Anda di halaman 1dari 582

NOTARIS DI AWAL KELAHIRAN

• Jabatan notaris lahir karena masyarakat


membutuhkannya, bukan jabatan yang sengaja
diciptakan kemudian baru disosialisasikan
kepada khalayak.

• Sejarah lahirnya notaris diawali dengan lahirnya


profesi scribae pada jaman Romawi kuno (abad
kedua dan ketiga sesudah mahesi).
• Scribae adalah seorang terpelajar yang
bertugas mencatat nota dan minuta akan
sebuah kegiatan atau keputusan kemudian
membuat salinan dokumennya, baik yang
sifatnya publik maupun privat.

• Profesi scribae sangat dibutuhkan pada waktu


itu karena sebagian besar masyarakat buta
huruf.
• Kata notaris sendiri berasal dari kata “nota
literaria” yaitu tanda tulisan atau karakter yang
dipergunakan untuk menuliskan atau
menggambarkan ungkapan kalimat yang
disampaikan nara sumber.

• Tanda atau karakter yang dimaksud adalah


tanda yang dipakai dalam penulisan cepat
(stenografie). Stenografie ditemukan oleh
Marcus Tullius Tiro pada kira-kira tahun 63 BC
pada jaman Romawi yakni pada masa
negarawan terkenal Matcus Tullius Cicero (106-
43 Sebelum Masehi).
• Kata notaris juga pernah dipakai khusus untuk
para penulis kerajaan yang menuliskan segala
sesuatu yang dibicarakan kerajaan ini
mempunyai kedudukan sebagai pegawa istana
sehingga tidak sesuai dengan notaris jaman
sekarang.

• Notaris juga ada dalam kekuasaan Kepausan


yang disebut tabellio dan clericus notarius
publicus yang memberikan bantuan dalam
hubungan hukum keperdataan.
• Para era Romawai juga muncul profesi
tabelliones dan tabularii. Tabelliones
diperkirakan diambil dari kata “tabulae” yang
berarti plat berlapis lilin yang dipakai untuk
menulis.

• Seorang jurist terkenal pada masa itu, Domitius


Ulpianus (meninggal pada tahun 228 Setelah
Masehi), ditugaskan oleh kaisar Justianus I untuk
membantu menyusun semacam undang-undang
mengenai pembuatan akta dan surat di bawah
tangan.
• Akta dan surat yang dibuar para tabelliones tidak
mempunyai kekuatan otentik sehingga akta-akta dan
surat-surat tersebut hanya mempunyai kekuatan
seperti akta di bawah tangan.

• Sedangkan tabularii adalah profesi yang mirip


dengan tabelliones, bahkan menjadi pesaingnya.

• Dikatakan seorang tabularii adalah seorang


tabelliones yang mempunyai keahlian dalam teknik
menulis sehingga mereka diberikan status pegawai
negeri yang mempunyai tugas mengadakan dan
memelihara pembukuan kota dan menjaga arsip dari
magistrat kota-kota yang bearada di bawah ressort-
nya.
• Dalam perkembangannya, para tabelliones dan
tabularii sering menyebut dirinya sebagai
notarius meskipun mereka tidak mempunyai
surat pengangkatan dari kerajaan.

• Bahkan, pada daerah kekuasaan Raja-raja


Langobardi, orang suku Germania yang
menguasai salah satu kerajaan di Italia (568-774
Masehi) nama tabellio diganti menjadi notarius.
• Jadi bisa disimpulkan, pada masa awal lahirnya
notaris ada dua golongan notaris: notaris yang
diangkat kerajaan dan notaris swasta yang tidak
diangkat kerajaan dan notaris swasta yang tidak
diangkat kerajaan.

• Notaris yang diangkat kerajaan mempunyai hak


mengeluarkan akta otentik, sedangkan notaris
yang tidak diangkat hanya mempunyai hak
mengeluarkan akta di bawah tangan.
• Sedangkan Tabularii lebih condong menjadi
sebutan penulis yang memiliki keahlian khusus
dalam pembukukan kota-sekarang akuntan.

• Kemudian para notaris yang diangkat kerajaan ini


bergabung dalam sebuah badan yang disebut
Collegium.

• Para notaris (termasuk tabellio) yang diangkat


kerajaan dipandang sebagai pejabat satu-satunya
yang berhak membuat akta baik di dalam
maupun di luar pengadilan.
• Pada awal kelahiran jabatan notaris telah terlihat
jelas hakikatnya sebagai pejabat umum (private
notary) yang ditugaskan oleh kekuasaan umum
untuk melayani kebutuhan masyarakat akan alat
bukti otentik yang memberikan kepastian
hubungan hukum keperdataan.

• Jadi, sepanjang alat bukti otentik tetap


diperlukan oleh sistem hukum negara maka
jabatan notaris akan tetap diperlukan
eksistensinya di tengah masyarakat.
GAMBARAN UMUM DAN
PERILAKU NOTARIS DALAM
MELAKSANAKAN JABATANNYA
GAMBARAN UMUM TENTANG NOTARIS

• Notaris adalah pejabat umum yang diberi


kewenangan untuk membuat akta otentik dan
kewenangan lainnya.

• Notaris diangkat oleh pemerintah. Oleh karena


itu Notaris adalah jabatan kepercayaan dan
karenanya Notaris harus berperilaku jujur,
amanah, bertanggungjawab dan tidak memihak.
• Notaris bergerak di bidang hukum privat atau
hukum keperdataan.

• Mengatur hubungan hukum dalam


masyarakat antara orang dengan orang lain,
maupun antara orang dengan badan hukum
atau sebaliknya.
PERILAKU NOTARIS DALAM MELAKSANAKAN
JABATANNYA

• Perilaku Notaris diatur dalam Kode Etik Notaris.

• Kode Etik Notaris ditetapkan di dalam Kongres


Ikatan Notaris Indonesia.
• Kode Etik Notaris dirumuskan sebagai keseluruhan
kaidah moral yang ditentukan oleh perkumpulan
Ikatan Notaris Indonesia (I.N.I) yang selanjutnya
disebut “Perkumpulan” berdasarkan Kongres
Perkumpulan dan/atau yang ditentukan oleh dan
diatur dalam peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang itu.

• Kode Etik berlaku dan diberlakukan bagi setiap dan


semua anggota Perkumpulan dan wajib ditaati
dalam menjalankan tugas jabatan sebagai Notaris,
termasuk di dalamnya para Pejabat Sementara
Notaris, Notaris Pengganti dan Notaris Pengganti
Khusus.
Disamping kode etik, setiap Notaris sebagai
anggota Perkumpulan juga terikat pada disiplin
organisasi, yaitu kepatuhan anggota
Perkumpulan dalam rangka memenuhi
kewajiban-kewajiban terutama kepatuhan
terhadap Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah
Tangga serta kepatuhan tertib administrasi
(pendaftaran keanggotaan, perpindahan wilayah
jabatan, dll), pembayaran iuran anggota yang
telah diatur oleh Perkumpulan.
KELAHIRAN NOTARIS LATIN DAN
ANGLO SAXON
• Ada dua mazab notaris dunia yakni Notaris Latin
dan notaris Anglo Saxon. Notaris Anglo Saxon
hakikatnya adalah pejabat hukum umum yang
profesional (private legal professional), seperti
pengacara, yang juga mempersiapkan dokumen
atas nama para pihak dan memastikan dokumen
telah sesuai undang-undang dan peraturan yang
berlaku.

• The Latin notary is an legal professional like an


attorney who alsa prepares documents on behalh
of both sides in a transaction and ensures that
these documents meet the legal requirements of
the appropriate jurisdiction. (Thaw, 2007).
Sedangkan notaris Anglo Saxon bukanlah
seorang pejabat legal profesional melainkan
dipilih dari warga masyarakat yang
mempunyai integritas dan moral yang tinggi.
An American notary public is a’citizen of high
moral character and integrity’, who is legally
empowered to witness and certify the validity
of documents and take attestations and
depositions He is not a person who practises
law (St-Aubin, 2000).
Notaris Anglo Saxon diadopsi oleh negara yang
menganut sistem Hukum Sipil (Civil Law
System), sedangkan Notaris Anglo Saxon
diadopsi oleh negara yang menganut sistem
Hukum Kasus (Common Law System), Hukum
Sipil mengacu pada hukum Romawi (Italia
Utara) yang meletakkan segala sesuatunya pada
perundang-undangan.
Sementara Hukum Kasus berasal dari Inggris
dan mengemuka pada abad pertengahan
dimana hukum dikembangkan dari penilaian
umum (judment). Jurisprudence menjadi bagian
yang maha penting dari sistem Hukum Kasus.
• Negara yang menganut sistem Notaris Anglo
Saxon diantaranya negara-negara benua Eropa
(Italia, Perancis, Spanyol, Belanda, Belgia,
Portugal), kecuali beberapa negara Scandinavia,
Negara Asia, Afrika, Amerika Latin, Quebec dan
Negara Bagian Louisina di Amerika Serikat.

• Sedangkan negara yang menganut notaris Anglo


Saxon adalah Amerika Serikat, kecuali Lousiana,
Inggris dan sebagian negara di Scandinavia, serta
negara jajahan Inggris di Asia dan Afrika seperti
Singapura, Malaysia, Filipina, Australia.
• Indonesia menganut mazab Notaris Latin, bukan
Notaris Anglo Saxon. Notaris di Indonesia
memberikan legal advice kepada par apihak,
sepanjanag tidak bertentangan dengan undang-
undang yang berlaku, ketertiban, dan kesusilaan.

• Tidak seperti notaris di Amerika Serikat yang hanya


bertanggung jawab terhadap akurasi dan legalitas isi
perjanjian akta.

• Oleh karenanya, akta yang dihasilkan Notaris Latin


sangat diperhitungkan oleh pengadilan karena
merupakan bukti otentik, sebaliknya akta yang
dihasilkan Notaris Anglo Saxon tidak diperhitungkan
sebagai alat bukti oleh pengadilan.
Notaris Anglo Saxon melaksanakan tugas
sederhana bersifat paralegal, seperi
mengesahkan tanda tangan atau menyusun surat
kuasa.
• Pemahaman sederhana ini harus diketahui para
notaris Indonesia dan stakeholdernya---polisi,
jaksa, hakim, menteri kehakiman, pebisnis, dan
masyarakat umum.

• Karena jika tidak maka akan terjadi kerancuan


“aturan main” yang berpotensi menurunkan
kualitas sistem Hukum Perdata di Indonesia.
Sudah jamak dalam praktik, Indonesia banyak
mengadopsi pemikiran dan budaya Barat
(Amerika Serikat), padahal Amerika Serikat
mengadopsi sistem Notaris Anglo Saxon yang
berbeda dengan Mazab Notaris Latin.
Konsep dan praktik dalam sistem Kenotariatan
Latin tidak bisa dicampurkan engan konsep dan
praktik sistem Kenotariatan Anglo Saxon yang
secara filosofi sangatlah berbeda.
Lembaga Notariat

Timbulnya Lembaga Notariat

Lembaga Notariat adalah suatu Lembaga Kemasyarakatan.

Pada tahun 1888 telah diadakan peringatan 8 abad berdirinya Sekolah Hukum di
Universitas Bologna oleh Irnerius dengan dipersembahkannya buku “Formularium
Tabellionum” dari Irnerius sendiri.

Dapat disimpulkan bahwa Lembaga Notariat sudah ada pada tahun 1088 dengan
diperingatinya 8 abad berdirinya Sekolah Hukum di Universitas Bologna yang merupakan
lembaga tertua.
100 tahun kemudian, Rantero di Perugia mempersembahkan pula karyanya yang berjudul
“SUMMA ARTIS NOTARIAE”.

Pada akhir abad ke-13 muncul karya yang paling termasyhur berjudul “SUMMA ARTIS
NOTARIAE” dari Rolandinus Passegeri.
Kemudian buku-buku lainnya yang ditulis oleh Rolandinus Passegeri terutama di bidang
notariat, yaitu “FLOS TENTAMENTORIUM”.
Summa-summanya dipakai sampai dengan abad ke-17 bahkan dipertahankan sampai dengan
abad ke-19.

Summa-summa tersebut memuat bab-bab tentang Kenotariatan, khususnya mengenai sejarah


kenotariatan, tugas dari Notaris, syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh Notaris, bentuk-
bentuk akta Notaris, dan apa yang harus dimuat dalam akta Notaris, seperti hari, tanggal,
bulan, dan tahun, serta nama dari para saksi, salinan akta, kewajiban merahasiakan akta,
protokol, dan esensialia-esensialia lain yang berhubungan dengan Notaris.
Lalu setelah itu barulah mengatur tentang keperdataan yang dibagi dalam 3 pokok,
yaitu:
1. Hukum Perjanjian;
2. Hukum Waris; dan
3. Hukum Acara Perdata.
Perkembangan Notaris di Italia Utara

Lembaga Notariat pertama kali timbul di Italia Utara pada abad ke-11 (sebelas) atau
abad ke-12 (dua belas).

Kebutuhan akan alat bukti timbul dikarenakan Italia Utara merupakan pusat
perdagangan.
Terdapat kelompok-kelompok orang yang melakukan suatu bentuk pekerjaan tulis-
menulis tertentu, yang kemudian berkembang dengan sebutan:

Notarius

Notarii

Tabeliones

Tabularii

Collegium
Notarius
Sebutan Notarius diambil dari nama kelompok-kelompok orang yang melakukan suatu bentuk
pekerjaan tulis-menulis tertentu. Kelompok-Kelompok orang tersebut dinamakan Notarius yang
berasal dari salah satu nama pengabdi dari pekerjaan tersebut.

Notarii
Notarii adalah orang-orang yang memiliki keahlian untuk mempergunakan suatu bentuk tulisan
cepat di dalam menjalankan pekerjaan mereka, yang pada hakikatnya mereka itu dapat disamakan
dengan yang dikenal sekarang ini sebagai Stenografen. Para Notarii mula-mula sekali
memperoleh namanya tersebut dari perkataan Nota Literaria, yaitu teknik tulis-menulis cepat
dengan tanda tulisan (Character) yang mereka pergunakan untuk menuliskan atau
menggambarkan perkataan-perkataan atau singkatan-singkatan.
• Nama Notarii pertama kali diberikan kepada orang yang mencatat/menulis pidato Cato dalam
senaar Romawi.
• Nama Notarii juga diberikan kepada pejabat-pejabat istana yang melakukan pekerjaan
kanselarij Kaisar yang merupakan pekerjaan administratif.
Tabeliones
Para Tabeliones ini adalah kelompok orang-orang yang mempunyai keahlian tulis-
menulis tertentu untuk membuat alat bukti yang ditugaskan oleh Undang-Undang
berupa akta-akta atau surat-surat lain untuk kepentingan masyarakat umum. Tetapi
tidak diangkat oleh penguasa umum. Contoh: Zaakwaarnemer dan Makelar.

Tabularii
Tabularii adalah pegawai negeri yang bertugas untuk mengadakan dan memelihara
pembukuan keuangan kota-kota, serta ditugaskan untuk melakukan pengawasan
arsip dari magistrat kota-kota di bawah ressort mana mereka berada.
• Pada zaman pemerintahan Justianus (527-565), bersamaan dengan timbulnya
kelompok Tabularii, keberadaan kelompok Tabeliones masih tetap dikenal dalam
masyarakat.
Collegium
Kelompok Tabularii dan kelompok Tabeliones pada waktu yang bersamaan memberikan jasa yang
sama kepada masyarakat. Oleh karenanya, masyarakat lebih menggunakan jasa Tabularii,
sehingga untuk memenuhi kebutuhan Tabularii, maka pemerintah pada saat itu mengangkat
Tabellionaat yang disebut Notarii. Oleh karena itu, para Tabellionaat itu menjadilah namanya
Notarii.
- Para Tabellionaat yang tidak diangkat merasa tersingkirkan, sehingga mereka juga menyebut
diri mereka Notarii.
- Maka lambat laun Tabellionaat dan Notariat (Golongan para Notaris yang diangkat) bergabung
dan menyatukan diri dalam suatu badan yang dinamakan Collegium. Collegium inilah yang
menjadi cikal bakal timbulnya Notaris pada saat ini. Para Notarius yang tergabung dalam
Collegium ini dapat dipandang sebagai para pejabat yang satu-satunya berwenang untuk
membuat akta-akta, baik di dalam maupun di luar Pengadilan (Gerechtelijke dan
Buitengerechtelijke Akten).
Semua akta-akta dan surat-surat yang dibuat oleh kelompok orang-orang yang mempunyai
keahlian tulis-menulis dalam bentuk tertentu (Notarius, Notarii, Tabeliones, Tabularii, dan
Collegium) tersebut di atas belum mempunyai kekuatan pembuktian yang autentik serta tidak
mempunyai kekuatan eksekutorial seperti akta-akta yang dibuat oleh Notaris saat ini, akan tetapi
masih merupakan alat bukti yang mempunyai kekuatan pembuktian di bawah tangan yang masih
memerlukan alat bukti lain.

Pengertian tentang Notaris yang berasal dari 5 (lima) kelompok tersebut di atas yang timbul dan
berkembang di Italia Utara ini dinamakan dengan Latijnse Notariaat. Sistem Latijnse Notariaat
ini mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1. Diangkat oleh penguasa umum;
2. Untuk kepentingan masyarakat umum; dan
3. Menerima uang jasanya (honorarium) dari masyarakat umum.
Notaris yang berasal dari Italia Utara berkembang ke daratan Eropa melalui Spanyol,
sampai ke Amerika Tengah dan Amerika Selatan, kecuali Inggris dan sebagian
Skandinavia. Notaris yang berasal dari Italia Utara ini dinamakan Latijnse Notariaat yang
termasuk dalam sistem hukum Civil Law, sedangkan Notaris yang ada di Inggris dan
Skandinavia termasuk dalam sistem hukum Common Law.
Perkembangan Notaris di Perancis

Pada abad ke-13 (tiga belas) Lembaga Notariat di Italia Utara berkembang di Perancis.
Pada zaman itu, Raja Lodewijk de Heilige sebagai ahli ketatanegaraan Perancis banyak
berjasa dalam pembuatan perundang-undangan, termasuk Undang-Undang di bidang
Kenotariatan.

Pada tanggal 6 Oktober 1791 diundangkanlah Undang-Undang di bidang Kenotariatan


untuk pertama kalinya di Perancis.

Setelah diundangkan dan berlakunya Undang-Undang di bidang Kenotariatan tersebut,


maka berakhirlah perbedaan-perbedaan yang terdapat sebelumnya mengenai berbagai
macam bentuk Notaris. Sejak saat itu di Perancis hanya dikenal satu macam Notaris.
Pada tanggal 16 Maret 1803, Undang-Undang di bidang Kenotariatan tersebut diubah
dengan Undang-Undang 25 Ventose an XI (Ventosewet).

Berdasarkan Ventosewet tersebut, maka terjadilah “Pelembagaan”, maka sejak saat itu
Notaris merupakan seorang Pejabat Umum (Ambtenaar) dan akta-akta yang dibuat oleh
para Notaris tersebut adalah akta autentik yang mempunyai kekuatan pembuktian yang
sempurna.

Berdasarkan Ventosewet tersebut Notaris dijadikan Pejabat Umum (Ambtenaar) dan


berada di bawah pengawasan Chambre des Notaires yang merupakan suatu badan khusus.
Ventosewet memuat ketentuan persyaratan untuk dapat diangkat menjadi Notaris, yaitu
sebagai berikut:
1. Harus mengikuti ujian negara terlebih dahulu;
2. Harus mengikuti magang selama 6 tahun dan mendapatkan sertifikat yang dinamakan
Certificate de Moralite et de Capacite (Keterangan Berkelakuan Baik dan Memiliki
Kecakapan);
3. Harus diangkat oleh Negara.
Masa Kemerosotan di Bidang Notariat

Pada akhir abad ke-14 (empat belas) setelah puncaknya, Lembaga Notariat ini mulai
menurun eksistensinya. Pada saat itu terjadi kemerosotan di bidang Notariat. Hal ini
dikarenakan tindakan penguasa pada waktu itu kekurangan uang dan akhirnya
menjual jabatan-jabatan Notaris kepada orang-orang yang tidak mempunyai
keahlian di bidang Notariat.

Dengan keberadaan Notarii yang berasal dari Tabellionaat yang diangkat oleh
pemerintah kala itu, maka terdapat para Notarii yang tidak berkualitas, sehingga di
masyarakat timbullah sebutan bahwa “Kebodohan dari para Notaris adalah Roti
Bagi Pengacara (Ognorantia Notariorum, Panis Advocatorum)” dan “Dunia akan
mengalami kehancurannya karena kebodohan para Notaris (Stultitia Notariorum
Mundus Perit).”
Perkembangan Notaris di Belanda

Di Belanda juga terdapat kelompok-kelompok orang yang mempunyai suatu bentuk pekerjaan tulis-
menulis tertentu.

Pada saat itu Belanda merupakan negeri jajahan Perancis, maka dengan adanya Ventosewet ketentuan-
ketentuan yang ada di Perancis berlaku pula di Belanda. Dengan demikian, maka kelompok-kelompok
tersebut sudah tidak ada dan hanya ada satu bentuk pekerjaan tulis-menulis tertentu yang disebut Notaris.

Masuknya Lembaga Notariat ke Belanda melalui 2 (dua) Dekrit Kaisar, yaitu:


1. Dekrit Pertama pada tanggal 8 November 1810; dan
2. Dekrit Kedua pada tanggal 1 Maret 1811.
Ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Ventosewet tersebut berlaku terus-menerus di negeri
Belanda sampai dengan lepasnya Belanda dari jajahan Perancis pada tahun 1813.

Pada tanggal 9 Juli 1842 dikeluarkanlah suatu Undang-Undang Nederland Staatsblad Nomor 20
tentang Jabatan Notaris (De Notariswet).
Perbedaan-perbedaan antara Ventosewet dan De Notariswet dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Ventosewet De Notariswet
Ada 3 golongan Notaris, yaitu: Hanya mengenal satu macam Notaris dan
1. Hofnotarissen mempunyai tempat kedudukan dan menjalankan tiap-tiap Notaris dengan tidak mengadakan
jabatannya di seluruh daerah hukum dari Gerechtshof; pembedaan, berwenang untuk menjalankan
2. Arrodissementsnotarissen mempunyai tempat kedudukan dan tugas jabatannya di seluruh daerah hukum
menjalankan jabatannya di seluruh daerah hukum dari dari Rechtbank, di dalam daerah hukum
Rechtbank; dan mana Notaris itu bertempat kedudukan.
3. Kantonnotarissen mempunyai tempat kedudukan dan
menjalankan jabatannya di seluruh daerah hukum dari
Kantongerecht.
Chambres des Notaires mempunyai tugas rangkap, yaitu melakukan Di Belanda tidak ada lembaga pengawasan
pengawasan terhadap para Notaris dan menguji para Notaris. Oleh tersendiri seperti di Perancis, tetapi
karena badan ini menurut penilaian dari pembuat Undang-Undang pengawasan terhadap Notaris diserahkan
tahun 1842 di dalam menjalankan tugasnya tidak mencapai kepada Pengadilan.
tujuannya, maka badan ini dihapuskan dan pengawasan terhadap
para Notaris diserahkan kepada badan-badan peradilan, sedang
tugas untuk mengadakan ujian para Notaris mula-mula dipercayakan
kepada Gerechtshoven dan kemudia dalam tahun 1878 dijadikan
Ujian Negara.
Ventosewet De Notariswet
Para calon Notaris harus menjalani masa magang (Werkstage) selama Para calon Notaris harus sudah
6 tahun dan penyerahan suatu sertifikat yang dinamakan Certificate pernah bekerja (tidak terputus-
de Moralite et de Capacite (Keterangan berkelakuan baik dan putus) pada salah satu kantor
memiliki kecakapan) dari calon pelamar yang diberikan oleh Notaris selama sekurang-
Chambre de Discipline dari daerah hukum kamar, dimana calon kurangnya 3 tahun.
Notaris itu hendak menjalankan tugas jabatannya.
Pada tahun 1842 masa magang (Werkstage) ini dihapuskan
berdasarkan pertimbangan yang semata-mata bersifat teoritis dan
tidak tepat, bahwa tidak masalah darimana seseorang mendapatkan
keahliannya itu, asalkan dia memilikinya dan lagi pula suatu jangka
waktu tertentu mungkin bagi seseorang adalah terlalu pendek,
sedangkan bagi yang lain terlalu lama, sehingga sebagai penggantinya
diadakan Ujian Negara.
Akta Notaris hanya dapat dibuat di hadapan 2 Notaris tanpa saksi- Akta Notaris dibuat di hadapan
saksi atau di hadapan seorang Notaris dengan 2 orang saksi. seorang Notaris dan 2 orang saksi,
kecuali untuk pembuatan akta
superskripsi dari surat wasiat
rahasia harus dengan 4 orang saksi.
I. KELAHIRAN NOTARIS LATIN DAN
ANGLO SAXON
• Ada dua mazab notaris dunia yakni Notaris Latin
dan notaris Anglo Saxon. Notaris Anglo Saxon
hakikatnya adalah pejabat hukum umum yang
profesional (private legal professional), seperti
pengacara, yang juga mempersiapkan dokumen
atas nama para pihak dan memastikan dokumen
telah sesuai undang-undang dan peraturan yang
berlaku.

• The Latin notary is an legal professional like an


attorney who alsa prepares documents on behalh
of both sides in a transaction and ensures that
these documents meet the legal requirements of
the appropriate jurisdiction. (Thaw, 2007).
Sedangkan notaris Anglo Saxon bukanlah
seorang pejabat legal profesional melainkan
dipilih dari warga masyarakat yang
mempunyai integritas dan moral yang tinggi.
An American notary public is a’citizen of high
moral character and integrity’, who is legally
empowered to witness and certify the validity
of documents and take attestations and
depositions He is not a person who practises
law (St-Aubin, 2000).
Notaris Anglo Saxon diadopsi oleh negara yang
menganut sistem Hukum Sipil (Civil Law
System), sedangkan Notaris Anglo Saxon
diadopsi oleh negara yang menganut sistem
Hukum Kasus (Common Law System), Hukum
Sipil mengacu pada hukum Romawi (Italia
Utara) yang meletakkan segala sesuatunya pada
perundang-undangan.
Sementara Hukum Kasus berasal dari Inggris
dan mengemuka pada abad pertengahan
dimana hukum dikembangkan dari penilaian
umum (judment). Jurisprudence menjadi bagian
yang maha penting dari sistem Hukum Kasus.
• Negara yang menganut sistem Notaris Anglo
Saxon diantaranya negara-negara benua Eropa
(Italia, Perancis, Spanyol, Belanda, Belgia,
Portugal), kecuali beberapa negara Scandinavia,
Negara Asia, Afrika, Amerika Latin, Quebec dan
Negara Bagian Louisina di Amerika Serikat.

• Sedangkan negara yang menganut notaris Anglo


Saxon adalah Amerika Serikat, kecuali Lousiana,
Inggris dan sebagian negara di Scandinavia, serta
negara jajahan Inggris di Asia dan Afrika seperti
Singapura, Malaysia, Filipina, Australia.
• Indonesia menganut mazab Notaris Latin, bukan
Notaris Anglo Saxon. Notaris di Indonesia
memberikan legal advice kepada par apihak,
sepanjanag tidak bertentangan dengan undang-
undang yang berlaku, ketertiban, dan kesusilaan.

• Tidak seperti notaris di Amerika Serikat yang hanya


bertanggung jawab terhadap akurasi dan legalitas isi
perjanjian akta.

• Oleh karenanya, akta yang dihasilkan Notaris Latin


sangat diperhitungkan oleh pengadilan karena
merupakan bukti otentik, sebaliknya akta yang
dihasilkan Notaris Anglo Saxon tidak diperhitungkan
sebagai alat bukti oleh pengadilan.
Notaris Anglo Saxon melaksanakan tugas
sederhana bersifat paralegal, seperi
mengesahkan tanda tangan atau menyusun surat
kuasa.
• Pemahaman sederhana ini harus diketahui para
notaris Indonesia dan stakeholdernya---polisi,
jaksa, hakim, menteri kehakiman, pebisnis, dan
masyarakat umum.

• Karena jika tidak maka akan terjadi kerancuan


“aturan main” yang berpotensi menurunkan
kualitas sistem Hukum Perdata di Indonesia.
Sudah jamak dalam praktik, Indonesia banyak
mengadopsi pemikiran dan budaya Barat
(Amerika Serikat), padahal Amerika Serikat
mengadopsi sistem Notaris Anglo Saxon yang
berbeda dengan Mazab Notaris Latin.
Konsep dan praktik dalam sistem Kenotariatan
Latin tidak bisa dicampurkan engan konsep dan
praktik sistem Kenotariatan Anglo Saxon yang
secara filosofi sangatlah berbeda.
II. NOTARIS LATIN DI
ITALIA DAN PERANCIS
• Notaris Latin berkembang awalnya di Italia
Utara antara tahun 11 dan 12 setelah Masehi.

• Hal ini terlihat dari diangkatnya notaris oleh


penguasa umum untuk kepentingan masyarakat
dan menerima honorarium sebagai
kontraprestasi atas pelayanan yang telah
diberikan.
• Kata honorarium ini berasal dari kata “honor” yang
berarti kehormatan-kebanggaan.

• Kata honor juga merepresentasi kedudukan notaris


yang setingkat dengan para pihak (pelanggan).

• Para pihak datang kepada notaris untuk meminta


saran hukum (legal advice) untuk memastikan
bahwa perjanjian yang dibuat tidak merugikan salah
satu pihak. Notaris Latin akan mengecek kebenaran
verbal dari penyataan yang dibuat dalam perjanjian
dan dokumen-dokumen yang diikutsertakan.
• Mazab Notaris Latin menyebar seiring dengan
penyebaran peradaban, yakni: mulai dari Italia,
Perancis dan Spanyol sebelum akhirnya
menyebar ke dataran Amerika Tengah dan
Amerika Selatan. Hanya Inggris dan beberapa
negara dalam kawasan Skandinavia yang tidak
menerima Mazab Notaris Latin karena
perbedaan sistem hukumnya.
• Ilmu notaris mengalami masa keemasan di
Perancis pada abad ke-13.

• Raja Lodewijk de Heilege merupakan tokoh


ketatanegaraan Perancis yang dianggap berjasa
dalam mengembangkan konsep kenotariatan
dengan membuat undang-undang khusus
mengenai kenotariatan.

• Undang-undang inilah yang kemudian menjadi


acuan bagi undang-undang setelahnya.
• Pada tanggal 6 Oktober 1791 lahir undang-undang
kenotariatan di Perancis yang menghapus
perbedaan di dunia kenotariatan (scribae,
tabelliouse, tabularii) menjadi hanya satu jenis yang
disebut notaris.

• Undang-undang tersebut juga menghapuskan


ketentuan bahwa jabatan notaris dapat dijual dan
diwariskan.

• Undang-undang tersebut kemudian diganti dengan


undang-undang dari 25 Ventose an XI (16 Maret
1803) yang menjadi notaris ambtenaar dan berada
di bawah pengawasan Chambre Des Notaries.
• Peristiwa inilah yang menjadi momentum
kelembagaan notaris di dunia.

• Kelembagaan ini berfungsi untuk memberikan


jaminan yang lebih baik bagi kepentingan
masyarakat.

• Wewenang besar yang diberikan penguasa/negara


kepada para notaris hanya bertujuan untuk satu hal,
yakni: agar notaris dapat melakukan tugasnya
dengan sebaik-baiknya hanya untuk kepentingan
umum, bukan untuk kepentingan sendiri.
• Penghayatan yang mendalam akan peran besarnya di
dalam kehidupan masyarakat menjadikan beberapa
notaris berhasil menempati posisi terhormat di
masyarakat dan menduduki posisi penting di
pemerintahan.

• Misalnya, seorang notaris bernama Rolandinus


Passegeri berhasil menjadi penguasa yang tidak
bermahkota di Bologna, Italia.

• Demikian pula seorang notaris bernama Coluccio


Salutato dari Florence dan Alberto Mussato dari Padua
yang selain sebagai notaris, mereka juga berhasil
menjadi penguasa di kota tempat tinggalnya.
• Sejarah emas notaris di Perancis bisa menjadi
motivasi kita untuk kembali ke khittoh seorang
notaris, yakni: sebagai pejabat umum yang
melayani masyarakat.

• Hanya dengan kembali ke nilai dasar inilah,


kehormatan profesi notaris akan terangkat
kembali sebagai profesi yang memberikan
kontribusi berupa kepastian hukum verbal bagi
masyarakat.
• Pada Abad Kegelapan (Dark Age, 500-1000 AD) di
mana penguasa tidak bisa memberikan jaminan
kepastian hukum, para notaris menjadi rujukan bagi
masyarakat yang bersengketa untuk meminta
kepastian hukum atas sebuah kasus.

• Meskipun keadannya sekarang berbeda dengan


Abad Kegelapan, namun yang patut kita tauladani
dari para notaris Eropa adalah semangat dan
dedikasinya dalam mengambil peran penting
sebagai hamba hukum dalam lalu lintas
memberikan kehidupan bermasyarakat yang lebih
baik.
Semangat inilah yang seyogyanya harus tetap
ada di setiap jiwa seorang notaris meskipun
godaan materialisme semakin menguat dan
terjadi di segenap penjuru tanah air.
III. NOTARIS DI
BELANDA DAN INDONESIA
• Belanda dijajah Perancis para periode tahun 1806
sampai 1813 oleh Raja Louis Napoleon. Otomatis
sebagai negara jajahan Perancis, Belanda mengadopsi
sistem kenotariatannya bergaya Latin yang dianut
Perancis.

• Melalui Dekrit Kaisar tertanggal 9 Nopember 1810 dan


tertanggal 1 Maret 1811 berlakulah undang-undang
kenotariatan Perancis di Belanda.

• Peraturan buatan Perancis ini (25 Ventose an XI (16


Maret 1803)) sekaligus menjadi peraturan umum
pertama yang mengatur kenotariatan di Belanda.
• Setelah Belanda lepas dari kekuasaan Perancis pada
tahun 1813, Peraturan buatan Perancis ini tetap
dipakai sampai tahun 1842, yakni: pada saat
Belanda mengeluarkan Undang-Undang tanggal 19
Juli 1842 (Ned. Stb no. 20) tentang Jabatan Notaris.

• Justru yang berlaku adalah peraturan lama yang


dipakai Belanda sebelum dijajah Perancis. Baru
pada tahun 1860, peraturan yang “senada” dengan
peraturan kenotariatan Belanda (Notariswet)
berlaku dengan dikeluarkannya Peraturan Jabatan
Notaris (PJN) pada 1 Juli 1860.
Jadi, apabila ditelusuri maka undang-undang
kenotariatan yang berlaku di Indonesia sekarang
dulunya berakar dari peraturan kenotariatan
Perancis yang berlaku di Belanda yang kemudian
disempurnakan. Peraturan Jabatan Notaris
adalah copie dari pasal-pasal dalam
(Notariswet) yang berlaku di negeri Belanda.
Keberadaan jabatan notaris pertama kali
tercatat pada tanggal 27 Agustus 1620 dengan
diangkatnya seorang Belanda bernama Melchior
Kerchem (Kerchem) menjadi notaris Jakarta
(dahulu Batavia). Kerchem ditugaskan untuk
kepentingan publik khususnya berkaitan dengan
pendaftaran semua dokumen dan akta yang
telah dibuatnya.
Awalnya, para notaris adalah pegawai VOC
(Vereenigde Oost-Indische Compagnie) sehingga
tidak memiliki kebebasan dalam menjalankan
tugasnya sebagai pejabat umum yang melayani
masyarakat. Baru sesudah tahun 1650 notaris
benar-benar diberikan kebebasan dalam
menjalankan tugasnya dan melarang para
prokureur mencampuri pekerjaan kenotariatan.
• Yang menarik dari jaman ini adalah adanya
kebijakan dari pemerintah Hindia Belanda yang
menetapkan formasi atau kuota notaris di setiap
daerah.

• Mula-mula notaris di Jakarta hanya Kerchem,


kemudian pada tahun 1650 ditambah menjadi dua
orang.

• Kemudian, ditambah lagi menjadi tiga orang pada


tahun 1654.
• Kemudian, ditambah lagi menjadi lima orang
pada tahun 1671 dengan ketentuan empat orang
harus bertempat tinggal di dalam kota dan satu
orang bertempat tinggal di luar kota.

• Tujuannya, agar masing-masing notaris bisa


mendapatkan penghasilan yang layak. Ini yang
patut kita renungkan hari ini apakah benar
kebijakan “persaingan bebas” yang berlaku di
dunia notaris Indonesia sekarang lebih baik
ataukan justru sebuah kemunduran pemikiran?
• Setelah Indonesia merdeka, pemerintah tidak
segera mengembangkan konsep peraturan baru.

• PJN yang berlaku sejak 1860 terus dipakai


sebagai satu-satunya undang-undang yang
mengatur kenotariatan di Indonesia sampai
tahun 2004.

• Padahal dari berbagai segi PJN sudah tidak


seesuai dengan perkembangan jaman.
• Oleh karena itu, sejak tahun 1970-an, INI
berusaha membangun undang-undang
kenotariatan yang baru dan bisa mengakomodasi
perkembangan lingkungan hukum dan bisnis di
Indonesia.

• Undang-undang induknya yakni (Notariswet)


sendiri telah mengalami beberapa kali
perubahan untuk menyesuaikan dengan
perkembangan hukum dan bisnis di negeri
Belanda, jadi perubahan PJN adalah sebuah hal
yang tidak bisa dihindarkan.
• Filosofi PJN jelas bukan berdasarkan Pancasila
dan UUD 1945 karena isinya sebagian besar
merupakan salinan dari UU Notaris di Belanda
(Notariswet).

• Atas dasar inilah INI tidak pernah surut berjuang


melahirkan UUJN sebagai produk hukum positif
asli Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan
UUD 1945.
• Kemerdekaan Indonesia telah mengakibatkan
relevansi kandungan material dan formal PJN
menjadi berkurang.

• Pada saat era kolonial Belanda menerapkan sistem


diskriminasi hukum, sementara Indonesia merdeka
menempatkan semua warga negara dalam posisi
yang sama di depan hukum.

• Ditinjau dari segi filosofi ini, PJN jelas tidak relevan


lagi, apalagi elemen praktis lain yang terkandung di
dalamnya.
• Di samping itu, selama kurun waktu 100 tahun lebih,
praktik Notaris telah berkembang jauh melebihi
dimensi yang diatur dalam PJN.

• Di samping itu, muncul kebutuhan untuk


menghimpun berbagai peraturan dan ketentuan
mengenai Notaris sebagai pelaksanaan PJN yang
berada diluar PJN yang merupakan unifikasi UU
Jabatan Notaris.

• Terakhir, sekaligus yang paling penting adalah telah


tiba saatnya Notaris mempunyai landasan kepastian,
ketertiban dan perlindungan hukum untuk
menjalankan profesinya melayani kebutuhan hukum
masyarakat.
INI khawatir jika kondisi ketidaksesuaian hukum
positif dengan dinamika masyarakat dibiarkan
berlarut-larut, maka tidak menutup
kemungkinan ada oknum yang tidak
bertanggungjawab “memanfaatkan” keadaan
tersebut yang membahayakan eksistensi Notaris
di Indonesia.
• Sebelum terbentuknya Volksraad pada tahun
1926 peraturan/reglement memiliki posisi
sebagai UU karena merupakan keputusan dari
Gubernur Jenderal.

• Tapi, setelah terbentuknya volksraad tersebut,


setiap UU (wet) disetujui bersama oleh Gubernur
Jenderal dan Volksraad, sedangkan reglement
adalah peraturan.
Sejak reformasi dapat dilihat dan dirasakan
betapa kuat pengaruh sistem hukum anglo saxon
terhadap mazab hukum latin sehingga jika
Notaris tidak segera memiliki payung hukum
positif, maka dikhawatirkan demand hukum
anglo saxon akan segera memasukin ranah
hukum kenotariatan Indonesia.
• Oleh karena itu, pengurus INI berusaha draft
UUJN dapat disegera diundangkan pada masa
sidang tahun 2003-2004, saat pemerintahan
Presiden Megawati sebelum beliau digantikan
dengan pemerintahan baru.

• Pada saat itu draft UUJN mendapat dukungan


penuh dari pemerintahan (Menteri Hukum dan
Perundang-undangan serta DPR).
• Jadi terlepas dari ketidaksempurnaan, lahirnya UUJN harus
kita syukuri sebagai perjuangan INI selama 30 tahun.

• Hal-hal yang belum sempurna dari UUJN masih terbuka


untuk diamandemen.

• Lahirnya UUJN memakan waktu 30 tahun lebih, salah


satunya karena ada sebagian kecil anggota INI yang tidak
mau mendengar masukan dari pihak lain.
SIMPULAN:

1. Jabatan Notaris lahir dari adanya kebutuhan


masyarakat sejak jaman Romawi Kuno, jaman
notaris Latin di Italia Utara, kemudian
berkembang di Perancis, Belanda dan akhirnya
ke Indonesia. Atas latar belakang inilah notaris
diangkat sebagai Pejabat umum yang bertugas
melayani masyarakat.
2. Notaris terbagi dalam berbagai subprofesi yakni
scribae, tabelliones, tabularii di mana ada yang
diangkat oleh pemerintah dan ada yang
mengangkat dirinya sendiri (swasta). Notaris yang
diangkat oleh pemerintah atau kerajaan inilah yang
disebut dengan pejabat umum notaris.

3. Di dunia ada dua mazab kenotariatan yakni Notaris


Latin dan Notaris Anglo Saxon. Notaris Latin adalah
satu-satunya pejabat negara yang berhak
mengeluarkan akta otentik. Sedangkan Notaris
Anglo Saxon adalah notaris yang hanya
mengeluarkan akta di bawah tangan yang tidak
bernilai di pengadilan.
4. Konsep pengembangan undang-undang dan
peraturan kenotariatan di sebuah negara harus
mengacu pada konsep besar mazab kenotariatan
ini karena masing-masing memiliki landasan
filosofi hukum yang berbeda.

5. Notaris Latin mengadopsi Hukum Sipil (Civil Law


System), sedangkan Notaris Anglo Saxon
mengadopsi Sistem Hukum Khusus (Common
Law System). Sehingga tidak bisa
dicampuradukkan.
6. Notaris Latin berkembang di Italia, kemudian
mencapai jaman keemasannya di Perancis. Dari
Perancis mazab Notaris Latin berkembang di
Belanda setelah Belanda jatuh ke tangan
Perancis. Barulah kemudian Mazab ini masuk ke
Indonesia pada masa penjajahan Belanda.

7. Pada Jaman Hindia Belanda diatur masalah


formasi atau kuota notaris di suatu wilayah
dengan tujuan agar para notaris bisa hidup layak.
8. PJN yang berlaku sejak tahun 1860 sampai 2004
sangat dipengaruhi oleh Peraturan Notaris di
Belanda (Notariswet) yang merupakan
pengembangan dari Peraturan Notaris di Perancis
(Ventosewet).

9. Pada Tahun 2004, INI berhasil mengembangkan


Undang-Undang kenotariatan baru yang lebih
mampu mengakomodasi dinamika lingkungan
hukum dan bisnis terkini. Undang-undang tersebut
adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.
Perkembangan Notaris di Indonesia
Pada Saat Penjajahan Belanda

Perkembangan Notariat dari Italia Utara masuk ke Indonesia berkembang ke daratan


Eropa melalui Spanyol, Perancis, dan Belanda.

Pada permulaan abad ke-17 Notaris berkembang di Indonesia dengan adanya


pedagang-pedagang Belanda yang datang ke Nusantara dengan memperdagangkan
rempah-rempah yang dibawa ke negeri Belanda dan mendirikan perusahaan yang
bernama Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) pada tahun 1602.

Usaha dagang ini berkembang menguasai Nusantara dengan membentuk pemerintahan


yang merupakan bagian dari Kerajaan Belanda Republik der Verenigde Nederlanden.
Pada tanggal 27 Agustus 1620, diangkatlah Notaris yang pertama di Indonesia bernama
Melchior Kerchem berkebangsaan Belanda yang merupakan Sekretaris dari College van
Schepenen di Jacatra. Pengangkatan Melchior Kerchem tersebut melalui Surat Keputusan
Gubernur Jenderal Jan Pieterz Coen sebagai wakil Ratu Belanda.

Surat Keputusan Pengangkatan sebagai Notaris tersebut memuat uraian singkat yang
merupakan suatu instruksi mengenai sumpah jabatan sebelum melaksanakan jabatan,
bidang pekerjaan, wewenang untuk menjalankan tugas jabatannya untuk kepentingan
publik, wajib mendaftarkan semua dokumen serta akta yang dibuatnya sesuai dengan
bunyi instruksi tersebut, dan kewajiban Notaris untuk menjalankan jabatannya secara
netral dan tidak memihak kepada siapapun (Sonder Respect off Aensien van Persoonen).

