Anda di halaman 1dari 5

Pro dan kontra filsafat dalam islam

Filsafat Islam muncul sebagai imbas dari gerakan penerjemahan besar-besaran


dari buku-buku peradaban Yunani dan peradaban-peradaban lainnya pada masa
kejayaan Daulah Abbasiah, dimana pemerintahan yang berkuasa waktu itu
memberikan sokongan penuh terhadap gerakan penerjemahan ini, sehingga para
ulama bersemangat untuk melakukan penerjemahan dari berbagai macam keilmuan
yang dimiliki peradaban Yunani kedalam bahasa Arab, dan prestasi yang paling
gemilang dari gerakan ini adalah ketika para ulama berhasil menerjemahkan ilmu
filsafat yang mejadi maskot dari peradaban Yunani waktu itu, baik filsafat Plato,
Aristoteles, maupun yang lainnya. Sebenarnya gerakan penerjemahan ini dimulai
semenjak masa Daulah Umawiyyah atas perintah dari Khalid bin Yazid Al-Umawî
untuk menerjemahkan buku-buku kedokteran, kimia dan geometria dari Yunani,
akan tetapi para Ahli Sejarah lebih condong bahwa gerakan ini benar-benar
dilaksanakan pada masa pemerintahan Daulah Abbasiah saja, dan mencapai
puncaknya pada masa pemerintahan Al-Manshur (136-158 H) hingga masa
pamerintahan AL-Ma’mun (198-218 H), dimana penerjemahan ini tidak terbatas
pada beberapa bidang keilmuan saja,akan tetapi meliputi berbagai cabang
keilmuan sehingga kita bisa melihat lahirnya para ilmuan besar pada masa ini,
contohnya Al-Kindi (155-256 H) seorang filosof besar yang menguasai beraneka
bidang keilmuan, seperti matematika, astronomi, musik, geometri, kedokteran dan
politik, disamping nama-nama besar yang muncul setelahnya, sebut saja Ar-Razi,
Ibn Sina (370-428 H), Al-Farabi (359-438 H) dan yang lainnya.
Ada yang megatakan bahwa Islam tidak pernah bisa memiliki filsafat yang
independen. Adapun filsafat yang dikembangkan oleh para filosof Muslim adalah
pada dasarnya filsafat Yunani, bukan filsafat Islam. Ada lagi yang mengatakan
bahwa nama yang tepat untuk itu adalah filsafat Muslim, karena yang terjadi
adalah filsafat Yunani yang kemudian dipelajari dan dikembangkan oleh para
filosof Muslim. Ada lagi yang mengatakan bahwa nama yang lebih tepat adalah
filsafat Arab, dengan alasan bahwa bahasa yang digunakan dalam karya-karya
filosofis mereka adalah bahasa Arab, sekalipun para penulisnya banyak berasal
dari Persia, dan namanama lainnya seperti filsafat dalam dunia Islam. Adapun
beliau sendiri cenderung pada sebutan filsafat Islam (Islamic philosophy), dengan
setidaknya 3 alasan :
1.Ketika filsafat Yunani diperkenalkan ke dunia Islam, Islam telah
mengembangkan sistem teologi yang menekankan keesaan Tuhan dan syari’ah,
yang menjadi pedoman bagi siapapun. Begitu dominannya Pandangan tauhid dan
syari’ah ini,sehingga tidak ada suatu sistem apapun, termasuk filsafat, dapat
diterima kecuali sesuai dengan ajaran pokok Islam tersebut (tawhid) dan
pandangan syari’ah yang bersandar pada ajaran tauhid. Oleh karena itu ketika
memperkenalkan filsafat Yunani ke dunia Islam, para filosof Muslim selalu
memperhatikan kecocokannya dengan pandangan fundamental Islam tersebut,
sehingga disadari atau tidak, telah terjadi “pengislaman” filsafat oleh para filosof
Muslim.
2. Sebagai pemikir Islam, para filosof Muslim adealah pemerhati flsafat
asing yang kritis. Ketika dirasa ada kekurangan yang diderita oleh filsafat Yunani,
misalanya, maka tanpa ragu-ragu mereka mengeritiknya secara mendasar.
Misalnya, sekalipun Ibn Sina sering dikelompokkan sebagai filosof Peripatetik,
namun ia tak segan-segan mengertik pandangan Aristoteles, kalau dirasa tidak
cocok dan 1menggantikannnya dengan yang lebih baik. Beberapa tokoh lainnya
seperti Suhrawardi, Umar b. Sahlan al-Sawi dan Ibn Taymiyyah, juga mengeriktik
sistem logika Aristotetles. Sementara al-‘Amiri mengeritik dengan pedas
pandangan Empedokles tentang jiwa, karena dianggap tidak sesuai dengan
pandangan Islam.
3.Adanya perkembangan yang unik dalam filsafat islam, akibat dari interaksi
antara Islam, sebagai agama, dan filsafat Yunani. Akibatnya para filosof Muslim
telah mengembangkan beberapa isu filsafat yang tidak pernah dikembangkan oleh
para filosof Yunani sebelumnya, seperti filsafat kenabian, mikraj dsb.

