Anda di halaman 1dari 9

Time left 

0:29:27
Information

Flag question

Information text
Menelusuri literasi masyarakat Indonesia sesungguhnya memiliki sejarah yang sangat
panjang, melampaui peluncuran  pertama kali UNESCO pada tahun 1946 mengenai
global literacy effort. Menurut para arkeolog, filolog dan antropolog bahwa literasi tulis-
menulis di nusantara sudah berkembang mulai abad 5 masehi sejak kehadiran Hindu
dan Budha serta tercatat di abad 13 ketika agama Islam datang. Di masa Hindu dan
Budha sudah dikenal bahasa Sansekerta dan aksara Pallawa, di era Islam berkembang
bahasa Arab dengan  aksara Arab-Jawa dan Arab-Melayu. Bahkan berdasarkan
penuturan beberapa arkeolog, literasi (dalam artian literasi gambar) telah ada pada masa
pra sejarah ribuan tahun yang lampau. Berdasarkan keterangan Indonesianis dari
Universitas Hamburg, Jan van der Putten memaparkan tentang tradisi menulis. Dia
mengatakan, Indonesia memiliki tradisi lisan yang kaya, namun tradisi menulis juga
sudah muncul sejak berabad-abad silam. Menurutnya, karena sudah memiliki kekayaan
tradisi lisan, tradisi menulis dipelihara dan digunakan oleh kalangan tertentu atau untuk
tujuan khusus. Penulisan untuk penyebaran agama merupakan salah satunya. Putten
menjelaskan kekhasan tradisi menulis yang berbeda-beda antara tempat satu dengan
tempat yang lain di Indonesia. Manuskrip kuno di Jawa, misalnya, merupakan perpaduan
tulisan dan gambar di daun lontar dan daun palem, yang terbatas dilakukan oleh
anggota kerajaan di Jawa. Berbeda dengan tradisi menulis di Sumatera Selatan yang
banyak berupa puisi dan surat cinta, disebabkan hubungan pria dan wanita di sana
dahulu sangat diatur ketat (https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2015). Ditinjau dari
perspektif ini maka masyarakat nusantara dan bangsa Indonesia secara empirik tidak
dapat dipungkiri telah tumbuh dan berkembang literasinya (Suprajogo, 2020). 
Literasi pada mulanya lebih diartikan sebagai melek aksara, dalam arti tidak buta huruf
ataupun bisa membaca. Sehingga pada fase-fase awal, literasi secara umum selalu
diidentikkan dengan kemampuan membaca. Dalam perkembangan berikutnya,
dimaksudkan literasi adalah suatu kemampuan untuk membaca dan menulis. Literasi ini -
plus kemampuan menghitung- sering diistilahkan sebagai literasi dasar (basic literacy).
Seiring dengan dinamika masyarakat dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi,
apatah lagi di era digital saat ini, maka konsep dan definisi serta pemaknaan literasi kian
kompleks dan variatif. Dari 6 (enam) macam literasi dasar yang diperkenalkan oleh World
Economic Forum (WEF) hingga literasi untuk kesejahteraan (functional literacy dalam
istilah UNESCO di tahun 1965). Dari pengertian literasi di tahun 1957, UNESCO
menyebutkan bahwa seseorang dapat disebut literat apabila bisa memahami, baik
dengan membaca dan menulis sebuah pernyataan sederhana yang singkat tentang
kehidupannya sehari-hari hingga literasi adalah kemampuan untuk mengidentifikasi,
memahami, menafsirkan, membuat, mengkomunikasikan, dan menghitung,
menggunakan materi cetak dan tertulis yang terkait dengan berbagai konteks (UNESCO,
2004, 2017). Bahkan lebih jauh konsep literasi dalam perkembangannya adalah
menekankan pada pemanfaatan teknologi dan informasi untuk memperoleh
pengetahuan dan keterampilan yang dapat menopang kehidupan sehari-hari dan
meningkatkan kesejahteraan. Literasi melibatkan suatu rangkaian kesatuan pembelajaran
dalam memampukan individu-individu untuk mencapai tujuan-tujuan mereka,
mengembangkan pengetahuan dan potensi mereka, serta berpartisipasi secara penuh di
dalam komunitas  mereka dan masyarakat luas (UIS, UNESCO, 2018).   
Berangkat dari variasi dan perkembangan konsep, definisi dan pemaknaan literasi
setidaknya dari yang dikemukakan UNESCO dari tahun ke tahun, tentu ketika
disebutkan  bangsa tertentu adalah rendah literasinya maka harus dibatasi dan
disepakati terlebih dahulu konsep, definisi dan makna literasi  yang dimaksud.
Penentuan konsep, definisi dan pemaknaan literasi ini sangat menentukan parameter,
variabel dan indikator-indikator yang akan dipergunakan apabila untuk mengukur
tingkat literasi misalnya. Paradigma dan perspektif yang lebih luas dalam mendefinisikan
dan memaknai literasi ini membantu sekali dalam memahami secara proporsional
sebuah masyarakat itu literat atau tidak. Terdapat 3 (tiga) fitur kunci terkait definisi
literasi UNESCO seperti  disebutkan oleh Montoya (2018) yaitu: 

