Anda di halaman 1dari 16

RESUME BUKU: Masyarakat Sipil Untuk Transformasi Sosial Pergolakan Ideologi LSM

Indonesia

Oleh
Nama : Siti Ani Mulyani
NIM :191310002
Mata Kuliah : PAR (Participatory Action Research)
Dosen Pengampu : Dr. Masykur, M.Hum

I. MENCIPTAKAN STUDI KOLABORATIF

Menurut argumen Edwards dan Hume, salah satu faktor penting yang
mempengaruhi dan menghambat kemampuan NGOs untuk berperan dalam perubahan
sosial global adalah mereka di tingkat mikro dengan sistem dan struktur makro yang
lebih luas. Itulah sebabnya Edwards dan Hume mendefinisikan istilah “NGO” sebagai
kategori organisasi yang batasannya sangat luas, terdiri dari lembaga yang amat
sangat beragam. Mereka mencoba mengidentifikasi batasan NGOs dilihat dari segi
bentuk, ukuran dan fungsinya, yang dapat dibedakan menjadi tiga tipe, (Edwards dan
Hume, 1993, hal. 14).

Memang kenyataan LSM terdiri atas beragam entitas yang satu sama lain sangat
berbeda, baik dalam tujuan, visi dan motivasi maupun ideologinya. Di Indonesia,
Non- Governental Organizations (NGOs) dianggap sebagai satu bentuk organisasi
gerakan sosial yang secara umum dikenal dengan istilah “Lembaga Pengembang
Swadaya Masyarakat” (LPSM) atau “Lembaga Swadaya Masyarakat” (LSM). LPSM
atau LSM berusaha menanggapi berbagai kebutuhan organisasi akar rumput dengan
dukungan lembaga kerja sama pembangunan internasional atau lembaga dana
(funding agencies). LPSM maupun organisasi akar rumput yang juga disebut LSM,
organisasi gerakan sosial serta lembaga dana internasional (NGOs internasional,
solidaritas dan Lembaga dana) adalah tiga protagonis utama dalam proses kerja sama
lembaga nonpemerintah. Istilah LSM yang dimaksud di sini menunjuk kepada
berbagai organisasi yang bukan
bagian dari organisasi pemerintah serta didirikan bukan sebagai hasil dari persetujuan
antarpemerintah.

Gejala ke tidak jelasan dan disorientasi dalam visi, posisi dan misi LSM Indonesia
sebagai organisasi gerakan sosial menuju demokratisasi dan transformasi di negeri ini
sesungguhnya telah diungkap oleh banyak peneliti. Pengamatan dan studi oleh
Eldridge (1988), Budiman (1990), Fakih (1992) dan Billah (1992) menunjukkan
adanya kontradiksi antara jargon dan teori kebanyakan LSM besar dengan kenyataan
kegiatan mereka di lapangan. Sebagian besar LSM menetapkan cita-cita mereka
adalah demi demokratisasi, transformasi sosial dan keadilan sosial. Namun, ketika
sampai pada bagaimana mereka akan mencapai aspirasi-aspirasi tersebut, kebanyakan
dari mereka menggunakan konsep maupun teori Modernisasi dan Developmentalisme
tanpa pernyataan kritis. Kontradiksi teoretis dan ambiguitas dalam paradigma ini
menyumbangkan inkonsistensi metodologis dan pendekatan LSM dalam kegiatannya
di lapangan.

Masalah ke tidak jelasan landasan paradigma dan teoretis ini juga


menyumbangkan terjadinya kecenderungan penjinakan dan pelunakan maupun
kooptasi terhadap pelbagai metodologi dan teknik yang radikal dan kritis. Misalnya,
pendidikan penyadaran (conscientization education) Freirean dan riset partisipasi
maupun banyak metodologi dan teknik popular education lainnya, yang digunakan
untuk melaksanakan proyek-proyek developmentalisme—seperti proyek
pengembangan masyarakat (community development) atau proyek peningkatan
pendapatan (income generation)— oleh kalangan LSM adalah bentuk kooptasi
tersebut.

Di antara banyak sumber yang mempunyai andil besar dalam melahirkan ke tidak
jelasan itu adalah kuatnya pengaruh ideologi Modernisasi dan Developmentalisme
terhadap lingkungan politik, ekonomi, kultur dan aspek-aspek lainnya, termasuk
kalangan LSM, di Indonesia. Dewasa ini, Modernisasi dan Developmentalisme di
negeri-negeri Dunia Ketiga telah menjadi paradigma dan ideologi utama dan
dominan. Modernisasi dan Developmentalisme diyakini oleh kaum birokrat,
intelektual kampus, dan bahkan kalangan aktivis LSM di Dunia Ketiga, khususnya di
Indonesia, sebagai satu-satunya jalan memecahkan masalah. Pengaruh Modernisasi
dan Developmentalisme ini mengendap sangat dalam di pikiran mayoritas aktivis
LSM Indonesia. Belakangan ini, setelah pengimplementasian Developmentalisme
selama
lebih dari dua dasawarsa, mereka baru mulai menyadari bahwa Modernisasi dan
Developmentalisme bukanlah merupakan solusi, melainkan bagian dari masalah itu
sendiri. Oleh sebab itu, Developmentalisme dan Modernisasi akhir-akhir ini menjadi
masalah kontroversial tidak saja di kalangan akademisi yang memiliki kepedulian
terhadap masalah sosial, tetapi juga di kalangan aktivis LSM.

