Indonesia
Oleh
Nama : Siti Ani Mulyani
NIM :191310002
Mata Kuliah : PAR (Participatory Action Research)
Dosen Pengampu : Dr. Masykur, M.Hum
Menurut argumen Edwards dan Hume, salah satu faktor penting yang
mempengaruhi dan menghambat kemampuan NGOs untuk berperan dalam perubahan
sosial global adalah mereka di tingkat mikro dengan sistem dan struktur makro yang
lebih luas. Itulah sebabnya Edwards dan Hume mendefinisikan istilah “NGO” sebagai
kategori organisasi yang batasannya sangat luas, terdiri dari lembaga yang amat
sangat beragam. Mereka mencoba mengidentifikasi batasan NGOs dilihat dari segi
bentuk, ukuran dan fungsinya, yang dapat dibedakan menjadi tiga tipe, (Edwards dan
Hume, 1993, hal. 14).
Memang kenyataan LSM terdiri atas beragam entitas yang satu sama lain sangat
berbeda, baik dalam tujuan, visi dan motivasi maupun ideologinya. Di Indonesia,
Non- Governental Organizations (NGOs) dianggap sebagai satu bentuk organisasi
gerakan sosial yang secara umum dikenal dengan istilah “Lembaga Pengembang
Swadaya Masyarakat” (LPSM) atau “Lembaga Swadaya Masyarakat” (LSM). LPSM
atau LSM berusaha menanggapi berbagai kebutuhan organisasi akar rumput dengan
dukungan lembaga kerja sama pembangunan internasional atau lembaga dana
(funding agencies). LPSM maupun organisasi akar rumput yang juga disebut LSM,
organisasi gerakan sosial serta lembaga dana internasional (NGOs internasional,
solidaritas dan Lembaga dana) adalah tiga protagonis utama dalam proses kerja sama
lembaga nonpemerintah. Istilah LSM yang dimaksud di sini menunjuk kepada
berbagai organisasi yang bukan
bagian dari organisasi pemerintah serta didirikan bukan sebagai hasil dari persetujuan
antarpemerintah.
Gejala ke tidak jelasan dan disorientasi dalam visi, posisi dan misi LSM Indonesia
sebagai organisasi gerakan sosial menuju demokratisasi dan transformasi di negeri ini
sesungguhnya telah diungkap oleh banyak peneliti. Pengamatan dan studi oleh
Eldridge (1988), Budiman (1990), Fakih (1992) dan Billah (1992) menunjukkan
adanya kontradiksi antara jargon dan teori kebanyakan LSM besar dengan kenyataan
kegiatan mereka di lapangan. Sebagian besar LSM menetapkan cita-cita mereka
adalah demi demokratisasi, transformasi sosial dan keadilan sosial. Namun, ketika
sampai pada bagaimana mereka akan mencapai aspirasi-aspirasi tersebut, kebanyakan
dari mereka menggunakan konsep maupun teori Modernisasi dan Developmentalisme
tanpa pernyataan kritis. Kontradiksi teoretis dan ambiguitas dalam paradigma ini
menyumbangkan inkonsistensi metodologis dan pendekatan LSM dalam kegiatannya
di lapangan.
Di antara banyak sumber yang mempunyai andil besar dalam melahirkan ke tidak
jelasan itu adalah kuatnya pengaruh ideologi Modernisasi dan Developmentalisme
terhadap lingkungan politik, ekonomi, kultur dan aspek-aspek lainnya, termasuk
kalangan LSM, di Indonesia. Dewasa ini, Modernisasi dan Developmentalisme di
negeri-negeri Dunia Ketiga telah menjadi paradigma dan ideologi utama dan
dominan. Modernisasi dan Developmentalisme diyakini oleh kaum birokrat,
intelektual kampus, dan bahkan kalangan aktivis LSM di Dunia Ketiga, khususnya di
Indonesia, sebagai satu-satunya jalan memecahkan masalah. Pengaruh Modernisasi
dan Developmentalisme ini mengendap sangat dalam di pikiran mayoritas aktivis
LSM Indonesia. Belakangan ini, setelah pengimplementasian Developmentalisme
selama
lebih dari dua dasawarsa, mereka baru mulai menyadari bahwa Modernisasi dan
Developmentalisme bukanlah merupakan solusi, melainkan bagian dari masalah itu
sendiri. Oleh sebab itu, Developmentalisme dan Modernisasi akhir-akhir ini menjadi
masalah kontroversial tidak saja di kalangan akademisi yang memiliki kepedulian
terhadap masalah sosial, tetapi juga di kalangan aktivis LSM.
