Anda di halaman 1dari 5

 

A.    PENGERTIAN EPISTEMOLOGI ISLAM


Epistemologi adalah cabang dari ilmu filsafat yang secara khusus membahas teori ilmu
pengetahuan, yang berkaitan dengan asal, sifat, karakter dan jenis pengetahuan. Epistemologi
berasal dari bahasa yunani yaitu   episteme, yang berarti pengetahuan dan logos
(kata/pembicaraaan atau ilmu). Adapun pengertian Islam itu sendiri secara bahasa (etimologi),
berasal dari bahasa Arab, dari kata salima yang berarti selamat sentosa,  Secara istilah
(terminologi), Islam berarti ajaran-ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui
seorang Rasul atau lebih tegas lagi Islam adalah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan
Tuhan kepada manusia melalui Nabi Muhammad SAW. jadi epistemologi islam adalah
pengetahuan islam berdasarkan pemikiran, akal manusia.
Epistemologi menjangkau permasalahan-permasalahan yang membentang seluas
jangkauan metafisika, selain itu ia merupakan hal yang sangat abstrak dan jarang dijadikan
permasalahan ilmiah di dalam kehidupan sehari-hari .      
Epistemologi itu disebut teori pengetahuan (theory of  knowledge)  , di mana dalam
bahasa Arab disebut Nazhriyah al-Ma’rifah. Robert Audi dalam The Cambridge Dictionary of
Philosophy menyatakan epistemologi sebagai studi tentang pengetahuan dan kebenaran , paling
tidak secara khusus mempelajari tentang tiga bagian penting:
1.       penegasan ciri-ciri pengetahuan
2.       kondisi  sumber-sumber pengetahuan yang sesungguhnya.
3.       batasan-batasan pengetahuan dan kebenaran.
Apa yang dapat kita ketahui ?dan bagaimana kita dapat mengetahui itu ? adalah pertanyaan-
pertanyaan filosofis dan  bentuk-bentuk pengetahuan  menjadi topik utama epistemologi, secara
bersamaan dihubungkan kepada gagasan kesadaran lain seperti kepercayaan (belief), pemahaman
(understanding), akal Budi (reason), keputusan (judgement), perasaan (sensation), penglihatan
atau tanggapan daya memahami/menanggapi sesuatu (perception), intuisi/gerak hati (intuition),
dugaan (guessing) dan pengetahuan/pelajaran (learning).
Epistemologi membahas tentang hakikat pengetahuan dan dalam hal ini terbagi kepada
dua aliran  yakni, realisme dan idealisme. Namun ada beberapa penjelasan tentang hakikat
pengetahuan ini sendiri   Realisme menyatakan hakikat pengetahuan adalah apa yang ada dalam
gambar. Pengetahuan menurut teori ini sesuai dengan kenyataan. Sedangkan idealisme
menganggap pengetahuan itu adalah gambar menurut pendapat atau  penglihatan.
Epistemologi atau Teori Pengetahuan yang berhubungan dengan hakikat dari ilmu
pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas
pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki oleh setiap manusia. Pengetahuan tersebut
diperoleh manusia melalui akal dan panca indera dengan berbagai metode, diantaranya; metode
induktif, metode deduktif, metode positivisme, metode kontemplatis dan metode dialektis.
Metode-metode untuk memperoleh pengetahuan
a. Empirisme
Empirisme adalah suatu cara/metode dalam filsafat yang mendasarkan cara memperoleh
pengetahuan dengan melalui pengalaman.
b. Rasionalisme
Rasionalisme berpendirian bahwa sumber pengetahuan terletak pada akal. Bukan karena
rasionalisme mengingkari nilai pengalaman, melainkan pengalaman paling-paling dipandang
sebagai sejenis perangsang bagi pikiran.
c. Fenomenalisme
Bapak Fenomenalisme adalah Immanuel Kant. Kant membuat uraian tentang
pengalaman. Barang sesuatu sebagaimana terdapat dalam dirinya sendiri merangsang alat
inderawi kita dan diterima oleh akal kita dalam bentuk-bentuk pengalaman dan disusun secara
sistematis dengan jalan penalaran.
d. Intusionisme
Menurut Bergson, intuisi adalah suatu sarana untuk mengetahui secara langsung dan
seketika. Analisa, atau pengetahuan yang diperoleh dengan jalan pelukisan, tidak akan dapat
menggantikan hasil pengenalan secara langsung dari pengetahuan intuitif
e. Dialektis
Yaitu tahap logika yang mengajarkan kaidah-kaidah dan metode penuturan serta analisis
sistematik tentang ide-ide untuk mencapai apa yang terkandung dalam pandangan. Dalam
kehidupan sehari-hari dialektika berarti kecakapan untuk melekukan perdebatan. Dalam teori
pengetahuan ini merupakan bentuk pemikiran yang tidak tersusun dari satu pikiran tetapi
pemikiran itu seperti dalam percakapan, bertolak paling kurang dua kutub.