1. Literasi adalah tentang penggunaan yang mana masyarakat


menjadikannya sebagai sarana berkomunikasi dan
berekspresi, melalui berbagai media;
2. Literasi bersifat jamak, dipraktikkan dalam konteks tertentu
untuk tujuan tertentu dan menggunakan bahasa tertentu;
3. Literasi melibatkan kontinum pembelajaran yang diukur pada
tingkat kemahiran yang berbeda.

Ada pandangan yang mengemukakan bahwa tradisi bertutur yang telah mengakar,
tumbuh dan berkembang di masyarakat adalah menghambat literasi membaca (reading
literacy) utamanya minat, kegemaran dan budaya membaca masyarakat. Bagaimana
menurut bapak dan ibu mengenai hal ini?

Kelisanan dan literasi sering diurutkan dalam sebuah kontinuum yang linear. Seolah
ketika sebuah bangsa memasuki era literasi atau memiliki perilaku literat, mereka telah
menanggalkan budaya kelisanan (Dewayani, 2017; 16). Apabila ditelusuri lebih jauh,
masyarakat zaman ‘kuno’ sebelum muncul huruf alfabet (abjad), mereka terbiasa
mengemukakan ide maupun berkomunikasi secara lisan. Dari generasi ke generasi, karya
intelektual diantara mereka diwariskan melalui tradisi dan budaya bertutur (orality).
Kemampuan dan keterampilan retorika justru merupakan suatu kebanggaan dan
keunggulan yang menggambarkan tingkat kecerdasan yang dimiliki. Orality bukan
merupakan kebiasaan bangsa Indonesia saja tetapi juga bangsa Arab yang dikenal
dengan ummi (tidak membiasakan membaca dan menulis) (al Alusi, t.t.; 38-48)  dan
bangsa Yunani dan Romawi. Ternyata tidak secara otomatis, suatu masyarakat yang
terbiasa menggunakan lisan dan belum mengembangkan -secara formal- kebiasaan
membaca dan menulis dapat dijuluki illiterate. Meski pengertian asal literasi adalah
kemampuan untuk membaca dan menulis (ability to read and write), sehingga karenanya
masyarakat yang mempraktekkan membaca dan menulis dikenal sebagai literate society,
namun bukan berarti mereka yang masih menggunakan bahasa lisan bisa dituding tidak
literat. Relasi antara tradisi bertutur (orality) dan literasi, sangat kompleks dan harus
dipandang secara komprehensif  (Harris, 1991, Thomas, 1992, Ong, 2002). Cara pandang
ini yang harus kita pergunakan untuk memahami hubungan tradisi dan budaya lisan
dengan literasi (dalam artian, membaca dan menulis) pada konteks masyarakat dan
sosial budaya Indonesia sehingga tidak lagi muncul pendapat yang menyatakan bahwa
rendahnya minat baca masyarakat kita disebabkan karena adanya kebiasaan bertutur
(orality). Jika ditinjau dari keterampilan berbahasa (language skills), justru terdapat
hubungan yang sangat erat antara kecakapan berbahasa lisan dengan kesiapan
membaca. Pengetahuan mendalam yang menarik bagaimana murid-murid memperoleh
pengetahuan awal mereka mengenai kerja literasi didapatkan dari proses-proses yang
mana mereka mempelajari bahasa lisan (spoken language) (Ray dan Medwell, 1991;70-
71). Semakin kaya murid-murid mendapatkan keluasan dan keragaman kosa kata, ujaran
yang jelas dan lancar, kian melengkapi kekayaan bahasa mereka secara kognitif untuk
mendukung kesiapan keterampilan membaca mereka. Berbicara mengenai pengalaman
akan memperluas stok konsep-konsep dan asosiasi kosa kata murid-murid (Anderson,
1985; 21-22). Pengalaman-pengalaman cerita memiliki signifikansi yang tinggi di dalam
kehidupan kita dan di dalam perkembangan literasi, terutama murid-murid
mendapatkannya dari cerita-cerita. Narasi bahkan menjadi aktivitas bahasa paling tua
dan paling dasar (Whitehead, 1990, 97-98). 
Dari berbagai penelitian memperlihatkan bahwa secara umum berbahasa lisan turut
melengkapi suatu latar belakang pengalaman yang menguntungkan serta keterampilan
bagi pembelajaran membaca. Kemampuan itu meliputi ujaran yang jelas dan lancar, diksi
yang luas, dan beraneka ragam, penggunaan kalimat-kalimat yang lengkap dan
sempurna jikalau diperlukan, perbedaan pendengaran yang tepat, dan kemampuan
mengikuti serta menelusuri perkembangan urutan suatu cerita, atau menghubungkan
aneka peristiwa dalam urutan yang wajar. Sesungguhnya penumbuhan budaya
keaksaraan adalah dimulai dari keluarga. Ini yang lazim disebut emerging literacy.
Emergent literacy menganggap bahwa perkembangan bahasa lisan tidak merupakan
prasyarat untuk perkembangan bahasa tulis. Keduanya justru berkembang serentak dan
saling mendukung dan mempermudah. Penumbuhan budaya keaksaraan ini dapat
dilakukan melalui percakapan orang tua dan murid, mendengarkan, dan bercerita
(Akhadiah, 1998; 33-35). 