Sejauh ini, sudah ada sejumlah studi baik di Dunia Pertama maupun Dunia Ketiga
yang mengkritik Developmentalisme. Kritik-kritik tersebut sudah dimulai satu
dasawarsa setelah dikursus Pembangunan diluncurkan Harry S. Truman tahun 1950-
an. Dengan kata lain, dalam waktu kurang dari 40 tahun zaman pembangunan, telah
muncul teori dan analisis yang mengkritik dikursus pembangunan sebagai penyebab
utama keterbelakangan dan kesengsaraan berjuta-juta rakyat di Dunia Ketiga. Di
sepanjang riset partisipasi ini, para aktivis mempunyai kesempatan mempelajari
perspektif dan teori tersebut dan mencoba menerapkannya dalam analisis mereka
tentang politik dan perekonomian Indonesia. Teori ketergantungan, sebagaimana
dipahami, mempersoalkan keuntungan bersama dari perdagangan internasional dan
pembangunan yang dinyatakan oleh penganjur Modernisasi dan teori pertumbuhan
(growth theories) dari Amerika. Argumen utama teori ketergantungan adalah,
ketergantungan sosio-ekonomi (neokolonialisme) meningkatkan keterbelakangan,
yakni perkembangan keterbelakangan (the development of underdevelopment).

Riset partisipasi memerlukan lebih dari sekadar pendekatan partisipasi untuk


penganalisisan data. Awalnya, proyek penelitian dibahas oleh partisipan dalam suatu
upaya untuk mendorong partisipan menjadi terlibat dalam pengumpulan dan
penafsiran data sejak permulaan sekali. Data dan informasi dirangkum dalam catatan
laporan buku dan manual, kemudian direkam dengan komputer, yang meliputi
catatan-catatan deskripsi, metodologis, teoretis maupun analitis.

Dengan demikian, sesuai dengan definisi kesahihan katalisis itu, riset partisipasi
ini menggunakan kesadaran yang muncul dan transformasi partisipan sebagai ukuran
kesahihan.

Kegiatan utama Program Riset Aksi Partisipasi dilakukan dari Juli 1992 – Januari
1994. Proses studi meliputi tiga kegiatan utama. Pertama, studi tentang visi dan
paradigma aktivis tentang perubahan sosial dan pembangunan. Pengkajian ini
dilakukan oleh kelompok inti. Tetapi proses penganalisisan data dilakukan oleh
aktivis
gerakan sosial yang lebih luas. Kegiatan kedua adalah pengkajian teori dan paradigma
perubahan sosial dan pembangunan. Kelompok inti memulai dengan membuat peta
grand theories perubahan sosial. Sebagian besar teori itu masih dalam bahasa Inggris.
Kelompok inti mulai menerjemahkan seluruh teori pembangunan ke dalam bahasa
Indonesia. Lalu terjemahan ini diterbitkan dan dibagikan kepada komunitas LSM.
Beberapa diskusi dan seminar dilakukan secara regional untuk membahas teori-teori
tersebut. Kegiatan ketiga adalah mengadakan diskusi dan dialog. Kegiatan ini
memiliki maksud yang beragam.

