Anda di halaman 1dari 20

Jurnal Hukum & Pembangunan 49 No.

4 (2019): 860-879
ISSN: 0125-9687 (Cetak)
E-ISSN: 2503-1465 (Online)

CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY SEBAGAI PROMOSI


PERSEROAN TERBATAS

Chandra Yusuf *, Endang Purwaningsih **

* Dosen Program Magister Kenotariatan, Pascasarjana, Universitas YARSI


** Dosen Program Magister Kenotariatan, Pascasarjana, Universitas YARSI
Korespondensi: chandra.yusuf@yarsi.ac.id; e.purwaningsih@yarsi.ac.id
Naskah dikirim: 12 Februari 2019
Naskah diterima untuk diterbitkan: 12 Mei 2019

Abstract

The application of Corporate Social Responsibility (CSR) and Fiduciary Duty in Law
No. 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies creates a conflict of interest.
The problem that arises is the placement of CSR in the company's income statement
that will reduce the company's dividend distribution. This violates the principle of
"fiduciary duty". Directors of Limited Liability Company must maximize shareholder
prosperity. So far, CSR is considered a social activity. To avoid conflicts of interest,
CSR must be classified into a promotional account in the financial statements,
especially the Balance Sheet. The method used to assess CSR refers to the effects of
promotions on investors. Therefore, CSR is not separated from the account in the
company's operational costs. Article 1 Paragraph (3) The Limited Liability Company
Law No. 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies needs to be revised and
does not refer to social interests, but the commercial interests of shareholders.

Keywords: Law No. 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies, Corporate


Social Responsibility, Company Operational Costs, Promotion.

Abstrak

Penerapan Corporate Social Responsibility (CSR) dan Fiduciary Duty dalam Undang-
Undang No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas membuat konflik kepentingan.
Permasalahan yang timbul adalah penempatan CSR dalam income statement perseroan
yang akan mengurangi pembagian dividen perseroan. Hal ini melanggar prinsip
“fiduciary duty”. Direksi perseroan terbatas wajib memaksimalkan kemakmuran
pemegang saham. Selama ini CSR dianggap sebagai kegiatan sosial. Untuk
menghindari konflik kepentingan, CSR wajib diklasifikasikan kedalam akun promosi
dalam laporan keuangan, khusunya Neraca. Metode yang digunakan untuk menilai
CSR dengan merujuk kepada efek dari promosi terhadap investor. Investor seharusnya
terpengaruh dengan “brand name” perseroan yang terbentuk karena kepatuhannya
terhadap CSR. Oleh karenanya, CSR tidak dipisahkan dari akun dalam biaya
operasional perseroan. Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Perseroan Terbatas No 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas perlu direvisi dan tidak merujuk kepada
kepentingan sosial, tetapi kepentingan komersial dari pemegang saham.

Kata Kunci: Undang-Undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Tanggung
Jawab Sosial Perusahaan, Biaya Operasional Perusahaan, Promosi.
Tersedia versi daring: http://jhp.ui.ac.id
DOI: http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol49.no4.2345
Corporate Social Responsibility, Chandra Yusuf, Endang Purwaningsih 861

I. PENDAHULUAN

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT)


berbeda dengan peraturan sebelumnya, yakni UU Nomor 1 Tahun 1995 tentang
Perseroan Terbatas. Pencantuman Corporate Social Responsibility (CSR)
menimbulkan konflik kepentingan, karena perseroan mencari keuntungan maksimal
dibebani dengan kewajiban sosial dan lingkungan dari perseroan. Kewajiban ini
timbul karena peraturan hukum yang memaksakannya. Prinsip hukum yang digunakan
dalam undang-undang bertentangan satu dengan lainnya. Hal inilah yang
menimbulkan informasi yang tidak akurat dalam mengungkapkan biaya operasional
yang ditimbulkan dalam laporan keuangan, khususnya income statement perseroan.
Efeknya, investor akan meragukan kemampuan perseroan dalam mendapatkan
keuntungan. Perseroan yang menguntungkan menjadi perseroan yang merugi ketika
biaya operasional harus ditambahkan dengan CSR.
Bentuk dari CSR memiliki perluasan yang disesuaikan dengan keadaan
lingkungan dari perseroan, baik internal maupun eksternal. Adapun CSR memiliki 4
(empat) bentuk yang digambarkan oleh Henry Mintzberg sebagai berikut: CSR dapat
dipraktikkan atau dapat muncul dalam empat bentuk. Bentuk paling murni adalah
ketika CSR dipraktikkan demi kepentingan pemilik. Perseroan tidak mengharapkan
apa pun dari kegiatan CSR mereka dan mereka menjadi bertanggung jawab secara
sosial karena itu adalah cara mulia bagi perusahaan untuk berperilaku. Bentuk CSR
kedua, yang kurang murni, adalah ketika dilakukan untuk kepentingan pribadi yang
tercerahkan di mana perusahaan melakukan CSR dengan keyakinan bahwa CSR akan
terbayar nantinya. Adapun bayaran bisa berwujud atau tidak berwujud tetapi tidak ada
kasus pengembalian yang diharapkan. Ini terkait dengan bentuk ketiga CSRC
Mintzberg di mana CSR dipandang sebagai investasi yang sehat. Menurut 'teori
investasi yang sehat', pasar saham bereaksi terhadap tindakan perseroan dan perilaku
yang bertanggung jawab secara sosial akan dihargai oleh pasar. Bentuk keempat CSR,
yang juga terkait dengan kepentingan pribadi yang tercerahkan, adalah CSR yang
dipraktikkan untuk menghindari campur tangan dari pengaruh politik eksternal. Dalam
hal ini, perseroan menjadi bertanggung jawab secara sosial untuk mencegah pihak
berwenang memaksa mereka melakukannya melalui undang-undang.1
Dari bentuk CSR tersebut, bentuk pertama terkait penilaian sikap tindak yang
terhormat dari perseroan sehingga perseroan memiliki tanggung jawab sosial. Bentuk
kedua, pencerahan terhadap self-interest yang menimbulkan keyakinan bahwa
pelaksanaan CSR akan terbayar, baik dalam bentuk tangible atau intangible. Ketiga,
pasar akan beraksi terhadap aktivitas dan tanggung jawab sosial dan memberikan
reward atas tindakan perseroan. Keempat, bentuk yang terkenal adalah kesadaran
perseroan karena pemaksaan pemerintah melalui peraturan. Individu yang memiliki
kesadaran dalam menjaga self-interest harus menerapkan CSR, yang tidak perlu
dipaksakan melalui peraturan oleh pemerintah. Kerusakan lingkungan yang timbul
wajib dikembalikan ke keadaan semula, termasuk ketertinggalan kesejahteraan sosial
perlu diberikan kepada masyarakat setempat.
Pertanggung jawaban perseroan terhadap kerusakan lingkungan telah
ditambahkan ke dalam peraturan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas (UU PT) secara sah. Namun konsep dari CSR tersebut tidak
compatible dengan konsep yang tercantum dalam UU PT sebelumnya. Penambahan
konsep CSR dalam UU PT tersebut tidak sesuai dengan konsep perseroan komersil.

1
Wan Saiful Wan Jan, “Defining corporate social responsibility”, Journal of Public Affairs, 6:
176–184, (August 2006). file:///D:/Downloads/WSWJDefiningCSRNov2006.pdf, diakses pada tanggal
11 Februari 2019.
862 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.4 Oktober-Desember 2019

Adapun konsep CSR yang dimaksud adalah an abstract idea; a general notion.
Namun konsep CSR tetap dapat dipaksakan berdasarkan peraturan normatif.
Penyesuaian konsep CSR harus disesuaikan dengan mengubah UU PT atau perseroan
agar dapat menarik konsep CSR ke dalam konsep akun yang telah dikenal dalam
akunting dan dapat mewakilinya.
Adapun pilihannya yang dimungkinkan dalam mengatasi konflik yang timbul
adalah perseroan menarik konsep CSR dan menyesuaikannya ke dalam konsep
akutansi yang telah dikenal dalam laporan keuangan. Penempatan biaya CSR yang
dapat mewakilinya dalam laporan keuangan akan mempengaruhi pembiayaan
operasional perseroan. Dalam hal ini, konsep CSR dimasukkan ke dalam kategori
akun yang telah ada dalam laporan keuangan perseroan. Perlunya penjelasan yang
dapat mendukung penempatan CSR dalam laporan keuangan.
Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini akan
membahas tentang pembebanan CSR dalam laporan keuangan perseroan sebagai
promosi yang belum dapat diberikan valuasi penilaiannya: Pertama, apakah CSR
dapat dimasukkan sebagai biaya operasional perseroan? Kedua, apakah CSR dapat
dianggap sebagai bentuk promosi dalam biaya operasional perseroan?

II. METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum
normatif, yaitu suatu jenis penelitian hukum yang diperoleh dari studi kepustakaan,
dengan menganalisis suatu permasalahan hukum melalui peraturan per undang-
undangan, literatur-literatur dan bahan-bahan referensi lainnya yang berhubungan
dengan judul penelitian sebagai bahan analisis, yang secara deskriptif dipergunakan
untuk menggambarkan gejala-gejala yang terjadi di masyarakat terhadap obyek yang
diteliti dengan pendekatan kualitatif, dipersandingkan secara prescription dengan
menggunakan pendekatan kausal komparatif berdasarkan ilmu hukum. Penggunaan
lintas disiplin ilmu hukum dan akunting digunakan agar memperoleh gambaran atau
pedoman mengenai penempatan CSR dalam laporan keuangan yang seharusnya dan
menjadi revisi konsep CSR dalam peraturan perseroan dan peraturan lainnya.

