Anda di halaman 1dari 14

Konsep Shalat dalam Pandangan Al-Qur’an

Siti Afifah
UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung
Safifah.577@gmail.com

Abstrak
Tulisan ini berisikan penelitian terhadap ayat-ayat Al-Qur’an dengan menggunakan metode
tematik. Pokok pembahasan dalam tulisan ini adalah shalat yang mencakup hakikat dan
makna shalat, fungsi dan tujuan daripada shalat, waktu melaksanakan shalat dan ancaman
bagi yang melalaikannya. Dengan demikian, dapat ditemukan langsung dari ayat-ayat Al-
Qur’an yang membahas tentang tema yang akan dikaji yakni shalat. Selain itu juga didukung
oleh kitab-kitab kuning sebagai penjelas sekaligus pelengkap materi yang akan dibahas.

Keyword: shalat, Islam dan Al-Qur’an

Pendahuluan
Shalat merupakan rukun Islam yang kedua, yang berarti setiap orang muslim wajib
mengerjakan shalat. Didalam agama Islam shalat merupakan ibadah yang sangat penting dan
tidak bisa digantikan dengan ibadah lainnya. Shalat adalah tiangnya agama, barangsiapa
mengerjakannya berarti ia telah menegakkan tiang agama. Dan barangsiapa meninggalkannya
berarti telah merobohkan agama.1

Shalat memiliki posisi yang sangat tinggi dalam agama Islam, karena shalat
merupakan sarana bagi seorang hamba untuk berkomunikasi dengan Tuhannya. Didalam
shalat tentunya ada hakikat dan makna yang terkandung didalamnya. Shalat merupakan
hubungan antara seorang hamba dengan Allah SWT yang disebut dengan hablun minallah.

Shalat harus ditanamkan ke dalam hati anak-anak sejak usia kecil, agar mereka
terbiasa setelah dewasa. Hal ini sesuai dengan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu
Dawud yang artinya “perintahlah anak-anakmu mengerjakan shalat diwaktu usia mereka

1
M.A Ghazali, Risalah sholat, (Kediri: Reka Cipta Santri, 2019), cet.pertama, hlm. 9
meningkat tujuh tahun, dan pukullah (kalau enggan melakukan shalat) diwaktu mereka
meningkat usia sepuluh tahun.”

A. Pengertian Shalat

Secara etimologi shalat berasal dari kata “sola-yashilu-solaatan” yang artinya


do’a.2 Sedangkan menurut terminologi shalat adalah ibadah yang mengandung
perkataan dan perbuatan tertentu yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan
salam.3

Didalam syara’ shalat memiliki beberapa pengertian yaitu shalat adalah


perkataan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam.
Shalat juga bermakna menghadapkan hati kepada Allah dengan penuh rasa takut dan
hormat pada keagungan dan kebesaran-Nya serta kesempurnaan-Nya. Selain itu,
shalat menampakkan hajat dan keperluan manusia kepada sang pencipta yakni Allah
SWT. Shalat tidak hanya sebuah perkataan dan perbuatan pada umumnya, namun
juga menghadap kepada Allah dengan hati ikhlas, khusyu’, hati hadir dalam setiap
dzikir didalamnya dan berdo’a serta memujiNya atas segala yang dilimpahkan kepada
manusia.

Ibadah shalat merupakan bukti penyembahan manusia kepada Allah SWT


karena pada hakikatnya manusia diciptakan untuk beribadah. Hal ini berdasarkan
surat Adz-Dzariyat ayat 56 yang artinya “Aku (Allah) tidak menciptakan jin dan
manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.”

B. Hakikat dan makna shalat:


1) Sholat berarti do’a
Didalam sholat terdapat rangkaian kata yang mengandung do’a oleh karenanya
barangsiapa yang mendirikan shalat maka sesungguhnya ia berdo’a.

‫صلَوتَكَ َس َك ٌن لَّهُ ْم َوهَّللا ُ َس ِم ْي ٌع َعلِ ْي ٌم‬


َ ‫ِإ َّن‬
“Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”4 (QS.At-Taubah; 103)
2) Sebagai pemberi berkah dan rahmat

