Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN BENIGN PROSTATE


HYPERPLASIA (BPH)

OLEH

NAMA: NI LUH DITA CANDRA ARISTYA DEWI

NIM: 17.321.2689

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIRA MEDIKA BALI

2019/2020
A. Konsep Dasar Penyakit
1. Definisi/ Pengertian
Benigna prostat hyperplasia (BPH) adalah pembesaran kelenjar prostat non
kanker. Benigna prostat hyperplasia adalah penyakit yang disebabkan oleh
penuaan yang biasanya muncul pada lebih dari 50% laki-laki yang berusia 50
tahun ke atas (Wilson & Price, 2014). Manifestasinya dapat berupa terganggunya
aliran urin, sulit buang air kecil dan keinginan buang air kecil (BAK) namun
pancaran urin lemah. (Kapoor, 2014). Dampak dari BPH saluran kemih bawah
yang mengganggu, infeksi saluran kemih (ISK), hematuria, atau gangguan fungsi
saluran kemih atas (Groat, 2014). Benigna Prostatic Hypertrophy (BPH) adalah
pembesaran prostat yang jinak, bervariasi berupa hiperplasia kelenjar atau
hiperplasia fibromuskular. Walaupun selama ini dikenal dengan hipertrofi prostat
namun secara histologisyang dominan adalah hiperplasia (Sjamsuhidajat,
2005).Perubahan struktur prostat pada BPH meliputi perubahan volume dan
histologi. Perubahan volume prostat terjadi bervariasi pada setiap umur. Pada
beberapa penelitian cross sectional tentang volume prostat yang dibandingkan
dengan usia, dapat disimpulkan bahwa volume prostat meningkat menjadi 25 ml
pada pria usia 30 tahun dan 35-45 mL pada pria usia 70 tahun (Soebhali et
al.,2009). Selama ini volume prostat telah digunakan sebagai kriteria untuk
mendiagnosis BPH. Penentuan volume prostat dapat dilakukan dengan
pemeriksaan colok dubur, ultrasonografi (USG), magnetic resonance imaging
(MRI), atau computed tomografi (CT) (Soetapa et al., 2006).
Benigna Prostat Hyperplasia (BPH) adalah pembesaran kelenjar dan
jaringan seluler kelenjar prostat yang berhubungan dengan perubahan endokrin
berkenaan dengan proses penuaan (Suharyanto,Toto, 2009).Pembesaran prostat
disebabkan oleh dua faktor penting yaitu ketidakseimbangan hormon estrogen
dan androgen, serta faktor umur atau proses penuaan sehingga obstruksi saluran
kemih dapat terjadi(Andredkk, 2011). Adanya obstruksi ini akan menyebabkan,
respon nyeri pada saat buang air kecil dan dapat menyebabkan komplikasi yang
lebih parah seperti gagal ginjal akibat terjadi aliran balik ke ginjal selain itu dapat
juga menyebabkan peritonitis atau radang perut akibat terjadinya infeksi pada
kandung kemih (Andredkk, 2011).
BPH ( Benigna Prostat Hyperplasia ) adalah suatu keadaan dimana kelenjar
prostat mengalami pembesaran, memanjang ke atas ke dalam kandung kemih dan
menyumbat aliran urine dengan menutup orifisium uretra (Smeltzer dan Bare,
2013). Hyperplasia merupakan pembesaran ukuran sel dan diikuti oleh
penambahan jumlah sel. BPH merupakan suatu kondisi patologis yang paling
umum di derita oleh laki-laki dengan usia rata-rata 50 tahun ( Prabowo dkk,
2014).
2. Epidemiologi/ Insiden kasus
Data pravelensi (BPH) secara makroskopi dan anatomi sebesar 40% dan 90%
terjadi pada rentang usia 50-60 tahun dan 80-90 tahun (Rizki, 2010). Berdasarkan
data yang diperoleh dari World Health Organization (2015) diperkirakan terdapat
sekitar 70 juta kasus degeneratif salah satunya adalah BPH, dengan insiden di
negara maju sebanyak 19%, sedangkan beberapa negara di Asia menderita
penyakit BPH berkisar 59% di Filiphina (Wenying, 2015). Pada Tahun 2017 di
Indonesia BPH merupakan penyakit urutan kedua setelah batu saluran kemih.