II. GERAKAN SOSIAL UNTUK PERUBAHAN SOSIAL : MASYARAKAT SIPIL


TERORGANISIR

A. PENDEKATAN TEORITIS BAGI GERAKAN SOSIAL


Secara kasar studi mengenai gerakan sosial dapat digolongkan ke
dalam salah satu dari dua pendekatan yang berbeda. Pendekatan pertama
terdiri atas pelbagai teori yang cenderung melihat gerakan sosial sebagai
masalah, atau sebagai gejala penyakit masalah kemasyarakatan. Herberle
(1951), dalam bukunya Social Movements: An Introduction to Political
Sociology, mengkonsepkan bahwa gerakan sosial pada dasarnya adalah bentuk
perilaku politik kolektif nonkelembagaan yang secara potensial berbahaya
karena mengancam stabilitas cara hidup yang mapan. Sosiolog lainnya,
misalnya Fruer (1969), cenderung melihat gerakan sosial sebagai “konflik
generasi”. Lipset (1967) menawarkan analisis sosiologis, yang menganggap
bahwa gerakan sosial merupakan bagian generasi baru yang memperjuangkan
pengakuan, dan perlunya menentang orang tua mereka dan “kemapanan” yang
tidak memberi pengakuan semacam itu kepada mereka. Sementara itu Maslow
(1962) mencoba menggabungkan analisis psikologis dan struktural. Ia melihat
gerakan mahasiswa dan gerakan sosial lainnya sebagai mewakili suatu
generasi baru dengan kebutuhan yang lebih tinggi, tepatnya karena mereka
muncul dalam kesenangan kelas menengah, berada dalam posisi mencari nilai-
nilai pascamateri, berkaitan dengan tujuan pemenuhan kebutuhan diri sendiri
dan tujuan yang lebih altruistik yang berhubungan dengan kualitas hidup.
Akhirnya, Keniston (1965) menganggap mahasiswa dari gerakan mahasiswa
sebagai anggota kelas menengah yang teralienasi.
Berbagai teori mengenai gerakan sosial tersebut berakar dalam dan
dipengaruhi oleh teori sosiologi dominan yaitu fungsionalisme.
Fungsionalisme seringkali juga disebut sebagai “fungsionalisme struktural”
karena penekanannya pada keperluan, atau “kebutuhan” sistem sosial
fungsional yang harus bertemu jika sistem adalah untuk mempertahankan
kelangsungan dan struktur yang berhubungan bertemu dengan kebutuhan-
kebutuhan itu. Fungsionalisme melihat masyarakat dan pranata sosial sebagai
sistem di mana seluruh bagiannya saling bergantung satu sama lain dan
bekerja bersama guna menciptakan keseimbangan. Dengan demikian
keseimbangan merupakan unsur kunci dalam fungsionalisme. Salah satu
proposisi terpenting fungsionalisme adalah, akan selalu ada reorganisasi
dikarenakan kebutuhan memperbaiki keseimbangan. Dalam menganalisis
bagaimana sistem sosial mempertahankan dan memperbaiki keseimbangan,
mereka condong menggunakan nilai-nilai yang dimiliki atau standar sifat yang
diterima secara umum sebagai konsep sentral. Fungsionalisme menekankan
kesatuan masyarakat dan apa yang dimiliki bersama oleh anggotanya. Itulah
sebabnya maka penganut fungsionalisme condong melihat gerakan sosial
sebagai negatif, yakni menimbulkan konflik yang akan mengganggu harmoni
masyarakat.
B. GERAKAN SOSIAL : PENDEKATAN GRAMSCIAN
Menurut Femia (1979), Antonio Gramsci (1891-1937) dapat dipandang
sebagai pemikir politik terpenting setelah Marx. Gagasannya yang cemerlang
tentang hegemoni dianggap merupakan landasan paradigma alternatif terhadap
teori Marxis tradisional mengenai paradigma base-superstructure.
Sesungguhnya, dalam diri Gramsci tercermin gabungan kepribadian sebagai
teoretisi dan aktivis. Ia mengabdikan hidupnya bagi perjuangan kaum buruh di
Italia; penahanan dan hukuman penjaranya selama sebelas tahun menjadikan
dirinya sebagai martir dalam tahun 1930-an. Penerbitan Selections from The
Prison Notebooks dalam bahasa Inggris pertama kalinya di tahun 1971, dan
terjemahan berikutnya atas karya-karya awalnya, mengangkat dirinya
sehingga sangat dihormati sebagai seorangg teoretisi yang terkenal. Gramsci
makin berpengaruh terhadap teori gerakan sosial alternatif, maupun teori-teori
sosial umum, teori politik maupun teori pendidikan kritis, dikarenakan
semangat antireduksionisme dalam setiap analisisnya. Teori-teorinya muncul
sebagai
kritik dan alternatif bagi pendekatan dan teori perubahan sosial sebelumnya
yang didominasi oleh determinisme kelas dan ekonomi Marxisme tradisional.
Penggunaan analisis Gramscian dianggap signifikan bagi studi ini
dikarenakan perlunya pemahaman komprehensif tentang peran masa depan
gerakan sosial dan pendidikan massa dalam formasi sosial kapitalis Dunia
Ketiga sekarang ini, khususnya di Indonesia di mana kapitalisme sedang
dalam proses menemukan kemapanannya. Alasan lain yang membuat
pendekatan Gramscian juga tepat untuk studi LSM ini adalah analisisnya yang
bergaya nondeterministik dan antireduksionisme sangatlah bermanfaat,
khususnya karena Gramsci muncul sebagai kritik terhadap kebanyakan
penganut Marxisme pada waktu itu yang umumnya dapat dikategorikan
sebagai determinis ekonomi dan reduksionis kelas. Pengaruh determinisme
ekonomi atas pendekatan analisis sosial mainstream yakni Developmentalisme
maupun pengaruhnya kepada gerakan LSM di Indonesia menjadikan
pendekatan nonreduksionisme Gramsci lebih mengenai sasaran.
C. PERAN KEPENDIDIKAN ORGANISASI GERAKAN SOSIAL DALAM
TRANSFORMASI SOSIAL
Salah satu aspek penting proses studi kolaboratif adalah peran
kependidikan organisasi sosial dalam transformasi sosial. McPhail
berpendapat bahwa perilaku kolektif secara relatif berlangsung spontan
ketimbang direncanakan; tidak berstruktur ketimbang diorganisir; emosional
ketimbang rasional dan menyebar dengan kasar, bentuk komunikasi yang
paling dasar seperti reaksi yang tak berujung pangkal, rumor, imitasi, penyakit
sosial, dan keyakinan yang digeneralisir ketimbang jaringan komunikasi
formal dan informal yang telah dibentuk sebelumnya.
Dari perspektif Gramscian, konsep organisasi gerakan sosial
dikategorikan sebagai masyarakat sipil terorganisir. Konsep masyarakat sipil
didasarkan pada analisis Gramsci tentang kepentingan konfliktual dan
dialektika atau kesatuan dalam keberbedaan antara negara dan masyarakat
sipil. Dalam satu hal, analisis ini merupakan bagian dari penolakannya atas
fokus yang sempit di mana unit analisis adalah kontradiksi dialektis antara
buruh dan kapitalis. Ia menggunakan istilah “negara” (state) dan “masyarakat
sipil” (civil society) dalam analisisnya tentang supremasi dan hegemoni.