2
M.A Ghazali, Risalah sholat, (Kediri: Reka Cipta Santri, 2019), cet.pertama, hlm. 9
3
Sayid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Bandung: PT Al-Maarif, 1986), cet. Ke-6, jilid 1 hlm.73
4
Departemen Agama, op.cit.hlm. 273
َ ‫صلُّوْ نَ َعلَى النَّبِ ِْي يََأيّهَالَّ ِذ ْينَ َأ َمنٌوْ ا‬
‫صلُّوْ ا َعلَ ْي ِه َو َسلِّ ُموْ ا تَ ْسلِ ْي ًما‬ َ ُ‫ِإ َّن هَّللا َ َو َملَِئ َكتَهُ ي‬
“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikatNya bershalawat untuk Nabi. Hai
orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah
salam penghormatan kepadanya.”5 (QS. Al-Ahzab; 56)
3) Shalat berarti membaca Al-Qur’an

َ ِ‫ َوالَتَجْ هَرْ ب‬، ‫قُ ِل ا ْد ُعوْ ا هَّللا َ َأ ِوا ْد ُعو الرَّحْ َمنَ َأيَّ ًما تَ ٌدوا فَلَهُ االَ ْس َما ُء ْال ُح ْسنَى‬
َ‫صالَتِك‬
ً‫ك َسبِيال‬ َ ِ‫ت بِهَا َوا ْبت َِغ بَ ْينَ َذل‬ْ ِ‫َوالَتُ َخاف‬
“ katakanlah, “serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana
saja kamu seru, Dia mempunyai al-asmaul husna (nama-nama yang terbaik) dan
janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalat dan janganlah pula
merendahkannya dan carilah jalan tengah diantara kedua itu.” (QS. Al-Isra’; 110)
C. Fungsi shalat
1. Membersihkan jiwa dan sebagai benteng hidup
Seorang hamba pasti tidak luput dari yang namanya dosa, oleh karenanya seorang
hamba diperintahkan untuk terus melaksanakan shalat yang mana mampu
menyucikan dan membersihkan jiwa. Selain itu, sholat juga dijadikan sebagai
benteng dari perbuatan keji dan mungkar. Sebagaimana yang termaktub dalam
QS. Al-Ankabut ayat 5.

‫ َوهُ َو ال َّس ِم ْي ُع ْال َعلِيْم‬،‫ت‬


ٍ َ ‫َم ْن َكانَ يَرْ جُوْ لِقَا َء هَّللا ِ فَِإ ََّن اَ َج َل هَّللا ِ اَل‬
“ Barangsiapa yang mengharap pertemuan dengan Allah, maka sesungguhnya
waktu (yang dijanjikan) Allah itu, pasti datang. Dan Dialah Yang Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
D. Tujuan Shalat
Setiap perbuatan yang akan dilakukan pasti mempunyai tujuan tertentu. Adapun
tujuan dari mendirikan shalat antara lain:
a) Agar manusia hanya menyembah kepada Allah SWT
Hal ini termaktub dalam surat Taaha;146

َّ ‫ َوَأقِ ِم ال‬،‫ِإنَّنِي َأنَا فَا ْعبُ ْدنِ ْي‬


‫صالَةَ لِ ِذ ْك ِري‬

5
Ibid
6
Departemen Agama, op.cit.hlm. 432
“Sungguh Aku ini Allah, tidak ada Tuhan selainAku,maka sembahlah Aku dan
dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku.”
b) Agar manusia selalu mengingat Allah SWT
Barangsiapa yang mengingat Allah maka Allah juga akan ingat kepada kita.
Mengingat Allah akan menjadikan hati tenang serta terhindar dari rasa ketakutan.
Hal ini didasarkan pada QS. Ar-Ra’d; 28

ْ ‫ اَالَ بِ ِذ ْك ِر هَّللا ِ ت‬،ِ ‫َط َمِئ ُّن قُلُوْ بُهُم بِ ِذ ْك ِر هَّللا‬


ُ‫َط َمِئ ُّن ْالقُلُوْ ب‬ ْ ‫الَّ ِذ ْينَ َأ َمنُوْ ا َوت‬
“ Dirikanlah shalat untuk dzikir (ingat) kepadaku.”
c) Supaya manusia terhindar dari perbuatan keji dan munkar (QS. Al-Ankabut;45)

‫صالَةَ تَ ْنهَى َع ِن ْالفَحْ َشا ِء َو ْال ُم ْن َك ُر‬


ّ ‫ِإ َّن ال‬
“ Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan munkar.”7
d) Supaya memperoleh derajat taqwa (QS. Al-Baqarah; 2-3)

‫ َو ِم ّما‬Œَ‫صلَوة‬ ِ ‫ الَّ ِذ ْينَ يُْؤ ِمنُوْ نَ بِا ْال َغ ْي‬، َ‫ْب فِ ْي ِه هُدًى لِ ْل ُمتَّقِ ْين‬
َّ ‫ب َويُقِ ْي ُموْ نَ ال‬ َ ‫ك ْال ِكتَابُ الَ َري‬ َ ِ‫َذل‬
‫َرزَ ْقنَهُ ْم يٌ ْنفِقُوْ ن‬

“ Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang
bertakwa, yaitu mereka yang beriman kepada ghaib, yang mendirikan shalat.”
e) Sebagai wujud ketaatan hamba kepada Allah SWT (QS. Adz-Dzariyat;56)8

َ ‫ت ْال ِجنَّ َواِإل ْن‬


‫س ِإالَّ لِ َيعْ ُب ُد ْون‬ ُ ‫َو َما َخ َل ْق‬
“ Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
menyembahKu.”
f) Agar manusia mampu bertahan dalam menghadapi kesulitan (QS. Al-
Baqarah;153)

‫ ِإنّ هَّللا َ َم َع الص َِّب ِريْن‬،ِ‫صالَة‬ َّ ‫َيآ ُّي َها الَّ ِذي َْن َأ َم ُن ْوا اسْ َت ِع ْي ُن ْوا ِبا ال‬
ّ ‫صب ِْر وال‬
“ Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu.
Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.”

7
Ibid
8
Rafiudin, S.Ag dan Alim Zainuddin, sag, Op.cit, hlm.67-69
E. Waktu shalat
ْ ‫ال َّز َمانُ ْال ُمقَ َّد ُر لَهُ شَرْ عًا ُم‬...‫ت‬
Definisi waktu dalam ibadah sebagai berikut: ‫طلَقًا‬ ُ ‫َو ْال َو ْق‬
“Waktu ialah masa yang telah ditentukan untuk pelaksanaan ibadah menurut syariah
secara mutlak.” Adakalanya waktu tersebut bersifat leluasa (muwassa’) seperti haji,
artinya meski kita sudah mampu namun tidak mesti tahun ini kita harus berangkat,
ada juga yang waktunya sempit (mudlayyaq) seperti pelaksanaan ibadah puasa
Ramadhan. Sedangkan ibadah shalat memiliki dua sudut pandang waktu, yakni
leluasa hingga masa yang hanya cukup untuk menyelesaikan shalat tersebut. Dalam
masa ini waktu shalat menjadi sempit. Shalat fardhu yang berjumlah lima memiliki
waktu yang telah ditentukan secara syariat. Ada permulaan, di mana shalat tidak sah
dijalankan sebelum masuk permulaan waktu, dan ada batas akhir, di mana shalat
harus dilaksanakan sebelum sampai batas akhir waktu. Hal ini selaras dengan Surat
An-Nisa ayat 103:

‫َت َعلَى ْال ُمْؤ ِمنِينَ ِكتَابًا َموْ قُوتًا‬


ْ ‫صاَل ةَ َكان‬
َّ ‫ِإ َّن ال‬
“Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-
orang yang beriman.”
Didalam Al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang menjelaskan mengenai waktu
shalat diantaranya yaitu:
 QS. Hud; 114

َ‫ لِل َْذا ِك ِر ْين‬Œ‫ك ِذ ْك َرى‬ ِ ‫ت ي ُْذ ِه ْبنَ ال َّسيَِّئا‬


َ ِ‫ت َذل‬ ِ ‫ار َو ُزلُفًا ِّمنَ الَّ ْيلِِإ َّن ْال َح َسنَا‬ َّ ‫َوَأقِ ِم ال‬
ِ َ‫صلَوةَ طَ َرفَ ِي النَّه‬
“ Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada
bagian permulaan dari malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu
menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi
orang-orang yang ingat.”

 QS. An-Nisa’; 103

َ‫صلَوة‬ ْ ‫م فَِإ َذ‬Œْ ‫ َّو َعلَى ُجنُوْ بِ ُك‬Œ‫ هَّللا َ قِيَا ًما َّوقُعُوْ ًدا‬Œ‫صلَوةَ فَ ْاذ ُكرُوا‬
َّ ‫م ال‬Œُ ‫ااط َم ْنتُ ْم فََأقِ ْي‬
َّ ‫صلَوةَ َّإ ال‬ َ َ‫فَِإ َذا ق‬
َّ ‫ض ْيتُ ُم ال‬

Œ‫َت َعلَى ْال ُمْؤ ِمنِ ْينَ ِكتَابًا َّموْ قُوْ تًا‬
ْ ‫َكان‬

“ Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah diwaktu


berdiri, diwaktu duduk dan diwaktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah
merasa aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya
shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang
beriman.”

