Anda di halaman 1dari 7

RAGAM PARADIGMA

PADA PERKEMBANGAN TEORI PEMBANGUNAN

Review Buku
THEORY OF DEVELOPMENT: CONTENTION, ARGUMENTS,
ALTERNATIVES (SECOND EDITION)
Karya Richard Peet dan Elaine Hartwick (2009)

Oleh
ZULHAM A. HAFID
P 020 421 4321

Richard Peet dan Elaine Hartwick mengawali pembahasan pada bukunya


dengan batasan sederhana mengenai pembangunan. Menurutnya,
pembangunan bermakna sebagai upaya membuat kehidupan seluruh umat
menjadi lebih baik. Kehidupan yang dimaksud antara lain adalah pemenuhan
kebutuhan dasar, seperti pangan dan kesehatan, keamanan dan layanan publik
lainnya. Proses pembangunan berusaha memahami dan mewujudkan cita-cita
hidup masyarakat. Olehnya itu, menurut Peet dan Hartwick, wacana mengenai
pembangunan selalu berkembang karena isu ini mampu menggerakkan dan
mengubah masyarakat ke arah yang lebih ideal.

Paradigma Konvensional
Buku ini dikelompokkan dalam 3 pembahasan utama. Bagian pertama
mengenai Teori Pembangunan Konvensional, bagian kedua mengenai Teori
Pembangunan Non Konvensional sebagai kritik atas Teori Pembangunan
Konvensional, dan bagian ketiga mengenai Kritik Terhadap Modernisme. Pada
bagian pertama (teori pembangunan konvensional), uraian mengenai ekonomi
klasik dan neoklasik dibahas dengan pendekatan sejarah ilmu ekonomi yang
memang sangat berpengaruh besar dalam teori-teori pembangunan. Teori
ekonomi klasik muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap paham feodalisme
yang berada di Inggris. Ekonomi klasik juga bertentangan dengan ide
Merkantilisme yang lahir lebih awal. Periodesasinya berlangsung dari awal
abad ke-15 hingga pertengahan abad ke-19.

Bagi Peet dan Hartwick, Merkantilisme adalah sistem gagasan, institusi, politik,
dan praktik ekonomi yang didukung oleh kekuatan absolut negara, kekuasaan
monarki dan kaum bangsawan pada awal masa kapitalisme yang bertujuan
untuk meningkatkan kekuatan nasional yang melambangkan kekuatan negara.
Kekuasaan masih dipegang oleh raja dan para tuan tanah. Pada periode 1600-
1850 dapat dilihat sebagai suatu perjalanan panjang dimana tuan tanah dan
kaum borjuis sebagai pengontrol negara, pengontrol ide-ide, dan pengontrol
seluruh sistem ekonomi dan hasil-hasilnya. Ekonomi klasik mempertahankan
rasionalisme tetapi berorientasi pada kepentingan golongan atau kaum tertentu.
Kondisi ini berlangsung hingga periode pencerahan Inggris yang merupakan
perubahan pemikiran yang digunakan untuk memerangi takhayul, kebodohan,
tirani dari paham agama (gereja Katolik) dan kaum borjuis yang konservatif dan
menggunakan kekerasan (lihat hal. 26). Setelah pencerahan Inggris ini, maka
periode Ekonomi Klasik dimulai dengan berkembangan revolusi pertanian dan
industri. Periode ini melahirkan prinsip-prinsip ekonomi klasik melalui publikasi
buku “The Wealth of Nations” karya Adam Smith pada pemberontakan tahun
1776, dan publikasi John Stuart Mill dengan “Principles of Political Ecocnomy”
pada masa pemberontakan 1848.

Politik ekonomi mengalami perubahan gaya (tetapi tidak terlalu substantif)


dengan lahirnya prinsip utility Jeremy Bentham yang memasukkan unsur
pemerintah sebagai pengontrol yang harus mampu menghasilkan “The
Greatest Possible Happiness” bagi setiap masyarakat yang diaturnya.
Pemerintah harus mengintervensi dengan menjamin hak-hak individu. Selain
Bentham, dalam periode ini, David Ricardo dengan “Prinsip Politik Ekonomi dan
Perpajakan” memperkaya paradima pada Teori Smith dan mengelaborasi
pandangan Bentham, dengan menambahkan unsur “kelangkaan” yang dapat
mempengaruhi nilai suatu komoditas. Kontribusi utama Ricardo pada ekonomi
klasik adalah pencabutan Undang-undang Gandum tahun 1846 dan teori
perdagangan bebas berdasarkan prinsip keunggulan komparatif.
Perkembangan pemikiran ekonomi klasik ini diperkaya dengan ekonomi etika
John Stuart Mill yang menggabungkan Teori Ricardo dan Prinsip Bentham.
Menurut Mill, utilitarianisme juga mengandung unsur keadilan, dimana
kebahagiaan tidak diartikan semata milik pribadi, namun untuk semua orang,
maka dari sana memunculkan konsepsi moral bahwa utilitarianisme merupakan
universalisme etis, bukan egoisme etis.

