e. Pokok Bahasan : Globalisasi, Modernitas Dan Nasionalisme
f. Sub Pokok Bahasan : 1. Modernitas, Humanisme dan Krisis
Kemanusiaan 2. Multikulturalisme di Tengah Kultur Monolitik dan Uniformitas Global 3. Radikalisme Etnis Merembet ke Radikalisme Teroris 4. Sumpah Pemuda atau Pemuda Disumpah MATERI A. Modernitas, Humanisme Dan Krisis Kemanusiaan Modernitas sebagai fajar baru dan manifesto perubahaan sosial dalam sejarah kebudayaan modern Barat pasca renaissance, reformasi, dan aufklarung (pencerahan, enlightment) telah menjadi mitos laksana sebuah agama baru dalam kehidupan umat sejagat dewasa ini. Modernitas peradaban Barat pasca abad tengah ini memiliki mata rantai persentuhan dengan kebudayaan di Italia abad ke-14 dan kemudian Inggris, Perancis dan Jerman pada abad ke-17 dan ke- 18. Persambungan budaya ini telah menjadikan modernitas hadir sebagai hegemoni baru yang merambah ke seluruh penjuru dunia hingga akhir abad ke-20 dan menjadi kiblat peradaban dunia (core civilization). Pengaruh proyek modernitas peradaban Barat yang dibalut oleh temali kapitalisme global dan mengangkut nilai-nilai individualliberal serta dikemas dalam tema globalisasi sangat terasa dan kentara dalam kehidupan sosial masyarakat ketimuran. Arus modernisasi telah menggeser, dan mungkin juga melenyapkan, budaya lokal yang saat ini berkembang dan dianut oleh masyarakat lokal setempat dan Modernitas sebagai fajar baru dan manifesto perubahaan sosial dalam sejarah kebudayaan modern Barat pasca renaissance, reformasi, dan aufklarung (pencerahan, enlightment) telah menjadi mitos laksana sebuah agama baru dalam kehidupan umat sejagat dewasa ini. Modernitas peradaban Barat pasca abad tengah ini memiliki mata rantai persentuhan dengan kebudayaan di Italia abad ke-14 dan kemudian Inggris, Perancis dan Jerman pada abad ke-17 dan ke-18. Persambungan budaya ini telah menjadikan modernitas hadir sebagai hegemoni baru yang merambah ke seluruh penjuru dunia hingga akhir abad ke-20 dan menjadi kiblat peradaban dunia (core civilization). Pengaruh proyek modernitas peradaban Barat yang dibalut oleh temali kapitalisme global dan mengangkut nilai-nilai individualliberal serta dikemas dalam tema globalisasi sangat terasa dan kentara dalam kehidupan sosial masyarakat ketimuran. Arus modernisasi telah menggeser, dan mungkin juga melenyapkan, budaya lokal yang saat ini berkembang dan dianut oleh masyarakat lokal setempat dan masa keruntuhan pada 1258 di Bagdad beralih ke peradaban Barat pasca abad tengah. Modernitas telah menjadi suatu mazhab kemajuan yang berlaku umum dan kerapkali beralih fungsi sebagai alat kategorisasi sosial yang ekstrem atas struktur sosial yang masih tradisionalitas. Bahkan, modernitas telah dijadikan alat verifikasi atau pengujian atas kebenaran universal dan obat mujarab dalam mengatasi keterbelakangan, kemiskinan, dan kekerasan massal yang seringkali terjadi di negara Dunia Ketiga. Kisah-kisah agung modernitas yang dirajut oleh para ilmuwan barat tentang kemajuan zaman modern telah melahirkan faham humanisme. Hal ini ditandai dengan pergeseran perkembangan manusia dari makhluk spiritual menjadi makhluk materiallis. Lewat corong modernitas, humanisme mempromosikan potensi manusia melebihi batas-batas fitrahnya. Manusia bagai superman yang merasa dirinya unggul karena penemuan sains dan teknologi lewat otaknya. Mereka menganggap alam sebagai obyek yang harus dieksploitasi semaksimal mungkin untuk kepentingan manusia tanpa mengindahkan ramburambu yang ada. Mereka tidak sadar bahwa dirinya adalah makhluk budaya yang tidak terlepas dari lingkungan alam dan manusia lain di sekitarnya. Akibatnya, terjadi krisis identitas manusia itu sendiri. Menurut Frans Magnis-Suseno, humanisme modern yang berkembang saat ini sebenarnya telah ada sejak zaman Antik yang berpusat di Romawi dua ribu tahun yang lalu. Dalam perkembangannya, humanisme modern terbelah ke dalam dua sempalan. Pertama, humanisme seimbang atau moderat yang menjunjung tinggi keluhuran manusia, keterbukaan nilai, toleransi, universalisme dan religiositas yang dekat dengan alam. Kedua, humanisme sekular atau anti agama. Artinya, agama difahami sebagai takhayul, ilusi, candu, bentuk keterasingan manusia, dan keterikatan manusia pada irasionalitas sehingga manusia hanya dapat menemukan dirinya apabila membebaskan diri dari agama. Saat ini, humanisme