Di rumah, murid-murid memperoleh konsep untuk memahami sesuatu, kejadian, pikiran


dan perasaan serta kosa kata bahasa lisan untuk mengekspresikan konsep-konsep
tersebut. Mereka mendapatkan tata bahasa (grammar) dasar bahasa lisan (oral
language). Banyak murid mempelajari sesuatu mengenai bentuk-bentuk cerita,
bagaimana bertanya dan menjawab pertanyaan, dan bagaimana menerima sedikit
ataupun kadang-kadang banyak berupa huruf-huruf dan kata-kata. Perkembangan awal
pengetahuan mempersyaratkan membaca datang dari pengalaman berbicara dan belajar
tentang dunia. Membaca tergantung pada pengetahuan yang luas. Pengalaman yang
luas semata adalah tidak cukup. Ada cara yang mana orangtua berbicara ke murid-murid
mereka tentang suatu pengalaman yang mempengaruhi pengetahuan apa yang murid-
murid peroleh dari pengalaman itu dan kemampuan mereka berikutnya untuk
menggambarkan perihal pengetahuan tersebut ketika membaca. Berbicara mengenai
pengalaman akan memperluas stok konsep-konsep dan asosiasi kosa kata murid-murid
(Suprajogo, 2020).
Di masyarakat terdapat tuntutan bahwa murid-murid usia dini harus diajarkan membaca,
menulis dan berhitung (calistung). Tepatkah untuk memperoleh keterampilan dan
kecerdasan literasi, mereka harus diajarkan calistung?

