Anda di halaman 1dari 18

BAHAN AJAR E-LEARNING

MATA KULIAH BELA NEGARA

TOPIK 8

Globalisasi, Modernitas Dan Nasionalisme

OLEH:

INGE ANGELIA, M.Pd.

1001019002

PROGRAM STUDI S1 KEBIDANAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SYEDZA SAINTIKA

2021
IDENTITAS MODUL

a. Identitas Penulis : Inge Angelia, M.Pd.

b. Nama Mata Kuliah : Bela Negara

c. Kode Mata Kuliah : -

d. Jumlah SKS : 2 SKS

e. Pokok Bahasan : Globalisasi, Modernitas Dan Nasionalisme

f. Sub Pokok Bahasan : 1. Modernitas, Humanisme dan Krisis


Kemanusiaan
2. Multikulturalisme di Tengah Kultur
Monolitik dan Uniformitas Global
3. Radikalisme Etnis Merembet ke Radikalisme
Teroris
4. Sumpah Pemuda atau Pemuda Disumpah
MATERI
A. Modernitas, Humanisme Dan Krisis Kemanusiaan
Modernitas sebagai fajar baru dan manifesto perubahaan sosial dalam
sejarah kebudayaan modern Barat pasca renaissance, reformasi, dan aufklarung
(pencerahan, enlightment) telah menjadi mitos laksana sebuah agama baru dalam
kehidupan umat sejagat dewasa ini. Modernitas peradaban Barat pasca abad
tengah ini memiliki mata rantai persentuhan dengan kebudayaan di Italia abad
ke-14 dan kemudian Inggris, Perancis dan Jerman pada abad ke-17 dan ke-
18. Persambungan budaya ini telah menjadikan modernitas hadir sebagai
hegemoni baru yang merambah ke seluruh penjuru dunia hingga akhir abad ke-20
dan menjadi kiblat peradaban dunia (core civilization).
Pengaruh proyek modernitas peradaban Barat yang dibalut oleh temali
kapitalisme global dan mengangkut nilai-nilai individualliberal serta dikemas
dalam tema globalisasi sangat terasa dan kentara dalam kehidupan sosial
masyarakat ketimuran. Arus modernisasi telah menggeser, dan mungkin juga
melenyapkan, budaya lokal yang saat ini berkembang dan dianut oleh masyarakat
lokal setempat dan Modernitas sebagai fajar baru dan manifesto perubahaan
sosial dalam sejarah kebudayaan modern Barat pasca renaissance, reformasi, dan
aufklarung (pencerahan, enlightment) telah menjadi mitos laksana sebuah agama
baru dalam kehidupan umat sejagat dewasa ini. Modernitas peradaban Barat pasca
abad tengah ini memiliki mata rantai persentuhan dengan kebudayaan di Italia
abad ke-14 dan kemudian Inggris, Perancis dan Jerman pada abad ke-17
dan ke-18. Persambungan budaya ini telah menjadikan modernitas hadir
sebagai hegemoni baru yang merambah ke seluruh penjuru dunia hingga akhir
abad ke-20 dan menjadi kiblat peradaban dunia (core civilization).
Pengaruh proyek modernitas peradaban Barat yang dibalut oleh temali
kapitalisme global dan mengangkut nilai-nilai individualliberal serta dikemas
dalam tema globalisasi sangat terasa dan kentara dalam kehidupan sosial
masyarakat ketimuran. Arus modernisasi telah menggeser, dan mungkin juga
melenyapkan, budaya lokal yang saat ini berkembang dan dianut oleh masyarakat
lokal setempat dan masa keruntuhan pada 1258 di Bagdad beralih ke peradaban
Barat pasca abad tengah.
Modernitas telah menjadi suatu mazhab kemajuan yang berlaku umum
dan kerapkali beralih fungsi sebagai alat kategorisasi sosial yang ekstrem atas
struktur sosial yang masih tradisionalitas. Bahkan, modernitas telah dijadikan alat
verifikasi atau pengujian atas kebenaran universal dan obat mujarab dalam
mengatasi keterbelakangan, kemiskinan, dan kekerasan massal yang seringkali
terjadi di negara Dunia Ketiga. Kisah-kisah agung modernitas yang dirajut oleh
para ilmuwan barat tentang kemajuan zaman modern telah melahirkan faham
humanisme. Hal ini ditandai dengan pergeseran perkembangan manusia dari
makhluk spiritual menjadi makhluk materiallis. Lewat corong modernitas,
humanisme mempromosikan potensi manusia melebihi batas-batas fitrahnya.
Manusia bagai superman yang merasa dirinya unggul karena penemuan sains
dan teknologi lewat otaknya. Mereka menganggap alam sebagai obyek yang harus
dieksploitasi semaksimal mungkin untuk kepentingan manusia tanpa
mengindahkan ramburambu yang ada. Mereka tidak sadar bahwa dirinya adalah
makhluk budaya yang tidak terlepas dari lingkungan alam dan manusia lain di
sekitarnya. Akibatnya, terjadi krisis identitas manusia itu sendiri.
Menurut Frans Magnis-Suseno, humanisme modern yang berkembang
saat ini sebenarnya telah ada sejak zaman Antik yang berpusat di Romawi dua
ribu tahun yang lalu. Dalam perkembangannya, humanisme modern terbelah ke
dalam dua sempalan. Pertama, humanisme seimbang atau moderat yang