Pada kenyataannya Notaris dalam menjalankan jabatan pada masa itu tidak mempunyai
kebebasan yang murni (tidak independen) karena Notaris pada masa itu adalah Pegawai
dari VOC.
Tugas Notaris pada masa itu hanya melayani orang-orang/golongan-golongan yang tunduk
pada Hukum Perdata Barat, yaitu golongan Eropa, Cina, Timur Asing, dan golongan
Pribumi/Bumi Putera yang sudah menundukkan diri pada Hukum Perdata Barat, baik
secara formil maupun secara diam-diam.

Pada tanggal 16 Juni 1625, setelah jabatan Notaris Publik dipisahkan dari jabatan
Secretarius van de Gerechte dengan Surat Keputusan Gubernur Jendral tanggal 12
November 1625, maka dikeluarkanlah Instruksi Pertama yang memuat 10 Pasal bagi para
Notaris di Indonesia pada waktu itu yang berisikan Notaris harus terlebih dahulu diuji dan
diambil sumpahnya.

Pada tahun 1632 dikeluarkannya Plakkaat yang berisi ketentuan bahwa para Notaris,
Sekretaris, dan Pejabat lainnya dilarang untuk membuat akta-akta transport, jual beli, surat
wasiat, dan lain-lain akta jika tidak mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Gubernur
Jendral dan Raden van Indie dengan ancaman akan kehilangan jabatannya.
Pada tahun 1822 dikeluarkan Instruksi Kedua yang memuat 34 Pasal bagi para Notaris di Indonesia yang berisikan
resume dari peraturan-peraturan yang ada sebelumnya dan suatu bunga rampai dari plakkat-plakkat yang lama antara
lain dalam Pasal 1 nya memuat tugas dan batas-batas serta wewenang dari Notaris dan menyatakan Notaris adalah
Pegawai Umum yang harus mengetahui Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku, yang dipanggil dan diangkat
untuk membuat akta dengan maksud memberikan kekuatan pengesahan, menetapkan dan memastikan tanggal,
menyimpan asli/minuta, mengeluarkan grossenya dan salinannya yang benar.

Pada tanggal 26 Januari 1860 oleh Ratu Belanda Wilhelmina menganggap perlu untuk membuat suatu peraturan
sebagai dasar yuridis dan landasan pekerjaan Notaris di Indonesia. Setelah itu dikeluarkanlah Peraturan Jabatan
Notaris (Notaris Reglement) atau Staatsblad 1860 Nomor 3 (Stb. 1860 No. 3) yang berisi 66 Pasal dan mulai
berlaku pada tanggal 1 Juli 1860.

Bunyi dari Pasal 1 PJN (Stb. 1860 No. 3) memuat ketentuan tentang “Siapa yang dimaksud dengan Notaris dan
apa kewenangannya”.

Pasal 1 PJN (Stb. 1860 No. 3) merupakan copy dari Pasal 1 De Notariswet yang berlaku di Belanda, yang mana
Pasal 1 De Notariswet ini merupakan terjemahan yang kurang berhasil dari Pasal 1 Ventosewet yang berlaku di
Perancis.
Dikatakan kurang berhasil karena perkataan “Etablis” atau “Yang khusus ditunjuk
untuk itu” yang dipergunakan dalam Pasal 1 Ventosewet adalah lebih tepat, daripada
perkataan “Bevoegd” atau “Berwenang” yang dipergunakan dalam Pasal 1 PJN
(Stb. 1860 No. 3).

Notaris tidak hanya berwenang (Bevoegd) untuk membuat akta autentik dalam arti
“Verlijden”, bahwa suatu akta autentik:
1. Harus disusun;
2. Harus dibacakan; dan
3. Harus ditandatangani.
Akan tetapi juga berdasarkan ketentuan dalam Pasal 7 PJN (Stb. 1860 No. 3) wajib
untuk membuatnya, kecuali terdapat alasan yang mempunyai dasar untuk menolak
pembuatannya.
Keberadaan Notaris di Indoensia menurut Doktrin adalah untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat sebagaimana yang dimuat di dalam sejarah perkembangan Notaris, sedangkan
secara yuridis keberadaan Notaris di Indonesia adalah atas kehendak dari Pasal 1866,
1867, dan 1868 KUHPerdata.

Pasal 1866 KUHPerdata tentang alat-alat bukti terdiri atas:


a. Bukti tulisan;
b. Bukti dengan saksi-saksi;
c. Persangkaan-persangkaan;
d. Pengakuan; dan
e. Sumpah.

Pasal 1867 KUHPerdata, bukti tulisan terdiri dari:


a. Tulisan-tulisan autentik; dan
b. Tulisan-tulisan di bawah tangan.
Pasal 1868 KUHPerdata, syarat akta autentik itu adalah:
a. Dibuat dalam bentuk yang ditentukan Undang-Undang;
b. Oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu; dan
c. Di tempat akta itu dibuat.

Dalam Pasal 1868 KUHPerdata tidak ada penjelasan tentang mengenai siapa
itu Notaris secara terperinci. Oleh karena itu, untuk menjawab apa yang
dimaksud dalam Pasal 1868 KUHPerdata, maka jawaban itu dijawab dengan
dikeluarkannya Stb. 1860 No. 3. Sehingga dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa Stb. 1860 No. 3 tersebut merupakan peraturan pelaksana dari Pasal
1868 KUHPerdata.
Perkembangan Notaris di Indonesia
Pada Masa Kemerdekaan Indonesia

Pada tahun 1945 setelah Indonesia merdeka dan Belanda meninggalkan Indonesia, Peraturan
tentang Jabatan Notaris yang telah berlaku di Indonesia pada zaman penjajahan Belanda,
yaitu Stb. 1860 No. 3 diadakan perubahan dengan Staatsblad 1945 Nomor 94 yang mencabut
beberapa Pasal yang terdiri dari Pasal 2 ayat (3), Pasal 62, Pasal 62 a, dan Pasal 63.

Pada tanggal 20 November 1954 dikeluarkanlah Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1954


dengan Lembaran Negara Nomor 1954-101 Tentang Wakil Notaris dan Wakil Notaris
Sementara yang memuat 9 Pasal dengan tidak mengadakan pengaturan secara keseluruhan
mengenai pengaturan tentang Kenotariatan, diantaranya memuat ketentuan mengenai Ketua
Pengadilan Negeri dapat menunjuk seorang yang untuk sementara diwajibkan menjalankan
pekerjaan-pekerjaan Notaris, untuk ditunjuk sebagai Wakil Notaris (sementara) seorang tidak
perlu lulus dalam ujian, tapi sedapat mungkin ditunjuk seorang yang telah lulus dalam satu
atau dua bagian dari ujian yang dimaksud dalam Pasal 13 Reglemen.
Sejak berdirinya Universitas Indonesia suatu bagian pendidikan yang sudah sejak
semula berada di Fakultas Hukum Universitas Indonesia adalah pendidikan
Notariat (yang lebih dikenal dengan nama jurusan Notariat). Pendidikan ini telah
ada sejak penggabungan tahun 1950 (pada masa Universiteit van Indonesie
pendidikan ini dipimpin oleh Prof. Mr. Slamet, dan pada masa Universitas
Indonesia pimpinan awal dipegang oleh Prof. Mr. Tan Eng Kiam dan Prof. Mr.
R. Soedja).

Sejak tahun 1965 dengan dihapusnya ujian negara untuk tingkat I dan tingkat II
Program Pendidikan Notariat, maka pendidikan ini secara resmi bersifat
Universiter dan disebut sebagai jurusan Notariat pada Fakultas Hukum
Universitas Indonesia dengan lama pendidikan 2 tahun. Jurusan ini dikenal
sebagai Program Spesialis Notariat.
Pada tanggal 24 Juni 1999 dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah Nomor 60
Tahun 1999 Tentang Pendidikan Tinggi yang antara lain mengatur tentang
Program Pendidikan Akademik dan Program Pendidikan Profesional.

Sejak itu terjadilah perubahan di dalam bidang pendidikan Kenotariatan dari


Program Pendidikan Spesialis Notariat menjadi Program Magister
Kenotariatan.
Perkembangan Notaris di Indonesia Setelah
Berlakunya Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN)

Akhirnya pada tanggal 6 Oktober 2004 diundangkanlah Undang-Undang


Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (UUJN) yang terdiri dari 92
Pasal.

Salah satu alasan diterbitkan UUJN ini adalah karena Stb. 1860 No. 3 yang
mengatur mengenai jabatan Notaris yang berlaku di Indonesia sejak zaman
penjajahan Belanda tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum dan
kebutuhan masyarakat saat ini.
NOTARIS SEBAGAI PEJABAT UMUM,
SYARAT DAN KETENTUAN
MENJALANKAN JABATAN,
PENGGUNAAN LAMBANG NEGARA,
SUMPAH JABATAN
NOTARIS SEBAGAI PEJABAT UMUM
• Pasal 1 ayat (1) UUJN Nomor 2 Tahun 2014 :

Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang


untuk membuat akta autentik dan memiliki
kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang ini atau berdasarkan
undang-undang lainnya.

1.
• Pejabat Umum merupakan suatu jabatan yang
disandang atau diberikan kepada mereka yang
diberi wewenang oleh aturan hukum dalam
pembuatan akta otentik.

• Notaris sebagai Pejabat Umum kepadanya


diberikan kewenangan untuk membuat akta
otentik. Oleh karena itu Notaris sudah pasti
Pejabat Umum, tapi Pejabat Umum belum tentu
Notaris, karena Pejabat Umum dapat disandang
pula oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
atau Pejabat Lelang.
2.
• Profesi Notaris adalah menjalankan sebagian tugas
negara, khususnya yang berkaitan dengan
keperdataan, yang dilindungi oleh UU, dan
berwenang untuk membuat akta autentik sebagai
alat bukti.

• Istilah Pejabat Umum merupakan terjemahan dari


istilah Openbare Amtbtenaren yang terdapat
dalam Pasal 1 PJN dan Pasal 1868 Burgerlijk
Wetboek (BW).

• Minuta Akta yang dibuat oleh Notaris merupakan


arsip negara.
3.
• Pasal 15 ayat (1) UUJN Nomor 2 Tahun 2014:

Notaris berwenang membuat akta autentik


mengenai semua perbuatan, perjanjian dan
penetapan yang diharuskan oleh peraturan
perundang-undangan dan/atau
yang dikehendaki oleh yang berkepentingan
untuk dinyatakan dalam akta autentik;
menjamin kepastian tanggal pembuatan akta;
menyimpan akta;
4.
memberikan grosse, salinan dan kutipan akta,

semuanya itu sepanjang pembuatan akta itu


tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada
pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh
undang-undang.

5.
• Pasal 15 ayat (2) UUJN Nomor 2 Tahun 2014:

Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada


ayat (1), Notaris berwenang pula:
a. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan
kepastian tanggal surat dibawah tangan dengan
mendaftar dalam buku khusus;

b. Membukukan surat dibawah tangan dengan


mendaftar dalam buku khusus;
6.
c. Membuat kopi dari asli surat dibawah tangan
berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana
ditulis dan digambarkan dalam surat yang
bersangkutan;

d. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi


dengan surat aslinya;

e. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan


dengan pembuatan akta;

7.
f. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan;
atau

g. Membuat akta risalah lelang.

8.
• Pasal 15 ayat (3) UUJN Nomor 2 Tahun 2014:

Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) dan ayat (2), Notaris mempunyai
kewenangan lain yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan.

9.
• Pasal 1868 KUHPerdata:
suatu akta otentik ialah
1. Suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh UU;
2. Dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang untuk
itu;
3. Dimana akta dibuat.

• Ps 1870 KUHPerdata:
suatu akta otentik memberikan diantara para pihak beserta
ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari
mereka, suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat
di dalamnya.

10.
Akta Otentik mempunyai kekuatan pembuktian lahiriah,
formil dan materil:

a. Kekuatan pembuktian lahiriah: akta itu sendiri


mempunyai kekuatan untuk membuktikan dirinya
sendiri sebagai akta otentik, karena kehadirannya,
kelahirannya sesuai /ditentukan dengan perundang-
undangan yang mengaturnya;
b. Kekuatan pembuktian formil:apa yg dinyatakan
dalam akta tsb adalah benar.
c. Kekuatan pembuktian materil: memberikan
kepastian terhadap peristiwa, apa yg diterangkan
dlm akta itu benar.

11.
• Pasal 2 UUJN Nomor 30 Tahun 2004 :
Notaris diangkat dan diberhentikan oleh Menteri
Hukum dan HAM RI & mendapatkan kewenangan
dari negara secara atributif.

• Notaris sebagai Pejabat Umum ditunjuk oleh negara


berhak menggunakan lambang negara. Hal itu dapat
dilihat dari cap/stempel yang memuat lambang
negara RI & pada ruang yang melingkarinya ditulis
nama, jabatan dan tempat kedudukan Notaris ybs.
Hal ini juga diatur dalam Pasal 52 jo. Pasal 54 ayat
(1) huruf j UU No. 24/2009 tentang Bendera, Bahasa
dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.

12.
Penggunaan Lambang Negara
Lambang negara ini diantaranya dipergunakan untuk:
Salinan Akta
Kutipan Akta
Legalisasi
Waarmerking
Legalisir
Caachet (Teraan Cap/Stempel Notaris),
Copy Collationee
pada penutup Buku Repertorium setiap akhir bulan
surat-surat resmi Notaris
Cover Akta Notaris
Kop Surat Notaris, dan
di dalam Minuta Akta pada pengeluaran Grosse Akta.

13.
Larangan Penggunaan Lambang Negara

Lambang negara tidak boleh dipergunakan untuk:


Tanda terima dokumen
Map
Kuitansi
Amplop, dan
Kartu Nama

14.
• Pasal 3 UUJN Nomor 2 Tahun 2014:

Syarat untuk dapat diangkat menjadi Notaris


adalah:
1. WNI
2. Bertakwa kepada Tuhan YME
3. Berumur paling sedikit 27 tahun
4. Sehat jasmani dan rohani yang dinyatakan
dengan surat keterangan sehat dari dokter dan
psikiater
15.
5. Berijazah sarjana hukum dan lulusan jenjang
strata dua kenotariatan

6. Telah menjalani magang atau nyata-nyata telah


bekerja sebagai karyawan Notaris dalam waktu
paling singkat 24 bulan berturut-turut pada
kantor Notaris atas prakarsa sendiri atau atas
rekomendasi Organisasi Notaris setelah lulus
strata dua kenotariatan

16.
7. Tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat
negara, advokat, atau tidak sedang memangku
jabatan lain yang oleh undang-undang dilarang
untuk dirangkap dengan jabatan Notaris, dan

8. Tidak pernah dijatuhi pidana penjara


berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap karena
melakukan tindak pidana yang diancam dengan
pidana penjara 5 tahun atau lebih.

17.
PENGERTIAN ISTILAH-ISTILAH
(PASAL 1 UUJN NO. 2/2014)
Pejabat Sementara Notaris:
Seorang yang untuk sementara menjabat sebagai
Notaris untuk menjalankan jabatan dari Notaris
yang meninggal dunia

Notaris Pengganti:
Seorang yang untuk sementara diangkat sebagai
Notaris untuk menggantikan Notaris yang sedang
cuti, sakit atau untuk sementara berhalangan
menjalankan jabatannya sebagai Notaris.
18.
PENGERTIAN ISTILAH-ISTILAH
(PASAL 1 UUJN NO. 2/2014)
Organisasi Notaris:
Organisasi profesi jabatan Notaris yang
berbentuk perkumpulan berbadan hukum.

Majelis Pengawas Notaris:


suatu badan yang mempunyai kewenangan dan
kewajiban untuk melaksanakan pembinaan dan
pengawasan terhadap Notaris

19.
PENGERTIAN ISTILAH-ISTILAH
(PASAL 1 UUJN NO. 2/2014)
Akta Notaris:
Akta autentik yang dibuat oleh atau dihadapan
Notaris menurut bentuk dan tata cara yang
ditetapkan dalam UU ini.

Minuta Akta:
asli Akta yang mencantumkan tanda tangan para
penghadap, saksi dan Notaris, yang disimpan
sebagai bagian dari Protokol Notaris.

20.
PENGERTIAN ISTILAH-ISTILAH
(PASAL 1 UUJN NO. 2/2014)
Salinan Akta:
salinan kata demi kata dari seluruh Akta dan pada
bagian bawah salinan Akta tercantum frasa
“diberikan sebagai SALINAN yang sama bunyinya”.

Kutipan Akta:
kutipan kata demi kata dari satu atau beberapa
bagian dari Akta dan pada bagian bawah kutipan
Akta tercantum frasa “diberikan sebagai KUTIPAN”.

21.
PENGERTIAN ISTILAH-ISTILAH
(PASAL 1 UUJN NO. 2/2014)
Grosse Akta:
salah satu salinan Akta untuk pengakuan utang
dengan kepala Akta “DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”,
yang mempunyai kekuatan eksekutorial.

Formasi Jabatan Notaris:


penentuan jumlah Notaris yang dibutuhkan pada
suatu Kabupaten/Kota.

22.
PENGERTIAN ISTILAH-ISTILAH
(PASAL 1 UUJN NO. 2/2014)
Protokol Notaris:
kumpulan dokumen yang merupakan arsip negara
yang harus disimpan dan dipelihara oleh Notaris
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Menteri:
menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang hukum.

23.
SUMPAH JABATAN
Pasal 4 UUJN Nomor 30 Tahun 2004

(1) Sebelum menjalankan jabatannya, Notaris wajib mengucapkan


sumpah/janji menurut agamanya dihadapan Menteri atau pejabat yang
ditunjuk.

(2) Sumpah/janji berbunyi:


“ Saya bersumpah/berjanji:
Bahwa saya akan patuh dan setia kepada Negara Republik Indonesia,
Pancasila dan UUD 1945, UU tentang Jabatan Notaris serta peraturan
perundang-undangan lainnya.
Bahwa saya akan menjalankan jabatan saya dengan amanah, jujur,
saksama, mandiri dan tidak berpihak.
Bahwa saya akan menjaga sikap, tingkah laku saya dan akan menjalankan
kewajiban saya sesuai dengan kode etik profesi, kehormatan, martabat
dan tanggung jawab saya sebagai Notaris.
Bahwa saya untuk dapat diangkat dalam jabatan ini, baik secara langsung
maupun tidak langsung, dengan nama atau dalih apapun, tidak pernah
dan tidak akan memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada siapapun.”
24.
KEWAJIBAN NOTARIS SETELAH MELAKSANAKAN SUMPAH/JANJI

Pasal 7 ayat (1) UUJN Nomor 2 Tahun 2014

Dalam waktu paling lambat 60 hari terhitung sejak tanggal


pengambilan sumpah/janji jabatan Notaris, yang bersangkutan wajib:

a. menjalankan jabatannya dengan nyata;


b. menyampaikan berita acara sumpah/janji jabatan Notaris kepada
Menteri, Organisasi Notaris, dan Majelis Pengawas Daerah; dan
c. menyampaikan alamat kantor, contoh tanda tangan, dan paraf,
serta teraan cap atau stempel jabatan Notaris berwarna merah
kepada Menteri dan pejabat lain yang bertanggung jawab di
bidang pertanahan, Organisasi Notaris, Ketua Pengadilan Negeri,
Majelis Pengawas Daerah, serta Bupati/Walikota di tempat
Notaris diangkat.

25.
KEWAJIBAN NOTARIS SETELAH MELAKSANAKAN
SUMPAH/JANJI

Pasal 7 ayat (2) UUJN Nomor 2 Tahun 2014


Notaris yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dikenai sanksi berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pemberhentian sementara;
c. pemberhentian dengan hormat; atau
d. pemberhentian dengan tidak hormat.
26.
PEMBERHENTIAN NOTARIS

Pasal 8 UUJN Nomor 30 Tahun 2004


Notaris berhenti atau diberhentikan dari jabatannya dengan
hormat karena:
a. meninggal dunia;
b. telah berumur 65 tahun;
c. permintaan sendiri;
d. tidak mampu secara rohani dan/atau jasmani untuk
melaksanakan tugas jabatan Notaris secara terus menerus
lebih dari 3 tahun; atau
e. merangkap jabatan sebagai pegawai negeri, pejabat negara,
advokat, atau tidak sedang memangku jabatan lain yang
oleh UU dilarang untuk dirangkap dengan jabatan Notaris.
27.
PEMBERHENTIAN NOTARIS

Pasal 8 UUJN Nomor 30 Tahun 2004


Ketentuan umur dapat diperpanjang sampai berumur
67 tahun dengan mempertimbangkan kesehatan yang
bersangkutan.

28.
PEMBERHENTIAN SEMENTARA NOTARIS

Pasal 9 ayat (1) UUJN Nomor 2 Tahun 2014


Notaris diberhentikan sementara dari jabatannya
karena:
a. dalam proses pailit atau penundaan kewajiban
pembayaran utang;
b. berada di bawah pengampuan;
c. melakukan perbuatan tercela;
d. melakukan pelanggaran terhadap kewajiban dan
larangan jabatan serta kode etik Notaris; atau
e. sedang menjalani masa penahanan.
29.
PEMBERHENTIAN SEMENTARA NOTARIS

Pasal 9 ayat (2) UUJN Nomor 2 Tahun 2014


Sebelum pemberhentian sementara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan, Notaris diberi
kesempatan untuk membela diri dihadapan Majelis
Pengawas secara berjenjang.

30.
PEMBERHENTIAN SEMENTARA NOTARIS

Pasal 9 ayat (3) UUJN Nomor 2 Tahun 2014


Pemberhentian sementara Notaris sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Menteri atas
usul Majelis Pengawas Pusat.

31.
PEMBERHENTIAN SEMENTARA NOTARIS

Pasal 9 ayat (4) UUJN Nomor 2 Tahun 2014


Pemberhentian sementara berdasarkan alasan
melakukan perbuatan tercela dan melakukan
pelanggaran terhadap kewajiban dan larangan
jabatan serta Kode Etik Notaris berlaku paling lama 6
bulan.

32.
PEMBERHENTIAN SEMENTARA NOTARIS

Pasal 10 ayat (1) UUJN Nomor 30 Tahun 2004


Notaris yang diberhentikan sementara dalam hal
proses pailit atau penundaan kewajiban pembayaran
utang dan berada dibawah pengampuan dapat
diangkat kembali menjadi Notaris oleh Menteri
setelah dipulihkan haknya.

33.
PEMBERHENTIAN SEMENTARA NOTARIS

Pasal 10 ayat (2) UUJN Nomor 30 Tahun 2004


Notaris yang diberhentikan sementara dalam hal
melakukan perbuatan tercela dan melakukan
pelanggaran terhadap kewajiban dan larangan
jabatan serta Kode Etik Notaris dapat diangkat
kembali menjadi Notaris oleh Menteri setelah masa
pemberhentian sementara berakhir.

34.
KANTOR NOTARIS

Setelah Notaris disumpah, maka Notaris wajib


menjalankan jabatannya secara nyata dalam waktu
paling lambat 60 hari terhitung sejak tanggal
pengambilan sumpah/janji jabatan Notaris.

Untuk itu Notaris harus sudah mempersiapkan


kantor di tempat kedudukan yang terletak di
Kabupaten/Kota yang dimuat dalam SK
Pengangkatan Notaris.
35.
KANTOR NOTARIS

Pasal 19 ayat (1) UUJN Nomor 2 Tahun 2014:


Notaris hanya diperbolehkan mempunyai 1 kantor
saja, yaitu di tempat kedudukan yang terletak di
Kabupaten/Kota yang dimuat di dalam SK
Pengangkatannya.

Notaris tidak boleh membuka cabang atau


perwakilan di tempat lain termasuk di rumah
Notaris (dalam hal ini jika alamat kantor dan
rumah terpisah).
36.
PAPAN NAMA NOTARIS

Pasal 3 ayat (9) Kode Etik Notaris


Notaris wajib memasang 1 papan nama di
depan/di lingkungan kantornya dengan pilihan
ukuran, yaitu:
• 100 cm x 40 cm;
• 150 cm x 60 cm; atau
• 200 cm x 80 cm

37.
PAPAN NAMA NOTARIS

Pasal 3 ayat (9) Kode Etik Notaris


Papan nama Notaris harus memuat:
a. Nama lengkap dan gelar yang sah;
b. Tanggal dan nomor Surat Keputusan pengangkatan
yang terakhir sebagai Notaris;
c. Tempat kedudukan;
d. Alamat kantor dan nomor telepon/fax.

Dasar papan nama berwarna putih dengan huruf


berwarna hitam dan tulisan di atas papan nama harus
jelas dan mudah dibaca.
38.
PAPAN NAMA NOTARIS

Pasal 5 angka 3 Kode Etik Notaris


Jika kantor Notaris terletak di dalam gang atau
bukan di depan jalan raya, maka diperbolehkan
untuk memasang 1 tanda penunjuk jalan dengan
ukuran tidak melebihi 20 cm x 50 cm, dasar
berwarna putih, huruf berwarna hitam, tanpa
mencantumkan nama Notaris serta dipasang
dalam radius maksimum 100 meter dari kantor
Notaris.
39.
KEPERLUAN YANG HARUS DIPERSIAPKAN
OLEH NOTARIS
Notaris harus mempersiapkan keperluan kantor
antara lain berupa:
1. Ruang untuk Notaris dan Pegawai, serta ruang
khusus untuk Klien (sebaiknya diberi sekat).
2. Alat-alat perlengkapan kantor berupa Meja, Kursi,
Komputer, Printer/Mesin Fotokopi, Mesin Ketik,
Lemari Arsip untuk penyimpanan Protokol, Lemari
File, Brankas, Alat-alat Stationary dan Telepon/Fax.
3. Pegawai kantor paling sedikit 2 orang.
40.
KEPERLUAN YANG HARUS DIPERSIAPKAN
OLEH NOTARIS
4. Cap/stempel Notaris.
5. Buku-buku protokol.
6. Sebaiknya di kantor dipasang foto Presiden dan Wakil
Presiden.
7. Jika aktanya sudah banyak, sebaiknya ada bagian
administrasi untuk mengurus keuangan, surat-
surat/dokumen-dokumen, pencatatan pengurusan yang
sudah selesai, surat masuk, surat keluar, kuitansi, dan lain
sebagainya.
Administrasi ini bisa terbagi menjadi:
a. administrasi pengirisan protokol, administrasi surat-
menyurat keluar dan masuk;
b. administrasi penerimaan dan pembayaran;
c. administrasi pengurusan dan penyerahan surat/dokumen.
41.
TEMPAT KEDUDUKAN DAN WILAYAH JABATAN NOTARIS

Pasal 18 UUJN Nomor 30 Tahun 2004


(1). Notaris mempunyai tempat kedudukan di daerah
Kabupaten/Kota;
(2). Notaris mempunyai wilayah jabatan meliputi
seluruh wilayah provinsi dari tempat
kedudukannya.

Pasal 19 ayat (1) UUJN Nomor 2 Tahun 2014


Notaris wajib mempunyai hanya satu kantor, yaitu di
tempat kedudukannya.
42.
TEMPAT KEDUDUKAN DAN WILAYAH JABATAN
NOTARIS

Pasal 19 ayat (2) UUJN Nomor 2 Tahun 2014


Tempat kedudukan Notaris sebagai Pejabat Pembuat
Akta Tanah wajib mengikuti tempat kedudukan
Notaris.

Pasal 19 ayat (3) UUJN Nomor 2 Tahun 2014


Notaris tidak berwenang secara berturut-turut
dengan tetap menjalankan jabatan di luar tempat
kedudukannya.
43.
TEMPAT KEDUDUKAN DAN WILAYAH JABATAN
NOTARIS

Pasal 19 ayat (4) UUJN Nomor 2 Tahun 2014


Notaris yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dapat dikenai sanksi berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pemberhentian sementara;
c. pemberhentian dengan hormat; atau
d. pemberhentian dengan tidak hormat.
44.
CUTI NOTARIS

Pasal 25 UUJN Nomor 30 Tahun 2004


(1) Notaris mempunyai hak cuti.
(2) Hak cuti sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat diambil setelah Notaris
menjalankan jabatan selama 2 tahun.
(3) Selama menjalankan cuti, Notaris wajib
menunjuk seorang Notaris Pengganti.
45.
CUTI NOTARIS

Pasal 26 UUJN Nomor 30 Tahun 2004


(1) Hak cuti dapat diambil setiap tahun atau
sekaligus untuk beberapa tahun.
(2) Setiap pengambilan cuti paling lama 5 tahun
sudah termasuk perpanjangannya.
(3) Selama masa jabatan Notaris jumlah waktu
cuti keseluruhan paling lama 12 tahun.
46.
CUTI NOTARIS

Pasal 27 UUJN Nomor 30 Tahun 2004


Notaris mengajukan permohonan cuti secara tertulis disertai
usulan penunjukan Notaris Pengganti.
Permohonan cuti diajukan kepada pejabat yang berwenang,
yaitu:
a. Majelis Pengawas Daerah, dalam hal jangka waktu cuti
tidak lebih dari 6 bulan;
b. Majelis Pengawas Wilayah, dalam hal jangka waktu cuti
lebih dari 6 bulan sampai dengan 1 (satu) tahun; atau
c. Majelis Pengawas Pusat, dalam jangka waktu cuti lebih
dari 1 tahun.
47.
CUTI NOTARIS

Setiap Notaris harus mempunyai Sertifikat Cuti.

Pasal 30 UUJN Nomor 30 Tahun 2004


(1) Menteri atau pejabat yang ditunjuk berwenang
mengeluarkan sertifikat cuti.
(2) Sertifikat cuti memuat data pengambilan cuti.
(3) Data pengambilan cuti dicatat oleh Majelis Pengawas
(4) Pada setiap permohonan cuti dilampirkan sertifikat cuti
(5) Menteri atau pejabat yang ditunjuk dapat mengeluarkan
duplikat sertifikat cuti atas sertifikat cuti yang sudah
tidak dapat digunakan atau hilang, dengan permohonan
Notaris yang bersangkutan.
48.
SYARAT MENJADI NOTARIS PENGGANTI

Pasal 33 UUJN Nomor 2 Tahun 2014


Syarat untuk dapat diangkat menjadi Notaris Pengganti dan
Pejabat Sementara Notaris adalah:
a. WNI;
b. berijazah sarjana hukum; dan
c. telah bekerja sebagai karyawan kantor Notaris paling
sedikit 2 (dua) tahun berturut-turut.

Ketentuan yang berlaku bagi Notaris berlaku pula bagi Notaris


Pengganti dan Pejabat Sementara Notaris.
49.
PINDAH WILAYAH JABATAN NOTARIS

Pasal 23 UUJN Nomor 30 Tahun 2004


Notaris dapat mengajukan permohonan pindah wilayah jabatan
Notaris secara tertulis kepada Menteri.

Syarat pindah wilayah jabatan adalah setelah 3 tahun berturut-


turut melaksanakan tugas jabatan pada daerah kabupaten/kota
tertentu tempat kedudukan Notaris (tidak termasuk cuti yang
telah dijalankan oleh Notaris ybs).

Permohonan pindah wilayah jabatan Notaris diajukan setelah


mendapat rekomendasi dari Organisasi Notaris (Ikatan Notaris
Indonesia).
50.
PERPANJANGAN MASA JABATAN NOTARIS

Notaris yang telah berusia 65 tahun dapat


mengajukan perpanjangan masa jabatannya
sampai dengan umur 67 tahun dengan
mempertimbangkan kesehatan yang
bersangkutan.

51.
PERSEKUTUAN PERDATA NOTARIS

Pasal 20 UUJN Nomor 2 Tahun 2014


(1) Notaris dapat menjalankan jabatannya dalam
bentuk persekutuan perdata dengan tetap
memperhatikan kemandirian dan
ketidakberpihakan dalam menjalankan
jabatannya.
(2) Bentuk persekutuan perdata sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur oleh para Notaris
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
52.
PERSEKUTUAN PERDATA NOTARIS

Pasal 1618 KUHPerdata


Persekutuan adalah suatu perjanjian dengan
mana dua orang atau lebih mengikatkan diri
untuk memasukkan sesuatu ke dalam
persekutuan, dengan maksud untuk membagi
keuntungan yang terjadi karenanya.

53.
PERSEKUTUAN PERDATA NOTARIS

Pasal 1 ayat (3) Permenkumham RI Nomor 17


Tahun 2018 Tentang Pendaftaran Persekutuan
Komanditer, Persekutuan Firma dan
Persekutuan Perdata
Persekutuan Perdata adalah persekutuan yang
menjalankan profesi secara terus menerus dan
setiap sekutunya bertindak atas nama sendiri
serta bertanggung jawab sendiri terhadap pihak
ketiga.
54.
PERSERIKATAN PERDATA NOTARIS

Pasal 1 angka 1 Permenkumham RI Nomor


M.HH.01.AH.02.12 TAHUN 2010 Tentang Persyaratan
Menjalankan Jabatan Notaris
Dalam Bentuk Perserikatan Perdata
Perserikatan Perdata Notaris, yang selanjutnya disebut
Perserikatan adalah perjanjian kerjasama para Notaris
dalam menjalankan jabatan masing-masing sebagai
Notaris dengan memasukkan semua keperluan untuk
mendirikan dan mengurus serta bergabung dalam satu
kantor bersama Notaris.

55.
Pada tanggal 15 Januari 2014 diundangkanlah Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris sebagai perubahan atas Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (UUJN).

Terdiri dari 36 Pasal, penambahan 5 Pasal, serta penghapusan 3 Pasal dan 2


ayat, yaitu:
1. Perubahan 36 Pasal: Pasal 1, 3, 7, 9, 11, 15, 16, 17, 19, 20, 22, 32, 33, 35,
37, 38, 39, 40, 41, 43, 44, 48, 49, 50, 51, 54, 60, 63, 65, 66, 67, 69, 73, 81,
82, dan 88.
2. Penambahan 5 Pasal: 16A, 65A, 66A, 91A, dan 91B.
3. Penghapusan 3 Pasal dan 2 ayat: Pasal 34, Pasal 84, Pasal 85, Pasal 1 angka
(4), dan Pasal 20 ayat (3).
I. PELAKSANAAN JABATAN
NOTARIS
FUNGSI DAN TUGAS NOTARIS

Fungsi dan tugas Notaris adalah untuk melayani


masyarakat.

Dalam menjalankan jabatannya untuk melayani masyarakat,


Notaris berpijak pada kedudukan Notaris sebagai Pejabat
Umum yang ditetapkan oleh undang-undang dan hubungan
profesional antara Notaris sebagai Pejabat Umum dengan
masyarakat sebagai pengguna jasa Notaris adalah hubungan
yang bersifat profesional.

1.
KEWENANGAN NOTARIS BERDASARKAN UUJN
(UU No. 2/2014)

• Pasal 15 ayat (1)


Notaris berwenang membuat akta autentik
mengenai semua perbuatan, perjanjian dan
penetapan yang diharuskan oleh peraturan
perundang-undangan dan/atau
yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk
dinyatakan dalam akta autentik;
menjamin kepastian tanggal pembuatan akta;
menyimpan akta;
2.
memberikan grosse, salinan dan kutipan
akta,

semuanya itu sepanjang pembuatan akta itu


tidak juga ditugaskan atau dikecualikan
kepada pejabat lain atau orang lain yang
ditetapkan oleh undang-undang.

3.
KEWENANGAN NOTARIS BERDASARKAN UUJN
(UU No. 2/2014)

• Pasal 15 ayat (2)


Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada Pasal
15 ayat (1), Notaris berwenang pula:

a. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan


kepastian tanggal surat dibawah tangan dengan
mendaftar dalam buku khusus;

b. Membukukan surat dibawah tangan dengan


mendaftar dalam buku khusus;
4.
c. Membuat kopi dari asli surat dibawah tangan
berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana
ditulis dan digambarkan dalam surat yang
bersangkutan;

d. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi


dengan surat aslinya;

e. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan


dengan pembuatan akta;
5.
f. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan;
atau

g. Membuat akta risalah lelang.

6.
KEWENANGAN NOTARIS BERDASARKAN UUJN
(UU No. 2/2014)

• Pasal 15 ayat (3)

Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada


ayat Pasal 15 (1) dan ayat (2), Notaris mempunyai
kewenangan lain yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan.

7.
LARANGAN NOTARIS BERDASARKAN UUJN
(UU No. 2/2014)

• Pasal 17 ayat (1)


Notaris dilarang:
a. menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya;
b. meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari 7
hari kerja berturut-turut tanpa alasan yang sah;
c. merangkap sebagai pegawai negeri;
d. merangkap jabatan sebagai pejabat negara;
e. merangkap jabatan sebagai advokat;
8.
f. merangkap jabatan sebagai pemimpin atau
pegawai badan usaha milik negara, badan usaha
milik daerah atau badan usaha swasta;
g. merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat
Akta Tanah dan/atau Pejabat Lelang Kelas II di
luar tempat kedudukan Notaris;
h. menjadi Notaris Pengganti; atau
i. melakukan pekerjaan lain yang bertentangan
dengan norma agama, kesusilaan, atau
kepatutan yang dapat mempengaruhi
kehormatan dan martabat jabatan Notaris.
9.
LARANGAN NOTARIS BERDASARKAN UUJN
(UU No. 2/2014)

Pasal 17 ayat (2)


Notaris yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud pada Pasal 17 ayat (1) dapat dikenai
sanksi berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pemberhentian sementara;
c. pemberhentian dengan hormat; atau
d. pemberhentian dengan tidak hormat.
10.
KEWAJIBAN NOTARIS BERDASARKAN UUJN
(UU No. 2/2014)
Pasal 16 ayat (1)
Dalam menjalankan jabatannya, Notaris wajib:
a. bertindak amanah, jujur, saksama, mandiri, tidak
berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang
terkait dalam perbuatan hukum;
b. membuat Akta dalam bentuk Minuta Akta dan
menyimpannya sebagai bagian dari Protokol
Notaris;
c. melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari
penghadap pada Minuta Akta;
11.
d. mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta, atau
Kutipan Akta berdasarkan Minuta Akta;

e. memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan


dalam UU ini, kecuali ada alasan untuk
menolaknya;

f. merahasiakan segala sesuatu mengenai Akta


yang dibuatnya dan segala keterangan yang
diperoleh guna pembuatan Akta;
12.
g. menjilid Akta yang dibuatnya dalam 1 bulan
menjadi buku yang memuat tidak lebih dari 50
Akta;

h. membuat daftar dari Akta protes terhadap tidak


dibayar atau tidak diterimanya surat berharga;

13.
i. membuat daftar Akta yang berkenaan dengan
wasiat;

j. mengirimkan daftar Akta wasiat atau daftar


nihil wasiat ke pusat daftar wasiat pada
Kemenkumham paling lambat tanggal 5 setiap
bulan berikutnya;

14.
k. mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman
daftar wasiat pada setiap akhir bulan;

l. mempunyai cap/stempel yang memuat lambang


Negara RI dan pada ruang yang melingkarinya
dituliskan nama, jabatan, dan tempat
kedudukan Notaris;

15.
m. membacakan Akta dihadapan penghadap
dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 orang saksi,
atau 4 orang saksi khusus untuk pembuatan
Akta wasiat di bawah tangan, dan
ditandatangani pada saat itu juga oleh
penghadap, saksi, dan Notaris;

n. menerima magang calon Notaris.

16.
KEWAJIBAN NOTARIS BERDASARKAN UUJN
(UU No. 2/2014)

Pasal 16 ayat (2)


Kewajiban menyimpan Minuta Akta sebagai bagian
dari Protokol Notaris tidak berlaku, dalam hal
Notaris mengeluarkan Akta in originali.

17.
KEWAJIBAN NOTARIS BERDASARKAN UUJN
(UU No. 2/2014)

Pasal 16 ayat (3)


Akta in originali meliputi:
a. Akta pembayaran uang sewa, bunga, dan
pensiun;
b. Akta penawaran pembayaran tunai;
c. Akta protes terhadap tidak dibayarnya atau
tidak diterimanya surat berharga;
18.
d. Akta kuasa;

e. Akta keterangan kepemilikan;

f. Akta lainnya sesuai dengan ketentuan per-UU-an.

19.
KEWAJIBAN NOTARIS BERDASARKAN UUJN
(UU No. 2/2014)

Pasal 16 ayat (4)


Akta in originali dapat dibuat lebih dari 1 rangkap,
ditandatangani pada waktu, bentuk, dan isi yang
sama, dengan ketentuan pada setiap Akta tertulis
kata-kata “BERLAKU SEBAGAI SATU DAN SATU
BERLAKU UNTUK SEMUA".

20.
KEWAJIBAN NOTARIS BERDASARKAN UUJN
(UU No. 2/2014)
Pasal 16 ayat (5)
Akta in originali yang berisi kuasa yang belum diisi
nama penerima kuasa hanya dapat dibuat dalam 1
rangkap.

Pasal 16 ayat (6)


Bentuk dan ukuran cap/stempel Notaris ditetapkan
dengan Peraturan Menteri.
21.
KEWAJIBAN NOTARIS BERDASARKAN UUJN
(UU No. 2/2014)

Pasal 16 ayat (7)


Pembacaan Akta tidak wajib dilakukan, jika
penghadap menghendaki agar Akta tidak dibacakan
karena penghadap telah membaca sendiri,
mengetahui, dan memahami isinya, dengan
ketentuan bahwa hal tersebut dinyatakan dalam
penutup Akta serta pada setiap halaman Minuta Akta
diparaf oleh penghadap, saksi, dan Notaris.
22.
KEWAJIBAN NOTARIS BERDASARKAN UUJN
(UU No. 2/2014)

Pasal 16 ayat (8)


Ketentuan Pasal 16 ayat (7) dikecualikan terhadap
pembacaan kepala Akta, komparasi, penjelasan
pokok Akta secara singkat dan jelas, serta penutup
Akta.

23.
KEWAJIBAN NOTARIS BERDASARKAN UUJN
(UU No. 2/2014)

Pasal 16 ayat (9)


Jika salah satu syarat pada Pasal 16 ayat (1) huruf m
dan ayat (7) tidak dipenuhi,
Akta yang bersangkutan hanya mempunyai
kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah
tangan.

24.
KEWAJIBAN NOTARIS BERDASARKAN UUJN
(UU No. 2/2014)

Pasal 16 ayat (10)


Ketentuan Pasal 16 ayat (9) tidak berlaku untuk
pembuatan Akta wasiat.

25.
KEWAJIBAN NOTARIS BERDASARKAN UUJN
(UU No. 2/2014)

Pasal 16 ayat (11)


Notaris yang melanggar Pasal 16 ayat (1) huruf a
sampai dengan huruf l dapat dikenai sanksi berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pemberhentian sementara;
c. pemberhentian dengan hormat; atau
d. pemberhentian dengan tidak hormat.
26.
KEWAJIBAN NOTARIS BERDASARKAN UUJN
(UU No. 2/2014)

Pasal 16 ayat (12)


Selain dikenai sanksi Pasal 16 ayat (11), pelanggaran
terhadap ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf j dapat
menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian
untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan
bunga kepada Notaris.

27.
KEWAJIBAN NOTARIS BERDASARKAN UUJN
(UU No. 2/2014)

Pasal 16 ayat (13)


Notaris yang melanggar ketentuan Pasal 16 ayat (1)
huruf n, yaitu karena menolak menerima magang
calon Notaris, dapat dikenai sanksi berupa peringatan
tertulis.

28.
KEWAJIBAN NOTARIS BERDASARKAN UUJN
(UU No. 2/2014)

Ketentuan mengenai kewajiban Notaris dalam Pasal


16 ayat (1) huruf a dan huruf f UUJN berlaku juga
bagi calon Notaris.

29.
BAGIAN PERTAMA

PENINJAUAN SECARA FILOSOFIS


A. HAKEKAT MANUSIA

Manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang


paling sempurna karena dilengkapi oleh penciptanya
dengan akal, perasaan dan kehendak.

AKAL
• Akal adalah alat berpikir, sebagai sumber ilmu dan
teknologi.
• Dengan akal manusia menilai mana yang benar dan
mana yang salah, sebagai sumber nilai kebenaran.
1.
KEHENDAK
• Kehendak adalah alat untuk menyatakan pilihan,
sebagai sumber kebaikan.
• Dengan kehendak manusia menilai mana yang baik
dan yang buruk, sebagai sumber nilai moral.

PERASAAN
• Perasaan adalah alat untuk menyatakan keindahan,
sebagai sumber seni.
• Dengan perasaan manusia menilai mana yang indah
(estetis) dan yang jelek, sebagai sumber nilai
keindahan.
2.
Perasaan merupakan sumber daya rasa jasmani
dan rohani.

Daya rasa jasmani berkenaan dengan tubuh,


sedangkan daya rasa rohani berkenaan dengan
moral, yang hanya ada pada manusia.

3.
Contoh daya rasa rohani adalah:
a. Daya rasa intelektual berkenaan dengan
pengetahuan.
Manusia merasa senang, bahagia, puas apabila dapat mengetahui
sesuatu. Sebaliknya, manusia merasa sengsara, susah, kesal apabila
tidak berhasil mengetahui sesuatu.

b. Daya rasa estetis berkenaan dengan seni.