yang dominan dalam alam pikiran manusia adalah humanisme sekular atau anti agama. Akibatnya, manusia mengalami kekosongan nilai sehingga sangat rawan jika melakukan interaksi dengan manusia lain. Gejala ingin menguasai orang lain, ancaman terorisme, munculnya kekerasan massal, dan kerusuhan sosial yang berbau primordialisme merupakan bentuk dan sekaligus konsekuensi dari merebaknya humanisme sekular. Modernitas, nihilisme, dan humanisme sekular telah mengalahkan humanisme moderat yang penuh dengan nilai-nilai moral-keagamaan. Menipisnya nilai-nilai moral-keagamaan inilah yang menyebabkan terjadinya krisis kemanusiaan. Artinya, manusia telah kehilangan identitas dan jati dirinya. Kecenderungan krisis kemanusiaan ini sebenarnya telah disinyalir oleh Erich Fromm, tokoh psikoanalisa yang banyak merefleksikan kehidupan manusia modern. Menurut Fromm, Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern telah mengantarkan manusia pada periode “bebas dari”, tetapi pada saat yang sama manusia tidak “bebas untuk”. Artinya, ilmu pengetahunan dan teknologi memang telah membebaskan manusia dari kemiskinan dan kebodohan. Tetapi, Pada sisi yang lain telah membelenggu manusia itu sendiri dan ketergantungan manusia pada teknologi. Catatan sejarah menunjukan bahwa kehidupan umat manusia selalu diliputi oleh ancaman dan krisis kemanusiaan. Perang Dunia I dan II, perang Dingin, Perang Vietnam, dan perang Teluk adalah sederetan contoh krisis kemanusiaan dunia yang memakan banyak korban. Akankah peristiwa mengerikan ini terulang lagi di abad ke-21 ini?. Sulit untuk menjawabnya. Tetapi, yang jelas tragedi WTC dan Pentagon, 11 september lalu merupakan awal yang buruk dalam menata kemanusiaan abad ini. Nampaknya, tema terorisme akan muncul ke permukaan dan menjadi musuh bersama (common enemy)bagi seluruh bangsa yang cinta perdamaian dan kemanusiaan. Ciri dan karakteristik modernitas yang lahir dari rahim peradaban Barat dan menjadi model perilaku umat manusia sebenarnya memi-liki tiga dimensi kecenderungan.Pertama, dimensi kemanusiaan yang tidak bertuhan (humanisme) yang mengandung gagasan dikotomis untuk memisahkan dunia dari akherat. Kedua, dimensi materi yang tidak bertuhan (materialisme) yang menganggap realitas kehidupan ini hanya materi. Ketiga, dimensi perilaku yang tidak bertuhan (atheisme). Artinya, manusia tidak punya waktu sedikitpun untuk merenungkan, menghayati dan menuruti perintah Tuhan. Ketiga dimensi kecenderungan inilah yang telah menyebabkan bangsa Indonesia dihantam oleh badai krisis multidimensional dan terancam dalam jurang kebangkrutan. Meletusnya kerusuhan etnis di Sambas, Sampit, Poso, dan Ambon adalah wujud dari krisis kemanusiaan yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini. Bahkan, gejala separatisme dan disintegrasi semakin kuat gemanya diwilayah Aceh dan Papua. Celakanya, para pejabat dan elit politik banyak yang terlibat dalam perilaku KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) dan kepentingan meraih kekuasaan sehingga lupa terhadap tanggung jawab kemanusiaannya. Kompleksitas permasalahan bangsa Indonesia ini harus ditanggulangi secara cepat dan tepat dengan berpegang teguh pada moralitas yang tinggi (hi-mo, high morality),bukan teknologi tinggi (hi-tech, high tecnology). Oleh karena itu, perlu pengembangan sebuah etos kemanusiaan baru yang berdasarkan pada kemanusiaan yang adil dan beradab sesuai dengan sila kedua dari Pancasila. Cita- cita humanistik ini tidak mesti menjauhkan diri dari norma ketuhanan. Adalah panggilan orang-orang beragama untuk membuktikan dengan sikap dan kelakuan nyata bahwa keagamaan bukan halangan bagi sikap yang menghormati martabat manusia dan melihat perbedaan, pluralitas, dan keragaman sebagai sesuatu yang harus diakui dan dihormati. Pengembangan etos kemanusiaan baru diharapkan dapat menjadi obat mujarab bagi maraknya aksi kekerasan, kerusuhan, dan terorisme anti kemanusiaan–keagamaan yang selama ini mewarnai dinamika kehidupan masyarakat indonesia pasca-reformasi. Masyarakat yang memiliki etos kemanusiaan baru bercirikan kemanusiaan yang adil dan beradab dimana secara struktural-institusional, norma-norma : hukum, adat istiadat serta moralitas keagamaan dijunjung tinggi oleh individu-individu dalam masyarakat. Pluralitas dan keragaman masyarakat indonesia harus dibangun dengan nilai-nilai