menjunjung tinggi keluhuran manusia, keterbukaan nilai, toleransi,
universalisme dan religiositas yang dekat dengan alam. Kedua, humanisme
sekular atau anti agama. Artinya, agama difahami sebagai takhayul, ilusi, candu,
bentuk keterasingan manusia, dan keterikatan manusia pada irasionalitas sehingga
manusia hanya dapat menemukan dirinya apabila membebaskan diri dari agama.
Saat ini, humanisme yang dominan dalam alam pikiran manusia adalah
humanisme sekular atau anti agama. Akibatnya, manusia mengalami kekosongan
nilai sehingga sangat rawan jika melakukan interaksi dengan manusia lain. Gejala
ingin menguasai orang lain, ancaman terorisme, munculnya kekerasan massal, dan
kerusuhan sosial yang berbau primordialisme merupakan bentuk dan sekaligus
konsekuensi dari merebaknya humanisme sekular. Modernitas, nihilisme, dan
humanisme sekular telah mengalahkan humanisme moderat yang penuh dengan
nilai-nilai moral-keagamaan. Menipisnya nilai-nilai moral-keagamaan inilah
yang menyebabkan terjadinya krisis kemanusiaan. Artinya, manusia telah
kehilangan identitas dan jati dirinya.
Kecenderungan krisis kemanusiaan ini sebenarnya telah disinyalir oleh
Erich Fromm, tokoh psikoanalisa yang banyak merefleksikan kehidupan manusia
modern. Menurut Fromm, Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern
telah mengantarkan manusia pada periode “bebas dari”, tetapi pada saat yang
sama manusia tidak “bebas untuk”. Artinya, ilmu pengetahunan dan teknologi
memang telah membebaskan manusia dari kemiskinan dan kebodohan. Tetapi,
Pada sisi yang lain telah membelenggu manusia itu sendiri dan ketergantungan
manusia pada teknologi. Catatan sejarah menunjukan bahwa kehidupan umat
manusia selalu diliputi oleh ancaman dan krisis kemanusiaan. Perang Dunia I dan
II, perang Dingin, Perang Vietnam, dan perang Teluk adalah sederetan contoh
krisis kemanusiaan dunia yang memakan banyak korban.
Akankah peristiwa mengerikan ini terulang lagi di abad ke-21 ini?.
Sulit untuk menjawabnya. Tetapi, yang jelas tragedi WTC dan Pentagon, 11
september lalu merupakan awal yang buruk dalam menata kemanusiaan abad ini.
Nampaknya, tema terorisme akan muncul ke permukaan dan menjadi musuh
bersama (common enemy)bagi seluruh bangsa yang cinta perdamaian dan
kemanusiaan. Ciri dan karakteristik modernitas yang lahir dari rahim peradaban
Barat dan menjadi model perilaku umat manusia sebenarnya memi-liki tiga
dimensi kecenderungan.Pertama, dimensi kemanusiaan yang tidak bertuhan
(humanisme) yang mengandung gagasan dikotomis untuk memisahkan dunia dari
akherat. Kedua, dimensi materi yang tidak bertuhan (materialisme) yang
menganggap realitas kehidupan ini hanya materi. Ketiga, dimensi perilaku yang
tidak bertuhan (atheisme). Artinya, manusia tidak punya waktu sedikitpun untuk
merenungkan, menghayati dan menuruti perintah Tuhan. Ketiga dimensi
kecenderungan inilah yang telah menyebabkan bangsa Indonesia dihantam oleh
badai krisis multidimensional dan terancam dalam jurang kebangkrutan.
Meletusnya kerusuhan etnis di Sambas, Sampit, Poso, dan Ambon adalah wujud
dari krisis kemanusiaan yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini. Bahkan, gejala
separatisme dan disintegrasi semakin kuat gemanya diwilayah Aceh dan Papua.
Celakanya, para pejabat dan elit politik banyak yang terlibat dalam perilaku KKN
(Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) dan kepentingan meraih kekuasaan sehingga
lupa terhadap tanggung jawab kemanusiaannya.
Kompleksitas permasalahan bangsa Indonesia ini harus ditanggulangi
secara cepat dan tepat dengan berpegang teguh pada moralitas yang tinggi (hi-mo,
high morality),bukan teknologi tinggi (hi-tech, high tecnology). Oleh karena itu,
perlu pengembangan sebuah etos kemanusiaan baru yang berdasarkan pada
kemanusiaan yang adil dan beradab sesuai dengan sila kedua dari Pancasila. Cita-
cita humanistik ini tidak mesti menjauhkan diri dari norma ketuhanan. Adalah
panggilan orang-orang beragama untuk membuktikan dengan sikap dan
kelakuan nyata bahwa keagamaan bukan halangan bagi sikap yang
menghormati martabat manusia dan melihat perbedaan, pluralitas, dan
keragaman sebagai sesuatu yang harus diakui dan dihormati. Pengembangan etos
kemanusiaan baru diharapkan dapat menjadi obat mujarab bagi maraknya aksi
kekerasan, kerusuhan, dan terorisme anti kemanusiaan–keagamaan yang selama
ini mewarnai dinamika kehidupan masyarakat indonesia pasca-reformasi.