Manusia merasa senang, bahagia, puas apabila dapat melihat,
mendengar, merasakan sesuatu yang indah. Sebaliknya, manusia
merasa sengsara, kesal, bosan apabila mengalami sesuatu yang
jelek.
4.
c. Daya rasa etis berkenaan dengan kebaikan.
Manusia merasa senang, bahagia, puas apabila dapat memilih
sesuatu yang baik. Sebaliknya, manusia merasa sengsara, menyesal,
kesal, benci apabila mengalami sesuatu yang buruk atau jahat.

d. Daya rasa sosial berkenaan dengan


masyarakat/kelompok.
Manusia ikut merasakan kehidupan orang lain. Apabila orang
berhasil, dia ikut senang, apabila orang gagal, memperoleh
musibah, dia ikut sedih.

5.
e. Daya rasa religius berkenaan dengan agama.
Manusia merasa bahagia, tenteram jiwanya apabila mendekatkan
diri atau taqwa kepada Tuhan YME. Sebaliknya, manusia merasa
gelisah, frustrasi dalam hidupnya apabila menjauhkan diri atau lupa
pada Tuhannya.

6.
SOREN KIERKEGAARD (1954), seorang filsuf Denmark
pelopor ajaran “eksistensialisme” memandang
manusia secara konkret seperti yang kita alami dalam
kehidupan sehari-hari.

Eksistensi manusia dalam konteks kehidupan konkret


adalah:
• makhluk alamiah yang terikat dengan
lingkungannya;
• memiliki sifat-sifat alamiah; dan
• tunduk pada hukum alamiah pula.
7.
Keterkaitan dengan lingkungan itu tercermin
pada kehidupan sosial (daya rasa sosial) dan
perilaku etis (daya rasa etis).

Untuk menyempurnakan hidupnya manusia


harus bekerja keras dan berkarya. Bekerja dan
berkarya merupakan kebutuhan dan sekaligus
bukti kualitas dan martabat manusia.
8.
Selanjutnya menurut SOREN, kehidupan manusia bermula
dari taraf estetis, kemudian meningkat ke taraf etis, dan
terakhir taraf religius.

• taraf kehidupan estetis, manusia mampu menangkap alam


sekitarnya sebagai alam yang mengagumkan dan
mengungkapkannya kembali dalam bentuk karya seni, seperti
lukisan, patung, tarian, nyanyian yang indah.

• taraf kehidupan etis, manusia meningkatkan kehidupan


estetis ke taraf manusiawi dalam bentuk perbuatan bebas dan
bertanggung jawab (nilai moral).

• taraf kehidupan religius manusia menghayati


pertemuannya dengan Tuhan penciptanya dalam bentuk
taqwa. Makin dekat manusia dengan Tuhannya, makin dekat
pula dia pada kesempurnaan hidup, dan makin jauh dia dari
kegelisahan dan keraguan.
9.
Inti ajaran eksistensialisme dari SOREN:
manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang terikat
dengan lingkungannya. Kesempurnaannya
dibuktikan oleh kemampuannya bekerja keras dan
berkarya serta penghayatannya terhadap Tuhan
penciptanya. Makin mendalam penghayatan
manusia terhadap Tuhan makin bermakna hidupnya
dan akan terungkap pula kenyataan manusia pribadi
(subjektif) yang memiliki harkat dan martabat yang
tinggi.

10.
THEO HUIJBERS (1995) menyatakan bahwa martabat
manusia itu menunjukan manusia sebagai mahkluk
istimewa yang tiada bandingannya di dunia.

Keistimewaan tersebut tampak pada pangkatnya,


bobotnya, relasinya, fungsinya sebagai manusia, bukan
sebagai manusia individual, melainkan sebagai anggota
kelas manusia, yang berbeda dengan kelas tumbuh-
tumbuhan dan binatang.

Dalam arti universal ini, semua manusia bernilai. Sesuai


dengan nilainya, semua manusia harus dihormati.
11.
Menurut pandangan Islam, manusia diberi
perlengkapan oleh Allah dengan mata, telinga,
dan hati. Tiga perlengkapan ini dipakai untuk
menguji manusia, apakah manusia dalam situasi
dan kondisi nyaman atau manusia dalam situasi
dan kondisi tidak nyaman ia tetap taat pada Allah
(S. Al Insaan [76] : 2 , 3)

12.
Karena tujuan hidup manusia di dunia adalah untuk
mencari bekal sebanyak-banyaknya bagi
kehidupan akhirat. Semakin banyak bekalnya
semakin tinggi tingkat kemuliannya.
(Abdullah Bin Abbas)

Dan, kualitas manusia di akhirat nanti tergantung


dari keikhlasan anda mengatasi ujian-ujian yang
dihadapi apakah selaku mengikuti perintahnya
ataukah melanggarnya.
(Surat Annisa [4] ; 13)
13.
B. MANUSIA DAN KEBUTUHAN

Sebagai mahkluk budaya manusia mempunyai


kebutuhan.

Kebutuhan adalah segala yang diperlukan manusia


untuk menyempurnakan kehidupannya. Kebutuhan
merupakan perwujudan budaya manusia yang
berdimensi cipta, rasa, dan karsa.

14.
Pada dasarnya kebutuhan manusia diklasifikasikan menjadi
4 jenis, yaitu:
a. Kebutuhan ekonomi yang bersifat material, untuk
kesehatan dan keselamatan jasmani, seperti pakaian,
makanan, perumahan.
b. Kebutuhan psikis yang bersifat immaterial, untuk
kesehatan dan keselamatan rohani, seperti pendidikan,
hiburan, penghargaan, agama.
c. Kebutuhan biologis yang bersifat seksual, untuk
membentuk keluarga dan kelangsungan hidup generasi
secara turun temurun seperti perkawinan, berumah
tangga.
d. Kebutuhan pekerjaan yang bersifat praktis, untuk
mewujudkan ketiga jenis kebutuhan di atas, seperti
perusahaan, profesi.
15.
4 jenis kebutuhan tadi merupakan kebutuhan dasar
yang diusahakan terpenuhi secara wajar pada
masyarakat modern walaupun dalam porsi yang belum
seimbang.

Apabila dirinci, kebutuhan dasar terdiri dari:


a. Pakaian (sandang);
b. Makanan (pangan);
c. Perumahan (papan);
d. Pendidikan (keahlian);
e. Hiburan (rekreasi);
f. Perkawinan (rumah tangga);
g. Pekerjaan (perusahaan, profesi).
16.
Kebutuhan-kebutuhan tersebut dapat dipenuhi
dengan baik dan sempurna apabila manusia
individual itu berhubungan dengan lingkungan
alam dan masyarakat, serta didukung oleh faktor :

a. Kemauan kerja keras (nilai moral);

b. Kemampuan intelektual (nilai kebenaran);

c. Sarana penunjang (nilai kegunaan).


17.
Bekerja keras dan berkarya mempunyai arti
manusiawi karena merupakan cerminan mutu dan
martabat manusia individual dalam hubungannya
dengan alam dan manusia individual lain dalam
masyarakat.

Melalui dimensi budaya, manusia berjuang untuk


maju dan meningkatkan kualitas hidupnya.

18.
Hubungan Antara Kebutuhan Manusia Dengan
Profesi Hukum

Apabila dihubungkan dengan kegiatan profesi hukum, maka kebutuhan


manusia untuk memperoleh layanan hukum juga termasuk dalam
lingkup dimensi budaya perilaku manusiawi yang dilandasi oleh nilai
moral dan nilai kebenaran.

Hal tersebut adalah dasar bagi pengemban profesi hukum untuk


memberikan layanan hukum yang sebaik-baiknya kepada pengguna jasa
hukum.

Hak untuk memperoleh layanan dan kewajiban untuk memberikan layanan


dibenarkan oleh dimensi budaya manusia. Namun dalam kenyataannya,
manusia menyimpang dari dimensi budaya tersebut sehingga perilaku yang
ditunjukannya justru melanggar nilai moral dan nilai kebenaran yang
seharusnya dia junjung tinggi.

19.
Mengapa terjadi pelanggaran nilai moral dan nilai
kebenaran?
Pertanyaan ini memerlukan jawaban yang mengkonsentrasi
pada kebutuhan ekonomi yang terlalu berlebihan
dibandingkan dengan kebutuhan psikis, yang seharusnya
berbanding sama dengan kebutuhan ekonomi.
Penyelesaiannya tidak lain harus kembali kepada hakikat
manusia dan untuk apa manusia itu hidup.

Hakikat manusia adalah makhluk budaya yang menyadari


bahwa yang benar, yang indah, dan yang baik itu adalah
keseimbangan antara kebutuhan ekonomi dan kebutuhan
psikis. Keseimbangan tersebut menyenangkan,
membahagiakan, menenteramkan, dan memuaskan manusia
karena inilah yang menjadi tujuan hidup manusia.
20.
C. HUBUNGAN ANTARA MANUSIA

Manusia sebagai makhluk sosial mempunyai berbagai


ragam kebutuhan.

Kebutuhan tersebut hanya dapat dipenuhi dengan


sempurna apabila berhubungan dengan manusia lain
dalam masyarakat.

Hubungan tersebut dilandasi oleh ikatan moral yang


mewajibkan pihak-pihak mematuhinya.

21.
Berdasarkan ikatan moral tersebut pihak-pihak
memenuhi apa yang seharusnya dilakukan (kewajiban)
dan memperoleh apa yang seharusnya didapati (hak)
dalam keadaan seimbang.

Inilah sebenarnya hakikat tujuan hidup yang hendak


dicapai oleh manusia dalam hidup bermasyarakat,
yaitu terpenuhinya kebutuhan jasmani dan rohani
secara seimbang. Selama nilai moral keseimbangan itu
ada, maka selama itu pula manusia itu hidup bahagia
dan damai.

22.
Kebahagiaan jasmani dapat dicapai melalui
pemenuhan kebutuhan ekonomi berupa pemilikan dan
penggunaan harta kekayaan yang memuaskan.
Untuk memperoleh harta kekayaan manusia harus
bekerja keras.

Kebahagian rohani dapat dicapai karena terpenuhinya


kebutuhan rohani berupa hubungan serasi, tertib,
damai, tanpa sengketa antara sesama manusia dalam
pemenuhan kebutuhan ekonomi (kebutuhan jasmani).

Semua berjalan menurut kaidah moral, dalam arti


setiap pihak menghargai hak dan kewajiban masing-
masing dalam hubungan hidup bermasyarakat.
23.
Kebahagiaan jasmani dan kebahagian rohani
tercapai dalam keadaan seimbang, artinya
perolehan dan pemanfaatan harta kekayaan terjadi
dalam suasana tertib, damai, dan serasi (nilai etis,
moral).

24.
Dalam hubungan hidup bermasyarakat, setiap manusia
berpegang pada kaidah moral sebagai acuan
perilakunya.

Kaidah moral ini kemudian dijelmakan ke dalam


kaidah sosial yang menjadi cermin setiap perbuatan
hidup bermasyarakat, yang disebut hukum kebiasaan.

Hukum kebiasaan ini dihargai dan dipatuhi secara


sadar oleh setiap anggota masyarakat. Tujuan hidup
bermasyarakat ialah terpeliharanya ketertiban,
kestabilan, dan kebahagiaan berdasarkan hukum
kebiasaan.
25.
Tetapi karena manusia mempunyai keterbatasan,
kelemahan, seperti berbuat khilaf, keliru, maka tidak
mustahil suatu ketika terjadi penyimpangan atau
pelanggaran kaidah sosial yang menimbulkan keadaan
tidak tertib, tidak stabil yang perlu dipulihkan kembali.

Untuk menegakkan ketertiban dan menstabilkan


keadaan diperlukan sarana pendukung, yaitu
organisasi masyarakat dan organisasi negara.

Dalam bidang hukum, organisasi masyarakat itu dapat


berupa organisasi profesi hukum yang berpedoman
pada kode etik. Sedangkan dalam bidang kenegaraan,
diatur oleh undang-undang (hukum positif).
26.
D. MANUSIA DAN SISTEM NILAI

Manusia sebagai makhluk sosial selalu melakukan penilaian


terhadap keadaan yang dialaminya. Menilai berarti memberi
pertimbangan untuk menentukan sesuatu itu benar atau
salah, baik atau buruk, indah atau jelek, berguna atau tidak.
Hasil penilaian itu disebut nilai, yaitu sesuatu yang benar,
yang baik, yang indah, yang berguna.

Manusia selalu cenderung menghendaki nilai kebenaran,


nilai kebaikan, nilai keindahan karena berguna bagi
kehidupan manusia. Nilai-nilai yang hidup dalam pikiran
anggota masyarakat membentuk sistem nilai yang berfungsi
sebagai pedoman/acuan perilaku.
27.
Sistem nilai yang dianut masyarakat itu menjadi tolok
ukur kebenaran dan kebaikan cita-cita dan tujuan yang
hendak dicapai dalam kehidupan.

Sistem nilai tersebut berfungsi sebagai kerangka acuan


untuk menata kehidupan pribadi dan menata hubungan
antara manusia dan manusia serta alam disekitarnya.

Sebagai makhluk sosial, manusia memerlukan manusia


lainnya. Sebagai dasar penataan hubungan dengan
manusia lain itu diperlukan aturan yang merupakan
cerminan dari sistem nilai.
28.
Aturan dalam bentuk konkret yang bersumber pada
sistem nilai disebut norma hukum. Sistem nilai
menjadi dasar kesadaran masyarakat untuk mematuhi
norma hukum yang diciptakan.

Norma hukum tersebut berupa hukum positif.

29.
E. MANUSIA DAN HAK ASASI

THEO HUIJBERS (1995) membedakan antara 2 jenis


hak yang terdapat pada manusia, yaitu:

I. Hak Asasi Manusia (Human Right)

II. Hak Undang-undang (Legal Right)

30.
I. HAK ASASI MANUSIA (HUMAN RIGHT)
Hak Asasi Manusia adalah hak yang dianggap melekat
pada setiap manusia, sebab berkaitan dengan realitas
hidup manusia sendiri.

Hak tersebut dinamakan “Hak Asasi Manusia” sebab


manusia harus dinilai menurut martabatnya.

Hak Asasi Manusia tidak dapat direbut atau dicabut


karena sudah ada sejak manusia itu ada, tidak
bergantung dari persetujuan orang, merupakan bagian
dari eksistensi manusia di dunia. Jadi Hak Asasi
Manusia mempunyai sifat dasar, asasi.
31.
Hak Asasi Manusia mendasari seluruh organisasi
hidup bersama, dan menjadi asas undang-
undang.

Makna Hak Asasi Manusia menjadi jelas ketika


pengakuan hak tersebut dipandang sebagai
bagian humanisasi hidup yang telah mulai
digalang sejak manusia menyadari tempat dan
tugasnya di dunia ini.

32.
Prinsip-prinsip pengakuan manusia sebagai
subjek hukum mulai dirumuskan sebagai bagian
integral tata hukum, pertama kali di Inggris,
kemudian disusul oleh negara-negara lain.

33.
Di antara rumusan terpenting Hak Asasi Manusia
adalah:
a.Magna Charta: Manusia berhak menghadap
pengadilan (1215).
b.The Virginia Bill of Right: Manusia berhak atas life,
liberty, the pursuit of happiness (1776).
c. Declaration des droits de I’homme et du citoyen:
manusia berhak atas egalite, fraternite, liberte
(1791).

34.
Hak Asasi Manusia dibagi menjadi hak asasi
individual dan sosial.

Hak asasi yang melekat pada pribadi manusia


individual adalah hak hidup dan perkembangan
hidup, yaitu:
a. Kebebasan batin;
b.Kebebasan beragama;
c. Kebebasan hidup pribadi (privacy);
d.Nama baik;
e.Melakukan pernikahan;
f. Emansipasi Wanita.
35.
Hak asasi yang melekat pada pribadi manusia
sebagai mahluk sosial terdiri atas hak ekonomi, sosial,
kultural, hukum, politik.

Hak asasi ini menyangkut hak untuk memenuhi


kebutuhan pokok hidup, yaitu pangan, sandang,
perumahan, kesehatan, kerja, pendidikan.

Di negara sosialis, hak-hak sosial lebih diutamakan


daripada hak-hak individual. Sebaliknya di negara
liberalis, setiap manusia individual lebih bebas
memperjuangkan hak-haknya.
36.
Mengenai hak asasi manusia ini telah dikeluarkan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39
Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. “Hak untuk
hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan
pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak
untuk tidak diperbudak, hak untuk dihakimi sebagai
pribadi dan persamaan dihadapan hukum dan hak
untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku
surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat
diulangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun”
(UU RI No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia Pasal 4).
37.
Pasal 5 UU RI No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia
1. Setiap orang diakui sebagai manusia pribadi
yang berhak menuntut dan mendapat perlakuan
serta perlindungan yang sama sesuai dengan
martabat kemanusiaannya di depan hukum
2. Setiap orang berhak mendapat bantuan dan
perlindungan yang adil dari pengadilan yang
objektif dan tidak berpihak
3. Setiap orang yang termasuk kelompok
masyarakat yang rentan berhak memperoleh
perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan
dengan kekhususannya.
38.
II. HAK UNDANG-UNDANG (LEGAL RIGHT)
Hak undang-undang adalah hak yang melekat pada
manusia karena diberikan oleh undang-undang.

Hak tersebut:
• tidak langsung berhubungan dengan martabat
manusia, melainkan karena tertampung dalam
undang-undang;
• adanya lebih kemudian daripada manusia, jadi
bukan sebagai bagian dari eksistensi manusia.

Karena diberikan oleh undang-undang, maka


pelanggaran hak undang-undang dapat dituntut di
depan pengadilan berdasarkan undang-undang.
39.
Hak yang diberikan undang-undang itu antara
lain:
a. Menjadi PNS atau anggota ABRI;
b.Memilih dan dipilih dalam pemilu;
c Pensiun hari tua;
d.Santunan asuransi kecelakaan.

40.
FILSAFAT DAN ETIKA,
PROFESI DAN PROFESI HUKUM
FILSAFAT DAN ETIKA

A. ARTI FILSAFAT
THEO HUIJBERS (1995) menjelaskan, Filsafat adalah kegiatan
intelektual yang metodis dan sistematis, secara refleksi
menangkap makna yang hakiki keseluruhan yang ada.

Objek filsafat bersifat universal, mencakup segala yang dialami


manusia.

Berpikir secara filsafat adalah mencari arti yang sebenarnya


segala hal yang ada melalui pandangan cakrawala yang paling
luas.

Metode pemikiran filsafat adalah refleksi atas pengalaman dan


pengertian tentang suatu hal dalam cakrawala yang universal.
Pengolahan pikirannya secara metodis dan sistematis.
1.
Berbeda dengan THEO HUIJBERS dari segi objeknya,
SUMARYONO (1995) menjelaskan, Filsafat adalah ilmu
yang berfungsi sebagai interpretasi tentang hidup
manusia, tugasnya ialah meneliti dan menentukan
semua fakta konkret sampai pada yang paling
mendasar.

Ciri khasnya ialah dalam menjawab pertanyaan selalu


menimbulkan pertanyaan baru.
Rupanya SUMARYONO membatasi objek kajian hanya
mengenai kehidupan manusia yang berkenaan dengan
etika.
2.
Berdasarkan definisi dan penjelasan yang telah
dikemukakan tadi, maka dapat dirinci unsur-unsur
penting filsafat sebagai ilmu:
a. kegiatan intelektual (pemikiran);
b. mencari makna yang hakiki (interpretasi);
c. segala fakta dan gejala (objek);
d. dengan cara refleksi, metodis, sistematis
(metode);
e. untuk kebahagiaan manusia (tujuan).

3.
Contoh pertanyaan-pertanyaan filsafat yang
mengungkapkan fakta konkret sampai pada yang paling
mendasar dalam mencari makna yang hakiki adalah
sebagai berikut:
1) Mana yang benar, perbuatan (A) atau perbuatan (B)?
Jawabannya ialah perbuatan (A), menimbulkan
pertanyaan baru:
2) Mengapa perbuatan (A) itu benar? Jawabannya ialah
perbuatan (A) sesuai dengan nilai-nilai dan norma-
norma moral perilaku kelompok, menimbulkan
pertanyaan baru:
3) Siapa yang menciptakan nilai-nilai dan norma-norma
moral itu?
Jawabannya ialah kelompok masyarakat itu,
menimbulkan pertanyaan baru:
4.
4) Darimana kelompok masyarakat itu memperoleh
kewenangan itu?
Jawabannya ialah dari kesepakatan individu
anggota masyarakat melalui contract sociale,
menimbulkan pertanyaan baru:
5) Mengapa individu anggota masyarakat itu
mengakui nilai-nilai dan norma-norma perilaku
itu?
Jawabannya ialah karena kesadaran diri dan
kebebasan kehendak individu itu. Kesadaran diri
adalah suara hati nurani yang menjadi dasar
kebebasan kehendak.
5.
I. ETIKA BAGIAN DARI FILSAFAT

Etika berpangkal pada perbuatan baik dan benar.


Penyelidikan sama dengan penyelidikan yang digunakan
filsafat. Oleh karena itu Etika adalah filsafat moral, sebagai
bagian dari filsafat.

6.
Untuk menyatakan bahwa Etika adalah bagian dari filsafat,
SUMARYONO mengemukakan alasan-alasan sebagai
berikut:

a) Etika adalah studi tentang perbuatan baik dan buruk,


benar dan salah, indah dan jelek adalah berdasarkan
kodrat manusia yang diwujudkan dalam kehendaknya.
Etika berusaha menemukan prinsip-prinsip yang paling
tepat dalam bersikap dan berbuat, yang diperlukan
manusia supaya hidup bahagia secara keseluruhan.
Prinsip-prinsip tersebut antara lain:
1. Berbusana yang baik dan indah;
2. Menghormati orang tua dan guru;
3. Bergaul dan berbicara sopan;
4. Berkata dan berbuat jujur;
5. Menghargai hak orang lain.
7.
b) Etika adalah studi tentang kehendak manusia dalam
mengambil keputusan untuk berbuat, yang mendasari
nilai-nilai hubungan antara sesama manusia. Etika
berusaha menjelaskan duduk persoalannya mengapa yang
satu dinilai benar dan yang lain dinilai salah.
Contohnya ialah:
Mengapa hadiah itu dinilai benar, sedangkan sogok dinilai
salah? Penjelasannya ialah:
1. Hadiah adalah nilai yang diperoleh penerima;
2. Nilai itu diputuskan oleh pemberi;
3. Keputusan pemberi berdasarkan kebebasan kehendak;
4. Kebebasan kehendak diwujudkan karena kesadaran diri
pemberi;
5. Kesadaran diri pemberi adalah suara hati nuraninya;
6. Hati nuraninya adalah anugerah Tuhan kepada manusia
supaya berbuat baik dan benar.
8.
c) Etika adalah studi tentang pengembangan nilai
moral untuk memungkinkan terciptanya kebebasan
kehendak karena kesadaran, tanpa paksaan.
Kebebasan kehendak berdasarkan nilai moral ini
diwujudkan secara nyata dalam hubungan antara
sesama manusia, misalnya:
1. Perjanjian yang dibuat pihak-pihak;
2. Peraturan perundang-undangan yang dibuat
penguasa;
3. Kaidah-kaidah sosial, seperti gotong royong,
santunan terhadap anak yatim, gerakkan orang
tua asuh.
9.
d) Etika adalah studi tentang nilai-nilai manusiawi. Etika
berupaya menunjukkan nilai-nilai kehidupan yang
benar secara manusiawi kepada setiap orang. Etika
mencoba merangsang timbulnya perasaan moral,
menemukan nilai-nilai hidup yang baik dan benar,
mengilhami manusia supaya berusaha mencari nilai-
nilai tersebut. Caranya ialah dengan mengemukakan
pertanyaan seperti berikut:
1.Nilai-nilai manakah yang paling pantas diperhatikan?
2.Mengapa seseorang berbuat lebih daripada yang
lain?

10.
II. ETIKA SEBAGAI ILMU PENGETAHUAN
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, Etika adalah bagian
atau cabang dari filsafat, yaitu filsafat moral. Disamping itu, Etika
adalah ilmu pengetahuan, yaitu ilmu pengetahuan tentang
moral. Ini berarti, Etika membahas moral secara ilmiah, objek
telaahnya adalah kumpulan gejala tentang moral.

Karena Etika adalah ilmu pengetahuan, maka perlu diadakan


pemisahan antara Etika dan moral. Etika adalah ilmu
pengetahuan, dan moral adalah objek ilmu pengetahuan.
Masalah moral menarik juga untuk ditelaah secara ilmiah,
misalnya peristiwa bunuh diri, pengguguran kandungan (abortus).

11.
DE VOS (1987) menyatakan, Etika adalah ilmu
pengetahuan tentang moral.

Dari pernyataan singkat ini timbul dua pertanyaan,


yaitu:
- Apakah ilmu pengetahuan itu?
- Apakah moral itu?
Dua pertanyaan ini perlu dijawab terlebih dahulu
sebelum memahami isi pernyataan: Etika adalah ilmu
pengetahuan tentang moral.

12.
PROFESI DAN PROFESI HUKUM

A. PEKERJAAN DAN PROFESI


Bekerja merupakan kodrat manusia, sebagai
kewajiban dasar. Manusia dikatakan mempunyai
martabat apabila dia mampu bekerja keras. Dengan
bekerja manusia dapat memperoleh hak dan memiliki
segala apa yang diinginkannya.

Bekerja merupakan kegiatan fisik dan pikir yang


terintegrasi.
13.
Pekerjaan dapat dibedakan menurut :
Kemampuan, yaitu fisik dan intelektual;
Kelangsungan, yaitu sementara dan tetap (terus
menerus);
Lingkup, yaitu umum dam khusus (spesialisasi);
Tujuan, memperoleh pendapatan dan tanpa
pendapatan.

14.
Dengan demikian, pekerjaan dapat diklasifikasikan menjadi
3 jenis, yaitu:
1. Pekerjaan dalam arti umum, yaitu pekerjaan apa saja
yang mengutamakan kemampuan fisik, baik sementara
atau tetap dengan tujuan memperoleh pendapatan
(upah);
2. Pekerjaan dalam arti tertentu, yaitu pekerjaan yang
mengutamakan kemampuan fisik atau intelektual, baik
sementara atau tetap dengan tujuan pengabdian.
3. Pekerjaan dalam arti khusus, yaitu pekerjaan bidang
tertentu, mengutamakan kemampuan fisik dan
intelektual, bersifat tetap, dengan tujuan memperoleh
pendapatan.
15.
I. KRITERIA PROFESI
Dari 3 jenis pekerjaan tersebut, profesi adalah pekerjaan yang tercantum
pada nomor 3, yaitu pekerjaan dalam arti khusus, dengan kriteria sebagai
berikut:
a) Meliputi bidang tertentu saja (spesialisasi);
b) Berdasarkan keahlian dan keterampilan khusus;
c) Bersifat tetap atau terus-menerus;
d) Lebih mendahulukan pelayanan daripada imbalan (pendapatan);
e) Bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan masyarakat;
f) Terkelompok dalam suatu organisasi.

Berdasarkan kriteria tersebut, profesi dapat dirumuskan sebagai pekerjaan


tetap di bidang tertentu berdasarkan keahlian khusus yang dilakukan
secara bertanggung jawab dengan tujuan memperoleh penghasilan.
Pekerja yang menjalankan profesinya disebut profesional.

16.
Berikut akan dibahas satu demi satu kriteria profesi tersebut.

a) SPESIALISASI
Pekerjaan bidang tertentu adalah spesialisasi yang
dikaitkan dengan bidang keahlian yang dipelajari dan
ditekuni. Biasanya tidak ada rangkapan dengan pekerjaan
lain diluar keahliannya itu.

Contoh spesialisasi bidang keahlian tertentu antara lain


bidang hukum, ekonomi, farmasi, kedokteran, keteknikan,
kependidikan. Tidak ada rangkapan, misalnya dokter tidak
merangkap apoteker, notaris tidak merangkap pengacara,
akuntan tidak merangkap pengusaha. Rangkap pekerjaan
akan menyebabkan tidak memungkinkan yang bersangkutan
melakukan pekerjaannya secara profesional.

17.
b) KEAHLIAN DAN KETERAMPILAN
Pekerjaan bidang tertentu itu berdasarkan keahlian
dan keterampilan khusus, yang diperolehnya
melalui pendidikan dan latihan. Pendidikan dan
latihan itu ditempuhnya secara resmi pada lembaga
pendidikan dan latihan yang diakui oleh pemerintah
berdasarkan UU.

Keahlian dan keterampilan yang diperolehnya itu


dibuktikan oleh sertifikasi yang dikeluarkan oleh
instansi pemerintah atau lembaga lain yang diakui
oleh pemerintah
18.
Contoh keahlian itu antara lain :
Notaris, keahliannya dibuktikan oleh ijazah
program pendidikan Notariat Fakultas Hukum.
Sekarang menjadi program pendidikan Magister
Kenotariatan Fakultas Hukum;
Akuntan, keahliannya dibuktikan oleh ijazah
program pendidikan Akuntansi Fakultas
Ekonomi;
Dokter, keahliannya dibuktikan oleh ijazah
program pendidikan kedokteran Fakultas
Kedokteran;

19.
Apoteker, keahliannya dibuktikan oleh ijazah
program pendidikan farmasi Fakultas Farmasi:
Arsitek, keahliannya dibuktikan oleh ijazah
program pendidikan keteknikan arsitektur
Fakultas Teknik.

20.
c) TETAP ATAU TERUS MENERUS

Pekerjaan bidang tertentu itu bersifat tetap atau


terus-menerus.

Tetap artinya tidak berubah-ubah pekerjaan,


misalnya sekali berkiprah pada profesi notaris
seterusnya tetap sebagai notaris. Sedangkan terus-
menerus artinya berlangsung untuk jangka waktu
lama sampai pensiun, atau berakhir masa kerja
profesi yang bersangkutan.
21.
d) MENGUTAMAKAN PELAYANAN
Pekerjaan bidang tertentu itu lebih mendahulukan
pelayanan daripada imbalan (pendapatan). Artinya
mendahulukan apa yang harus dikerjakan, bukan
berapa bayaran yang diterima.

Kepuasan konsumen atau pelanggan lebih


diutamakan. Pelayanan itu diperlukan karena keahlian
profesional, bukan amatir. Seorang profesional selalu
bekerja dengan baik, benar, dan adil.
22.
Baik artinya teliti, tidak asal kerja, tidak sembrono.
Benar artinya diakui oleh profesi yang bersangkutan.
Adil artinya tidak melanggar hak pihak lain.

Sedangkan imbalan dengan sendirinya akan dipenuhi


secara wajar apabila konsumen atau pelanggan
merasa puas dengan pelayanan yang diperolehnya.

23.
e) TANGGUNG JAWAB
Dalam memberikan pelayanannya, profesional itu
bertanggung jawab kepada dirinya sendiri dan
kepada masyarakat.

Bertanggung jawab kepada diri sendiri, artinya dia


bekerja karena integritas moral, intelektual, dan
profesional sebagai bagian dari kehidupannya. Dalam
memberikan pelayanan, seorang profesional selalu
mempertahankan cita-cita luhur profesi sesuai
dengan tuntutan kewajiban hati nuraninya, bukan
karena sekedar hobi belaka.
24.
Bertanggung jawab kepada masyarakat artinya kesediaan
memberikan pelayanan sebaik mungkin sesuai dengan
profesinya, tanpa membedakan pelayanan bayaran dan
pelayanan cuma-cuma serta menghasilkan layanan yang
bermutu, yang berdampak positif bagi masyarakat.
Pelayanan yang diberikan tidak semata-mata bermotif
mencari keuntungan, melainkan juga pengabdian kepada
sesama manusia.

Bertanggung jawab juga berarti berani menanggung segala


resiko yang timbul akibat pelayanannya itu. Kelalaian dalam
melaksanakan profesi menimbulkan dampak yang
membahayakan atau merugikan diri sendiri, orang lain, dan
berdosa kepada Tuhan.
25.
f) ORGANISASI PROFESI
Para profesional itu terkelompok dalam suatu organisasi
biasanya organisasi profesi menurut bidang keahlian dari
cabang ilmu yang dikuasai.

BERTENS menyatakan, kelompok profesi merupakan


masyarakat moral (moral community) yang memiliki cita-cita
dan nilai-nilai bersama. Kelompok profesi memiliki kekuasaan
sendiri dan tanggung jawab khusus. Sebagai profesi,
kelompok ini mempunyai acuan yang disebut kode etik
profesi.

26.
Contoh organisasi profesi antara lain adalah:
Ikatan Notaris Indonesia (INI);
Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin);
Ikatan Dokter Indonesia (IDI);
Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi);
Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI);
Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi);

Pengakuan terhadap organisasi profesi didasarkan pada nilai


moral yang tercermin pada keahlian dan keterampilan
anggota profesi yang bersangkutan bukan karena ketentuan
hukum positif.
27.
II. NILAI MORAL PROFESI
Profesi menuntut pemenuhan nilai moral dari
pengembannya. Nilai moral merupakan kekuatan yang
mengarahkan dan mendasari perbuatan luhur.

FRANZ MAGIS SUSENO (1975) mengemukakan 3 nilai moral


yang dituntut dari pengemban profesi, yaitu:
• Berani berbuat untuk memenuhi tuntutan profesi.
• Menyadari kewajiban yang harus dipenuhi selama
menjalankan profesi.
• Idealisme sebagai perwujudan misi organisasi profesi.

28.
B. PROFESI HUKUM
Apabila profesi itu berkenaan dengan bidang hukum, maka
kelompok profesi itu disebut kelompok profesi hukum.
Pengemban profesi hukum bekerja secara profesional dan
fungsional.

Mereka memiliki tingkat ketelitian, kehati-hatian, ketekunan,


kritis dan pengabdian yang tinggi kerena mereka bertanggung
jawab kepada diri sendiri dan kepada sesama anggota
masyarakat, bahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Mereka
bekerja sesuai dengan kode etik profesinya.

29.
Apabila terjadi penyimpangan atau pelanggaran kode etik,
mereka harus rela mempertanggungjawabkan akibatnya
sesuai dengan tuntutan kode etik. Biasanya dalam organisasi
profesi, ada Dewan Kehormatan yang akan mengoreksi
pelanggaran kode etik.

30.
I. NILAI MORAL PROFESI HUKUM
Profesi hukum merupakan salah satu profesi yang menuntut
pemenuhan nilai moral dari pengembannya. Nilai moral itu
merupakan kekuatan yang mengarahkan dan mendasari
perbuatan luhur. Setiap profesional hukum dituntut supaya
memiliki nilai moral yang kuat.

FRANZ MAGNIS SUSENO (1975) mengemukakan 5 kriteria


nilai moral yang kuat yang mendasari kepribadian profesional
hukum.

31.
Kelima kriteria tersebut dijelaskan seperti berikut ini.

a. KEJUJURAN
Kejujuran adalah dasar utama. Tanpa kejujuran maka
profesional hukum mengingkari misi profesinya, sehingga dia
menjadi munafik, licik, penuh tipu diri.
Dua sikap yang terdapat dalam kejujuran, yaitu :
1) Sikap terbuka. Ini berkenaan dengan pelayanan klien,
kerelaan melayani secara bayaran atau secara cuma-cuma.
2) Sikap wajar. Ini berkenaan dengan perbuatan yang tidak
berlebihan, tidak otoriter, tidak sok kuasa, tidak kasar,
tidak menindas, tidak memeras.
32.
b. OTENTIK
Otentik artinya menghayati dan menunjukkan diri sesuai
dengan keasliannya, kepribadian yang sebenarnya. Otentik
pribadi profesional hukum antara lain:
1) Tidak menyalahgunakan wewenang;
2) Tidak melakukan perbuatan yang merendahkan martabat
(perbuatan tercela);
3) Mendahulukan kepentingan klien;
4) Berani berinisiatif dan berbuat sendiri dengan bijaksana,
tidak semata-mata menunggu perintah atasan;
5) Tidak mengisolasi diri dari pergaulan sosial.

33.
c. BERTANGGUNG JAWAB
Dalam menjalankan tugasnya, profesional hukum wajib
bertanggung jawab, artinya:
1) Kesediaan dengan melakukan sebaik mungkin tugas apa
saja yang termaksud lingkup profesinya;
2) Bertindak secara proporsional, tanpa membedakan
perkara bayaran dan perkara cuma-cuma;
3) Kesediaan memberikan laporan pertanggung jawaban
atau pelaksanaan kewajibannya.

34.
d. KEMANDIRIAN MORAL
Kemandirian moral artinya tidak mudah terpengaruh
atau tidak mudah mengikuti pandangan moral yang
terjadi disekitarnya, melainkan membentuk
penilaian dan mempunyai pendirian sendiri.

Mandiri secara moral berarti tidak dapat dibeli oleh


pendapat mayoritas, tidak terpengaruh oleh
pertimbangan untung rugi (pamrih), menyesuaikan
diri dengan nilai kesusilaan dan agama.
35.
e. KEBERANIAN MORAL
Keberanian moral adalah kesetiaan terhadap suara
hati nurani yang menyatakan kesediaan untuk
menanggung resiko konflik.
Keberanian tersebut antara lain:
1) Menolak segala bentuk korupsi, kolusi, suap,
pungli;
2) Menolak tawaran damai di tempat atas tilang
karena pelanggaran lalu lintas jalan;
3) Menolak segala bentuk cara penyelesaian melalui
jalan belakang yang tidak sah.
36.
II. BIDANG-BIDANG PROFESI HUKUM
Manusia hidup bermasyarakat pada hakikatnya terikat
oleh hukum. Di setiap pojok kita hidup, di situ ada
hukum. Hukum ada dimana-mana.

Jika demikian halnya, masyarakat merupakan jaringan


hukum (web of law). Ahli hukum dengan sendirinya
berperan penting karena berhadapan dengan tata
kehidupan. Ahli hukum selalu terlibat dengan kegiatan
menciptakan hukum, melaksanakan hukum, mengawasi
pelaksanaannya, dan apabila terjadi pelanggaran hukum,
maka perlu ada pemulihannya (penegakannya).
37.
Terakhir adalah kegiatan pendidikan hukum yang
menghasilkan para ahli hukum. Semua kegiatan
tersebut merupakan bidang-bidang profesi hukum.

Betapa pentingnya ahli hukum, sehingga tidak


berlebihan jika dikatakan bahwa “peradaban manusia
ditentukan oleh para ahli hukum”. Baik buruk
peradaban masyarakat bergantung pada baik
buruknya perilaku para ahli hukumnya.

38.
Hukum mempunyai arti penting dalam kehidupan manusia.
Peraturan hukum mengatur dan menjelaskan bagaimana
seharusnya:
Legislator menciptakan hukum;
Pejabat melaksanakan administrasi negara;
Notaris merumuskan kontrak-kontrak harta kekayaan;
Polisi dan jaksa menegakkan ketertiban hukum;
Pengacara membela kliennya dan menginterpretasikan
hukum;
Hakim menerapkan hukum dan menetapkan keputusannya;
Pengusaha menjalankan kegiatan bisnisnya;
Konsultan hukum memberikan nasihat hukum kepada
kliennya;
Pendidik hukum menghasilkan ahli hukum.
39.
Pekerjaan yang ditangani oleh para profesional hukum
tersebut merupakan bidang-bidang profesi hukum, yang
jika dirincikan adalah sebagai berikut ini:
Profesi Legislator;
Profesi Administrator Hukum;
Profesi Notaris;
Profesi Polisi;
Profesi Jaksa;
Profesi Advokat (Pengacara);
Profesi Hakim;
Profesi Hukum Bisnis;
Profesi Konsultan Hukum;
Profesi Dosen Hukum.
40.
III. ETIKA PROFESI HUKUM
Kita semua hidup dalam jaringan keberlakuan hukum
dalam berbagai bentuk formalitasnya. Semua berjalan
sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.

Namun, yang namanya manusia dalam menjalani


kehidupannya tidak terlepas dari kecenderungan
menyimpang dan menyeleweng. Profesional hukum yang
tidak bertanggung jawab melakukan pelanggaran dalam
menjalankan profesinya karena lebih mengutamakan
kepentingan pribadi atau golongannya.

41.
Padahal adanya norma hukum secara esensial menuntun ke
arah mana seharusnya berbuat yang membahagiakan semua
pihak. Dengan berpedoman pada norma hukum, masyarakat
berharap banyak kepada profesional hukum agar masyarakat
dapat dilindungi oleh hukum, hidup tertib, teratur, dan bahagia.

Setiap kelompok profesi memiliki norma-norma yang menjadi


penuntun perilaku anggotanya dalam melaksanakan tugas
profesi. Norma-norma tersebut dirumuskan dalam bentuk
tertulis yang disebut kode etik profesi.

Kode etik profesi hukum merupakan bentuk realisasi etika


profesi hukum yang wajib ditaati oleh setiap profesional
hukum yang bersangkutan.

42.
NOTOHAMIDJOJO (1975) menyatakan dalam
melaksanakan kewajibannya, profesional hukum perlu
memiliki:
1) Sikap manusiawi, artinya tidak menanggapi hukum
secara formal belaka, melainkan kebenaran yang
sesuai dengan hati nurani;
2) Sikap adil, artinya mencari kelayakan yang sesuai
dengan perasaan masyarakat;
3) Sikap patut, artinya mencari pertimbangan untuk
menentukan keadilan dalam suatu perkara konkret;
4) Sikap jujur, artinya menyatakan sesuatu itu benar
menurut apa adanya, dan menjauhi yang tidak benar
dan tidak patut.
43.
Dalam mengemban profesi pendidikan tinggi hukum
agar menghasilkan ahli hukum etis (bermoral), Etika
Profesi hukum perlu diajarkan sebagai mata kuliah
wajib.

44.
KODE ETIK PROFESI
DAN
KODE ETIK NOTARIS
KODE ETIK PROFESI

A. ARTI KODE ETIK PROFESI


BERTENS (1995) menyatakan, kode etik profesi merupakan
norma yang ditetapkan dan diterima oleh kelompok profesi,
yang mengarahkan atau memberi petunjuk kepada
anggotanya bagaimana seharusnya berbuat dan sekaligus
menjamin mutu moral profesi itu di mata masyarakat.

Apabila satu anggota kelompok profesi itu berbuat


menyimpang dari kode etiknya, maka kelompok profesi itu
akan tercemar di mata masyarakat. Oleh karena itu, kelompok
profesi harus menyelesaikan berdasarkan kekuasaannya
sendiri.
1.
Kode etik profesi merupakan produk etika terapan karena
dihasilkan berdasarkan penerapan pemikiran etis atas suatu
profesi.

Kode etik profesi dapat berubah dan diubah seiring dengan


perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga
anggota kelompok profesi tidak akan ketinggalan zaman.
Kode etik profesi merupakan hasil pengaturan diri profesi
yang bersangkutan, dan ini perwujudan nilai moral yang
hakiki, yang tidak dipaksakan dari luar.

Kode etik profesi hanya berlaku efektif apabila dijiwai oleh


cita-cita dan nilai-nilai yang hidup dalam lingkungan profesi
itu sendiri.
2.
Kode etik profesi merupakan rumusan norma moral
manusia yang mengemban profesi itu.

Kode etik profesi menjadi tolak ukur perbuatan anggota


kelompok profesi. Kode etik profesi merupakan upaya
pencegahan berbuat yang tidak etis bagi anggotanya.

Setiap kode etik profesi selalu dibuat tertulis yang


tersusun secara teratur, rapi, lengkap, tanpa cacat, dalam
bahasa yang baik, sehingga menarik perhatian dan
menyenangkan pembacanya. Semua yang tergambar adalah
perilaku yang baik-baik.
3.
Tetapi di balik semua itu terdapat kelemahan sebagai
berikut:
a. Idealisme yang terkandung dalam kode etik profesi tidak
sejalan dengan fakta yang terjadi di sekitar para profesional,
sehingga harapan sangat jauh dari kenyataan. Hal ini cukup
menggelitik para profesional untuk berpaling pada kenyataan
dan mengatakan idealisme kode etik profesi. Kode etik
profesi tidak lebih dari pajangan tulisan berbingkai.
b. Kode etik profesi merupakan himpunan norma moral yang
tidak dilengkapi dengan sanksi keras karena keberlakuannya
semata-mata berdasarkan kesadaran profesional. Rupanya
kekurangan ini memberi peluang kepada profesional yang
lemah iman untuk berbuat menyimpang dari kode etik
profesinya.
4.
B. FUNGSI KODE ETIK PROFESI
Mengapa kode etik profesi perlu dirumuskan
secara tertulis?
SUMARYONO (1995) mengemukakan 3 alasannya,
yaitu:
a. Sebagai sarana kontrol sosial;
b. Sebagai pencegahan campur tangan pihak lain;
c. Sebagai pencegahan kesalah-pahaman dan
konflik sesama anggota.
5.
Kode etik profesi merupakan kriteria prinsip
profesional yang telah digariskan, sehingga dapat
diketahui dengan pasti kewajiban profesional
anggota lama, baru, ataupun calon anggota
kelompok profesi.