kemanusiaan baru yang menjamin toleransi antar kelompok agama, menjaga hak-hak dasar manusia, menolak kekerasan untuk memecahkan masalah bangsa, mengembangkan budaya dialog, dan menjalin solidaritas bangsa yang saat ini mengalami carut marut sebagai konsekuensi dari krisis kemanusiaan. Format dan karakteristik kemanusiaan lama yang dibangun secara biasoleh rezim hegemonik Orde Baru sudah saatnya didekonstruksi karena terbukti hanya menciptakan “bom waktu” meledaknya kekerasan kolektif-etnik dan diganti dengan etos kemanusiaan baru yang lebih pluralistik, adil dan beradab. B. Multikulturalisme Di Tengah Kultur Monolitik Dan Uniformitas Global Wacana tentang multikulturalisme mulai menguat dan memperoleh tempat yang utama dalam kajian perubahan sosial dan budaya ketika realitas kehidupan di penghujung abad ke-20 dan awal abad ke-21 menunjukkan keanekaragaman budaya dengan berbagai corak budayanya yang hadir ditengah-tengah masyarakat. Multikulturalisme dipakai sebagai perangkat analisa atau perspektif untuk memahami dinamika keanekaragaman latar belakang budaya, perbedaan sejarah, suku, bangsa, rasial, golongan, dan agama. Masyarakat multikultural tidak bersifat homogen, namun memiliki karakteristik heterogen dimana pola-pola hubungan sosial antar individu dalam masyarakat bersifat toleran dan harus menerima kenyataan untuk hidup berdampingan secara damai (peace co-existence) satu sama lain dengan perbedaan-perbedaan yang melekat pada setiap entitas sosial dan politiknya. Secara mudah dapat dikatakan bahwa multikulturalisme merupakan suatu konsep yang ingin membawa masyarakat dalam kerukunan dan perdamaian, tanpa ada konflik dan kekerasan, meskipun didalamnya terdapat kompleksitas perbedaan. Sebagai sebuah formula dan format baru dalam agenda perubahan sosial, multikulturalisme dihadapkan pada kenyataan adanya arus globalisasi yang menjangkiti seluruh segmen kehidupan masyarakat baik pada level primordialisme (kedaerahan), nation state (negara bangsa), maupun pada level dunia internasional (world system). Proses mengglobalnya nilai-nilai budaya, life style, falsafah, kebiasaan, dan institusi-institusi yang berasal dari Barat – sebagai asal mula dan sumber globalisasi kedalam seluruh aspek kehidupan masyarakat mulai dari masalah politik, ekonomi, sosial-budaya, hiburan, pendidikan, sampai dengan urusan selera “perut” dan “aurat” harus dipahami sebagai proses penyeragaman dan pembaratan budaya . Globalisasi yang membawa misi homogenisasi, westernisasi, dan uniform Lintas budaya ini sangat bertentangan dengan gagasan multikulturalisme yang ber platform pluralis, humanis, dan menjaga heterogenitas budaya sebagai sesuatu yang alamiah (nature). Padahal, globalisasi adalah fenomena yang tidak bisa dipungkiri dan dihindari hadir ditengah-tengah kehidupan masyarakat yang saat ini sedang mengalami krisis kebudayaan. Globalisasi telah berubah dari sebuah mitos menjadi realitas yang yang bersifat kongkret dan empirik. Dalam sejarah perkembangannya, globalisasi merupakan suatu mata rantai dan mempunyai persentuhan proses dengan kolonialisme dan imperilaisme di abad ke-16 sampai ke-19, modernisasi diabad ke-20, dan kapitalisme global dipenghujung abad ke-20. Kecanggihan teknologi komunikasi, informasi dan transportasi mendorong globalisasi mengalami percepatan yang luar biasa pesat. Menurut Anthony Giddens (1999), globalisasi telah melahirkan ruang sosio-kultural yang spektakuler dalam hubungan antar bangsa dan interkoneksi yang melampaui batas-batas geografis dan kedaulatan negara. Dalam kaitan ini, penetrasi globalisasi membawa tiga dampaksiginfikan. Pertama, mulai meluntur dan mengendurnya ikatan-ikatan negara bangsa sebagai hasil dari pergulatan antara kedaulatan negara versus kapitalisme global. Pola “tekanan ke atas” penetrasi globalisasi ini cenderung mengarah pada integrasi sosial-budaya dibawah naungan kultur Barat sebagai kultur yang dominan. Kedua, pola “tekanan ke bawah”. Artinya, globalisasi telah membuka katub-katub peluang bagi bangkitnya identitas budaya lokal (local culture) yang selama ini sedang terbuai oleh kemasan ikatan nasionalisme budaya yang didasarkan pada negara bangsa. Lokalitas dan kultur monolitik yang mendasarkan diri pada etnisitas, kesukuan, dan primordialisme ini mulai meneguhkan diri vis to visidentitas nasional yang saat ini mengalami pengenduran. Secara