Masyarakat yang memiliki etos kemanusiaan baru bercirikan kemanusiaan yang
adil dan beradab dimana secara struktural-institusional, norma-norma : hukum,
adat istiadat serta moralitas keagamaan dijunjung tinggi oleh individu-individu
dalam masyarakat.
Pluralitas dan keragaman masyarakat indonesia harus dibangun dengan
nilai-nilai kemanusiaan baru yang menjamin toleransi antar kelompok agama,
menjaga hak-hak dasar manusia, menolak kekerasan untuk memecahkan masalah
bangsa, mengembangkan budaya dialog, dan menjalin solidaritas bangsa yang saat
ini mengalami carut marut sebagai konsekuensi dari krisis kemanusiaan. Format
dan karakteristik kemanusiaan lama yang dibangun secara biasoleh rezim
hegemonik Orde Baru sudah saatnya didekonstruksi karena terbukti hanya
menciptakan “bom waktu” meledaknya kekerasan kolektif-etnik dan diganti
dengan etos kemanusiaan baru yang lebih pluralistik, adil dan beradab.
B. Multikulturalisme Di Tengah Kultur Monolitik Dan Uniformitas Global
Wacana tentang multikulturalisme mulai menguat dan memperoleh
tempat yang utama dalam kajian perubahan sosial dan budaya ketika realitas
kehidupan di penghujung abad ke-20 dan awal abad ke-21 menunjukkan
keanekaragaman budaya dengan berbagai corak budayanya yang hadir
ditengah-tengah masyarakat. Multikulturalisme dipakai sebagai perangkat
analisa atau perspektif untuk memahami dinamika keanekaragaman latar
belakang budaya, perbedaan sejarah, suku, bangsa, rasial, golongan, dan agama.
Masyarakat multikultural tidak bersifat homogen, namun memiliki
karakteristik heterogen dimana pola-pola hubungan sosial antar individu
dalam masyarakat bersifat toleran dan harus menerima kenyataan untuk hidup
berdampingan secara damai (peace co-existence) satu sama lain dengan
perbedaan-perbedaan yang melekat pada setiap entitas sosial dan politiknya.
Secara mudah dapat dikatakan bahwa multikulturalisme merupakan suatu
konsep yang ingin membawa masyarakat dalam kerukunan dan perdamaian, tanpa
ada konflik dan kekerasan, meskipun didalamnya terdapat kompleksitas
perbedaan.
Sebagai sebuah formula dan format baru dalam agenda perubahan sosial,
multikulturalisme dihadapkan pada kenyataan adanya arus globalisasi yang
menjangkiti seluruh segmen kehidupan masyarakat baik pada level
primordialisme (kedaerahan), nation state (negara bangsa), maupun pada level
dunia internasional (world system). Proses mengglobalnya nilai-nilai budaya,
life style, falsafah, kebiasaan, dan institusi-institusi yang berasal dari Barat –
sebagai asal mula dan sumber globalisasi kedalam seluruh aspek kehidupan
masyarakat mulai dari masalah politik, ekonomi, sosial-budaya, hiburan,
pendidikan, sampai dengan urusan selera “perut” dan “aurat” harus dipahami
sebagai proses penyeragaman dan pembaratan budaya .
Globalisasi yang membawa misi homogenisasi, westernisasi, dan
uniform Lintas budaya ini sangat bertentangan dengan gagasan multikulturalisme
yang ber platform pluralis, humanis, dan menjaga heterogenitas budaya sebagai
sesuatu yang alamiah (nature). Padahal, globalisasi adalah fenomena yang tidak
bisa dipungkiri dan dihindari hadir ditengah-tengah kehidupan masyarakat yang
saat ini sedang mengalami krisis kebudayaan. Globalisasi telah berubah dari
sebuah mitos menjadi realitas yang yang bersifat kongkret dan empirik. Dalam
sejarah perkembangannya, globalisasi merupakan suatu mata rantai dan
mempunyai persentuhan proses dengan kolonialisme dan imperilaisme di abad
ke-16 sampai ke-19, modernisasi diabad ke-20, dan kapitalisme global
dipenghujung abad ke-20. Kecanggihan teknologi komunikasi, informasi dan
transportasi mendorong globalisasi mengalami percepatan yang luar biasa pesat.
Menurut Anthony Giddens (1999), globalisasi telah melahirkan ruang
sosio-kultural yang spektakuler dalam hubungan antar bangsa dan interkoneksi
yang melampaui batas-batas geografis dan kedaulatan negara. Dalam kaitan ini,
penetrasi globalisasi membawa tiga dampaksiginfikan. Pertama, mulai meluntur
dan mengendurnya ikatan-ikatan negara bangsa sebagai hasil dari pergulatan
antara kedaulatan negara versus kapitalisme global. Pola “tekanan ke atas”
penetrasi globalisasi ini cenderung mengarah pada integrasi sosial-budaya
dibawah naungan kultur Barat sebagai kultur yang dominan. Kedua, pola
“tekanan ke bawah”. Artinya, globalisasi telah membuka katub-katub peluang
bagi bangkitnya identitas budaya lokal (local culture) yang selama ini sedang