III. DEVELOPMENTALISME DAN GERAKAN LSM DI INDONESIA


A. ARKEOLOGI PEMBANGUNAN
Dalam dua dasawarsa terakhir “Pembangunan” telah menjadi semacam
“agama baru” atau ideologi baru bagi berjuta-juta rakyat di Dunia Ketiga.
Pembangunan menjanjikan harapan baru bagi perubahan dan perbaikan dalam
nasib kehidupan mereka. Masalahnya adalah, meskipun pembangunan telah
dilangsungkan, jumlah kemiskinan absolut dan persentase rakyat di Dunia Ketiga
terus meningkat. Setiap program pembangunan menunjukkan dampak berbeda
tergantung pada konsep dan lensa Pembangunan yang digunakan. Konsep
Pembangunan yang dominan, yang diterapkan di kebanyakan negara Dunia
Ketiga, mencerminkan paradigma Pembangunan model Barat. Dalam konsep ini
pembangunan dipahami sebagai proses tahap demi tahap menuju “modernitas”.
Modernitas tersebut tercermin dalam bentuk kemajuan teknologi dan ekonomi
seperti yang dilalui oleh bangsa-bangsa industri maju, konsep Pembangunan ini
memiliki akar sejarah dan intelektual pada periode perubahan sosial yang
berkaitan dengan Revolusi industri. Di sebagian besar bangsa Dunia Ketiga,
penafsiran konsep Pembangunan dipahami sebagai perbaikan umum dalam
standar hidup. Pembangunan juga dipahami sebagai sarana memperkuat negara,
terutama melalui proses industrialisasi, yang mengikuti pola yang seragam dari
satu negara dengan negara lainnya. Dari perspektif seperti ini, peran pemerintah
menjadi subjek Pembangunan yakni memperlakukan rakyat sebagai objek,
resipien atau penerima, klien atau bahkan partisipan Pembangunan.
Penciptaan dan globalisasi diskursus pembangunan dapat dipahami dengan
sangat baik bila melihat sejarahnya yang dimulai pada akhir Perang Dunia Kedua.
Gagasan pembangunan dilontarkan sekitar tanggal 20 Januari 1949, yakni ketika
Presiden Harry S. Truman untuk pertama kalinya memperkenalkan kebijakan
pemerintah Amerika Serikat, yakni dengan melontarkan istilah yang baru
diciptakan yaitu “keterbelakangan” (underdevelopment). Inilah saat pertama
diskursus pembangunan secara resmi diluncurkan, yakni dalam kaitan dan konteks
“Perang Dingin”.
B. DEVELOPMENTALISME DAN MASALAHNYA
Dalam bagian ini kita akan menganalisis masalah Pembangunan dari
perspektif dialektis, yaitu saling keterkaitan antara persoalan eksploitasi,
dominasi, dan penindasan politik. Dengan demikian konsep pembangunan akan
dilihat dari berbagai aspek secara menyeluruh dan saling keterkaitan, termasuk
kaitan antara
proses kelas dengan proses hegemoni kultural. Demikian halnya kaitan antara
hegemoni kultural dengan proses kelas utama (fundamental class process), dan
kaitan politik antara proses kelas utama dan proses kelas menengah perantara
(subsumed class process). Keseluruhan hubungan ekonomi dan politik ini juga
mempengaruhi kondisi perempuan karena pelanggengan eksploitasi dan
penindasan terhadap perempuan berlangsung dengan ideologi patriarki dan
paradigma positivistik yang menjadi dasar bagi tradisi liberal Pembangunan.
Dengan demikian, memahami masalah pembangunan seseorang tidak dapat hanya
melihat melalui satu aspek atau menganggap hanya satu entitas yang menjadi
penyebab masalah terpenting.
C. EKSPLOITASI EKONOMI DAN KETERGANTUNGAN

Meskipun proses pembangunan terus berlangsung, namun angka kemiskinan


rakyat Dunia Ketiga ternyata terus meningkat. Jika demikian, kemiskinan
ekonomi berarti erat kaitannya dengan sistem ekonomi yang ada dalam
Pembangunan. Guna memahami masalah ekonomi dalam konteks Pembangunan,
uraian berikut akan meminjam analisis kelas dan teori Ketergantungan. Dengan
kata lain, pembahasan selanjutnya akan melihat Pembangunan dari perspektif dua
kritik ini, yaitu dari ekonomi-politik dan teori Ketergantungan.