Sebenarnya murid usia dini yang terpenting adalah ditumbuhkan minat, kegemaran dan
budaya literasinya. Mereka bisa belajar membaca, menulis dan berhitung dengan cara
yang menyenangkan dan tidak dipaksa.  Pandangan tentang murid usia dini harus bisa
calistung dipicu oleh tuntutan saat memasuki  sekolah dasar. Secara formal, kurikulum
PAUD/TK memang tidak mengajarkan adanya aktivitas calistung (membaca, menulis dan
berhitung). Namun terdapat anggapan  bahwa murid yang tidak bisa calistung maka
akan menjumpai  kesulitan ketika memasuki jenjang SD. Alasan yang dikemukakan,
diantaranya adalah kompleksitas teks pelajaran di SD dan untuk memahaminya setiap
murid dituntut bisa calistung.
Pada beberapa sekolah bahkan kemampuan calistung menjadi pra-syarat masuk 
sekolah dasar. Selain itu pembelajaran di sekolah dasar kelas awal hingga soal-soal ujian
formatif maupun sumatif murid sekolah dasar didesain untuk murid yang sudah bisa
membaca dan menulis. Di masyarakat, kita dengan mudah menjumpai PAUD maupun TK
yang mempromosikan kelebihan sekolahnya memiliki program baca tulis dan
menggaransi ketika murid lulus bisa calistung, justru banyak diminati. Berawal dari pola
pikir orangtua ini, seringkali guru hanya fokus mengembangkan potensi akademik
(calistung) pada peserta didik, sehingga ada yang kecenderungan untuk mengabaikan
berbagai potensi non akademiknya. Para guru dengan tuntutan ini sering dihadapkan
kepada dua pilihan. Memilih mengikuti selera pasar atau bertahan pada idealisme
pembelajaran yang sesuai dengan usia dan tahapan perkembangan murid
(developmentally appropriate practice).
Mengikuti penumbuhan budaya keaksaraan sejak dari rumah. Belajar membaca dan
menulis tidak memerlukan pelajaran privat khusus. Alih-alih melalui pembelajaran
langsung dan formal, murid-murid mempelajari bahasa tulis melalui interaksi dengan
orang dewasa dalam situasi keaksaraan, dengan menjelajah sendiri berbagai tulisan.
murid melalui pengamatan terhadap orangtuanya, menggunakan bahasa tulis untuk
berkomunikasi. Mereka ‘mempelajari’ bahasa tulis dengan cara alamiah seperti dalam
mempelajari bahasa lisan (Pappas, 1995; 19 dalam Akhadiah, 1998; 35)

Lazim di masyarakat bahwa aktivitas belajar bagi murid-murid usia dini harus diterapkan
secara formal dengan instruksi yang terstruktur dan terprogram. Apabila di pendidikan
murid usia dini maupun taman murid-murid hanya melakukan aktivitas dengan bermain
maka dipandang bahwa mereka tidak belajar, mereka tidak berliterasi. Apa tanggapan
bapak ibu perihal ini?