Dengan demikian dapat dicegah kemungkinan


terjadi konflik kepentingan antara sesama anggota
kelompok profesi, atau antara anggota kelompok
profesi dan masyarakat

6.
Anggota kelompok profesi atau anggota
masyarakat dapat melakukan kontrol melalui
rumusan kode etik profesi, apakah anggota
kelompok profesi telah memenuhi kewajiban
profesionalnya sesuai dengan kode etik profesi.

Kode etik profesi telah menentukan standarisasi


kewajiban profesional anggota kelompok profesi.
Dengan demikian, pemerintah atau masyarakat
tidak perlu lagi campur tangan untuk menentukan
bagaimana seharusnya anggota kelompok profesi
melaksanakan kewajiban profesionalnya.
7.
Hubungan antara pengemban profesi dan masyarakat,
misalnya antara pengacara dan klien, antara dosen
dan mahasiswa, antara dokter dan pasien, tidak perlu
diatur secara detail dengan undang-undang oleh
pemerintah, atau oleh masyarakat karena kelompok
profesi telah menetapkan secara tertulis norma atau
patokan tertentu berupa kode etik profesi.

8.
Kode etik profesi pada dasarnya adalah norma perilaku yang
sudah dianggap benar atau yang sudah mapan dan tentunya
akan lebih efektif lagi apabila norma perilaku tersebut
dirumuskan sedemikian baiknya, sehingga memuaskan pihak-
pihak yang berkepentingan.

Kode etik profesi merupakan kristalisasi perilaku yang


dianggap benar menurut pendapat umum karena
berdasarkan pertimbangan kepentingan profesi yang
bersangkutan. Dengan demikian, kode etik dapat mencegah
kesalah-pahaman dan konflik, dan sebaiknya berguna sebagai
bahan refleksi nama baik profesi.

Kode etik profesi yang baik adalah yang mencerminkan nilai


moral anggota kelompok profesi sendiri dan pihak yang
membutuhkan pelayanan profesi yang bersangkutan.
9.
C. KODE ETIK PROFESI KURANG BERFUNGSI
Dewasa ini mulai menggejala bahwa kode etik profesi kurang
berfungsi sebagaimana mestinya di kalangan para profesional.

Beberapa contoh gejala yang dapat dikemukakan antara lain


adalah hubungan berikut ini:

a). Hubungan dokter dan pasien


Dokter menyuruh pasiennya agar membeli obat resep di
apotek yang ditunjukannya. Hal ini menimbulkan dugaan ada
kolusi bermotif bisnis antara dokter dan apoteker, bukan
motif profesional. Ini berarti kode etik profesi dokter kurang
berfungsi sebagaimana mestinya.
10.
b). Hubungan insinyur pemborong dan pimpro
Insinyur pemborong bangunan membangun gedung
menurut konstruksi yang ditetapkan dalam kontrak.
Ketentuan kontrak yang menyatakan bahwa semua
bahan kayu adalah standar kelas satu. Nyatanya kayu
kusen adalah standar kelas dua.
Di sini terjadi pengurangan nilai yang dianggap biasa
oleh pemimpin proyek. Hal ini menimbulkan dugaan
ada kolusi bermotif bisnis antara insinyur dan pimpro.
Ini berarti kode etik profesi insinyur kurang berfungsi
sebagaimana mestinya.
11.
c). Hubungan hakim dan terdakwa
Hakim memutuskan perkara perkosaan dengan
hukuman percobaan. Padahal saksi penderita dengan
tegas dan gamblang menerangkan di bawah sumpah
perbuatan kekerasan terdakwa menyetubuhinya
bertentangan dengan kehendaknya.
Di sini tampak tidak sebanding antara kehormatan
yang ternoda dengan hukuman tanpa dijalani. Hal ini
menimbulkan dugaan, ada suap terdakwa kepada
hakim. Ini berarti kode etik profesi hakim kurang
berfungsi sebagaimana mestinya.
12.
d). Hubungan dosen dan mahasiswa
Seorang dosen perguruan tinggi tertentu baru bersedia
memberi ujian kepada mahasiswanya apabila sudah
terdaftar minimal 10 mahasiswa yang sudah lunas
membayar biaya ujian. Padahal menguji mahasiswa itu
tidak perlu diukur dengan jumlah minimal terdaftar dan
lunas membayar uang ujian. Kewajiban profesional dosen
menguji mahasiswa berdasarkan jadwal ujian yang
ditetapkan oleh peraturan akademik.
Hal ini menimbulkan dugaan, profesi dosen bergeser ke
kegiatan bisnis, hanya menguji jika dibayar, tanpa bayaran
tidak akan ada ujian. Ini berarti kode etik profesi dosen
kurang berfungsi sebagaimana mestinya.
13.
Gejala-gejala tadi menunjukkan bahwa betapa bagusnya
kode etik dibuat oleh kelompok profesi yang diharapkan
berfungsi sebagai ukuran perilaku, nyatanya diabaikan.
Hal ini terjadi karena pasti ada alasan yang paling
mendasar.

Alasan tersebut akan diungkapkan dan dibahas terbatas


pada profesi hukum saja. Alasan tersebut akan dibahas
dalam studi tentang Etika Profesi Hukum dengan
menelusuri naskah-naskah kode etik profesi hukum dan
hubungannya dengan keberlakuan hukum positif.

14.
D. KODE ETIK PROFESI DAN HUKUM POSITIF
Dalam pembahasan sebelumnya, telah
dikemukakan 3 rumusan pengertian etika, salah
satu diantaranya adalah sebagai kumpulan asas
atau nilai moral, dan ini ada 2 bentuknya, yaitu
tertulis dan tidak tertulis.

Apabila dalam bentuk tertulis, maka kumpulan


asas atau nilai moral itu disebut kode etik. Karena
berkenaan dengan profesi, maka kode etik itu
disebut kode etik profesi.
15.
Dengan demikian, kode etik profesi bidang hukum
disebut kode etik profesi hukum, misalnya Kode Etik
Notaris, Kode Etik Advokat, Kode Etik Hakim, Kode
Etik Jaksa, Kode Etik Akademik Dosen.

Seperti telah diuraikan sebelumnya, kode etik


profesi merupakan bagian dari hukum positif
tertulis tetapi tidak mempunyai sanksi yang keras.
Keberlakuan kode etik profesi semata-mata
berdasarkan kesadaran moral anggota profesi,
berbeda dengan keberlakuan undang-undang yang
bersifat memaksa dan dibekali dengan sanksi yang
keras.
16.
Jika orang tidak patuh kepada undang-undang, dia
akan dikenai sanksi oleh negara. Karena tidak
mempunyai sanksi keras, maka pelanggar kode etik
profesi tidak merasakan akibat dari perbuatannya.
Malahan dia merasa seperti tidak apa-apa dan
tidak berdosa kepada sesama manusia.

17.
1. ALASAN MENGABAIKAN KODE ETIK PROFESI
Menggejalanya perbuatan profesional yang
mengabaikan kode etik profesi karena beberapa alasan
yang paling mendasar, baik sebagai individu anggota
masyarakat maupun karena hubungan kerja dalam
organisasi profesi, disamping sifat manusia yang
konsumeristis dan nilai imbalan jasa yang tidak
sebanding dengan jasa yang diberikan.

Atas dasar faktor-faktor tersebut, maka dapat


diinventaris alasan-alasan mendasar mengapa
profesional cenderung mengabaikan dan bahkan
melanggar kode etik profesi.
18.
a) Pengaruh sifat kekeluargaan
Salah satu ciri kekeluargaan itu memberi perlakuan dan
penghargaan yang sama terhadap anggota keluarga dan ini
dipandang adil. Hal ini berpengaruh terhadap perilaku
profesional hukum yang terikat pada kode etik profesi, yang
seharusnya memberikan perlakuan sama terhadap klien.

Contoh, Amat keluarga Notaris minta dibuatkan akta hibah,


Notaris membebaskannya dari biaya pembuatan akta dengan
alasan tidak enak menarik biaya dari keluarga sendiri.
Kemudian datang Bondan, juga minta dibuatkan akta dengan
membayar biaya yang telah ditentukan jumlahnya. Amat dan
Bondan keduanya adalah klien yang seharusnya
mendapatkan perlakuan sama menurut Kode Etik Notaris,
tetapi nyatanya lain. Kode etik profesi diabaikan profesional.
19.
Seharusnya masalah keluarga dipisahkan
dengan masalah profesi dan ini adalah adil.
Dalam contoh kasus tadi, Notaris seharusnya
menarik bayaran dari kedua mereka karena
sama-sama klien.

20.
b) Pengaruh jabatan
Salah satu ciri jabatan adalah bawahan
menghormati dan taat pada atasan dan ini adalah
ketentuan undang-undang Kepegawaian. Fungsi
eksekutif terpisah dengan fungsi yudikatif. Seorang
hakim memegang 2 fungsi sebagai pegawai negeri
sipil dan sebagai hakim.

Menurut Kode Etik Hakim, hakim memutuskan


perkara dengan adil tanpa terpengaruh atau tekanan
dari pihak manapun.
21.
Perkara yang diperiksa oleh hakim tadi ternyata ada
hubungannya dengan seorang pejabat yang adalah
atasannya sendiri.
Dalam kasus ini di satu pihak hakim cenderung
hormat pada atasan dan bersedia membela atasan,
sebab kalau tidak, mungkin hakim tadi akan dipersulit
naik pangkat atau akan dimutasikan.
Di lain pihak, pejabat mempunyai pengaruh terhadap
bawahan dan karena itu mengirim pesan kepada
hakim, tolong selesaikan perkara tersebut dengan
sebaik-baiknya (konotasinya bela atasanmu), bukan
seadil-adilnya.
22.
Seharusnya hakim berlaku adil dan tidak memihak,
tetapi nyatanya memihak atasannya. Sekali lagi, kode
etik profesi diabaikan oleh profesional.

Seharusnya masalah jabatan dipisahkan dengan


masalah profesi dan ini adalah adil. Hakim memeriksa
perkara dengan sebaik-baiknya sesuai dengan Kode Etik
Hakim, dan sesuai pula dengan saran atasannya (dengan
sebaik-baiknya), sehingga putusannya pun sebaik-
baiknya (versi hakim seadil-adilnya) karena hakim
bekerja secara fungsional bukan secara struktural.
Dengan demikian, hakim tidak mengabaikan atasannya
dan tidak pula mengabaikan Kode Etik Hakim.
23.
c) Pengaruh konsumerisme
Gencarnya perusahaan-perusahaan mempromosikan
produk mereka melalui iklan media massa akan cukup
berpengaruh terhadap peningkatan kebutuhan yang
tidak sebanding dengan penghasilan yang diterima
oleh profesional.
Hal ini mendorong profesional berusaha memperoleh
penghasilan yang lebih besar melalui jalan pintas atau
terobosan profesional ,yaitu dengan mencari imbalan
jasa dari pihak yang dilayaninya.
24.
Contoh: seorang dosen dengan gaji yang diterimanya cukup
untuk biaya hidup, tetapi karena kebutuhan hiburan
mendorongnya untuk membeli televisi besar lengkap dengan
antena parabola yang sekarang sedang trendy. Untuk
memperoleh uang dia menawarkan kolusi dengan mahasiswa
yang diujinya:
Kalau ingin dibantu, Bapak bersedia membantu supaya lulus
mendapat nilai A asalkan ada tanda terima kasihnya
(maksudnya imbalan berupa uang yang sudah ditentukan
tarifnya) sambil menahan daftar nilai dan kertas ujian
mahasisiwa. Ternyata dosen yang bersangkutan mengabaikan
kode etik akademiknya.
25.
Seharusnya pemenuhan kebutuhan itu dapat dipenuhi
dengan melakukan kerja ekstra apa saja yang dapat menjadi
sumber penghasilan tambahan, baik berkenaan dengan
profesi maupun di luar profesi, misalnya menjadi dosen luar
biasa, pemimpin di suatu PTS, konsultan hukum,
melaksanakan proyek penelitian atau pengabdian kepada
masyarakat, penyalur buku pelajaran, penceramah agama
(da’i), penulis buku.

Kerja keras adalah kodrat manusia dan ini menjadi lambang


martabat manusia. Semua hal ini merupakan sumber
penghasilan tanpa melanggar kode etik profesi.

26.
d) Karena lemah iman
Salah satu syarat menjadi profesional adalah taqwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, yaitu melaksanakan perintah dan menjauhi
laranganNya. Ketaqwaan ini adalah dasar moral manusia.
Jika manusia mempertebal iman dengan taqwa, maka di dalam diri
akan tertanam nilai moral yang menjadi rem untuk berbuat buruk.
Dengan taqwa manusia makin sadar bahwa kebaikan akan dibalas
dengan kebaikan, sebaliknya keburukan akan dibalas dengan
keburukan. Sesungguhnya Tuhan itu maha adil.
Dengan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, profesional memiliki
benteng moral yang kuat, tidak mudah tergoda dan tergiur dengan
bermacam ragam bentuk materi di sekitarnya. Dengan iman yang
kuat, kebutuhan akan terpenuhi secara wajar dan itulah
kebahagiaan.
27.
2. UPAYA UNTUK MEMATUHI KODE ETIK PROFESI
Seperti telah diuraikan sebelumnya, kode etik
profesi adalah bagian dari hukum positif, tetapi tidak
memiliki upaya pemaksa yang keras seperti pada
hukum positif yang bertaraf undang-undang. Hal ini
merupakan kelemahan kode etik profesi bagi
profesional yang lemah iman.

Untuk mengatasi kelemahan ini, maka upaya


alternatif yang dapat ditempuh ialah memasukkan
upaya pemaksa yang keras ke dalam kode etik
profesi.
28.
Alternatif tersebut dapat ditempuh dengan 2 cara, yaitu
memasukkan klausula penundukan pada hukum positif
undang-undang di dalam rumusan kode etik profesi, atau
legalisasi kode etik profesi melalui Pengadilan Negeri
setempat.

Kedua upaya tersebut diuraikan satu demi satu berikut ini:


1. Klausula penundukan pada UU
Setiap UU mencantumkan dengan tegas sanksi yang
diancamkan kepada pelanggarnya. Dengan demikian, menjadi
pertimbangan bagi warga, tidak ada jalan lain kecuali taat, jika
terjadi pelanggaran berarti warga yang bersangkutan bersedia
dikenai sanksi yang cukup memberatkan dan merepotkan
baginya.
29.
Ketegasan sanksi UU ini lalu diproyeksikan kepada rumusan
kode etik profesi yang memberlakukan sanksi UU kepada
pelanggarnya.
Dalam rumusan kode etik profesi dicantumkan ketentuan :
“pelanggar kode etik dapat dikenai sanksi sesuai dengan
ketentuan undang-undang yang berlaku”. Ini berarti, jika
pelanggar kode etik profesi itu merugikan klien atau pencari
keadilan, maka dia dapat dikenai sanksi UU, yaitu
pembayaran ganti kerugian, pembayaran denda,
pencabutan hak tertentu, atau pidana badan. Untuk itu
harus ditempuh saluran hukum yang berlaku bahwa yang
berwenang membebani sanksi itu adalah pengadilan.
Dengan kata lain pelanggar kode etik profesi dapat diajukan
ke muka pengadilan untuk mempertanggung jawabkan
perbuatannya.
30.
2. Legalisasi Kode Etik Profesi
Kode etik profesi adalah semacam perjanjian bersama
semua anggota bahwa mereka berjanji untuk
mematuhi kode etik yang telah dibuat bersama.
Dalam rumusan kode etik tersebut dinyatakan,
apabila terjadi pelanggaran, kewajiban mana yang
cukup diselesaikan oleh Dewan Kehormatan, dan
kewajiban mana yang harus diselesaikan melalui
pengadilan.

31.
Untuk memperoleh legalisasi, ketua profesi yang
bersangkutan mengajukan permohonan kepada Ketua
Pengadilan Negeri setempat agar kode etik itu
disahkan dengan akta penetapan pengadilan yang
berisi perintah penghukuman kepada setiap anggota
untuk mematuhi kode etik itu.
Jadi, kekuatan berlaku dan mengikat kode etik mirip
dengan akta perdamaian yang dibuat oleh hakim.
Apabila ada yang melanggar kode etik, maka dengan
surat perintah, pengadilan memaksakan pemulihan
itu.
32.
KODE ETIK NOTARIS

I. RINCIAN KODE ETIK NOTARIS


Uraian mengenai kode Etik Notaris meliputi:
a. etika kepribadian Notaris;
b. etika melakukan tugas dan jabatan;
c. etika pelayanan terhadap klien;
d. etika hubungan sesama rekan Notaris; dan
e. etika pengawasan terhadap Notaris.
Kemudian analisis hubungannya dengan ketentuan UU.
Dengan demikian, akan diketahui apakah Kode Etik Notaris
memiliki upaya paksaan yang berasal dari UU.
33.
a. Etika kepribadian Notaris
Sebagai pejabat umum, Notaris :
o Berjiwa Pancasila;
o Taat kepada hukum, sumpah jabatan, Kode Etik
Notaris;
o Berbahasa Indonesia yang baik;

Sebagai profesional, Notaris :


o Memiliki perilaku profesional;
o Ikut serta pembangunan nasional di bidang hukum;
o Menjunjung tinggi kehormatan dan martabat.
34.
Dalam penjelasannya dinyatakan bahwa Notaris
menertibkan diri sesuai dengan fungsi,
kewenangan, dan kewajiban sebagaimana
ditentukan dalam Peraturan Jabatan Notaris.

Selanjutnya dijelaskan bahwa Notaris harus


memiliki perilaku profesional (professional
behaviour).
35.
Unsur-unsur perilaku profesional adalah sebagai berikut :
1) Keahlian yang didukung oleh pengetahuan dan pengalaman
tinggi.
2) Integritas moral artinya menghindari sesuatu yang tidak baik
walaupun imbalan jasanya tinggi, pelaksanaan tugas profesi
diselaraskan dengan nilai-nilai kemasyarakatan, sopan
santun, dan agama;
3) Jujur tidak saja pada pihak kedua atau pihak ketiga, tetapi
juga pada diri sendiri;
4) Tidak semata-mata pertimbangan uang, melainkan juga
pengabdian, tidak membedakan antara orang mampu dan
tidak mampu;
5) Berpegang teguh pada kode etik profesi karena di dalamnya
ditentukan segala perilaku yang harus dimiliki oleh Notaris,
termasuk berbahasa Indonesia yang sempurna.
36.
b. Etika melakukan tugas jabatan
Sebagai pejabat umum dalam melakukan tugas
jabatannya, Notaris :
1. Menyadari kewajibannya, bekerja sendiri, jujur, tidak
berpihak, dan penuh rasa tanggung jawab;
2. Menggunakan kantor yang telah ditetapkan sesuai
dengan UU, tidak mengadakan kantor cabang
perwakilan, dan tidak menggunakan perantara;
3. Tidak menggunakan media massa yang bersifat
promosi;
4. Harus memasang papan nama menurut ukuran yang
berlaku.
37.
c. Etika pelayanan terhadap klien
Sebagai pejabat umum, Notaris:
1. Memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat
yang memerlukan jasanya dengan sebaik-baiknya;
2. Menyelesaikan akta sampai tahap pendaftaran pada
Pengadilan Negeri dan pengumuman dalam Berita
Negara, atau pengesahan oleh Kementerian Hukum
dan HAM apabila klien yang bersangkutan dengan
tegas menyatakan akan menyerahkan
pengurusannya kepada Notaris yang bersangkutan
dan klien telah memenuhi syarat-syarat yang
diperlukan;
38.
3. Memberitahu kepada klien perihal selesainya pendaftaran di
Pengadilan Negeri atau selesainya pengesahan Kementerian
Hukum dan HAM, atau selesainya balik nama di kantor
Pertanahan atau selesainya pengumuman, dan/atau
mengirim kepada atau menyuruh mengambil akta yang
sudah didaftar atau Berita Negara yang sudah selesai dicetak
tersebut oleh klien yang bersangkutan;
4. Memberikan penyuluhan hukum agar masyarakat menyadari
hak dan kewajibannya sebagai warga negara dan anggota
masyarakat;
5. Memberikan jasa kepada anggota masyarakat yang kurang
mampu dengan cuma-cuma;
6. Dilarang menahan berkas seseorang dengan maksud
memaksa orang itu membuat akta kepada Notaris yang
menahan berkas itu;
39.
7. Dilarang menjadi alat orang atau pihak lain untuk semata-
mata menanda tangani akta buatan orang lain sebagai akta
buatan Notaris yang bersangkutan;
8. Dilarang mengirim minuta kepada klien atau klien-klien
untuk ditanda tangani oleh klien atau klien-klien yang
bersangkutan;
9. Dilarang membujuk-bujuk atau dengan cara
apapun memaksa klien membuat akta padanya, atau
membujuk-bujuk seseorang agar pindah dari Notaris lain;
10. Dilarang membentuk kelompok di dalam tubuh INI
dengan tujuan untuk melayani kepentingan suatu instansi
atau lembaga secara khusus/eksklusif, apalagi menutup
kemungkinan anggota lain untuk berpartisipasi.
40.
d. Etika hubungan sesama rekan Notaris
Sebagai sesama pejabat umum, Notaris:
1. Saling menghormati dalam suasana
kekeluargaan;
2. Tidak melakukan persaingan yang merugikan
sesama rekan Notaris, baik moral maupun
material;
3. Harus saling menjaga dan membela
kehormatan dan nama baik sesama Notaris
atas dasar rasa solidaritas dan sikap tolong
menolong secara konstruktif.
41.
Dalam penjelasan dinyatakan, menghormati dalam
suasana kekeluargaan itu artinya Notaris tidak
mengkritik, menyalahkan akta-akta yang dibuat
rekan Notaris lainnya di hadapan klien atau
masyarakat.

Notaris tidak membiarkan rekannya berbuat salah


dalam jabatannya dan seharusnya memberitahukan
kesalahan rekannya dan menolong memperbaikinya.
Notaris yang ditolong janganlah curiga.

42.
Tidak melakukan persaingan yang merugikan
sesama rekan dalam arti tidak menarik karyawan
Notaris lain secara tidak wajar, tidak menggunakan
calo (perantara) yang mendapat upah, tidak
menurunkan tarif jasa yang telah disepakati.

Menjaga dan membela kehormatan nama baik


dalam arti tidak mencampurkan usaha lain dengan
jabatan Notaris, memberikan informasi atau
masukan mengenai klien-klien yang “nakal”
setempat.
43.
e. Etika pengawasan terhadap Notaris
1. Pengawasan intern terhadap Notaris dilaksanakan
melalui pelaksanaan Kode Etik Notaris dan dilakukan
secara berjenjang oleh Dewan Kehormatan Daerah,
Dewan Kehormatan Wilayah dan Dewan Kehormatan
Pusat.
2. Pengawasan ekstern terhadap Notaris dilaksanakan
melalui pelaksanaan perilaku dan pelaksanaan
jabatan Notaris dilakukan secara berjenjang oleh
Majelis Pengawas Daerah Notaris, Majelis Pengawas
Wilayah Notaris dan Majelis Pengawas Pusat Notaris
yang dibentuk oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia dan merupakan kepanjangan tangan dari
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.
44.
A. PENGAWASAN INTERN DIATUR DALAM PERUBAHAN KODE
ETIK NOTARIS IKATAN NOTARIS INDONESIA KONGRES LUAR
BIASA DI BANTEN 29 – 30 MEI 2015 (untuk selanjutnya
disebut “KODE ETIK NOTARIS 2015”)

Pasal 1 ayat 8 Kode Etik Banten 2015


Dewan Kehormatan adalah alat perlengkapan perkumpulan
yang dibentuk dan berfungsi menegakan Kode Etik, harkat
dan martabat notaris yang bersifat mandiri dan bebas dari
keberpihakan, dalam menjalankan tugas dan kewenangan
dalam perkumpulan.
Dewan Kehormatan terdiri atas
1. Dewan Kehormatan Pusat pada tingkat Nasional;
2. Dewan Kehormatan Wilayah pada tingkat Provinsi;
3. Dewan Kehormatan Daerah pada tingkat Kabupaten/Kota.
45.
Pasal 1 ayat 9 Kode Etik Banten 2015
Pelanggaran adalah perbuatan atau tindakan
yang dilakukan oleh:
o Anggota Perkumpulan yang bertentangan
dengan Kode Etik dan/atau disiplin
organisasi;
o Orang lain yang memangku dan
menjalankan jabatan notaris yang
bertentangan dengan ketentuan Kode Etik.
46.
Pasal 1 ayat 10 Kode Etik Banten 2015
Kewajiban adalah sikap, perilaku, perbuatan
atau tindakan yang harus atau wajib dilakukan
oleh anggota Perkumpulan maupun orang lain
yang memangku dan menjalankan jabatan
Notaris, dalam rangka menjaga dan
memelihara citra serta wibawa lembaga
kenotariatan dan menjunjung tinggi keluhuran
harkat dan martabat jabatan Notaris.
47.
Pasal 1 ayat 11 Kode Etik Banten 2015
Larangan adalah sikap, perilaku dan perbuatan
atau tindakan apapun yang tidak boleh
dilakukan oleh anggota perkumpulan maupun
orang lain yang memangku dan menjalankan
jabatan Notaris, yang dapat menurunkan citra
serta wibawa lemba kenotariatan ataupun
keluhuran harkat dan martabat jabatan
Notaris.
48.
Pasal 1 ayat 12 Kode Etik Banten 2015
Sanksi adalah suatu hukuman yang dijatuhkan
oleh Dewan Kehormatan yang dimaksudkan
sebagai sarana, upaya dan alat pemaksa ketaatan
dan disiplin anggota Perkumpulan maupun orang
lain yang memangku dan menjalankan jabatan
Notaris.

Pasal 1 ayat 13 Kode Etik Banten 2015


Eksekusi adalah pelaksanaan keputusan Dewan
Kehormatan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap.
49.
Pasal 12 (Perubahan Anggaran Dasar Ikatan Notaris
Indonesia Kongres Luar Biasa di Banten 29 – 30 Mei
2015)
1) Dewan Kehormatan mewakili Perkumpulan dalam hal pembinaan,
pengawasan dan pemberian sanksi dalam penegakan Kode Etik
Notaris.
2) Dewan Kehormatan mempunyai tugas dan kewenangan untuk:
• melakukan bimbingan, pengawasan, pembinaan anggota dalam
penegakan dan menjunjung tinggi Kode Etik Notaris;
• memeriksa dan mengambil keputusan atas dugaan
pelanggaran ketentuan Kode Etik Notaris;
• memberikan saran dan pendapat kepada Majelis Pengawas
dan/atau Majelis Kehormatan Notaris atas dugaan pelanggaran
Kode Etik Notaris;
50.
• melakukan koordinasi, komunikasi, dan berhubungan
secara langsung kepada anggota maupun pihak-pihak
yang berhubungan dengan pelaksanaan dan
penegakan Kode Etik Notaris;
• membuat peraturan dalam rangka penegakan Kode
Etik Notaris bersama-sama dengan Pengurus Pusat.

3) Dewan Kehormatan terdiri dari beberapa orang anggota


yang dipilih dari Anggota Biasa, yang berdedikasi tinggi
dan loyal terhadap Perkumpulan, berkepribadian baik,
arif dan bijaksana, sehingga dapat menjadi panutan bagi
anggota dan diangkat oleh Kongres untuk masa jabatan
yang sama dengan masa jabatan kepengurusan.
51.
4) Dewan Kehormatan terdiri dari:
• Dewan Kehormatan Pusat adalah Dewan Kehormatan
pada tingkat Pusat;
• Dewan Kehormatan Wilayah adalah Dewan
Kehormatan pada tingkat Provinsi;
• Dewan Kehormatan Daerah adalah Dewan
Kehormatan pada tingkat Kabupaten/Kota.

5) Tata cara pencalonan, pemilihan, dan berakhirnya


keanggotaan Anggota Dewan Kehormatan Pusat, Dewan
Kehormatan Wilayah, dan Dewan Kehormatan Daerah
diatur lebih lanjut dalam Anggaran Rumah Tangga.
52.
Pasal 13 (Perubahan Anggaran Dasar Ikatan Notaris
Indonesia Kongres Luar Biasa di Banten 29 – 30 Mei
2015)
1) Untuk menjaga kehormatan dan keluhuran martabat
jabatan Notaris, Perkumpulan mempunyai Kode Etik
Notaris yang ditetapkan oleh Kongres dan merupakan
kaidah moral yang wajib ditaati oleh setiap anggota
Perkumpulan.
2) Dewan Kehormatan melakupan upaya-upaya untuk
menegakkan Kode Etik Notaris.
3) Dewan Kehormatan dapat bekerjasama dengan Pengurus
Perkumpulan dan berkoordinasi dengan Majelis
Pengawas dan/atau Majelis Kehormatan Notaris untuk
melakukan upaya penegakkan Kode Etik Notaris
53.
B. PENGAWASAN EKSTERN DIATUR DALAM UUJN

PASAL 67 UU 2/2014
(1) Pengawasan atas Notaris dilakukan oleh Menteri.
(2) Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) Menteri membentuk Majelis Pengawas.
(3) Majelis Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berjumlah 9
orang, terdiri atas unsur:
a. Pemerintah sebanyak 3 orang;
b. Organisasi Notaris sebanyak 3 orang; dan
c. ahli atau akademisi sebanyak 3 orang.
(4) Dalam hal suatu daerah tidak terdapat unsur instansi pemerintah
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, keanggotaan dalam
Majelis Pengawas diisi dari unsur lain yang ditunjuk oleh Menteri.
(5) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perilaku
Notaris dan pelaksanaan jabatan Notaris.
(6) Ketentuan mengenai pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat
(5) berlaku bagi Notaris Pengganti dan Pejabat Sementara Notaris.
54.
PASAL 68 UU 2/2014
Majelis Pengawas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 67 ayat (2) terdiri atas:
a. Majelis Pengawas Daerah;
b. Majelis Pengawas Wilayah; dan
c. Majelis Pengawas Pusat.

55.
PASAL 69 UU 2/2014
(1) Majelis Pengawas Daerah dibentuk di
Kabupaten/Kota.
(2) Keanggotaan Majelis Pengawas Daerah
terdiri atas unsur sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 67 ayat (3).
(2a) Dalam hal di suatu Kabupaten/Kota,
jumlah Notaris tidak sebanding dengan
jumlah anggota Majelis Pengawas Daerah,
dapat dibentuk Majelis Pengawas Daerah
gabungan untuk beberapa Kabupaten/Kota.
56.
(3) Ketua dan Wakil Ketua Majelis
Pengawas Daerah dipilih dari dan
oleh anggota sebagaimana dimaksud
pada ayat (2).
(4) Masa jabatan ketua, wakil ketua,
dan anggota Majelis Pengawas
Daerah adalah 3 tahun dan dapat
diangkat kembali.
(5) Majelis Pengawas Daerah dibantu
oleh seorang sekretaris atau lebih
yang ditunjuk dalam Rapat Majelis
Pengawas Daerah.
57.
PASAL 70 UU 30/2004
Majelis Pengawas Daerah berwenang:
a. menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya
dugaan pelanggaran Kode Etik Notaris atau pelanggaran
pelaksanaan jabatan Notaris;
b. melakukan pemeriksaan terhadap Protokol Notaris
secara berkala 1 kali dalam 1 tahun atau setiap waktu
yang dianggap perlu;
c. memberikan izin cuti untuk waktu sampai dengan 6
bulan;
d. menetapkan Notaris Pengganti dengan
memperhatikan usul Notaris yang bersangkutan;

58.
e. menentukan tempat penyimpanan Protokol
Notaris yang pada saat serah terima Protokol
Notaris telah berumur 25 tahun atau lebih;
f. menunjuk Notaris yang akan bertindak
sebagai pemegang sementara Protokol
Notaris yang diangkat sebagai pejabat
negara;
g. menerima laporan dari masyarakat mengenai
adanya dugaan pelanggaran Kode Etik Notaris
atau pelanggaran ketentuan dalam UU ini; dan
h. membuat dan menyampaikan laporan
sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b,
huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf g
kepada Majelis Pengawas Wilayah.
59.
PASAL 71 UU 30/2004
Majelis Pengawas Daerah berkewajiban:
a. mencatat pada buku daftar yang termasuk dalam
Protokol Notaris dengan menyebutkan tanggal
pemeriksaan, jumlah akta serta jumlah surat di bawah
tangan yang disahkan dan yang dibuat sejak tanggal
pemeriksaan terakhir;
b. membuat berita acara pemeriksaan dan
menyampaikannya kepada Majelis Pengawas Wilayah
setempat, dengan tembusan kepada Notaris yang
bersangkutan, Organisasi Notaris, dan Majelis Pengawas
Pusat;
c. merahasiakan isi akta dan hasil pemeriksaan;
60.
d. menerima salinan yang telah disahkan dari
daftar akta dan daftar lain dari Notaris dan
merahasiakannya;
e. memeriksa laporan masyarakat terhadap
Notaris dan menyampaikan hasil pemeriksaan
tersebut kepada Majelis Pengawas Wilayah
dalam waktu 30 hari, dengan tembusan
kepada pihak yang melaporkan, Notaris yang
bersangkutan, Majelis Pengawas Pusat, dan
Organisasi Notaris.
f. menyampaikan permohonan banding
terhadap keputusan penolakan cuti.
61.
PASAL 72 UU 30/2004
(1) Majelis Pengawas Wilayah dibentuk dan berkedudukan
di ibukota provinsi.
(2) Keanggotaan Majelis Pengawas Wilayah terdiri atas
unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (3).
(3) Ketua dan Wakil Ketua Majelis Pengawas Wilayah dipilih
dari dan oleh anggota sebagaimana dimaksud pada ayat
(2).
(4) Masa jabatan ketua, wakil ketua, dan anggota
Majelis Pengawas Wilayah adalah 3 tahun dan dapat
diangkat kembali.
(5) Majelis Pengawas Wilayah dibantu oleh seorang
sekretaris atau lebih yang ditunjuk dalam Rapat Majelis
Pengawas Wilayah.
62.
PASAL 73 UU 2/2014
(1) Majelis Pengawas Wilayah berwenang:
a. menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan
mengambil keputusan atas laporan masyarakat
yang dapat disampaikan melalui Majelis Pengawas
Daerah;
b. memanggil Notaris terlapor untuk dilakukan
pemeriksaan atas laporan sebagaimana dimaksud
pada huruf a;
c. memberikan izin cuti lebih dari 6 bulan sampai 1
tahun;
d. memeriksa dan memutus atas keputusan Majelis
Pengawas Daerah yang menolak cuti yang diajukan
oleh Notaris pelapor;
63.
e. memberikan sanksi baik peringatan lisan maupun
peringatan tertulis;
f. mengusulkan pemberian sanksi terhadap Notaris
kepada Majelis Pengawas Pusat berupa:
1) pemberhentian sementara 3 bulan sampai
dengan 6 bulan; atau
2) pemberhentian dengan tidak hormat.
(2) Keputusan Majelis Pengawas Wilayah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf e bersifat final.
(3) Terhadap setiap keputusan penjatuhan sanksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dan
huruf f dibuatkan berita acara.

64.
PASAL 74 UU 30/2004
(1)Pemeriksaan dalam sidang Majelis
Pengawas Wilayah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 73 ayat (1) huruf a bersifat
tertutup untuk umum.
(2)Notaris berhak untuk membela diri dalam
pemeriksaan dalam sidang Majelis
Pengawas Wilayah.

65.
PASAL 75 UU 30/2004
Majelis Pengawas Wilayah berkewajiban:
a. menyampaikan keputusan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1) huruf a,
huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f kepada
Notaris yang bersangkutan dengan tembusan
kepada Majelis Pengawas Pusat, dan
Organisasi Notaris; dan
b. menyampaikan pengajuan banding dari
Notaris kepada Majelis Pengawas Pusat
terhadap penjatuhan sanksi dan penolakan
cuti.
66.
PASAL 76 UU 30/2004
(1) Majelis Pengawas Pusat dibentuk dan
berkedudukan di ibukota negara.
(2) Keanggotaan Majelis Pengawas Pusat terdiri
atas unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal
67 ayat (3).
(3) Ketua dan Wakil Ketua Majelis Pengawas Pusat
dipilih dari dan oleh anggota sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).
(4) Masa jabatan ketua, wakil ketua, dan
anggota Majelis Pengawas Pusat adalah 3 tahun
dan dapat diangkat kembali.
(5) Majelis Pengawas Pusat dibantu oleh seorang
sekretaris atau lebih yang ditunjuk dalam Rapat
Majelis Pengawas Pusat.
67.
PASAL 77 UU 30/2004
Majelis Pengawas Pusat berwenang :
a. menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan
mengambil keputusan dalam tingkat banding
terhadap penjatuhan sanksi dan penolakan cuti;
b. memanggil Notaris terlapor untuk dilakukan
pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada huruf a;
c. menjatuhkan sanksi pemberhentian sementara; dan
d. mengusulkan pemberian sanksi berupa
pemberhentian dengan tidak hormat kepada
Menteri.

68.
PASAL 78 UU 30/2004
(1) Pemeriksaan dalam sidang Majelis
Pengawas Pusat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 77 huruf a bersifat terbuka untuk umum.
(2) Notaris berhak untuk membela diri dalam
pemeriksaan sidang Majelis Pengawas Pusat.

PASAL 79 UU 30/2004
Majelis Pengawas Pusat berkewajiban menyampaikan
keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf
a kepada Menteri dan Notaris yang bersangkutan
dengan tembusan kepada Majelis Pengawas Wilayah
dan Majelis Pengawas Daerah yang bersangkutan serta
Organisasi Notaris.

69.
PASAL 80 UU 30/2004
(1)Selama Notaris diberhentikan
sementara dari jabatannya, Majelis
Pengawas Pusat mengusulkan seorang
pejabat sementara Notaris kepada Menteri.
(2)Menteri menunjuk Notaris yang akan
menerima Protokol Notaris dari Notaris
yang diberhentikan sementara.

70.
ETIKA, MORAL, AGAMA
A. ARTI ETIKA
BERTENS (1994) menjelaskan, Etika berasal dari bahasa
Yunani kuno ethos dalam bentuk tunggal yang berarti adat
kebiasaan, adat istiadat, akhlak yang baik.

Bentuk jamak dari ethos adalah ta etha artinya adat


kebiasaan.

Dari bentuk jamak ini terbentuklah istilah Etika yang oleh


filsuf Yunani ARISTOTELES ( 384-322 BC) sudah dipakai
untuk menunjukkan filsafat moral. Berdasarkan asal-usul
kata ini, maka Etika berarti ilmu tentang apa yang biasa
dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan.
1.
Dalam KAMUS BESAR BAHASA INDONESIA terbitan
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1988), Etika
dirumuskan dalam tiga arti, yaitu:
1. Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk
dan
tentang hak dan kewajiban moral (akhlak);
2. Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan
akhlak;
3. Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu
golongan atau masyarakat.

2.
Menurut BERTENS arti Etika dapat dirumuskan sebagai
berikut:
• Etika dipakai dalam arti: nilai-nilai dan norma-norma
moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau
suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Arti
ini disebut juga sebagai “sistem nilai” dalam hidup
manusia perseorangan atau hidup bermasyarakat.
Misalnya Etika orang Jawa, Etika agama Buddha.

• Etika dipakai dalam arti: kumpulan asas atau nilai moral


yang dimaksud di sini adalah kode etik, misalnya Kode
Kode Etik Notaris Indonesia.

• Etika dipakai dalam arti: ilmu tentang yang baik atau


yang buruk. Arti etika di sini sama dengan filsafat moral.
3.
Pengertian Kode Etik Notaris menurut Pasal 1 ayat
(2) Kongres Luar Biasa INI di Banten, 29-30 Mei 2015
Kode Etik Notaris adalah kaidah moral yang
ditentukan oleh Perkumpulan INI berdasarkan
keputusan Kongres Perkumpulan dan/atau yang
ditentukan oleh dan diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang hal itu
dan yang berlaku bagi serta wajib ditaati oleh setiap
dan semua anggota Perkumpulan dan semua orang
yang menjalankan tugas jabatan Notaris, termasuk di
dalamnya para Pejabat Sementara Notaris, Notaris
Pengganti pada saat menjalankan jabatan.
4.
Pengertian Etika juga dikemukakan oleh
SUMARYONO (1995). Menurut beliau Etika
berasal dari istilah bahasa Yunani ethos yang
mempunyai arti adat istiadat atau kebiasaan yang
baik.

Bertolak dari pengertian ini kemudian Etika


berkembang menjadi studi tentang kebiasaan
manusia berdasarkan kesepakatan, menurut ruang
dan waktu yang berbeda, yang menggambarkan
perangai manusia dalam kehidupan pada
umumnya.
5.
Selain itu, Etika juga berkembang menjadi studi
tentang kebenaran dan ketidak-benaran
berdasarkan kodrat manusia yang diwujudkan
melalui kehendak manusia. Berdasarkan
perkembangan arti tadi, Etika dapat dibedakan
antara Etika Perangai dan Etika Moral.

6.
I. ETIKA PERANGAI

Etika perangai adalah adat istiadat atau kebiasaan


yang menggambarkan perangai manusia dalam hidup
bermasyarakat di daerah-daerah tertentu, pada waktu
tertentu pula.

Etika perangai tersebut diakui dan berlaku karena


disepakati masyarakat berdasarkan hasil penilaian
perilaku.

7.
Contoh Etika Perangai adalah:
• Berbusana adat;
• Pergaulan muda-mudi;
• Perkawinan semenda;
• Upacara adat.

8.
II. ETIKA MORAL

Etika moral berkenaan dengan kebiasaan berperilaku


baik dan benar berdasarkan kodrat manusia.

Apabila Etika ini dilanggar, maka akan timbul


kejahatan, yaitu perbuatan yang tidak baik dan tidak
benar.

Kebiasaan ini berasal dari kodrat manusia yang


disebut moral.
9.
Contoh Etika moral adalah:
• Berkata dan berbuat jujur;
• Menghargai hak orang lain;
• Menghormati orang tua dan guru;
• Membela kebenaran dan keadilan;
• Menyantuni anak yatim/yatim piatu.

10.
• Etika moral ini terwujud dalam bentuk kehendak
manusia berdasarkan kesadaran dan kesadaran adalah
suara hati nurani. Dalam kehidupan manusia selalu
dikehendaki yang baik dan benar. Karena ada kebebasan
kehendak, maka manusia bebas memilih antara yang
baik dan tidak baik, antara yang benar dan tidak benar.
Dengan demikian, dia mempertanggung-jawabkan
pilihan yang telah dibuatnya itu.

• Kebebasan kehendak mengarahkan manusia untuk


berbuat baik dan benar. Apabila manusia melakukan
pelanggaran Etika moral, berarti dia berkehendak untuk
dihukum. Dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara, nilai moral dijadikan dasar hukum positif
yang diciptakan oleh penguasa.
11.
III. ETIKA DAN ETIKET

• Penggunaan kata Etika dan Etiket sering


dicampur-adukkan. Padahal antara kedua istilah
tersebut terdapat perbedaan yang sangat mendasar
walaupun ada juga persamaannya.

• Kata Etika berarti moral, sedangkan Etiket berarti sopan


santun/tata krama. Persamaan antara kedua istilah
tersebut adalah keduanya mengenai perilaku manusia.
Baik Etika maupun Etiket mengatur perilaku manusia
secara normatif, artinya memberi norma perilaku
manusia bagaimana seharusnya berbuat atau tidak
berbuat.
12.
BERTENS (1994) mengemukakan 4 perbedaan:
a). Etika menetapkan norma perbuatan, apakah
perbuatan itu boleh dilakukan atau tidak, misalnya masuk
rumah orang lain tanpa izin. Bagaimana cara masuknya,
bukan soal.
Etiket menetapkan cara melakukan perbuatan, menunjukan
cara yang tepat, baik, dan benar sesuai dengan yang
diharapkan.

b). Etika berlaku tidak bergantung pada ada tidaknya orang


lain, misalnya larangan mencuri selalu berlaku, baik ada
atau tidak ada orang lain.
Etiket hanya berlaku dalam pergaulan, jika tidak ada orang
lain hadir, etiket tidak berlaku, misalnya makan tanpa
memakai baju. Jika makan sendiri tanpa orang lain, sambil
tidak memakai baju pun tidak jadi masalah.
13.
c). Etika bersifat absolut, tidak dapat ditawar-tawar, misalnya
jangan mencuri, jangan membunuh.
Etiket bersifat relatif, yang dianggap tidak sopan dalam
suatu kebudayaan dapat saja dianggap sopan dalam
kebudayaan lain. Contohnya memegang kepala orang lain, di
Indonesia tidak sopan, tetapi di Amerika biasa saja.

d).Etika memandang manusia dari segi dalam (batiniah), orang


yang bersikap etis adalah orang yang benar-benar baik,
sifatnya tidak bersikap munafik.
Etiket memandang manusia dari segi luar (lahiriah),
tampaknya dari luar sangat sopan dan halus, tetapi di dalam
dirinya penuh kebusukan dan kemunafikan (serigala berbulu
domba). Penipu berhasil dengan niat jahatnya karena
penampilannya begitu halus dan menawan hati, sehingga
mudah meyakinkan korbannya.
14.
B. ARTI MORAL
Sebagaimana dijelaskan oleh BERTENS (1994) kata
yang sangat dekat dengan Etika adalah “moral”.