 QS. Al-Isra’; 78

‫ق الَّي ِْل َوقُرْ اَنَ ْالفَجْ ِر ِإنَّقُرْ اَنَ ْالفَجْ ِر َكانَ َم ْشهُوْ دًا‬ ِ ْ‫صلَوةَ لِ ُدلُو‬
ِ ‫ك ال َّش ْم‬
ِ ‫س اِلَى َغ َس‬ َّ ‫اَقِ ِم ال‬

“ Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan
(dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh
malaikat).

Adapun penjelasan lebih rinci mengenai waktu sholat, berikut adalah


penjelasan dari beberapa madzhab:

 Waktu Dhuhur

Dalam kitab Fiqh As Sunnah9 dijelaskan bahwa waktu Zuhur adalah sejak
zawal asy syams atau saat tergelincir matahari. Adapun dalam kitab Nihayat Az
Zain10 bahwa waktu zawal asy syams adalah mulai dari condongnya matahari ke arah
barat saat waktu tengah hari. Awal waktu Zuhur ini telah disepakati oleh para ulama
mazhab menurut Ibn Rusyd dalam kitab Bidayat Al Mujtahid.11

Ulama Syafi’iyah menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan zawal atau


tergelincir adalah zawal yang tampak secara zahir, bukan hakikatnya zawal. Hal itu
dikarenakan zawal yang hakiki sesungguhnya terjadi sebelum tampak secara zahir.

Adapun mengenai akhir waktu Zuhur, para ulama mazhab berselisih tentang
hal ini dengan perincian sebagai berikut:12

a. Ulama Malikiyah, Syafi’iyah, Abu Tsaur, dan Dawud Az Zahiri mengatakan bahwa
akhir waktu Zuhur adalah apabila bayangan suatu benda sama panjangnya dengan

9
Sayyid Sabiq, Fiqh As Sunnah (Kairo: Dar Al Fath Al I’lam Al Arabi, 1439 H / 2017 M)hal. 69
10
Syaikh Muhammad Nawawi Al Bantani, Nihayat Az Zain fi Arsyad Al Mubtadi’in syarh Qurrat Al ‘Ain bi
Muhimmat Ad Diin (Beirut: Dar Al Kutub Al Ilmiyah, 1434 H / 2013 M) hal. 49

11
Al Qadhi Muhammad bin Rusyd Al Qurthubi, Bidayat Al Mujtahid wa Nihayat Al Muqtashid (Semarang: Karya
Toha Putra) hal. 67
12
ibid
benda tersebut. Jika sebuah tongkat panjangnya 30 cm, maka panjang bayangannya
adalah 30 cm pula.
b. Ulama Hanafiyah mengatakan bahwa akhir waktu Zuhur adalah apabila bayangan
suatu benda panjangnya dua kali lipat dari bendanya. Jika sebuah tongkat panjangnya
30 cm, maka bayangannya adalah 60 cm. Apabila sudah demikian, maka bagi mereka
inilah awal waktu Ashar.

Dalam Mazhab Syafi’i dijelaskan bahwa bila seseorang salat di akhir waktu
Zuhur dan ketika di tengah – tengah salat masuk waktu Asar, maka salat Zuhurnya
tetap sah. Demikian termaktub dalam kitab Fiqih Empat Mazhab.13

 Waktu Ashar

Para ulama mazhab Syafi’i, Maliki, Dawud Az Zahiri, dan mayoritas fukaha
bersepakat bahwa awal waktu Asar adalah ketika akhir waktu Zuhur. 14 Bila
digambarkan adalah jika bayangan suatu benda sama panjangnya dengan benda
tersebut.

Syaikh Muhammad Nawawi Al Bantani juga menyebutkan bahwa waktu Asar


dimulai apabila bayangan suatu benda sama panjangnya dengan benda tersebut namun
dilebihkan sedikit. Bila digambarkan maka jika panjang benda adalah 30 cm, maka
panjang bayangan adalah 35 cm atau 40 cm, sebagaimana pula yang tersebut dalam
kitab Nihayat Az Zain.15 Adapun menurut mazhab Hanafi, waktu Asar adalah ketika
panjang bayangan suatu benda dua kali lipat dari panjang bendanya. Jika panjang
sebuah tongkat adalah 30 cm, maka panjang bayangannya adalah 60 cm.16

Penyebab perbedaan ini adalah perbedaan pemahaman akan sebuah hadits


panjang yang dikenal dengan hadits imamah. Dalam hadits tersebut disebutkan bahwa
Nabi ‫ ﷺ‬diajak oleh malaikat Jibril untuk salat Asar tatkala bayangan benda sama