Pada dasarnya teori ekonomi-politik yang menggunakan perspektif kelas lebih


mempertanyakan siapa yang diuntungkan dari proses Pembangunan di Dunia
Ketiga. Namun sebelum melihat hubungan Pembangunan dan ekonomi, terlebih
dahulu akan diuraikan apa yang dimaksud dengan teori kelas. Resnick dan Wolf
(1987) mendefinisikan kelas sebagai proses di mana anggota masyarakat
menduduki posisi tertentu dalam proses tersebut, yakni mereka bekerja dan
menghasilkan nilai lebih, dan mereka yang tidak bekerja (majikan) tetapi
mengambil nilai lebih dan mendistribusikannya. Mereka yang mengambil dan
mendistribusikan nilai lebih tersebut dalam formasi sosial kapitalis disebut sebagai
kaum kapitalis. Hubungan antara posisi dua kelas menentukan keberadaan kelas
menengah perantara.

D. HEGEMONI KULTURAL DAN POLITIK DALAM DEVELOPMENTALISME

Jika uraian terdahulu mengupas pembangunan secara makro dari aspek politik
ekonomi, berikut ini adalah analisis bagaimana pembangunan melibatkan
hegemoni
kultural. Modernisasi adalah contoh terbaik untuk memahami bagaimana
hegemoni berlangsung. Karena modernisasi pada dasarnya menciptakan ideologi
baru, dengan pengaruh kultural dan politik melalui penciptaan diskursus sistemik
dan terstruktur, serta propaganda yang canggih untuk mengganti ideologi, kultur
dan politik rakyat yang subordinat. Agama, pendidikan dan lembaga-lembaga
lainnya digunakan oleh aparat Pembangunan untuk mengaburkan (mystify)
hubungan kekuasaan, dan menyebabkan orang yang tertindas merelakan atau
menerima penderitaan dan kesengsaraan kehidupan sehari-hari mereka. Sebagai
hegemoni, Modernisasi menciptakan konsep realitas keseluruh lapisan masyarakat
dalam semua kelembagaan dan dimanifestasikan secara perorangan, sehingga
mempengaruhi prinsip citarasa, moralitas, adat-istiadat, keagamaan dan politik,
maupun hubungan sosial, terutama dalam konotasi intelektual dan moral.

E. DOMINASI PENGETAHUAN/KEKUASAAN DALAM PEMBANGUNAN

Untuk memahami diskursus Pembangunan dan bagaimana Pembangunan


membentuk sistem sosio-politik dan ekonomi di Dunia Ketiga, melalui analisis
diskursus yang dikembangkan oleh Foucault. Pada akhir 1960an dan 1970an,
Foucault menyumbangkan perubahan kritis dalam hal bagaimana konsep
dikonstruksi. Karyanya tentang analisis diskursus memiliki implikasi radikal,
bukan hanya bagi disiplin humanitas, studi kesusastraan dan ilmu-ilmu
humaniora, tetapi terhadap seluruh pengetahuan. Pemikirannya memberikan alat
untuk memulai penelitian teoretis tentang diskursus sebagai model dominasi
terhadap Dunia Ketiga. Pengetahuan bukan sesuatu yang ada tanpa hubungan
kekuasaan. Menurutnya, hubungan pengetahuan adalah hubungan kekuasaan.
Pengetahuan adalah peredaran dengan mana perwakilan negara, perusahaan
multinasional, universitas, dan organisasi formal lainnya memajukan masyarakat
kapitalis.

F. MASALAH DOMINASI GENDER DALAM DEVELOPMENTALISME

Developmentalisme juga menghasilkan pelanggengan penindasan perempuan


di Dunia Ketiga. Women in Development (WID) sebagai bagian utama
Developmentalisme dirancang untuk mendorong keterlibatan kaum perempuan
dalam Pembangunan, dan tidak mempersoalkan manifestasi ketidakadilan dan
diskriminasi gender. Oleh karena itu, program WID lebih mengakibatkan
pengekangan dan penjinakkan, ketimbang pembebasan, kaum perempuan di
Dunia
Ketiga. Tanpa mempertanyakan masalah gender, upaya-upaya program dan
pembangunan perempuan apa pun tidak akan berhasil memunculkan masalah
utama kaum perempuan.