III. HASIL PENELITIAN

1. Pengertian Corporate Social Responsibility


Pengertian yang mewakili CSR dapat diungkapkan dalam arti yang lebih luas,
CSR adalah dampak bisnis terhadap masyarakat atau, dengan kata lain, peran
perusahaan dalam pengembangan masyarakat. Dalam arti yang lebih sempit, itu adalah
fenomena organisasi yang kompleks dan multidimensi yang dapat didefinisikan
sebagai sejauh mana, dan cara di mana, organisasi secara sadar bertanggung jawab
atas tindakan dan sesuatu yang bukan tindakannya memiliki dampak pada pemangku
kepentingannya.2
Dalam pengertian yang luas, CSR mengikuti peranan perseroan yang
berkembang sesuai dengan jamannya. Dalam pengertian yang sempit, pengertian CSR
mengikuti perluasan kewajiban perseroan dan pengaruhnya terhadap pemegang saham
yang keuntungan perseroan akan berkurang karenanya. CSR dalam arti luas dan
sempit tertuang dalam UU PT. Pengertian luas lebih menekankan peranan perseroan
dalam mengatasi kerugian yang timbul akibat kerusakan sosial dan lingkungan.

2
Mia Mahmud Rahim, Legal Regulation of Corporate Social Responsibility: A Meta-regulation
Approach of Law for Raising CSR in a Weak Economy, Heidelberg, New York, Dodrecht, London:
Springer, (2013), hal. 15.
Corporate Social Responsibility, Chandra Yusuf, Endang Purwaningsih 863

Pengembaliannya, perseroan wajib memberikan efek kemakmuran ke dalam


masyarakat secara keseluruhan.
Menurut Pasal 1 ayat (3) UUPT menyebutkan:
Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan adalah komitmen perseroan untuk
berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan
kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri,
komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya.
Artinya perseroan apapun yang berbadan hukum memiliki komitmen terhadap
keadaan sosial dan lingkungannya. Namun pasal ini tidak menyebutkan kerusakan
yang timbul karena aktivitas perseroan. Hal ini akan terkait dengan perbuatan yang
menguntungkan pemegang saham, msekipun sosial dan lingkungan tidak mengalami
kerusakan. Lain hanya dengan kerugian sosial dan lingkungan yang diakibatkan
produksi dan penggunaan produk dari perseroan. Artinya, seluruh perseroan terbatas
memiliki tanggung jawab sosial dan lingkungan pada kerusakan sosial dan
lingkungan. Namun pasal ini tidak hanya terbatas pada perseroan tambang yang
merusak lingkungan secara nyata. Seluruh perseroan memiliki tanggung jawab
terhadap keuntungan yang diambil dari pembuatan dan penjualan produknya.
Sosial dan lingkungan yang dimaksud dapat dibagi menjadi dua bagian, yakni
sosial lingkungan di dalam perseroan, yang kedua, sosial dan lingkungan di luar
perseroan. Pemberian scholarship pendidikan bagi anak karyawan adalah CSR. Selain
itu pembangunan rumah sakit untuk masyarakat luas yang terkena paru-paru. Aktivitas
lainnya yang tidak berhubungan dengan produksi perseroan juga termasuk CSR.
Segala pembiayaan terhadap sesuatu yang membuat kemakmuran bagi sosial dan
lingkungan masyarakatnya dapat dianggap sebagai CSR.

a. Kemakmuran Karyawan Perseroan Sebagai Corporate Social Responsibility


Akibat perubahan biaya dapat menjadi dua skema yang mungkin terjadi:
pertama, pendapatan dari perseroan dalam laporan laba rugi menjadi besar nilainya.
Negara mendapatkan penerimaan pajak dan pemegang saham mendapatkan
pembagian keuntungan atau dividen yang lebih besar. Dalam laporan laba rugi
pendapatan dikurangi biaya operasional akan menghasilkan laba kotor perseroan. Laba
kotor dikurangi pajak untuk menemukan laba bersih. Laba bersih akan dibagi
berdasarkan jumlah saham dalam perseroan. Laba bersih yang telah dibagi
berdasarkan jumlah saham akan menjadi dividen saham atau nilai keuntungan
pemegang saham. Pendapatan besar dengan biaya operasional tetap akan
membesarkan nilai dividen saham.
Tentunya, negara melalui pajak dan pemegang saham melalui pembagian
dividen yang diuntungkan. Kedua, biaya operasional perseroan dibuat lebih besar
sehingga negara dan pemegang saham mendapatkan keuntungan normal, akan tetapi
perseroan akan mendapatkan keuntungan yang besar melalui pembayaran biaya
operasional perseroan. Pembengkakan biaya operasional akan mengecilkan nilai laba
kotor dalam laporan laba rugi, sehingga pendapat pajak negara pembagian pemegang
saham lebih kecil dari nilai yang seharusnya didapat. Namun biaya operasional yang
membengkak dipergunakan untuk membayar cicilan aset perseroan atau cicilan kredit
bank yang lebih besar akan menguntungkan perseroan. Uang yang berasal dari hasil
tindak pidana korupsi akan menetap dalam nilai aset perseroan.
Kenaikan atau penurunan nilai saham dapat memiliki efek yang sangat besar
terhadap perseroan. Padahal pertanggungjawaban perseroan hanya sebatas harta
kekayaan perseroan yang terdapat dalam modal. Dalam hal ini, UU PT memiliki
keterbatasan dalam menjangkau kerugian yang lebih besar dari nilai saham perseroan.
Perlunya suatu pemikiran untuk menutupi kelemahan UU PT, apabila perbuatan
864 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.4 Oktober-Desember 2019

direksi juga dapat merugikan non pemegang saham dan pasar modal secara
keseluruhan.
Demikian pula halnya dengan direksi sebagai pegawai yang diberi upah oleh
perseroan. Upah pegawai adalah uang pemegang saham yang akan digunakan untuk
membayar unit kerja pegawai di akhir bulan. Pegawai yang bekerja berhak atas jumlah
gaji tertentu. Uang perseroan yang diperuntukkan gaji pegawai adalah uang pegawai
karena gaji itu dibayar di akhir bulan setelah pegawai bekerja. Sebelum pembayaran
gaji, uang perseroan yang berasal dari pemegang saham milik pegawai. Perseroan
masih berhutang yang pembiayaannya dari pemegang saham. Sama halnya dengan
pemegang saham yang sesungguhnya mereka adalah kustomer. Setiap saat pemegang
saham dapat kembali menjadi pemegang saham dengan pengembalian sahamnya
melalui penjualan saham. Perbedaanya pemegang saham hanya mempertahankan
dananya. Investor menarik dananya dari perseroan oleh orang yang sama.
Lalu banyak hal lainnya yang tidak sesuai dengan keadilan. Pengungkapan lebih
lanjut, mengapa modal yang diungkap dalam saham termasuk dalam utang? Hal
tersebut dikarenakan kewajiban perseroan kepada pemegang saham. Perseroan adalah
subjek hukum fiksi yang dianggap berdiri sendiri. Pemegang saham sebagai pemilik
perseroan tidak mungkin menggerakkan perseroan. Pemegang saham hanya memiliki
kewenangan sebagai pemilik perseroan karena ia menanggung risiko bersama.
Keuntungan setelah pajak dapat dibagi, bila perseroan tidak membutuhkan modal.
Sebaliknya pemegang saham juga dapat menarik seluruh modalnya. Pemegang saham
dapat menjual sahammnya karena perseroan tidak dapat memberikan keuntungan yang
maksimal. Sama halnya utang bank dalam lajur utang. Bank meminta pelunasan kredit
dan bunganya secara penuh. Sebenarnya pemaksaan keuntungan yang lebih besar
terletak pada investor. Investor sebagai pemilik modal tidak ingin bertahan, bila
perseroan tidak memberikan keuntungan lebih besar dari bunga bank. Sementara
perseroan membutuhkan pinjaman uang, akan tetapi biayanya tidak membebani
operasional, sehingga keuntungan perseroan mengecil.
Namun subjek yang menggerakkan perseroan adalah karyawan, akan tetapi
perseroan membayar jasanya di akhir bulan. Perseroan memiliki kewajiban kepada
karyawan untuk membayar gaji. Tunggakan gaji di akhir bulan adalah utang
perseroan. Perseroan mencatatkannya sebagai biaya operasional perseroan. Perseroan
telah berutang kepada pekerja, akan tetapi kepentingan pekerja dikesampingkan.
Perseroan lebih mengutamakan kepentingan pemegang saham.
Keadaan diatas membuat konflik antara pemegang saham dan pekerja.
Pemaksimalan kemakmuran individu berdasarkan pemikiran Adam Smith berbeda
dengan kemakmuran pemegang saham menurut Milton Friedman. Pekerja sebagai
individu yang perlu dimaksimalkan kemakmurannya. Dalam hal ini, perseroan harus
menghadapi keadaan yang berkonflik.
Lalu uang perseroan milik siapa? Denning menganggap konsep yang diikuti
selama ini telah membodohi masyarakat. Friedman dianggap salah menyatakan uang
perseroan adalah milik pemegang saham, karenanya perseroan wajib mengatakan
pemegang saham saja. Ini yang dipertanyakan "kapan konsep yang membodohi ini
berakhir?" (Steve Denning, 2013). Pendapat Denning masuk akal. masyarakat telah
terjebak dalam institusi yang membodohinya. Hukum terlalu kuat untuk memagarinya.
Hal ini telah tertuang dalam peraturan UU PT yang sah. Perubahannya akan memakan
waktu yang panjang dan lama. Karyawan yang membuat produk atau jasa perseroan
hanya dianggap sebagai unsur produksi yang tidak memerlukan biaya tambahan,
kecuali hal yang telah disepakati dalam perjanjian.
Corporate Social Responsibility, Chandra Yusuf, Endang Purwaningsih 865