13
Syaikh Muhammad bin Abdurrahman Ad Dimasyqi, Fiqih Empat Mazhab, terj. Abdullah Zaki Alkaf (Bandung:
Hasyimi, 2010) hal. 50
14
Al Qadhi Muhammad bin Rusyd Al Qurthubi, op. Cit, hal. 68

15
Syaikh Muhammad Nawawi Al Bantani, Nihayat Az Zain fi Arsyad Al Mubtadi’in syarh Qurrat Al ‘Ain bi
Muhimmat Ad Diin (Beirut: Dar Al Kutub Al Ilmiyah, 1434 H / 2013 M) hal. 50
16
Syaikh Muhammad bin Abdurrahman Ad Dimasyqi, Fiqih Empat Mazhab, terj. Abdullah Zaki Alkaf (Bandung:
Hasyimi, 2010) hal. 50
panjangnya dengan benda tersebut. Namun di lain waktu, Nabi ‫ ﷺ‬diajak salat Asar
oleh Jibril ketika bayangan suatu benda dua kali lebih panjang dari benda tersebut.17

Adapun dalam menentukan akhir waktu Asar, para ulama mazhab berbeda
pendapat, antara lain:

a. Mazhab Maliki dalam satu riwayat dan Imam Syafi’i menyatakan bahwa akhir waktu
Asar adalah ketika panjang bayangan suatu benda dua kali lipat dari benda tersebut.18
b. Mazhab Maliki dalam riwayat lain dan Imam Hanbali menyatakan bahwa akhir waktu
Asar adalah ketika matahari belum mulai menguning atau dalam bahasa lain adalah
waktu senja.19
c. Mazhab Zahiri menyatakan bahwa akhir waktu Asar adalah sebelum masuk waktu
Maghrib dengan kisaran panjang durasi satu rakaat.20
d. Mazhab Hanafi menyatakan bahwa akhir waktu Asar adalah ketika matahari
tenggelam.21

 Waktu Maghrib

Dalam mazhab Syafi’i, terdapat dua pendapat mengenai waktu Maghrib. Menurut
pendapat pertama, terdapat dalam qaul qadim, bahwa waktu Maghrib itu sejak terbenam
matahari hingga hilang awan merah atau syafaq. Adapun pendapat kedua, terdapat dalam
qaul jadid, bahwa waktu Maghrib itu hanya sebentar sejak terbenam matahari.22

Namun, Imam An Nawawi menyatakan dalam Minhaj At Talibin bahwa qaul


qadim atau pendapat pertama dari dua pendapat Syafi’i di atas adalah pendapat yang
paling kuat,23sebagaimana disebutkan dalam kitab Nihayat Az Zain24yakni kitab fiqh yang
bermazhab Syafi’i, bahwa waktu Maghrib adalah mulai dari terbenamnya matahari tepat

17
Dr. H. Arwin Juli Rakhmadi Butar Butar, MA, Pengantar Ilmu Falak (Depok: Rajawali Press, 2018) hal. 30
18
Al Qadhi Muhammad bin Rusyd Al Qurthubi, Bidayat Al Mujtahid wa Nihayat Al Muqtashid (Semarang: Karya
Toha Putra) hal. 68
19
Ibid hal 67
20
ibid
21
Syaikh Muhammad bin Abdurrahman Ad Dimasyqi, Fiqih Empat Mazhab, terj. Abdullah Zaki Alkaf (Bandung:
Hasyimi, 2010) hal. 50

22
Dr. H. Arwin Juli Rakhmadi Butar Butar, MA, Pengantar Ilmu Falak (Depok: Rajawali Press, 2018) hal. 35
23
Ibid
24
Syaikh Muhammad Nawawi Al Bantani, Nihayat Az Zain fi Arsyad Al Mubtadi’in syarh Qurrat Al ‘Ain bi
Muhimmat Ad Diin (Beirut: Dar Al Kutub Al Ilmiyah, 1434 H / 2013 M) hal. 50
sampai hilangnya syafaq. Adapun dalam kitab Al Muqaddimah Al Hadramiyah25 juga
disebutkan bahwa waktu Maghrib adalah dari terbenam matahari sampai hilangnya asy
syafaq al ahmar atau awan merah.