G. KERUSAKAN LINGKUNGAN DAN DEVELOPMENTALISME

Sifat antilingkungan dari pembangunan menimbulkan masalah lingkungan


bagi rakyat di Dunia Ketiga. Analisis ini akan memfokuskan kepada
Pembangunan pertanian dan akibat kerusakan sistem lingkungan di Dunia Ketiga.
Masalah berakar di dalam industrialisasi pertanian. Industrialisasi adalah kekuatan
progresif yang memanfaatkan teknologi kepada sumber daya alam dan
membolehkan pengurangan ketergantungan kepada pertanian. Dengan mengikuti
logika industrialisasi, Pembangunan pertanian khususnya Revolusi Hijau
dipraktikkan sebagai proses linear yang mengubah pengolahan ladang, metode
penggunaan buruh dan tabungan kapital menjadi cara pengolahan ladang yang
permanen dan melalui stimulus percepatan penduduk, menghasilkan pengaruh
arus balik dari industri. Penelitian tanaman, pestisida, pupuk, mekanisasi, jalan
dan fasilitas kredit, semuanya membantu memperbesar tabungan buruh, pertanian
modal intensif.

Benih baru dari tipe industri pertanian ini sangat rentan terhadap hama,
sehingga benih baru itu memerlukan pemakaian pestisida berat untuk menjamin
“pengendalian hama” dan “perlindungan tanaman”. Pestisida, jauh dari
mengendalikan hama, malah sesungguhnya resep itu membantu perkembangan
hama. Dan karena hama menciptakan mutant baru dan meningkatkan kerentanan
hama lama, mereka membuka tanaman terhadap bahaya baru. Tetapi
sesungguhnya perang terhadap hama tidaklah perlu. Selama bertahun-tahun rakyat
lokal telah mengetahui bahwa mekanisme pengendalian hama yang paling efektif
adalah melakukannya ke dalam ekologi tanaman, sebagian dengan menjamin
hubungan hama—predator yang seimbang melalui keberagaman tanaman dan
sebagian dengan membangun kekebalan dalam tanaman. Benih dan bahan
kimiwai merupakan dua masukan terpenting dalam program Revolusi Hijau.

H. GERAKAN LSM DAN DEVELOPMENTALISME

Kebijakan yang mempengaruhi proses pembangunan sepanjang dua dasawarsa


lampau di Indonesia didasarkan pada kerangka Modernisasi yang menerapkan
model pembangunan pertumbuhan. Pendekatan pembangunan ini adalah strategi
dan kebijakan pertumbuhan ekonomi yang memberi perhatian khusus kepada
tingkat tabungan dan investasi serta intensitas modal dengan teknologi modern.
Strategi dan kebijakan ini mengasumsikan bahwa industrialisasi yang cepat dan
perluasan sektor modern pada umumnya adalah jawaban terbaik bagi kebutuhan
pembangunan ekonomi yang cepat dan penciptaan lowongan lapangan kerja.
Model pertumbuhan ini diterapkan baik di sektor industrialisasi perkotaan maupun
sektor pertanian pedesaan. Kebijakan pembangunan pertanian pedesaan
diwujudkan melalui program “Revolusi Hijau”.

I. MUNCULNYA LSM TRANSFORMASI

LSM mulai mengimplementasikan riset aksi partisipatif (PAR—Participatory


Action Research) dalam Jaringan Riset Aksi Indonesia (JARI), yang dari titik
pijak politik pada dasarnya merupakan upaya menciptakan suatu gerakan kontra-
diskursus. JARI terdiri atas praktisi yang tertarik kepada Riset Aksi, Riset Aksi
Partisipatif dan Popular Education. Program ini ditemukan oleh Pusat Penelitian
Pembangunan Internasional (IDRC—Internasional Development Research
Center) pada 1987-1988. Di antara LSM yang mulai bergeser menuju paradigma
transformatif adalah kelompok Muslim tradisional (pesantren) yang telah
mencoba merekonstruksi teori transformasinya berdasarkan nilai-nilai tradisional.
Meski masih ada indikasi bahwa program-programnya masih campuran antara tipe
kegiatan “konformisme” dan “reformisme”, tetapi program “ulama rakyat” yang
dikembangkan oleh mereka didasarkan kepada asumsi-asumsi “transformasi”.
Pengenalan Teologi Pembebasan Islam dalam program “ulama rakyat” tersebut
dapat digolongkan sebagai paradigma transformatif (pesantren, 1988).
IV. PERGOLAKAN IDEOLOGI DI DUNIA LSM : REFLEKSI DAN AKSI DARI
STUDI LAPANGAN

A. Tentang Teori-teori Pembangunan

Sudah sejak lama disadari oleh kalangan aktivis LSM bahwa pada dasarnya
mereka bekerja tanpa teori. hal ini menunjukkan lemahnya pemahaman teoretis
maupun kemampuan membangun teori di kalangan LSM sebagai landasan
kegiatan yang dilakukannya. Untuk itu suatu proses kegiatan yang memberi ruang
bagi kalangan aktivis LSM sehingga memungkinkan mereka menelaah berbagai
teori
perubahan dan gerakan sosial dirancang sebagai bagian pendukung proses riset
partisipatif yang tengah diselenggarakan. Tujuan utama dari proses pengkajian
teori itu terutama lebih ditujukan untuk membangun kesadaran kritis kalangan
aktivis LSM tentang berbagai teori yang mereka anut tentang perubahan sosial
dan pembangunan. Hal ini berangkat dari kesadaran di kalangan aktivis LSM
sendiri, bukan saja tentang lemahnya pemahaman teoretis tetapi juga ada indikasi
kurang kritisnya kalangan LSM dalam menggunakan dan menerima teori yang
disodorkan kepada mereka.