Dunia murid usia dini (0-6 tahun atau 0-8 tahun) adalah dunia bermain. Cara belajar
murid usia dini adalah dengan dan melalui bermain. Apa yang terbayang di benak kita
dengan sebutan dan konsep aktivitas belajar? Belajar digambarkan sebagai kegiatan
seorang siswa yang harus duduk manis di bangku, meletakkan tangannya di atas meja,
harus menghadap lurus ke arah papan tulis, memegang buku teks pelajaran, diam seribu
bahasa untuk benar-benar bisa mendengarkan apa yang disampaikan oleh bapak ibu
guru di depan kelas. Padahal sebenarnya aktivitas murid adalah aktivitas bermain.
Bermain tidak boleh dipisahkan dari dunia murid-murid. Bermain adalah kebutuhan
murid-murid secara alamiah. Tanpa diminta, diperintah apalagi dipaksa, murid-murid
pasti sangat suka bermain. Bermain adalah suatu kegiatan mengasyikkan yang pasti
membuat lupa waktu dan murid-murid tenggelam dalam keasyikan tersebut (Roshonah,
2015; 35).
Literasi seharusnya memang berupa berbagai aktivitas yang menyenangkan dan
mengasyikkan bagi murid-murid. Literasi dapat ditumbuh kembangkan dan dibudayakan
melalui kegiatan bermain. Banyak manfaat yang diperoleh dari kegiatan bermain. murid-
murid dapat mengembangkan berbagai aspek yang diperlukan untuk persiapan masa
depan mereka. Bermain dapat membantu perkembangan tubuh secara fisik,
perkembangan emosional, sosial dan moral murid selain perkembangan kognitifnya.
Dengan bermain, murid-murid tidak sekedar tumbuh dan berkembang literasi baca, tulis
dan berhitungnya, bahkan kemampuan-kemampuan literasi yang lainnya. 
Melalui bermain, murid-murid usia dini dapat memperoleh pengalaman pra-keaksaraan
yang sangat kaya. Proses pengembangan bahasa murid-murid diperoleh dimulai dari
bahasa lisan (spoken language) yang mereka dengarkan dan simak dalam keseharian.
Mulai dari lingkungan yang paling dekat yaitu keluarga hingga orang-orang yang berada
di sekitarnya dan di sekolah dasar. Di dalam keluarga dapat dilakukan secara natural
kegiatan yang penuh literasi dan diciptakan lingkungan literasi. Semuanya dilakukan
dalam bentuk aktivitas bermain.  Mulai bermain tebak-tebakan kata, mendengarkan
cerita dan ikut terlibat dalam kegiatan bercerita, menggambar dan mewarnai gambar
diiringi dengan memaknai gambar dengan mendengar komentar dari murid-murid,
memanfaatkan kertas dan semacamnya dengan beragam alat tulis sederhana untuk
melakukan kegiatan mencorat-coret, mengenali huruf-huruf dan kata-kata dalam bentuk
mainan kartu dan sebagainya. 
Lingkungan literasi dalam suasana yang menyenangkan dan mengasyikkan ini akan
menjadi pondasi penting agar  murid tumbuh minatnya, bergairah dalam membaca
menulis dan berkembang kegemaran dan budaya bacanya. murid-murid harus dijauhkan
dari aktivitas belajar yang memaksa dan dipaksakan. Dimana murid-murid cenderung
digegas untuk bisa calistung misalnya dengan meminimalkan pengalaman pra-membaca
yang menyenangkan. Tampak di PAUD dan TK terdapat praktik-praktik belajar yang
kurang memperdulikan kebutuhan murid untuk bermain dan pendekatan melalui
bermain. Aktivitas membaca, menulis dan berhitung pun terkesan dipaksakan tanpa
memperhatikan, apakah mereka suka atau tidak suka, menyenangkan atau tidak
menyenangkan. Di dalam ruang-ruang kelas SD, konsentrasi pada aktivitas belajar formal
tidak jarang mengabaikan kesempatan murid didik untuk bermain guna
menumbuhkembangkan dan meningkatkan kemampuan dan kecakapan literasinya
melalui beraneka ragam kegiatannya. 
Bagi siswa-siswi SMP dan SMA, belajar di sekolah seringkali menyita waktu yang mereka
miliki untuk mengembangkan literasi dengan berbagai aktivitas yang menyenangkan
dan mengasyikkan sesuai dengan hasrat, hobi dan bakat mereka. Sesungguhnya para
siswa bisa mengembangkan literasinya melalui beragam kegiatan yang sangat variatif.
Dari kegiatan berpuisi, pidato, berdiskusi dengan topik-topik yang menarik perhatian
remaja, bedah buku, membaca buku, bergantian dan saling membacakan buku, 
membuat dan mengisi majalah dinding, blog, dan web site, hingga cerpen, novel, esai
populer dan menulis buku. Yang terpenting adalah bagaimana aktivitas literasi menjadi
kegiatan yang mampu mewadahi mereka untuk mengaktualisasikan diri, menyalurkan
kesenangan dan mengekspresikan gagasan positif, kreatif, dan inovatif remaja.