Pendapat dalam qaul qadim mazhab Syafi’i tersebut juga disepakati oleh mazhab
Abu Hanifah, Ahmad, Abu Tsaur, dan Dawud Az Zahiri. 26 Hal ini juga diamini oleh
Syaikh Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqh As Sunnah.27

 Waktu Isya

Ulama mazhab sepakat bahwa awal waktu Isya adalah saat hilangnya asy
syafaq atau awan. Namun, ulama berbeda pendapat dengan maksud dari asy syafaq
tersebut. Sebagian dari mereka menyatakan bahwa yang dimaksud dengan asy syafaq
di sini adalah asy syafaq al ahmar (awan merah) atau asy syafaq al abyadh (awan
putih). Sedangkan mayoritas ulama menyatakan bahwa maksud asy syafaq adalah asy
syafaq al ahmar atau awan merah.28

Syaikh Muhammad Nawawi Al Bantani juga menyatakan demikian bahwa


yang dimaksud dengan asy syafaq adalah asy syafaq al ahmar.29 Pendapat ini juga
diamini oleh Syaikh Sayyid Sabiq dalam Fiqh As Sunnah,30 Syaikh Abdullah bin
Abdurrahman Bafadhol Al Hadhrami dalam Al Muqaddimah Al Hadhramiyah,31 juga
dalam kitab Rahimah Al Ummah32 disebutkan bahwa ulama mazhab Maliki dan
Syafi’i berpendapat bahwa waktu Isya masuk ketika hilangnya asy syafaq al ahmar
atau awan merah tadi.

Adapun mazhab yang menganggap bahwa asy syafaq adalah awan putih
adalah mazhab Hanafi dan Hanbali. Disebutkan oleh Syaikh Muhammad bin

25
Al Allamah Abdullah bin Abdurrahman Bilhajj Bafadhol Al Hadhrami, Al Muqaddimah Al Hadhramiyah fi Fiqhi
As Sadati Asy Syafi’iyah (Jakarta: Darul Kutub Al Islamiyah, 1433 H / 2012 M) hal. 37
26
Al Qadhi Muhammad bin Rusyd Al Qurthubi, Bidayat Al Mujtahid wa Nihayat Al Muqtashid (Semarang: Karya
Toha Putra) hal. 69
27
Sayyid Sabiq, Fiqh As Sunnah (Kairo: Dar Al Fath Al I’lam Al Arabi, 1439 H / 2017 M)hal. 70
28
Dr. H. Arwin Juli Rakhmadi Butar Butar, MA, Pengantar Ilmu Falak (Depok: Rajawali Press, 2018) hal. 36
29
Syaikh Muhammad Nawawi Al Bantani, Nihayat Az Zain fi Arsyad Al Mubtadi’in syarh Qurrat Al ‘Ain bi
Muhimmat Ad Diin (Beirut: Dar Al Kutub Al Ilmiyah, 1434 H / 2013 M) hal. 51
30
Sayyid Sabiq, Fiqh As Sunnah (Kairo: Dar Al Fath Al I’lam Al Arabi, 1439 H / 2017 M)hal. 71
31
Al Allamah Abdullah bin Abdurrahman Bilhajj Bafadhol Al Hadhrami, Al Muqaddimah Al Hadhramiyah fi Fiqhi
As Sadati Asy Syafi’iyah (Jakarta: Darul Kutub Al Islamiyah, 1433 H / 2012 M) hal. 37
32
Syaikh Muhammad bin Abdurrahman Ad Dimasyqi, Fiqih Empat Mazhab, terj. Abdullah Zaki Alkaf (Bandung:
Hasyimi, 2010) hal. 50
Abdurrahman Ad Dimasyqi bahwa kedua mazhab tersebut berpendapat jika waktu
Isya adalah tatkala hilangnya cahaya putih sesudah hilangnya mega merah.33

Dalam menentukan waktu Isya, Syaikh Muhammad Nawawi Al Bantani


membagi menjadi 8 waktu sebagaimana disebutkan dalam kitab Nihayat Az Zain,34
sementara Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Bafadhol Al Hadhrami 35 membagi
menjadi 3 waktu yaitu:

a. Waktu fadhilah yaitu di awal waktu Isya.


b. Waktu ikhtiyar yaitu sampai sepertiga malam.
c. Waktu jawaz yaitu sampai terbitnya fajar as sadiq.