terbuai oleh kemasan ikatan nasionalisme budaya yang didasarkan pada negara
bangsa. Lokalitas dan kultur monolitik yang mendasarkan diri pada etnisitas,
kesukuan, dan primordialisme ini mulai meneguhkan diri vis to visidentitas
nasional yang saat ini mengalami pengenduran. Secara politis, gejala ini
diindikasikan dengan merebaknya tuntutan dari berbagai daerah atau wilayah
yang ingin melepaskan diri dari ikatan negara bangsa. Gerakan separtisme dan
disintegrasi bangsa, khususnya yang saat ini melanda indonesia merupakan salah
satu contoh dari penetrasi globalisasi jenis ini.Ketiga, pola “desakan ke
samping”. Artinya, kecenderungan penetrasi globalisasi telah menciptakan
domain ekonomi dan kultural baru yang melintasi batas-batas negara bangsa
yang selama ini ada. Penetrasi globalisasi yang membawa slogan-slogan
liberalisme pasar dan perdagangan bebas telah membawa Dunia pada blok-blok
perdagangan dan aliansi-aliansi ekonomi yang terbungkus dalam kapitalisme
global. Lahirnya Uni Eropa merupakan contoh kongkret dari gelombang
sentrifugal globalisasi. Jika dilihat lebih mendalam, pola-pola penetrasi globalisasi
ini menimbulkan suatu paradoks. Disatu sisi, globalisasi melakukan gerak meluas
ke wilayah global melalui teknologi komunikasi dan informasi. Namun di sisi
lain, globalisasi telah menstimulan tumbuhnya identitas-identitas lokal yang
primordial. Meskipun begitu, yang perlu diwaspadai adalah proses uniformitas
nilai yang mengarah pda hegemoni budaya. Banyak kalangan awam dalam
masyarakat, khususnya yang tidak peduli dengan masalah sosial budaya, tidak
menyadari bahwa pola kehidupannya sehari-hari telah didominasi oleh kultur
asing yang pada tahap-tahap tertentu tidak sesuaii dengan budaya lokal. Mereka
tidak sadar bahwa dilingkungan sekitarnya telah terjadi proses uniformitas
budaya. Mereka larut dan terbius oleh arus budaya pop dan lyfe style yang lagi
nge-trend. Padahal, mereka tidak memahami makna dan substansi dari
penampilan budaya yang demikian.
Ancaman hegemoni budaya (culture hegemony) yang tersembunyi dibalik
gelombang globalisasi semakin kuat terasa di era modern sekarang ini. Pada
hakikatnya, hegemoni budaya ini sangat berlawanan dengan multikulturalisme
yang lebih menekankan pada pluralitas dan heterogenitas budaya sebagai sebuah
mozaik dan kekayaan bangsa. Hegemoni budaya ingin melakukan proses
pendominasian budaya yang beranekaragam itu dalam kendalinya. Tentunya,
gejala yang demikian sangat membahayakan eksistensi budaya-budaya yang lain.
Secara historis, hegemoni budaya yang saat ini sedang gencargencarnya
dipropagandakan oleh Barat melalui media globalisasi telah ada sejak masa
kolonialisme dan imperialisme. Jika pada abad ke-19, kedatangan bangsa-bangsa
Barat membawa modernisasi hadir bersamaan dengan perluasan kapitalisme dan
kolonialisme politik serta ekonomi, maka pada penghujung abad ke-20 dan awal
abad ke-21, kehadiran budaya universal juga ikut membawa muatan budaya dan
peradaban Barat. Gejala seperti ini menurut Huntington akan menimbulkan titik
picu bagi konflik atau benturan peradaban dengan kebudayaan-kebudayaan lain.
Saat ini, proses hegemoni budaya sebenarnya telah melanda kehidupan
masyarakat berbangsa dan bernegara baik yang berdimensi politik, ekonomi,
maupun sosial. Secara politis, Demokrasi liberal Barat telah menjadi model
yang didambakan setiap negara dalam sistem kenegaraannya. Secara
ekonomi, kapitalisme global Barat selalu menjadi referensi bagi negara yang
ingin maju pertumbuhanekonominya. Dan secara sosial, masyarakat telah
terkooptasi oleh nilai-nilai individualisme Barat, hedonisme, dan
konsumerisme. Ini semua tentu sangat berlawanan dengan budaya mereka sendiri
yang menjunjung tinggi nilai-nilai ketimuran. Ketidakberdayaan melawan
gempuran luar dan ketidakberanian menampilkan identitas budaya sendiri
akan mengakibatkan suatu entitas sosial menjadi korban dari hegemoni budaya.
Saat ini bangsa indonesia tengah menghadapi arus ganda permasalahan seputar
identitas nasional kebudayaannya. Di satu sisi, harus menghadapi gempuran
gelombang globalisasi yang membawa peradaban universal (universal
civilization) beserta dampak ikutan lainnya, seperti uniformitas, homogenisasi,
westernisasi,dan hegemoni budaya. Di lain sisi, tengah berhadapan dengan
masalah-masalah internal dalam kebudayaannya sendiri baik yang muncul sebagai
akibat dinamika nasional maupun persentuhannya dengan penetrasi globalisasi.