politis, gejala ini diindikasikan dengan merebaknya tuntutan dari berbagai daerah atau wilayah yang ingin melepaskan diri dari ikatan negara bangsa. Gerakan separtisme dan disintegrasi bangsa, khususnya yang saat ini melanda indonesia merupakan salah satu contoh dari penetrasi globalisasi jenis ini.Ketiga, pola “desakan ke samping”. Artinya, kecenderungan penetrasi globalisasi telah menciptakan domain ekonomi dan kultural baru yang melintasi batas-batas negara bangsa yang selama ini ada. Penetrasi globalisasi yang membawa slogan-slogan liberalisme pasar dan perdagangan bebas telah membawa Dunia pada blok-blok perdagangan dan aliansi-aliansi ekonomi yang terbungkus dalam kapitalisme global. Lahirnya Uni Eropa merupakan contoh kongkret dari gelombang sentrifugal globalisasi. Jika dilihat lebih mendalam, pola-pola penetrasi globalisasi ini menimbulkan suatu paradoks. Disatu sisi, globalisasi melakukan gerak meluas ke wilayah global melalui teknologi komunikasi dan informasi. Namun di sisi lain, globalisasi telah menstimulan tumbuhnya identitas-identitas lokal yang primordial. Meskipun begitu, yang perlu diwaspadai adalah proses uniformitas nilai yang mengarah pda hegemoni budaya. Banyak kalangan awam dalam masyarakat, khususnya yang tidak peduli dengan masalah sosial budaya, tidak menyadari bahwa pola kehidupannya sehari-hari telah didominasi oleh kultur asing yang pada tahap-tahap tertentu tidak sesuaii dengan budaya lokal. Mereka tidak sadar bahwa dilingkungan sekitarnya telah terjadi proses uniformitas budaya. Mereka larut dan terbius oleh arus budaya pop dan lyfe style yang lagi nge-trend. Padahal, mereka tidak memahami makna dan substansi dari penampilan budaya yang demikian. Ancaman hegemoni budaya (culture hegemony) yang tersembunyi dibalik gelombang globalisasi semakin kuat terasa di era modern sekarang ini. Pada hakikatnya, hegemoni budaya ini sangat berlawanan dengan multikulturalisme yang lebih menekankan pada pluralitas dan heterogenitas budaya sebagai sebuah mozaik dan kekayaan bangsa. Hegemoni budaya ingin melakukan proses pendominasian budaya yang beranekaragam itu dalam kendalinya. Tentunya, gejala yang demikian sangat membahayakan eksistensi budaya-budaya yang lain. Secara historis, hegemoni budaya yang saat ini sedang gencargencarnya dipropagandakan oleh Barat melalui media globalisasi telah ada sejak masa kolonialisme dan imperialisme. Jika pada abad ke-19, kedatangan bangsa-bangsa Barat membawa modernisasi hadir bersamaan dengan perluasan kapitalisme dan kolonialisme politik serta ekonomi, maka pada penghujung abad ke-20 dan awal abad ke-21, kehadiran budaya universal juga ikut membawa muatan budaya dan peradaban Barat. Gejala seperti ini menurut Huntington akan menimbulkan titik picu bagi konflik atau benturan peradaban dengan kebudayaan-kebudayaan lain. Saat ini, proses hegemoni budaya sebenarnya telah melanda kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara baik yang berdimensi politik, ekonomi, maupun sosial. Secara politis, Demokrasi liberal Barat telah menjadi model yang didambakan setiap negara dalam sistem kenegaraannya. Secara ekonomi, kapitalisme global Barat selalu menjadi referensi bagi negara yang ingin maju pertumbuhanekonominya. Dan secara sosial, masyarakat telah terkooptasi oleh nilai-nilai individualisme Barat, hedonisme, dan konsumerisme. Ini semua tentu sangat berlawanan dengan budaya mereka sendiri yang menjunjung tinggi nilai-nilai ketimuran. Ketidakberdayaan melawan gempuran luar dan ketidakberanian menampilkan identitas budaya sendiri akan mengakibatkan suatu entitas sosial menjadi korban dari hegemoni budaya. Saat ini bangsa indonesia tengah menghadapi arus ganda permasalahan seputar identitas nasional kebudayaannya. Di satu sisi, harus menghadapi gempuran gelombang globalisasi yang membawa peradaban universal (universal civilization) beserta dampak ikutan lainnya, seperti uniformitas, homogenisasi, westernisasi,dan hegemoni budaya. Di lain sisi, tengah berhadapan dengan masalah-masalah internal dalam kebudayaannya sendiri baik yang muncul sebagai akibat dinamika nasional maupun persentuhannya dengan penetrasi globalisasi. Contoh dari gejala ini adalah munculnya radikalisme etnik yang cenderung mengarah pada disintegrasi bangsa. Melihat dua kenyataan dilematis ini, diperlukan suatu format baru dalam menata kembali