Anda di halaman 1dari 15

1

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah SWT, berkat rahmat dan karunia-Nya,


sehingga makalah ini dapat diselesaikan. Makalah ini dibuat untuk memenuhi
tugas, berharap makalah ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan bagi kita
semua. Penulis membuat makalah ini dari kumpulan buku, dan internet sebagai
pedoman membuat makalah.

Terima kasih penulis ucapkan kepada pembimbing, teman yang secara


langsung maupun tidak langsung memberikan motivasi membantu dalam
pengembangan makalah ini.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih perlu ditingkatkan lagi


mutunya. Oleh karena itu kritik dan saran dari berbagai pihak yang
membangunsangat diharapkan.

Watampone, 24 Oktober 2020

Penyusun

ii
2

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 2
C. Tujuan Penulisan 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Arbitrase 3
B. Dasar Pertimbangan Memilih Arbitras 5
C. Lembaga Arbitrase 6
D. Dasar Hukum Arbitrase 8
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan 12
B. Saran 12
DAFTAR PUSTAKA

iii
1

BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang Masalah
Seperti kita ketahui, banyak kritik yang dilontarkan kepada pengadilan
dalam penyelesaian sengketa di masyarakat dan pencari keadilan, pengadilan
merupakan penyakit yang gawat. Kejadian ini bukan hanya ada di Indonesia,
melainkan sudah mendunia. Dengan maraknya kegiatan bisnis, tidak mungkin
dihindari terjadinya sengketa antara para pihak yang terlibat. Secara konvensional,
penyelesaian dilakukan secara litigasi (melalui pengadilan), di mana posisi para
pihak berlawanan satu sama lain. Proses ini membutuhkan waktu yang lama. Oleh
karena itu, model penyelesaian seperti ini tidak diterima dalam dunia bisnis
karena tidak sesuai dengan tuntutan perkembangannya. Sehubungan dengan hal
itu perlu dicari penyelesaian sengketa yang efektif dan efisien untuk menghadapi
kegiatan bisnis yang free market and free competition. Harus ada lembaga yang
dapat diterima dunia bisnis dan memiliki sistem penyelesaian sengketa dengan
cepat dan biaya murah.
Mengingat ketidakpuasan masyarakat tersebut semakin penting kiranya
untuk lebih mendayagunakan ADR (Alternative Dispute Resolution) sebagai salah
satu sistem penyelesaian sengketa. Salah satu ADR yang banyak digunakan pada
saat sekarang adalah arbitrase.  Arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa
perdata yang bersifat swasta di luar pengadilan umum yang didasarkan pada
kontrak arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa,
dimana pihak penyelesai sengketa tersebut dipilih oleh pihak yang bersangkutan,
yang terdiri dari orang-orang yang tidak berkepentingan dengan perkara yang
bersangkutan. 
Esensi dari arbitrase adalah kesepakatan antara dua pihak atau lebih untuk
berusaha menyelesaikan sengketa di luar pengadilan. Para pihak sepakat untuk
menunjuk pihak ketiga sebagai yang akan bertindak sebagai wasit. Setelah
memberikan kesempatan kepada para pihak untuk menyampaikan dokumen-
dokumen dan bukti-bukti yang relevan. Pada umumnya tidak ada aturan tertentu
bagaimana arbitrase dilakukan dan semuanya diserahkan kepada kesepakatan para

1
2

pihak. Meskipun demikian, untuk memfasilitasi proses para pihak dapat sepakat
mengenai aturan-aturan yang akan digunakan.
B.       Rumusan Masalah
1. Pengertian Arbitrase
2.      Dasar Pertimbangan Memilih Arbitrase
3.      Lembaga Arbitrase
4.      Dasar Hukum Arbitrase 
C. Tujuan Penulis
1. Pengertian Arbitrase
2.      Dasar Pertimbangan Memilih Arbitrase
3.      Lembaga Arbitrase
4.      Dasar Hukum Arbitrase 
3