Contoh dari gejala ini adalah munculnya radikalisme etnik yang cenderung
mengarah pada disintegrasi bangsa.
Melihat dua kenyataan dilematis ini, diperlukan suatu format baru
dalam menata kembali konstelasi budaya lokal indonesia yang terbungkus dalam
mozaik kebudayaan nasional, yang sebenarnya saat ini telah mengalami carut
marut dan tercerabut oleh konflik etnik dan kekerasan kolektif. Oleh karena itu,
multikulturalisme (plural culture) seharusnya dijadikan paradigma baru
menggantikan konsep masyarakat majemuk (plural society) yang selama ini
diterapkan oleh rezim militer Orde Baru. Masyarakat majemuk yang
menekankan pada keanekaragaman suku bangsa tidak akan mungkin mewujudkan
masyarakat sipil yang demokratis dan sudah saatnya digeser menjadi ideologi
keanekaragaman budaya atau multikulturalisme yang mempunyai cakupan tidak
hanya budaya etnik, tapi juga berbagai budaya lokal yang diposisikan secara
sederajat.
Multikulturalisme merupakan suatu strategi dari integrasi sosial dimana
keanekaragaman budaya benar-benar diakui dan dihormatisehingga dapat
difungsikan secara efektif dalam menengarai setiap isu separatisme dan
disintegrasi sosial. Pengalaman mengajarkan bahwa bukan semangat
kemanunggalan atau ketunggalan (“tunggal ika”) yang paling potensial akan
melahirkan persatuan yang kuat, melainkan pe ngakuan akan adanya pluralitas
(“bhineka”) budaya bangsa inilah yang lebih menjamin persatuan bangsa menuju
pembaharuan sosial yang demokratis. Dengan demikian, perlu proses
penyadaran diantara masingmasing budaya lokal untuk saling mengakui dan
menghormati keanekaragaman identitas budaya yang dibalut oleh semangat
kerukunan dan perdamaian. Keanekaragaman budaya ini dapat diilustrasikan
bagai bintang-bintang dilangit yang bertebaran bak mutiara menghiasi jagad raya.
Dalam konteks ini, peranan negara sebaiknya hanya menfasilitasi bagi terciptanya
toleransi antar entitas sosial budaya, dan bukan memainkan perana intervensi-
represifyang dapat menimbulkan resistensi dan radikalisasi kultural sebagaimana
terjadi pada rezim korporatis Orde baru.
C. Radikalisme Etnis Merembet Ke Radikalisme Teroris
Pada masa awal-awal reformasi, radikalisme dan militansi yang merebak
di Indonesia adalah radikalisme etnik. Hal ini ditandai dengan berbagai
kekerasan kolektif dan kerusuhan sosial di Sampit, Poso, dan Ambon.
Selanjutnya, radikalisme etnik ini kemudian menjalar pada radikalisme kesukuan,
golongan, dan agama. Akhirnya, gejala disintegrasi bangsa menjadi fenomena
penting yang mendapat perhatian serius waktu itu. Bentuk-bentuk radikalisme
etnik ini telah menelan korban ratusan, dan bahkan ribuan nyawa melayang. Saat
ini, radikalisme etnik untuk sementara waktu meredup digeser oleh
radikalisme teroris. Menguatnya radikalisme teroris ini dalam konteks
Indonesia telah ada secara dominatif sejak terjadinya rentetan peristiwa
pengeboman di berbagai Gereja pada malam Natal, peledakan bom di Atrium
Senin, pengeboman Masjid Istiqlal, dan bom di Kedubes Filipina di Jakarta.
Puncak dari rangkaian aksi pengeboman ini adalah tragedi bom di Legian, Kuta,
Bali, I2 Oktober 2002 lalu yang menewaskan lebih dari I80 orang tewas dan 300
orang luka berat ringan, yang kemudian disusul dengan berbagai aksi teroris di
berbagai wilayah Indonesia saat ini.
Sebagai bangsa yang menjunjung tinggi kemanusiaan dan keberagaman,
sudah sepatutnya jika kita semua mengutuk berbagai aksi radikalisme teroris
yang selama ini menghantui bangsa Indonesia. Biar bagaimanapun juga, dampak
dari radikalisme teroris yang menjangkiti berbagai kelompok dan gerakan sosial
sangat bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan norma-norma
keagamaan. Meskipun tujuan dari kelompok-kelompok radikalisme teroris ini
ingin menegakkan hukum dan keadilan Tuhan, tapi cara-cara yang mereka
pergunakan telah melanggar hukum dan keadilan Tuhan itu sendiri. Disamping
itu, yang perlu dipegang teguh adalah bahwa terorisme dan segala bentuknya
jangan disangkutpautkan dengan agama.
Kecenderungan radikalisme teroris terletak pada individu atau
personel masing-masing. Bahkan secara lugas dapat dikatakan bahwa para
pelaku tindak teroris itu adalah manusia-manusia yang tidak beragama dan tidak
bertuhan. Sebab, manusia yang beragama tidak akan melakukan perbuatan biadab
seperti itu. Semakin menguatnya gejala radikalisme teroris di Indonesia saat ini
tentunya akan berdampak pada terjadinya benturan-benturan antar berbagai