Dan jika dilihat secara umumnya, diperkirakan hampir 50% pria di Indonesia
yang berusia 50 tahun.
3. Penyebab/ etiologi
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya
BPH, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa BPH erat kaitannya dengan
peningkatan kadar dihydrotestosterone (DHT) dan proses penuaan. Beberapa
hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hyperplasia prostat:
a. Teori dihydrotestosterone (DHT)
Pertumbuhan kelenjar prostat sangat tergantung pada hormone
testosteron. Dimana pada kelenjar prostat, hormon ini akan
diubah menjadi metabolit aktif dihydrotestosterone (DHT)
dengan bantuan enzim 5a – reduktase. DHT inilah yang secara
langsung memicu m-RNA di dalam sel-sel kelenjar prostat untuk
mensintesis protein growth factor yang memacu pertumbuhan
kelenjar prostat. Pada berbagai penelitian, aktivitas enzim 5a –
reduktase dan jumlah reseptor androgen lebih banyak pada BPH.
Hal ini menyebabkan sel-sel prostat menjadi lebih sensitif
terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih banyak terjadi
dibandingkan dengan prostat normal.
b. Ketidakseimbangan antara estrogen-testosteron
Pada pria dengan usia yang semakin tua, kadar tetosteron makin
menurun, sedangkan kadar estrogen relatif tetap, sehingga
perbandingan estrogen dan testosterone relative meningkat.
Estrogen di dalam prostat berperan dalam terjadinya proliferasi
sel-sel kelenjar prostat dengan cara meningkatkan sensitivitas sel-
sel prostat terhadap rangsangan hormon androgen, meningkatkan
jumlah reseptor androgen dan menurunkan jumlah kematian sel-
sel prostat (apoptosis). Akibatnya, dengan testosteron yang
menurun merangsang terbentuknya sel-sel baru, tetapi sel-sel
prostat yang telah ada memiliki usia yang lebih panjang sehingga
massa prostat menjadi lebih besar.
c. Interaksi stroma-epitel
Cunha membuktikan bahwa diferensiasi dan pertumbuhan sel
epitel prostat secara tidak langsung dikontrol oleh sel-sel stroma
melalui suatu mediator (growth factor). Setelah sel stroma
mendapatkan stimulasi dari DHT dan estradiol, sel-sel stroma
mensintesis suatu growth factor yang selanjutnya mempengaruhi
sel stroma itu sendiri, yang menyebabkan terjadinya proliferasi
sel-sel epitel maupun stroma.
d. Berkurangnya kematian sel prostat
Apoptosis sel pada sel prostat adalah mekanisme fisiologi
homeostatis kelenjar prostat. Pada jaringan nomal, terdapat
keseimbangan antara laju proliferasi sel dengan kematian sel.
Berkurangnya jumlah sel-sel prostat yang apoptosis
menyebabkan jumlah sel-sel prostat secara keseluruhan makin
meningkat sehingga mengakibatkan pertambahan massa prostat.
Diduga hormon androgen berperan dalam menghambat proses
kematian sel karena setelah dilakukan kastrasi, terjadi
peningkatan aktivitas kematian sel kelenjar prostat
e. Teori sel stem
Untuk mengganti sel-sel yang telah mengalami apoptosis, selalu
dibentuk sel-sel baru. Dalam kelenjar prostat dikenal suatu sel
stem, yaitu sel yang mempunyai kemampuan berproliferasi
sangat ekstensif. Kehidupan sel ini bergantung pada hormon
androgen, dimana jika kadarnya menurun (misalnya pada
kastrasi), menyebabkan terjadinya apoptosis. Sehingga terjadinya
proliferasi sel-sel pada BPH diduga sebagai ketidaktepatan
aktivitas sel stem sehingga terjadi produksi yang berlebihan sel
stroma maupun sel epitel.