BAB II
PEMBAHASAN
A Pengertian Arbitrase
Arbitrase berasal dari kata arbiter yang berarti wasit. Menurut UU No 30
tahun 1999, arbitrase didefinisikan sebagai suatu “cara penyelesaian suatu
sengketa perdata di luar Peradilan Umum yang didasarkan pada perjanjian
arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa”.
Berdasarkan rumusan tersebut, maka arbitrase lahir karena perjanjian yang
dibuat oleh para pihak yang berisikan perjanjian untuk menyelesaikan suatu
sengketa di bidang perdata di luar peradilan umum atau melalui arbitrase. Kalau
dalam Pasal 1233 KUHPerdata, arbitrase ini merupakan perikatan yang lahir
karena perjanjian.
Kemudian pasal 1 ayat 3 UU No 30 tahun 1999, dinyatakan bahwa “Perjanjian
arbitrase itu adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum
dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa
atau suatu perjanjian abitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul
sengketa”.
Arbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang
bersengketa atau ditunjuk oleh PN atau lembaga arbitrase, untuk memberikan
putusan mengenai sengketa tertentu, yang diserahkan penyelesaiannya melalui
arbitrase.
Lembaga arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang
bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu, lembaga
tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu
hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa.
Bentuk-Bentuk Arbitrase
1.      Arbitrase Ad Hoc
Arbitrase Ad Hoc (Pasal 13 UU No 30 Tahun 1999) adalah forum
arbitrase yang dibentuk untuk menyelesaikan masalah atau sengketa tertentu.
Karakteristik atau sifat arbitrase Ad Hoc ini adalah insidentil, artinya
keberadaannya hanya untuk melayani dan memutus kasus sengketa tertentu

3
4

saja dan setelahnya keberadaannya dan fungsinya berakhir. Ciri yang bisa
dikenali dari arbitrase Ad Hoc ini adalah penunjukan arbitrator nya dilakukan
secara perorangan dan dipilih sendiri berdasarkan kesepakatan para pihak.
Kedudukan arbitrase Ad Hoc ini tidak terkait dengan badan arbitrase
tertentu, sehingga arbitrase Ad Hoc ini tidak mempunyai aturan dan tata cara
sendiri, baik aturan pengangkatan arbitratornya maupun tentang tata cara
pemeriksanya. Jadi, arbitrase Ad Hoc ini tunduk sepenuhnya kepada aturan
tata cara yang ditentukan oleh UU.
2.      Arbitrase Institusional
Arbitrase institusional adalah forum arbitrase yang sengaja didirikan
dan bersifat permanen serta dimaksudkan untuk menangani sengketa
kontraktual yang timbul diantara pihak-pihak yang menghendaki
penyelesaian diluar pengadilan. Ciri dari arbitrase intitusional ini, adalah :
a.       Keberadaannya sudah eksis sebelum timbulnya sengketa
b.      Bersifat permanen, artinya tetap berdiri meskipun sengketanya telah
diputus
c.       Organisasinya dan ketentuan tentang tata cara bagaimana mengangkat
arbitratornya maupun tata cara pemeriksaan sengketanya telah
ditetapkan aturannya.
Arbitrase institusional berdasarkan wilayah kerjanya dibedakan
dalam arbitrase yang bersifat nasional dan arbitrase yang bersifat
internasional.
a.      Arbitrase institusional yang bersifat Nasional.
Institusi arbitrase ini sengaja didirikan sebagai lembaga arbitrase
permanen. Dikatakan arbitase nasional dikarenakan tujuan
pendiriannya adalah untuk memenuhi kepentingan suatu negara
tertentu saja, serta eksistensi dan yurisdiksinya hanya sebatas wilayah
negara yang bersangkutan. Misalnya BANI (Badan Arbitrase Nasional
Indonesia) yang merupakan pusat arbitrase nasional Indonesia yang
berkedudukan di Jakarta.
5

b.      Arbitrase institusional yang bersifat Internasional.


Institusi arbitrase Internasional adalah lembaga arbitrase yang
berwawasan Internasional. Misalnya Court of Arbitration of the Internasional
Chamber of Commerce (ICC) yang merupakan lembaga arbitrase internasional
tertua yang didirikan di Paris pada tahun 1919.1

B. Dasar Pertimbangan Memilih Arbitrase


Di dalam arbitrase, para pihak menyetujui untuk menyelesaiakan
sengketanya kepada pihak netral yang mereka pilih untuk membuat keputusan.
Arbitrase adalah salah satu bentuk adjudikasi privat. Dalam beberapa hal,
arbitrase mirip dengan adjudikasi publik dan sama-sama memiliki beberapa
keuntungan dan kelemahan. Perbedaan arbitrase dengan litigasi melalui
pengadilan adalah dilibatkannya litigasi sengketa pribadi dalam arbitrase. Sifat
pribadi dari arbitrase memberikan keuntungan-keuntungan melebihi adjudikasi
melalui pengadilan negeri. Arbitrase pada dasarnya menghindari pengadilan.
Dalam kaitan ini, dibandingkan dangan adjudikasi publik, arbitrase lebih
memberikan kebebasan, pilihan, otonomi, dan kerahasiaan kepada para pihak
yang bersengketa. Dalam arbitrase, para pihak dapat memilih hakim yang mereka
inginkan, berbeda dengan sistem pengadilan yang telah menetapkan hakim yang
akan berperan. Hal ini dapat menjamin kenetralan dan keahlian yang mereka
anggap perlu dalam sengketa mereka. Para pihak juga dapat memilih hukum yang
akan diterapkan pada sengketa tersebut sehingga akan melindungi pihak yang
merasa takut atau tidak yakin dengan hukum substantive dari yurisdiksi tertentu.
Kerahasiaan arbitrase membantu melindungi para pihak dari penyingkapan
kepada umum yang merugikan mereka atau pengungkapan informasi dalam
proses adjudikasi.2