Benarkah definisi dan konsep literasi hanya semata-mata kegiatan membaca aksara
(huruf)?
Secara etimologis, literasi berasal dari bahasa Latin, literatus/literatus, yang diartikan
pada awal abad 15 dengan terdidik, orang yang belajar, seseorang yang mengetahui
(aksara) huruf, sosok yang memiliki pengetahuan mengenai huruf. Dalam istilah Yunani,
grammatikos, diambil dari bahasa Latin, littera/litera, artinya huruf alfabet. Di akhir abad
18, istilah literasi secara khusus diartikan berkenalan dengan sastra. Pada tahun 1894,
sebagai kata benda, literasi diartikan, seseorang yang bisa membaca dan menulis. Dari
konsep dan definisi literasi awal ini tampaknya yang menimbulkan kesalahpahaman
pandangan mengenai literasi. Street (1984) mengkritisi program kemelekaksaraan ketika
program literasi, yang awalnya sering dimaknai sebagai upaya menjadikan seseorang
dapat membaca alfabet atau aksara yang digunakan secara dominan dalam suatu negara
dijadikan alat untuk mendefinisikan kemajuan dalam perspektif ideologis bangsa atau
kelompok masyarakat yang dominan. Mereka yang tidak dapat membaca aksara,
kelompok ini akan mendapatkan label ‘tuna’, dan dengan demikian, terbelakang dan
harus ‘dientaskan’ (Street dalam Dewayani, 2017; 12). Padahal dalam perkembangannya,
literasi mengalami perluasan konsep, definisi, dan makna yang tidak dapat dilepaskan
dari konteks yang ada. 
Literasi membaca pada umumnya selalu diidentikkan dengan membaca teks berupa
aksara (huruf). Membaca secara dominan selalu didefinisikan sebagai suatu proses yang
dilakukan serta digunakan oleh pembaca untuk memperoleh pesan yang disampaikan
penulis melalui bahasa tulis (Hodgson dalam Tarigan, 1985). Juga membaca diartikan
adalah suatu proses kegiatan mencocokkan huruf atau melafalkan lambang-lambang
bahasa tulis. Tepatkah membatasi literasi membaca semata-mata hanya pada teks
tertulis atau berupa aksara (huruf)? Dalam ranah semiotika, teks adalah simbol yang
memiliki makna dan berfungsi sebagai medium komunikasi. Teks bisa disimbolkan
berupa aksara (huruf), angka dan gambar (visual). Maka membaca seharusnya tidak lagi
hanya dimaknai sebagai aktivitas membaca teks dalam bentuk tertulis. Dilacak dari
pengalaman masa lampau, telah ditemukan lukisan gua berupa coretan, gambar, atau
cap yang terdapat di dinding gua atau tebing yang dibuat oleh orang-orang purba
sebagai medium untuk menyampaikan pesan atau catatan-catatan peristiwa. Bentuk
visual yang terdapat di dinding-dinding gua merupakan alat komunikasi antar manusia
pada zaman dahulu. Untuk saat ini, teks visual dalam bentuk gambar, ilustrasi, material
dari media massa seperti iklan, poster, infografis, juga presentasi visual dalam bentuk
bagan, grafik, diagram dan peta maupun objek bergerak (Dewayani, 2017, 11). Termasuk
di dalam literasi membaca tentunya adalah membaca tanda-tanda alam sebagaimana
yang sudah lazim dilakukan oleh manusia di manapun berada, masyarakat nusantara
terdahulu hingga masih dipraktikkan oleh sebagian suku (etnis) tertentu seperti
membaca bintang-bintang di langit untuk menentukan arah (navigasi), rasi Waluku
(orion) dipakai para petani untuk menentukan masa tanam dan panen (bahasa Jawa,
pranoto mongso), nelayan membaca iklim dan cuaca untuk menentukan melaut atau
tidak, dan sebagainya.