B. Aktivis LSM tentang Perubahan Sosial

Selain pergumulan teoretis dan ideologis melalui kajian teori tertentu, kegiatan
lain yang dilakukan adalah melakukan studi lapangan yang merupakan bagian
kedua dari keseluruhan studi ini. Studi lapangan ini dirancang sebagai salah satu
cara untuk memproduksi pengetahuan dan refleksi serta dianggap bagian dari
proses riset partisipatif. Tujuan luas studi lapangan ini adalah menghasilkan
refleksi kritis bersama tentang peran gerakan LSM di Indonesia. Penelitian ini
dilakukan untuk memahami posisi visi, ideologi dan paradigma aktivis LSM
tentang perubahan sosial dan implikasinya terhadap pendekatan mereka bagi
program aksi. Projek ini dirancang sebagai berikut. Pertama, pemilihan dan
pembahasan alat analisis yang memadai untuk memahami posisi politik,
paradigma dan visi LSM. Kedua, menggunakan alat yang dipilih untuk merancang
studi lapangan dan analisis data. Dan ketiga, presentasi analisis kepada kelompok
aktivis yang lebih luas di berbagai daerah.

Sesungguhnya beberapa studi untuk memahami LSM Indonesia telah


dilakukan oleh banyak kalangan LSM Indonesia sendiri maupun oleh peneliti luar
lainnya. Kelompok inti mula-mula membaca berbagai hasil penelitian dan kajian
tersebut dan menganalisisnya. Pengkajian oleh David Korten, seorang ahli NGOs
dari Amerika

Serikat, yang menuangkan pemikirannya dalam ”The Third Generation of


NGOs” merupakan contoh yang dianggap sangat berpengaruh dan terkenal di
kalangan komunitas LSM maupun diberbagai organisasi lainnya.
C. Memetakan Paradigma Aktivis LSM

Berangkat dari ketidakpuasan terhadap berbagai peta penggolongan LSM yang


terdahulu, serta sejumlah alat analisis untuk memahami gerakan LSM yang ada,
maka kalangan aktivis LSM merasa perlu mengembangkan alat analisis yang
dianggap memadai untuk memahami dan memetakan keberadaan kalangan
mereka sendiri. Alat analisis yang dianggap memadai tersebut adalah suatu alat
yang akan membantu kalangan LSM agar dapat mengembangkan pemahaman
mengenai topologi LSM Indonesia yang diderivasikan dari pandangan aktivis
LSM tentang bagaimana mereka mendefinisikan masalah-masalah rakyat dan
implikasinya bagi program aksinya. Topologi LSM Indonesia ini didasarkan pada
seluruh aspek yang meliputi: asumsi dasar dan definisi masalah, metodologi dan
program aksi mereka; asumsi mereka tentang sifat-sifat masyarakat, sasaran dan
tujuan kegiatan mereka, dan lain-lain.

D. Beberapa Bias aktivis LSM: Suatu Gejala Umum

Bias Negara. Dengan menganalisis posisi ideologis aktivis tentang hubungan


antara negara dan masyarakat sipil dari perspektif Gramscian, ditemukan hampir
semua aktivis menyadari bahwa secara ideologis para aktivis adalah bagian dari
hegemoni negara, yakni Developmentalisme.

Bias Saintis dan Teknokratis. Ada juga kecenderungan yang tidak disadari di
kalangan aktivis yaitu karena bias saintisme, yang pada dasarnya adalah
empirisme dan positivisme, sangat merasuk ke dalam cara berpikir dan keyakinan
mereka maupun manifestasinya dalam metodologi dan pendekatan projek
lapangan mereka.

Bias Kelas Elit. Terdapat indikator akan kuatnya perspektif dasar aktivis
mengenai perspektif ekonomi mereka. Bias ini dapat diidentifikasi dalam
diskursus mereka tentang perubahan sosial maupun gagasan-gagasan mereka
seputar projek pengembangan masyarakat.

Bias Neoklasik. Ini mempengaruhi aktivis dalam hampir semua program


lapangan mereka, dalam bagaimana mereka mendefinisikan masalah,
implementasi maupun evaluasi.
Bias Modernis. Sebagian besar aktivis LSM mengikuti logika Modernisasi.
Sebagai pengikut modernisasi, mereka yakin bahwa faktor manusia adalah akar
masalah keterbelakangan.