Kata ini berasal dari bahasa latin mos, jamaknya


mores yang juga berarti adat kebiasaan. Secara
etimologis, kata Etika sama dengan kata moral,
keduanya berarti adat kebiasaan. Perbedaannya
hanya pada bahasa asalnya, Etika berasal dari bahasa
Yunani, sedangkan moral berasal dari bahasa Latin.
15.
• Dengan merujuk kepada arti kata Etika yang sesuai, maka
arti kata moral sama dengan arti kata Etika, yaitu nilai-nilai
dan norma-norma yang menjadi pegangan seseorang atau
suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.

• Apabila dikatakan: “Notaris yang membuat akta itu tidak


bermoral”, artinya perbuatan Notaris itu melanggar
nilai-nilai dan norma-norma etis yang berlaku dalam
kelompok profesinya.

• Apabila dikatakan “Dosen itu bermoral tidak baik”, artinya


dosen itu berperilaku tidak baik dan tidak benar, tidak
sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma pegangan
dosen.

16.
• Moralitas berasal dari bahasa latin moralis yang
pada dasarnya mempunyai arti sama dengan
moral, tetapi lebih bersifat abstrak.

• Moralitas suatu perbuatan artinya segi moral


atau baik buruknya suatu perbuatan.

17.
• Moralitas adalah keseluruhan asas dan nilai yang
berkenaan dengan baik dan buruk. Dengan kata
lain, moralitas merupakan kualitas perbuatan
manusiawi, dalam arti perbuatan itu baik/buruk,
benar/salah.

• Contoh: moralitas kolusi para hakim dengan pihak


berperkara adalah buruk, sedangkan moralitas
putusan hakim yang sesuai dengan rasa keadilan
adalah baik.

18.
I. FAKTOR PENENTU MORALITAS

SUMARYONO (1995) mengemukakan 3 faktor penentu


moralitas perbuatan manusia, yaitu:
a. Motivasi;
b. Tujuan akhir;
c. Lingkungan perbuatan.

• Perbuatan manusia dikatakan baik apabila motivasi,


tujuan akhir, dan lingkungannya juga baik. Apabila
salah satu faktor penentu tersebut tidak baik, maka
keseluruhan perbuatan manusia menjadi tidak baik.
19.
MOTIVASI adalah hal yang diinginkan oleh pelaku
perbuatan dengan maksud untuk mencapai sasaran yang
hendak dituju. Jadi, motivasi itu dikehendaki secara
sadar, sehingga menentukan kadar moralitas
perbuatan.

Contoh: kasus pembunuhan dalam keluarga.


a. Yang diinginkan pembunuh adalah matinya pemilik
harta yang berstatus sebagai pewaris;
b. Sasaran yang hendak dicapai adalah penguasaan
harta warisan;
c. Moralitas perbuatan adalah salah dan jahat.
20.
TUJUAN AKHIR (SASARAN) adalah diwujudkannya perbuatan
yang dikehendaki secara bebas. Moralitas perbuatannya ada
dalam kehendak. Perbuatan itu dikehendaki oleh pelakunya.

Contohnya kasus pembunuhan dalam keluarga yang telah


dikemukakan sebelumnya:
a. Perbuatan yang dikehendaki dengan bebas (tanpa
paksaan) adalah membunuh;
b. Diwujudkannya perbuatan tersebut terlihat pada
akibatnya yang diinginkan pelaku, yaitu matinya pemilik
harta (pewaris);
b. Moralitas perbuatan adalah kehendak bebas melakukan
perbuatan salah dan jahat.
21.
LINGKUNGAN PERBUATAN adalah segala sesuatu yang secara
aksidental mengelilingi atau mewarnai perbuatan.

Termasuk dalam pengertian lingkungan perbuatan adalah:


a. Manusia yang terlibat;
b. Kuantitas dan kualitas perbuatan;
c. Cara, waktu, tempat dilakukannya perbuatan;
d. Frekuensi perbuatan.

Hal-hal ini dapat diperhitungkan sebelumnya atau dapat pula


dikehendaki ada pada perbuatan yang dilakukan secara sadar.
Lingkungan ini menentukan kadar moralitas perbuatan, yaitu
baik/jahat, benar/salah.
22.
II. MORALITAS SEBAGAI NORMA
Seperti telah dikemukakan sebelumnya, moralitas
adalah kualitas perbuatan manusiawi, sehingga
perbuatan itu dinyatakan baik atau buruk, benar atau
salah. Penentuan baik atau buruk, benar atau salah
tentunya berdasarkan norma sebagai ukuran.

SUMARYONO (1995) mengklasifikasikan moralitas itu


menjadi 2 golongan, yaitu:
• Moralitas objektif; dan
• Moralitas subjektif.
23.
MORALITAS OBJEKTIF adalah moralitas yang
melihat perbuatan sebagaimana adanya, terlepas
dari segala bentuk modifikasi kehendak bebas
pelakunya.

Moralitas ini dinyatakan dari semua kondisi


subjektif khusus pelakunya, misalnya kondisi
emosional yang mungkin menyebabkan pelaku
lepas kontrol, apakah perbuatan itu memang
dikehendaki atau tidak.

24.
Moralitas objektif sebagai norma berhubungan dengan
semua perbuatan yang pada hakikatnya baik atau jahat,
benar atau salah, misalnya:
a . Menolong sesama manusia adalah perbuatan baik.
b. Mencuri, Memperkosa, Membunuh adalah
perbuatan jahat

Tetapi pada situasi khusus, mencuri atau membunuh


adalah perbuatan yang dapat dibenarkan jika untuk
mempertahankan hidup atau membela diri. Jadi,
moralitasnya terletak pada upaya untuk
mempertahankan atau membela diri (hak untuk hidup
adalah hak asasi manusia).
25.
MORALITAS SUBJEKTIF adalah moralitas yang melihat
perbuatan sebagai dipengaruhi oleh pengetahuan dan
perhatian pelakunya, latar belakang, stabilitas emosional,
dan perlakuan personal lainnya.

Moralitas ini mempertanyakan apakah perbuatan itu


sesuai atau tidak dengan suara hati nurani pelakunya.

Moralitas subjektif sebagai norma berhubungan dengan


semua perbuatan yang diwarnai oleh niat pelakunya, niat
baik atau jahat.
26.
Dalam musibah kebakaran misalnya, banyak orang
membantu menyelamatkan harta benda korban, ini
adalah baik. Tetapi jika tujuan akhirnya adalah
mencuri harta benda karena tidak ada yang melihat,
maka perbuatan tersebut adalah jahat.

Jadi, moralitasnya terletak pada niat pelakunya.

27.
C. ARTI AGAMA

Dalam ENSIKLOPEDIA INDONESIA (1990, Vol. I,


hlm. 104-105) agama dirumuskan dalam berbagai
arti. Namun yang dikutip di sini hanya 2 rumusan
yang dianggap relevan.

28.
1. RUMUSAN PERTAMA

Agama dalam bahasa Belanda religie, dalam


Bahasa Inggris religion, berarti pada umumnya
hubungan antara manusia dan suatu kekuasaan
luar yang lain dan lebih daripada apa yang dialami
oleh manusia.

29.
Agama mengajarkan hubungan antara pencipta
(khalik) dengan yang diciptakan (makhluk) yang
disebut ibadah.

Agama mempunyai unsur-unsur:


• Wahyu;
• Rasul;
• Kitab Suci.

30.
2. RUMUSAN KEDUA
Agama adalah apa yang disyariatkan Allah dengan perantaraan
Nabi-nabi-Nya, berupa perintah dan larangan serta petunjuk
untuk kebaikan manusia di dunia dan di akhirat.

Ciri-ciri umum agama adalah:


• Percaya kepada Yang Maha Ghoib;
• Mengadakan hubungan dengan Yang Maha Ghoib dengan
melakukan upacara (ritus), pemujaan dan permohonan;
• Ada ajaran tentang Yang Maha Ghoib;
• Ada sikap hidup yang ditumbuhkan oleh ketiga hal di atas.

31.
Dilihat dari segi sumber, ada 2 kategori agama, yaitu
agama samawi (yang diwahyukan) dan agama wad’i
(hasil pemikiran manusia).

Unsur-unsur penting dalam pengertian agama, yaitu:


a) Percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b) Mengabdi KepadaNya;
c) Berdasarkan nilai-nilai dan norma-norma yang
diwahyukan kepada dan yang dituntunkan oleh
utusan-utusannya.
d) Untuk kebahagian di dunia dan di akhirat.
32.
Percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa pencipta umat
manusia merupakan penopang moral yang
terpenting.

Tuhan menciptakan nilai-nilai dan norma-norma


moral yang menuntun dan mengarahkan perbuatan
manusia kepada kebaikan dan kebenaran.

Tuhan memerintahkan manusia agar berbuat baik


dan benar sesuai dengan tuntunan-Nya untuk
mencapai tujuan, yaitu kebahagiaan di dunia dan
akhirat.
33.
AGAMA DAN MORAL
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya,
manusia adalah mahkluk ciptaan Tuhan yang
paling sempurna, maka tidak dapat disangkal
apabila agama mempunyai hubungan yang
erat dengan moral.

Setiap agama mengandung ajaran moral.


Agama adalah pernyataan orang yang beriman
kepada Tuhan Yang Maha Esa.
34.
Ajaran moral yang terkandung dalam agama meliputi 2
macam norma, yaitu:
a. norma yang berkenaan dengan ibadah yang
berbeda di antara bermacam agama; dan
b. norma etis yang berlaku umum mengatasi
perbedaan agama, yaitu yang berkenaan dengan
larangan, seperti dilarang membunuh, dilarang
berdusta, dilarang mencuri, dilarang berzinah.

Semua agama mengakui dan menerima norma etis


tersebut. Oleh karena itu, moral yang dianut
agama-agama besar di dunia pada dasarnya sama.
35.
Iman adalah titik tolak ajaran agama. Kebenaran
iman tidak hanya dibuktikan tetapi dipercayai.

Apabila agama berbicara tentang nilai-nilai dan


norma-norma, maka ini merupakan motivasi agar
umatnya mematuhi nilai-nilai dan norma-norma
yang sudah diterima berdasarkan iman. Manusia
merasa berdosa kepada Tuhan apabila melanggar
perintah dan larangan-Nya yang tertuang dalam
norma-norma moral agama.
36.
Apabila orang beriman percaya bahwa Tuhan telah
menciptakan manusia di muka bumi untuk patuh
kepada perintah dan larangan-Nya, maka
keimanannya itu mengarahkan pikirannya kepada
perilaku etis, supaya manusia tidak melakukan
kejahatan, misalnya aborsi, bunuh diri.

Manusia yang beriman kepada Tuhan percaya


bahwa manusia adalah mahkluk ciptaan Tuhan
yang paling sempurna, maka sudah sewajarnya
agama menjadi dasar moralitas.
37.
Moral memperoleh daya ikat dari agama. Agar
kewajiban moral sungguh-sungguh mengikat, maka
perlu dipercaya ganjaran Tuhan atas perbuatan yang
baik, dan hukuman atas perbuatan yang buruk.

Walaupun manusia berhasil bebas dari hukuman


pengadilan manusiawi, dia tidak akan pernah bebas dari
hukuman pengadilan Tuhan, sebagai hakim tertinggi
yang maha adil.

Bagi orang beragama, Tuhan adalah jaminan berlakunya


tatanan moral. Tuhan mengharuskan manusia berbuat
baik dan benar sesuai dengan tuntunan moral.
38.
Meskipun diakui bahwa banyak manusia yang
mengabaikan agama, tidak berarti mereka menolak
moralitas. Moralitas bukanlah monopoli orang
beragama saja. Baik dan buruk, benar dan salah
tidak hanya berarti bagi mereka yang beragama.

Perlu ditekankan lagi bahwa agama menguatkan


moral, makin tebal keyakinan agama dan
kesempurnaan taqwa seseorang, makin baik
moralnya diwujudkan dalam bentuk perilaku,
walaupun itu tidak mutlak. Orang beragama sudah
pasti bermoral, tetapi orang bermoral belum tentu
mengamalkan agamanya.
39.
NOTARIS DI AWAL KELAHIRAN
• Jabatan notaris lahir karena masyarakat
membutuhkannya, bukan jabatan yang sengaja
diciptakan kemudian baru disosialisasikan
kepada khalayak.

• Sejarah lahirnya notaris diawali dengan lahirnya


profesi scribae pada jaman Romawi kuno (abad
kedua dan ketiga sesudah mahesi).
• Scribae adalah seorang terpelajar yang
bertugas mencatat nota dan minuta akan
sebuah kegiatan atau keputusan kemudian
membuat salinan dokumennya, baik yang
sifatnya publik maupun privat.

• Profesi scribae sangat dibutuhkan pada waktu


itu karena sebagian besar masyarakat buta
huruf.
• Kata notaris sendiri berasal dari kata “nota
literaria” yaitu tanda tulisan atau karakter yang
dipergunakan untuk menuliskan atau
menggambarkan ungkapan kalimat yang
disampaikan nara sumber.

• Tanda atau karakter yang dimaksud adalah


tanda yang dipakai dalam penulisan cepat
(stenografie). Stenografie ditemukan oleh
Marcus Tullius Tiro pada kira-kira tahun 63 BC
pada jaman Romawi yakni pada masa
negarawan terkenal Matcus Tullius Cicero (106-
43 Sebelum Masehi).
• Kata notaris juga pernah dipakai khusus untuk
para penulis kerajaan yang menuliskan segala
sesuatu yang dibicarakan kerajaan ini
mempunyai kedudukan sebagai pegawa istana
sehingga tidak sesuai dengan notaris jaman
sekarang.

• Notaris juga ada dalam kekuasaan Kepausan


yang disebut tabellio dan clericus notarius
publicus yang memberikan bantuan dalam
hubungan hukum keperdataan.
• Para era Romawai juga muncul profesi
tabelliones dan tabularii. Tabelliones
diperkirakan diambil dari kata “tabulae” yang
berarti plat berlapis lilin yang dipakai untuk
menulis.

• Seorang jurist terkenal pada masa itu, Domitius


Ulpianus (meninggal pada tahun 228 Setelah
Masehi), ditugaskan oleh kaisar Justianus I untuk
membantu menyusun semacam undang-undang
mengenai pembuatan akta dan surat di bawah
tangan.
• Akta dan surat yang dibuar para tabelliones tidak
mempunyai kekuatan otentik sehingga akta-akta dan
surat-surat tersebut hanya mempunyai kekuatan
seperti akta di bawah tangan.

• Sedangkan tabularii adalah profesi yang mirip


dengan tabelliones, bahkan menjadi pesaingnya.

• Dikatakan seorang tabularii adalah seorang


tabelliones yang mempunyai keahlian dalam teknik
menulis sehingga mereka diberikan status pegawai
negeri yang mempunyai tugas mengadakan dan
memelihara pembukuan kota dan menjaga arsip dari
magistrat kota-kota yang bearada di bawah ressort-
nya.
• Dalam perkembangannya, para tabelliones dan
tabularii sering menyebut dirinya sebagai
notarius meskipun mereka tidak mempunyai
surat pengangkatan dari kerajaan.

• Bahkan, pada daerah kekuasaan Raja-raja


Langobardi, orang suku Germania yang
menguasai salah satu kerajaan di Italia (568-774
Masehi) nama tabellio diganti menjadi notarius.
• Jadi bisa disimpulkan, pada masa awal lahirnya
notaris ada dua golongan notaris: notaris yang
diangkat kerajaan dan notaris swasta yang tidak
diangkat kerajaan dan notaris swasta yang tidak
diangkat kerajaan.

• Notaris yang diangkat kerajaan mempunyai hak


mengeluarkan akta otentik, sedangkan notaris
yang tidak diangkat hanya mempunyai hak
mengeluarkan akta di bawah tangan.
• Sedangkan Tabularii lebih condong menjadi
sebutan penulis yang memiliki keahlian khusus
dalam pembukukan kota-sekarang akuntan.

• Kemudian para notaris yang diangkat kerajaan ini


bergabung dalam sebuah badan yang disebut
Collegium.

• Para notaris (termasuk tabellio) yang diangkat


kerajaan dipandang sebagai pejabat satu-satunya
yang berhak membuat akta baik di dalam
maupun di luar pengadilan.
• Pada awal kelahiran jabatan notaris telah terlihat
jelas hakikatnya sebagai pejabat umum (private
notary) yang ditugaskan oleh kekuasaan umum
untuk melayani kebutuhan masyarakat akan alat
bukti otentik yang memberikan kepastian
hubungan hukum keperdataan.

• Jadi, sepanjang alat bukti otentik tetap


diperlukan oleh sistem hukum negara maka
jabatan notaris akan tetap diperlukan
eksistensinya di tengah masyarakat.
GAMBARAN UMUM DAN
PERILAKU NOTARIS DALAM
MELAKSANAKAN JABATANNYA
GAMBARAN UMUM TENTANG NOTARIS

• Notaris adalah pejabat umum yang diberi


kewenangan untuk membuat akta otentik dan
kewenangan lainnya.

• Notaris diangkat oleh pemerintah. Oleh karena


itu Notaris adalah jabatan kepercayaan dan
karenanya Notaris harus berperilaku jujur,
amanah, bertanggungjawab dan tidak memihak.
• Notaris bergerak di bidang hukum privat atau
hukum keperdataan.

• Mengatur hubungan hukum dalam


masyarakat antara orang dengan orang lain,
maupun antara orang dengan badan hukum
atau sebaliknya.
PERILAKU NOTARIS DALAM MELAKSANAKAN
JABATANNYA

• Perilaku Notaris diatur dalam Kode Etik Notaris.

• Kode Etik Notaris ditetapkan di dalam Kongres


Ikatan Notaris Indonesia.
• Kode Etik Notaris dirumuskan sebagai keseluruhan
kaidah moral yang ditentukan oleh perkumpulan
Ikatan Notaris Indonesia (I.N.I) yang selanjutnya
disebut “Perkumpulan” berdasarkan Kongres
Perkumpulan dan/atau yang ditentukan oleh dan
diatur dalam peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang itu.

• Kode Etik berlaku dan diberlakukan bagi setiap dan


semua anggota Perkumpulan dan wajib ditaati
dalam menjalankan tugas jabatan sebagai Notaris,
termasuk di dalamnya para Pejabat Sementara
Notaris, Notaris Pengganti dan Notaris Pengganti
Khusus.
Disamping kode etik, setiap Notaris sebagai
anggota Perkumpulan juga terikat pada disiplin
organisasi, yaitu kepatuhan anggota
Perkumpulan dalam rangka memenuhi
kewajiban-kewajiban terutama kepatuhan
terhadap Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah
Tangga serta kepatuhan tertib administrasi
(pendaftaran keanggotaan, perpindahan wilayah
jabatan, dll), pembayaran iuran anggota yang
telah diatur oleh Perkumpulan.
KELAHIRAN NOTARIS LATIN DAN
ANGLO SAXON
• Ada dua mazab notaris dunia yakni Notaris Latin
dan notaris Anglo Saxon. Notaris Anglo Saxon
hakikatnya adalah pejabat hukum umum yang
profesional (private legal professional), seperti
pengacara, yang juga mempersiapkan dokumen
atas nama para pihak dan memastikan dokumen
telah sesuai undang-undang dan peraturan yang
berlaku.

• The Latin notary is an legal professional like an


attorney who alsa prepares documents on behalh
of both sides in a transaction and ensures that
these documents meet the legal requirements of
the appropriate jurisdiction. (Thaw, 2007).
Sedangkan notaris Anglo Saxon bukanlah
seorang pejabat legal profesional melainkan
dipilih dari warga masyarakat yang
mempunyai integritas dan moral yang tinggi.
An American notary public is a’citizen of high
moral character and integrity’, who is legally
empowered to witness and certify the validity
of documents and take attestations and
depositions He is not a person who practises
law (St-Aubin, 2000).
Notaris Anglo Saxon diadopsi oleh negara yang
menganut sistem Hukum Sipil (Civil Law
System), sedangkan Notaris Anglo Saxon
diadopsi oleh negara yang menganut sistem
Hukum Kasus (Common Law System), Hukum
Sipil mengacu pada hukum Romawi (Italia
Utara) yang meletakkan segala sesuatunya pada
perundang-undangan.
Sementara Hukum Kasus berasal dari Inggris
dan mengemuka pada abad pertengahan
dimana hukum dikembangkan dari penilaian
umum (judment). Jurisprudence menjadi bagian
yang maha penting dari sistem Hukum Kasus.
• Negara yang menganut sistem Notaris Anglo
Saxon diantaranya negara-negara benua Eropa
(Italia, Perancis, Spanyol, Belanda, Belgia,
Portugal), kecuali beberapa negara Scandinavia,
Negara Asia, Afrika, Amerika Latin, Quebec dan
Negara Bagian Louisina di Amerika Serikat.

• Sedangkan negara yang menganut notaris Anglo


Saxon adalah Amerika Serikat, kecuali Lousiana,
Inggris dan sebagian negara di Scandinavia, serta
negara jajahan Inggris di Asia dan Afrika seperti
Singapura, Malaysia, Filipina, Australia.
• Indonesia menganut mazab Notaris Latin, bukan
Notaris Anglo Saxon. Notaris di Indonesia
memberikan legal advice kepada par apihak,
sepanjanag tidak bertentangan dengan undang-
undang yang berlaku, ketertiban, dan kesusilaan.

• Tidak seperti notaris di Amerika Serikat yang hanya


bertanggung jawab terhadap akurasi dan legalitas isi
perjanjian akta.

• Oleh karenanya, akta yang dihasilkan Notaris Latin


sangat diperhitungkan oleh pengadilan karena
merupakan bukti otentik, sebaliknya akta yang
dihasilkan Notaris Anglo Saxon tidak diperhitungkan
sebagai alat bukti oleh pengadilan.
Notaris Anglo Saxon melaksanakan tugas
sederhana bersifat paralegal, seperi
mengesahkan tanda tangan atau menyusun surat
kuasa.
• Pemahaman sederhana ini harus diketahui para
notaris Indonesia dan stakeholdernya---polisi,
jaksa, hakim, menteri kehakiman, pebisnis, dan
masyarakat umum.

• Karena jika tidak maka akan terjadi kerancuan


“aturan main” yang berpotensi menurunkan
kualitas sistem Hukum Perdata di Indonesia.
Sudah jamak dalam praktik, Indonesia banyak
mengadopsi pemikiran dan budaya Barat
(Amerika Serikat), padahal Amerika Serikat
mengadopsi sistem Notaris Anglo Saxon yang
berbeda dengan Mazab Notaris Latin.
Konsep dan praktik dalam sistem Kenotariatan
Latin tidak bisa dicampurkan engan konsep dan
praktik sistem Kenotariatan Anglo Saxon yang
secara filosofi sangatlah berbeda.
Lembaga Notariat

Timbulnya Lembaga Notariat

Lembaga Notariat adalah suatu Lembaga Kemasyarakatan.

Pada tahun 1888 telah diadakan peringatan 8 abad berdirinya Sekolah Hukum di
Universitas Bologna oleh Irnerius dengan dipersembahkannya buku “Formularium
Tabellionum” dari Irnerius sendiri.

Dapat disimpulkan bahwa Lembaga Notariat sudah ada pada tahun 1088 dengan
diperingatinya 8 abad berdirinya Sekolah Hukum di Universitas Bologna yang merupakan
lembaga tertua.
100 tahun kemudian, Rantero di Perugia mempersembahkan pula karyanya yang berjudul
“SUMMA ARTIS NOTARIAE”.

Pada akhir abad ke-13 muncul karya yang paling termasyhur berjudul “SUMMA ARTIS
NOTARIAE” dari Rolandinus Passegeri.
Kemudian buku-buku lainnya yang ditulis oleh Rolandinus Passegeri terutama di bidang
notariat, yaitu “FLOS TENTAMENTORIUM”.
Summa-summanya dipakai sampai dengan abad ke-17 bahkan dipertahankan sampai dengan
abad ke-19.

Summa-summa tersebut memuat bab-bab tentang Kenotariatan, khususnya mengenai sejarah


kenotariatan, tugas dari Notaris, syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh Notaris, bentuk-
bentuk akta Notaris, dan apa yang harus dimuat dalam akta Notaris, seperti hari, tanggal,
bulan, dan tahun, serta nama dari para saksi, salinan akta, kewajiban merahasiakan akta,
protokol, dan esensialia-esensialia lain yang berhubungan dengan Notaris.
Lalu setelah itu barulah mengatur tentang keperdataan yang dibagi dalam 3 pokok,
yaitu:
1. Hukum Perjanjian;
2. Hukum Waris; dan
3. Hukum Acara Perdata.
Perkembangan Notaris di Italia Utara

Lembaga Notariat pertama kali timbul di Italia Utara pada abad ke-11 (sebelas) atau
abad ke-12 (dua belas).

Kebutuhan akan alat bukti timbul dikarenakan Italia Utara merupakan pusat
perdagangan.
Terdapat kelompok-kelompok orang yang melakukan suatu bentuk pekerjaan tulis-
menulis tertentu, yang kemudian berkembang dengan sebutan:

Notarius

Notarii

Tabeliones

Tabularii

Collegium
Notarius
Sebutan Notarius diambil dari nama kelompok-kelompok orang yang melakukan suatu bentuk
pekerjaan tulis-menulis tertentu. Kelompok-Kelompok orang tersebut dinamakan Notarius yang
berasal dari salah satu nama pengabdi dari pekerjaan tersebut.

Notarii
Notarii adalah orang-orang yang memiliki keahlian untuk mempergunakan suatu bentuk tulisan
cepat di dalam menjalankan pekerjaan mereka, yang pada hakikatnya mereka itu dapat disamakan
dengan yang dikenal sekarang ini sebagai Stenografen. Para Notarii mula-mula sekali
memperoleh namanya tersebut dari perkataan Nota Literaria, yaitu teknik tulis-menulis cepat
dengan tanda tulisan (Character) yang mereka pergunakan untuk menuliskan atau
menggambarkan perkataan-perkataan atau singkatan-singkatan.
• Nama Notarii pertama kali diberikan kepada orang yang mencatat/menulis pidato Cato dalam
senaar Romawi.
• Nama Notarii juga diberikan kepada pejabat-pejabat istana yang melakukan pekerjaan
kanselarij Kaisar yang merupakan pekerjaan administratif.
Tabeliones
Para Tabeliones ini adalah kelompok orang-orang yang mempunyai keahlian tulis-
menulis tertentu untuk membuat alat bukti yang ditugaskan oleh Undang-Undang
berupa akta-akta atau surat-surat lain untuk kepentingan masyarakat umum. Tetapi
tidak diangkat oleh penguasa umum. Contoh: Zaakwaarnemer dan Makelar.

Tabularii
Tabularii adalah pegawai negeri yang bertugas untuk mengadakan dan memelihara
pembukuan keuangan kota-kota, serta ditugaskan untuk melakukan pengawasan
arsip dari magistrat kota-kota di bawah ressort mana mereka berada.
• Pada zaman pemerintahan Justianus (527-565), bersamaan dengan timbulnya
kelompok Tabularii, keberadaan kelompok Tabeliones masih tetap dikenal dalam
masyarakat.
Collegium
Kelompok Tabularii dan kelompok Tabeliones pada waktu yang bersamaan memberikan jasa yang
sama kepada masyarakat. Oleh karenanya, masyarakat lebih menggunakan jasa Tabularii,
sehingga untuk memenuhi kebutuhan Tabularii, maka pemerintah pada saat itu mengangkat
Tabellionaat yang disebut Notarii. Oleh karena itu, para Tabellionaat itu menjadilah namanya
Notarii.
- Para Tabellionaat yang tidak diangkat merasa tersingkirkan, sehingga mereka juga menyebut
diri mereka Notarii.
- Maka lambat laun Tabellionaat dan Notariat (Golongan para Notaris yang diangkat) bergabung
dan menyatukan diri dalam suatu badan yang dinamakan Collegium. Collegium inilah yang
menjadi cikal bakal timbulnya Notaris pada saat ini. Para Notarius yang tergabung dalam
Collegium ini dapat dipandang sebagai para pejabat yang satu-satunya berwenang untuk
membuat akta-akta, baik di dalam maupun di luar Pengadilan (Gerechtelijke dan
Buitengerechtelijke Akten).
Semua akta-akta dan surat-surat yang dibuat oleh kelompok orang-orang yang mempunyai
keahlian tulis-menulis dalam bentuk tertentu (Notarius, Notarii, Tabeliones, Tabularii, dan
Collegium) tersebut di atas belum mempunyai kekuatan pembuktian yang autentik serta tidak
mempunyai kekuatan eksekutorial seperti akta-akta yang dibuat oleh Notaris saat ini, akan tetapi
masih merupakan alat bukti yang mempunyai kekuatan pembuktian di bawah tangan yang masih
memerlukan alat bukti lain.

Pengertian tentang Notaris yang berasal dari 5 (lima) kelompok tersebut di atas yang timbul dan
berkembang di Italia Utara ini dinamakan dengan Latijnse Notariaat. Sistem Latijnse Notariaat
ini mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1. Diangkat oleh penguasa umum;
2. Untuk kepentingan masyarakat umum; dan
3. Menerima uang jasanya (honorarium) dari masyarakat umum.
Notaris yang berasal dari Italia Utara berkembang ke daratan Eropa melalui Spanyol,
sampai ke Amerika Tengah dan Amerika Selatan, kecuali Inggris dan sebagian
Skandinavia. Notaris yang berasal dari Italia Utara ini dinamakan Latijnse Notariaat yang
termasuk dalam sistem hukum Civil Law, sedangkan Notaris yang ada di Inggris dan
Skandinavia termasuk dalam sistem hukum Common Law.
Perkembangan Notaris di Perancis

Pada abad ke-13 (tiga belas) Lembaga Notariat di Italia Utara berkembang di Perancis.
Pada zaman itu, Raja Lodewijk de Heilige sebagai ahli ketatanegaraan Perancis banyak
berjasa dalam pembuatan perundang-undangan, termasuk Undang-Undang di bidang
Kenotariatan.

Pada tanggal 6 Oktober 1791 diundangkanlah Undang-Undang di bidang Kenotariatan


untuk pertama kalinya di Perancis.

Setelah diundangkan dan berlakunya Undang-Undang di bidang Kenotariatan tersebut,


maka berakhirlah perbedaan-perbedaan yang terdapat sebelumnya mengenai berbagai
macam bentuk Notaris. Sejak saat itu di Perancis hanya dikenal satu macam Notaris.
Pada tanggal 16 Maret 1803, Undang-Undang di bidang Kenotariatan tersebut diubah
dengan Undang-Undang 25 Ventose an XI (Ventosewet).

Berdasarkan Ventosewet tersebut, maka terjadilah “Pelembagaan”, maka sejak saat itu
Notaris merupakan seorang Pejabat Umum (Ambtenaar) dan akta-akta yang dibuat oleh
para Notaris tersebut adalah akta autentik yang mempunyai kekuatan pembuktian yang
sempurna.

Berdasarkan Ventosewet tersebut Notaris dijadikan Pejabat Umum (Ambtenaar) dan


berada di bawah pengawasan Chambre des Notaires yang merupakan suatu badan khusus.
Ventosewet memuat ketentuan persyaratan untuk dapat diangkat menjadi Notaris, yaitu
sebagai berikut:
1. Harus mengikuti ujian negara terlebih dahulu;
2. Harus mengikuti magang selama 6 tahun dan mendapatkan sertifikat yang dinamakan
Certificate de Moralite et de Capacite (Keterangan Berkelakuan Baik dan Memiliki
Kecakapan);
3. Harus diangkat oleh Negara.
Masa Kemerosotan di Bidang Notariat

Pada akhir abad ke-14 (empat belas) setelah puncaknya, Lembaga Notariat ini mulai
menurun eksistensinya. Pada saat itu terjadi kemerosotan di bidang Notariat. Hal ini
dikarenakan tindakan penguasa pada waktu itu kekurangan uang dan akhirnya
menjual jabatan-jabatan Notaris kepada orang-orang yang tidak mempunyai
keahlian di bidang Notariat.

Dengan keberadaan Notarii yang berasal dari Tabellionaat yang diangkat oleh
pemerintah kala itu, maka terdapat para Notarii yang tidak berkualitas, sehingga di
masyarakat timbullah sebutan bahwa “Kebodohan dari para Notaris adalah Roti
Bagi Pengacara (Ognorantia Notariorum, Panis Advocatorum)” dan “Dunia akan
mengalami kehancurannya karena kebodohan para Notaris (Stultitia Notariorum
Mundus Perit).”
Perkembangan Notaris di Belanda

Di Belanda juga terdapat kelompok-kelompok orang yang mempunyai suatu bentuk pekerjaan tulis-
menulis tertentu.

Pada saat itu Belanda merupakan negeri jajahan Perancis, maka dengan adanya Ventosewet ketentuan-
ketentuan yang ada di Perancis berlaku pula di Belanda. Dengan demikian, maka kelompok-kelompok
tersebut sudah tidak ada dan hanya ada satu bentuk pekerjaan tulis-menulis tertentu yang disebut Notaris.

Masuknya Lembaga Notariat ke Belanda melalui 2 (dua) Dekrit Kaisar, yaitu:


1. Dekrit Pertama pada tanggal 8 November 1810; dan
2. Dekrit Kedua pada tanggal 1 Maret 1811.
Ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Ventosewet tersebut berlaku terus-menerus di negeri
Belanda sampai dengan lepasnya Belanda dari jajahan Perancis pada tahun 1813.

Pada tanggal 9 Juli 1842 dikeluarkanlah suatu Undang-Undang Nederland Staatsblad Nomor 20
tentang Jabatan Notaris (De Notariswet).
Perbedaan-perbedaan antara Ventosewet dan De Notariswet dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Ventosewet De Notariswet
Ada 3 golongan Notaris, yaitu: Hanya mengenal satu macam Notaris dan
1. Hofnotarissen mempunyai tempat kedudukan dan menjalankan tiap-tiap Notaris dengan tidak mengadakan
jabatannya di seluruh daerah hukum dari Gerechtshof; pembedaan, berwenang untuk menjalankan
2. Arrodissementsnotarissen mempunyai tempat kedudukan dan tugas jabatannya di seluruh daerah hukum
menjalankan jabatannya di seluruh daerah hukum dari dari Rechtbank, di dalam daerah hukum
Rechtbank; dan mana Notaris itu bertempat kedudukan.
3. Kantonnotarissen mempunyai tempat kedudukan dan
menjalankan jabatannya di seluruh daerah hukum dari
Kantongerecht.
Chambres des Notaires mempunyai tugas rangkap, yaitu melakukan Di Belanda tidak ada lembaga pengawasan
pengawasan terhadap para Notaris dan menguji para Notaris. Oleh tersendiri seperti di Perancis, tetapi
karena badan ini menurut penilaian dari pembuat Undang-Undang pengawasan terhadap Notaris diserahkan
tahun 1842 di dalam menjalankan tugasnya tidak mencapai kepada Pengadilan.
tujuannya, maka badan ini dihapuskan dan pengawasan terhadap
para Notaris diserahkan kepada badan-badan peradilan, sedang
tugas untuk mengadakan ujian para Notaris mula-mula dipercayakan
kepada Gerechtshoven dan kemudia dalam tahun 1878 dijadikan
Ujian Negara.
Ventosewet De Notariswet
Para calon Notaris harus menjalani masa magang (Werkstage) selama Para calon Notaris harus sudah
6 tahun dan penyerahan suatu sertifikat yang dinamakan Certificate pernah bekerja (tidak terputus-
de Moralite et de Capacite (Keterangan berkelakuan baik dan putus) pada salah satu kantor
memiliki kecakapan) dari calon pelamar yang diberikan oleh Notaris selama sekurang-
Chambre de Discipline dari daerah hukum kamar, dimana calon kurangnya 3 tahun.
Notaris itu hendak menjalankan tugas jabatannya.
Pada tahun 1842 masa magang (Werkstage) ini dihapuskan
berdasarkan pertimbangan yang semata-mata bersifat teoritis dan
tidak tepat, bahwa tidak masalah darimana seseorang mendapatkan
keahliannya itu, asalkan dia memilikinya dan lagi pula suatu jangka
waktu tertentu mungkin bagi seseorang adalah terlalu pendek,
sedangkan bagi yang lain terlalu lama, sehingga sebagai penggantinya
diadakan Ujian Negara.
Akta Notaris hanya dapat dibuat di hadapan 2 Notaris tanpa saksi- Akta Notaris dibuat di hadapan
saksi atau di hadapan seorang Notaris dengan 2 orang saksi. seorang Notaris dan 2 orang saksi,
kecuali untuk pembuatan akta
superskripsi dari surat wasiat
rahasia harus dengan 4 orang saksi.
I. KELAHIRAN NOTARIS LATIN DAN
ANGLO SAXON
• Ada dua mazab notaris dunia yakni Notaris Latin
dan notaris Anglo Saxon. Notaris Anglo Saxon
hakikatnya adalah pejabat hukum umum yang
profesional (private legal professional), seperti
pengacara, yang juga mempersiapkan dokumen
atas nama para pihak dan memastikan dokumen
telah sesuai undang-undang dan peraturan yang
berlaku.

• The Latin notary is an legal professional like an


attorney who alsa prepares documents on behalh
of both sides in a transaction and ensures that
these documents meet the legal requirements of
the appropriate jurisdiction. (Thaw, 2007).
Sedangkan notaris Anglo Saxon bukanlah
seorang pejabat legal profesional melainkan
dipilih dari warga masyarakat yang
mempunyai integritas dan moral yang tinggi.
An American notary public is a’citizen of high
moral character and integrity’, who is legally
empowered to witness and certify the validity
of documents and take attestations and
depositions He is not a person who practises
law (St-Aubin, 2000).
Notaris Anglo Saxon diadopsi oleh negara yang
menganut sistem Hukum Sipil (Civil Law
System), sedangkan Notaris Anglo Saxon
diadopsi oleh negara yang menganut sistem
Hukum Kasus (Common Law System), Hukum
Sipil mengacu pada hukum Romawi (Italia
Utara) yang meletakkan segala sesuatunya pada
perundang-undangan.
Sementara Hukum Kasus berasal dari Inggris
dan mengemuka pada abad pertengahan
dimana hukum dikembangkan dari penilaian
umum (judment). Jurisprudence menjadi bagian
yang maha penting dari sistem Hukum Kasus.
• Negara yang menganut sistem Notaris Anglo
Saxon diantaranya negara-negara benua Eropa
(Italia, Perancis, Spanyol, Belanda, Belgia,
Portugal), kecuali beberapa negara Scandinavia,
Negara Asia, Afrika, Amerika Latin, Quebec dan
Negara Bagian Louisina di Amerika Serikat.

• Sedangkan negara yang menganut notaris Anglo


Saxon adalah Amerika Serikat, kecuali Lousiana,
Inggris dan sebagian negara di Scandinavia, serta
negara jajahan Inggris di Asia dan Afrika seperti
Singapura, Malaysia, Filipina, Australia.
• Indonesia menganut mazab Notaris Latin, bukan
Notaris Anglo Saxon. Notaris di Indonesia
memberikan legal advice kepada par apihak,
sepanjanag tidak bertentangan dengan undang-
undang yang berlaku, ketertiban, dan kesusilaan.

• Tidak seperti notaris di Amerika Serikat yang hanya


bertanggung jawab terhadap akurasi dan legalitas isi
perjanjian akta.

• Oleh karenanya, akta yang dihasilkan Notaris Latin


sangat diperhitungkan oleh pengadilan karena
merupakan bukti otentik, sebaliknya akta yang
dihasilkan Notaris Anglo Saxon tidak diperhitungkan
sebagai alat bukti oleh pengadilan.
Notaris Anglo Saxon melaksanakan tugas
sederhana bersifat paralegal, seperi
mengesahkan tanda tangan atau menyusun surat
kuasa.
• Pemahaman sederhana ini harus diketahui para
notaris Indonesia dan stakeholdernya---polisi,
jaksa, hakim, menteri kehakiman, pebisnis, dan
masyarakat umum.

• Karena jika tidak maka akan terjadi kerancuan


“aturan main” yang berpotensi menurunkan
kualitas sistem Hukum Perdata di Indonesia.
Sudah jamak dalam praktik, Indonesia banyak
mengadopsi pemikiran dan budaya Barat
(Amerika Serikat), padahal Amerika Serikat
mengadopsi sistem Notaris Anglo Saxon yang
berbeda dengan Mazab Notaris Latin.
Konsep dan praktik dalam sistem Kenotariatan
Latin tidak bisa dicampurkan engan konsep dan
praktik sistem Kenotariatan Anglo Saxon yang
secara filosofi sangatlah berbeda.
II. NOTARIS LATIN DI
ITALIA DAN PERANCIS
• Notaris Latin berkembang awalnya di Italia
Utara antara tahun 11 dan 12 setelah Masehi.

• Hal ini terlihat dari diangkatnya notaris oleh


penguasa umum untuk kepentingan masyarakat
dan menerima honorarium sebagai
kontraprestasi atas pelayanan yang telah
diberikan.
• Kata honorarium ini berasal dari kata “honor” yang
berarti kehormatan-kebanggaan.

• Kata honor juga merepresentasi kedudukan notaris


yang setingkat dengan para pihak (pelanggan).

• Para pihak datang kepada notaris untuk meminta


saran hukum (legal advice) untuk memastikan
bahwa perjanjian yang dibuat tidak merugikan salah
satu pihak. Notaris Latin akan mengecek kebenaran
verbal dari penyataan yang dibuat dalam perjanjian
dan dokumen-dokumen yang diikutsertakan.
• Mazab Notaris Latin menyebar seiring dengan
penyebaran peradaban, yakni: mulai dari Italia,
Perancis dan Spanyol sebelum akhirnya
menyebar ke dataran Amerika Tengah dan
Amerika Selatan. Hanya Inggris dan beberapa
negara dalam kawasan Skandinavia yang tidak
menerima Mazab Notaris Latin karena
perbedaan sistem hukumnya.
• Ilmu notaris mengalami masa keemasan di
Perancis pada abad ke-13.

• Raja Lodewijk de Heilege merupakan tokoh


ketatanegaraan Perancis yang dianggap berjasa
dalam mengembangkan konsep kenotariatan
dengan membuat undang-undang khusus
mengenai kenotariatan.

• Undang-undang inilah yang kemudian menjadi


acuan bagi undang-undang setelahnya.
• Pada tanggal 6 Oktober 1791 lahir undang-undang
kenotariatan di Perancis yang menghapus
perbedaan di dunia kenotariatan (scribae,
tabelliouse, tabularii) menjadi hanya satu jenis yang
disebut notaris.

• Undang-undang tersebut juga menghapuskan


ketentuan bahwa jabatan notaris dapat dijual dan
diwariskan.

• Undang-undang tersebut kemudian diganti dengan


undang-undang dari 25 Ventose an XI (16 Maret
1803) yang menjadi notaris ambtenaar dan berada
di bawah pengawasan Chambre Des Notaries.
• Peristiwa inilah yang menjadi momentum
kelembagaan notaris di dunia.

• Kelembagaan ini berfungsi untuk memberikan


jaminan yang lebih baik bagi kepentingan
masyarakat.

• Wewenang besar yang diberikan penguasa/negara


kepada para notaris hanya bertujuan untuk satu hal,
yakni: agar notaris dapat melakukan tugasnya
dengan sebaik-baiknya hanya untuk kepentingan
umum, bukan untuk kepentingan sendiri.
• Penghayatan yang mendalam akan peran besarnya di
dalam kehidupan masyarakat menjadikan beberapa
notaris berhasil menempati posisi terhormat di
masyarakat dan menduduki posisi penting di
pemerintahan.

• Misalnya, seorang notaris bernama Rolandinus


Passegeri berhasil menjadi penguasa yang tidak
bermahkota di Bologna, Italia.

• Demikian pula seorang notaris bernama Coluccio


Salutato dari Florence dan Alberto Mussato dari Padua
yang selain sebagai notaris, mereka juga berhasil
menjadi penguasa di kota tempat tinggalnya.
• Sejarah emas notaris di Perancis bisa menjadi
motivasi kita untuk kembali ke khittoh seorang
notaris, yakni: sebagai pejabat umum yang
melayani masyarakat.

• Hanya dengan kembali ke nilai dasar inilah,


kehormatan profesi notaris akan terangkat
kembali sebagai profesi yang memberikan
kontribusi berupa kepastian hukum verbal bagi
masyarakat.
• Pada Abad Kegelapan (Dark Age, 500-1000 AD) di
mana penguasa tidak bisa memberikan jaminan
kepastian hukum, para notaris menjadi rujukan bagi
masyarakat yang bersengketa untuk meminta
kepastian hukum atas sebuah kasus.