Penganut paham ekonomi klasik berlandaskan “self interested” (keegoisan)


manusia. Padahal, pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial yang tidak
egois. Paham ini lebih mementingkan para pemilik modal, dan mengaku bahwa
mereka adalah orang-orang modern yang harus mengontrol ekonomi. Padahal
teori ini muncul dari antitesa paham merkantilisme. Teori ekonomi klasik mulai
dipertanyakan oleh Veblen yang membedakan antara hal rasional, aspek teknis
dan produksi mekanik yang modern serta bisnis dan aspek kewirausahaan
(lihat hal. 53). Roscher, Schmoller dan ekonom Jerman lainnya juga mulai
melakukan kritik atas teori klasik dan neoklasik. Ekonomi klasik dan neoklasik
dipandang keliru dalam menemukan hukum-hukum universal, lebih bersifat
induktif daripada deduktif, dan menjadi naif dengan beranggapan bahwa orang-
orang termotivasi sepenuhnya oleh kepentingan pribadi. Pada pemikiran yang
lain, Scumpeter, seorang Marginalist, melihat bahwa faktor yang mempengaruhi
ekonomi bukan hanya konsumsi melainkan produksi yg diperoleh dengan
beberapa metode baru, pasar baru, pasokan bahan baku dan setengah jadi dan
organisasi produksi baru.

Teori selanjutnya yang diklasifikasikan Peet dan Hartwick sebagai teori


konvensional adalah pandangan Keynesian. Diperkenalkan oleh John
Maynard Keynes, pemikirannya melihat bahwa sistem ekonomi tidak secara
otomatis menemukan tingkatan hasil yang optimal melainkan menciptakan
permintaan melalui suplai yang dapat menunjang semua level pekerja atau
pendapatannya. Dalam sistem Keynesian, investasi riil (pengeluaran baru
pabrik, peralatan, mesin, dan persediaan barang yang lebih besar) adalah
variabel penting. Keynesian dianggap menghasilkan politik yang disukai kelas
pekerja/buruh karena pemeliharaan tingkat lapangan kerja tinggi. Dominasi
Keynesian adalah ekonomi berfokus pada pertumbuhan ekonomi dengan
kunci utamanya adalah tingkat investasi pada sistem kapital dan SDM. Kajian
mengenai pemikiran-pemikiran Keynes kemudian dikembangkan dengan
lahirnya Neo-Keynesia. Melalui Robert Solow, ia menyempurnakan bahwa
dengan peningkatan rasio tabungan akan menghasilkan produksi tinggi per
kapita dan membuat pendapatan riil lebih tinggi. Namun dengan tidak adanya
teknologi, kemajuan tingkat pertumbuhan adalah murni bergantung pada
peningkatan pasokan tenaga kerja. Akibatnya, perkembangan teknologi harus
menjadi motor pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang.
Menurut Peet dan Hartwick, Jepang adalah salah satu negara yang menganut
Keynesian. Jepang mengendalikan persaingan untuk mencapai kesuksesan
ekonomi, dan memperkenalkan manajemen ilmiah. Investasi asing dibatasi
dan diatur, serta negara secara aktif terlibat dalam meningkatkan keterampilan
dan kemampuan teknologi. Semuanya melalui subsidi pendidikan, pelatihan,
serta litbang.