Sejauh ini, sudah ada sejumlah studi baik di Dunia Pertama maupun Dunia Ketiga
yang mengkritik Developmentalisme. Kritik-kritik tersebut sudah dimulai satu
dasawarsa setelah dikursus Pembangunan diluncurkan Harry S. Truman tahun 1950-
an. Dengan kata lain, dalam waktu kurang dari 40 tahun zaman pembangunan, telah
muncul teori dan analisis yang mengkritik dikursus pembangunan sebagai penyebab
utama keterbelakangan dan kesengsaraan berjuta-juta rakyat di Dunia Ketiga. Di
sepanjang riset partisipasi ini, para aktivis mempunyai kesempatan mempelajari
perspektif dan teori tersebut dan mencoba menerapkannya dalam analisis mereka
tentang politik dan perekonomian Indonesia. Teori ketergantungan, sebagaimana
dipahami, mempersoalkan keuntungan bersama dari perdagangan internasional dan
pembangunan yang dinyatakan oleh penganjur Modernisasi dan teori pertumbuhan
(growth theories) dari Amerika. Argumen utama teori ketergantungan adalah,
ketergantungan sosio-ekonomi (neokolonialisme) meningkatkan keterbelakangan,
yakni perkembangan keterbelakangan (the development of underdevelopment).
Dengan demikian, sesuai dengan definisi kesahihan katalisis itu, riset partisipasi
ini menggunakan kesadaran yang muncul dan transformasi partisipan sebagai ukuran
kesahihan.
Kegiatan utama Program Riset Aksi Partisipasi dilakukan dari Juli 1992 – Januari
1994. Proses studi meliputi tiga kegiatan utama. Pertama, studi tentang visi dan
paradigma aktivis tentang perubahan sosial dan pembangunan. Pengkajian ini
dilakukan oleh kelompok inti. Tetapi proses penganalisisan data dilakukan oleh
aktivis
gerakan sosial yang lebih luas. Kegiatan kedua adalah pengkajian teori dan paradigma
perubahan sosial dan pembangunan. Kelompok inti memulai dengan membuat peta
grand theories perubahan sosial. Sebagian besar teori itu masih dalam bahasa Inggris.
Kelompok inti mulai menerjemahkan seluruh teori pembangunan ke dalam bahasa
Indonesia. Lalu terjemahan ini diterbitkan dan dibagikan kepada komunitas LSM.
Beberapa diskusi dan seminar dilakukan secara regional untuk membahas teori-teori
tersebut. Kegiatan ketiga adalah mengadakan diskusi dan dialog. Kegiatan ini
memiliki maksud yang beragam.
Jika uraian terdahulu mengupas pembangunan secara makro dari aspek politik
ekonomi, berikut ini adalah analisis bagaimana pembangunan melibatkan
hegemoni
kultural. Modernisasi adalah contoh terbaik untuk memahami bagaimana
hegemoni berlangsung. Karena modernisasi pada dasarnya menciptakan ideologi
baru, dengan pengaruh kultural dan politik melalui penciptaan diskursus sistemik
dan terstruktur, serta propaganda yang canggih untuk mengganti ideologi, kultur
dan politik rakyat yang subordinat. Agama, pendidikan dan lembaga-lembaga
lainnya digunakan oleh aparat Pembangunan untuk mengaburkan (mystify)
hubungan kekuasaan, dan menyebabkan orang yang tertindas merelakan atau
menerima penderitaan dan kesengsaraan kehidupan sehari-hari mereka. Sebagai
hegemoni, Modernisasi menciptakan konsep realitas keseluruh lapisan masyarakat
dalam semua kelembagaan dan dimanifestasikan secara perorangan, sehingga
mempengaruhi prinsip citarasa, moralitas, adat-istiadat, keagamaan dan politik,
maupun hubungan sosial, terutama dalam konotasi intelektual dan moral.