Betulkah literasi hanya diidentikkan dengan keterampilan membaca dan tidak ada
kaitannya dengan aktivitas menyimak dan berbicara serta aktivitas visual?
Miskonsepsi berikutnya mengenai literasi adalah pandangan bahwa literasi identik
dengan membaca, bukan yang lainnya. Hal ini juga salah satunya dipengaruhi oleh
pendapat yang mengartikan literasi secara sempit yaitu kegiatan membaca. Konsep
literasi sesungguhnya mencakup keterampilan mendengar, berbicara, membaca, dan
menulis (Whitehead, 1990; 172, Kennedy, 2012; 41). Keempatnya merupakan
keterampilan ataupun seni berbahasa (language arts, language skills). Satu dengan yang
lainnya saling terkait erat dan tidak dapat dipisahkan (Guzzetti, 2002; 278-279). Aktivitas
proses saling melengkapi dan konvergensi dari keempat keterampilan (seni) berbahasa
ini akan meningkatkan kemampuan berpikir, berkomunikasi dan belajar seseorang.
Keempat keterampilan berbahasa tersebut harus ditumbuhkembangkan sejak dini.
Literasi dini ini utamanya sudah harus dimulai dilakukan pada usia 0 tahun sejak
kelahiran seorang bayi. Bahkan sesungguhnya ketika pertama kali tumbuh menjadi janin
di dalam rahim seorang ibu hingga usia minimal 2 (dua) tahun (Hoe dan Golant, 1985,
Roshonah dan Suprajogo, 2015, 2017) yang lebih dikenal dengan pengasuhan 1000 HPK
(Seribu Hari Pertama Kehidupan) (BKKBN, 2018). Secara umum, pertumbuhan dan
perkembangan bayi secara fisik sudah menjadi perhatian orangtua. Namun
perkembangan kecakapan literasi mereka belum menjadi fokus (Dewayani dan Setiawan,
2018). Dalam proses menumbuhkembangkan kecakapan literasi di rentang waktu 1000
hari itu melibatkan aktivitas mengajak berbicara, mendengar, mengajukan pertanyaan
terbuka, bercerita untuk disimak, menyanyi, membacakan buku, menggambar,
mencorat-coret, dan sebagainya. Menenggelamkan (immersion) mereka secara penuh
dalam lingkungan budaya keaksaraan (literacy environment).  
Memakai konsep sesuai dengan perkembangan (developmental appropriateness) pada
kegiatan pembelajaran dengan konteks baik di rumah maupun di sekolah harus
mencerminkan kebutuhan perkembangan murid: fisik, emosional, sosial dan kognitif-
linguistik (Otto, 2015; 156). Di masa remaja, mereka terlihat berbeda dari murid-murid,
terutama cara berfikir dan berbicaranya. Remaja secara kognitif diantaranya ditandai
dengan kemampuan mereka membuat penalaran abstrak dan kecepatan pengolahan
informasi yang meningkat (Papalia dan Feldman, 2014; 24). murid-murid usia dasar
cukup mahir menggunakan bahasa, tetapi remaja membawa penyempurnaan
selanjutnya. Kosakata berlanjut untuk berkembang sebagaimana aktivitas membaca
ketika mereka mulai dewasa. Di usia 16 hingga 18 tahun rata-rata orang muda
mengetahui sekitar 80.000 kata. Dengan kemampuan berpikir abstraknya, remaja dapat
menentukan dan membahas hal yang abstrak, sudah menggunakan istilah-istilah yang
mengekspresikan hubungan logis serta menjadi lebih sadar akan kata-kata sebagai
simbol yang dapat memiliki beragam makna dan senang menggunakan ironi, permainan
kata dan metafora. Mereka juga sudah lebih terampil dalam menggunakan perspektif 
sosial yaitu kemampuan untuk merangkai kata-kata pada tingkat pengetahuan dan
sudut pandang orang lain (Owens, 1996 dalam Papalia dan Feldman, 2014; 27).  Berbasis
pada konsep, tahapan dan karakteristik murid dan remaja sesuai pertumbuhan dan
perkembangannya, maka kecakapan literasi mereka menuntut optimalisasi penggunaan
dari semua aspek keterampilan berbahasa yang meliputi mendengar, berbicara,
membaca, dan menulis secara menyeluruh dan integratif, tidak parsialistik dan
dikotomistik. Yang mana ini harus diterjemahkan dalam strategi, metode, dan teknik
menumbuhkembangkan dan meningkatkan literasi di dalam kurikulum, materi maupun
media pembelajaran yang tidak hanya terpaku pada format aktivitas membaca semata. 
Apatah lagi di era digital sekarang, dimana siswa tumbuh dalam lingkungan sosial yang
banjir stimulasi visual. Mulai dari media cetak yang atraktif dengan inovasi digital dalam
desain, warna dan tata letak, media elektronik berupa televisi, film (Dewayani, 2017; 43),
perangkat playstation (PS) yang menyajikan informasi, hiburan dan permainan dan