konstelasi budaya lokal indonesia yang terbungkus dalam mozaik kebudayaan nasional, yang sebenarnya saat ini telah mengalami carut marut dan tercerabut oleh konflik etnik dan kekerasan kolektif. Oleh karena itu, multikulturalisme (plural culture) seharusnya dijadikan paradigma baru menggantikan konsep masyarakat majemuk (plural society) yang selama ini diterapkan oleh rezim militer Orde Baru. Masyarakat majemuk yang menekankan pada keanekaragaman suku bangsa tidak akan mungkin mewujudkan masyarakat sipil yang demokratis dan sudah saatnya digeser menjadi ideologi keanekaragaman budaya atau multikulturalisme yang mempunyai cakupan tidak hanya budaya etnik, tapi juga berbagai budaya lokal yang diposisikan secara sederajat. Multikulturalisme merupakan suatu strategi dari integrasi sosial dimana keanekaragaman budaya benar-benar diakui dan dihormatisehingga dapat difungsikan secara efektif dalam menengarai setiap isu separatisme dan disintegrasi sosial. Pengalaman mengajarkan bahwa bukan semangat kemanunggalan atau ketunggalan (“tunggal ika”) yang paling potensial akan melahirkan persatuan yang kuat, melainkan pe ngakuan akan adanya pluralitas (“bhineka”) budaya bangsa inilah yang lebih menjamin persatuan bangsa menuju pembaharuan sosial yang demokratis. Dengan demikian, perlu proses penyadaran diantara masingmasing budaya lokal untuk saling mengakui dan menghormati keanekaragaman identitas budaya yang dibalut oleh semangat kerukunan dan perdamaian. Keanekaragaman budaya ini dapat diilustrasikan bagai bintang-bintang dilangit yang bertebaran bak mutiara menghiasi jagad raya. Dalam konteks ini, peranan negara sebaiknya hanya menfasilitasi bagi terciptanya toleransi antar entitas sosial budaya, dan bukan memainkan perana intervensi- represifyang dapat menimbulkan resistensi dan radikalisasi kultural sebagaimana terjadi pada rezim korporatis Orde baru. C. Radikalisme Etnis Merembet Ke Radikalisme Teroris Pada masa awal-awal reformasi, radikalisme dan militansi yang merebak di Indonesia adalah radikalisme etnik. Hal ini ditandai dengan berbagai kekerasan kolektif dan kerusuhan sosial di Sampit, Poso, dan Ambon. Selanjutnya, radikalisme etnik ini kemudian menjalar pada radikalisme kesukuan, golongan, dan agama. Akhirnya, gejala disintegrasi bangsa menjadi fenomena penting yang mendapat perhatian serius waktu itu. Bentuk-bentuk radikalisme etnik ini telah menelan korban ratusan, dan bahkan ribuan nyawa melayang. Saat ini, radikalisme etnik untuk sementara waktu meredup digeser oleh radikalisme teroris. Menguatnya radikalisme teroris ini dalam konteks Indonesia telah ada secara dominatif sejak terjadinya rentetan peristiwa pengeboman di berbagai Gereja pada malam Natal, peledakan bom di Atrium Senin, pengeboman Masjid Istiqlal, dan bom di Kedubes Filipina di Jakarta. Puncak dari rangkaian aksi pengeboman ini adalah tragedi bom di Legian, Kuta, Bali, I2 Oktober 2002 lalu yang menewaskan lebih dari I80 orang tewas dan 300 orang luka berat ringan, yang kemudian disusul dengan berbagai aksi teroris di berbagai wilayah Indonesia saat ini. Sebagai bangsa yang menjunjung tinggi kemanusiaan dan keberagaman, sudah sepatutnya jika kita semua mengutuk berbagai aksi radikalisme teroris yang selama ini menghantui bangsa Indonesia. Biar bagaimanapun juga, dampak dari radikalisme teroris yang menjangkiti berbagai kelompok dan gerakan sosial sangat bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan norma-norma keagamaan. Meskipun tujuan dari kelompok-kelompok radikalisme teroris ini ingin menegakkan hukum dan keadilan Tuhan, tapi cara-cara yang mereka pergunakan telah melanggar hukum dan keadilan Tuhan itu sendiri. Disamping itu, yang perlu dipegang teguh adalah bahwa terorisme dan segala bentuknya jangan disangkutpautkan dengan agama. Kecenderungan radikalisme teroris terletak pada individu atau personel masing-masing. Bahkan secara lugas dapat dikatakan bahwa para pelaku tindak teroris itu adalah manusia-manusia yang tidak beragama dan tidak bertuhan. Sebab, manusia yang beragama tidak akan melakukan perbuatan biadab seperti itu. Semakin menguatnya gejala radikalisme teroris di Indonesia saat ini tentunya akan berdampak pada terjadinya benturan-benturan antar berbagai kelompok masyarakat dengan pemerintah. Di samping itu, isu-isu terorisme telah mempengaruhi proses penciptaan dan