b. Eksternalitas Merupakan Corporate Social Responsibility


Pemerintah telah mengeluarkan ketentuan yang bersifat publik tentang asap
rokok. DPRD DKI Jakarta mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 Tahun
2005 tentang pencemaran udara, Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 75 Tahun 2005
tentang Kawasan Dilarang Merokok, Pergub Nomor 75 Tahun 2005 tentang Kawasan
Dilarang Merokok, dan Pergub Nomor 50 Tahun 2012 tentang Pembinaan,
Pengawasan, dan Penegakan Hukum Kawasan Dilarang Merokok. 3 Orang yang
merokok di wilayah publik akan dikenakan sanksi denda. Nyatanya, sanksi itu tidak
pernah diterapkan secara ketat. Walhasil penjual dan pembeli rokok tidak
memperdulikan kerugian yang ditimbulkannya kepada pihak ketiga. Ini keadaan yang
tidak adil.
Untuk menyelesaikan permasalahan dengan cara lain pemerintah dapat
menerapkan cukai yang tinggi. Di iklan rokok, pabrik rokok mencantumkan
"PERINGATAN: MEROKOK MEMBUNUHMU". Pikiran ini langsung
mengingatkan saya terhadap konsep kontrak dalam ilmu hukum. Dalam transaksi
barang atau jasa, pembeli dan penjual memerlukan pengikatan. Dengan pembeli
membeli rokok, ia akan terikat kontrak yang menjadi alasnya. Para pihak yang terikat
kontrak wajib mengatasi permasalahan ini. Pabrik merokok mengambil biaya cukai
yang nantinya akan digunakan oleh pemerintah untuk membangun fasilitas rumah
sakit paru, misalnya.
Pembeli rokok akan mengikuti ketentuan penjual, termasuk peringatan yang
tercantum di dalam iklan. Kontrak tidak harus dituangkan dalam bentuk tertulis.
Pembeli yang menundukkan diri akan terikat berdasarkan offer dan acceptance.
Konsep ini sesungguhnya berasal dari sistem common law. Namun sistem hukum
Indonesia juga mengenalnya. Permasalahannya saat pembeli merokok, asap rokoknya
akan mengganggu pihak ketiga. Pihak yang tidak terikat dalam kontrak. Ini dalam
ilmu ekonomi disebut eksternalitas. Pihak ketiga harus menanggung kerugian karena
polusi rokok yang timbul dari transaksi yang terjadi antara pembeli dan penjual.
Dalam hal ini penjual dan pembeli telah membuat kerusakan lingkungan milik publik.
Sementara pihak ketiga yang menghirup asap rokok dan membuat sakit seseorang
tidak termasuk dalam pihak yang mendapat peringatan iklan dalam kontraknya.
Tentunya peringatan itu hanya ditujukan kepada pembeli rokok, bukan pihak diluar
dari pembeli. Oleh karenanya, peringatan tidak berlaku bagi pihak ketiga.
Dalam pasal 1 ayat 5, UU PT, Direksi berwenang dan memiliki tanggung jawab
kepada perseroan. Kepentingan perseroan lebih didahulukan. Padahal perseroan adalah
subjek hukum fiksi yang diwakili oleh Direksi. Lalu kepentingan perseroan menjadi
tidak jelas. Tentunya, kepentingan perseroan akan disinkronkan sebagai kepentingan
pemegang saham. Keuntungan yang maksimal bagi pemegang saham merupakan self-
interest pemegang saham. Milton Friedman menyatakan direksi wajib memaksimalkan
keuntungan pemegang saham. Selain itu ia mengatakan CSR tidak menjadi kewajiban
pemegang saham selama perseroan berkompetisi untuk meraih keuntungan di pasar
bebas. CSR tidak dimaksudkan untuk menjadi bagian dari produksi karena CSR tidak
menciptakan produk atau jasa perseroan, selain itu perseroan tidak mendapatkan
keuntungan dari aktivitas CSR.
Pemegang saham mendapat keuntungan dari aktivitas perseroan, akan tetapi
perseroan telah menimbulkan kerugian pihak ketiga. Seharusnya pemegang saham

3
Unoviana, “10 Tahun Larangan Merokok, 70 Persen Tempat Umum di Jakarta Masih
"Ngebul””, Kompas.com, (2015)
https://megapolitan.kompas.com/read/2015/09/29/14502591/10.Tahun.Larangan.Merokok.70.Persen.Te
mpat.Umum.di.Jakarta.Masih.Ngebul., diakses pada tanggal 14 Januari 2019
866 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.4 Oktober-Desember 2019

juga merelakan keuntungan sahamnya melalui biaya operasional untuk memperbaiki


keadaan. Lebih lagi kegiatan perseroan ditujukan untuk mencari keuntungan
pemegang saham. Nanti perseroan yang akan melakukan perbaikan atas aktifitas yang
merugikan lingkungan dan sosial. Pastinya pemegang saham yang mengambil
keuntungan dari transaksi saham
Kerugian yang timbul dan merugikan pihak ketiga disebut ekternalitas. Dalam
penjelasannya eksternalitas sebagai biaya yang lebih besar melampaui keuntungan,
bukanlah kegagalan pasar yang terjadi, mengingat pasar, kehadiran eksternalitas dapat
diartikan sebagai hasil yang rasional dan dengan demikian tidak dapat dengan tepat
disebut 'kegagalan' pasar. Dahlman (1979) mengklaim bahwa biaya transaksi adalah
satu-satunya sumber eksternalitas, dan Randall (1983) mengklarifikasi pasar yang
sudah lama jelas bahwa tidak adanya pasar tertentu merupakan respons pasar yang
rasional terhadap biaya transaksi yang melebihi potensi keuntungan dari transaksinya.
Adapun eksternalitas itu yang mengakibatkan investor membeli saham dengan harga
yang lebih tinggi. Harga saham ini akan merujuk kepada inefisiensi pasar, dan
inefisiensi pasar bertambah dengan membesarnya nilai eksternalitas.4

2. Corporate Social Responsibility vs Fiduciary Duty


Bagaimana dengan komitmen perseroan terhadap pemegang saham yang
memiliki perseroan? Pengertian dalam arti sempit dituangkan dalam pasal 92 ayat
(1) UUPT, yakni : “menjalankan pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan
dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan.” Adapun maksud dan tujuan
perseroan dibuat untuk mencari keuntungan bagi pendiri perseroan. Oleh karenanya,
UU PT memiliki dua prinsip yang saling bertentangan. Penerapan pengertian CSR
dalam arti luas dianggap lebih menjangkau perkembangan CSR di masa depan.
Padahal penerapan kedua prinsip tersebut memiliki pertentangan dilihat dari sudut
pandang laporan keuangan komersial yang baku.
Selama ini perseroan dianggap sebagai badan hukum berdasarkan UU PT. 5
Perseroan sebagai badan hukum (recht person) dapat melakukan perbuatan layaknya
pribadi. Ibaratnya, pribadi yang memiliki jabatan direksi akan menggunakan
pelindung baju besi dari perseroan. Berdasarkan Pasal 1 angka (5) UUPT,
menyebutkan bahwa pengertian direksi dalam PT adalah organ perseroan yang
berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk
kepentingan perseroan. Sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan serta mewakili
perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan, direksi melakukan perbuatan
berdasarkan anggaran dasar dalam akta pendiriannya.6 Perbuatan direksi yang diwakili
oleh pribadi dapat mempengaruhi usaha dari perseroan.
Sama halnya dengan pribadi, direksi yang mewakili perseroan dapat berbuat
sesuatu atau tidak berbuat sesuatu melalui jabatannya. Direksi bertindak berdasarkan
anggaran dasar perseroan, agar dapat mewakili perseroan. menyebutkan: 7 Direksi
adalah Organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas
pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan

4
Arild Vatn and Daniel W, Bromley, “Externalities-A Market Model Failure”. Environmental
and Resource Economics, Vol. 9 (1997), hal. 135-151.
http://econ.tu.ac.th/archan/Chalotorn/on%20mkt%20failure/vatn%20et%20al.pdf. diakses pada
tanggal 10 Januari 2016.
5
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, TLN Nomor: 4756.
6
Berdasarkan pasal 15 UU PT, Anggaran dasar mencantumkan salah satu syarat minimal,
termasuk anggota direksi dan dewan komisaris perseroan.
7
Pasal 1 ayat (5) UU PT.
Corporate Social Responsibility, Chandra Yusuf, Endang Purwaningsih 867

tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan
sesuai dengan ketentuan anggaran dasar.
Anggaran dasar perseroan mencantumkan tugas, tanggung jawab, hak dan
kewajiban seluruh organ PT. Ketentuan dalam anggaran dasar tersebut mewakili
perseroan secara kongkrit sebagai badan hukum. Direksi akan diminta
pertanggungjawabannya melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).8 Seseorang
diangkat sebagai direksi dalam RUPS memiliki tujuan untuk membuat keuntungan
sebesar-besarnya kepada pemegang saham dengan cara memaksimalkan kepuasan
pemegang saham. Kepuasan maksimal (utility maximazation) dapat diungkapkan
dengan pembagian keuntungan perseroan (dividen) yang sebesar-besarnya kepada
pemegang saham.9
Dalam hal ini terdapat benturan kepentingan antara direksi dan pemegang
saham, apabila direksi memiliki saham perseroan mayoritas. Namun direksi dapat
memiliki saham perseroan yang dikelolanya sendiri. Pasal 101 ayat (1) UU PT
menyebutkan: (1) Anggota Direksi wajib melaporkan kepada Perseroan mengenai
saham yang dimiliki anggota Direksi yang bersangkutan dan/atau keluarganya dalam
Perseroan dan Perseroan lain untuk selanjutnya dicatat dalam daftar khusus. (2)
Anggota Direksi yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan menimbulkan kerugian bagi Perseroan, bertanggung jawab secara
pribadi atas kerugian Perseroan tersebut.
Peraturan pelaksana yang mengaturnya terdapat dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan (OJK). Berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 11
/POJK.04/2017 Tentang Laporan Kepemilikan Atau Setiap Perubahan Kepemilikan
Saham Perseroan Terbuka, BAB II, pasal 2 Ayat (1) menyebutkan: Anggota Direksi
atau anggota Dewan Komisaris wajib melaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan
atas kepemilikan dan setiap perubahan kepemilikannya atas saham Perseroan
Terbuka baik langsung maupun tidak langsung. Direksi dapat memiliki saham
perseroannya yang go public, asalkan dilaporkan ke Otoritas Jasa Keuangan.
Apabila perseroan belum memiliki status go public, pembelian saham oleh
direksi terhadap perseroannya dilaporkan ke daftar khusus. Permasalahannya apakah
keadaan ini konsisten dengan keadaan lainnya. Prinsipnya harta kekayaan perseroan
dan pribadi dipisahkan. Oleh karenanya, direksi memiliki tanggung jawab kepada
pemegang saham, yang dikenal sebagai fiduciary duty. Apabila direksi melanggar
anggaran perseroan, maka timbul piercing the corporate veil, artinya direksi
bertanggung jawab secara pribadi atas kesalahannya. Perlindungan yg diberikan
perseroan terhadap harta kekayaan direksi terlepas.
Rapat Umum Pemegang Saham menentukan apakah direksi melakukan
pelanggaran fiduciary duty. Direksi yang merangkap pemegang saham dengan suara
terbanyak dapat menyatakan direksi tidak melakukan pelanggaran. Ini permasalahan
benturan kepentingan. Direksi yang melanggar fiduciary duty dapat disahkan oleh
pemegang saham bersalah, akan tetapi direksi dengan merangkap pemegang saham,