1
Djoko Imbawani Atmadjaja,Hukum Dagang Indonesia,(Malang:Setara Press,2012),132-
133
2
Suyud Margono, ADR & ARBITRASE (Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum), Ghalia
Indonesia, Jakarta, 2000, hlm.26.
6

Arbitrase dapat lebih cepat dan murah dibandingkan dengan


adjudikasi publik karena para pihak secara efektif memilih hakim mereka.
Mereka tidak perlu antri menunggu pemeriksaan perkaranya oleh
pengadilan. Pada sebagian besar yurisdiksi, hal tersebut betul-betul
merupakan suatu penantian yang panjang. Arbitrase juga cenderung lebih
informal dibandingkan adjudikasi publik, prosedurnya tidak begitu kaku dan
lebih dapat menyesuaikan. Karena arbitrase tidak sering mengalami
penundaan dan prosedur pada umumnya lebih sederhana, arbitrase
mengurangi biaya-biaya yang berhubungan dengan adjudikasi publik.
Pada umumnya, lembaga arbitrase mempunyai kelebihan
dibandingkan dengan lembaga peradilan, yang menjadi alasan untuk
memilih jalur ini. Kelebihan tersebut antara lain sebagai berikut.
1.      Kerahasiaan dijamin para pihak yang bersengketa
2.      Dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedur dan
administrasi
3.      Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya
mempunyai pengetahuan, pengalaman, serta latar belakang yang
memadai mengenai masalah yang disengketakan, jujur, dan adil
4.      Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan
masalah, proses, dan tempat penyelenggaraan arbitrase
5.      Putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak dan
melalui tata cara atau prosedur yang sederhana dan langsung dapat
dilaksanakan3
C.  Lembaga Arbitrase
Lembaga Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang
bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu.
Berdasarkan eksistensi dan kewenangan untuk memeriksa dan memutus
perselisihan yang terjadi antara pihak yang mengadakan perjanjian ada dua
jenis arbitrase yaitu:

3
Suyud Margono, ADR & ARBITRASE (Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum), Ghalia
Indonesia, Jakarta, 2000, hlm.21.
7

1.    Arbitrase ad hoc
Arbitrase ad hoc adalah (arbitrase volunter) adalah arbitrase yang dibentuk
khusus untuk menyelesaikan atau memutus perselisihan tertentu. Arbitrase ini
bersifat insidental dan jangka waktunya tertentu sampai sengketa itu
diputuskan
2.    Arbitrase Institusional
Arbitrase institusional adalah lembaga atau badan arbitrase yang bersifat
permanen. Ciri dari lembaga arbitrase institusional ini yang dapat pula
dikatakan sebagai perbedaannya dengan lembaga arbitrase ad hoc adalah
sebagai berikut:
a.       Arbitrase institusinal sengaja didirikan untuk bersifat permanen/
selamanya, sedangkan arbitrase ad hoc sifatnya sementara dan akan bubar
setelah perselisihan selesai diputus.
b.      Arbitrase institusional sudah ada/sudah berdiri sebelum suatu perselisihan
timbul, sedangkan arbitrase ad hoc didirikan setelah perselisihan timbul
oleh pihak yang bersangkutan.
c.       Karena bersifat permanen, arbitrase institusional didirikan lengkap dengan
susunan organisasi, tata cara pengangkatan arbiter dan tata cara
pemeriksaan perselisihan yang pada umumnya tercantum dalam anggaran
dasar pendirian lembaga tersebut, sedangkan pada arbitrase ad hoc tidak
ada sama sekali
Arbitrase institusional ini ada yang bersifat nasional dan ada pula yang
bersifat internasional. Dikatakan bersifat nasional karena pendiriannya
hanya untuk kepentingan bangsa dari negara yang bersangkutan. Sementara
dikatakan bersifat internasional karena merupakan pusat penyelesaian
persengketaan antara pihak yang berbeda kewarganegaraan.
Beberapa lembaga arbitrase bersifat nasional maupun internasional
yang dikenal adalah:
1.      Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)
2.      Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI)
3.      The Internasional Centre for Settlement of Invesmen Disputes (ICSID)
8