Bias Gender dan Laki-laki. Bias terkuat yang dapat diidentifikasi adalah bias
lakilaki. Mereka cenderung tidak melihat masalah perempuan sebagai prioritas
dalam projekprojek pembangunannya.

Bias “Pendeta”. Ada juga kecenderungan kuat dalam kalangan aktivis LSM
yang meyakini bahwa salah satu aspek kehidupan, seperti ekonomi atau politik,
pada dasarnya merupakan faktor yang menentukan dalam masyarakat. Bias ini
dipengaruhi oleh logika determinisme, esensialisme maupun reduksionisme.

Bias ”Psikiater”. Ada kecenderungan kuat dalam pemikiran, maupun dalam


kebijakan projek, majoritas aktivis untuk menempatkan rakyat, misalnya petani
atau buruh, sebagai objek projek LSM.

E. Dialog tentang Teori-teori Perubahan Sosial

Sejalan dengan studi lapangan dan penerjemahan teori-teori, juga dilaksanakan


dialog dengan beberapa intelektual terkenal. Dialog-dialog tersebut berlangsung di
Salatiga, Maret 1993, dengan empat intelektual dari Universitas Kristen Satya
Wacana. Ada beberapa maksud di balik penyelenggaraan dialog ini. Pertama,
memfasilitasi pembahasan tentang teori-teori dengan harapan membuka
kemungkinan bagi aktivis LSM untuk membangun paradigma dan visinya sendiri
bagi gerakan mereka. kedua, memfasilitasi aktivis agar mereka dapat
mengembangkan agenda dan program aksi maupun paradigma dan teorinya
sendiri. Ketiga, memfasilitasi aktivis untuk memahami peran masa depan mereka.
melalui proses diskusi, ditemukan bahwa ada ketidakpuasan dan keputusasaan di
kalangan aktivis atas peran masa depannya. Mereka berada di samping jalan dan
menghadapi pilihan antara menjadi organisasi konsultan pembangunan atau
menjadi organisasi gerakan sosial bagi perubahan.

V. LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT UNTUK TRANSFORMASI SOSIAL


: REFLEKSI

A. AGAn Hegemoni Negara


Studi ini berhasil membongkar posisi gerakan LSM dalam hubungannya
dengan negara. Melalui studi ini, aktivis LSM menilai posisi mereka secara kritis.
Kerangka analisis yang digunakan pada dasarnya adalah alat analisis yang
memungkinkan kita dapat menjawab pertanyaan apakah secara struktural posisi
gerakan LSM merupakan bagian dari negara atau tidak. Atau sebaliknya apakah
pada dasarnya gerakan LSM merupakan gerakan dan bagian dari gerakan
masyarakat sipil atau tidak. Hasil-hasil berbagai diskusi dan analisis yang telah
diselenggarakan menempatkan posisi struktural ideologi LSM sebagai bagian dari
hegemoni negara dan oleh karena itu terdapat indikasi teoritis bahwa sebagian
besar gerakan LSM di Indonesia lebih merupakan bagian dari negara ketimbang
bagian dari masyarakat sipil.

B. Agenda Masa Depan

Gerakan LSM perlu menegaskan komitmen terhadap suatu agenda perubahan.


Agenda ini terdiri atas dua bagian utama, yaitu perjuangan ideologis dan politis.
Agenda ideologi pada dasarnya mengembangkan mekanisme internal dan
eksternal gerakan LSM untuk menciptakan ruang bagi pendidikan. melalui
gerakan di dalam berarti gerakan LSM perlu menetapkan proses jangka panjang,
yaitu dengan menggunakan lembaga-lembaga yang ada guna perubahan ideologis
di kalangan aktivis sendiri dan mentransformasikan hubungan mereka dengan
rakyat.

Agenda politik aktivis LSM adalah analisis sosial kritis yang mengarah
kepada munculnya kesadaran rakyat akan posisinya dalam sistem dan struktur
yang ada dan mengaitkan analisisnya dengan aksi. Dengan kata lain, mereka harus
mengupayakan jawaban jangka pendek untuk merespon kebutuhan praktis dan
jangka panjang untuk menanggapi kebutuhan strategis.

C. Apa yang dapat Kita Pelajari dari Studi ini

Studi ini memberikan pelajaran yang mendalam kepada aktivis tentang


bagaimana mengorganisir organisasi kolektif bagi perubahan dan menggunakan
gerakan LSM sebagai sarana bagi transformasi sosial merupakan hal yang
problematis dan menantang.

Keseluruhan proses studi kolaboratif ini terlalu memusatkan perhatian kepada


masalah politik, ekonomi dan ideologi kultural. Pembahasan tentang dampak
pembangunan terhadap kondisi dan posisi perempuan sangat kurang. Kelompok
inti membahas masalah ini dan mencoba memunculkan masalah tersebut dengan
menyediakan artikel tentang gender dan pembangunan yang telah diterjemahkan.
Namun, selama diskusi-diskusi yang diadakan, perspektif gender kurang
dimanfaatkan dalam melihat persoalan pembangunan.

Anda mungkin juga menyukai