8
Berdasarkan Pasal 1 angka 4 UUPT, RUPS adalah organ perseroan yang mempunyai
wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan
dalam undang-undang ini dan/atau anggaran dasar.
9
Neva Goodwin, etc, “Consumption and the Consumer Society”, A GDAE Teaching Module on
Social and Environmental Issues in Economics, Tufts University Global Development and Environment
Institute, this reading is based on portions of Chapter 10 from: Microeconomics in Context, Copyright
M.E. Sharpe, Dalam ekonomi mikro, konsumsi produk/jasa, termasuk keuntungan saham menjadi
tujuan utama ekonomi, (2008)
http://www.ase.tufts.edu/gdae/education_materials/modules/Consumption_and_the_Consumer_Society.
pdf, diakses pada tanggal 28 Juli 2017.
868 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.4 Oktober-Desember 2019

maka pemegang saham tidak akan pernah menyatakan dirinya bersalah sebagai direksi
dalam mengambil keputusannya.
Dengan demikian, direksi perseroan memiliki norma, 10 yang harus diterapkan
dalam kegiatan perseroan. Adapun norma perseroan tersebut dikenal sebagai fiduciary
duty, seperti layaknya orang yang dipercayakan memegang harta orang lain memiliki
kewajiban untuk menjaga kepentingan orang yang mempercayakannya. Adapun
norma ini digunakan untuk menjaga kepentingan investor atau pemegang saham.
Norma direksi perseroan mengasumsikan pemegang saham sebagai satu-satunya pihak
yang akan menikmati keuntungan perseroan. Dalam peristiwanya, direksi dapat
menyimpan hasil kejahatannya di dalam perusahaan.

3. Corporate Social Responsibility Dapat Mengurangi Kejahatan Perseroan


Keuntungan perseroan dari kegiatan yang dilakukan oleh direksi akan bercampur
di dalam laporan Laba-Rugi. Dividen yang telah dibagi dan masuk dalam harta
kekayaan pemegang saham tidak dapat diganggu gugat. Lain halnya, apabila direksi
dan pemegang saham dalam RUPS telah mengetahui dan menyetujui direksi untuk
melakukan kegiatan yang melanggar ketentuan pidana, maka pemegang saham
memiliki pertanggungjawaban sampai harta pribadinya.
Apabila pemegang saham tidak mengetahui perbuatan pidana dari direksi, maka
keuntungan perseroan yang bercampur dalam laporan Laba-Rugi tersebut menjadi
wilayah kosong yang belum dapat dijangkau oleh hukum. Pengajuan tuntutan pidana
oleh jaksa kepada direksi atau perseroan yang dikontrol oleh pemegang saham tidak
dapat dilakukan. Sementara tuntutan jaksa kepada perseroan atas perbuatan yang
dilakukan oleh direksi tidaklah tepat.
Di Amerika Serikat, dalam kasus Stone v. Ritter, Delaware, pemegang saham
menggugat direksi AmSouth Bancorporation (AmSouth) karena kegagalan
menyerahkan laporan khusus yang dibutuhkan regulasi bank federal sehingga bank
terkena penalti sekitar 50 juta dolar Amerika Serikat.11 Gold menjelaskan Pengadilan
telah mengadopsi pemahaman yang dapat dikenali dari perilaku loyal menjadi "benar",
yang ada di bidang sosial lainnya. Di bawah konsepsi ini, direktur yang setia tidak
hanya harus bertindak demi kepentingan terbaik perusahaan mereka dan para
pemegang sahamnya, mereka juga harus jujur kepada para pemegang saham dan
mematuhi hukum positif.12
Direksi dalam menjalankan usaha perseroan tidak hanya memiliki kesetiaan
(loyalty) kepada perseroan dan pemegang saham, tetapi ia juga harus mengindahkan

10
Bernard S. Sharfman, “Shareholder Wealth Maximization and Its Implementation Under
Corporate Law”, Florida Law Review, Vol. 66, Issue:1, Article 7, (2014), hal. 3-5. Norma yang
dimaksud bukan norma hukum yang tertulis dan dapat dipaksakan, akan tetapi norma yang dapat
diterapkan. Norma tersebut dapat dijelaskan, “a rule that is neither promulgated by an official source,
such as a court or legislature, nor enforced by the threat of legal sanctions, yet is regularly complied
with.” Jonathan R. Macey, “Corporate Governance: Promises Broken”, 32-33, (2009), (dikutip dari
Richard A. Posner, ”Social Norms and the Law: An Economic Approach”, American Economic Review,
(Papers & Proc.), Vol. 87, Issue. 2, 365-69, (1997)).
http://scholarship.law.ufl.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1180&context=flr, diakses pada tanggal 26
Juli 2017
11
Andrew J. Demetriou, etc, “Stone v. Ritter: The Delaware Supreme Court Affirms the
Caremark Standard for Corporate Compliance Programs”, ABA Ehealth Resource, Volume 3 Number 6,
(February 2007),
https://www.americanbar.org/newsletter/publications/aba_health_esource_home/Volume3_06_demetrio
u.html, diaskes pada tanggal 31 Juli 2017.
12
Andrew, S. Gold, “The New Concept of Loyalty in Corporate Law”, University of California,
Davis, Vol. 43: 457, (2009), hal. 457. http://lawreview.law.ucdavis.edu/issues/43/2/articles/43-
2_gold.pdf, diakses pada tanggal 21 Juli 2017.
Corporate Social Responsibility, Chandra Yusuf, Endang Purwaningsih 869

peraturan yang berlaku. Paula D Jalley menyatakan dalam konteks perusahaan,


individu dengan kekuasaan adalah direktur. Pemegang saham mungkin memiliki
kekuatan atau pengaruh tidak langsung, tetapi mereka tidak memiliki kekuatan hukum
atas properti perusahaan, dan tentu saja tidak memiliki kekuatan hukum atas properti
pemegang saham lainnya. Mereka hanya memiliki kekuasaan atas harta milik mereka
sendiri (saham mereka) - sebuah fakta yang diakui hukum dengan rajin melindungi
hak pemegang saham untuk memilih dan menjual sahamnya. 13
Dari pengertian diatas, direksi memiliki tanggung jawab terhadap harta
kekayaan perseroan. Kepercayaan pemegang saham yang disalahgunakan, pemegang
saham dapat meminta tanggung jawab direksi yang mewakili perseroan. Perbuatan
dari perseroan hanya dapat diwakili oleh direksi sebagai pribadi yang juga memiliki
kepentingan. Apabila anggaran rumah tangga yang dilanggar, maka direksi
bertanggung jawab secara pribadi. Pertanggungjawaban direksi dapat dilihat dalam
kasus New York Central R. Co. v. United States 212 U.S. 481 (1909), menyebutkan
bahwa melihat tidak ada keberatan yang sah dalam hukum, dan setiap alasan dalam
kebijakan publik, mengapa korporasi, yang diuntungkan oleh transaksi, dan hanya
dapat bertindak melalui agen dan pejabatnya, akan dihukum dengan baik karena
pengetahuan dan maksud agennya kepada siapa pihaknya telah mengerahkan
wewenang untuk bertindak.14
Mengikuti anggaran dasar perseroan, dalam menjalankan usahanya, direksi
perseroan mendahulukan kepentingan pemegang saham perseroan. Kepentingan
pemegang saham perseroan tidak memiliki penjelasan yang lengkap dalam UU PT.15
Dalam pelaksanaannya, kepentingan direksi merepresentasikan kepentingan pemegang
saham perseroan dalam rangka mendapatkan keuntungan pemegang saham yang
maksimal. 16 UU PT tidak mengatur kepentingan pemegang saham secara rinci dan
jelas. Direksi bertanggungjawab kepada pemegang saham berdasarkan prinsip hukum
dalam UU PT. UU PT menerapkan fiduciary duty di dalam UUPT. Adapun fiduciary
duty dapat dijelaskan dengan pengertian hubungan kontrak antara direksi dan
pemegang saham, “Professor Frankel accurately observes that “[f]iduciary duties are
anchored in the interests of the parties to the relationship rather than the public’s
interests17”.
Namun pengertian fiduciary duty sebagai hubungan antara direksi dan pemegang
saham belaka telah disangkal dalam pernyataan sebagai berikut: Namun
pernyataannya mengabaikan jangkauan luas dan dampak hukum fidusia pada
13
Paul D Jalley, “Shareholder (And Director) Fiduciary Duties and Shareholder Activism”,
Houston Business and Tax Law Journal, Vol.8., (2008), hal. 302.
http://www.hbtlj.org/v08p3/v08p3dalleyar.pdf, diakses pada tanggal 1 Oktober 2016.
14
John P. Anderson, “When Does Corporate Criminal Liability For Insider Trading Make
Sense?”, Stetson Law Review, Vol.46, (2016), hal. 149
http://www.stetson.edu/law/lawreview/media/2017%208%20-%20Anderson%5B1%5D.pdf, diakses
pada tanggal 7 Agustus 2017.
15
UUPT menjelaskan tugas dan tanggung jawab Direksi sesuai Pasal 92 ayat (1) UUPT adalah
menjalankan pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan
Perseroan. Aturan ini tidak langsung menunjuk kepada pemegang saham sebagai pihak yang
diuntungkan. Namun pernyataan kepentingan perseroan secara tidak langsung merujuk kepada
kekuasaan pemegang saham karena direksi mengikuti kebijakan yang diputus dalam Rapat Umum
Pemegang Saham (RUPS). Dalam RUPS, pemegang saham dapat menolak kebijakan yang dibuat oleh
direksi perseroan.
16
Ian B. Lee, “Corporate Law, Profit Maximization and the Responsible Shareholder”. Stanford
Journal of Law, Business & Finance, (March 2005). Available at SSRN:
http://ssrn.com/abstract=692862, diakses pada tanggal 21 Desember 2016.
17
Cheryl L. Wade, , “Fiduciary Duty and the Public Interest”, Boston University Law Review,
Vol. 91: 1191, (2011), hal 119, http://www.bu.edu/law/journals-archive/bulr/documents/wade.pdf,
diakses pada tanggal 31 Oktober 2016.
870 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.4 Oktober-Desember 2019