Benih baru dari tipe industri pertanian ini sangat rentan terhadap hama,
sehingga benih baru itu memerlukan pemakaian pestisida berat untuk menjamin
“pengendalian hama” dan “perlindungan tanaman”. Pestisida, jauh dari
mengendalikan hama, malah sesungguhnya resep itu membantu perkembangan
hama. Dan karena hama menciptakan mutant baru dan meningkatkan kerentanan
hama lama, mereka membuka tanaman terhadap bahaya baru. Tetapi
sesungguhnya perang terhadap hama tidaklah perlu. Selama bertahun-tahun rakyat
lokal telah mengetahui bahwa mekanisme pengendalian hama yang paling efektif
adalah melakukannya ke dalam ekologi tanaman, sebagian dengan menjamin
hubungan hama—predator yang seimbang melalui keberagaman tanaman dan
sebagian dengan membangun kekebalan dalam tanaman. Benih dan bahan
kimiwai merupakan dua masukan terpenting dalam program Revolusi Hijau.
Sudah sejak lama disadari oleh kalangan aktivis LSM bahwa pada dasarnya
mereka bekerja tanpa teori. hal ini menunjukkan lemahnya pemahaman teoretis
maupun kemampuan membangun teori di kalangan LSM sebagai landasan
kegiatan yang dilakukannya. Untuk itu suatu proses kegiatan yang memberi ruang
bagi kalangan aktivis LSM sehingga memungkinkan mereka menelaah berbagai
teori
perubahan dan gerakan sosial dirancang sebagai bagian pendukung proses riset
partisipatif yang tengah diselenggarakan. Tujuan utama dari proses pengkajian
teori itu terutama lebih ditujukan untuk membangun kesadaran kritis kalangan
aktivis LSM tentang berbagai teori yang mereka anut tentang perubahan sosial
dan pembangunan. Hal ini berangkat dari kesadaran di kalangan aktivis LSM
sendiri, bukan saja tentang lemahnya pemahaman teoretis tetapi juga ada indikasi
kurang kritisnya kalangan LSM dalam menggunakan dan menerima teori yang
disodorkan kepada mereka.
Selain pergumulan teoretis dan ideologis melalui kajian teori tertentu, kegiatan
lain yang dilakukan adalah melakukan studi lapangan yang merupakan bagian
kedua dari keseluruhan studi ini. Studi lapangan ini dirancang sebagai salah satu
cara untuk memproduksi pengetahuan dan refleksi serta dianggap bagian dari
proses riset partisipatif. Tujuan luas studi lapangan ini adalah menghasilkan
refleksi kritis bersama tentang peran gerakan LSM di Indonesia. Penelitian ini
dilakukan untuk memahami posisi visi, ideologi dan paradigma aktivis LSM
tentang perubahan sosial dan implikasinya terhadap pendekatan mereka bagi
program aksi. Projek ini dirancang sebagai berikut. Pertama, pemilihan dan
pembahasan alat analisis yang memadai untuk memahami posisi politik,
paradigma dan visi LSM. Kedua, menggunakan alat yang dipilih untuk merancang
studi lapangan dan analisis data. Dan ketiga, presentasi analisis kepada kelompok
aktivis yang lebih luas di berbagai daerah.
Bias Saintis dan Teknokratis. Ada juga kecenderungan yang tidak disadari di
kalangan aktivis yaitu karena bias saintisme, yang pada dasarnya adalah
empirisme dan positivisme, sangat merasuk ke dalam cara berpikir dan keyakinan
mereka maupun manifestasinya dalam metodologi dan pendekatan projek
lapangan mereka.
Bias Kelas Elit. Terdapat indikator akan kuatnya perspektif dasar aktivis
mengenai perspektif ekonomi mereka. Bias ini dapat diidentifikasi dalam
diskursus mereka tentang perubahan sosial maupun gagasan-gagasan mereka
seputar projek pengembangan masyarakat.
Bias Gender dan Laki-laki. Bias terkuat yang dapat diidentifikasi adalah bias
lakilaki. Mereka cenderung tidak melihat masalah perempuan sebagai prioritas
dalam projekprojek pembangunannya.
Bias “Pendeta”. Ada juga kecenderungan kuat dalam kalangan aktivis LSM
yang meyakini bahwa salah satu aspek kehidupan, seperti ekonomi atau politik,
pada dasarnya merupakan faktor yang menentukan dalam masyarakat. Bias ini
dipengaruhi oleh logika determinisme, esensialisme maupun reduksionisme.
Agenda politik aktivis LSM adalah analisis sosial kritis yang mengarah
kepada munculnya kesadaran rakyat akan posisinya dalam sistem dan struktur
yang ada dan mengaitkan analisisnya dengan aksi. Dengan kata lain, mereka harus
mengupayakan jawaban jangka pendek untuk merespon kebutuhan praktis dan
jangka panjang untuk menanggapi kebutuhan strategis.