kelompok masyarakat dengan pemerintah. Di samping itu, isu-isu terorisme telah
mempengaruhi proses penciptaan dan pengembangan pluralitas budaya dan
manusia. Tatanan sosial masyarakat, yang ketika meletup reformasi bercerai-
berai dan ingin ditransformasi dalam wadah multikulturalisme, akan
mengalami hambatan serius apabila isu terorisme semakin mempengaruhi
struktur sosial masyarakat. Konsepsi multikulturalisme yang intinya menekankan
pada pengakuan dan penghormatan terhadap kebhinekaan dan perbedaan
yang selama ini akan dikembangkan dalam konteks kebangsaan Indonesia
akan berhadapan secara tajam dengan isu-isu terorisme yang berkembang akhir-
akhir ini. Dikatakan demikian karena radikalisme teroris yang disinyalir
menghinggapi sebagian kelompok-kelompok dan gerakan-gerakan sosial
masyarakat tidak mengenal akan perbedaan dan kebhinekaan.
Perspektif terorisme tidak mengedepankan pada kebersamaan dan
pluralisme, melainkan hanya menekankan pada uniformitas yang monolitik.
Selain itu, terorisme tidak memprioritaskan pada upayaupaya dialog,
melainkan langsung pada tindak kekerasan yang membahayakan. Hal ini sangat
bertentangan dengan perspektif multikulturalisme yang mendasarkan diri pada
saluran dialog, kebersamaan, kemanusiaan, penghormatan antar manusia, dan
pengakuan akan perbedaan. Bagaimanapun juga, kita semua tidak menginginkan
bangsa ini menjadi bangsa yang memiliki cap “Republik Teror”. Oleh karena
itu,Tragedi bom Bali harus dijadikan momentum yang tepat untuk
menyadarkan kepada bangsa Indonesia bahwa isu-isu terorisme akan sangat
membahayakan semangat multikulturalisme di tengah-tengah kehidupan sosial
masyarakat. Terorisme adalah musuh baru multikulturalisme.
Melihat betapa bahayanya permasalahan terorisme di Indonesia ini
terhadap persatuan bangsa dan pengembangan multikulturalisme yang sedang
dibangun, maka perlu diupayakan sebuah strategi untuk menangkalnya secepat
mungkin. Salah satu cara yang efektif untuk itu adalah langkah penguatan
masyarakaat sipil (civil sosiety)yang ada dalam masyarakat Indonesia. Seluruh
komponen masyarakat sipil mulai dari partai politik, Lembaga Swadaya
Masyarakat, Organisasi Sosial, Organisasi Keagamaan, Komunitas Intelektual
Kampus, Masyarakat Pers dan komponen masyarakat lainnya harus senantiasa
bersatupadu, saling berdialog, tukar informasi dan merapatkan barisan demi cegah
tangkal praktek terorisme.
Konsolidasi masyarakat sipil ini sangat penting mengingat saat ini negara
sebagai unit politik formal tidak mampu lagi memberikan rasa aman dan
kedamaian pada rakyatnya dari ancaman terorisme. Struktur negara seperti
Eksekutif (Birokrasi dan aparat penegak hukum: Polri, Kejaksaan, TNI),
Legislatif (MPR/DPR) dan Yudikatif (Lembaga Peradilan) telah gagal dalam
menciptakan tertib sosial masyarakat. Padahal, tujuan utama dibentuknya negara
adalah kontrak sosial dari seluruh elemen masyarakat untuk secara bersama
mendelegasikan kekuasaan kepada negara untuk menciptakan kondisi yang
kondusif bagi interaksi hak dan kewajiban antar individu dalam masyarakat.
Merebaknya aksi-aksi terorisme telah menggangu dan merampas hak
hidup dan hak untuk aman dari rakyat. Sudah selayaknya bagi rakyat menuntut
rezim penguasa berkait dengan terganggunya hakhak mereka. Tidak berhenti
disitu saja, segenap elemen masyarakat harus mengonsolidasi diri demi keamanan
masing-masing dari ancaman terorisme. Penguatan masyarakat sipil bisa
dilakukan secara nyata dengan saling tukar informasi, saling dialog, saling
bekerjasama sehingga akan tercapai suatu kesepakatan dan gerakan moral
sosial yang kuat sehingga persatuan dan kesatuan bangsa bisa terjaga. Selain itu,
dengan ditumbuhkembangkan budaya dialog, diskusi, dan tukar informasi
masing-masing komponen masyarakat akan mendorong percepatan timbulnya
budaya multikulturalisme yang selama ini ingin dikembangkan secara
bersama.
D. Sumpah Pemuda Atau Pemuda Disumpah?
Tepat tanggal 28 Oktober 1928, bangsa Indonesia menapaki sebuah
perjuangan kemerdekaan yang sangat monumental dan bersejarah. Saat itu,
tanpa ada paksaan alias dengan kesadaran hati yang bersih, berbagai elemen
bangsa yang terdiri dari para pemuda dan pemudi pejuang bangsa berkumpul
dalam suatu forum dan menyatakan sebuah ikrar yang sangat terkenal
sampai saat ini. Para tunas bangsa yang terdiri dari Jong Jawa, Jong Sumatera,
Jong Sulawesi, Jong Kalimantan dan masih banyak lagi jong-jong lainnya