• Meskipun keadannya sekarang berbeda dengan


Abad Kegelapan, namun yang patut kita tauladani
dari para notaris Eropa adalah semangat dan
dedikasinya dalam mengambil peran penting
sebagai hamba hukum dalam lalu lintas
memberikan kehidupan bermasyarakat yang lebih
baik.
Semangat inilah yang seyogyanya harus tetap
ada di setiap jiwa seorang notaris meskipun
godaan materialisme semakin menguat dan
terjadi di segenap penjuru tanah air.
III. NOTARIS DI
BELANDA DAN INDONESIA
• Belanda dijajah Perancis para periode tahun 1806
sampai 1813 oleh Raja Louis Napoleon. Otomatis
sebagai negara jajahan Perancis, Belanda mengadopsi
sistem kenotariatannya bergaya Latin yang dianut
Perancis.

• Melalui Dekrit Kaisar tertanggal 9 Nopember 1810 dan


tertanggal 1 Maret 1811 berlakulah undang-undang
kenotariatan Perancis di Belanda.

• Peraturan buatan Perancis ini (25 Ventose an XI (16


Maret 1803)) sekaligus menjadi peraturan umum
pertama yang mengatur kenotariatan di Belanda.
• Setelah Belanda lepas dari kekuasaan Perancis pada
tahun 1813, Peraturan buatan Perancis ini tetap
dipakai sampai tahun 1842, yakni: pada saat
Belanda mengeluarkan Undang-Undang tanggal 19
Juli 1842 (Ned. Stb no. 20) tentang Jabatan Notaris.

• Justru yang berlaku adalah peraturan lama yang


dipakai Belanda sebelum dijajah Perancis. Baru
pada tahun 1860, peraturan yang “senada” dengan
peraturan kenotariatan Belanda (Notariswet)
berlaku dengan dikeluarkannya Peraturan Jabatan
Notaris (PJN) pada 1 Juli 1860.
Jadi, apabila ditelusuri maka undang-undang
kenotariatan yang berlaku di Indonesia sekarang
dulunya berakar dari peraturan kenotariatan
Perancis yang berlaku di Belanda yang kemudian
disempurnakan. Peraturan Jabatan Notaris
adalah copie dari pasal-pasal dalam
(Notariswet) yang berlaku di negeri Belanda.
Keberadaan jabatan notaris pertama kali
tercatat pada tanggal 27 Agustus 1620 dengan
diangkatnya seorang Belanda bernama Melchior
Kerchem (Kerchem) menjadi notaris Jakarta
(dahulu Batavia). Kerchem ditugaskan untuk
kepentingan publik khususnya berkaitan dengan
pendaftaran semua dokumen dan akta yang
telah dibuatnya.
Awalnya, para notaris adalah pegawai VOC
(Vereenigde Oost-Indische Compagnie) sehingga
tidak memiliki kebebasan dalam menjalankan
tugasnya sebagai pejabat umum yang melayani
masyarakat. Baru sesudah tahun 1650 notaris
benar-benar diberikan kebebasan dalam
menjalankan tugasnya dan melarang para
prokureur mencampuri pekerjaan kenotariatan.
• Yang menarik dari jaman ini adalah adanya
kebijakan dari pemerintah Hindia Belanda yang
menetapkan formasi atau kuota notaris di setiap
daerah.

• Mula-mula notaris di Jakarta hanya Kerchem,


kemudian pada tahun 1650 ditambah menjadi dua
orang.

• Kemudian, ditambah lagi menjadi tiga orang pada


tahun 1654.
• Kemudian, ditambah lagi menjadi lima orang
pada tahun 1671 dengan ketentuan empat orang
harus bertempat tinggal di dalam kota dan satu
orang bertempat tinggal di luar kota.

• Tujuannya, agar masing-masing notaris bisa


mendapatkan penghasilan yang layak. Ini yang
patut kita renungkan hari ini apakah benar
kebijakan “persaingan bebas” yang berlaku di
dunia notaris Indonesia sekarang lebih baik
ataukan justru sebuah kemunduran pemikiran?
• Setelah Indonesia merdeka, pemerintah tidak
segera mengembangkan konsep peraturan baru.

• PJN yang berlaku sejak 1860 terus dipakai


sebagai satu-satunya undang-undang yang
mengatur kenotariatan di Indonesia sampai
tahun 2004.

• Padahal dari berbagai segi PJN sudah tidak


seesuai dengan perkembangan jaman.
• Oleh karena itu, sejak tahun 1970-an, INI
berusaha membangun undang-undang
kenotariatan yang baru dan bisa mengakomodasi
perkembangan lingkungan hukum dan bisnis di
Indonesia.

• Undang-undang induknya yakni (Notariswet)


sendiri telah mengalami beberapa kali
perubahan untuk menyesuaikan dengan
perkembangan hukum dan bisnis di negeri
Belanda, jadi perubahan PJN adalah sebuah hal
yang tidak bisa dihindarkan.
• Filosofi PJN jelas bukan berdasarkan Pancasila
dan UUD 1945 karena isinya sebagian besar
merupakan salinan dari UU Notaris di Belanda
(Notariswet).

• Atas dasar inilah INI tidak pernah surut berjuang


melahirkan UUJN sebagai produk hukum positif
asli Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan
UUD 1945.
• Kemerdekaan Indonesia telah mengakibatkan
relevansi kandungan material dan formal PJN
menjadi berkurang.

• Pada saat era kolonial Belanda menerapkan sistem


diskriminasi hukum, sementara Indonesia merdeka
menempatkan semua warga negara dalam posisi
yang sama di depan hukum.

• Ditinjau dari segi filosofi ini, PJN jelas tidak relevan


lagi, apalagi elemen praktis lain yang terkandung di
dalamnya.
• Di samping itu, selama kurun waktu 100 tahun lebih,
praktik Notaris telah berkembang jauh melebihi
dimensi yang diatur dalam PJN.

• Di samping itu, muncul kebutuhan untuk


menghimpun berbagai peraturan dan ketentuan
mengenai Notaris sebagai pelaksanaan PJN yang
berada diluar PJN yang merupakan unifikasi UU
Jabatan Notaris.

• Terakhir, sekaligus yang paling penting adalah telah


tiba saatnya Notaris mempunyai landasan kepastian,
ketertiban dan perlindungan hukum untuk
menjalankan profesinya melayani kebutuhan hukum
masyarakat.
INI khawatir jika kondisi ketidaksesuaian hukum
positif dengan dinamika masyarakat dibiarkan
berlarut-larut, maka tidak menutup
kemungkinan ada oknum yang tidak
bertanggungjawab “memanfaatkan” keadaan
tersebut yang membahayakan eksistensi Notaris
di Indonesia.
• Sebelum terbentuknya Volksraad pada tahun
1926 peraturan/reglement memiliki posisi
sebagai UU karena merupakan keputusan dari
Gubernur Jenderal.

• Tapi, setelah terbentuknya volksraad tersebut,


setiap UU (wet) disetujui bersama oleh Gubernur
Jenderal dan Volksraad, sedangkan reglement
adalah peraturan.
Sejak reformasi dapat dilihat dan dirasakan
betapa kuat pengaruh sistem hukum anglo saxon
terhadap mazab hukum latin sehingga jika
Notaris tidak segera memiliki payung hukum
positif, maka dikhawatirkan demand hukum
anglo saxon akan segera memasukin ranah
hukum kenotariatan Indonesia.
• Oleh karena itu, pengurus INI berusaha draft
UUJN dapat disegera diundangkan pada masa
sidang tahun 2003-2004, saat pemerintahan
Presiden Megawati sebelum beliau digantikan
dengan pemerintahan baru.

• Pada saat itu draft UUJN mendapat dukungan


penuh dari pemerintahan (Menteri Hukum dan
Perundang-undangan serta DPR).
• Jadi terlepas dari ketidaksempurnaan, lahirnya UUJN harus
kita syukuri sebagai perjuangan INI selama 30 tahun.

• Hal-hal yang belum sempurna dari UUJN masih terbuka


untuk diamandemen.

• Lahirnya UUJN memakan waktu 30 tahun lebih, salah


satunya karena ada sebagian kecil anggota INI yang tidak
mau mendengar masukan dari pihak lain.
SIMPULAN:

1. Jabatan Notaris lahir dari adanya kebutuhan


masyarakat sejak jaman Romawi Kuno, jaman
notaris Latin di Italia Utara, kemudian
berkembang di Perancis, Belanda dan akhirnya
ke Indonesia. Atas latar belakang inilah notaris
diangkat sebagai Pejabat umum yang bertugas
melayani masyarakat.
2. Notaris terbagi dalam berbagai subprofesi yakni
scribae, tabelliones, tabularii di mana ada yang
diangkat oleh pemerintah dan ada yang
mengangkat dirinya sendiri (swasta). Notaris yang
diangkat oleh pemerintah atau kerajaan inilah yang
disebut dengan pejabat umum notaris.

3. Di dunia ada dua mazab kenotariatan yakni Notaris


Latin dan Notaris Anglo Saxon. Notaris Latin adalah
satu-satunya pejabat negara yang berhak
mengeluarkan akta otentik. Sedangkan Notaris
Anglo Saxon adalah notaris yang hanya
mengeluarkan akta di bawah tangan yang tidak
bernilai di pengadilan.
4. Konsep pengembangan undang-undang dan
peraturan kenotariatan di sebuah negara harus
mengacu pada konsep besar mazab kenotariatan
ini karena masing-masing memiliki landasan
filosofi hukum yang berbeda.

5. Notaris Latin mengadopsi Hukum Sipil (Civil Law


System), sedangkan Notaris Anglo Saxon
mengadopsi Sistem Hukum Khusus (Common
Law System). Sehingga tidak bisa
dicampuradukkan.
6. Notaris Latin berkembang di Italia, kemudian
mencapai jaman keemasannya di Perancis. Dari
Perancis mazab Notaris Latin berkembang di
Belanda setelah Belanda jatuh ke tangan
Perancis. Barulah kemudian Mazab ini masuk ke
Indonesia pada masa penjajahan Belanda.

7. Pada Jaman Hindia Belanda diatur masalah


formasi atau kuota notaris di suatu wilayah
dengan tujuan agar para notaris bisa hidup layak.
8. PJN yang berlaku sejak tahun 1860 sampai 2004
sangat dipengaruhi oleh Peraturan Notaris di
Belanda (Notariswet) yang merupakan
pengembangan dari Peraturan Notaris di Perancis
(Ventosewet).

9. Pada Tahun 2004, INI berhasil mengembangkan


Undang-Undang kenotariatan baru yang lebih
mampu mengakomodasi dinamika lingkungan
hukum dan bisnis terkini. Undang-undang tersebut
adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.
Perkembangan Notaris di Indonesia
Pada Saat Penjajahan Belanda

Perkembangan Notariat dari Italia Utara masuk ke Indonesia berkembang ke daratan


Eropa melalui Spanyol, Perancis, dan Belanda.

Pada permulaan abad ke-17 Notaris berkembang di Indonesia dengan adanya


pedagang-pedagang Belanda yang datang ke Nusantara dengan memperdagangkan
rempah-rempah yang dibawa ke negeri Belanda dan mendirikan perusahaan yang
bernama Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) pada tahun 1602.

Usaha dagang ini berkembang menguasai Nusantara dengan membentuk pemerintahan


yang merupakan bagian dari Kerajaan Belanda Republik der Verenigde Nederlanden.
Pada tanggal 27 Agustus 1620, diangkatlah Notaris yang pertama di Indonesia bernama
Melchior Kerchem berkebangsaan Belanda yang merupakan Sekretaris dari College van
Schepenen di Jacatra. Pengangkatan Melchior Kerchem tersebut melalui Surat Keputusan
Gubernur Jenderal Jan Pieterz Coen sebagai wakil Ratu Belanda.

Surat Keputusan Pengangkatan sebagai Notaris tersebut memuat uraian singkat yang
merupakan suatu instruksi mengenai sumpah jabatan sebelum melaksanakan jabatan,
bidang pekerjaan, wewenang untuk menjalankan tugas jabatannya untuk kepentingan
publik, wajib mendaftarkan semua dokumen serta akta yang dibuatnya sesuai dengan
bunyi instruksi tersebut, dan kewajiban Notaris untuk menjalankan jabatannya secara
netral dan tidak memihak kepada siapapun (Sonder Respect off Aensien van Persoonen).

Pada kenyataannya Notaris dalam menjalankan jabatan pada masa itu tidak mempunyai
kebebasan yang murni (tidak independen) karena Notaris pada masa itu adalah Pegawai
dari VOC.
Tugas Notaris pada masa itu hanya melayani orang-orang/golongan-golongan yang tunduk
pada Hukum Perdata Barat, yaitu golongan Eropa, Cina, Timur Asing, dan golongan
Pribumi/Bumi Putera yang sudah menundukkan diri pada Hukum Perdata Barat, baik
secara formil maupun secara diam-diam.

Pada tanggal 16 Juni 1625, setelah jabatan Notaris Publik dipisahkan dari jabatan
Secretarius van de Gerechte dengan Surat Keputusan Gubernur Jendral tanggal 12
November 1625, maka dikeluarkanlah Instruksi Pertama yang memuat 10 Pasal bagi para
Notaris di Indonesia pada waktu itu yang berisikan Notaris harus terlebih dahulu diuji dan
diambil sumpahnya.

Pada tahun 1632 dikeluarkannya Plakkaat yang berisi ketentuan bahwa para Notaris,
Sekretaris, dan Pejabat lainnya dilarang untuk membuat akta-akta transport, jual beli, surat
wasiat, dan lain-lain akta jika tidak mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Gubernur
Jendral dan Raden van Indie dengan ancaman akan kehilangan jabatannya.
Pada tahun 1822 dikeluarkan Instruksi Kedua yang memuat 34 Pasal bagi para Notaris di Indonesia yang berisikan
resume dari peraturan-peraturan yang ada sebelumnya dan suatu bunga rampai dari plakkat-plakkat yang lama antara
lain dalam Pasal 1 nya memuat tugas dan batas-batas serta wewenang dari Notaris dan menyatakan Notaris adalah
Pegawai Umum yang harus mengetahui Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku, yang dipanggil dan diangkat
untuk membuat akta dengan maksud memberikan kekuatan pengesahan, menetapkan dan memastikan tanggal,
menyimpan asli/minuta, mengeluarkan grossenya dan salinannya yang benar.

Pada tanggal 26 Januari 1860 oleh Ratu Belanda Wilhelmina menganggap perlu untuk membuat suatu peraturan
sebagai dasar yuridis dan landasan pekerjaan Notaris di Indonesia. Setelah itu dikeluarkanlah Peraturan Jabatan
Notaris (Notaris Reglement) atau Staatsblad 1860 Nomor 3 (Stb. 1860 No. 3) yang berisi 66 Pasal dan mulai
berlaku pada tanggal 1 Juli 1860.

Bunyi dari Pasal 1 PJN (Stb. 1860 No. 3) memuat ketentuan tentang “Siapa yang dimaksud dengan Notaris dan
apa kewenangannya”.

Pasal 1 PJN (Stb. 1860 No. 3) merupakan copy dari Pasal 1 De Notariswet yang berlaku di Belanda, yang mana
Pasal 1 De Notariswet ini merupakan terjemahan yang kurang berhasil dari Pasal 1 Ventosewet yang berlaku di
Perancis.
Dikatakan kurang berhasil karena perkataan “Etablis” atau “Yang khusus ditunjuk
untuk itu” yang dipergunakan dalam Pasal 1 Ventosewet adalah lebih tepat, daripada
perkataan “Bevoegd” atau “Berwenang” yang dipergunakan dalam Pasal 1 PJN
(Stb. 1860 No. 3).

Notaris tidak hanya berwenang (Bevoegd) untuk membuat akta autentik dalam arti
“Verlijden”, bahwa suatu akta autentik:
1. Harus disusun;
2. Harus dibacakan; dan
3. Harus ditandatangani.
Akan tetapi juga berdasarkan ketentuan dalam Pasal 7 PJN (Stb. 1860 No. 3) wajib
untuk membuatnya, kecuali terdapat alasan yang mempunyai dasar untuk menolak
pembuatannya.
Keberadaan Notaris di Indoensia menurut Doktrin adalah untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat sebagaimana yang dimuat di dalam sejarah perkembangan Notaris, sedangkan
secara yuridis keberadaan Notaris di Indonesia adalah atas kehendak dari Pasal 1866,
1867, dan 1868 KUHPerdata.

Pasal 1866 KUHPerdata tentang alat-alat bukti terdiri atas:


a. Bukti tulisan;
b. Bukti dengan saksi-saksi;
c. Persangkaan-persangkaan;
d. Pengakuan; dan
e. Sumpah.

Pasal 1867 KUHPerdata, bukti tulisan terdiri dari:


a. Tulisan-tulisan autentik; dan
b. Tulisan-tulisan di bawah tangan.
Pasal 1868 KUHPerdata, syarat akta autentik itu adalah:
a. Dibuat dalam bentuk yang ditentukan Undang-Undang;
b. Oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu; dan
c. Di tempat akta itu dibuat.

Dalam Pasal 1868 KUHPerdata tidak ada penjelasan tentang mengenai siapa
itu Notaris secara terperinci. Oleh karena itu, untuk menjawab apa yang
dimaksud dalam Pasal 1868 KUHPerdata, maka jawaban itu dijawab dengan
dikeluarkannya Stb. 1860 No. 3. Sehingga dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa Stb. 1860 No. 3 tersebut merupakan peraturan pelaksana dari Pasal
1868 KUHPerdata.
Perkembangan Notaris di Indonesia
Pada Masa Kemerdekaan Indonesia

Pada tahun 1945 setelah Indonesia merdeka dan Belanda meninggalkan Indonesia, Peraturan
tentang Jabatan Notaris yang telah berlaku di Indonesia pada zaman penjajahan Belanda,
yaitu Stb. 1860 No. 3 diadakan perubahan dengan Staatsblad 1945 Nomor 94 yang mencabut
beberapa Pasal yang terdiri dari Pasal 2 ayat (3), Pasal 62, Pasal 62 a, dan Pasal 63.

Pada tanggal 20 November 1954 dikeluarkanlah Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1954


dengan Lembaran Negara Nomor 1954-101 Tentang Wakil Notaris dan Wakil Notaris
Sementara yang memuat 9 Pasal dengan tidak mengadakan pengaturan secara keseluruhan
mengenai pengaturan tentang Kenotariatan, diantaranya memuat ketentuan mengenai Ketua
Pengadilan Negeri dapat menunjuk seorang yang untuk sementara diwajibkan menjalankan
pekerjaan-pekerjaan Notaris, untuk ditunjuk sebagai Wakil Notaris (sementara) seorang tidak
perlu lulus dalam ujian, tapi sedapat mungkin ditunjuk seorang yang telah lulus dalam satu
atau dua bagian dari ujian yang dimaksud dalam Pasal 13 Reglemen.
Sejak berdirinya Universitas Indonesia suatu bagian pendidikan yang sudah sejak
semula berada di Fakultas Hukum Universitas Indonesia adalah pendidikan
Notariat (yang lebih dikenal dengan nama jurusan Notariat). Pendidikan ini telah
ada sejak penggabungan tahun 1950 (pada masa Universiteit van Indonesie
pendidikan ini dipimpin oleh Prof. Mr. Slamet, dan pada masa Universitas
Indonesia pimpinan awal dipegang oleh Prof. Mr. Tan Eng Kiam dan Prof. Mr.
R. Soedja).

Sejak tahun 1965 dengan dihapusnya ujian negara untuk tingkat I dan tingkat II
Program Pendidikan Notariat, maka pendidikan ini secara resmi bersifat
Universiter dan disebut sebagai jurusan Notariat pada Fakultas Hukum
Universitas Indonesia dengan lama pendidikan 2 tahun. Jurusan ini dikenal
sebagai Program Spesialis Notariat.
Pada tanggal 24 Juni 1999 dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah Nomor 60
Tahun 1999 Tentang Pendidikan Tinggi yang antara lain mengatur tentang
Program Pendidikan Akademik dan Program Pendidikan Profesional.

Sejak itu terjadilah perubahan di dalam bidang pendidikan Kenotariatan dari


Program Pendidikan Spesialis Notariat menjadi Program Magister
Kenotariatan.
Perkembangan Notaris di Indonesia Setelah
Berlakunya Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN)

Akhirnya pada tanggal 6 Oktober 2004 diundangkanlah Undang-Undang


Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (UUJN) yang terdiri dari 92
Pasal.

Salah satu alasan diterbitkan UUJN ini adalah karena Stb. 1860 No. 3 yang
mengatur mengenai jabatan Notaris yang berlaku di Indonesia sejak zaman
penjajahan Belanda tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum dan
kebutuhan masyarakat saat ini.
Pada tanggal 15 Januari 2014 diundangkanlah Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris sebagai perubahan atas Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (UUJN).

Terdiri dari 36 Pasal, penambahan 5 Pasal, serta penghapusan 3 Pasal dan 2


ayat, yaitu:
1. Perubahan 36 Pasal: Pasal 1, 3, 7, 9, 11, 15, 16, 17, 19, 20, 22, 32, 33, 35,
37, 38, 39, 40, 41, 43, 44, 48, 49, 50, 51, 54, 60, 63, 65, 66, 67, 69, 73, 81,
82, dan 88.
2. Penambahan 5 Pasal: 16A, 65A, 66A, 91A, dan 91B.
3. Penghapusan 3 Pasal dan 2 ayat: Pasal 34, Pasal 84, Pasal 85, Pasal 1 angka
(4), dan Pasal 20 ayat (3).
KEKUATAN PEMBUKTIAN
AKTA OTENTIK
KEKUATAN PEMBUKTIAN AKTA OTENTIK

Kekuatan pembuktian akta otentik adalah akibat


langsung yang merupakan keharusan dari
ketentuan perundang-undangan, bahwa harus
ada akta-akta otentik sebagai alat pembuktian
dan dari tugas yang dibebankan oleh UU kepada
pejabat-pejabat atau orang-orang tertentu.

Dalam pemberian tugas inilah terletak


pemberian tanda kepercayaan kepada para
pejabat itu dan pemberian kekuatan
pembuktian kepada akta-akta yang mereka
buat.
1.
Pada setiap akta otentik, dengan demikian juga pada
akta Notaris, dibedakan 3 kekuatan pembuktian, yaitu:

1. KEKUATAN PEMBUKTIAN LAHIRIAH;

2. KEKUATAN PEMBUKTIAN FORMAL;

3. KEKUATAN PEMBUKTIAN MATERIAL.

2.
1. KEKUATAN PEMBUKTIAN LAHIRIAH

Dengan kekuatan pembuktian lahiriah ini dimaksudkan kemampuan


dari akta itu sendiri untuk membuktikan dirinya sendiri sebagai akta
otentik.

Kemampuan ini tidak dapat diberikan kepada akta yang dibuat di


bawah tangan. Menurut Pasal 1875 KUHPerdata:
“Suatu tulisan di bawah tangan yang diakui oleh orang terhadap siapa
tulisan itu hendak dipakai, atau yang dengan cara menurut UU
dianggap sebagai diakui, memberikan terhadap orang-orang yang
menandatanganinya serta para ahli warisnya dan orang-orang yang
mendapat hak daripada mereka, bukti yang sempurna seperti suatu
akta otentik.”
3.
Lain halnya dengan akta otentik. Akta otentik
membuktikan sendiri keabsahannya atau seperti yang
lazim disebut dalam bahasa Latin:
“acta publica probant sese ipsa”

Apabila suatu akta kelihatannya sebagai akta otentik,


artinya menandakan dirinya dari luar, dari kata-katanya
sebagai yang berasal dari seorang pejabat umum, maka
akta itu terhadap setiap orang dianggap sebagai akta
otentik, sampai dapat dibuktikan bahwa akta itu adalah
tidak otentik (pembuktian sebaliknya).

4.
Sepanjang mengenai kekuatan pembuktian
lahiriah ini, yang merupakan pembuktian lengkap
(dengan tidak mengurangi pembuktian
sebaliknya), maka “akta partij” dan “akta relaas”
dalam hal ini adalah sama.

Sesuatu akta yang dari luar kelihatannya sebagai


akta otentik, berlaku sebagai akta otentik
terhadap setiap orang dan tanda tangan dari
pejabat ybs (Notaris) diterima sebagai sah.
5.
Pembuktian sebaliknya (dalam kekuatan pembuktian
lahiriah) artinya bukti bahwa tanda tangan tidak sah,
dimana hanya diperkenankan pembuktian dengan:
• Surat-surat;
• Saksi-saksi;
• Ahli-ahli.

Dalam pembuktian sebaliknya ini, yang menjadi


persoalan bukanlah isi dari akta ataupun wewenang
dari pejabat yang membuatnya, akan tetapi mengenai
tanda tangan dari pejabat ybs.

6.
Siapa yang tidak menggugat sahnya tanda tangan dari
pejabat itu, akan tetapi menggugat kompetensinya
(misalnya yang membuat itu bukan Notaris atau
membuat akta itu di luar wilayah jabatannya), bukan
menuduh akta itu palsu (tidak termasuk pembuktian
sebaliknya).

7.
Kekuatan pembuktian lahiriah ini tidak ada pada akta yang
dibuat di bawah tangan.

Sepanjang mengenai pembuktian, hal ini merupakan


satu-satunya perbedaan antara akta otentik dan akta yang
dibuat di bawah tangan

Kalaupun ada perbedaan-perbedaan lain yang membedakan


akta otentik dari akta yang dibuat di bawah tangan, seperti
misalnya memiliki kekuatan eksekutorial, keharusan berupa
akta otentik untuk beberapa perbuatan hukum tertentu dan
lain-lain perbedaan, semuanya itu tidak mempunyai
hubungan dengan hukum pembuktian.

8.
2. KEKUATAN PEMBUKTIAN FORMAL

Dengan kekuatan pembuktian formal ini oleh akta


otentik dibuktikan bahwa pejabat ybs telah
menyatakan dalam tulisan itu, sebagaimana yang
tercantum dalam akta itu dan selain dari itu
kebenaran dari apa yang diuraikan oleh pejabat dalam
akta itu sebagai yang dilakukan dan disaksikannya di
dalam menjalankan jabatannya.

9.
Dalam arti formal, sepanjang mengenai akta pejabat
(akta relaas), akta itu membuktikan kebenaran dari
apa yang disaksikan, yakni yang dilihat, didengar dan
juga dilakukan sendiri oleh Notaris sebagai pejabat
umum di dalam menjalankan jabatannya.

Pada akta yang dibuat di bawah tangan, kekuatan


pembuktian ini hanya meliputi kenyataan bahwa
keterangan itu diberikan, apabila tanda tangan itu
diakui oleh yang menandatanganinya atau dianggap
sebagai telah diakui sedemikian menurut hukum.
10.
Dalam arti formal, maka terjamin kebenaran/kepastian:
• tanggal dari akta itu;
• kebenaran tanda tangan yang terdapat dalam akta itu;
• identitas dari orang-orang yang hadir;
• demikian juga tempat dimana akta itu dibuat; dan
• sepanjang mengenai akta partij, bahwa para pihak telah
menerangkan seperti yang diuraikan dalam akta itu,
sedang kebenaran dari keterangan-keterangan itu sendiri
hanya diketahui oleh para pihak sendiri.

11.
Sepanjang mengenai kekuatan pembuktian formal ini
(juga dengan tidak mengurangi pembuktian
sebaliknya), maka akta partij dan akta relaas dalam
hal ini adalah sama, dengan pengertian bahwa
keterangan pejabat yang terdapat di dalam kedua
golongan akta itu ataupun keterangan dari para
pihak dalam akta, baik yang ada di dalam akta partij
maupun di dalam akta relaas, mempunyai kekuatan
pembuktian formal dan berlaku terhadap setiap
orang, yakni apa yang ada dan terdapat di atas tanda
tangan mereka.
12.
Siapa yang menyatakan bahwa akta itu memuat
keterangan yang kelihatannya tidak berasal dari Notaris,
berarti menuduh bahwa terjadi pemalsuan dalam materi
dari akta itu, misalnya adanya perkataan-perkataan yang
dihapus atau diganti dengan yang lain ataupun
ditambahkan.

Hal ini berarti menuduh keterangan dari pejabat itu palsu


dan untuk itu harus dibuktikan dengan:
• Surat-surat;
• Saksi-saksi;
• Ahli-ahli.
13.
Siapa menuduh bahwa akta itu memuat keterangan
yang tidak diberikannya, maka ada 2 kemungkinan:
1. Dapat langsung untuk tidak mengakui bahwa tanda
tangan yang terdapat di bagian bawah dari akta itu
adalah tanda tangannya; atau
2. Dapat mengatakan bahwa Notaris melakukan
kekhilafan/kesalahan yang mungkin tidak
disengaja, sehingga dalam hal ini tuduhan itu
bukan terhadap kekuatan pembuktian formal, akan
tetapi terhadap kekuatan pembuktian material dari
keterangan Notaris itu.
14.
3. KEKUATAN PEMBUKTIAN MATERIAL

Sepanjang yang menyangkut kekuatan pembuktian material


dari suatu akta otentik, terdapat perbedaan antara
keterangan dari Notaris yang dicantumkan dalam akta itu
dan keterangan dari para pihak yang tercantum di dalamnya.

Tidak hanya kenyataan bahwa adanya dinyatakan sesuatu


yang dibuktikan oleh akta itu, akan tetapi juga isi dari akta itu
dianggap dibuktikan oleh akta itu, akan tetapi juga isi dari
akta itu dianggap dibuktikan sebagai yang benar terhadap
setiap orang, yang menyuruh adakan/buatkan akta itu
sebagai tanda bukti terhadap dirinya atau yang dinamakan
“preuve preconstituee”, akta itu mempunyai kekuatan
pembuktian material.
15.
Kekuatan pembuktian inilah yang dimaksud dalam
Pasal-pasal 1870, 1871 dan 1875 KUHPerdata:
Antara para pihak ybs dan para ahli waris serta
penerima hak mereka, akta itu memberikan
pembuktian yang lengkap tentang kebenaran dari
apa yang tercantum dalam akta itu, dengan
pengecualian dari apa yang dicantumkan di
dalamnya sebagai hanya suatu pemberitahuan
belaka dan yang tidak mempunyai hubungan
langsung dengan yang menjadi pokok dalam akta itu.

16.
Dalam berbagai arrest dari H.R. (Hoge Raad) diakui
tentang kekuatan pembuktian material itu. Dalam
arrestnya tanggal 19 Desember 1921, H.R. memutuskan
dalam suatu perkara pemalsuan, bahwa akta Notaris
mengenai jual beli adalah untuk membuktikan dan
memang membuktikan tidak hanya bahwa para pihak
ada menerangkan sesuatu mengenai itu dihadapan
Notaris, akan tetapi juga membuktikan bahwa para
pihak telah mencapai persetujuan mengenai perjanjian
yang dimuat dalam akta itu, sehingga akta itu juga
adalah untuk membuktikan tentang harga penjualan
dan pembelian dan kebenaran dari apa yang
diterangkan oleh para pihak mengenai itu.
17.
Dalam perkara yang serupa itu juga, H.R.
memutuskan dalam arrestnya tanggal 26 November
1934 bahwa keterangan yang terdapat dalam akta
pendirian perseroan terbatas mengenai jumlah
modal yang telah disetor, merupakan kenyataan,
terhadap mana akta itu mempunyai kekuatan
pembuktian yang lengkap, terhadap mana akta
dapat dikatakan diperuntukkan untuk menyatakan
kebenaran dari kenyataan itu.

18.
Dalam akta, isi keterangan yang dimuat dalam akta
itu berlaku sebagai yang benar, isinya itu
mempunyai kepastian sebagai yang sebenarnya,
menjadi terbukti dengan sah di antara pihak dan
para ahli waris serta para penerima hak mereka,
dengan pengertian:
a. Bahwa akta itu apabila dipergunakan di muka
pengadilan, adalah cukup dan bahwa hakim tidak
diperkenankan untuk meminta tanda
pembuktian lainnya di samping itu;
b. Bahwa pembuktian sebaliknya senantiasa
diperkenankan dengan alat-alat pembuktian
biasa, yang diperbolehkan untuk itu menurut
UU.
Sebelumnya sudah dijelaskan bahwa suatu akta otentik
apabila dipergunakan di muka pengadilan adalah cukup dan
hakim tidak diperkenankan untuk meminta tanda pembuktian
lainnya disamping itu.

Walaupun pada umumnya dianut yang dinamakan “vrije


bewijstheorie” , yang berarti bahwa kesaksian para saksi
misalnya tidak mengikat hakim pada alat bukti itu, akan tetapi
lain halnya dengan akta otentik dimana UU mengikat hakim
pada alat bukti itu.

Sebab jika tidak demikian, apa gunanya UU menunjuk para


pejabat yang ditugaskan untuk membuat akta otentik sebagai
alat bukti, jika hakim begitu saja dapat
mengenyampingkannya.
20.
Menjadi pertanyaan apakah seorang Notaris dapat
dihukum apabila ia menyatakan dalam aktanya
keterangan dari para pihak, sedangkan ia
mengetahui bahwa keterangan yang mereka berikan
itu adalah tidak benar dan jika dapat dihukum,
dalam hal mana?

Untuk menjawab pertanyaan ini, yang mana


menurut yurisprudensi dan doktrin jawabannya
berbeda-beda, harus dihubungkan
dengan/diperhatikan ketentuan-ketentuan dalam
Pasal 263 dan 266 KUHPidana.
21.
Sebagai contoh pernah terjadi, bahwa dalam suatu akta
Notaris mengenai jual beli dari sebuah rumah disebutkan
harga penjualan yang lebih rendah dari harga yang
sebenarnya, yang telah disetujui oleh kedua belah pihak.

Apabila para pihak memberitahukan kepada Notaris harga


sebenarnya, untuk mana jual beli itu terjadi antara kedua
belah pihak, akan tetapi mereka meminta kepada Notaris
untuk mencantumkan di dalam akta suatu harga yang lebih
rendah, maka di dalam hal ini Notaris menyatakan dalam akta
itu (sekalipun atas permintaan para pihak) sesuatu yang lain
daripada apa yang diterangkan oleh para pihak dan dengan
demikian Notaris melakukan kesalahan berupa “intelectuele
valsheid in geschrifte” yang dimaksud dalam Pasal 263 dan
264 KUHPidana, yakni suatu perbuatan pemalsuan surat yang
dapat dihukum.
22.
Apakah Notaris terkena hukuman dari Pasal 263 dan
264 KUHPidana apabila para pihak memberitahukan
kepada Notaris bahwa jual beli itu memang
dilakukan dengan harga yang tidak dicantumkan
dalam akta itu, akan tetapi sekaligus menerangkan
secara formal bahwa jual beli itu dilangsungkan
dengan harga yang dicantumkan dalam akta itu,
yakni yang lebih rendah dari yang sebenarnya dan
meminta kepada Notaris membuatkan akta
mengenai keterangan mereka itu, juga apabila
Notaris dalam kasus tersebut mengetahui bukan dari
para pihak, akan tetapi dari pihak lain bahwa
keterangan formal dari para pihak mengenai harga
penjualan itu tidak sesuai dengan sebenarnya.
23.
Dalam hal tersebut, orang dapat mengemukakan
pendapat bahwa sulit untuk mengatakan adanya
pembuatan akta secara palsu oleh karena akta
Notaris hanya dimaksudkan untuk membuktikan
bahwa ada diberikan sesuatu keterangan dan
bukan juga dimaksudkan untuk membuktikan
kebenaran dari keterangan itu, dengan kata lain
akta itu dalam hal ini tidak dimaksudkan untuk
membuktikan sesuatu yang lain daripada
keterangan dari para pihak .

24.
Pendapat di atas berdasarkan apa yang telah
dijelaskan mengenai kekuatan pembuktian akta
Notaris, adalah tidak benar.

Akta tersebut yang menyatakan adanya jual beli,


tidak hanya dimaksudkan untuk membuktikan
adanya diberikan suatu keterangan oleh para pihak,
akan tetapi juga dimaksudkan sebagai bukti adanya
perjanjian jual beli dan mengenai harga penjualan
itu.
25.
Hanya sifat dari bukti itu yang berbeda. Dimana
kenyataan bahwa ada diberikan keterangan hanya
dapat dibantah dengan menuduh akta itu palsu,
keterangan yang diauthentisir itu memberikan bukti
bahwa ada dilangsungkan jual beli, sekalipun
bertentangan dengan yang sebenarnya, terhadap
kebenaran formal mana (tanpa menuduh akta itu
palsu) diperkenakan pembuktian sebaliknya dengan
segala alat-alat pembuktian yang diperkenankan
menurut UU.

26.
Protokol Notaris

Protokol Notaris terdiri atas:


a. Minuta Akta;
b. Buku Daftar Akta atau Repertorium;
c. Buku Daftar Akta di Bawah Tangan yang Penandatanganannya dilakukan di
hadapan Notaris atau Akta di Bawah Tangan yang Didaftar;
d. Buku Daftar Nama Penghadap atau Klapper;
e. Buku Daftar Protes;
f. Buku Daftar Wasiat;
g. Buku Daftar lain yang harus disimpan oleh Notaris berdasarkan ketentuan
Peraturan Perundang-Undangan.

Sebenarnya masih ada lagi 1 (satu) buah dokumen Notaris yang termasuk sebagai
Protokol Notaris, yaitu Copy Collationnee (Keterangan dari suatu surat di bawah
tangan)
Pengertian Akta

Akta adalah tulisan yang ditandatangani untuk dipergunakan sebagai alat bukti.

Tulisan adalah rangkaian huruf dan tanda baca yang mengandung arti yang menggambarkan buah pikiran
seseorang.

Akta dapat berupa:


1. Akta di bawah tangan; dan
2. Akta Autentik.

Akta di bawah tangan adalah Akta yang dibuat oleh yang berkepentingan tanpa melibatkan Pejabat yang
berwenang dan persyaratan-persyaratan lain yang diatur dalam Undang-Undang.

Akta autentik adalah akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan Undang-Undang, oleh atau di hadapan
Pejabat Umum yang berwenang untuk itu dan di tempat akta itu dibuat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal
1868 KUHPerdata.
Akta Notaris

Akta Notaris adalah akta autentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris.

Akta Notaris harus memenuhi syarat Verlijden, yaitu:


1. Harus disusun;
2. Harus dibacakan; dan
3. Harus ditandatangani.

Peresmian Akta

v Segera setelah akta dibacakan, akta tersebut ditandatangani oleh setiap penghadap, saksi-saksi,
dan Notaris, kecuali apabila ada penghadap yang tidak dapat membubuhkan tanda tangan
dengan menyebutkan alasannya, maka yang bersangkutan harus menggantikan tanda
tangannya dengan surrogaat.
v Alasan sebagaimana dimaksud tentang tidak bisa membubuhkan tanda tangan (surrogaat)
tersebut harus dinyatakan secara tegas pada akhir akta.
Hal-Hal Yang Harus Dilakukan Notaris
Setelah Peresmian Akta

v Notaris harus memberi nomor dan mengisi Buku Daftar Akta/Repertorium.


Kemudian menuliskannya pada Minuta Akta.
v Menyempurnakan Minuta Akta yang terdapat Renvoi (Perubahan dalam
pembacaan akta).
v Mengeluarkan Salinan Akta dan/atau Grosse Akta bila diminta atau Kutipan
Akta.
v Orang-orang yang mengeluarkan Salinan Akta selain daripada Notaris pembuat
akta itu sendiri juga Notaris Pengganti, Pejabat Sementara Notaris dan
Pemegang Protokol Notaris.
Minuta Akta

Minuta Akta adalah asli akta yang mencantumkan tanda tangan para penghadap, saksi, dan Notaris, yang disimpan sebagai
bagian dari Protokol Notaris.

Akta in Originali

Akta in originali adalah akta yang tidak dibuat dalam bentuk minuta karena asli akta yang memuat tanda tangan para
penghadap, saksi-saksi, dan Notaris, langsung diserahkan kepada pihak yang berkepentingan dan tidak merupakan bagian
dari Protokol Notaris.
Akta in originali meliputi:
a. Akta pembayaran uang sewa, bunga, dan pensiun;
b. Akta penawaran pembayaran tunai;
c. Akta protes terhadap tidak dibayarnya atau tidak diterimanya surat berharga;
d. Akta kuasa;
e. Akta keterangan kepemilikan; dan
f. Akta lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Akta in originali dapat dibuat lebih dari 1 (satu) rangkap, ditandatangani pada waktu, bentuk, dan isi yang sama, dengan
ketentuan pada setiap Akta tertulis kata-kata “BERLAKU SEBAGAI SATU DAN SATU BERLAKU UNTUK SEMUA".
Kekuatan Pembuktian Akta Autentik

Akta autentik merupakan akta yang mempunyai kekuatan pembuktian sempurna, baik di
muka Hakim maupun kepada pihak ketiga, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya oleh pihak
lawan yang berkepentingan dengan mengajukan bukti-bukti lain. Kekuatan pembuktian
sempurna ini meliputi:
1. Kekuatan Pembuktian Lahiriah (Uitwendige Bewijskracht);
2. Kekuatan Pembuktian Formal (Formele Bewijskracht); dan
3. Kekuatan Pembuktian Materil (Materiele Bewijskracht).

Apabila yang membuatnya Pejabat yang tidak cakap atau tidak berwenang atau bentuknya
cacat (Pasal 1869 KUHPerdata), maka:
a. Akta tersebut tidak sah atau tidak memenuhi syarat formil sebagai akta autentik. Oleh
karena itu, tidak dapat diberlakukan sebagai akta autentik; dan
b. Akta yang demikian mempunyai nilai kekuatan sebagai akta di bawah tangan, dengan
syarat akta tersebut harus ditandatangani oleh para pihak.
Bentuk Akta dan Tata Cara Pembuatan Akta serta Penulisan Akta

Notaris dalam membuat suatu akta harus sesuai dengan bentuk yang ditentukan oleh
Undang-Undang sebagaimana yang dimuat dalam Pasal 38 UUJN, yaitu:
1. Awal Akta atau Kepala Akta;
2. Badan Akta; dan
3. Akhir Akta atau Penutup Akta.

Awal Akta atau Kepala Akta memuat:


1. Judul Akta;
2. Nomor Akta;
3. Jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun; dan
4. Nama lengkap dan tempat kedudukan Notaris.
Badan Akta memuat:
1. Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, kewarganegaraan, pekerjaan, jabatan, kedudukan, tempat tinggal para
penghadap dan/atau orang yang mereka wakili;
2. Keterangan mengenai kedudukan bertindak penghadap;
3. Isi Akta yang merupakan kehendak dan keinginan dari pihak yang berkepentingan; dan
4. Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, serta pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap
saksi pengenal.

Akhir atau Penutup Akta memuat:


1. Uraian tentang pembacaan Akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf m atau Pasal 16 ayat (7);
2. Uraian tentang penandatanganan dan tempat penandatanganan atau penerjemahan Akta jika ada;
3. Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi
Akta; dan
4. Uraian tentang tidak adanya perubahan yang terjadi dalam pembuatan Akta atau uraian tentang adanya perubahan
yang dapat berupa penambahan, pencoretan, atau penggantian serta jumlah perubahannya.
5. Akta Notaris Pengganti dan Pejabat Sementara Notaris, selain memuat ketentuan sebagaimana dimaksud pada
Pasal 38 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), juga memuat nomor dan tanggal penetapan pengangkatan, serta pejabat
yang mengangkatnya.

Akta Notaris Pengganti dan Pejabat Sementara Notaris, selain memuat ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal
38 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), juga memuat nomor dan tanggal penetapan pengangkatan, serta pejabat yang
mengangkatnya.
Jenis Akta

Akta Notaris terdiri dari 2 (dua) jenis, yaitu:


1. Akta yang dibuat oleh Notaris dalam jabatannya disebut Akta Relaas atau Akta Pejabat.
2. Akta yang dibuat di hadapan Notaris disebut Akta Partij atau Akta Penghadap.

