm), kilap : cemerlang -
agak kusam, gores : coklat kehitaman,
pecahan : uneven, tekstur : amorf, komp:
mineral karbon dan mineral lempung, SS :
perlapisan
KOLOM SEDIMENTOLOGI RINCI LAMPIRAN 3 - E
ANALISA PROFIL
Litologi : Warna Litologi Struktur Sedimen :
0 5 10 25 cm Perlapisan
Batupasir Batupasir

0 1 2 5 cm Batulempung
tufan Batulempung Masif

Formasi : Simpang Aur Singkatan :


Satuan : Batulempung Simpang Aur Batulempung : warna
W F : fragmen
Umur : Pliosen pasiran : ukuran butir
UB M : matriks Koordinat :
Daerah : Lembah Duri Dpb : derajat pembundaran S : semen
Lokasi : LP 67 Dpm : derajat pemilahan X : 0824086
Skala :1:5 Kms : kemas Y : 9637786
Komp : komposisi

STRUKTUR
SEDIMEN
Allen, BESAR BUTIR
SATUAN BATUAN

et al (1998)
F O R M A S I

T E B A L (M)

SIMBOL PEMERIAN FOTO Model Pendekatan Lingkungan Pengendapan


Sub Lingkungan

Pengendapan
Lingkungan
Pengendapan

LITOLOGI
PASIR SANGAT KASAR

PASIR SANGAT HALUS


PASIR SEDANG
PASIR KASAR

PASIR HALUS
BONGKAH

LEMPUNG
KERAKAL
KERIKIL

LANAU

0.50 m
Batulempung tufan, w: abu-abu, ub: lem
pung (<0,004 mm), masif
Satuan Batulempung Simpang Aur

Lower Delta Plain (Allen et al, 1998)

Batupasir, w: coklat kekuningan, ub: pasir Berdasarkan kenampakan fisik batuan dan fakta lapangan pada profil ini
0.10 m
sangat halus (0.06 - 0.125 mm), perlapisan
Formasi Simpang Aur

didapatkan endapan Lower Delta Plain dengan sub-lingkungan Floodplain


(Allen et al, 1998).
Floodplain

Floodplain : endapan ini dicirikan dengan litologi berukuran lempung -


pasir ditandai dengan adanya struktur sedimen perlapisan pada batupasir
serta struktur masif pada batulempung, tidak bereaksi dengan Hcl yang
mana dapat diketahui bahwa endapan ini merupakan penciri endapan darat.

0.40 m Batulempung pasiran, w: abu-abu, ub:


lempung (<0,004 mm), masif

0,10 m
Batupasir, w: coklat keabuan, ub: pasir
halus (0.125 - 0.25 mm), perlapisan

0,30 m Batulempung pasiran, w: abu-abu, ub:


lempung (<0,004 mm), masif
KOLOM SEDIMENTOLOGI RINCI LAMPIRAN 3 - F
ANALISA PROFIL
Litologi : Warna Litologi Struktur Sedimen :
0 15 30 75 cm Batupasir Batupasir Perlapisan

0 1 2 5 cm Batulempung Batulempung Masif


tufan
Formasi : Simpang Aur Singkatan :
Satuan : Batulempung Simpang Aur Batulempung
W : warna F : fragmen
Umur : Pliosen pasiran
UB : ukuran butir M : matriks Koordinat :
Daerah : Lembah Duri Dpb : derajat pembundaran S : semen
Lokasi : LP 80 Dpm : derajat pemilahan X : 0825459
Batulempung
Skala : 1 : 15 Kms : kemas Y : 9638253
Komp : komposisi

STRUKTUR
SEDIMEN
Allen, BESAR BUTIR
SATUAN BATUAN

et al (1998)
F O R M A S I

T E B A L (M)