umumnya dan pelanggaran kewajiban fidusia pada khususnya. Ketidakpedulian


fidusia perusahaan terhadap kewajiban fidusia yang mereka miliki kepada pemegang
saham dapat secara signifikan memengaruhi konstituensi bukan pemegang saham.
Pelanggaran kewajiban fidusia karena pemegang saham berdampak buruk pada
kepentingan publik dalam beberapa kasus. Komunitas lokal dan global dapat
dipengaruhi oleh pelanggaran fidusia perusahaan atas kewajiban yang mereka miliki
kepada pemegang saham.18
Direksi perseroan yang melanggar fiduciary duty direksi dapat mempengaruhi
masyarakat lokal dan global di pasar modal. UU PT tidak pernah memperhitungkan
efek dari perbuatan direksi perseroan dalam menjalankan usaha perseroan. Indonesia
telah menganut pertanggungjawaban korporasi dalam berbagai undang-undang (UU),
salah satunya: “... dalam pidana khusus, misalnya UU No. 31/1999 sebagaimana telah
diubah dengan UU No. 20/2001 tentang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor)...”19
Perbuatan Direksi dapat melanggar tindak pidana korupsi yang diatur dalam Undang-
Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001. sebagaimana
tercantum dalam pasal 2 adalah: Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Dalam hal direksi
mencampurkan keuntungan perseroan dan hasil korupsi kedalam pembukuan
perseroan dapat dianggap sebagai pencucian uang berdasarkan pasal 3, 4 dan 5
Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang, yang termasuk dalam transaksi keuangan yang disamarkan
dalam laporan keuangan perseroan.
Subjek hukum yang dapat melakukannya dan bertanggungjawab atas
perbuatannya dapat dilihat dalam peraturan yang mengatur. Pasal 4 Undang-Undang
Nomor: 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, yang menyebutkan:
Apabila tindak pidana dilakukan oleh pengurus dan/atau kuasa pengurus atas nama
korporasi, maka penjatuhan pidana dilakukan baik terhadap pengurus dan/atau kuasa
pengurus maupun terhadap korporasi. Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999, menyebutkan: Dalam hal tindak pidana korupsi oleh atau atas nama
suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap
korporasi dan atau pengurusnya. Dengan demikian perseroan juga dapat dijatuhi
hukuman tindak pidana korupsi.
Anggaran dasar perseroan membatasi kewenangan direksi sehingga
pelanggarannya membuat direksi bertanggung jawab secara pribadi. Pihak yang
dirugikan dapat menggugat pribadi direksi, bukan perseroannya. Bahkan pemegang
saham perseroan dapat mengajukan gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH)
kepada pribadi direksi dengan alasan melanggar anggaran dasar perseroan. Perseroan
dapat terlepas dari kesalahan pribadi direksi. Pihak yang dirugikan hanya dapat
menggugat pribadi direksi di pengadilan.
Dalam kasus-kasus pidana umum atau khusus, jaksa akan menuntut pribadi
direksi karena perbuatannya melanggar peraturan. Padahal direksi telah
memaksimalkan pendapatan perseroan melalui kenaikan pendapatan perseroan.
Ditambah dengan kemampuan perseroan meminimalkan biaya operasional. Perseroan
mendapat keuntungan besar yang diberikan kepada pemegang saham perseroan.
Kewajiban direksi untuk memaksimalkan keuntungan perseroan sesuai dengan
fiduciary duty yang menjadi tujuan direksi dalam menjalankan usaha perseroan.
Direksi dalam perseroan memiliki kewajiban untuk memaksimalkan kemakmuran

18
Ibid.
19
Sutan Remy Sjahdeini, “Pemidanaan Korupsi”, Kompas.id, (Kamis, 3 Agustus 2017),
https://kompas.id/baca/opini/2017/08/03/pemidanaan-korporasi/, Diakses pada tanggal 4 Februari 2019.
Corporate Social Responsibility, Chandra Yusuf, Endang Purwaningsih 871

pemegang saham. Apabila direksi diperbolehkan menyimpang dari prinsip


memaksimalkan kemakmuran pemegang saham, maka direksi tidak memiliki
kepastian untuk keseimbangan pertanggungjawaban yang baku. 20 Direksi wajib
mengkosentrasikan usahanya untuk keuntungan pemegang saham sebesar-besarnya.
Dalam hal ini, permasalahan etika akan dikesampingkan lebih dahulu. 21 Milton
Friedman mengutarakan pertanggungjawaban direksi, “There is one and only one
social responsibility of business to use its resources and engage in activities designed
to increase its profits so long as it...engages in open and free competition, without
deception or fraud ”.22 Perseroan adalah badan hukum fiktif yang tidak memiliki harta
kekayaan. Semua harta kekayaan perseroan tereduksi kedalam saham perseroan.
Saham perseroan meningkat nilainya ketika penawaran sahamnya mengalami
kelangkaan. Individu yang memegang saham akan mendapatkan pertambahan nilai
sahamnya melalui pembagian dividen.
Dengan cara yang demikian, perseroan dapat memaksimalkan keuntungan
pemegang saham. Perseroan yang diwakili oleh direksi akan mengayakan pemegang
saham secara maksimal, baik dari permintaan saham yang meningkat dan keuntungan
dari aktifitas perseroan. Namun direksi tidak dapat menghalalkan segala cara untuk
meraih keuntungan perseroannya. Oleh karenanya CSR akan membatasi direksi
melakukan penyimpangan sehingga penerapan CSR dapat mengurangi kemungkin
perseroan menyimpan uang hasil kejahatan.

4. Pedoman Standarisasi Laporan Keuangan Yang Komersial


Adapun pedoman laporan keuangan yang berdasarkan Generally Accepted
Accounting Principle (GAAP) mengalami kegagalan dalam menerapkan CSR secara
konsisten. Janeth Ranganathan mengatakan, current financial accounting standards
and generally accepted accounting principles fail explicitly to address environmental
risks, which often derive from unsustainable business strategies. 23 Perseroan
mengalami kegagalan daalam mempertahankan kelanjutan CSR sebagai strategi usaha
perseroan yang terintegrasi dalam laporan keuangannya. CSR tidak diterapkan dan
dilaporkan dalam laporan keuangan secara konsisten. Artinya, perseroan tetap
menjalankan usaha dan mencatat biaya operasional yang tidak mencantumkan CSR
seperti sebelumnya. International Accounting Standard Board (IASB) membuat
panduan International Financial Reporting Standards (IFRS). Dalam IFRS, CSR
memiliki laporan tersendiri yang terpisah dari laporan keuangan perseroan. Banyak
perseroan mengikuti kebutuhan laporan CSR berdasarkan IFRS. Mereka membuat
laporan di luar laporan keuangan, yakni laporan dan pernyataan seperti laporan
lingkungan dan pernyataan nilai tambah, khususnya di industri yang faktor
lingkungannya signifikan. Namun timbul permasalahan keberagaman laporan yang