Perbedaan Akta Relaas (Akta Pejabat) dan Akta Partij (Akta Penghadap), yaitu:
Akta Relaas (Akta Pejabat) Akta Partij (Akta Penghadap)
Akta Relaas (Akta Pejabat) adalah Akta yang dibuat Akta Partij (Akta Penghadap) adalah Akta yang
oleh Notaris dalam jabatannya sebagai Pejabat Umum dibuat oleh Notaris berdasarkan keterangan
yang berisi keterangan dari Notaris mengenai semua penghadap yang menerangkan kehendak mereka
yang dilihat, didengar dan disaksikan oleh Notaris atas kepada Notaris. Dari keterangan tersebut,
permintaan yang berkepentingan. Notaris mengkonstantirnya, menyusun dan
Contoh: Berita Acara Rapat Umum Para Pemegang merumuskan redaksionalnya dalam Akta.
Saham dan Undian. Contoh: Akta Sewa-Menyewa, Perjanjian
Kerjasama, Pengakuan Hutang, dan lain
sebagainya.
Notaris harus bertanggung jawab atas relaas/keterangan yang Notaris menjamin dan bertanggung jawab mengenai
ditulis dalam akta tersebut. Notaris menjamin kebenaran isi kebenaran akta itu sesuai dengan apa yang diterangkan
akta dan bertanggung jawab atas apa yang diterangkannya di oleh penghadap kepada Notaris. Adapun kebenaran
dalam akta itu, karena dalam membuat Akta tersebut Notaris yang sebenarnya benar diluar yang diterangkan kepada
dalam jabatannya melihat, menyaksikan keadaan serta Notaris bukan tanggung jawab Notaris.
mendengar sendiri apa yang terjadi dan kemudian
diterangkannya dalam akta tersebut.
Akta Relaas (Akta Pejabat) tidak bisa digugat atau dituntut, Akta Partij (Akta Penghadap) bisa digugat atau
hanya dapat dinyatakan palsu. dituntut.
Akta Relaas (Akta Pejabat) boleh tidak disusun terlebih Akta Partij (Akta Penghadap) mutlak harus memenuhi
dahulu, tidak dibacakan di hadapan para penghadap dan tidak ketentuan syarat-syarat Verlijden (syarat-syarat
ditandatangani oleh para penghadap, dikarenakan Akta Relaas autentik suatu akta):
(Akta Pejabat) tersebut merupakan keterangan Notaris dalam a. Disusun;
jabatannya sebagai Pejabat Umum, atas apa yang dilihat, b. Dibacakan;
didengar dan disaksikan. Dalam hal ini, Akta tersebut cukup c. Ditandatangani penghadap atau para penghadap,
dibacakan oleh Notaris kepada saksi-saksi dan kemudian saksi-saksi dan Notaris/ Pejabat Sementara Notaris/
ditandatangani oleh saksi-saksi dan Notaris. Semuanya ini Notaris Pengganti segera setelah akta dibacakan.
harus dinyatakan pada akhir akta.
Misalnya: untuk suatu RUPS yang tidak dipersiapkan terlebih
dahulu, maka Notaris dapat merekam semua kejadian yang dia
lihat, dengar dan saksikan di dalam Rapat.
Rahasia Jabatan

v Notaris mempunyai rahasia jabatan sebagaimana yang dimuat di dalam Pasal 4 ayat (2) alinea 4, Pasal 16 ayat (1)
huruf f dan Pasal 54 UUJN.
v Notaris hanya dapat memberikan, memperlihatkan, atau memberitahukan isi Akta, Grosse Akta, Salinan Akta atau
Kutipan Akta, kepada orang yang berkepentingan langsung pada Akta, ahli waris, atau orang yang memperoleh
hak, kecuali ditentukan lain oleh Peraturan Perundang-Undangan.
v Notaris yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada pernyataan di atas dapat dikenai sanksi berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pemberhentian sementara;
c. pemberhentian dengan hormat; atau
d. pemberhentian dengan tidak hormat.

Hak Ingkar (Verschoningsrecht) Notaris

Pasal 1909 KUHPerdata mewajibkan setiap orang yang cakap untuk menjadi saksi di muka Pengadilan. Ketentuan ini tidak
berlaku terhadap mereka yang berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan tidak diperbolehkan untuk berbicara,
demikian juga tidak berlaku terhadap mereka yang berdasarkan Pasal 1909 ayat (2) KUHPerdata dan Pasal 146 HIR serta
Pasal 277 HIR dapat mempergunakan haknya untuk mengundurkan diri sebagai saksi dengan jalan menuntut penggunaaan
hak ingkarnya. Hak ingkar merupakan pengecualian terhadap ketentuan umum yang disebut tadi, yakni bahwa setiap orang
dipanggil sebagai saksi wajib memberikan kesaksian.
Menurut Van Bemmelen, ada 3 (tiga) dasar untuk dapat menuntut penggunaan Hak
Ingkar, yaitu:
1. Hubungan keluarga yang sangat dekat;
2. Bahaya dikenakan hukuman pidana;
3. Kedudukan, pekerjaan dan rahasia jabatan.

Notaris bisa mempergunakan Hak Ingkar dalam memberikan kesaksian di hadapan


Penyidik, Penyelidik, Hakim, Jaksa dan pihak lainnya. Kecuali Undang-Undang
menentukan lain, seperti:
• UU Tindak Pidana Korupsi. Misal: KPK memanggil Notaris sebagai Saksi, maka
Notaris tidak bisa menolak.
• Peraturan Kepala PPATK Nomor 02/1.02/PPATK/02/15 tentang Kategori
Pengguna Jasa Yang Berpotensi Melakukan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Notaris wajib melaporkan kepada PPATK jika Notaris meyakini adanya TPPU
oleh Calon Kliennya/Kliennya.
PENGAMBILAN FOTOKOPI MINUTA AKTA
DAN PEMANGGILAN NOTARIS (Pasal 66 UUJN)

1. Untuk kepentingan proses Peradilan, Penyidik, Penuntut Umum, atau Hakim dengan persetujuan
Majelis Kehormatan Notaris berwenang:
a. Mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta
atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris; dan
b. Memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan Akta atau
Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris.
2. Pengambilan fotokopi Minuta Akta atau surat-surat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
dibuat Berita Acara Penyerahan.
3. Majelis Kehormatan Notaris dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak
diterimanya surat permintaan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memberikan
jawaban menerima atau menolak permintaan persetujuan.
4. Dalam hal Majelis Kehormatan Notaris tidak memberikan jawaban dalam jangka waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Majelis Kehormatan Notaris dianggap menerima
permintaan persetujuan.
v Ketentuan tersebut setelah adanya Judicial Review di Mahkamah Konstitusi.
Majelis Kehormatan Notaris (Pasal 66 A UUJN)

v Majelis Kehormatan Notaris adalah suatu badan yang mempunyai kewenangan untuk
melaksanakan pembinaan Notaris dan kewajiban memberikan persetujuan atau penolakan
untuk kepentingan penyidikan dan proses peradilan, atas pengambilan fotokopi Minuta Akta
dan pemanggilan Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan Akta atau
Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris (Pasal 1 angka (1) Permenkumham
RI Nomor 25 Tahun 2020 Tentang Tugas dan Fungsi, Syarat dan Tata Cara Pengangkatan dan
Pemberhentian, Struktur Organisasi, Tata Kerja, dan Anggaran Majelis Kehormatan Notaris).
v Dalam melaksanakan pembinaan, Menteri membentuk Majelis Kehormatan Notaris.
v Majelis Kehormatan Notaris berjumlah 7 (tujuh) orang, terdiri atas unsur:
a. Notaris sebanyak 3 (tiga) orang;
b. Pemerintah sebanyak 2 (dua) orang; dan
c. Ahli atau Akademisi sebanyak 2 (dua) orang.
v Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas dan fungsi, syarat dan tata cara pengangkatan dan
pemberhentian, struktur organisasi, tata kerja, dan anggaran majelis kehormatan Notaris
diatur dengan Peraturan Menteri.
v Majelis Kehormatan Notaris terdiri atas:
a. Majelis Kehormatan Notaris Pusat dibentuk oleh Menteri dan berkedudukan di
Ibukota Negara Republik Indonesia.
b. Majelis Kehormatan Notaris Wilayah dibentuk oleh Direktur Jenderal atas
nama Menteri dan berkedudukan di Ibukota Provinsi.

v Masa jabatan Majelis Kehormatan Notaris selama 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali.

v Majelis Kehormatan Notaris Pusat beranggotakan 7 (tujuh) orang terdiri atas:


a. 1 (satu) orang ketua;
b. 1 (satu) orang wakil ketua; dan
c. 5 (lima) orang anggota.

v Majelis Kehormatan Notaris Wilayah beranggotakan 7 (tujuh) orang terdiri atas:


a. 1 (satu) orang ketua;
b. 1 (satu) orang wakil ketua; dan
c. 5 (lima) orang anggota.
Tugas, Fungsi dan Wewenang Majelis Kehormatan Notaris Pusat

v Majelis Kehormatan Notaris Pusat melaksanakan pembinaan kepada:


a. Notaris dalam rangka pelaksanaan tugas dan fungsi Majelis Kehormatan Notaris Wilayah; dan
b. Majelis Kehormatan Notaris Wilayah yang berkaitan dengan tugas dan fungsi Majelis Kehormatan
Notaris Wilayah.
v Dalam menjalankan pembinaannya, Majelis Kehormatan Notaris Pusat mempunyai tugas;
a. Melakukan sosialisasi dan pembekalan terhadap Notaris tentang tugas dan fungsi Majelis
Kehormatan Notaris; dan
b. Melakukan pengawasan dan monitoring terhadap pelaksanaan tugas dan fungsi Majelis Kehormatan
Notaris Wilayah.
v Dalam melaksanakan tugasnya, Ketua Majelis Kehormatan Notaris Pusat berwenang:
a. Memberikan persetujuan kepada anggota Majelis Kehormatan Notaris Pusat untuk melakukan
pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan fungsi Majelis Kehormatan Notaris
Wilayah;
b. Meminta laporan bulanan dari Majelis Kehormatan Notaris Wilayah;
c. Menandatangani surat-surat; dan
d. Mengkoordinir anggota dan sekretariat Majelis Kehormatan Notaris Pusat.
Tugas dan Fungsi Majelis Kehormatan Notaris Wilayah

vMajelis Kehormatan Notaris Wilayah mempunyai tugas:


a. Melakukan pemeriksaan terhadap permohonan yang diajukan oleh Penyidik,
Penuntut Umum, dan Hakim; dan
b. Memberikan persetujuan atau penolakan terhadap permintaan persetujuan
pemanggilan Notaris untuk hadir dalam penyidikan, penuntutan, dan proses
peradilan.
vDalam melaksanakan tugasnya, Majelis Kehormatan Notaris Wilayah mempunyai
fungsi melakukan pembinaan dalam rangka:
a. Menjaga martabat dan kehormatan Notaris dalam menjalankan profesi
jabatannya; dan
b. Memberikan perlindungan kepada Notaris terkait dengan kewajiban Notaris
untuk merahasiakan isi Akta.
Majelis Pengawas Notaris (MPN)

v Majelis Pengawas Notaris adalah suatu badan yang mempunyai kewenangan dan
kewajiban melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap Notaris (Pasal 1 angka (2)
Permenkumham RI Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Tata Cara Pemeriksaan Majelis
Pengawas Terhadap Notaris).
v Pengawasan atas Notaris dilakukan oleh Menteri. Dalam melaksanakan pengawasan
tersebut Menteri membentuk Majelis Pengawas.
v Majelis Pengawas berjumlah 9 (sembilan) orang, terdiri atas unsur:
a. Pemerintah sebanyak 3 (tiga) orang;
b. Organisasi Notaris sebanyak 3 (tiga) orang; dan
c. ahli atau akademisi sebanyak 3 (tiga) orang.
v Dalam hal suatu daerah tidak terdapat unsur instansi Pemerintah, keanggotaan dalam
Majelis Pengawas diisi dari unsur lain yang ditunjuk oleh Menteri.
v Pengawasan tersebut meliputi perilaku Notaris dan pelaksanaan jabatan Notaris.
v Ketentuan mengenai pengawasan berlaku pula bagi Notaris Pengganti dan Pejabat
Sementara Notaris.
vMajelis Pengawas terdiri atas:
a. Majelis Pengawas Daerah dibentuk dan berkedudukan di Kabupaten/Kota.
b. Majelis Pengawas Wilayah dibentuk dan berkedudukan di Ibukota Provinsi.
c. Majelis Pengawas Pusat dibentuk dan berkedudukan di Ibukota Negara
Republik Indonesia.

vMasa jabatan Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Majelis Pengawas Daerah,
Majelis Pengawas Wilayah dan Majelis Pengawas Pusat adalah 3 (tiga) tahun dan
dapat diangkat kembali.

vMajelis Pengawas Daerah, Majelis Pengawas Wilayah dan Majelis Pengawas


Pusat dibantu oleh seorang Sekretaris atau lebih yang ditunjuk dalam Rapat
Majelis.
Kewenangan Majelis Pengawas Daerah

Majelis Pengawas Daerah berwenang:


a. Menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran Kode Etik Notaris
atau pelanggaran pelaksanaan jabatan Notaris;
b. Melakukan pemeriksaan terhadap Protokol Notaris secara berkala 1 (satu) kali dalam 1 (satu)
tahun atau setiap waktu yang dianggap perlu;
c. Memberikan izin cuti untuk waktu sampai dengan 6 (enam) bulan;
d. Menetapkan Notaris Pengganti dengan memperhatikan usul Notaris yang bersangkutan;
e. Menentukan tempat penyimpanan Protokol Notaris yang pada saat serah terima Protokol
Notaris telah berumur 25 (dua puluh lima) tahun atau lebih;
f. Menunjuk Notaris yang akan bertindak sebagai pemegang sementara Protokol Notaris yang
diangkat sebagai pejabat negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4);
g. Menerima laporan dari masyarakat mengenai adanya dugaan pelanggaran Kode Etik Notaris
atau pelanggaran ketentuan dalam Undang-Undang ini; dan
h. Membuat dan menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c,
huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf g kepada Majelis Pengawas Wilayah.
Kewajiban Majelis Pengawas Daerah

Majelis Pengawas Daerah berkewajiban:


a. Mencatat pada buku daftar yang termasuk dalam Protokol Notaris dengan menyebutkan
tanggal pemeriksaan, jumlah akta serta jumlah surat di bawah tangan yang disahkan dan yang
dibuat sejak tanggal pemeriksaan terakhir;
b. Membuat berita acara pemeriksaan dan menyampaikannya kepada Majelis Pengawas Wilayah
setempat, dengan tembusan kepada Notaris yang bersangkutan, Organisasi Notaris, dan
Majelis Pengawas Pusat;
c. Merahasiakan isi akta dan hasil pemeriksaan;
d. Menerima salinan yang telah disahkan dari daftar akta dan daftar lain dari Notaris dan
merahasiakannya;
e. Memeriksa laporan masyarakat terhadap Notaris dan menyampaikan hasil pemeriksaan
tersebut kepada Majelis Pengawas Wilayah dalam waktu 30 (tiga puluh) hari, dengan
tembusan kepada pihak yang melaporkan, Notaris yang bersangkutan, Majelis Pengawas
Pusat, dan Organisasi Notaris; dan
f. Menyampaikan permohonan banding terhadap keputusan penolakan cuti.
Kewenangan Majelis Pengawas Wilayah

Majelis Pengawas Wilayah berwenang:


a. Menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan mengambil keputusan atas laporan masyarakat yang dapat
disampaikan melalui Majelis Pengawas Daerah;
b. Memanggil Notaris terlapor untuk dilakukan pemeriksaan atas laporan sebagaimana dimaksud pada huruf a;
c. Memberikan izin cuti lebih dari 6 (enam) bulan sampai 1 (satu) tahun;
d. Memeriksa dan memutus atas keputusan Majelis Pengawas Daerah yang menolak cuti yang diajukan oleh
Notaris pelapor;
e. Memberikan sanksi baik peringatan lisan maupun peringatan tertulis;
f. Mengusulkan pemberian sanksi terhadap Notaris kepada Majelis Pengawas Pusat berupa:
1) pemberhentian sementara 3 (tiga) bulan sampai dengan 6 (enam) bulan; atau
2) pemberhentian dengan tidak hormat.
v Keputusan Majelis Pengawas Wilayah sebagaimana dimaksud pada Pasal 73 ayat (1) huruf e bersifat final.
v Terhadap setiap keputusan penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada Pasal 73 ayat (1) huruf e dan huruf f
dibuatkan Berita Acara.
v Pemeriksaan dalam sidang Majelis Pengawas Wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1) huruf a
bersifat tertutup untuk umum.
v Notaris berhak untuk membela diri dalam pemeriksaan dalam sidang Majelis Pengawas Wilayah.
Kewajiban Majelis Pengawas Wilayah

Majelis Pengawas Wilayah berkewajiban:


a. Menyampaikan keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1) huruf
a, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f kepada Notaris yang bersangkutan
dengan tembusan kepada Majelis Pengawas Pusat, dan Organisasi Notaris; dan
b. Menyampaikan pengajuan banding dari Notaris kepada Majelis Pengawas Pusat
terhadap penjatuhan sanksi dan penolakan cuti.
Kewenangan Majelis Pengawas Pusat

Majelis Pengawas Pusat berwenang :


a. Menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan mengambil keputusan dalam tingkat banding terhadap
penjatuhan sanksi dan penolakan cuti;
b. Memanggil Notaris terlapor untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada huruf a;
c. Menjatuhkan sanksi pemberhentian sementara; dan
d. Mengusulkan pemberian sanksi berupa pemberhentian dengan tidak hormat kepada Menteri.

v Pemeriksaan dalam sidang Majelis Pengawas Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf a bersifat
terbuka untuk umum.
v Notaris berhak untuk membela diri dalam pemeriksaan sidang Majelis Pengawas Pusat.

Kewajiban Majelis Pengawas Pusat

Majelis Pengawas Pusat berkewajiban menyampaikan keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf a
kepada Menteri dan Notaris yang bersangkutan dengan tembusan kepada Majelis Pengawas Wilayah dan Majelis
Pengawas Daerah yang bersangkutan serta Organisasi Notaris.
Kewajiban Administrasi Kantor Notaris

v Setiap hari Notaris harus mengisi Buku Daftar Akta atau Repertorium, Buku Daftar Akta
di bawah tangan yang berupa Buku Legalisasi dan Buku Waarmerking, Buku Daftar Nama
Penghadap atau Klapper, Buku Daftar Protes, Buku Daftar Wasiat, dan Buku Daftar lain
yang harus disimpan oleh Notaris berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan.
v Setiap bulan Notaris menutup Buku Repertorium dengan membuat catatan di bawahnya
bahwa telah dilakukan penyampaian laporan tentang Akta Wasiat yang dibuat pada bulan
itu paling lambat tanggal 5 bulan berikutnya kepada Menteri Hukum dan HAM RI cq.
Daftar Pusat Wasiat.
v Penyampaian laporan: Salinan Buku Repertorium, Buku Daftar Akta di bawah tangan
yang berupa Buku Legalisasi dan Buku Waarmerking, dan Buku Daftar Wasiat kepada
Majelis Pengawas Daerah paling lambat tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya.
v Pajak atas jasa Notaris adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dikenakan 10% kepada
Pengguna Jasa Notaris.
v PPN ini dipungut bagi Notaris yang sudah menjadi Wajib Pungut Pajak (WAPU).
Jenis Akta

Akta Notaris terdiri dari 2 (dua) jenis, yaitu:


1. Akta yang dibuat oleh Notaris dalam jabatannya disebut Akta Relaas atau Akta Pejabat.
2. Akta yang dibuat di hadapan Notaris disebut Akta Partij atau Akta Penghadap.

Perbedaan Akta Relaas (Akta Pejabat) dan Akta Partij (Akta Penghadap), yaitu:
Akta Relaas (Akta Pejabat) Akta Partij (Akta Penghadap)
Akta Relaas (Akta Pejabat) adalah Akta yang dibuat Akta Partij (Akta Penghadap) adalah Akta yang
oleh Notaris dalam jabatannya sebagai Pejabat Umum dibuat oleh Notaris berdasarkan keterangan
yang berisi keterangan dari Notaris mengenai semua penghadap yang menerangkan kehendak mereka
yang dilihat, didengar dan disaksikan oleh Notaris atas kepada Notaris. Dari keterangan tersebut,
permintaan yang berkepentingan. Notaris mengkonstantirnya, menyusun dan
Contoh: Berita Acara Rapat Umum Para Pemegang merumuskan redaksionalnya dalam Akta.
Saham dan Undian. Contoh: Akta Sewa-Menyewa, Perjanjian
Kerjasama, Pengakuan Hutang, dan lain
sebagainya.
Notaris harus bertanggung jawab atas relaas/keterangan yang Notaris menjamin dan bertanggung jawab mengenai
ditulis dalam akta tersebut. Notaris menjamin kebenaran isi kebenaran akta itu sesuai dengan apa yang
akta dan bertanggung jawab atas apa yang diterangkannya di diterangkan oleh penghadap kepada Notaris. Adapun
dalam akta itu, karena dalam membuat Akta tersebut Notaris kebenaran yang sebenarnya benar diluar yang
dalam jabatannya melihat, menyaksikan keadaan serta diterangkan kepada Notaris bukan tanggung jawab
mendengar sendiri apa yang terjadi dan kemudian Notaris.
diterangkannya dalam akta tersebut.
Akta Relaas (Akta Pejabat) tidak bisa digugat atau dituntut, Akta Partij (Akta Penghadap) bisa digugat atau
hanya dapat dinyatakan palsu. dituntut.
Akta Relaas (Akta Pejabat) boleh tidak disusun terlebih Akta Partij (Akta Penghadap) mutlak harus
dahulu, tidak dibacakan di hadapan para penghadap dan tidak memenuhi ketentuan syarat-syarat Verlijden (Syarat-
ditandatangani oleh para penghadap, dikarenakan Akta Relaas Syarat Autentik suatu akta):
(Akta Pejabat) tersebut merupakan keterangan Notaris dalam a. Disusun;
jabatannya sebagai Pejabat Umum, atas apa yang dilihat, b. Dibacakan;
didengar dan disaksikan. Dalam hal ini, Akta tersebut cukup c. Ditandatangani penghadap atau para penghadap,
dibacakan oleh Notaris kepada saksi-saksi dan kemudian saksi-saksi dan Notaris/ Pejabat Sementara
ditandatangani oleh saksi-saksi dan Notaris. Semuanya ini Notaris/ Notaris Pengganti segera setelah akta
harus dinyatakan pada akhir Akta. dibacakan.
Misalnya: untuk suatu RUPS yang tidak dipersiapkan terlebih
dahulu, maka Notaris dapat merekam semua kejadian yang dia
lihat, dengar dan saksikan di dalam Rapat.
Bahasa dalam Akta

v Akta wajib dibuat dalam bahasa Indonesia.


v Dalam hal Penghadap tidak mengerti bahasa yang digunakan dalam akta, Notaris
wajib menerjemahkan atau menjelaskan isi akta itu dalam bahasa yang dimengerti
oleh Penghadap.
v Jika para pihak menghendaki, akta dapat dibuat dalam bahasa asing.
v Dalam hal akta dibuat dalam bahasa asing, maka Notaris wajib menerjemahkannya
ke dalam bahasa Indonesia.
v Apabila Notaris tidak dapat menerjemahkan atau menjelaskannya, akta tersebut
diterjemahkan atau dijelaskan oleh seorang Penerjemah Resmi.
v Dalam hal terdapat perbedaan penafsiran terhadap isi akta sebagaimana dimaksud
pada Pasal 43 ayat (2), maka yang digunakan adalah akta yang dibuat dalam bahasa
Indonesia.
Perubahan dalam Pembuatan Akta/Renvoi

v Jika di dalam akta pada saat pembacaan akta perlu dilakukan perubahan dapat
dilakukan dengan cara pencoretan kata, huruf, atau angka, pencoretan dilakukan
sedemikian rupa sehingga tetap dapat dibaca sesuai dengan yang tercantum
semula, dan jumlah kata, huruf, atau angka yang dicoret dinyatakan pada sisi
kiri Akta.
v Pencoretan sebagaimana dimaksud di atas dinyatakan sah setelah diparaf atau
diberi tanda pengesahan lain oleh penghadap, saksi, dan Notaris.
v Pada penutup setiap Akta dinyatakan tentang ada atau tidak adanya perubahan
atas pencoretan.
v Apabila tidak dilakukan pengesahan terhadap perubahan tersebut yang ada pada
sisi akta, maka akta tersebut akan berubah fungsinya menjadi akta di bawah
tangan.
Cara Melakukan Renvoi

Renvoi adalah perubahan yang terjadi dalam pembuatan akta. Renvoi dapat
dilakukan dengan 3 (tiga) cara, yaitu:
1. Penambahan;
2. Pencoretan dengan penggantian;
3. Pencoretan tanpa penggantian.

• Setiap dilakukan perubahan harus dinyatakan pada sisi kiri Minuta Akta dengan
menunjukkan bagian yang diubah dan membubuhkan paraf atau inisial/sidik jari
(jika ada surrogaat) sebagai tanda pengesahan. Bilamana tidak dilakukan maka
akan mengakibatkan akta tersebut hanya mempunyai kekuatan pembuktian
sebagai akta di bawah tangan, sehingga dapat menjadi alasan bagi pihak yang
menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya ganti rugi dan bunga
kepada Notaris.
Pembetulan Kesalahan Tulis dan/atau Kesalahan Ketik
yang Tidak Bersifat Substansial (Pasal 51 UUJN)

1. Notaris berwenang untuk membetulkan kesalahan tulis dan/atau kesalahan ketik yang
terdapat pada Minuta Akta yang telah ditandatangani.
2. Pembetulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di hadapan penghadap,
saksi, dan Notaris yang dituangkan dalam berita acara dan memberikan catatan tentang
hal tersebut pada Minuta Akta asli dengan menyebutkan tanggal dan nomor Akta
berita acara pembetulan.
3. Salinan Akta berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib disampaikan
kepada para pihak.
4. Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mengakibatkan
suatu akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan dan
dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian
biaya, ganti rugi, dan bunga kepada Notaris.
Pasal 53 UUJN

Akta Notaris tidak boleh memuat penetapan atau ketentuan yang memberikan
sesuatu hak dan/atau keuntungan bagi :
a. Notaris, istri atau suami Notaris;
b. saksi, istri atau suami saksi; atau
c. orang yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan Notaris atau saksi, baik
hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah tanpa pembatasan derajat
maupun hubungan perkawinan sampai dengan derajat ketiga.
Pengganti Tanda Tangan/Surrogaat

v Yang diperbolehkan melakukan Surrogaat hanyalah Penghadap, karena


Penghadap menerangkan kepada Notaris bahwa dia tidak bisa membubuhkan
tanda tangan pada Minuta Akta dikarenakan …. (alasannya, contoh: Tangan
Kanan/Kiri (bagi yang kidal) patah).

v Kalimat yang berisi keterangan tentang alasan Penghadap tersebut adalah


merupakan surrogaat (pengganti tanda tangan).

v Cara Notaris menuangkan kalimat yang merupakan surrogaat, yaitu:


Menurut keterangannya tidak bisa membubuhkan tanda tangannya dikarenakan
tangan kanannya patah/…….
Cara Menjadi Pihak Dalam Akta

1. Datang sendiri/Kehadiran sendiri.


2. Melalui atau dengan perantaraan kuasa.
3. Dalam jabatan atau kedudukan.
Syarat Menjadi Penghadap

v Penghadap harus memenuhi syarat sebagai berikut:


a. Paling rendah berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah; dan
b. Cakap melakukan perbuatan hukum.
v Penghadap harus dikenal oleh Notaris atau diperkenalkan kepadanya oleh 2 (dua) orang saksi
pengenal yang berumur paling rendah 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah dan cakap
melakukan perbuatan hukum atau diperkenalkan oleh 2 (dua) penghadap lainnya.
v Pengenalan sebagaimana dimaksud pada poin di atas dinyatakan secara tegas dalam Akta.
v Bisa mengemukakan kehendaknya.

Notaris Harus Mengenal Penghadap

Notaris dalam membuat akta harus mengenal penghadap dengan beberapa cara.
Syarat Menjadi Saksi

1. Setiap Akta yang dibacakan oleh Notaris dihadiri paling sedikit 2 (dua) orang saksi, kecuali
Peraturan Perundang-Undangan menentukan lain.
2. Saksi sebagaimana dimaksud pada poin (1) harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. paling rendah berumur 18 (delapan belas) tahun atau sebelumnya telah menikah;
b. cakap melakukan perbuatan hukum;
c. mengerti bahasa yang digunakan dalam Akta;
d. dapat membubuhkan tanda tangan dan paraf; dan
e. tidak mempunyai hubungan perkawinan atau hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau
ke bawah tanpa pembatasan derajat dan garis ke samping sampai dengan derajat ketiga
dengan Notaris atau para pihak.
3. Saksi sebagaimana dimaksud pada poin (1) harus dikenal oleh Notaris atau diperkenalkan
kepada Notaris dengan menerangkan tentang identitas dan kewenangannya.
4. Pengenalan atau pernyataan tentang identitas dan kewenangan saksi dinyatakan secara tegas
dalam Akta.
Jenis-Jenis Saksi

v Saksi Attesterend berfungsi mengenalkan penghadap kepada Notaris yang tidak


dikenal oleh Notaris.
v Saksi Instrumenter berfungsi untuk menyaksikan dalam pengesahan suatu akta
apakah Notaris telah melaksanakan syarat-syarat formalitas autentisitas suatu
akta. Saksi Instrumenter harus dikenal oleh Notaris, jika saksi instrumenter tidak
dikenal oleh Notaris, maka harus diperkenalkan dan harus dinyatakan pada akhir
Akta.
Sebaiknya Saksi Instrumenter itu adalah Karyawan Notaris, karena Saksi
Instrumenter harus bertindak netral.
KODE ETIK NOTARIS
IKATAN NOTARIS INDONESIA (I.N.I)

KODE ETIK

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Kode Etik ini yang dimaksud dengan :

1. Ikatan Notaris Indonesia disingkat I.N.I adalah Perkumpulan/organisasi bagi


para Notaris, berdiri semenjak tanggal 1 Juli 1908, diakui sebagai Badan
Hukum (rechtspersoon) berdasarkan Gouvernements Besluit (Penetapan
Pemerintah) tanggal 5 September 1908 Nomor 9, merupakan satu-satunya
wadah pemersatu bagi semua dan setiap orang yang memangku dan
menjalankan tugas jabatan sebagai pejabat umum di Indonesia,
sebagaimana hal itu telah diakui dan mendapat pengesahan dari Pemerintah
berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia pada
tanggal 23 Januari 1995 Nomor C2-1022.HT.01.06. Tahun 1995, dan telah
diumumkan di dalam Berita Negara Republik Indonesia tanggal 7 April 1995
No. 28 Tambahan Nomor 1/P-1995, oleh karena itu sebagai dan merupakan
organisasi Notaris sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang diundangkan dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117.
2. Kode Etik Notaris dan untuk selanjutnya akan disebut Kode Etik adalah
seluruh kaidah moral yang ditentukan oleh Perkumpulan Ikatan Notaris
Indonesia yang selanjutnya akan disebut “Perkumpulan” berdasar
keputusan Kongres Perkumpulan dan/atau yang ditentukan oleh dan diatur
dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hal itu dan
yang berlaku bagi serta wajib ditaati oleh setiap dan semua anggota
Perkumpulan dan semua orang yang menjalankan tugas jabatan sebagai
Notaris, termasuk di dalamnya para Pejabat Sementara Notaris, Notaris
Pengganti dan Notaris Pengganti Khusus.
3. Disiplin Organisasi adalah kepatuhan anggota Perkumpulan dalam rangka
memenuhi kewajiban-kewajiban terutama kewajiban administrasi dan
kewajiban finansial yang telah diatur oleh Perkumpulan.
4. Notaris adalah setiap orang yang memangku dan menjalankan tugas
jabatan sebagai pejabat umum, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1
angka 1 juncto Pasal 15 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris.
5. Pengurus Pusat adalah Pengurus Perkumpulan, pada tingkat nasional yang
mempunyai tugas, kewajiban serta kewenangan untuk mewakili dan
bertindak atas nama Perkumpulan, baik di luar maupun di muka Pengadilan.
6. Pengurus Wilayah adalah Pengurus Perkumpulan pada tingkat Propinsi atau
yang setingkat dengan itu.
7. Pengurus Daerah adalah Pengurus Perkumpulan pada tingkat Kota atau
Kapubaten.

1
denbagusrasjid.wordpress.com
8. a. Dewan Kehormatan adalah alat perlengkapan Perkumpulan sebagai
suatu badan atau lembaga yang mandiri dan bebas dari keberpihakan
dalam Perkumpulan yang bertugas untuk :
• melakukan pembinaan, bimbingan, pengawasan, pembenahan
anggota dalam menjunjung tinggi kode etik;
• memeriksa dan mengambil keputusan atas dugaan pelanggaran
ketentuan kode etik yang bersifat internal atau yang tidak
mempunyai kaitan dengan kepentingan masyarakat secara
langsung;
• memberikan saran dan pendapat kepada Majelis Pengawas atas
dugaan pelanggaran kode etik dan Jabatan Notaris.
b. Dewan Kehormatan Pusat adalah Dewan Kehormatan pada tingkat
nasional dan yang bertugas untuk :
• melakukan pembinaan, bimbingan, pengawasan, pembenahan
anggota dalam menjunjung tinggi kode etik;
• memeriksa dan mengambil keputusan atas dugaan pelanggaran
ketentuan kode etik Kode Etik dan/atau disiplin organisasi, yang
bersifat internal atau yang tidak mempunyai kaitan dengan
kepentingan masyarakat secara langsung, pada tingkat akhir dan
bersifat final;
• memberikan saran dan pendapat kepada Majelis Pengawas atas
dugaan pelanggaran Kode Etik dan Jabatan Notaris.
c. Dewan Kehormatan Wilayah adalah Dewan Kehormatan tingkat Wilayah
yaitu pada tingkat Propinsi atau yang setingkat dengan itu, yang
bertugas untuk :
• melakukan pembinaan, bimbingan, pengawasan, pembenahan
anggota dalam menjunjung tinggi kode etik;
• memeriksa dan mengambil keputusan atas dugaan pelanggaran
ketentuan kode etik Kode Etik dan/atau disiplin organisasi, yang
bersifat internal atau yang tidak mempunyai kaitan dengan
kepentingan masyarakat secara langsung pada tingkat banding, dan
dalam keadaan tertentu pada tingkat pertama;
• memberikan saran dan pendapat kepada Majelis Pengawas Wilayah
dan/atau Majelis Pengawas Daerah atas dugaan pelanggaran Kode
Etik dan Jabatan Notaris.
d. Dewan Kehormatan Daerah yaitu Dewan Kehormatan tingkat Daerah,
yaitu pada tingkat Kota atau Kabupaten yang bertugas untuk :
• melakukan pembinaan, bimbingan, pengawasan, pembenahan
anggota dalam menjunjung tinggi kode etik;
• memeriksa dan mengambil keputusan atas dugaan pelanggaran
ketentuan kode etik Kode Etik dan/atau disiplin organisasi, yang
bersifat internal atau yang tidak mempunyai kaitan dengan
kepentingan masyarakat secara langsung, pada tingkat pertama;
• memberikan saran dan pendapat kepada Majelis Pengawas Daerah
atas dugaan pelanggaran Kode Etik dan Jabatan Notaris.
9. Pelanggaran adalah perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh anggota
Perkumpulan maupun orang lain yang memangku dan menjalankan jabatan
Notaris yang melanggar ketentuan Kode Etik dan/atau disiplin organisasi.
10. Kewajiban adalah sikap, perilaku, perbuatan atau tindakan yang harus
dilakukan anggota Perkumpulan maupun orang lain yang memangku dan
menjalankan jabatan Notaris, dalam rangka menjaga memelihara citra serta
wibawa lembaga notariat dan menjunjung tinggi keluhuran harkat dan
martabat jabatan Notaris.
11. Larangan adalah sikap, perilaku dan perbuatan atau tindakan apapun yang
tidak boleh dilakukan oleh anggota Perkumpulan maupun orang lain yang

2
denbagusrasjid.wordpress.com
memangku dan menjalankan jabatan Notaris, yang dapat menurunkan citra
serta wibawa lembaga notariat ataupun keluhuran harkat dan martabat
jabatan Notaris.
12. Sanksi adalah suatu hukuman yang dimaksudkan sebagai sarana, upaya
dan alat pemaksa ketaatan dan disiplin anggota Perkumpulan maupun
orang lain yang memangku dan menjalankan jabatan Notaris, dalam
menegakkan Kode Etik dan disiplin organisasi.
13. Eksekusi adalah pelaksanaan sanksi yang dijatuhkan oleh dan berdasarkan
putusan Dewan Kehormatan yang telah mempunyai kekuatan tetap dan
pasti untuk dijalankan.
14. Klien adalah setiap orang atau badan yang secara sendiri-sendiri atau
bersama-sama datang kepada Notaris untuk membuat akta, berkonsultasi
dalam rangka pembuatan akta serta minta jasa Notaris lainnya.

BAB II
RUANG LINGKUP KODE ETIK

Pasal 2

Kode Etik ini berlaku bagi seluruh anggota Perkumpulan maupun orang lain yang
memangku dan menjalankan jabatan Notaris baik dalam pelaksanaan jabatan
maupun dalam kehidupan sehari-hari.

BAB III
KEWAJIBAN, LARANGAN DAN PENGECUALIAN

Kewajiban
Pasal 3

Notaris dan orang lain yang memangku dan menjalankan jabatan Notaris wajib :
1. Memiliki moral, akhlak serta kepribadian yang baik.
2. Menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat jabatan Notaris.
3. Menjaga dan membela kehormatan Perkumpulan.
4. Bertindak jujur, mandiri, tidak berpihak, penuh rasa tanggungjawab,
berdasarkan peraturan perundang-undangan dan isi sumpah jabatan
Notaris.
5. Meningkatkan ilmu pengetahuan yang telah dimiliki tidak terbatas pada ilmu
pengetahuan hukum dan kenotariatan.
6. Mengutamakan pengabdian kepada kepentingan masyarakat dan Negara.
7. Memberikan jasa pembuatan akta dan jasa kenotarisan lainnya untuk
masyarakat yang tidak mampu tanpa memungut honorarium.
8. Menetapkan satu kantor di tempat kedudukan dan kantor tersebut
merupakan satu-satunya kantor bagi Notaris yang bersangkutan dalam
melaksanakan tugas jabatan sehari-hari.
9. Memasang 1 (satu) buah papan nama di depan / di lingkungan kantornya
dengan pilihan ukuran yaitu 100 cm x 40 cm, 150 cm x 60 cm atau 200 cm
x 80 cm, yang memuat :
a. Nama lengkap dan gelar yang sah;

3
denbagusrasjid.wordpress.com
b. Tanggal dan nomor Surat Keputusan pengangkatan yang terakhir
sebagai Notaris;
c. Tempat kedudukan;
d. Alamat kantor dan nomor telepon/fax. Dasar papan nama berwarna
putih dengan huruf berwarna hitam dan tulisan di atas papan nama
harus jelas dan mudah dibaca. Kecuali di lingkungan kantor tersebut
tidak dimungkinkan untuk pemasangan papan nama tersebut.
10. Hadir, mengikuti dan berpartisipasi aktif dalam setiap kegiatan yang
diselenggarakan oleh Perkumpulan; menghormati, mematuhi,
melaksanakan setiap dan seluruh keputusan Perkumpulan.
11. Membayar uang iuran Perkumpulan secara tertib.
12. Membayar uang duka untuk membantu ahli waris teman sejawat yang
meninggal dunia.
13. Melaksanakan dan mematuhi semua ketentuan tentang honorarium yang
ditetapkan Perkumpulan.
14. Menjalankan jabatan Notaris terutama dalam pembuatan, pembacaan dan
penandatanganan akta dilakukan di kantornya, kecuali karena alasan-alasan
yang sah.
15. Menciptakan suasana kekeluargaan dan kebersamaan dalam melaksanakan
tugas jabatan dan kegiatan sehari-hari serta saling memperlakukan rekan
sejawat secara baik, saling menghormati, saling menghargai, saling
membantu serta selalu berusaha menjalin komunikasi dan tali silaturahim.
16. Memperlakukan setiap klien yang datang dengan baik, tidak membedakan
status ekonomi dan/atau status sosialnya.
17. Melakukan perbuatan-perbuatan yang secara umum disebut sebagai
kewajiban untuk ditaati dan dilaksanakan antara lain namun tidak terbatas
pada ketentuan yang tercantum dalam :
a. UU Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris;
b. Penjelasan Pasal 19 ayat (2) UU Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris;
c. Isi Sumpah Jabatan Notaris;
d. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Ikatan Notaris Indonesia.

Larangan
Pasal 4

Notaris dan orang lain yang memangku dan menjalankan jabatan Notaris
dilarang:
1. Mempunyai lebih dari 1 (satu) kantor, baik kantor cabang ataupun kantor
perwakilan.
2. Memasang papan nama dan/atau tulisan yang berbunyi “Notaris/Kantor
Notaris” di luar lingkungan kantor.
3. Melakukan publikasi atau promosi diri, baik sendiri maupun secara bersama-
sama, dengan mencantumkan nama dan jabatannya, menggunakan sarana
media cetak dan/atau elektronik, dalam bentuk :
a. Iklan;
b. Ucapan selamat;
c. Ucapan belasungkawa;
d. Ucapan terima kasih;
e. Kegiatan pemasaran;

4
denbagusrasjid.wordpress.com
f. Kegiatan sponsor, baik dalam bidang sosial, keagamaan, maupun olah
raga.
4. Bekerja sama dengan Biro jasa/orang/Badan Hukum yang pada hakekatnya
bertindak sebagai perantara untuk mencari atau mendapatkan klien.
5. Menandatangani akta yang proses pembuatan minutanya telah dipersiapkan
oleh pihak lain.
6. Mengirimkan minuta kepada klien untuk ditandatangani.
7. Berusaha atau berupaya dengan jalan apapun, agar seseorang berpindah
dari Notaris lain kepadanya, baik upaya itu ditujukan langsung kepada klien
yang bersangkutan maupun melalui perantaraan orang lain.
8. Melakukan pemaksaan kepada klien dengan cara menahan dokumen-
dokumen yang telah diserahkan dan/atau melakukan tekanan psikologis
dengan maksud agar klien tersebut tetap membuat akta padanya.
9. Melakukan usaha-usaha, baik langsung maupun tidak langsung yang
menjurus ke arah timbulnya persaingan yang tidak sehat dengan sesama
rekan Notaris.
10. Menetapkan honorarium yang harus dibayar oleh klien dalam jumlah yang
lebih rendah dari honorarium yang telah ditetapkan Perkumpulan.
11. Mempekerjakan dengan sengaja orang yang masih berstatus karyawan
kantor Notaris lain tanpa persetujuan terlebih dahulu dari Notaris yang
bersangkutan.
12. Menjelekkan dan/atau mempersalahkan rekan Notaris atau akta yang dibuat
olehnya. Dalam hal seorang Notaris menghadapi dan/atau menemukan
suatu akta yang dibuat oleh rekan sejawat yang ternyata di dalamnya
terdapat kesalahan-kesalahan yang serius dan/atau membahayakan klien,
maka Notaris tersebut wajib memberitahukan kepada rekan sejawat yang
bersangkutan atas kesalahan yang dibuatnya dengan cara yang tidak
bersifat menggurui, melainkan untuk mencegah timbulnya hal-hal yang
tidak diinginkan terhadap klien yang bersangkutan ataupun rekan sejawat
tersebut.
13. Membentuk kelompok sesama rekan sejawat yang bersifat eksklusif dengan
tujuan untuk melayani kepentingan suatu instansi atau lembaga, apalagi
menutup kemungkinan bagi Notaris lain untuk berpartisipasi.
14. Menggunakan dan mencantumkan gelar yang tidak sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
15. Melakukan perbuatan-perbuatan lain yang secara umum disebut sebagai
pelanggaran terhadap Kode Etik Notaris, antara lain namun tidak terbatas
pada pelanggaran-pelanggaran terhadap :
a. Ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
tentang Jabatan Notaris;
b. Penjelasan Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
tentang Jabatan Notaris;
c. Isi sumpah Jabatan Notaris;
d. Hal-hal yang menurut ketentuan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah
Tangga dan/atau Keputusan-keputusan lain yang telah ditetapkan oleh
organisasi Ikatan Notaris Indonesia tidak boleh dilakukan oleh anggota.

5
denbagusrasjid.wordpress.com
Pengecualian
Pasal 5

Hal-hal yang tersebut di bawah ini merupakan pengecualian oleh karena itu tidak
termasuk pelanggaran, yaitu :
1. Memberikan ucapan selamat, ucapan berdukacita dengan mempergunakan
kartu ucapan, surat, karangan bunga ataupun media lainnya dengan tidak
mencantumkan Notaris, tetapi hanya nama saja.
2. Pemuatan nama dan alamat Notaris dalam buku panduan nomor telepon,
fax dan telex, yang diterbitkan secara resmi oleh PT. Telkom dan/atau
instansi-instansi dan/atau lembaga-lembaga resmi lainnya.
3. Memasang 1 (satu) tanda petunjuk jalan dengan ukuran tidak melebihi 20
cm x 50 cm, dasar berwarna putih, huruf berwarna hitam, tanpa
mencantumkan nama Notaris serta dipasang dalam radius maksimum 100
meter dari kantor Notaris.