4.      The Court of Arbitrasetion of The Internasional Chamber of


Commerce (ICC).4
D.  Dasar Hukum Arbitrase
Istilah arbitrase berasal dari kata “Arbitrare” (bahasa Latin) yang
berarti “kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu perkara menurut
kebijaksanaan”.
Secara singkat sumber Hukum Arbitrase di Indonesia adalah sebagai
berikut:
a.      Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945
Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 menentukan bahwa “semua
peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan
yang baru menurut UUD ini.” Demikian pula halnya dengan HIR yang
diundang pada zaman Koloneal Hindia Belanda masih tetap berlaku,
karena hingga saat ini belum diadakan pengantinya yang baru sesuai
dengan Peraturan Peralihan UUD 1945 tersebut.
b.      Pasal 377 HIR
Ketentuan mengenai arbitrase dalam HIR tercantum dalam Pasal 377
HIR atau Pasal 705 RBG yang menyatakan bahwa : “Jika orang
Indonesia atau orang Timur Asing menghendaki perselisihan mereka
diputus oleh juru pisah atau arbitrase maka mereka wajib memenuhi
peraturan pengadilan yang berlaku bagi orang Eropah”. Sebagaimana
dijelaskan di atas, peraturan pengadilan yang berlaku bagi Bangsa
Eropah yang dimaksud Pasal 377 HIR ini adalah semua ketentuan
tentang Acara Perdata yang diatur dalam RV.
c.     Pasal 615 s/d 651 RV
Peraturan mengenai arbitrase dalam RV tercantum dalam Buku ke Tiga
Bab Pertama Pasal 615 s/d 651 RV, yang meliputi : Persetujuan arbitrase
dan pengangkatan para arbiter (Pasal 615 s/d 623 RV)
Pemeriksaan di muka arbitrase (Pasal 631 s/d 674 RV)
4
Rahayu Hartini, Penyelesaian Sengketa Kepailitan Di Indonesia : Dualisme
Kewenangan Pengadilan Niaga & Lembaga Arbitrase, Kencana Prenada Media Group, Jakarta,
2009, hlm.47.
9

Putusan Arbitrase (Pasal 631 s/d 674 RV)


 Upaya-upaya terhadap putusan arbitrase (Pasal 641 s/d 674 RV)
Berakhirnya acara arbitrase (Pasal 648-651 RV)
d.       Penjelasan Pasal 3 ayat (1) UU No. 14 /1970
Setelah Indonesia merdeka, ketentuan yang tegas memuat pengaturan lembaga
arbitrase dapat kita temukan dalam memori penjelasan Pasal 3 ayat (1) UU
No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman, yang menyatakan “ Penyelesaian perkara diluar pengadilan atas
dasar perdamaian atau melalui wasit atau arbitrase tetap diperbolehkan”.
e.       Pasal 80 UU NO. 14/1985
Satu-satunya undang-undang tentang Mahkamah Agung yang berlaku di
Indonesia yaitu UU No. 14/1985, sama sekali tidak mengatur mengenai
arbitrase. Ketentuan peralihan yang termuat dalam Pasal 80 UU No. 14/1985,
menentukan bahwa semua peraturan pelaksana yang telah ada mengenai
Mahkamah Agung, dinyatakan tetap berlaku sepanjang peraturan tersebut
tidak bertentangan dengan Undang-Undang Mahkamah Agung ini. Dalam hal
ini kita perlu merujuk kembali UU No. 1/1950 tentang Susunan Kekuasaan
dan Jalan Pengadilan Mahkamah Agung Indonesia. UU No. 1/1950 menunjuk
Mahkamah Agung sebagai pengadilan yang memutus dalam tingkat yang
kedua atas putusan arbitrase mengenai sengketa yang melibatkan sejumlah
uang lebih dari Rp. 25.000,- (Pasal 15 Jo. Pasal 108 UU No. 1/1950).
f.        Pasal 22 ayat (2) dan (3) UU No. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing
Dalam hal ini Pasal 22 ayat (2) UU No. 1/1967 menyatakan: “Jikalau di antara
kedua belah pihak tercapai persetujuan mengenai jumlah, macam,dan cara
pembayaran kompensasi tersebut, maka akan diadakan arbitrase yang
putusannya mengikat kedua belah pihak”.
Pasal 22 ayat (3) UU No. 1/1967 : “Badan arbitrase terdiri atas tiga orang
yang dipilih oleh pemerintah dan pemilik modal masing-masing satu orang,
dan orang ketiga sebagai ketuanya dipilih bersama-sama oleh pemerintah dan
pemilik modal”.
10