b. Perbedaan Epistemologi Islam dengan Epistemologi Barat


Epistemologi Islam berbeda dengan epistemologi Barat. Perbedaan tersebut diantaranya
dalam mendefinisikan ilmu. Dalam epistemologi Barat, bahwa yang dapat diketahui adalah
segala sesuatu sejauh ia dapat diobservasi secara indrawi yang hanya dibatasi pada bidang-
bidang ilmu fisik atau empiris sedangkan hal lain yang bersifat nonindrawi, nonfisik, dan
metafisika tidak termasuk dalam objek yang dapat diketahui secara ilmiah. Berbeda menurut
epistemologi Islam, ilmu diterapkan dengan sama validnya baik pada ilmu-ilmu yang fisik-
empiris maupun non-fisik atau metafisis. Dalam bukunya Ihsha’ Al-‘Ulum (Klasifikasi Ilmu),
Al-Farabi (w. 950 M) memasukkan ke dalam klasifikasi ilmunya bukan hanya ilmu-ilmu
empiris seperti fisika, botani, mineralogi, dan astronomi melainkan juga ilmu-ilmu nonempiris
seperti konsep-konsep mental dan metafisika.
Hal di atas berarti, dalam epistemologi Islam berbeda dengan epistemologi Barat yang
telaah meragukan status ontologis untuk objek-objek metafisik. Ilmuan-ilmuan Muslim
memiliki kepercayaan yang kuat terhadap status ontologis dari bukan hanya objek-objek fisik
yang kasat mata, tetapi juga objek-objek metafisik yang gaib. Walaupun objek-objek
metafisik tidak bisa dilihat indra, tetapi diyakini memiliki status ontologis yang sama
nyatanya dengan objek-objek fisik, bahkan lebih riil daripada objek-objek indra.
Selain itu, epistemologi Islam sangat berbeda dengan epistemologi Barat yang hanya
mengandalkan empirisme atau rasionalisme tetapi epistemologi Islam mengakui sumber ilmu
tiga sekaligus yaitu indra, akal, intuisi. Masing-masing sumber tersebut memiliki kadar
kemampuan yang berbeda sehingga mereka tidak bisa dipisah-pisah dan harus digunakan
secara proporsional. Indra penglihatan misalnya, hanya mampu berfungsi pada frekuensi 400-
700 nanometer. Indra pendengaran berfungsi pada frekuensi 20-20.000 kilohertz/detik.
Disinilah diperlukan akal yang juga mempunyai kemampuan terbatas.1 Akal dalam
menjalankan kinerjanya dibutuhkan peran hati dan bimbingan wahyu agar apa yang dilakukan
dan dipikirkannya menimbulkan kemaslahatan baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang
lain dan bukan sebaliknya.
Kebenaran yang dibangun oleh ilmu dalam hukum-hukum ilmu atau konsep teoritik
tidak boleh jatuh di bawah kekuasaan hawa nafsu karena berdampak pada rusaknya segala
sesuatu. Sebagimana firman Allah:
ِ ِ ِ ِ ِ ِ ‫ولَ ِو اتَّبع احْل ُّق َأهوآءهم لََفس َد‬
ُ ‫اهم بِذ ْك ِره ْم َف ُه ْم َعن ذ ْك ِرهم ُّم ْع ِر‬
‫ضو َن‬ ُ َ‫ض َو َمن في ِه َّن بَ ْل َأَتْين‬
ُ ‫َألر‬
ْ ْ‫ات َوا‬
ُ ‫الس َم َاو‬
َّ ‫ت‬ َ ْ َُ َْ َ َ َ َ
“Kalau sekiranya kebenaran itu mengikuti hawa nafsu mereka, niscaya binasalah langit dan
bumi dan apa-apa yang ada di dalamnya bahkan Kami telah datangkan kepada mereka
peringatan (Al-Qur’an) tetapi mereka berpaling dari peringatan itu”. (QS. Al-Mu’minun
[23]: 71).
Selain itu, diantara perbedaan epistemologi Barat dan Islam, menurut para filosof Islam
ialah para filosof Barat tidak memisahkan antara induksi dan eksperimen sedangkan para
filosof Muslim memisahkan dua perkara itu dan keduanya memang jelas harus dipisahkan.
Induksi (istiqra’) berada pada posisi prasangka atau dugaan sedangkan eksperimen (ikhtibar,
tajribah) berada pada posisi keyakinan dan argumentatif. Ini berarti terdapat perbedaan antara
perasaan biasa (induksi) dengan praktik (eksperimen) dan praktik dalam hal ini merupakan
aktivitas rasio.2
Jika dalam perkembangannya, kajian epistemologi dalam literatur Barat dapat membuka
perspektif baru dalam kajian ilmu pengetahuan yang multi-dimensional, kecenderungan