pengembangan pluralitas budaya dan manusia. Tatanan sosial masyarakat, yang ketika meletup reformasi bercerai- berai dan ingin ditransformasi dalam wadah multikulturalisme, akan mengalami hambatan serius apabila isu terorisme semakin mempengaruhi struktur sosial masyarakat. Konsepsi multikulturalisme yang intinya menekankan pada pengakuan dan penghormatan terhadap kebhinekaan dan perbedaan yang selama ini akan dikembangkan dalam konteks kebangsaan Indonesia akan berhadapan secara tajam dengan isu-isu terorisme yang berkembang akhir- akhir ini. Dikatakan demikian karena radikalisme teroris yang disinyalir menghinggapi sebagian kelompok-kelompok dan gerakan-gerakan sosial masyarakat tidak mengenal akan perbedaan dan kebhinekaan. Perspektif terorisme tidak mengedepankan pada kebersamaan dan pluralisme, melainkan hanya menekankan pada uniformitas yang monolitik. Selain itu, terorisme tidak memprioritaskan pada upayaupaya dialog, melainkan langsung pada tindak kekerasan yang membahayakan. Hal ini sangat bertentangan dengan perspektif multikulturalisme yang mendasarkan diri pada saluran dialog, kebersamaan, kemanusiaan, penghormatan antar manusia, dan pengakuan akan perbedaan. Bagaimanapun juga, kita semua tidak menginginkan bangsa ini menjadi bangsa yang memiliki cap “Republik Teror”. Oleh karena itu,Tragedi bom Bali harus dijadikan momentum yang tepat untuk menyadarkan kepada bangsa Indonesia bahwa isu-isu terorisme akan sangat membahayakan semangat multikulturalisme di tengah-tengah kehidupan sosial masyarakat. Terorisme adalah musuh baru multikulturalisme. Melihat betapa bahayanya permasalahan terorisme di Indonesia ini terhadap persatuan bangsa dan pengembangan multikulturalisme yang sedang dibangun, maka perlu diupayakan sebuah strategi untuk menangkalnya secepat mungkin. Salah satu cara yang efektif untuk itu adalah langkah penguatan masyarakaat sipil (civil sosiety)yang ada dalam masyarakat Indonesia. Seluruh komponen masyarakat sipil mulai dari partai politik, Lembaga Swadaya Masyarakat, Organisasi Sosial, Organisasi Keagamaan, Komunitas Intelektual Kampus, Masyarakat Pers dan komponen masyarakat lainnya harus senantiasa bersatupadu, saling berdialog, tukar informasi dan merapatkan barisan demi cegah tangkal praktek terorisme. Konsolidasi masyarakat sipil ini sangat penting mengingat saat ini negara sebagai unit politik formal tidak mampu lagi memberikan rasa aman dan kedamaian pada rakyatnya dari ancaman terorisme. Struktur negara seperti Eksekutif (Birokrasi dan aparat penegak hukum: Polri, Kejaksaan, TNI), Legislatif (MPR/DPR) dan Yudikatif (Lembaga Peradilan) telah gagal dalam menciptakan tertib sosial masyarakat. Padahal, tujuan utama dibentuknya negara adalah kontrak sosial dari seluruh elemen masyarakat untuk secara bersama mendelegasikan kekuasaan kepada negara untuk menciptakan kondisi yang kondusif bagi interaksi hak dan kewajiban antar individu dalam masyarakat. Merebaknya aksi-aksi terorisme telah menggangu dan merampas hak hidup dan hak untuk aman dari rakyat. Sudah selayaknya bagi rakyat menuntut rezim penguasa berkait dengan terganggunya hakhak mereka. Tidak berhenti disitu saja, segenap elemen masyarakat harus mengonsolidasi diri demi keamanan masing-masing dari ancaman terorisme. Penguatan masyarakat sipil bisa dilakukan secara nyata dengan saling tukar informasi, saling dialog, saling bekerjasama sehingga akan tercapai suatu kesepakatan dan gerakan moral sosial yang kuat sehingga persatuan dan kesatuan bangsa bisa terjaga. Selain itu, dengan ditumbuhkembangkan budaya dialog, diskusi, dan tukar informasi masing-masing komponen masyarakat akan mendorong percepatan timbulnya budaya multikulturalisme yang selama ini ingin dikembangkan secara bersama. D. Sumpah Pemuda Atau Pemuda Disumpah? Tepat tanggal 28 Oktober 1928, bangsa Indonesia menapaki sebuah perjuangan kemerdekaan yang sangat monumental dan bersejarah. Saat itu, tanpa ada paksaan alias dengan kesadaran hati yang bersih, berbagai elemen bangsa yang terdiri dari para pemuda dan pemudi pejuang bangsa berkumpul dalam suatu forum dan menyatakan sebuah ikrar yang sangat terkenal sampai saat ini. Para tunas bangsa yang terdiri dari Jong Jawa, Jong Sumatera, Jong Sulawesi, Jong Kalimantan dan masih banyak lagi jong-jong lainnya bersepakat untuk menyatakan diri bersatu dalam satu bangsa, satu bahasa, dan