Mengenai akhir waktu Isya, ulama berbeda pendapat dalam 3 pernyataan,


sebagaimana disebutkan Al Qadhi Ibn Rusyd dalam Bidayat Al Mujtahid,36 yaitu:

a. Akhir waktu Isya adalah di sepertiga malam. Ini pendapat mazhab Syafi’i, Abu
Hanifah, dan yang masyhur dari mazhab Maliki.
b. Akhir waktu Isya adalah di pertengahan malam. Ini adalah pendapat mazhab Maliki
dalam pernyataan yang lain. Pendapat ini juga sepertinya diamini pula oleh Syaikh
Sayyid Sabiq dalam Fiqh As Sunnah.37
c. Akhir waktu Isya adalah saat terbitnya fajar. Pendapat ini yang diambil oleh Dawud
Az Zahiri.

 Waktu Subuh

Waktu Subuh dimulai ketika terbitnya fajar sadiq sampai terbitnya matahari
secara jelas. Ahmad Sarwat menjelaskan dalam bukunya Ensiklopedia Fikih
Indonesia38 bahwa fajar itu ada 2 yaitu fajar kadzib dan fajar shadiq. Fajar kadzib
adalah cahaya agak terang yang memanjang dan mengarah ke atas di tengah langit

33
Syaikh Muhammad bin Abdurrahman Ad Dimasyqi, loc. Cit
34
Syaikh Muhammad Nawawi Al Bantani, loc. Cit
35
Al Allamah Abdullah bin Abdurrahman Bilhajj Bafadhol Al Hadhrami, Al Muqaddimah Al Hadhramiyah fi Fiqhi
As Sadati Asy Syafi’iyah (Jakarta: Darul Kutub Al Islamiyah, 1433 H / 2012 M) hal. 37
36
Al Qadhi Muhammad bin Rusyd Al Qurthubi, Bidayat Al Mujtahid wa Nihayat Al Muqtashid (Semarang: Karya
Toha Putra) hal. 69

37
Sayyid Sabiq, Fiqh As Sunnah (Kairo: Dar Al Fath Al I’lam Al Arabi, 1439 H / 2017 M)hal. 71
38
Ahmad Sarwat Lc, MA, Ensiklopedia Fikih Indonesia jilid 3 (Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama, 2019)
hal. 41
pada saat dini hari menjelang pagi. Fajar ini berbentuk cahaya putih dan munculnya
tidak merata di ufuk timur, artinya ada sisi ufuk yang tidak terkena cahaya. Setelah
munculnya fajar kadzib, langit menjadi gelap kembali.

Adapun fajar shadiq adalah fajar yang berbentuk cahaya putih agak terang dan
menyebar di ufuk timur. Munculnya fajar ini beberapa saat sebelum matahari terbit.
Inilah yang menjadi awal masuk waktu Subuh.

Terdapat pendapat lain yang dinukil oleh Ibnu Rusyd dari riwayat Ibnu Al
Qasim dan beberapa ulama Syafi’iyah bahwa akhir waktu Subuh adalah saat al isfar
atau cahaya siang mulai muncul. Artinya waktu langit mulai terang dan jelas.39

Para fuqaha Kufah, Abu Hanifah, pengikut At Tsauri, dan banyak fuqaha Irak
berpendapat bahwa waktu yang utama dalam menjalankan salat Subuh adalah ketika
al isfar. Sedangkan mazhab Malik, Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Abu Tsaur, dan
Dawud Az Zahiri mengambil pendapat waktu yang utama dalam menjalankan salat
Subuh adalah di awal waktu, bukan saat al isfar.40

F. Ancaman bagi orang yang melalaikan shalat


 QS. Al-Qalam; 35 & 43

َ‫اَفَنَجْ َع ُل ْال ُم ْسلِ ِم ْينَ َكا ْال ُمجْ ِر ِم ْين‬

َ ‫خَا ِش َعةً َأب‬


َ‫ يُ ْدعَوْ نَ ِإلَى ال ُّسجُوْ ِد َوهُ ْم َسالِ ُمون‬Œ‫م تَرْ هَقُهُ ْم ِذلَّةٌ َوقَ ْد َكانُوا‬Œُْ‫ْصا ُره‬
“ Maka apakah patut kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan
orang-orang yang berdosa (orang kafir)?”

“(dalam keadaan) pandangan mereka tunduk ke bawah, lagi mereka diliputi


kehinaan. Dan sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) diseru untuk bersujud,
dan mereka dalam keadaan sejahtera.”