Pembangunan ekonomi semakin ditingkatkan pada beberapa isu-isu penting


sebagai fungsi pasar (neoklasikisme) atau kebutuhan untuk perencanaan
negara (Keynesianisme). Pembuat kebijakan Keynesian mengabaikan
kemungkinan kemajuan teknis dan memesona mereka dengan masalah
terselubung pengangguran, terutama di daerah pedesaan, menyebabkan
kebijakan pembangunan sumber daya produktif hanya ditransfer ke produksi
industri dengan tidak adanya keuntungan ekonomi. Kritik inilah awal
munculnya perdagangan bebas, laissez faire yang nantinya disebut
neoliberalisme. Neoliberalisme berasal dari teori politik-ekonomi yang
terbentuk pada akhir Abad ke-19 dan awal abad ke 20 yang mengkritik
neoklasik dengan konsep yang tidak realistis terutama ekonomi pada titik
keseimbangan. Pendiri sebenarnya dari neoliberalisme adalah Ludwig Von
Mise yang mampu menempatkan kemampuan teknis untuk membuat
kontribusi inovatif terhadap moneter dan teori perbankan. Ajaran
Neoliberalisme dimanifestasikan melalui pembentukan Bank Dunia, IMF,
penyusunan MDGs dan penghapusan utang negara-negara tertentu. Kritik
terhadap Pembangunan Neoliberal memiliki substansi pada kritik tentang
penyerahan ekonomi kepada mekanisme pasar yang akan berproses secara
alamiah. Para pengkritik memandang bahwa pasar tidaklah terjadi alamiah
melainkan ada campur tangan dari “tangan tak terlihat” yaitu pengusaha besar
dan kapitalis. Untuk itu diperlukan campur tangan pemerintah untuk
mengendalikan pasar.

Dalam Teori modernisasi, nilai-nilai sosiologi mempengaruhi pembangunan


yang berlangsung di Eropa. Teori modernisasi pada dasarnya mengatakan:
jika Anda ingin berkembang, jadilah seperti kami (orang Barat). Teori
modernisasi yang diuraikan dalam sistem geografi global dibagi menjadi (1)
pusat kemajuan modern dan (2) daerah keterbelakangan dan tradisional.
Dalam pendekatan modernisasi, penekanannya adalah pada perbedaan sosial
dan budaya yang luas antara masyarakat modern dan tradisional. Pemahaman
tentang perbedaan-perbedaan inilah yang menjadi dasar kebijakan
pembangunan (lihat hal. 123). Ekonom The University of Chicago, Bert
Hoselitz (1913-1995) memainkan peran utama dalam mengkritik ekonomi dan
mengusulkan alternatif yang lebih sosiologis. Hoselitz menekankan perubahan
budaya sebagai prasyarat bagi pembangunan ekonomi. Perubahan-perubahan
budaya dalam pembangunan ekonomi itu memang dimungkinkan. Sejarawan
WW Rostow dalam bukunya Tahapan Pertumbuhan Ekonomi: Sebuah
Manifesto Non-Komunis (1960), mengusulkan teori alternatif Karl Marx
tentang sejarah. Rostow (1916-2003) berpendapat bahwa, lima kategori
sejarah antara lain adalah: 1) Masyarakat tradisional; 2) Prasyarat untuk take-
off; 3) Take-off atau tinggal landas; 4) Menuju kedewasaan; 5) Konsumsi
massa tinggi (lihat hal. 126-129).

Teori sosiologi modernisasi mengungkapkan gagasan bahwa kemajuan harus


mereplikasi pengalaman Barat, dan mendasari kebanyakan teori
pembangunan konvensional, termasuk kebijakan ekonomi neoliberal
kontemporer. Teori modernisasi dikritik karena konsep sejarah, atau lebih
tepatnya, ahistoris, dengan perhatian kritis difokuskan pada konsep Rostow
pada proses modernisasi universal. Sosiologi Weberian dan fungsionalisme
struktural juga dapat dikritik sebagai Eurocentric.

Paradigma Non Konvensional


Beberapa teori pembangunan didisain sebagai pandangan non konvesional.
Teori-teori yang merupakan non konvensional antara lain adalah Teori
Marxisme, Poststructural, Feminisme. Marxisme dengan konsep materialisme
historis menekankan bahwa dunia secara keseluruhan tersusun dari materi
dimana kesadaran manusia ditentukan oleh keadaan sosial. Dialektika
materialisme merupakan penggabungan dari dialektika idealisme yang dibawa
oleh Hegels dengan konsep materialisme. Dalam proses analis metode
dialektika materialisme, Marx melihat materi dan perlahan-lahan Marx
menganalisis hubungan-hubungan sosial yang berhubungan dengan ekonomi,
tenaga kerja, dan politik sebagai analisa sosial yang memiliki kekuatan-
kekuatan yang menentukan dalam sejarah manusia. Inilah yang dikatakan oleh
Marx sebagai historis materialis yang berepisentrum pada materi.