satu tanah air Indonesia. Peristiwa heroik yang memberikan semacam stimulan dan mo dal awal dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dari kolonialisme Belanda ini kemudian dikenal dengan nama Sumpah Pemuda. Karena lahirnya sumpah Pemuda ini tepat tanggal 28 Oktober 1928, maka tiap-tiap tanggal bulan tersebut bangsa Indonesia memperingati hari Sumpah Pemuda. Makna yang dapat kita ambil dari peringatan hari Sumpah Pemuda kali ini adalah semangat dari para pemuda Indonesia diseluruh tanah air ketika itu yang menyatakan diri untuk bersatu dalam tumpah darah bangsa Indonesia. Rasa nasionalisme yang menggelora dalam setiap sanubari para pemuda Indonesia itu patut untuk dijadikan model panutan oleh para pemuda bangsa Indonesia saat ini. Para pemuda bangsa Indonesia yang saat ini dapat dikatakan mengalami krisis nasionalisme harus menjadikan peringatan hari Sumpah Pemuda kali ini sebagai momentum untuk mempertebal jiwa nasionalisme bangsa. Seperti diketahui bahwa ditahun-tahun terakhir ini, khususnya setelah bergulirnya reformasi, bangsa Indonesia mendapat ujian berat masalah nasionalisme bangsa. Beberapa daerah yang rawan konflik sosial secara berentetan menyatakan pernyataan untuk keluar dari ikat an nasionalisme bangsa Indonesia. Daerah-daerah seperti Aceh, Papua, Maluku, dan Riau (meskipun saat ini sudah surut), tanpa dinyana- nyana sebelumnya menginginkan untuk keluar dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mereka beramai-ramai mengusung bendera primordialisme sebagai landasan bagi perjuangan untuk melepaskan diri dari bangsaIndonesia. Singkatnya, bangsa Indonesia mengalami gejala disintegrasi bangsa yang sangat membahayakan. Berbagai gerakan disintegrasi bangsa ini banyak didorong oleh adanya fakta lepasnya TimorTimur dari pangkuan Republik Indonesia melalui jajak pendapat tahun 1999 lalu. Belum lagi ditambah dengan permasalahan konflik politik, kekerasan kolektif dan kerusuhan sosial yang sampai saat ini masih sering terjadi. Berbagai gejala disintegrasi bangsa ini tentunya harus dipahami sebagai sebuah gejala arus balik. Dikatakan sebagai arus balik karena jika ditelusuri dari aras sejarah bangsa, maka kita akan dapat mengetahui bahwa pada tahun 1928 dan 1945, bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai elemen berdasar pluralitas suku, agama, ras, dan golongan ini melakukan langkah maju dan berani, yakni bersatu dalam suatu wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan gagah berani dan semangat nasionalisme membara, para pejuang bangsa ini bersatu untuk kemudian menyatakan diri merdeka lepas dari kungkungan penjajahan asing. Sejak saat itulah, tonggak-tonggak negara Indonesia dimulai dan dipancangkan. Berbagai kalangan pemuda-pemudi pejuang bangsa yang dipimpin oleh Soekarno dan Hatta meletakan dasar-dasar kenegaraan dan pemerintahan. Ada semacam arus utama yang sangat dahsyat yang mendorong berbagai komponen bangsa dari seluruh pelosok tanah air untuk bersatu berdasarkan senasib dan sepenanggungan menderita dijajah oleh bangsa Belanda. Namun, saat ini, kita semua melihat terjadinya arus balik. Artinya, terjadi suatu kenyataan yang sangat ironis dimana berbagai komponen bangsa yang pada masa perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia melakukan semacam gerakan perkuatan kohesifitas menuju entitas nation state, namun saat ini yang terjadi adalah kebalikannya. Komponen bangsa itu mulai mengalami ketidakbetahan berada dalam bingkai nasionalisme Indonesia. Mereka menginginkan untuk kembali lagi seperti dahulu, yakni berjalan sendiri-sendiri. Ini merupakansuatu hal yang sangat ironis dan memprihatinkan karena gejala tersebut adalah gejala kemunduran, bukan kemajuan. Paling tidak terdapat dua faktor yang menyebabkan gejala terjadinya arus balik dari proses berbangsa dan bernegara yang dialami bangsa Indonesia saat ini. Pertamaadalah semakin menguatnya fenomena etnisitas dan etnonasionalisme sempit berbasis pada primordialisme. Primordialisme yang saat ini sedang menggejala dihampir seluruh struktur sosial masyarakat merupakan sebuah antitesa dari konsekuensi represifitas rezim Orde Baru. Rezim militeristik pimpinan Soeharto ini telah menciptakan struktur masyarakat yang sentralitatif, alienatif, marginalitatif, dan monolitik. Karena itu, begitu hegemoni rezim otoriter itu mulai mengalami kehancuran akibat