4. Faktor predisposisi
Faktor predisposisi BPH antara lain:
a) Usia
b) Riwayat keluarga
c) Obesitas
d) Meingkatnya kadar kolesterol darah
e) Pola makan tinggi lemak hewani
f) Olahraga
g) Merokok
h) Minuman beralkohol
i) Penyakit DM
j) Aktivitas seksual
5. Tanda dan Gejala
Menurut Arora P.Et al 2006
1) Gejala iritatif meliputi: peningkatan frekuensi berkemih, nocturia,
perasaan ingin miksi yang sangat mendesak/ tidak dapat ditunda, nyeri
pada saat miksi (dysuria).
2) Gejala obstruktif meliputi: pancaran urin melemah, rasa tidak puas sehabis
miksi, kandung kemih tidak kosong dengan baik, kalau mau miksi harus
menunggu lama, volume urin menurun dan harus mengedan saat
berkemih, aliran urin tidak lancer/ terputus-putus, urin terus menetas
setelah berkemih, waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensi
urin dan inkontinensia karena penumpukan berlebih, pada gejala yang
lebih lanjut dapat terjadi azotemia (akumulasi produk sampah nitrogen)
dan gagal ginjal dengan retensi urin kronis dan volume residu yang besar.
3) Gejala generalisata seperti keletihan, anoreksia, mual dan muntah serta
rasa tidak nyaman pada epigastrik.
Menurut Hariono ,(2012) tanda dan gejala BPH meliputi:
1. Gejala obstruktif
a. Hesitansi, yaitu memulai kencing yang lama dan sering kali disertai
dengan mengejan.
b. Intermittency, yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang
disebabkan oleh ketidak mampuan otot destrussor dalam
mempertahankan tekanan intra vesika sampai berakhirnya miksi.
c. Terminal dribbling, yaitu menetesnya urin pada akhir kencing.
d. Pancaran lemah, yaitu kelemahan kekuatan dan kaliber pancaran
destrussor memerlukan waktu untuk dapat melampaui tekanan di
uretra.
e. Rasa tidak puas setelah berakhirnya buang air kecil dan terasa belum
puas.
2. Gejala iritasi
a. Urgensi, yaitu perasaan ingin buang air kecil yang sulit di tahan.
b. Frekuensi, yaitu penderita miksi lebih sering miksi dari biasanya
dapat terjadi pada malam dan siang hari.
c. Disuria, yaitu nyeri pada waktu kencing.
6. Pathway
Prolokerasi
abnormal sel
Growth Factor Sel prostat strem
umur panjang
Estrogen dan
testoteron Sel stroma
Sel yang Produksi sel
tidak pertumbuhan
seimbang mati kurang stroma dan
berpacu

Prostat
membesar

BPH

Tindakan Ansietas
operatif
Penyempitan
Terapi lumen posterior TURP (Trans Uretral
Reseksi Prostat)
Pendarahan
Kateterisasi
Obstruksi
Bekuan Pemasangan Kurangnya
saluran Iritasi DC informasi
perkemihan mukosa terhadap
Risiko Obstruksi kandung Irigasi tindakan
Infeksi kateter kencing
Retensi urin Resiko pembedahan
Absorbsi infeksi
Nyeri cairan irigasi
akut Risiko
Defisit
retensi Hipervolemia pengetahuan
urine
Nyeri
Risiko akut
hipovolemi
7. Patofisiologi
Pertama kali BPH terjadi salah satunya karena faktor bertambahnya usia,
dimana terjadi perubahan keseimbangan testosterone, esterogen, karena produksi
testosterone menurun, produksi esterogen meningkat dan terjadi konversi
testosteron menjadi estrogen pada jaringan adipose di perifer. Keadaan ini
tergantung pada hormon testosteron, yang di dalam sel-sel kelenjar prostat
hormon ini akan dirubah menjadi dehidrotestosteron (DHT) dengan bantuan
enzim alfa reduktase. Dehidrotestosteron inilah yang secara langsung memacu