Marxisme Struktural memiliki implikasi signifikan bagi pembangunan. Mode


produksi, ditandai paling dasarnya oleh hubungan sosial mereka, memiliki
kemampuan yang berbeda untuk memperluas kekuatan produktif mereka,
dasar tekno-ekonomi berkendara di belakang pembangunan. Tapi formasi
sosial dibentuk oleh artikulasi dari beberapa mode produksi, sehingga terdapat
beberapa dinamika ekonomi masyarakat, yang sering bertentangan,
mengembangkan dan di bawah kecenderungan berkembang, sering berada di
daerah yang berbeda dalam suatu masyarakat (pengembangan secara
geografis tidak merata).
Teori ketergantungan sebagai teori yang muncul sebagai kritikan dari teori
modernisasi. Teori modernisasi berkiblat ke dunia barat dan negara-negara
dunia ketiga. Ketergantungan adalah sebuah situasi yang melibatkan
sekelompok negara tertentu yang memiliki system ekonomi yang dibentuk oleh
pembangunan dan kemajuan ekonomi negara lain. Selanjutnya, Negara-negara
yang memiliki perekonomian yang kuat akan mempengaruhi dan mendominasi
negara-negara yang tertinggal sehingga terjadi sebuah kondisi ketergantungan.
Pada tempat lain, teori sistem dunia lahir karena dua teori sebelumnya, yaitu
teori modernisasi dan teori dependensi yang menuai banyak kritik. Teori sistem
dunia memiliki afinitas yang jelas dengan teori dependensi dalam
kepemilikannya di pusat dan pinggiran.

Dalam sistem dunia ada tiga zona ekonomi utama: maju, berkembang, dan
tertinggal. Yang membentuk negara-negara memiliki efisiensi sistem produksi
yang kompleks dan tingginya tingkat akumulasi modal. Negara maju secara
administratif terorganisir dengan baik dan kuat secara militer. Negara-negara
tertinggal cenderung berlawanan. Negara berkembang menggabungkan kedua
unsur-unsur negara tersebut. Teori sistem dunia melihat hubungan spasial
antara zona eksploitatif yang melibatkan aliran surplus dari negara tertinggal ke
negara maju, seperti dalam teori ketergantungan. Untuk teori sistem dunia yang
paling surplus, diakumulasi sebagai modal dasar, berasal dari sumber-sumber
lokal (eksploitasi pekerja lokal).

Teori ketergantungan, teori sistem dunia, teori regulasi lahir lahir dari kritik
atas pendapat marxisme dan neo marxis. Penerapan paradigman konvensional
dijelaskan oleh Peet dan Hartwick pada perekonomian soviet yang diawali pada
tahun 1917, dimana revolusi rakyat berhasil menggulingkan dinasti Tsar, dan
kemudian membentuk USSR (Uni Soviet Sosialis Republic). Saat itu
perekomian Soviet tidak diserahkan pada kekuatan pasar. Partai komunis
telah membuat perencanaan ekonomi 5 tahun. Basis industri besar dibangun
tanpa menunggu akumulasi modal, dan pendanaan eksternal. Perencanaan
yang rumit dan tidak efektif karena ekonomi menjadi lebih kompleks.

Pada tahun 1980, Gorbachev memperkenalkan program keterbukaan politik,


restrukturisasi ekonomi, dan percepatan pembangunan ekonomi. Diikuti oleh
negara-negara pecahan uni soviet yang melepaskan sistem komunis yang
lampau. GNP Rusia, entitas utama yang masih hidup, kini sebanding dengan
negara-negara seperti Brazil dan Australia, dan angka harapan hidup warga
negaranya menjadi 66 tahun. Pada kasus lain, Kuba dibawah kepemimpinan
Fidel Castro memperlakukan sistem komunis, dan sebagian perekonomian
Kuba dinasionalisasi. Embargo Amerika membuat Kuba menjalin hubungan
dengan Soviet. Kehancuran Soviet menjadi kehancuran Kuba. Demikian pula
dengan, Presiden Chaves yang berhasil menanamkan retorika nasionalisme
kepada rakyat Venezuela tentang kepemilikan merata atas hasil minyak bumi di
Venezuela. Berbagai kebijakan dalam pemerintahan Chaves bisa dikatakan
tidak pernah gagal karena selalu ditopang dengan minyak bumi yang sangat
berlimpah.
Antara pertengahan 1960-an dan awal 1980-an, pemikiran kritis tentang
pembangunan didominasi oleh teori Marxis dan Neo Marxis. Kiritik ini terbentuk
secara struktural dan sistematis. Teori struktural adalah dasar untuk gerakan
sosial dan politik yang menyerukan transformasi masyarakat melalui
pembangunan dengan cara menata masyarakat dengan menganggap
masyarakat sebagai keseluruhan entitas. Kritik-kritik mengenai post structural
dan post modern disampaikan antara lain oleh Cassirer, Antoine-Nicolas de
Condorcet, Richard Rorty, Jacques Derrida dan Robert Young (lihat hal. 199-
202).