BAB IV
SANKSI
Pasal 6

1. Sanksi yang dikenakan terhadap anggota yang melakukan pelanggaran


Kode Etik dapat berupa :
a. Teguran;
b. Peringatan;
c. Schorsing (pemecatan sementara) dari keanggotaan Perkumpulan;
d. Onzetting (pemecatan) dari keanggotaan Perkumpulan;
e. Pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan Perkumpulan.
2. Penjatuhan sanksi-sanksi sebagaimana terurai di atas terhadap anggota
yang melanggar Kode Etik disesuaikan dengan kwantitas dan kwalitas
pelanggaran yang dilakukan anggota tersebut.

BAB V
TATA CARA PENEGAKAN KODE ETIK

Bagian Pertama
Pengawasan
Pasal 7

Pengawasan atas pelaksanaan Kode Etik itu dilakukan dengan cara sebagai
berikut :
a. Pada tingkat pertama oleh Pengurus Daerah Ikatan Notaris Indonesia dan
Dewan Kehormatan Daerah;
b. Pada tingkat banding oleh Pengurus Wilayah Ikatan Notaris Indonesia dan
Dewan Kehormatan Wilayah;
c. Pada tingkat terakhir oleh Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia dan
Dewan Kehormatan Pusat.

Bagian Kedua
Pemeriksaan dan Penjatuhan Sanksi

1. Alat Perlengkapan

6
denbagusrasjid.wordpress.com
Pasal 8

Dewan Kehormatan merupakan alat perlengkapan Perkumpulan yang berwenang


melakukan pemeriksaan atas pelanggaran terhadap Kode Etik dan menjatuhkan
sanksi kepada pelanggarnya sesuai dengan kewenangan masing-masing.

2. Pemeriksaan dan Penjatuhan Sanksi pada Tingkat Pertama


Pasal 9

1. Apabila ada anggota yang diduga melakukan pelanggaran terhadap Kode


Etik, baik dugaan tersebut berasal dari pengetahuan Dewan Kehormatan
Daerah sendiri maupun karena laporan dari Pengurus Daerah ataupun pihak
lain kepada Dewan Kehormatan Daerah, maka selambat-lambatnya dalam
waktu 7 (tujuh) hari kerja Dewan Kehormatan Daerah wajib segera
mengambil tindakan dengan mengadakan sidang Dewan Kehormatan
Daerah untuk membicarakan dugaan terhadap pelanggaran tersebut.
2. Apabila menurut hasil sidang Dewan Kehormatan Daerah sebagaimana yang
tercantum dalam ayat (1), ternyata ada dugaan kuat terhadap pelanggaran
Kode Etik, maka dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah tanggal sidang
tersebut, Dewan Kehormatan Daerah berkewajiban memanggil anggota
yang diduga melanggar tersebut dengan surat tercatat atau dengan
ekspedisi, untuk didengar keterangannya dan diberi kesempatan untuk
membela diri.
3. Dewan Kehormatan Daerah baru akan menentukan putusannya mengenai
terbukti atau tidaknya pelanggaran Kode Etik serta penjatuhan sanksi
terhadap pelanggarnya (apabila terbukti), setelah mendengar keterangan
dan pembelaan diri dari anggota yang bersangkutan dalam sidang Dewan
Kehormatan Daerah yang diadakan untuk keperluan itu, dengan
perkecualian sebagaimana yang diatur dalam ayat (6) dan ayat (7) pasal
ini.
4. Penentuan putusan tersebut dalam ayat (3) di atas dapat dilakukan oleh
Dewan Kehormatan Daerah, baik dalam sidang itu maupun dalam sidang
lainnya, sepanjang penentuan keputusan melanggar atau tidak melanggar
tersebut, dilakukan selambat-lambatnya dalam waktu 15 (limabelas) hari
kerja, setelah tanggal sidang Dewan Kehormatan Daerah dimana Notaris
tersebut telah didengar keterangan dan/atau pembelaannya.
5. Bila dalam putusan sidang Dewan Kehormatan Daerah dinyatakan terbukti
ada pelanggaran terhadap Kode Etik, maka sidang sekaligus menentukan
sanksi terhadap pelanggarannya.
6. Dalam hal anggota yang dipanggil tidak datang atau tidak memberi kabar
apapun dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah dipanggil, maka Dewan
Kehormatan Daerah akan mengulangi panggilannya sebanyak 2 (dua) kali
dengan jarak waktu 7 (tujuh) hari kerja, untuk setiap panggilan.
7. Dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja, setelah panggilan ke 3 (tiga) ternyata
masih juga tidak datang atau tidak memberi kabar dengan alasan apapun,
maka Dewan Kehormatan Daerah akan tetap bersidang untuk
membicarakan pelanggaran yang diduga dilakukan oleh anggota yang
dipanggil itu dan menentukan putusannya, selanjutnya secara mutatis
mutandis berlaku ketentuan dalam ayat (5) dan ayat (6) di atas serta ayat
(9).

7
denbagusrasjid.wordpress.com
8. Terhadap sanksi pemberhentian sementara (schorsing) atau pemecatan
(onzetting) dari keanggotaan Perkumpulan diputuskan, Dewan Kehormatan
Daerah wajib berkonsultasi terlebih dahulu dengan Pengurus Daerahnya.
9. Putusan sidang Dewan Kehormatan Daerah wajib dikirim oleh Dewan
Kehormatan Daerah kepada anggota yang melanggar dengan surat tercatat
atau dengan ekspedisi dan tembusannya kepada Pengurus Daerah,
Pengurus Wilayah, Pengurus Pusat dan Dewan Kehormatan Pusat,
semuanya itu dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja, setelah dijatuhkan putusan
oleh sidang Dewan Kehormatan Daerah.
10. Apabila pada tingkat kepengurusan Daerah belum dibentuk Dewan
Kehormatan Daerah, maka Dewan Kehormatan Wilayah berkewajiban dan
mempunyai wewenang untuk menjalankan kewajiban serta kewenangan
Dewan Kehormatan Daerah dalam rangka penegakan Kode Etik atau
melimpahkan tugas kewajiban dan kewenangan Dewan Kehormatan Daerah
kepada kewenangan Dewan Kehormatan Daerah terdekat dari tempat
kedudukan atau tempat tinggal anggota yang melanggar Kode Etik tersebut.
Hal tersebut berlaku pula apabila Dewan Kehormatan Daerah tidak sanggup
menyelesaikan atau memutuskan permasalahan yang dihadapinya.

3. Pemeriksaan dan Penjatuhan Sanksi pada Tingkat Banding


Pasal 10

1. Putusan yang berisi penjatuhan sanksi pemecatan sementara (schorsing)


atau pemecatan (onzetting) dari keanggotaan Perkumpulan dapat
diajukan/dimohonkan banding kepada Dewan Kehormatan Wilayah.

2. Permohonan untuk naik banding wajib dilakukan oleh anggota yang


bersangkutan dalam waktu 30 (tigapuluh) hari kerja, setelah tanggal
penerimaan surat putusan penjatuhan sanksi dari Dewan Kehormatan
Daerah.

3. Permohonan naik banding dikirim dengan surat tercatat atau dikirim


langsung oleh anggota yang bersangkutan kepada Dewan Kehormatan
Wilayah dan tembusannya kepada Dewan Kehormatan Pusat, Pengurus
Pusat, Pengurus Wilayah, dan Pengurus Daerah.

4. Dewan Kehormatan Daerah dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah menerima


surat tembusan permohonan banding wajib mengirim semua salinan/foto
copy berkas pemeriksaan kepada Dewan Kehormatan Pusat.

5. Setelah menerima permohonan banding, Dewan Kehormatan Wilayah wajib


memanggil anggota yang naik banding, selambat-lambatnya dalam waktu 7
(tujuh) hari kerja, setelah menerima permohonan tersebut. Anggota yang
mengajukan banding dipanggil untuk didengar keterangannya dan diberi
kesempatan untuk membela diri dalam sidang Dewan Kehormatan Wilayah.

6. Dewan Kehormatan Wilayah wajib memberi putusan dalam tingkat banding


melalui sidangnya, dalam waktu 30 (tigapuluh) hari kerja, setelah anggota
yang bersangkutan dipanggil, didengar keterangannya dan diberi
kesempatan untuk membela diri.

7. Apabila anggota yang dipanggil tidak datang dan tidak memberi kabar
dengan alasan yang sah melalui surat tercatat, maka sidang Dewan
Kehormatan Wilayah tetap akan memberi putusan dalam waktu yang
ditentukan pada ayat (5) di atas.

8
denbagusrasjid.wordpress.com
8. Dewan Kehormatan Wilayah wajib mengirim putusannya kepada anggota
yang minta banding dengan surat tercatat atau dengan ekspedisi dan
tembusannya kepada Dewan Kehormatan Daerah, Pengurus Wilayah,
Pengurus Daerah dan Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia, semuanya
itu dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah sidang Dewan Kehormatan
Wilayah menjatuhkan keputusannya atas banding tersebut.

9. Apabila pemeriksaan dan penjatuhan sanksi dalam tingkat pertama telah


dilakukan oleh Dewan Kehormatan Wilayah, berhubung pada tingkat
kepengurusan Daerah yang bersangkutan belum dibentuk Dewan
Kehormatan Daerah, maka keputusan Dewan Kehormatan Wilayah tersebut
merupakan keputusan tingkat banding.

4. Pemeriksaan dan Penjatuhan Sanksi pada Tingkat Terakhir


Pasal 11

1. Putusan yang berisi penjatuhan sanksi pemecatan sementara (schorsing)


atau pemecatan (onzetting) dari keanggotaan Perkumpulan yang dilakukan
oleh Dewan Kehormatan Wilayah dapat diajukan/dimohonkan pemeriksaan
pada tingkat terakhir kepada Dewan Kehormatan Pusat.

2. Permohonan untuk pemeriksaan tingkat terakhir wajib dilakukan oleh


anggota yang bersangkutan dalam waktu 30 (tigapuluh) hari kerja, setelah
tanggal penerimaan surat putusan penjatuhan sanksi dari Dewan
Kehormatan Wilayah.

3. Permohonan pemeriksaan tingkat terakhir dikirim dengan surat tercatat


atau melalui ekspedisi oleh anggota yang bersangkutan kepada Dewan
Kehormatan Pusat dan tembusannya kepada Dewan Kehormatan Daerah,
Pengurus Pusat, Pengurus Wilayah dan Pengurus Daerah.

4. Dewan Kehormatan Wilayah dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja, setelah


menerima surat tembusan permohonan pemeriksaan tingkat terakhir, wajib
mengirim semua salinan/fotocopy berkas pemeriksaan kepada Dewan
Kehormatan Pusat.

5. Setelah menerima permohonan pemeriksaan tingkat terakhir, Dewan


Kehormatan Pusat wajib memanggil anggota yang meminta pemeriksaan
tersebut, selambat-lambatnya dalam waktu 30 (tigapuluh) hari kerja,
setelah menerima permohonan itu. Anggota yang mengajukan permohonan
pemeriksaan tersebut, dipanggil, didengar keterangannya dan diberi
kesempatan untuk membela diri dalam sidang Dewan Kehormatan Pusat.

6. Dewan Kehormatan Pusat wajib memberi putusan dalam pemeriksaan


tingkat terakhir melalui sidangnya, dalam waktu 30 (tigapuluh) hari kerja,
setelah anggota yang bersangkutan dipanggil, didengar keterangannya dan
diberi kesempatan untuk membela diri.

7. Apabila anggota yang dipanggil tidak datang dan tidak memberi kabar
dengan alasan yang sah melalui surat tercatat, maka sidang Dewan
Kehormatan Pusat tetap akan memberi putusan dalam waktu yang
ditentukan pada ayat (5) di atas.

8. Dewan Kehormatan Pusat wajib mengirim putusannya kepada anggota yang


minta pemeriksaan tingkat terakhir dengan surat tercatat atau dengan
ekspedisi dan tembusannya kepada Dewan Kehormatan Daerah, Pengurus

9
denbagusrasjid.wordpress.com
Cabang, Pengurus Daerah dan Pengurus Pusat, semuanya dalam waktu 7
(tujuh) hari kerja, setelah sidang Dewan Kehormatan Pusat menjatuhkan
keputusan atas pemeriksaan tingkat terakhir tersebut.

Bagian Ketiga
Eksekusi atas Sanksi-Sanksi dalam Pelanggaran Kode Etik
Pasal 12

1. Putusan yang ditetapkan oleh Dewan Kehormatan Daerah, Dewan


Kehormatan Wilayah maupun yang ditetapkan oleh Dewan Kehormatan
Pusat dilaksanakan oleh Pengurus Daerah.

2. Pengurus Daerah wajib mencatat dalam buku anggota Perkumpulan yang


ada pada Pengurus Daerah atas setiap keputusan yang telah ditetapkan
oleh Dewan Kehormatan Daerah, Dewan Kehormatan Wilayah dan/atau
Dewan Kehormatan Pusat mengenai kasus Kode Etik berikut nama anggota
yang bersangkutan.
Selanjutnya nama Notaris tersebut, kasus dan keputusan Dewan
Kehormatan Daerah, Dewan Kehormatan Wilayah dan/atau Dewan
Kehormatan Pusat diumumkan dalam Media Notariat yang terbit setelah
pencatatan dalam buku anggota Perkumpulan tersebut.

BAB VI
PEMECATAN SEMENTARA
Pasal 13

Tanpa mengurangi ketentuan yang mengatur tentang prosedur atau tata cara
maupun penjatuhan sanksi secara bertingkat, maka terhadap seorang anggota
Perkumpulan yang telah melanggar Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris dan yang bersangkutan dinyatakan bersalah, serta dipidana
berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang
tetap, Pengurus Pusat wajib memecat sementara sebagai anggota Perkumpulan
disertai usul kepada Kongres agar anggota Perkumpulan tersebut dipecat dari
anggota Perkumpulan.

BAB VII
KEWAJIBAN PENGURUS PUSAT
Pasal 14

Pengenaan sanksi pemecatan sementara (schorsing) demikian juga sanksi


(onzetting) maupun pemberhentian dengan tidak hormat sebagai anggota
Perkumpulan terhadap pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 di
atas wajib diberitahukan oleh Pengurus Pusat kepada Majelis Pengawas Daerah
dan tembusannya disampaikan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia.

BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 15

1. Semua anggota Perkumpulan wajib menyesuaikan praktek maupun perilaku


dalam menjalankan jabatannya dengan ketentuan-ketentuan yang
tercantum dalam peraturan dan/atau Kode Etik ini.

10
denbagusrasjid.wordpress.com
2. Hanya Pengurus Pusat dan/atau alat perlengkapan yang lain dari
Perkumpulan atau anggota yang ditunjuk olehnya dengan cara yang
dipandang baik oleh kedua lembaga tersebut berhak dan berwenang untuk
memberikan penerangan seperlunya kepada masyarakat tentang Kode Etik
Notaris dan Dewan Kehormatan.

Ditetapkan di Bandung
Pada tanggal 28 Januari 2005

Komisi Kode Etik

Ketua, Sekretaris,

ttd. ttd.

ADRIAN DJUAINI, SH. IRWAN SANTOSA, SH.

Wakil Ketua.

ttd.

ETIEF MOESA SUTJIPTO, SH.

TIM PERUMUS KODE ETIK

1. R. Muhammad Hendarmawan, SH.


2. DR. Muhammad Afandhi Nawawi, SH.
3. DR. Herlien Budiono, SH.
4. Darwani Sidi Bakaroeddin, SH.
5. I Ketut Rames Iswara, SH.
6. Henricus Subekti, SH.
7. H. Abu Jusuf, SH.
8. Etief Moesa Sutjipto, SH.
9. Miftachul Machsun, SH.
10. Syahril Sofyan, SH.
11. Adrian Djuaini, SH.
12. Supriyanto, SH.
13. Irwan Santoso, SH.

11
denbagusrasjid.wordpress.com
PERUBAHAN KODE ETIK NOTARIS

KONGRES LUAR BIASA IKATAN NOTARIS INDONESIA (INI)

BANTEN, 29-30 MEI 2015

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Kode Etik Notaris ini yang dimaksud dengan:
1. Ikatan Notaris Indonesia disingkat INI adalah
Perkumpulan/organisasi bagi para Notaris, berdiri semenjak
tanggal 1 Juli 1908, diakui sebagai Badan Hukum
(rechtspersoon) berdasarkan Gouvernements Besluit
(Penetapan Pemerintah) tanggal 5 September 1908 Nomor 9,
merupakan satu-satunya wadah pemersatu bagi semua dan
setiap orang yang memangku dan menjalankan tugas jabatan
sebagai pejabat umum di Indonesia, sebagaimana hal itu
telah diakui dan mendapat pengesahan dari Pemerintah
berdasarkan Anggaran Dasar Perkumpulan Notaris yang telah
mendapatkan Penetapan Menteri Kehakiman tertanggal 4
Desember 1958 Nomor J.A.5/117/6 dan diumumkan dalam
Berita Negara Republik Indonesia tanggal 6 Maret 1959 Nomor
19, Tambahan Berita Negara Republik Indonesia Nomor 6, dan
perubahan anggaran dasar yang terakhir telah mendapat
persetujuan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia

1
Republik Indonesia berdasarkan Surat Keputusan tanggal 12
Januari 2009 Nomor AHU-03.AH.01.07.Tahun 2009, oleh karena
itu sebagai dan merupakan organisasi Notaris sebagaimana
yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004
tentang Jabatan Notaris yang diundangkan berdasarkan
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432
serta mulai berlaku pada tanggal 6 Oktober 2004,
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang telah
diundangkan dalam Lembaran Negara Tahun 2014 Nomor 3,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 5491 (selanjutnya disebut
“Undang-Undang Jabatan Notaris”).
2. Kode Etik Notaris dan untuk selanjutnya akan disebut Kode Etik
adalah kaidah moral yang ditentukan oleh Perkumpulan
Ikatan Notaris Indonesia yang selanjutnya akan disebut
“Perkumpulan" berdasarkan keputusan Kongres Perkumpulan
dan/atau yang ditentukan oleh dan diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang hal itu dan
yang berlaku bagi serta wajib ditaati oleh setiap dan semua
anggota Perkumpulan dan semua orang yang menjalankan
tugas jabatan sebagai Notaris, termasuk di dalamnya para
Pejabat Sementara Notaris, Notaris Pengganti pada saat
menjalankan jabatan.

2
3. Disiplin Organisasi adalah kepatuhan anggota terhadap
Peraturan-peraturan dan Keputusan-keputusan Perkumpulan.
4. Notaris adalah setiap orang yang memangku dan
menjalankan tugas jabatan sebagai pejabat umum,
sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang tentang
Jabatan Notaris.
5. Pengurus Pusat adalah Pengurus Perkumpulan, pada tingkat
nasional yang mempunyai tugas, kewajiban serta
kewenangan untuk mewakili dan bertindak atas nama
Perkumpulan, baik di luar maupun di muka Pengadilan.
6. Pengurus Wilayah adalah Pengurus Perkumpulan pada tingkat
Propinsi atau yang setingkat dengan itu.
7. Pengurus Daerah adalah Pengurus Perkumpulan pada tingkat
Kabupaten/Kota atau yang setingkat dengan itu.
8. Dewan Kehormatan adalah alat perlengkapan Perkumpulan
yang dibentuk dan berfungsi menegakkan Kode Etik, harkat
dan martabat Notaris, yang bersifat mandiri dan bebas dari
keberpihakan, dalam menjalankan tugas dan
kewenangannya dalam Perkumpulan. Dewan Kehormatan
terdiri atas:
a. Dewan Kehormatan Pusat pada tingkat Nasional;
b. Dewan Kehormatan Wilayah pada tingkat Propinsi;
c. Dewan Kehormatan Daerah pada tingkat Kabupaten/Kota.
9. Pelanggaran adalah perbuatan atau tindakan yang dilakukan
oleh:

3
Anggota Perkumpulan yang bertentangan dengan Kode
Etik dan/atau Disiplin Organisasi;
Orang lain yang memangku dan menjalankan jabatan
Notaris yang bertentangan dengan ketentuan Kode Etik.
10. Kewajiban adalah sikap, perilaku, perbuatan atau tindakan
yang harus atau wajib dilakukan oleh anggota Perkumpulan
maupun orang lain yang memangku dan menjalankan
jabatan Notaris, dalam rangka menjaga dan memelihara citra
serta wibawa lembaga kenotariatan dan menjunjung tinggi
keluhuran harkat dan martabat jabatan Notaris.
11. Larangan adalah sikap, perilaku dan perbuatan atau tindakan
apapun yang tidak boleh dilakukan oleh anggota
Perkumpulan maupun orang lain yang memangku dan
menjalankan jabatan Notaris, yang dapat menurunkan citra
serta wibawa lembaga kenotariatan ataupun keluhuran harkat
dan martabat jabatan Notaris.
12. Sanksi adalah suatu hukuman yang dijatuhkan oleh Dewan
Kehormatan yang dimaksudkan sebagai sarana, upaya dan
alat pemaksa ketaatan dan disiplin anggota Perkumpulan
maupun orang lain yang memangku dan menjalankan
jabatan Notaris.
13. Eksekusi adalah pelaksanaan keputusan Dewan Kehormatan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
2. Ketentuan Pasal 2 diubah, sehingga Pasal 2 berbunyi sebagai
berikut:

4
BAB II
RUANG LINGKUP KODE ETIK
Pasal 2
Kode Etik berlaku bagi seluruh anggota Perkumpulan maupun
orang lain (selama yang bersangkutan menjalankan jabatan
Notaris), baik dalam pelaksanaan jabatan maupun dalam
kehidupan sehari-hari.

3. Beberapa ketentuan dalam Pasal 3 diubah, sehingga Pasal 3


berbunyi sebagai berikut:
BAB III
KEWAJIBAN, LARANGAN DAN PENGECUALIAN

Kewajiban
Pasal 3
Notaris maupun orang lain (selama yang bersangkutan
menjalankan jabatan Notaris) wajib:
1. Memiliki moral, akhlak serta kepribadian yang baik;
2. Menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat
Jabatan Notaris;
3. Menjaga dan membela Kehormatan Perkumpulan;
4. Berperilaku jujur, mandiri, tidak berpihak, amanah, seksama,
penuh rasa tanggung jawab, berdasarkan peraturan
perundang-undangan dan isi sumpah jabatan Notaris;

5
5. Meningkatkan ilmu pengetahuan dan keahlian profesi yang
telah dimiliki tidak terbatas pada ilmu pengetahuan hukum
dan kenotariatan;
6. Mengutamakan pengabdian kepada kepentingan
masyarakat dan Negara;
7. Memberikan jasa pembuatan akta dan kewenangan lainnya
untuk masyarakat yang tidak mampu tanpa memungut
honorarium;
8. Menetapkan 1 (satu) kantor di tempat kedudukan dan kantor
tersebut merupakan satu-satunya kantor bagi Notaris yang
bersangkutan dalam melaksanakan tugas jabatan sehari-hari;
9. Memasang 1 (satu) papan nama di depan/di lingkungan
kantornya dengan pilihan ukuran yaitu 100 cm x 40 cm, 150 cm
x 60 cm atau 200 cm x 80 cm, yang memuat:
a. Nama lengkap dan gelar yang sah;
b. Tanggal dan nomor Surat Keputusan pengangkatan yang
terakhir sebagai Notaris;
c. Tempat kedudukan;
d. Alamat kantor dan nomor telepon/fax.
Dasar papan nama berwarna putih dengan huruf berwarna
hitam dan tulisan di atas papan nama harus jelas dan mudah
dibaca. Kecuali di lingkungan kantor tersebut tidak
dimungkinkan untuk pemasangan papan nama dimaksud;
10. Hadir, mengikuti dan berpartisipasi aktif dalam kegiatan yang
diselenggarakan oleh Perkumpulan;

6
11. Menghormati, mematuhi, melaksanakan Peraturan-peraturan
dan Keputusan-keputusan Perkumpulan;
12. Membayar uang iuran Perkumpulan secara tertib;
13. Membayar uang duka untuk membantu ahli waris teman
sejawat yang meninggal dunia;
14. Melaksanakan dan mematuhi semua ketentuan tentang
honorarium yang ditetapkan Perkumpulan;
15. Menjalankan jabatan Notaris di kantornya, kecuali karena
alasan-alasan tertentu;
16. Menciptakan suasana kekeluargaan dan kebersamaan dalam
melaksanakan tugas jabatan dan kegiatan sehari-hari serta
saling memperlakukan rekan sejawat secara baik, saling
menghormati, saling menghargai, saling membantu serta
selalu berusaha menjalin komunikasi dan tali silaturahim;
17. Memperlakukan setiap klien yang datang dengan baik, tidak
membedakan status ekonomi dan/atau status sosialnya;
18. Membuat akta dalam jumlah batas kewajaran untuk
menjalankan peraturan perundang- undangan, khususnya
Undang-Undang tentang Jabatan Notaris dan Kode Etik.

7
4. Beberapa ketentuan dalam Pasal 4 diubah, sehingga Pasal 4
berbunyi sebagai berikut:
Larangan
Pasal 4
Notaris maupun orang lain (selama yang bersangkutan
menjalankan jabatan Notaris) dilarang:
1. Mempunyai lebih dari 1 (satu) kantor, baik kantor cabang
ataupun kantor perwakilan;
2. Memasang papan nama dan/atau tulisan yang berbunyi
“Notaris/Kantor Notaris" di luar lingkungan kantor;
3. Melakukan publikasi atau promosi diri, baik sendiri maupun
secara bersama-sama, dengan mencantumkan nama dan
jabatannya, menggunakan sarana media cetak dan/atau
elektronik, dalam bentuk:
a. Iklan;
b. Ucapan selamat;
c. Ucapan belasungkawa;
d. Ucapan terima kasih;
e. Kegiatan pemasaran;
f. Kegiatan sponsor, baik dalam bidang sosial, keagamaan,
maupun olahraga.
4. Bekerja sama dengan biro jasa/orang/Badan Hukum yang
pada hakekatnya bertindak sebagai perantara untuk mencari
atau mendapatkan klien;

8
5. Menandatangani akta yang proses pembuatannya telah
dipersiapkan oleh pihak lain;
6. Mengirimkan minuta kepada klien untuk ditandatangani;
7. Berusaha atau berupaya dengan jalan apapun, agar
seseorang berpindah dari Notaris lain kepadanya, baik upaya
itu ditujukan langsung kepada klien yang bersangkutan
maupun melalui perantaraan orang lain;
8. Melakukan pemaksaan kepada klien dengan cara menahan
dokumen-dokumen yang telah diserahkan dan/atau
melakukan tekanan psikologis dengan maksud agar klien
tersebut tetap membuat akta padanya;
9. Melakukan usaha-usaha, baik langsung maupun tidak
langsung yang menjurus ke arah timbulnya persaingan yang
tidak sehat dengan sesama rekan Notaris;
10. Menetapkan honorarium yang harus dibayar oleh klien dalam
jumlah yang lebih rendah dari honorarium yang telah
ditetapkan Perkumpulan;
11. Mempekerjakan dengan sengaja orang yang masih berstatus
karyawan kantor Notaris lain tanpa persetujuan terlebih dahulu
dari Notaris yang bersangkutan, termasuk menerima pekerjaan
dari karyawan kantor Notaris lain;
12. Menjelekkan dan/atau mempersalahkan rekan Notaris atau
akta yang dibuat olehnya. Dalam hal seorang Notaris
menghadapi dan/atau menemukan suatu akta yang dibuat
oleh rekan sejawat yang ternyata di dalamnya terdapat

9
kesalahan-kesalahan yang serius dan/atau membahayakan
klien, maka Notaris tersebut wajib memberitahukan kepada
rekan sejawat yang bersangkutan atas kesalahan yang
dibuatnya dengan cara yang tidak bersifat menggurui,
melainkan untuk mencegah timbulnya hal-hal yang tidak
diinginkan terhadap klien yang bersangkutan ataupun rekan
sejawat tersebut;
13. Tidak melakukan Kewajiban dan melakukan Pelanggaran
terhadap Larangan sebagaimana dimaksud dalam Kode Etik
dengan menggunakan media elektronik, termasuk namun
tidak terbatas dengan menggunakan internet dan media
sosial;
14. Membentuk kelompok sesama rekan sejawat yang bersifat
eksklusif dengan tujuan untuk melayani kepentingan suatu
instansi atau Iembaga, apalagi menutup kemungkinan bagi
Notaris lain untuk berpartisipasi;
15. Menggunakan dan mencantumkan gelar yang tidak sesuai
dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku;
16. Membuat akta melebihi batas kewajaran yang batas
jumlahnya ditentukan oleh Dewan Kehormatan;
17. Mengikuti pelelangan untuk mendapatkan
pekerjaan/pembuatan akta.

10
5. Ketentuan dalam Pasal 5 ditambah ayat 4 baru, sehingga Pasal 5
berbunyi sebagai berikut:
Pengecualian
Pasal 5
Hal-hal yang tersebut di bawah ini merupakan pengecualian oleh
karena itu tidak termasuk Pelanggaran, yaitu:
1. Memberikan ucapan selamat, ucapan berdukacita dengan
mempergunakan kartu ucapan, surat, karangan bunga
ataupun media lainnya dengan tidak mencantumkan Notaris,
tetapi hanya nama saja;
2. Pemuatan nama dan alamat Notaris dalam buku panduan
nomor telepon, fax dan telex, yang diterbitkan secara resmi
oleh PT Telkom dan/atau instansi-instansi dan/atau Iembaga-
Iembaga resmi Iainnya;
3. Memasang 1 (satu) tanda penunjuk jalan dengan ukuran tidak
melebihi 20 cm x 50 cm, dasar berwarna putih, huruf berwarna
hitam, tanpa mencantumkan nama Notaris serta dipasang
dalam radius maksimum 100 meter dari kantor Notaris;
4. Memperkenalkan diri tetapi tidak melakukan promosi diri selaku
Notaris.

11
6. Beberapa ketentuan dalam Pasal 6 diubah, sehingga Pasal 6
berbunyi sebagai berikut:
BAB IV
SANKSI

Pasal 6
1. Sanksi yang dikenakan terhadap anggota yang melakukan
pelanggaran Kode Etik dapat berupa :
a. Teguran;
b. Peringatan;
c. Pemberhentian sementara dari keanggotaan Perkumpulan;
d. Pemberhentian dengan hormat dari keanggotaan
Perkumpulan;
e. Pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan
Perkumpulan.
2. Penjatuhan sanksi sebagaimana terurai di atas terhadap
anggota yang melanggar Kode Etik disesuaikan dengan
kuantitas dan kualitas pelanggaran yang dilakukan anggota
tersebut.
3. Dewan Kehormatan Pusat berwenang untuk memutuskan dan
menjatuhkan sanksi terhadap pelanggaran yang dilakukan
oleh anggota biasa (dari Notaris aktif) Perkumpulan, terhadap
pelanggaran norma susila atau perilaku yang merendahkan
harkat dan martabat Notaris, atau perbuatan yang dapat
mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap Notaris.

12
4. Pelanggaran Kode Etik yang dilakukan oleh orang lain (yang
sedang dalam menjalankan jabatan Notaris), dapat
dijatuhkan sanksi teguran dan/atau peringatan.
5. Keputusan Dewan Kehormatan berupa teguran atau
peringatan tidak dapat diajukan banding.
6. Keputusan Dewan Kehormatan Daerah/Dewan Kehormatan
Wilayah berupa pemberhentian sementara atau
pemberhentian dengan hormat atau pemberhentian dengan
tidak hormat dari keanggotaan Perkumpulan dapat diajukan
banding ke Dewan Kehormatan Pusat.
7. Keputusan Dewan Kehormatan Pusat tingkat pertama berupa
pemberhentian sementara atau pemberhentian dengan
hormat atau pemberhentian dengan tidak hormat dari
keanggotaan Perkumpulan dapat diajukan banding ke
Kongres.
8. Dewan Kehormatan Pusat berwenang pula untuk memberikan
rekomendasi disertai usulan pemecatan sebagai Notaris
kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia.

13
7. Beberapa ketentuan dalam Pasal 7 diubah, sehingga Pasal 7
berbunyi sebagai berikut:
BAB V
TATA CARA PENEGAKAN KODE ETIK

Bagian Pertama
Pengawasan
Pasal 7
Pengawasan atas pelaksanaan Kode Etik dilakukan oleh:
a. Pada tingkat Kabupaten/Kota oleh Pengurus Daerah dan
Dewan Kehormatan Daerah;
b. Pada tingkat Propinsi oleh Pengurus Wilayah dan Dewan
Kehormatan Wilayah;
c. Pada tingkat Nasional oleh Pengurus Pusat dan Dewan
Kehormatan Pusat.

14
8. Beberapa ketentuan Bagian Kedua Pemeriksaan dan Penjatuhan
Sanksi diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:
Bagian Kedua
Pemeriksaan dan Penjatuhan Sanksi

1. Fakta Dugaan Pelanggaran


Pasal 8
1. Dewan Kehormatan Daerah/Dewan Kehormatan
Wilayah/Dewan Kehormatan Pusat dapat mencari fakta atas
dugaan Pelanggaran Kode Etik oleh anggota Perkumpulan
atas prakarsa sendiri atau setelah menerima pengaduan
secara tertulis dari anggota Perkumpulan atau orang Iain
disertai bukti-bukti yang meyakinkan bahwa telah terjadi
dugaan Pelanggaran Kode Etik oleh anggota Perkumpulan.
2. Pelanggaran ataupun penerimaan pengaduan yang terlebih
dahulu diperiksa oleh satu Dewan Kehormatan, tidak boleh
Iagi diperiksa oleh Dewan Kehormatan Iainnya.

2. Pemeriksaan dan Penjatuhan Sanksi Pada Tingkat Pertama


Pasal 9
1. Dewan Kehormatan Daerah/Dewan Kehormatan
Wilayah/Dewan Kehormatan Pusat setelah menemukan fakta
dugaan Pelanggaran Kode Etik sebagaimana dimaksud pada
Pasal 8 di atas, selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat
belas) hari kerja Dewan Kehormatan yang memeriksa wajib

15
memanggil secara tertulis anggota yang bersangkutan untuk
memastikan terjadinya Pelanggaran Kode Etik oleh anggota
perkumpulan dan memberikan kesempatan kepada yang
bersangkutan untuk memberikan penjelasan dan pembelaan.
Pemanggilan tersebut dikirimkan selambat-lambatnya 14
(empat belas) hari kerja sebelum tanggal pemeriksaan.
2. Dalam hal anggota yang dipanggil tidak hadir pada tanggal
yang telah ditentukan, maka Dewan Kehormatan yang
memeriksa akan memanggil kembali untuk yang kedua kali
selambat-Iambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja
setelah pemanggilan pertama.
3. Dalam hal anggota yang dipanggil tidak hadir pada
pemanggilan kedua, maka Dewan Kehormatan yang
memeriksa akan memanggil kembali untuk yang ketiga kali
seIambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja
setelah pemanggilan kedua.
4. Apabila setelah pemanggilan ketiga ternyata masih juga tidak
hadir, maka Dewan Kehormatan yang memeriksa tetap
bersidang dan menentukan keputusan dan/atau penjatuhan
sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Kode Etik.
5. Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut dibuat berita acara
pemeriksaan yang ditandatangani oleh anggota yang
bersangkutan dan Dewan Kehormatan yang memeriksa.
Dalam hal anggota yang bersangkutan tidak bersedia
menandatangani berita acara pemeriksaan, maka berita

16
acara pemeriksaan cukup ditandatangani oleh Dewan
Kehormatan yang memeriksa.
6. Dewan Kehormatan yang memeriksa, selambat-lambatnya
dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kerja setelah tanggal sidang
terakhir, diwajibkan untuk mengambil keputusan atas hasil
pemeriksaan tersebut sekaligus menentukan sanksi terhadap
pelanggarnya apabila terbukti ada pelanggaran
sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 6 Kode Etik yang
dituangkan dalam Surat Keputusan.
7. Apabila anggota yang bersangkutan tidak terbukti melakukan
Pelanggaran, maka anggota tersebut dipulihkan namanya
dengan Surat Keputusan Dewan Kehormatan yang memeriksa.
8. Dewan Kehormatan yang memeriksa wajib mengirimkan Surat
Keputusan tersebut kepada anggota yang diperiksa dengan
surat tercatat dan tembusannya kepada Pengurus Pusat,
Dewan Kehormatan Pusat, Pengurus Wilayah, Dewan
Kehormatan Wilayah, Pengurus Daerah dan Dewan
Kehormatan Daerah.
9. Dalam hal keputusan Sanksi diputuskan oleh dan dalam
Kongres, wajib diberitahukan oleh Kongres kepada anggota
yang diperiksa dengan surat tercatat dan tembusannya
kepada Pengurus Pusat, Dewan Kehormatan Pusat, Pengurus
Wilayah, Dewan Kehormatan Wilayah, Pengurus Daerah dan
Dewan Kehormatan Daerah.

17
10. Pemeriksaan dan pengambilan keputusan sidang, Dewan
Kehormatan yang memeriksa harus:
a. Tetap menghormati dan menjunjung tinggi martabat
anggota yang bersangkutan;
b. Selalu menjaga suasana kekeluargaan;
c. Merahasiakan segala hal yang ditemukannya.
11. Sidang pemeriksaan dilakukan secara tertutup, sedangkan
pembacaan keputusan dilakukan secara terbuka.
12. Sidang Dewan Kehormatan yang memeriksa sah jika dihadiri
oleh lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah anggota. Apabila
pada pembukaan sidang jumlah korum tidak tercapai, maka
sidang diundur selama 30 (tiga puluh) menit. Apabila setelah
pengunduran waktu tersebut kuorum belum juga tercapai,
maka sidang dianggap sah dan dapat mengambil keputusan
yang sah.
13. Setiap anggota Dewan Kehormatan yang memeriksa
mempunyai hak untuk mengeluarkan 1 (satu) suara.
14. Apabila pada tingkat kepengurusan Daerah belum dibentuk
Dewan Kehormatan Daerah, maka tugas dan kewenangan
Dewan Kehormatan Daerah dilimpahkan kepada Dewan
Kehormatan Wilayah.

18
3. Pemeriksaan Dan Penjatuhan Sanksi Pada Tingkat Banding
Pasal 10
1. Permohonan banding dilakukan oleh anggota yang
bersangkutan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kerja, setelah
tanggal penerimaan Surat Keputusan penjatuhan sanksi dari
Dewan Kehormatan Daerah/Dewan Kehormatan Wilayah.
2. Permohonan banding dikirim dengan surat tercatat atau
dikirim langsung oleh anggota yang bersangkutan kepada
Dewan Kehormatan Pusat dan tembusannya kepada
Pengurus Pusat, Pengurus Wilayah, Dewan Kehormatan
Wilayah, Pengurus Daerah dan Dewan Kehormatan Daerah.
3. Dewan Kehormatan yang memutus sanksi selambat-
Iambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja setelah
menerima surat tembusan permohonan banding wajib
mengirim semua salinan/fotokopi berkas pemeriksaan kepada
Dewan Kehormatan Pusat.
4. Setelah menerima permohonan banding, Dewan Kehormatan
Pusat wajib memanggil anggota yang mengajukan banding,
selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja
setelah menerima permohonan tersebut untuk didengar
keterangannya dan diberi kesempatan untuk membela diri
dalam sidang Dewan Kehormatan Pusat.
5. Dewan Kehormatan Pusat wajib memutuskan permohonan
banding selambat-lambatnya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari

19
kerja setelah anggota yang bersangkutan diperiksa pada
sidang terakhir.
6. Apabila anggota yang dipanggil tidak hadir, maka Dewan
Kehormatan Pusat tetap akan memutuskan dalam waktu yang
ditentukan pada ayat (5) di atas.
7. Dewan Kehormatan Pusat wajib mengirimkan Surat Keputusan
tersebut kepada anggota yang diperiksa dengan surat
tercatat dan tembusannya kepada Pengurus Pusat, Pengurus
Wilayah, Dewan Kehormatan Wilayah, Pengurus Daerah dan
Dewan Kehormatan Daerah, selambat-Iambatnya dalam
waktu 14 (empat belas) hari kerja setelah tanggal Surat
Keputusan.
8. Dalam hal permohonan banding diajukan kepada Kongres,
maka permohonan banding dilakukan oleh anggota yang
bersangkutan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sebelum
Kongres diselenggarakan.
9. Permohonan banding dikirim dengan surat tercatat atau
dikirim langsung oleh anggota yang bersangkutan kepada
Presidium Kongres meiaiui Sekretariat Pengurus Pusat dan
tembusannya kepada Pengurus Pusat, Dewan Kehormatan
Pusat, Pengurus Wilayah, Dewan Kehormatan Wilayah,
Pengurus Daerah dan Dewan Kehormatan Daerah.
10. Dewan Kehormatan yang memutus sanksi selambat-
lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja setelah
menerima surat tembusan permohonan banding wajib

20
mengirim semua salinan/fotokopi berkas pemeriksaan kepada
Presidium Kongres melalui Sekretariat Pengurus Pusat.
11. Kongres wajib mengagendakan pemeriksaan terhadap
anggota yang mengajukan banding untuk didengar
keterangannya dan diberi kesempatan untuk membela diri
dalam Kongres.
12. Kongres wajib memutuskan permohonan banding dalam
Kongres tersebut.
13. Apabila anggota yang mengajukan banding tidak hadir
dalam Kongres, maka Kongres tetap akan memutuskan
permohonan banding tersebut.
14. Kongres melalui Dewan Kehormatan Pusat wajib mengirimkan
Surat Keputusan tersebut kepada anggota yang diperiksa
dengan surat tercatat dan tembusannya kepada Pengurus
Pusat, Pengurus Wilayah, Dewan Kehormatan Wilayah,
Pengurus Daerah dan Dewan Kehormatan Daerah.
15. Keputusan sanksi sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 ayat
(1) mempunyai kekuatan hukum tetap dalam hal:
a. Anggota dikenakan sanksi berupa teguran dan peringatan;
b. Anggota dikenakan sanksi berupa pemberhentian
sementara atau pemberhentian dengan hormat atau
pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan
Perkumpulan, menerima putusan tersebut dan tidak
mengajukan banding dalam waktu yang telah ditentukan;

21
c. Dewan Kehormatan Pusat/Kongres telah mengeluarkan
keputusan sanksi tingkat banding.

15. Merubah Pasal 11 sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 11
1. Ketentuan dan tata cara pemeriksaan atas dugaan
pelanggaran yang dilakukan oleh Anggota dan orang lain
(yang sedang dalam menjalankan jabatan Notaris), akan
diatur lebih lanjut dalam Peraturan Dewan Kehormatan Pusat.
2. Pengenaan Sanksi terhadap Pelanggaran Kode Etik pada
Pasal 3 dan Pasal 4 akan diatur dalam Peraturan Dewan
Kehormatan Pusat.

16. Ketentuan Pasal 12 ayat (2) diubah, sehingga Pasal 12


berbunyi sebagai berikut:
Bagian Ketiga
Pencatatan Atas Sanksi Dalam Pelanggaran Kode Etik
Pasal 12
Pengurus Pusat wajib mencatat dalam buku daftar anggota
Perkumpulan atas setiap keputusan Dewan Kehormatan
Daerah/Dewan Kehormatan Wilayah/Dewan Kehormatan
Pusat/Kongres yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

22
17. Judul dan ketentuan Bab VI Pasal 13 diubah sehingga Bab VI
Pasal 13 berbunyi sebagai berikut:
BAB VII
PELANGGARAN TERHADAP UNDANG-UNDANG JABATAN NOTARIS
Pasal 13
Tanpa mengurangi ketentuan yang mengatur tentang prosedur
atau tata cara maupun penjatuhan sanksi, maka terhadap
anggota Perkumpulan yang telah melanggar Undang-Undang
Jabatan Notaris dan dikenakan sanksi pemberhentian dengan
hormat atau pemberhentian dengan tidak hormat sebagai
Notaris oleh instansi yang berwenang, maka anggota yang
bersangkutan berakhir keanggotaannya dalam Perkumpulan.

18. Ketentuan Pasal 14 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:


BAB VIII
PELANGGARAN TERHADAP KODE ETIK
Pasal 14
Pengenaan sanksi pemberhentian sementara atau
pemberhentian dengan hormat atau pemberhentian dengan
tidak hormat dari keanggotaan Perkumpulan terhadap
Pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 di atas wajib
diberitahukan oleh Pengurus Pusat kepada Majelis Pengawas
Daerah dan tembusannya disampaikan kepada Menteri Hukum
dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.

23
19. Ketentuan Pasal 15 diubah, sehingga Pasal 15 berbunyi
sebagai berikut :
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 15
1. Pengurus dan Dewan Kehormatan berhak dan berwenang
untuk memberikan penerangan kepada anggota dan
masyarakat tentang Kode Etik.
2. Hal-hal mengenai pembinaan, pengawasan, dan penegakan
Kode Etik yang tidak atau belum cukup diatur, akan diatur
dalam Peraturan Dewan Kehormatan Pusat.

Ditetapkan di: Banten


Pada tanggal: 30 Mei
2015

24

Anda mungkin juga menyukai