g.       UU No. 5/1968


yaitu mengenai persetujuan atas “Konvensi Tentang Penyelesaian
Perselisihan Antara Negara dan Warga Asing Mengenai Penanaman
Modal” atau sebagai ratifikasi atas “International Convention On the
Settlement of Investment Disputes Between States and Nationals of Other
States”. Dengan undang-undang ini dinyatakan bahwa pemerintah
mempunyai wewenang untuk memberikan persetujuan agar suatu
perselisihan mengenai penanaman modal asing diputus oleh International
Centre for the Settlement of Investment Disputes (ICSD) di Washington.
h.       Kepres. No. 34/1981
Pemerintah Indonesia telah mengesahkan “Convention On the Recognition
and Enforcement of Foreign Arbitral Awards” disingkat New York
Convention (1958), yaitu Konvensi Tentang Pengakuan dan Pelaksanaan
Putusan Arbitrase Luar Negeri, yang diadakan pada tanggal 10 Juni 1958
di Nww York, yang diprakarsaioleh PBB.
i.        Peraturan Mahkamah Agung No. 1/1990
Selanjutnya dengan disahkannya Konvensi New York dengan Kepres No.
34/1958 , oleh Mahkamah Agung di keluarkan PERMA No. 1/1990
tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing, pada tanggal 1
maret 1990 yang berlaku sejak tanggal di keluarkan.
j.        UU No. 30/1999
Sebagai ketentuan yang terbaru yang mengatur lembaga arbitrase, maka
pemerintah mengeluarkan UU No. 30/1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif
Penyelesaian Sengketa, pada tanggal 12 Agustus 1999 yang dimaksudkan
untuk mengantikan peraturan mengenai lembaga arbitrase yang tidak
sesuai lagi dengan perkembangan zaman dan kemajuan perdagangan
internasional. Oleh karena itu ketentuan mengenai arbitrase sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 615 s/d 651 RV, Pasal 377 HIR, dan Pasal 705
RBG, dinyatakan tidak berlaku lagi. Dengan demikian ketentuan hukum
11

acara dari lembaga arbitrase saat ini telah mempergunakan ketentuan yang
terdapat dalam UU NO. 30/1999.5

5
Rahayu Hartini, Penyelesaian Sengketa Kepailitan Di Indonesia : Dualisme
Kewenangan Pengadilan Niaga & Lembaga Arbitrase, Kencana Prenada Media Group, Jakarta,
2009, hlm.38.
12

BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Berdasarkan uraian tentang keuntungan-keuntungan memilih arbitrase
maka  kesimpulannya adalah bahwa yang paling ideal bagi pelaku usaha
dalam menyelesaikan sengketa adalah arbitrase. Alasannya adalah bahwa
arbitrase merupakan penyelesaian yang efisien karena dilandasi oleh itikad
baik, kerjasama dan tanpa konfrontasi. Hal ini membuat pemecahan masalah yang
bersifat ” win - win solution”. Berbeda dengan penyelesaian di pengadilan yang
bersifat “ win - loose”dan juga berfilosopi pertentangan dan pertikaian.
B. Saran
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, hal ini
disebabkan karena keterbatasan ilmu yang melekat dalam diri kami. Oleh karena
itu saran dan kritikan akan makalah dari pembaca sangat membantu dalam
penyempurnaan makalah ini.

12
13

DAFTAR PUSTAKA
Djoko Imbawani Atmadjaja,Hukum Dagang Indonesia,(Malang:Setara
Press,2012),132-133

Suyud Margono, ADR & ARBITRASE (Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum),


Ghalia Indonesia, Jakarta, 2000, hlm.26.

Suyud Margono, ADR & ARBITRASE (Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum),


Ghalia Indonesia, Jakarta, 2000, hlm.21.

Rahayu Hartini, Penyelesaian Sengketa Kepailitan Di Indonesia : Dualisme


Kewenangan Pengadilan Niaga & Lembaga Arbitrase, Kencana Prenada
Media Group, Jakarta, 2009, hlm.47.

Rahayu Hartini, Penyelesaian Sengketa Kepailitan Di Indonesia : Dualisme


Kewenangan Pengadilan Niaga & Lembaga Arbitrase, Kencana Prenada
Media Group, Jakarta, 2009, hlm.38.

Anda mungkin juga menyukai