Dalam konteks pertumbuhan kajian postkolonial dan pribumisasi ilmu


pengetahuan dan dengan mengacu pada poststructural dan pasca kritik
modern dari teori sosial, bidang studi pembangunan juga mengalami kritik yang
signifikan dan mengalami pemikiran ulang. Peningkatan upaya introspeksi diri
di tahun 1970-an dan awal 1980-an datang dari Participatory Action Research
(PAR) dalam upayanya untuk membentuk sebuah metodologi intelektual secara
endogen dan penelitian yang berguna bagi rakyat di Dunia Ketiga.

Teori selanjutnya yang dikemukakan oleh Peet dan Hartwick adalah Teori
Feminisme, yakni teori yang melihat asal-usul, karakteristik, dan bentuk-bentuk
ketidaksetaraan gender yang secara langsung berpusat pada isu hak-hak
reproduksi, kekerasan dalam rumah tangga, cuti hamil, upah yang sama,
pelecehan seksual, diskriminasi, dan kekerasan seksual serta masalah jangka
panjang seperti patriarki, stereotip, objektifikasi, dan penindasan. Politik
feminisme berusaha untuk memperjuangkan kesetaraan gender wanita yang
melintasi batas-batas perbedaan kelas, ras, budaya, agama, dan latar belakang
daerah. Naum demikian, politik feminism modern dikritik karena adanya
pergeseran nilai perjuangan dari politik pemersatu kepada perbedaan,
kontradiksi dan strategi.

Kritik Terhadap Modernisme


Setelah membahas mengenai teori konvensional dan non konvensional pada
bab-bab sebelumnya, Peet dan Hartwick kemudian mengkonstruksi sebuah
kerangka alternatif untuk mengkritik modernisme dan postmodernisme. Peet
dan Hartwirck menyebutnya sebagai pendekatan kritik “modernisme” (lihat hal.
275).

Pada kapitalisme, yang kaya semakin kaya, dan yang miskin semakin miskin.
Efek ‘menetes ke bawah’ kurang berhasil. Setelah 200 tahun teori ini
dijalankan, malah semakin memperbanyak jumlah kaum miskin bahkan di
negara maju sekalipun. Kapitalisme industri misalnya, menghasilkan 2,8 milyar
penduduk yang miskin di dunia. Neoliberal ditentang oleh 3 teori alternatif politik
yakni teori Marxis, teori Post struktural, dan teori feminis. Pada perkembangan
selanjunya, Teori Marxis dan Neomarxis berpendapat bahwa modernitas hanya
meninggikan gaya hidup dan mengorbankan masyarakat miskin, sehingga
terjadi ketimpangan hidup. Modernitas juga menyebabkan lingkungan rusak,
terdegradasi, budaya yang direndahkan, hanya untuk memuaskan keinginan
konsumtif kaum yang kaya. Teori postmodernisme dan feminis ingin melakukan
gerakan sosial oposisi sehingga masyarakt bisa mennetukan masa depan
mereka sendiri. Kritik modernisme tidak percaya terhadap kaum elit manapun,
baik itu kewirausahaan, birokrasi, ilmiah, intelektulitas, ras,geografis, patriarki.
Kritik modernisme menggabungkan semua wacana dan pengalaman pada
masa modernisme untuk dikembangkan menjadi ide baru.

Pada akhirnya, Peet dan Hartwick meyakini pembangunan harus diubah dalam
istilah makna, yaitu sebagai keyakinan terhadap hal-hal yang lebih baik, seperti
mempekerjakan jutaan orang yang ingin bekerja, dan sebagai harapan utama
untuk dunia yang lebih baik. Dalam pembangunan, secara khusus berarti
menggunakan produksi untuk memenuhi kebutuhan yang miskin (lihat hal.
290). Yang berarti demokrasi dalam hal produksi ini, semua orang yang terlibat
dalam institusi, tempat kerja, universitas, keluarga, dsb harus secara kolektif
mengontrol lembaganya. Pembangunan berarti menyalurkan sumber daya
secara langsung kepada yang miskin untuk meningkatkan produktivitas
mereka. Namun tidak berarti penyaluran inipun tanpa kerja keras dari yang
miskin, atau dalam istilahnya “makanan tidak muncul langsung di atas meja”.
Pembangunan sepenuhnya berada di tangan rakyat, secara langsung dan
kooperatif, dengan merealisasikan demokrasi sosial, ilmiah, kekuatan teknis,
dan ekonomi.

===end===

Anda mungkin juga menyukai