1 Adian Husaini, dkk, Filsafat Ilmu Perspektif Barat dan Islam, (Jakarta: Gema Insani, 2013), hlm. 47-48.
2 Murtadha Muthahhari, Pengantar Epistemologi Islam: Sebuah Pemetaan dan Kritik Epistemologi Islam
atas Paradigma Pengetahuan Ilmiah dan Relefansi Pandangan Dunia, hlm. 55-56.
epistemologi dalam pemikiran Islam lebih tajam ke wilayah idealisme hati dan rasionalisme
dengan juga mempedulikan masukan-masukan yang diberikan oleh empirisisme.3
Al-Quran mengatakan tentang alam sebagai obyek indrawi (empirisisme) untuk
kepentingan hidup manusia sebagai makhluk yang berpikir untuk memanfaatkan potensi yang
ada di alam secara bijaksana, sebagaimana firman Allah:
ِ ‫ص ِر‬ ‫هِت‬ ِ ‫الس م‬
ِ ِ َ‫آء ِمن ِّر ْز ٍق ف‬ ِ ِ ِ ‫و‬
‫ات‬
ٌ َ‫اح ءَاي‬
ِ َ‫الري‬
ِّ ‫يف‬ ْ َ‫ض َب ْع َد َم ْو َا َوت‬
َ ‫َألر‬
ْ ْ‫َأحيَ ا ب ه ا‬
ْ َ ‫َّه ا ِر َو َم‬
َ َّ ‫آَأنز َل اهللُ م َن‬ َ ‫اختالَف الَّْي ِل َوالن‬
ْ َ
‫لَِّق ْوٍم َي ْع ِقلُو َن‬
“Dan pada pergantian malam dan siang, dan apa-apa yang diturunkan Allah dari langit
berupa rezeki, lalu Dia menghidupkan dengannya bumi seusdah matinya, dan pada
perkisaran angin, menjadi tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berpikir”. (QS.
Al-Jatsiyah: 5).

c. Pandangan Filosof Muslim tentang Epistemologi Islam


Dalam dunia pemikiran Muslim, setidaknya ada tiga macam teori pengetahuan (epistemologi)
yang biasa disebut. Pertama, pengetahuan indrawi (empirisisme), jarang filosof Muslim
menggunakan metode ini. Kedua, pengetahuan rasional dengan tokohnya seperti Al-Farabi, Ibn
Bajjah, Ibn Tufail, Ibn Rusyd, dan lain-lain. Ketiga, pengetahuan kasyf yang diperoleh lewat
ilham.
Adapun ciri-ciri pengetahuan indrawi adalah:
a. Bersifat individual dan partikular yang berhubungan dengan tiap-tiap sesuatu.
b. Pengetahuan indrawi itu lahiriah, tidak dalam, hanya menyaksikan segala yang sifatnya
material seperti telinga mendengar berbagai suara tetapi tidak secara mendalam.
c. Pengetahuan indrawi bersifat sekarang dan bukan dengan masa lampau atau akan datang.
d. Jenis pengetahuan indrawi adalah jenis pengetahuan yang berhubungan dengan suatu
kawasan tertentu.
Para filosof Muslim, pada umumnya mereka umumnya juga ilmuwan yang
menggunakan metode observasi, yaitu pengamatan indrawi terhadap objek-objek yang
ditelitinya. Sebagaimana misalnya Al-kindi yang dikenal bukan hanya seorang filosof
melainkan juga ilmuwan yang menggunakan metode observasi di laboratorium kimia dan
fisika. Demikian juga metode observasi dilakukan oleh Ibn Haitsam dalam eksperimennya di

3 Musa Asy’ari, dkk, Filsafat Islam: Kajian Ontologis, Epistemologis, Aksiologis, Historis, Prospektif,
(Yogyakarta: LESFI, 1992), hlm. 35.
bidang optik mengenai cahaya dan teori penglihatan atau vision yang brilian dan hasilnya
diabadikan dalam karya besarnya, Al-Manazhir. Ibn Sina menuliskan hasil filosofisnya dalam
ratusan karya diantaranya Al-Syifa’ lebih dari lima belas jilid yang membahas tentang ilmu
metafisika, matematika, fisika, dan logika secara intensif. Adapun karya monumentalnya di
bidang kedokteran adalah Al-Qanun fi Al-Thibb yang membahas bukan saja ilmu kedokteran
dan membuat banyak penelitian termasuk tentang meningitis, cara tersebarnya epidemik, dan
sifat menular tuberkulosis.

Anda mungkin juga menyukai