Melalui ilmu filsafatlah, intervensi pemikiran asing masuk dalam Islam.


Tidaklah muncul ideologi filsafat dan pemikiran yang serupa dengannya kecuali
setelah umat Islam mengadopsi dan menerjemahkan ilmu-ilmu yang berasal dari
Yunani melalui kebijakan pemerintahan di bawah kendali al-Makmûn masa itu.
Ibnul Jauzi rahimahullah mengatakan, “Adapun sumber intervensi pemikiran
dalam ilmu dan akidah adalah berasal dari filsafat. Ada sejumlah orang dari
kalangan ulama kita belum merasa puas dengan apa yang telah dipegangi oleh
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu merasa cukup dengan al-Qur`ân
dan Sunnah. Mereka pun sibuk dengan mempelajari pemikiran-pemikiran kaum
filsafat. Dan selanjutnya menyelami ilmu kalam yang menyeret mereka kepada
pemikiran yang buruk yang pada gilirannya merusak akidah”. Ketika orang sudah
memasuki dimensi filsafat, tidak ada kebaikan sedikit pun yang dapat ia raih. Ibnu
Rajab rahimahullah mengatakan, “Jarang sekali orang mempelajarinya (ilmu
kalam dan filsafat) kecuali akan terkena bahaya dari mereka (kaum filosof)”.
Karena itu, tidak heran bila Ibnu Shalâh rahimahullah memvonis ilmu filsafat
sebagai biang ketololan, rusaknya akidah, kesesatan, sumber kebingungan,
kesesatan dan membangkitkan penyimpangan dan zandaqah (kekufuran) Begitu
banyak ungkapan Ulama Salaf yang berisi celaan terhadap ilmu warisan bangsa
Yunani ini dan selanjutnya mereka mengajak untuk berpegang teguh dengan
wahyu.
Tampak dengan jelas betapa bahaya ilmu filsafat di mata Ulama sehingga
mereka memperingatkan umat agar menjauh darinya. Anehnya, ilmu yang telah
mengintervensi akidah Islam ini menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam
lembaga-lembaga pendidikan tinggi Islam dan kajian-kajian Islam kontemporer,
bahkan menjadi mata kuliah yang wajib dipelajari. Seolah-olah seorang Muslim
belum dapat memahami al-Qur`ân dan Sunnah (terutama masalah akidah) kecuali
dengan ilmu filsafat. Jelas hal ini bertentangan dengan firman Allâh Azza wa Jalla:
Sesungguhnya al-Qur`ân ini memberikan petunjuk kepada jalan yang lebih lurus
[al-Isra/17:9] Mari simak pernyataan Syaikh as-Sa’di rahimahullah dalam
menerangkan ayat di atas, “Dalam masalah akidah, sesungguhnya akidah yang
bersumberkan al-Qur`ân merupakan keyakinan-keyakinan yang bermanfaat yang
memuat kebaikan, nutrisi dan kesempurnaan bagi kalbu. Dengan keyakinan
tersebut, hati akan sarat dengan kecintaan, pengagungan dan penyembahan serta
keterkaitan dengan Allâh Azza wa Jalla“. Sementara Syaikh asy-Syinqîthi
rahimahullah menyimpulkan kandungan ayat di atas dengan menyatakan bahwa
pada ayat yang mulia ini, Allah ta’ala menyampaikan secara global mengenai
kandungan al-Qur`ân yang memuat petunjuk menuju jalan yang terbaik, paling
lurus dan paling tepat kepada kebaikan dunia dan akherat.

Dengan demikian hendaknyalah kita berpaham dan berlandaskan al quran,as


sunnah dan ijma’. Para ulama terdahulu belajar ilmu filsafat bukan untuk
mengajarkan kepada muridnya tapi untuk mendebat para filsuf dan ulama yang
sesat untuk kembali ke jalan allah dan meyembah Allah ta’ala. Ilmu ini tetap kita
pelajari agar kita tahu dan bisa mengajak para liberalis dan sekuleris untuk kembali
ke jalan yang lurus. Kita jiga harus memperdalam ilmu Aqidah dulu sebelum
masuk ke ilmu filsafat ini.

Rujukan ;

Al quran
As sunnah
Yufid.com
Almanhaj.or.id
rumputmerahku.blogspot.com

Anda mungkin juga menyukai