m-RNA di dalam sel-sel kelenjar prostat untuk mensistesis protein sehingga
mengakibatkan kelenjar prostat mengalami hyperplasia yang akan meluas
menuju kandung kemih sehingga mempersempit saluran uretra prostatika dan
penyumbatan aliran urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan
intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan urin, buli-buli harus berkontraksi lebih
kuat guna melawan tahanan itu (Presti et al, 2013). Kontraksi yang terus-menerus
ini menyebabkan perubahan anatomi dari buli-buli berupa hipertrofi otot
detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-buli. Fase
penebalan otot detrusor ini disebut fase kompensasi. Perubahan struktur pada
buli-buli dirasakan oleh pasien sebagai keluhan pada saluran kemih sebelah
bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS) yang dahulu dikenal dengan
gejala-gejala prostatismus. Dengan semakin meningkatnya resistensi uretra, otot
detrusor masuk ke dalam fase dekompensasi dan akhirnya tidak mampu lagi
untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urin. Retensi urine ini diberikan obat-
obatan non invasif tetapi obat-obatan ini membutuhkan waktu yang lama, maka
penanganan yang paling tepat adalah tindakan pembedahan, salah satunya adalah
TURP (Joyce, 2014).
TURP adalah suatu operasi pengangkatan jaringan prostat lewat uretra
menggunakan resektroskop, dimana resektroskop merupakan endoskop dengan
tabung 10-3-F untuk pembedahan uretra yang dilengkapi dengan alat
pemotongan dan counter yang disambungkan dengan arus listrik. Trauma bekas
resectocopy menstimulasi pada lokasi pembedahan sehingga mengaktifkan suatu
rangsangan saraf ke otak sebagai konsekuensi munculnya sensasi nyeri
(Haryono, 2012)
Pembesaran prostat menyebabkan terjadinya penyempitan lumen uretra pars
prostatika dan menghambat aliran urine sehingga menyebabkan tingginya
tekanan intravesika. Untuk dapat mengeluarkan urine, buli-buli harus
berkontraksi lebih kuat untuk melawan tekanan, menyebabkan terjadinya
perubahan anatomi buli-buli, yakni: hipertropi otot destrusor, trabekulasi,
terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-buli. Perubahan struktur pada
buli-buli tersebut dirasakan sebagai keluhan pada saluran kemih bagian bawah
atau Lower Urinary Tract Symptoms (LUTS). Tekanan intravesika yang tinggi
diteruskan ke seluruh bagian buli-buli tidak terkecuali pada kedua muara ureter.
Tekanan pada kedua muara ureter ini menimbulkan aliran balik dari buli-buli ke
ureter atau terjadinya refluks vesikoureter. Jika berlangsung terus akan
mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis bahkan jatuh ke dalam gagal ginjal.
8. Manifestasi Klinis
1) Keluhan pada saluran kemih bagian bawah
Manifestasi klinis timbul akibat peningkatan intrauretra yang pada
akhirnya dapat menyebabkan sumbatan aliran urine secara bertahap.
Meskipun manifestasi dan beratnya penyakit bervariasi, tetapi ada
beberapa hal yang menyebabkan penderita datang berobat, yakni
adanya LUTS Untuk menilai tingkat keparahan dari LUTS, bebeapa
ahli/organisasi urologi membuat skoring yang secara subjektif dapat
diisi dan dihitung sendiri oleh pasien. Sistem skoring yang dianjurkan
oleh WHO adalah International Prostatic Symptom Score (IPSS).