bersepakat untuk menyatakan diri bersatu dalam satu bangsa, satu bahasa, dan
satu tanah air Indonesia.
Peristiwa heroik yang memberikan semacam stimulan dan mo dal awal
dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dari kolonialisme Belanda ini
kemudian dikenal dengan nama Sumpah Pemuda. Karena lahirnya sumpah
Pemuda ini tepat tanggal 28 Oktober 1928, maka tiap-tiap tanggal bulan tersebut
bangsa Indonesia memperingati hari Sumpah Pemuda. Makna yang dapat kita
ambil dari peringatan hari Sumpah Pemuda kali ini adalah semangat dari para
pemuda Indonesia diseluruh tanah air ketika itu yang menyatakan diri untuk
bersatu dalam tumpah darah bangsa Indonesia. Rasa nasionalisme yang
menggelora dalam setiap sanubari para pemuda Indonesia itu patut untuk
dijadikan model panutan oleh para pemuda bangsa Indonesia saat ini. Para
pemuda bangsa Indonesia yang saat ini dapat dikatakan mengalami krisis
nasionalisme harus menjadikan peringatan hari Sumpah Pemuda kali ini sebagai
momentum untuk mempertebal jiwa nasionalisme bangsa. Seperti diketahui
bahwa ditahun-tahun terakhir ini, khususnya setelah bergulirnya reformasi, bangsa
Indonesia mendapat ujian berat masalah nasionalisme bangsa. Beberapa daerah
yang rawan konflik sosial secara berentetan menyatakan pernyataan untuk
keluar dari ikat an nasionalisme bangsa Indonesia. Daerah-daerah seperti
Aceh, Papua, Maluku, dan Riau (meskipun saat ini sudah surut), tanpa dinyana-
nyana sebelumnya menginginkan untuk keluar dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Mereka beramai-ramai mengusung bendera primordialisme sebagai
landasan bagi perjuangan untuk melepaskan diri dari bangsaIndonesia.
Singkatnya, bangsa Indonesia mengalami gejala disintegrasi bangsa yang
sangat membahayakan. Berbagai gerakan disintegrasi bangsa ini banyak didorong
oleh adanya fakta lepasnya TimorTimur dari pangkuan Republik Indonesia
melalui jajak pendapat tahun 1999 lalu. Belum lagi ditambah dengan
permasalahan konflik politik, kekerasan kolektif dan kerusuhan sosial yang
sampai saat ini masih sering terjadi.
Berbagai gejala disintegrasi bangsa ini tentunya harus dipahami sebagai
sebuah gejala arus balik. Dikatakan sebagai arus balik karena jika ditelusuri dari
aras sejarah bangsa, maka kita akan dapat mengetahui bahwa pada tahun 1928 dan
1945, bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai elemen berdasar pluralitas suku,
agama, ras, dan golongan ini melakukan langkah maju dan berani, yakni bersatu
dalam suatu wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan gagah
berani dan semangat nasionalisme membara, para pejuang bangsa ini bersatu
untuk kemudian menyatakan diri merdeka lepas dari kungkungan penjajahan
asing. Sejak saat itulah, tonggak-tonggak negara Indonesia dimulai dan
dipancangkan.
Berbagai kalangan pemuda-pemudi pejuang bangsa yang dipimpin
oleh Soekarno dan Hatta meletakan dasar-dasar kenegaraan dan pemerintahan.
Ada semacam arus utama yang sangat dahsyat yang mendorong berbagai
komponen bangsa dari seluruh pelosok tanah air untuk bersatu berdasarkan
senasib dan sepenanggungan menderita dijajah oleh bangsa Belanda. Namun, saat
ini, kita semua melihat terjadinya arus balik. Artinya, terjadi suatu kenyataan yang
sangat ironis dimana berbagai komponen bangsa yang pada masa perjuangan
kemerdekaan bangsa Indonesia melakukan semacam gerakan perkuatan
kohesifitas menuju entitas nation state, namun saat ini yang terjadi adalah
kebalikannya. Komponen bangsa itu mulai mengalami ketidakbetahan berada
dalam bingkai nasionalisme Indonesia. Mereka menginginkan untuk kembali
lagi seperti dahulu, yakni berjalan sendiri-sendiri. Ini merupakansuatu hal yang
sangat ironis dan memprihatinkan karena gejala tersebut adalah gejala
kemunduran, bukan kemajuan.
Paling tidak terdapat dua faktor yang menyebabkan gejala terjadinya
arus balik dari proses berbangsa dan bernegara yang dialami bangsa
Indonesia saat ini. Pertamaadalah semakin menguatnya fenomena etnisitas dan
etnonasionalisme sempit berbasis pada primordialisme. Primordialisme yang
saat ini sedang menggejala dihampir seluruh struktur sosial masyarakat
merupakan sebuah antitesa dari konsekuensi represifitas rezim Orde Baru. Rezim
militeristik pimpinan Soeharto ini telah menciptakan struktur masyarakat yang
sentralitatif, alienatif, marginalitatif, dan monolitik. Karena itu, begitu hegemoni