20
Stephen Bainbridge, “A Duty to Shareholder Value”, The New York Times, (April, 16, 2015),
https://www.nytimes.com/roomfordebate/2015/04/16/what-are-corporations-obligations-to-
shareholders/a-duty-to-shareholder-value, diakses pada tanggal 19 Juli 2017.
21
Christopher Cosans, “Does Milton Friedman Support a Vigorous Business Ethics?”, Journal
of Business Ethics, (Spring, 2008), http://link.springer.com/article/10.1007/s10551-008-9927-5, diakses
pada tanggal 20 Janurai 2017.
22
Judy Laux, “Topics in Finance Part I-Introduction And Stockholder Wealth Maximization”,
American Journal of Business Education, Volume 3:2, (February, 2010), hal. 15.
http://files.eric.ed.gov/fulltext/EJ1060345.pdf, diakses pada tanggal 19 Juli 2017.
23
Janet Ranganathan, (August 26, 2010), “Minding the Sustainability GAAP”, World Resources
Institute, https://www.wri.org/blog/2010/08/minding-sustainability-gaap, diakses pada tanggal 7
Februari 2019.
872 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.4 Oktober-Desember 2019

membuat perbandingan tidak dapat dilakukan dalam laporannya. Perlunya suatu


konsistensi pelaporan agar perbandingan informasi dapat dilakukan.24
Laporan keuangan yang diakui oleh masyarakat internasional adalah laporan
keuangan perseroan yang mengikuti pedoman internasional. Struktur laporan
keuangannya lebih mengutamakan keuntungan pemegang saham. Untuk memiliki
laporan keuangan yang konsisten dalam melaporkan CSR, maka perseroan harus
memiliki pedoman penyusunan akunting yang diperlukan agar laporan keuangan tidak
memiliki pertentangan antara komitmen terhadap masyarakat dan kepentingan
pemegang saham perseroan.
Dalam laporan Laba Rugi perseroan, penjualan barang atau jasa dikurangi oleh
biaya operasional. Pendapatan perseroan berasal dari penjualan produk atau jasa
dengan harga yang lebih besar dari biaya operasional. Tentunya perseroan mengambil
marjin keuntungan dalam penjualan produk atau jasanya. Pemegang saham dari
perseroan mengharapkan keuntungan yang maksimal. Perseroan tidak seperti Yayasan
yang dimaksudkan usaha yang bersifat sosial. Penyelesaiannya pemerintah mengambil
kebijakan dengan mengeluarkan regulasi untuk pembiayaan CSR. Kementrian BUMN
mengeluarkan Keputusan Menteri No. Kep-216/M-PBUMN/1999 pada tanggal 28
September 1999, diikuti dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 19 Tahun 2003
tentang BUMN dan penerbitan Peraturan Menteri BUMN No. Per-05/MBU/2007
tentang kemitraan dengan usaha kecil dan program manajemen lingkungan. Semua
undang-undang dan peraturan menyatakan bahwa setiap BUMN yang didirikan
sebagai perseroan harus mengalokasikan 4 persen dari laba bersihnya untuk kemitraan
dengan usaha kecil dan menengah dan program manajemen lingkungan, masing-
masing 2 % untuk program kemitraan dan untuk program manajemen lingkungan. 25
Dalam sifat komersialnya, perseroan didirikan untuk kepentingan pemegang
saham, bukan masyarakat. Seperti pernyataan Adam Smith dalam buku Wealth of
Nations (Book I, Chapter 2) bahwa Bukan karena kebaikan dari tukang daging,
pembuat bir, atau pembuat roti yang kita harapkan dari makan malam kita, tetapi dari
perhatian mereka pada kepentingan mereka sendiri. Kita menyapa diri kita sendiri,
bukan untuk kemanusiaan mereka tetapi untuk cinta diri mereka, dan tidak pernah
berbicara dengan mereka tentang kebutuhan kita sendiri tetapi tentang keuntungan
mereka.26 Pendiri perseroan atau pemegang saham pendiri mengharapkan keuntungan
yang besar dari penjualan barang atau jasa yang nantinya akan dibagikan sebagai
pembagian keuntungan (dividend) kepada pemegang saham. Pembagian dividend ini
dilakukan setelah keuntungan kotor dikurangi pajak. Tujuan perseroannya bukan
untuk melakukan pekerjaan sosial dan memperbaiki lingkungan, akan tetapi untuk
memperkaya dirinya.
Pemerintah memungut pajak bukan dikarenakan perseroan akan membangun
keadaan sosial dan lingkungannya, tetapi mengambil keuntungan dari usaha perseroan.
Pengertian pajak dapat dijelaskan sebagai berikut:

24
Thejo Jose, “Need for Harmonisation of Sustainability Reporting Standards”, Journal of
Finance and Economics. , 5(6), 253-258, 2017, http://pubs.sciepub.com/jfe/5/6/1/index.html, diakses
pada tanggal 9 Februari 2019.
25
Taridi K. Ridho, “The Development of CSR Implementation in Indonesia and Its Impact on
Company’s Financial and Non-financial Performance”, ICIFEB International Conference on Islamic
Finance, Economics and Business Volume 2018,
https://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:hPlRocsB-
ZcJ:https://knepublishing.com/index.php/Kne-
Social/article/download/2517/5622+&cd=3&hl=en&ct=clnk&gl=id, diakses tanggal 5 Januari 2019
26
Thomas Storck, “The Butcher, The Baker, The Candlestick Maker”, The Distrubutist Review,
(3 Desember 2012), https://distributistreview.com/the-butcher-the-baker-the-candlestick-maker/,
diakses Pada tanggal 25 Januari 2019.
Corporate Social Responsibility, Chandra Yusuf, Endang Purwaningsih 873

Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang
pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang,
dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk
keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pembayaran
pajak merupakan perwujudan dari kewajiban kenegaraan dan peran serta
Wajib Pajak untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan
kewajiban perpajakan untuk pembiayaan negara dan pembangunan nasional.
Semakin besar keuntungan kotor yang didapat perseroan, semakin besar pajak
yang dibayarkan kepada negara. Pemegang saham telah berbagi keuntungan dengan
negara ketika perseroan mendapatkan keuntungan yang positif. Namun, biaya CSR
yang tidak termasuk dalam biaya operasional akan menambah pengurangan
keuntungan bagi pemegang saham, karena akan memperbesar keuntungan perseroan
sebelum kena pajak.

5. Corporate Social Responsibility Menimbulkan Kerugian Pemegang Saham


Pembiayaan CSR akan dimasukkan ke dalam biaya operasional perseroan. Sudut
pandang atas pembebanan biaya CSR dalam income statement akan mempengaruhi
perhitungan seluruh laporan keuangan. Apabila CSR dibebankan ke dalam biaya
operasional perseroan, maka CSR harus memiliki akun komersial yang akan dihitung
sebagai beban biaya dari income statement perseroan. Nilai yang tersisa akan
mempengaruhi perhitungan besarnya pajak negara yang dibayarkan perseroan. Hal
tersebut membuat pembagian keuntungan kepada pemegang saham semakin kecil.
Pembebanan CSR dalam operasional perseroan akan mengecilkan pembagian
keuntungan pemegang saham. Pemegang saham menanggung CSR melalui
pembiayaan operasional perseroan yang lebih besar secara keseluruhan.
David Javakhadze, Ph.D., asisten profesor dari mata kuliah keuangan melakukan
investigasi hubungan antara CSR dan efisiensi dalam perseroan yang mengalokasikan
dananya untuk kepentingan sosial: "We found that emphasizing Corporate Social
Responsibility is not good for shareholders,"27 dan ia juga mengatakan: "If you're an
investor you should think twice before you invest in those firms that emphasize CSR."28
Dilihat dari keuntungan perseroan yang merupakan kepuasan investor yang
seharusnya dimaksimalkan tidak tercapai dengan sendirinya. Adapun kelemahan dari
CSR yang merugikan perseroan dapat diuraikan sebagai berikut: 29
- Birokrasi tambahan, dengan meningkatnya biaya untuk menegakkan ketaatan.
- Biaya operasi dapat naik nilainya di atas yang diperkirakan agar mendapatkan
keuntungan yang berlanjut.
- Pendapat yang kritis menyebutkan bahwa CSR perseroan hanya untuk
menghasilkan keuntungan, dan undang-undang akan meningkatkan dan
memperdengarkan masalah ini.
- Laporan perseroan sangat bervariasi menurut jenis, sifat: pribadi dan publik,
dalam evolusi konstan.

27
Forbes, Tim Worstall, (Contributor), “No Surprise At All-Corporate Social Responsibility
Reduces Profits”, (3 June, 2017), https://www.forbes.com/sites/timworstall/2017/06/03/no-surprise-at-
all-corporate-social-responsibility-reduces-profits/#6481f4a3ef2e, diakses pada tanggal 1 Januari 2019.
28
Ibid.
29
S Geethamani, “Advantages and disadvantages of corporate social responsibility”,
International Journal of Applied Research, Volume: 3(3), (2017), hal. 372-374.
http://www.allresearchjournal.com/archives/2017/vol3issue3/PartF/3-3-11-827.pdf, diakses pada
tanggal 7 Februari 2019.
874 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.4 Oktober-Desember 2019

IV. DISKUSI

1. CSR Sebagai Tindakan Sosial dan Perbaikan Lingkungan


Selama ini analisa yang digunakan terhadap CSR hanya berdasarkan hukum
yang lebih banyak menggunakan dogma, prinsip hukum, moral. Masyarakat mematuhi
peraturan seperti apa adanya yang harus diterima. Kepatuhan perilaku individu yang
dapat dipaksakan terhadap nilai dan norma dalam masyarakat. Semua perilaku
individu kembali berpulang kepada norma dan nilai dalam masyarakat. Penjelasan
logis tidak pernah dapat menjangkau hakikat permasalahan. Penyelesaiannya hanya
berkisar dalam perbaikan perilaku individu yang harus sesuai dengan perilaku
masyarakat. Meskipun setiap masyarakat memiliki kebudayaan berbeda satu dengan
lainnya. Namun nilai dan norma yang mendasarinya dianggap sama dalam setiap
masyarakat. Perilaku individu yang berdasarkan nilai dan norma yang bersifat
universal. Pemikiran yang demikian diterapkan terhadap CSR berdasarkan nilai dan
norma umum, apa yang diambil harus dikembalikan atau diganti dengan sesuatu yang
lebih baik.
Pemikiran yang demikian seharusnya masuk ke dalam aktivitas produksi dari
perseroan, bukan aktivitas sosial dan lingkungan yang dipisahkan. Biaya sosial dan
lingkungan termasuk dalam biaya operasional perseroan. Namun perseroan dapat
memisahkan pencatatannya dari laporan keuangan, karena CSR dipandang biaya yang
tidak terkait dengan penjualan barang atau jasa perseroan yang komersial. CSR bukan
bagian dari faktor produksi yang diperhitungkan sebagai biaya untuk membuat barang
dan jasa. Biaya yang dikeluarkan tersebut lebih menekankan kepada aktivitas sosial
dan lingkungan perseroan.
Penggunaan analisa berdasarkan perilaku masyarakat secara keseluruhan tidak
dapat digunakan dalam menjelaskan ketertarikan individu untuk melakukan sesuatu
perbuatan berdasarkan nilai uang. Semua tindakan individu diukur dengan besarnya
nilai uang yang didapat. Aktivitas perseroan menjadi perilaku individu yang mencari
keuntungan. Oleh karenanya, kebijakan pemerintah yang dibuat tidak boleh menjadi
penghalang perseroan dalam mencari keuntungan. Perseroan harus dapat menciptakan
kemakmuran untuk individu pemegang saham. Individu yang dimaksud adalah
pemegang saham yang saat itu tidak melepas kepemilikan terhadap sahamnya dalam
perseroan. Peningkatan kemakmuran individu dapat diukur dengan peningkatan
keuntungan perseroan secara maksimal. Perubahan sosial dan perbaikan lingkungan
menjadi tanggung jawab perseroan yang perlu dibiayai oleh perusahaan terkait hasil
akhirnya, yakni barang atau jasa. Hal tersebut menjadi nilai perseroan yang melekat
dalam masyarakat.