SIMBOL PEMERIAN FOTO Model Pendekatan Lingkungan Pengendapan


LITOLOGI
Sub Lingkungan

Pengendapan
Lingkungan
Pengendapan

PASIR SANGAT KASAR

PASIR SANGAT HALUS


PASIR SEDANG
PASIR KASAR

PASIR HALUS
BONGKAH

LEMPUNG
KERAKAL
KERIKIL

LANAU

Batulempung tufan, w: abu-abu, ub:


lempung (<0,004 mm), masif
3m
Berdasarkan kenampakan fisik batuan dan fakta lapangan pada profil ini
didapatkan endapan Lower Delta Plain dengan sub-lingkungan Floodplain
(Allen et al, 1998).
Floodplain : endapan ini dicirikan dengan litologi berukuran lempung -
pasir ditandai dengan adanya struktur sedimen perlapisan pada batupasir
serta struktur masif pada batulempung, tidak bereaksi dengan Hcl yang
mana dapat diketahui bahwa endapan ini merupakan penciri endapan darat.
Satuan Batulempung Simpang Aur

Lower Delta Plain (Allen et al,1998)


Formasi Simpang Aur

Floodplain

Batulempung pasiran, w: abu-abu, ub:


0.50 m
lempung (<0,004 mm), masif

Batulempung, w: abu-abu, ub: lempung


0.40 m
(<0,004 mm), masif

0.20 m

Batupasir, w: coklat keabuan, ub: pasir


halus (0.125 - 0.25 mm), perlapisan

Batulempung pasiran, w: abu-abu, ub:


1.5 m lempung (<0,004 mm), masif

Batupasir, w: coklat kekuningan, ub: pasir


sangat halus (0.06 - 0.125 mm), perlapisan
1m

Batulempung, w: abu-abu, ub: lempung


(<0,004 mm), masif
0.20 m
KOLOM SEDIMENTOLOGI RINCI LAMPIRAN 3 - G
ANALISA PROFIL
Litologi : Warna Litologi Struktur Sedimen :
0 10 20 50 cm
Batulempung Batubara Masif

Singkatan :
0 1 2 5 cm W : warna
Batulempung UB : ukuran butir
Formasi : Simpang Aur
Satuan : Batupasir Simpang Aur Koordinat :
Umur : Pliosen X : 0824642
Daerah : Lembah Duri
Lokasi : LP 29
Y : 9636129
Skala : 1 : 10

STRUKTUR
SEDIMEN
Allen, BESAR BUTIR
SATUAN BATUAN

et al (1998)
F O R M A S I

T E B A L (M)

SIMBOL PEMERIAN FOTO Model Pendekatan Lingkungan Pengendapan


Sub Lingkungan

Pengendapan
Lingkungan
Pengendapan

LITOLOGI
PASIR SANGAT KASAR

PASIR SANGAT HALUS


PASIR SEDANG
PASIR KASAR

PASIR HALUS
BONGKAH

LEMPUNG
KERAKAL
KERIKIL

LANAU

0.20 m

Batulempung, w: abu-abu, ub: lempung


(<0,004 mm), masif

0.20 m
Satuan Batupasir Simpang Aur

Delta Plain (Allen et al, 1998)

0.10 m Batubara, w: hitam, gores: coklat kehitam


man, pecahan: uneven - sub-konkoidal,
Formasi Simpang Aur

kilap: arang - cemerlang kusam, kekerasan


sedang, pengotor: amber, mineral amorf,
monomineralik karbon
Swamp

Batulempung, w: abu-abu, ub: lempung


(<0,004 mm), masif

0.80 m

Batubara, w: hitam, gores: coklat kehitam Berdasarkan kenampakan fisik batuan dan fakta lapangan pada profil ini
man, pecahan: uneven - sub-konkoidal,
kilap: arang - cemerlang kusam, kekerasan didapatkan endapan Delta Plain dengan sub-lingkungan Swamp (Allen
sedang, pengotor: amber, mineral amorf, et al, 1998).
monomineralik karbon
Swamp : endapan ini dicirikan dengan litologi berukuran lempung dengan
struktur masif dicirikan adanya komposisi karbonan dan batubara,
tidak bereaksi dengan Hcl yang mana dapat diketahui bahwa endapan ini
merupakan penciri endapan darat.
KOLOM SEDIMENTOLOGI RINCI LAMPIRAN 3 - H
ANALISA PROFIL
Litologi : Warna Litologi Struktur Sedimen :
0 20 40 100 cm
Batulempung Batubara Masif