media digital berupa gawai, tablet dan semacamnya. Literasi kekinian tetap
dikembangkan melalui penerapan keempat keterampilan berbahasa itu dengan
pemanfaatan berbagai variasi media yang ada secara fungsional. Strategi, metode, dan
tekniknya tentu diaktualisasikan sesuai kebutuhan, tuntutan dan gaya hidup serta
perilaku remaja saat ini. Literasi tidak dapat dipaksakan, apalagi pada remaja hanya
dalam bentuk aktivitas membaca.  Oleh karenanya, media multimodal, media yang
melibatkan dua atau lebih sistem semiotika baik bahasa lisan dan tulis, audio, visual,
audiovisual, gestur dan teks spasial,  menjadi bagian penting dari kehidupan siswa.
Sudah tepat, buku Panduan GLS (Gerakan Literasi Sekolah) ketika mengartikan literasi
adalah kemampuan mengakses, memahami, dan menggunakan sesuatu secara cerdas
melalui berbagai aktivitas, antara lain membaca, melihat, menyimak, menulis, dan/atau
berbicara (GLS, 2017).
Literasi adalah pelajaran bahasa dan sastra. Karenanya apapun aktivitas yang disebut
sebagai literasi merupakan kewenangan, kompetensi dan tanggung jawab guru
pelajaran bahasa dan sastra. 
Pertanyaan:
Apa tanggapan bapak dan ibu tentang pernyataan tersebut di atas?
Kebanyakan kita begitu mendengar kata literasi, pastilah membayangkan dengan mata
pelajaran bahasa dan sastra. Jika dalam konteks Indonesia, berarti identik dengan bahasa
dan sastra Indonesia. Pandangan ini tidak dapat dipungkiri ada dalam kenyataan
masyarakat sehari-hari, bahkan di dunia pendidikan baik di sekolah dasar dan menengah
hingga perguruan tinggi. Persepsi kita tentang literasi biasanya diasosiasikan dengan
kegiatan yang berkaitan erat dengan membaca buku, puisi, berpidato dan semacamnya,
mengarang cerita pendek (cerpen) dan novel, bercerita berupa dongeng, hikayat,
legenda dan sebagainya. Pendapat umum ada yang menyatakan literasi adalah bahasa
dan sastra, literasi itu bagian dari mata pelajaran dan mata kuliah bahasa dan sastra,
literasi itu ‘milik’ dan ranah ilmu linguistik. Dalam praktik di sekolah, literasi merupakan
kompetensi para guru bahasa dan sastra Indonesia. Di perguruan tinggi, literasi adalah
disiplin ilmu dosen bahasa, sastra dan budaya.  Guru dan dosen yang secara formal tidak
mempelajari bahasa dan sastra merasa tidak perlu mengetahui apalagi memahami,
menguasai dan terampil literasi. Dengan kata lain, masih muncul dan berkembang luas
anggapan bahwa literasi secara konsep maupun substansi, baik dalam teori maupun
praktik, tidak ada hubungan sama sekali dengan bidang-bidang yang lainnya. 
Sebenarnya jika literasi disematkan kepada hampir setiap topik, literasi dapat
menggantikan istilah ‘pengetahuan’ (Dewayani, 2017; 11). Bahkan ternyata sejak tahun
1940, istilah literasi sering digunakan dalam artian memiliki pengetahuan maupun
keterampilan di satu bidang tertentu, maka ada literasi komputer, literasi statistik, literasi
media, literasi sosial, literasi ekologis, literasi bencana, literasi kesehatan
(https://en.wikipedia.org/wiki/Literacy), literasi parenting dan sebagainya, selain literasi
baca tulis dan literasi numerik sebagai literasi dasar (basic literacy). 
Ada yang sangat menarik, terkait mata pelajaran ilmu pasti yaitu matematika, misalnya. 
Hampir sebagian besar siswa meyakini matematika sebagai  mata pelajaran yang sulit
dan bahkan menjadi momok yang ‘menyeramkan’. Ternyata keterampilan membaca
yang kita kenal dan biasa dipraktikkan itu bisa sangat membantu dalam memahami
matematika. Kemampuan menarasikan matematika secara deskriptif, menjelaskan
rumus-rumus yang ada secara aplikatif  dengan menggunakan contoh-contoh berupa
cerita yang sederhana dan menarik,  mengoptimalkan otak kanan, utamanya kecerdasan
bahasa untuk mengerti dan memahami logika dan penalaran yang terkandung di dalam
matematika serta mengenali bahwa matematika sebagai media kreatif. Dengan
keterampilan narasi yang bisa dikembangkan dari literasi bahasa baik berupa baca dan
tulis tersebut, maka matematika menjadi lebih mudah dan menyenangkan. Dari pola
seperti ini, tentunya dapat diterapkan di dalam mempelajari dan mengajarkan mata
pelajaran ataupun mata kuliah yang berbasis matematika dan sejenisnya di disiplin ilmu
pengetahuan yang lain maupun teknologi.

Anda mungkin juga menyukai