gelombang reformasi, maka kelompok-kelompok sosial yang merasa terpinggirkan ini mulai menampakan diri untuk menunjukan eksistensinya sembari menyampaikan pesan bahwa mereka ingin menciptakan suatu entitas baru berdasarkan norma dan ideologi yang mereka yakini sebelumnya. Lokalitas bagi mereka merupakan pilihan strategis dibanding tetap bergabung dengan ikatan bangsa Indonesia. Kedua, kuatnya penetrasi global yang senantiasa masuk melalui media- media tertentu diseluruh dimensi kehidupan. Kekuatan eksternal berupa penetrasi politik, ekonomi dan budaya ini telah merasuk ke dalam struktur lokalitas bangsa sehingga mendorong entitas-entitas lokal untuk lebih eksesif dalam menghadapi hegemoni negara yang sentralistik. Penetrasi politik bisa melalui masuknya nilai-nilai HAM dan demokrasi alaBarat yang cenderung bersifat sangat liberal dan menekankan pada individualisme. Penetrasi ekonomi berupa mengalirnya aliran modal, investasi, dan hutang luar negeri yang kian hari kian terasa berat beban untuk mengembalikannya. Penetrasi budaya dapat dilihat dari aneka perilaku dan gaya hidup yang konsumeris diseluruh lapisan masyarakat. Berbagai penetrasi global ini telah menciptakan suatu tatanan masyarakat yang sangat terbuka sehingga memungkinkan suatu entitas lokal untuk berinteraksi dengan dunia global tanpa harus melalui mekanisme perangkat legal negara. Akhirnya, globalisasi yang saat ini sedang menggejala dihampir seluruh pelosok dunia ini telah mengkondisikan bagi entitas-entitas lokal untuk lebih berani dalam berinteraksi dengan negara dan bahkan menantang negara yang monolitik. Melihat serangkaian perubahan yang terjadi dalam kaitan interaksi negara dengan masyarakat lokal agar tercapai pemahaman bersama sehingga gejala tarikan disintegrasi bangsa bisa dihindari, maka diperlukan sebuah formula khusus penangananya. Fenomena arus balik yang merebak di Indonesia saat ini harus dipahami dan didekati dalam konteks sejarah bangsa. Artinya, bangsa Indonesia secara keseluruhan perlu diingatkan kembali akan konteks sejarah bangsa bahwa bangsa ini terbentuk oleh komitmen-komitmen bersama yang dibangun oleh para pemuda-pemudi pejuang bangsa yang dilandasi oleh semangat nasionalisme bangsa. Maka dari itu, sudah saatnya momentum hari Sumpah Pemuda ini dijadikan wahana bagi seluruh bangsa Indonesia untuk melakukan proses refleksi diri akan berbagai masalah yang melanda bangsa Indonesia saat ini. Para pemuda bangsa yang kelak akan menjadi pemimpin bangsa sudah selayaknya untuk disumpah agar supaya selalu memegang teguh jiwa dan semangat nasionalisme bangsa yang menekankan pada persatuan dan kesatuan bangsa sebagaimana yang telah ditampilkan oleh para pemuda pada tahun 1928 ketika mereka mendeklarasikan Sumpah Pemuda. Nampaknya, para tunas muda bangsa harus melakukan kembali Sumpah Pemuda atau bahkan disumpah sehingga harapannya kejadian yang terjadi saat ini tidak terjadi pada masa mendatang. Hal ini penting dilakukan mengingat sudah semakin menipisnya jiwa nasio nalisme dan semangat kebangsaan yang dimiliki oleh para tunas muda. Padahal, mereka kelak akan menjadi penerus dan pemimpin bangsa ke depan. Dengan demikian, momentum hari sumpah pemuda sudah seharusnya dijadikan sebagai sarana untuk refleksi sekaligus ajang untuk menjadikan pemuda disumpah; Sumpah nasionalisme atau Sumpah kebangsaan. G. EVALUASI PETUNJUK : SILAHKAN KERJAKAN SOAL DIBAWAH INI! Untuk latihan dirumah 1. Jelaskan apa itu Modernitas, Humanisme dan Krisis Kemanusiaan? 2. Jelaskan Multikulturalisme di Tengah Kultur Monolitik dan Uniformitas Global! 3. Jelskan Radikalisme Etnis Merembet ke Radikalisme Teroris! Sumpah Pemuda atau Pemuda Disumpah F. REFERENSI
1. Kaelan. 2002. Filsafat Pancasila, Pandangan Hidup Bangsa Indonesia.
Yogyakarta: Paradigma 2. Kaelan. 2012. Problem Epistemologis Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara. Yogyakarta: Paradigma 3. Koentjaraningrat. 1974. Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 4. Tim Penyusun. 2016. Buku Ajar Pendidikan Kewarganegaraan. Direktorat Jendral Pembelajaran dan Kemahasiswaan. 5. Tilaar, HAR. 2007. MengIndonesia Etnisitas dan Identitas Bangsa Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta. 6. Torres, Carlos Alberto. 1998. Democracy, Education, and Multiculturalism: Dilemmas of Citizenship in a Global Word. Roman and Littlefield publisher