Singkatan :
0 1 2 5 cm W : warna
Batulempung
UB : ukuran butir
Formasi : Simpang Aur
Satuan : Batupasir Simpang Aur Koordinat :
Umur : Pliosen
Daerah : Lembah Duri
X : 0824103
Lokasi : LP 54 Y : 9637013
Skala : 1 : 20

STRUKTUR
SEDIMEN
Allen, BESAR BUTIR
SATUAN BATUAN

et al (1998)
F O R M A S I

T E B A L (M)

SIMBOL PEMERIAN FOTO Model Pendekatan Lingkungan Pengendapan


Sub Lingkungan

Pengendapan
Lingkungan
Pengendapan

LITOLOGI
PASIR SANGAT KASAR

PASIR SANGAT HALUS


PASIR SEDANG
PASIR KASAR

PASIR HALUS
BONGKAH

LEMPUNG
KERAKAL
KERIKIL

LANAU

0.50 m Batulempung, w: abu-abu, ub: lempung


(<0,004 mm), masif

Batubara, w: hitam, gores: coklat kehitam


man, pecahan: uneven - sub-konkoidal,
Satuan Batupasir Simpang Aur

kilap: arang - cemerlang kusam, kekerasan


Delta Plain (Allen et al, 1998)

1m
sedang, pengotor: amber, mineral amorf,
monomineralik karbon
Formasi Simpang Aur

Swamp

Batulempung, w: abu-abu, ub: lempung


(<0,004 mm), masif

0.20 m

Berdasarkan kenampakan fisik batuan dan fakta lapangan pada profil ini
didapatkan endapan Delta Plain dengan sub-lingkungan Swamp (Allen
et al, 1998).
Swamp : endapan ini dicirikan dengan litologi berukuran lempung dengan
struktur masif dicirikan adanya komposisi karbonan dan batubara,
tidak bereaksi dengan Hcl yang mana dapat diketahui bahwa endapan ini
merupakan penciri endapan darat.
KOLOM SEDIMENTOLOGI RINCI LAMPIRAN 3 - I
ANALISA PROFIL
Litologi : Warna Litologi Struktur Sedimen :
0 20 40 100 cm
Batulempung Batubara Masif

Singkatan :
0 1 2 5 cm W : warna
Batulempung
UB : ukuran butir
Formasi : Simpang Aur
Satuan : Batupasir Simpang Aur Koordinat :
Umur : Pliosen
Daerah : Lembah Duri
X : 0824103
Lokasi : LP 116 Y : 9637013
Skala : 1 : 20

STRUKTUR
SEDIMEN
Allen, BESAR BUTIR
SATUAN BATUAN

et al (1998)
F O R M A S I

T E B A L (M)

SIMBOL PEMERIAN FOTO Model Pendekatan Lingkungan Pengendapan


Sub Lingkungan

Pengendapan
Lingkungan
Pengendapan

LITOLOGI
PASIR SANGAT KASAR

PASIR SANGAT HALUS


PASIR SEDANG
PASIR KASAR

PASIR HALUS
BONGKAH

LEMPUNG
KERAKAL
KERIKIL

LANAU

0.30 m

Batulempung, w: abu-abu, ub: lempung


(<0,004 mm), masif
Satuan Batupasir Simpang Aur

Delta Plain (Allen et al, 1998)

1.2 m

Batubara, w: hitam, gores: coklat kehitam


man, pecahan: uneven - sub-konkoidal,
Formasi Simpang Aur

kilap: arang - cemerlang kusam, kekerasan


sedang, pengotor: amber, mineral amorf,
monomineralik karbon
Swamp

Floor: tertutup air

Berdasarkan kenampakan fisik batuan dan fakta lapangan pada profil ini
didapatkan endapan Delta Plain dengan sub-lingkungan Swamp (Allen
et al, 1998).
Swamp : endapan ini dicirikan dengan litologi berukuran lempung dengan
struktur masif dicirikan adanya komposisi karbonan dan batubara,
tidak bereaksi dengan Hcl yang mana dapat diketahui bahwa endapan ini
merupakan penciri endapan darat.
83
84
LABORATORIUM MIKROPALEONTOLOGI LAMPIRAN 5-A
PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” YOGYAKARTA
2019