Sistem skoring IPSS terdiri atas tujuh pertanyaan yang berhubungan
dengan keluhan LUTS dan satu pertanyaan yang berhubungan dengan
kualitas hidup pasien. Dari skor tersebut dapat dikelompokkan gejala
LUTS dalam 3 derajat, yaitu:
- Ringan: skor 0-7
- Sedang: skor 8-19
- Berat: skor 20-35
2) Gejala pada saluran kemih bagian atas
Keluhan dapat berupa gejala obstruksi antara lain, nyeri pinggang,
benjolan di pinggang (hidronefrosis) dan demam (infeksi, urosepsis)
3) Gejala diluar saluran kemih
Tidak jarang pasien berobat ke dokter karena mengeluh adanya hernia
inguinalis atau hemoroid, yang timbul karena sering mengejan pada
saat berkemih sehingga mengakibatkan peningkatan tekanan
intraabdominal.
Berdasarkan keluhan dapat dibagi menjadi (Sjamsuhidajat dan De jong,
2010):
a. Derajat I: penderita merasakan lemahnya pancaran berkemih,
kencing tak puas, frekuensi kencing bertambah terutama pada
malam hari.
b. Derajat II: adanya retensi urin maka timbulan infeksi. Penderita
akan mengeluh waktu miksi terasa panas dan kencing malam
bertambah hebat.
c. Derajat III: timbulnya retensi total. Bila sudah sampai tahap ini
maka bias timbul aliran refluk ke atas, timbul infeksi ascenden
menjalar ke ginjal dan dapat menyebabkan piclonfritis dan
hidronefrosis.
9. Klasifikasi
Berdasarkan keluhan dapat dibagi menjadi (Sjamsuhidajat dan De jong,
2010):
a. Derajat I: Biasanya belum memerlukan tindakan bedah, diberi
pengobatan konservatif.
b. Derajat II: Merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan
biasanya dianjurkan reseksi endoskopik melalui uretra (trans
urethral resection / TUR).
c. Derajat III: Reseksi endoskopik dapat dikerjakan, bila
diperkirakan prostate sudah cukup besar, reseksi tidak cukup 1
jam sebaiknya dengan pembedahan terbuka, melalui trans
retropublik / perianal.
d. Derajat IV: Tindakan harus segera dilakukan membebaskan klien
dari retensi urine total dengan pemasangan kateter.
10. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik mungkin didapatkan buli-buli yang penuh dan
teraba massa kistik si daerah supra simpisis akibat retensio urine.
Pemeriksaan colok dubur atau Digital Rectal Examination (DRE) merupakan
pemeriksaan fisik yang penting pada BPH, karena dapat menilai tonus
sfingter ani, pembesaran atau ukuran prostat dan kecurigaan adanya
keganasan seperti nodul atau perabaan yang keras. Pada pemeriksaan ini
dinilai besarnya prostat, konsistensi, cekungan tengah, simetri, indurasi,
krepitasi dan ada tidaknya nodul Colok dubur pada BPH menunjukkan
konsistensi prostat kenyal, seperti meraba ujung hidung, lobus kanan dan kiri
simetris, dan tidak didapatkan nodul. Sedangkan pada karsinoma prostat,
konsistensi prostat keras dan teraba nodul, dan mungkin antara lobus prostat
tidak simetri.
11. Pemeriksaan diagnostik/ penunjang
1) Pemeriksaan Laboratorium
Sedimen urine diperiksa untuk mencari kemungkinan adanya proses
infeksi atau inflamasi pada saluran kemih. Obstruksi uretra
menyebabkan bendungan saluran kemih sehingga menganggu faal
ginjal karena adanya penyulit seperti hidronefrosis menyebabkan
infeksi dan batu saluran kemih. Pemeriksaan kultur urine berguna
untuk mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi dan sekaligus
menentukan sensitivitas kuman terhadap beberapa antimikroba yang
diujikan. Pemeriksaan sitologi urine digunakan untuk pemeriksaan
sitopatologi sel-sel urotelium yang terlepas dan terbawa oleh urine.
2) Pencitraan
Foto polos perut berguna untuk mencari adanya batu opak di saluran
kemih, batu/kalkulosa prostat atau menunjukkan bayangan buli-buli
yang penuh terisi urin, yang merupakan tanda retensio urine.