rezim otoriter itu mulai mengalami kehancuran akibat gelombang reformasi, maka
kelompok-kelompok sosial yang merasa terpinggirkan ini mulai menampakan
diri untuk menunjukan eksistensinya sembari menyampaikan pesan bahwa
mereka ingin menciptakan suatu entitas baru berdasarkan norma dan ideologi
yang mereka yakini sebelumnya. Lokalitas bagi mereka merupakan pilihan
strategis dibanding tetap bergabung dengan ikatan bangsa Indonesia.
Kedua, kuatnya penetrasi global yang senantiasa masuk melalui media-
media tertentu diseluruh dimensi kehidupan. Kekuatan eksternal berupa penetrasi
politik, ekonomi dan budaya ini telah merasuk ke dalam struktur lokalitas bangsa
sehingga mendorong entitas-entitas lokal untuk lebih eksesif dalam menghadapi
hegemoni negara yang sentralistik.
Penetrasi politik bisa melalui masuknya nilai-nilai HAM dan demokrasi
alaBarat yang cenderung bersifat sangat liberal dan menekankan pada
individualisme. Penetrasi ekonomi berupa mengalirnya aliran modal, investasi,
dan hutang luar negeri yang kian hari kian terasa berat beban untuk
mengembalikannya. Penetrasi budaya dapat dilihat dari aneka perilaku dan gaya
hidup yang konsumeris diseluruh lapisan masyarakat. Berbagai penetrasi global
ini telah menciptakan suatu tatanan masyarakat yang sangat terbuka sehingga
memungkinkan suatu entitas lokal untuk berinteraksi dengan dunia global tanpa
harus melalui mekanisme perangkat legal negara. Akhirnya, globalisasi yang saat
ini sedang menggejala dihampir seluruh pelosok dunia ini telah mengkondisikan
bagi entitas-entitas lokal untuk lebih berani dalam berinteraksi dengan negara dan
bahkan menantang negara yang monolitik.
Melihat serangkaian perubahan yang terjadi dalam kaitan interaksi negara
dengan masyarakat lokal agar tercapai pemahaman bersama sehingga gejala
tarikan disintegrasi bangsa bisa dihindari, maka diperlukan sebuah formula khusus
penangananya. Fenomena arus balik yang merebak di Indonesia saat ini harus
dipahami dan didekati dalam konteks sejarah bangsa. Artinya, bangsa Indonesia
secara keseluruhan perlu diingatkan kembali akan konteks sejarah bangsa bahwa
bangsa ini terbentuk oleh komitmen-komitmen bersama yang dibangun oleh para
pemuda-pemudi pejuang bangsa yang dilandasi oleh semangat nasionalisme
bangsa. Maka dari itu, sudah saatnya momentum hari Sumpah Pemuda ini
dijadikan wahana bagi seluruh bangsa Indonesia untuk melakukan proses
refleksi diri akan berbagai masalah yang melanda bangsa Indonesia saat ini. Para
pemuda bangsa yang kelak akan menjadi pemimpin bangsa sudah selayaknya
untuk disumpah agar supaya selalu memegang teguh jiwa dan semangat
nasionalisme bangsa yang menekankan pada persatuan dan kesatuan bangsa
sebagaimana yang telah ditampilkan oleh para pemuda pada tahun 1928 ketika
mereka mendeklarasikan Sumpah Pemuda.
Nampaknya, para tunas muda bangsa harus melakukan kembali
Sumpah Pemuda atau bahkan disumpah sehingga harapannya kejadian yang
terjadi saat ini tidak terjadi pada masa mendatang. Hal ini penting dilakukan
mengingat sudah semakin menipisnya jiwa nasio nalisme dan semangat
kebangsaan yang dimiliki oleh para tunas muda. Padahal, mereka kelak akan
menjadi penerus dan pemimpin bangsa ke depan. Dengan demikian, momentum
hari sumpah pemuda sudah seharusnya dijadikan sebagai sarana untuk refleksi
sekaligus ajang untuk menjadikan pemuda disumpah; Sumpah nasionalisme
atau Sumpah kebangsaan.
G. EVALUASI
PETUNJUK : SILAHKAN KERJAKAN SOAL DIBAWAH INI! Untuk
latihan dirumah
1. Jelaskan apa itu Modernitas, Humanisme dan Krisis Kemanusiaan?
2. Jelaskan Multikulturalisme di Tengah Kultur Monolitik dan Uniformitas
Global!
3. Jelskan Radikalisme Etnis Merembet ke Radikalisme Teroris!
Sumpah Pemuda atau Pemuda Disumpah
F. REFERENSI

1. Kaelan. 2002. Filsafat Pancasila, Pandangan Hidup Bangsa Indonesia.


Yogyakarta: Paradigma
2. Kaelan. 2012. Problem Epistemologis Empat Pilar Berbangsa dan
Bernegara. Yogyakarta: Paradigma
3. Koentjaraningrat. 1974. Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
4. Tim Penyusun. 2016. Buku Ajar Pendidikan Kewarganegaraan. Direktorat
Jendral Pembelajaran dan Kemahasiswaan.
5. Tilaar, HAR. 2007. MengIndonesia Etnisitas dan Identitas Bangsa
Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta.
6. Torres, Carlos Alberto. 1998. Democracy, Education, and Multiculturalism:
Dilemmas of Citizenship in a Global Word. Roman and Littlefield publisher

Anda mungkin juga menyukai