FORAMINIFERA PLANKTON
No.Contoh Batuan : 67 Satuan Batuan : Satuan Batulempung
Lokasi : Desa Lembah Duri Kisaran / Umur : -
Batuan : Batulempung Dianalisa Oleh : Alan Noviter

OLIGOSEN MIOSEN PLIOSEN


UMUR PLEISTOSEN
P 20 21 22 Awal Tengah Akhir Awal Akhir
Foraminifera Planktonik N 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
1 Barren
Blow, 1969

Kesimpulan : Tidak dijumpai adanya plankton.

FORAMINIFERA BENTOS

Lingkungan Batimetri
Transisi Neritik Bathial Abisal
Tepi Tengah Luar Atas Bawah
Foraminifera Bentonik 0 20 100 200 500 2000 4000
Barren
Barker, 1960

Kesimpulan : Tidak dijumpai adanya bentos.


LABORATORIUM MIKROPALEONTOLOGI LAMPIRAN 5-B
PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” YOGYAKARTA
2019

FORAMINIFERA PLANKTON
No.Contoh Batuan : 80 Satuan Batuan : Satuan Batulempung
Lokasi : Desa Lembah Duri Kisaran / Umur : -
Batuan : Batulempung Dianalisa Oleh : Alan Noviter

OLIGOSEN MIOSEN PLIOSEN


UMUR PLEISTOSEN
P 20 21 22 Awal Tengah Akhir Awal Akhir
Foraminifera Planktonik N 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
1 Barren
Blow, 1969

Kesimpulan : Tidak dijumpai adanya plankton.

FORAMINIFERA BENTOS

Lingkungan Batimetri
Transisi Neritik Bathial Abisal
Tepi Tengah Luar Atas Bawah
Foraminifera Bentonik 0 20 100 200 500 2000 4000
Barren
Barker, 1960

Kesimpulan : Tidak dijumpai adanya bentos.


LABORATORIUM MIKROPALEONTOLOGI LAMPIRAN 5 - C
PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” YOGYAKARTA
2019

FORAMINIFERA PLANKTON
No.Contoh Batuan : 12 Satuan Batuan : Satuan Batupasir
Lokasi : Desa Lembah Duri Kisaran / Umur : -
Batuan : Batupasir Dianalisa Oleh : Alan Noviter

OLIGOSEN MIOSEN PLIOSEN


UMUR PLEISTOSEN
P 20 21 22 Awal Tengah Akhir Awal Akhir
Foraminifera Planktonik N 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
1 Barren
Blow, 1969

Kesimpulan : Tidak dijumpai adanya plankton.

FORAMINIFERA BENTOS

Lingkungan Batimetri
Transisi Neritik Bathial Abisal
Tepi Tengah Luar Atas Bawah
Foraminifera Bentonik 0 20 100 200 500 2000 4000
Barren
Barker, 1960

Kesimpulan : Tidak dijumpai adanya bentos.


LABORATORIUM MIKROPALEONTOLOGI LAMPIRAN 5 - D
PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” YOGYAKARTA
2019

FORAMINIFERA PLANKTON
No.Contoh Batuan : 116 Satuan Batuan : Satuan Batupasir
Lokasi : Desa Lembah Duri Kisaran / Umur : -
Batuan : Batupasir Dianalisa Oleh : Alan Noviter

OLIGOSEN MIOSEN PLIOSEN


UMUR PLEISTOSEN
P 20 21 22 Awal Tengah Akhir Awal Akhir
Foraminifera Planktonik N 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
1 Barren
Blow, 1969

Kesimpulan : Tidak dijumpai adanya plankton.

FORAMINIFERA BENTOS

Lingkungan Batimetri
Transisi Neritik Bathial Abisal
Tepi Tengah Luar Atas Bawah
Foraminifera Bentonik 0 20 100 200 500 2000 4000
Barren
Barker, 1960

Kesimpulan : Tidak dijumpai adanya bentos.

Anda mungkin juga menyukai