 QS. Al-Mudatsir; 42-43

‫َما َسلَقَ ُك ْم فِى َسقَ َر‬


39
Al Qadhi Muhammad bin Rusyd Al Qurthubi, Bidayat Al Mujtahid wa Nihayat Al Muqtashid (Semarang: Karya
Toha Putra) hal. 70

40
Ibid
َ ‫ك ِمنَ ْال ُم‬
َ‫صلِّ ْين‬ ُ َ‫قَلُو لَ ْم ن‬
“ Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)? Mereka
menjawab, “kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan
shalat”

Dalam tafsir Ibnu Katsir dijelaskan maksud dari QS.Al-Qalam ayat 43 bahwasannya
di negeri akhirat kelak orang-orang kafir akan dihukum berdasarkan apa yang pernah mereka
perbuat. Ketika mereka diseru untu bersujud di dunia, mereka menolaknya padahal keadaan
mereka sehat dan sejahtera. Maka suatu saat, mereka tidak mempunyai kemampuan untuk
bersujud. Yakni diwaktu Allah SWT menampakkan diriNya dan orang-orang mukmin
semuanya bersujud kepada-Nya. Maka tiada seorangpun dari orang-orang kafir dan orang-
orang munafik mampu melakukan sujud padaNya, bahkan punggung mereka kembali tegak.
Setiap kali mereka mencoba melakukan sujud punggungnya mental kembali ke arah
kebalikan sujud, seperti keadaan mereka ketika didunia yang berbeda dengan keadaan kaum
mukmin.
Kesimpulan

Shalat merupakan ibadah yang paling utama dalam agama Islam yang tidak bisa di
gantikan dengan yang lainnya. Oleh karenanya setiap orang muslim wajib menjalankan shalat
5 waktu yang telah ditentukan. Didalam shalat terdapat hakikat dan makna yang terkandung
diantaranya yaitu shalat berarti do’a dimana seorang hamba berkomunikasi langsung dengan
sang Khaliq. Selain itu, shalat mempunyai hakikat penbawa berkah dan rahmat bagi seorang
hamba. Shalat berarti juga membaca Al-Qur’an karena didalamnya mengandung bacaan ayat
Al-Qur’an yakni surat Al-Fatihah yang merupakan rukun dan juga surat pendek yang dibaca
setelahnya (sunnah).

Fungsi daripada shalat yaitu untuk membersihkan jiwa serta menjadi benteng hidup
manusia, karena seorang hamba setiap hari hidup tak luput dari kata dosa. Adapun sebagai
benteng hidup maksudnya yaitu seorang hamba menjadikan shalat sebagai perlindungan dan
pertolongan, karena ketika melakukan shalat (mengingat Allah) hati akan terasa tenang.

Adapun tujuan daripada shalat yaitu agar manusia senantiasa menyembah Allah SWT
dan mengingatNya, mencegah perbuatan keji dan munkar, shalat juga sebagai bentuk
ketaatan hamba kepada Allah SWT, oleh karenanya manusia harus sabar dalam menjalankan
shalat.
Daftar Pustaka

Fuad, Muhammad Abdul Baqi. 1364. Al-Mu’jam Al-Mufahros.

Ghazali,M.A. 2019. Risalah Sholat. Kediri: Reka Cipta Santri. hlm. 9-12.

Sabiq, Sayid. 1986. Fiqih Sunnah. Bandung: PT Al-Maarif. hlm. 69-71.

Departemen Agama. hlm. 273 dan 432.

Rafiudin. Zainuddin, Alim. Op.cit. hlm.67-69.

Al Bantani, Muhammad Nawawi. 2013. Nihayat Az Zain fi Arsyad Al Mubtadi’in syarh


Qurrat Al ‘Ain bi Muhimmat Ad Diin. Beirut: Dar Al Kutub Al Ilmiyah. hal. 49-51.

Al Qurthubi, Al Qadhi Muhammad bin Rusyd. Bidayat Al Mujtahid wa Nihayat Al


Muqtashid. Semarang: Karya Toha Putra. hal. 67-70.
Ad Dimasyqi, Syaikh Muhammad bin Abdurrahman. 2010. Fiqih Empat Mazhab. terj.
Abdullah Zaki Alkaf. Bandung: Hasyimi. hal. 50.
Butar, Arwin Juli Rakhmadi. 2018. Pengantar Ilmu Falak. Depok: Rajawali Press. hal. 30.
Al Hadhrami, Al Allamah Abdullah bin Abdurrahman Bilhajj Bafadhol. 2012. Al
Muqaddimah Al Hadhramiyah fi Fiqhi As Sadati Asy Syafi’iyah. Jakarta: Darul Kutub Al
Islamiyah. hal. 37.

Sarwat, Ahmad. 2019. Ensiklopedia Fikih Indonesia jilid 3. Jakarta: Penerbit Gramedia
Pustaka Utama. hal. 41.

Anda mungkin juga menyukai