2. Keterbatasan Standar Akunting Dalam Mengekspresikan Akun Corporate


Social Responsibility
Keterbatasan akunting dalam mengekspresikan nilai perseroan terlihat pada
pikiran yang tidak dapat keluar dari "box" atau kotak. Kotak yang membatasi nilai
uang di dalamnya. Kotak yang mempresentasikan nilai akun. Kotak atau akun
perseroan yang terklasifikasi dan terbagi-bagi dalam pagar yang membedakan satu
dengan lainnya. Akun perseroan hanya bisa merepresentasikan nilai angka "di dalam"
perseroan, bukan "di luar" perseroan. Bila konsep ini dihubungkan dengan hukum,
maka nilai yang merepresentasikan nilai perseroan semakin kaku. Pembatasan nilai
dalam akunting dibutuhkan terkait dengan logika kaku yang perlu dipertahankan.
Prinsip nilai kiri dan kanan harus sama. Padahal kenyataannya tidak demikian. Nilai
aset tidak selalu sama perkembangannya dengan nilai hutang. Meskipun nilai awalnya
sama.
Corporate Social Responsibility, Chandra Yusuf, Endang Purwaningsih 875

Ilmu akunting adalah ilmu yang rumit, karena memerlukan perhitungan yang
teknis. Tingkat kesulitannya sangat rumit. Namun percampuran ilmu antara ilmu
hukum dan akunting ini sangat dibutuhkan dalam menganalisa CSR. Pendapatan
perseroan akan merosot dengan biaya operasional yang semakin besar. Pembagian
keuntungan dibagi setelah dikurangi pajak pemerintah. Pemegang saham mengalami
kerugian sehingga keuntungan yang kecil akan mematahkan selera pemegang saham
untuk menginvestasi dananya di perseroan. Seharusnya biaya CSR diambil dari
pembagian keuntungan perseroan. Pembiayaan CSR sebelumnya akan menambah
beban perseroan. Sama saja halnya, pemerintah membebankan biaya kepada perseroan
yang merugi sekalipun, bukan perseroan yang mendapatkan keuntungan. Pembiayaan
perseroan akan selalu merujuk kepada penggunan dalam menciptakan produk atau
jasanya.
Faktor produksi, khususnya tenaga kerja akan berkonflik dengan pemegang
saham. Pernyataan itu yang membuat mereka ingin tahu lebih lanjut. Dalam
penjelasan, pikiran Milton Friedman, pemenang hadiah Nobel dalam bidang ekonomi,
menyebutkan perseroan wajib memaksimalkan kemakmuran pemegang saham.
Pemikiran yang demikian mempengaruhi perseroan dalam mengejar keuntungan
perseroan. Semua kegiatan akan ditujukan kepada kemakmuran pemegang saham.
Pendiri menyetorkan dananya menjadi modal perseroan. Uang tersebut berubah
menjadi saham perseroan. Lalu direksi dianggap bekerja untuk pemegang saham
mencari keuntungan dalam bentuk uang. Setiap penurunan harga saham karena
keuntungan yang kecil atau operasional yang besar dianggap kesalahan direksi yang
membelanjakan uang pemegang saham secara tidak hati-hati. Pemegang saham merasa
dirugikan, bila direksi tidak bertindak berdasarkan anggaran dasarnya. Direksi telah
melanggar konsep memaksimalkan keuntungan bagi pemegang saham.
Namun pemegang saham adalah kustomer yang membeli produk perseroan.
Saham perseroan dijual di pasar modal sehingga saham perseroan dapat dianggap
sebagai produk dari perseroan. Untuk menarik kustomer, perseroan menawarkan
prospek keuntungan. Uang perseroan adalah uang kustomer sekaligus pemegang
saham yang digunakan dalam operasional perseroannya. Saat transaksi penjualan
saham perseroan. Statusnya berpindah dari uang pemegang saham menjadi uang
kustomer. Kustomer memiliki hak untuk merubah statusnya dari pemegang saham
menjadi kustomer. Oleh karenanya, perseroan telah bekerja untuk kepentingan
pemegang saham sekaligus kustomer.
Untuk memberikan keuntungan kepada pemegang saham, perseroan harus
memperkecil harga faktor produksinya. Perseroan mendapat keuntungan besar karena
biaya produksi kecil sehingga laba bersih setelah pajak menjadi besar. Semakin kecil
biaya pekerja semakin besar dividen yang akan dibagi kepada pemegang saham. Ini
yang menjadi konfliknya.
Apakah CSR dianggap sebagai investasi yang akan menambah nilai harta
perseroan? Adapun John Ditchfield, pemilik (co-owner) dari Castlefield Advisory
Partners, menyatakan: CSR is generally used to describe activities undertaken by
companies which reflect their responsibilities to the public and not just shareholders.30
Sementara tujuan investasi adalah mencari keuntungan. Orang atau perseroan yang
melakukan investasi dengan membeli saham mengharapkan keuntungan yang sebesar-
besarnya. Penerapan CSR akan mengurangi keuntungan bagi pemegang saham.
Nyatanya CSR meningkatkan pendapatan dan mengurangi biaya operasional. Dengan

30
Simoney Kyriakou, “Why is CSR important for investors?”, (14 June 2018),
https://www.ftadviser.com/investments/2018/06/14/why-is-csr-important-for-investors/, diakses pada
tanggal 22 Januari 2019
876 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.4 Oktober-Desember 2019

demikian CSR termasuk bagian yang tidak terpisah dari biaya produksi yang
menguntungkan perseroan.31

3. Corporate Social Responsibility Sebagai Investasi Promosi?


Promosi berasal dari kata promotion. Menurut Merriam-Webster, promotion
memiliki pengertian: 32 1. the act or fact of being raised in position or
rank: “Preferement”; 2. the act of furthering the growth or development of
somethingespecially : the furtherance of the acceptance and sale of merchandise
through advertising, publicity, or discounting. Promosi bertujuan untuk meningkatkan
posisi dari produk atu jasa suatu perseroan melalui iklan, publisitas atau diskon.
Promosi dapat meningkatkan penjualan produk atau jasa perseroan. Adapun promosi
merujuk, “the entire set of activities, which communicate the product, brand or service
to the user. The idea is to make people aware, attract, and induce to buy the product,
in preference over others”.
Lalu apakah dengan diterapkan CSR, perseroan dapat meningkat penjualan
produk perseroan, seperti halnya promosi yang dapat meningkatkan penjualan produk?
Gurvy Kavei, seorang pakar manajemen dari Universitas Manchester, Inggris dalam
Pambudi (2005) menyatakan bahwa ada lima keuntungan utama bagi perseroan yang
mempraktik CSR, yaitu: 33 (1) Menguntungkan dan meningkatkan kinerja finansial
yang lebih kokoh, misalnya lewat efisiensi lingkungan; (2) Meningkatkan
accountibility dan asset dari komunitas investasi; (3) Mendorong komitmen karyawan
karena mereka diperhatikan dan hargai; (4) Menurunkan kerentanan gejolak dengan
komunitas; dan (5) Mempertinggi reputasi corporate branding.
Sebagai contoh nama mobil Kijang menjadi nama brand Toyota yang dikenal
sebagai mobil minibus untuk keluarga di Indonesia. Setiap orang akan merujuk kepada
tipe minibus keluarga yang serupa dengan menyebutnya sebagai Kijang. Nama produk
mobil yang berasal dari perseroan Toyota. CSR yang diterapkan dalam suatu
perseroan merujuk kepada produk tertentu dan membuat image terhadap produk
tersebut. Penjualan produknya akan meningkat dengan promosi yang membentuk
corporate brand. Peningkatan penjualan produk akan membuat pendapat
meningkatkan dan memiliki kemampuan untuk menutupi biaya operasional dan
membagi keuntungannya kepada pemegang saham. CSR sebagai promosi dapat
memperkuat corporate branding yang dapat mendorong kenaikan produk penjualan.
Dengan CSR dianggap sebagai promosi perseroan, maka biaya yang dikeluarkan
dapat dimasukkan kedalam biaya promosi yang dihitung dalam biaya operasional
perseroan. CSR tidak dipisahkan dari biaya operasional perseroan sehingga kesatuan
biaya dapat dipertanggungjawabkan kepada pemegang saham dalam satu laporan
keuangan.

V. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian diatas, maka perumusan permasalahan dapat diberikan


solusinya dengan mengambil kesimpulan sebagai berikut:

31
Encast, “Make Money Save Money: CSR programs generate revenue. And they reduce
operating costs. Let’s take a look at both of those claims”,
https://www.encast.gives/hubfs/offers/other/ROI_Analysis_for_Small_Businesses.pdf, diakses pada
tanggal 9 Februari 2019.
32
Cambridge Dictionary, “Investment”,
https://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/investment, diakses pada tanggal 22 Januari 2019
33
Rusmadi dan Achmad Zaini, Implementasi Corporate Social Responsibility (CSR) di
Kabupaten Kutai Timur,https://media.neliti.com/media/publications/52381-ID-implementasi-corporate-
social-responsibi.pdf, diakses pada tanggal 1 Januari 2019.
Corporate Social Responsibility, Chandra Yusuf, Endang Purwaningsih 877

1. Direksi dalam perseroan memiliki kewajiban untuk menguntungkan pemegang


saham. Sebaliknya perseroan juga memiliki CSR atau kewajiban sosial untuk
mensejahterakan masyarakat. CSR dapat dibebankan kepada keuntungan
pemegang saham dan juga dapat dibebankan kepada biaya operasional perseroan.
Namun pembebanan CSR kepada biaya operasional perseroan tidak terkait
dengan produksi barang atau jasa. Penjualan produk atau jasa dikurangi dengan
biaya operasional yang langsung digunakan untuk menciptakan barang dan jasa.
Dengan demikian biaya CSR tidak dapat dimasukkan kedalam biaya operasional
perseroan.
2. Dalam sudut pandang yang berbeda, dengan menganggap CSR bukan kewajiban
sosial dan lingkungan tetapi promosi, maka pelaksanaan CSR akan membantu
perseroan dalam pencitraan. CSR akan memperkenalkan perseroan dalam
membuat brand name dan menciptakan produk atau jasa yang mengindahkan
sosial dan lingkungan sekitar. Sama halnya promosi yang memerlukan biaya.
Tentunya CSR dapat dianggap sebagai promosi perseroan yang pembiayaannya
masuk dalam biaya operasional perseroan.

DAFTAR PUSTAKA

Buku dan Jurnal


Anderson, John P., “When Does Corporate Criminal Liability for Insider Trading
Make Sense?”, Stetson Law Review, Vol.46, (2016), hal. 149
http://www.stetson.edu/law/lawreview/media/2017%208%20-
%20Anderson%5B1%5D.pdf, diakses pada tanggal 7 Agustus 2017.
Cosans, Christopher., “Does Milton Friedman Support a Vigorous Business Ethics?”,
Journal of Business Ethics, (Spring, 2008),
http://link.springer.com/article/10.1007/s10551-008-9927-5, diakses pada
tanggal 20 Janurai 2017.
Demetriou, Andrew J., etc, “Stone v. Ritter: The Delaware Supreme Court Affirms
the Caremark Standard for Corporate Compliance Programs”, ABA Ehealth
Resource, Volume 3 Number 6, (February 2007),
https://www.americanbar.org/newsletter/publications/aba_health_esource_home/
Volume3_06_demetriou.html, diaskes pada tanggal 31 Juli 2017.
Geethamani, S., “Advantages and disadvantages of corporate social responsibility”,
International Journal of Applied Research, Volume: 3(3), (2017), hal. 372-374.
http://www.allresearchjournal.com/archives/2017/vol3issue3/PartF/3-3-11-
827.pdf, diakses pada tanggal 7 Februari 2019.
Gold, Andrew, S., “The New Concept of Loyalty in Corporate Law”, University of
California, Davis, Vol. 43: 457, (2009), hal. 457.
http://lawreview.law.ucdavis.edu/issues/43/2/articles/43-2_gold.pdf, Diakses
pada tanggal 21 Juli 2017.
Jalley, Paul D., “Shareholder (And Director) Fiduciary Duties and Shareholder
Activism”, Houston Business and Tax Law Journal, Vol.8., (2008), hal. 302.
http://www.hbtlj.org/v08p3/v08p3dalleyar.pdf, diakses pada tanggal 1 Oktober
2016.
Jose, Thejo., “Need for Harmonisation of Sustainability Reporting Standards”, Journal
of Finance and Economics. , 5(6), 253-258, 2017,
http://pubs.sciepub.com/jfe/5/6/1/index.html, diakses pada tanggal 9 Februari
2019.
878 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.4 Oktober-Desember 2019

Laux, Judy., “Topics in Finance Part I – Introduction and Stockholder Wealth


Maximization”, American Journal of Business Education, Volume 3:2,
(February, 2010), hal. 15. http://files.eric.ed.gov/fulltext/EJ1060345.pdf, diakses
pada tanggal 19 Juli 2017.
Lee, Ian B., “Corporate Law, Profit Maximization and the Responsible Shareholder”.
Stanford Journal of Law, Business & Finance, (March 2005). Available at
SSRN: http://ssrn.com/abstract=692862, diakses pada tanggal 21 Desember
2016.
Posner, Richard A. ”Social Norms and the Law: An Economic Approach”, American
Economic Review, (Papers & Proc.), Vol. 87, Issue. 2, 365-69, (1997)).
Rahim, Mia Mahmud, Legal Regulation of Corporate Social Responsibility: A Meta-
regulation Approach of Law for Raising CSR in a Weak Economy, Heidelberg,
New York, Dodrecht, London: Springer, (2013).
Ridho, Taridi K., “The Development of CSR Implementation in Indonesia and Its
Impact on Company’s Financial and Non-financial Performance”, ICIFEB
International Conference on Islamic Finance, Economics and Business Volume
2018, https://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:hPlRocsB-
ZcJ:https://knepublishing.com/index.php/Kne-
Social/article/download/2517/5622+&cd=3&hl=en&ct=clnk&gl=id, diakses
pada tanggal 20 Januari 2019.
Sharfman, Bernard S. “Shareholder Wealth Maximization and Its Implementation
Under Corporate Law”, Florida Law Review, Vol. 66, Issue:1, Article 7, (2014),
hal. 3-5,
http://scholarship.law.ufl.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1180&context=flr,
diakses pada tanggal 26 Juli 2017
Storck, Thomas., “The Butcher, The Baker, The Candlestick Maker”, The Distrubutist
Review, (3 Desember 2012), https://distributistreview.com/the-butcher-the-
baker-the-candlestick-maker/, diakses pada tanggal 25 Januari 2019.
Vatn, Arild and Daniel W, Bromley, “Externalities - A Market Model Failure”.
Environmental and Resource Economics, Vol. 9 (1997), hal. 135–151.
Wade, Cheryl L. , “Fiduciary Duty and the Public Interest”, Boston University Law
Review, Vol. 91: 1191, (2011), hal 119, http://www.bu.edu/law/journals-
archive/bulr/documents/wade.pdf, diakses pada tanggal 31 Oktober 2016.
Wan-Jan, Wan Saiful, “Defining corporate social responsibility”, Journal of Public
Affairs, 6: 176–184, (August 2006),
file:///D:/Downloads/WSWJDefiningCSRNov2006.pdf, diakses pada tanggal 11
Februari 2019.
http://econ.tu.ac.th/archan/Chalotorn/on%20mkt%20failure/vatn%20et%20al.pd
f, diakses pada tanggal 10 Januari 2016.

Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, TLN Nomor: 4756.

Surat Kabar dan Internet


Bainbridge, Stephen., “A Duty to Shareholder Value”, The New York Times, (April,
16, 2015), https://www.nytimes.com/roomfordebate/2015/04/16/what-are-
corporations-obligations-to-shareholders/a-duty-to-shareholder-value, diakses
pada tanggal 19 Juli 2017.
Corporate Social Responsibility, Chandra Yusuf, Endang Purwaningsih 879

Cambridge Dictionary, “Investment”,


https://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/investment, diakses pada
tanggal 22 Januari 2019
Encast, “Make Money Save Money: CSR programs generate revenue. And they
reduce operating costs. Let’s take a look at both of those claims”,
https://www.encast.gives/hubfs/offers/other/ROI_Analysis_for_Small_Business
es.pdf, diakses pada tanggal 9 Feberuari 2019.
Goodwin, Neva, etc, “Consumption and the Consumer Society”, A GDAE Teaching
Module on Social and Environmental Issues in Economics, Tufts University
Global Development and Environment Institute, this reading is based on
portions of Chapter 10 from Microeconomics in Context, Copyright M.E.
Sharpe, Dalam ekonomi mikro, konsumsi produk/jasa, termasuk keuntungan
saham menjadi tujuan utama ekonomi, (2008)
http://www.ase.tufts.edu/gdae/education_materials/modules/Consumption_and_t
he_Consumer_Society.pdf, diakses pada tanggal 28 Juli 2017.
Kyriakou, Simoney, “Why is CSR important for investors?”, (14 June 2018),
https://www.ftadviser.com/investments/2018/06/14/why-is-csr-important-for-
investors/, diakses pada tanggal 22 Januari 2019
Ranganathan, Janet., “Minding the Sustainability GAAP”, World Resources Institute,
(August 26, 2010), https://www.wri.org/blog/2010/08/minding-sustainability-
gaap, diakses pada tanggal 7 Februari 2019.
Rusmadi dan Achmad Zaini, Implementasi Corporate Social Responsibility (CSR) di
Kabupaten Kutai Timur, https://media.neliti.com/media/publications/52381-ID-
implementasi-corporate-social-responsibi.pdf, diakses pada tanggal 1 Januari
2019.
Sjahdeini, Sutan Remy, “Pemidanaan Korupsi”, Kompas.id, (Kamis, 3 Agustus 2017),
https://kompas.id/baca/opini/2017/08/03/pemidanaan-korporasi/, diakses pada
tanggal 4 Februari 2019.
Unoviana, “10 Tahun Larangan Merokok, 70 Persen Tempat Umum di Jakarta Masih
“Ngebul”, Kompas.com, (2015)
https://megapolitan.kompas.com/read/2015/09/29/14502591/10.Tahun.Larangan
.Merokok.70.Persen.Tempat.Umum.di.Jakarta.Masih.Ngebul., diakses pada
tanggal 14 Januari 2019.
Worstall, Tim (Contributor), “No Surprise At All - Corporate Social Responsibility
Reduces Profits”, Forbes, (3 June 2017),
https://www.forbes.com/sites/timworstall/2017/06/03/no-surprise-at-all-corporate-
social-responsibility-reduces-profits/#6481f4a3ef2e, diakses pada tanggal 1 Januari
2019.

Anda mungkin juga menyukai