Pemeriksaan IVP dapat menerangkan adanya:
1) Kelainan ginjal atau ureter (hidroureter atau hidronefrosis)
2) Memperkirakan besarnya kelenjar prostat yang ditunjukkan
dengan indentasi prostat (pendesakan buli-buli oleh kelenjar
prostat) atau ureter bagian distal yang berbentuk seperti mata kail
(hooked fish)
3) Penyulit yang terjadi pada buli-buli, yakni: trabekulasi, divertikel,
atau sakulasi buli-buli
3) Urinalisis dan kultur urine
Pemeriksaan ini untuk menganalisa ada tidaknya infeksi dan RBC
(Red Blood Cell) dalam urine yang memanifestasikan adanya
pendarahan atau hematuria (prabowo dkk, 2014).
4) DPL (Deep Peritoneal Lavage)
Pemeriksaan pendukung ini untuk melihat ada tidaknya perdarahan
internal dalam abdomen. Sampel yang di ambil adalah cairan
abdomen dan diperiksa jumlah sel darah merahnya.
5) Ureum, Elektrolit, dan serum kreatinin
Pemeriksaan ini untuk menentukan status fungsi ginjal. Hal ini
sebagai data pendukung untuk mengetahui penyakit komplikasi dari
BPH.
6) PA (Patologi Anatomi)
Pemeriksaan ini dilakukan dengan sampel jaringan pasca operasi.
Sampel jaringan akan dilakukan pemeriksaan mikroskopis untuk
mengetahui apakah hanya bersifat benigna atau maligna sehingga
akan menjadi landasan untuk treatment selanjutnya
12. Prognosis
Progonis pada BPH umumnya baik. Adapun risiko komplikasi yang dapat
terjadi diantaranya gagal ginjal dan hidronefrosis. Benign prostatic
hyperplasia akan mengakibatkan obstruksi saluran kemih yang dapat
menimbulkan insufisiensi renal.
13. Penatalaksanaan
Menurut Haryono (2012) penatalaksaan BPH meliputi:
1. Terapi medikamentosa
a. Penghambat adrenergik, misalnya prazosin, doxazosin, afluzosin.
b. Penghambat enzim, misalnya finasteride
c. Fitoterapi, misalnya eviprostat
2. Terapi bedah
Waktu penanganan untuk tiap pasien bervariasi tergantung beratnya
a. Prostatektomi
1) Prostatektomi suprapubis adalah salah satu metode mengangkat
kelenjar melalui insisi abdomen yaitu suatu insisi yang di buat
kedalam kandung kemih dan kelenjar prostat diangkat dari atas.
2) Prostaktektomi perineal, adalah mengangkat kelenjar melalui
suatu insisi dalam perineum.
3) Prostatektomi retropubik, adalah suatu teknik yang lebih umum
di banding pendekatan suprapubik dimana insisi abdomen lebih
rendah mendekati kelenjar prostat yaitu antara arkuspubis dan
kandung kemih tanpa memasuki kandung kemih.
b. Insisi prostat transurethral (TUIP)
Yaitu suatu prosedur menangani BPH dengan cara memasukkan
instrumen melalui uretra. Cara ini diindikasikan ketika kelenjar prostat
berukuran kecil (30 gr / kurang) dan efektif dalam mengobati banyak
kasus dalam BPH.
c. Transuretral Reseksi Prostat (TURP)
Adalah operasi pengangkatan jaringan prostat lewat uretra
menggunakan resektroskop dimana resektroskop merupakan endoskopi
dengan tabung 10-3-F untuk pembedahan uretra yang di lengkapi
dengan alat pemotong dan counter yang di sambungkan dengan arus
listrik. gejala dan komplikasi.
14. Komplikasi
1) Retensio urine akut, terjadi apabila buli-buli menjadi dekompensasi
2) Infeksi saluran kemih
3) Involusi kontraksi kandung kemih
4) Refluk kandung kemih
5) Hidroureter dan hidronefrosis dapat terjadi karena produksi urine terus
berlanjut maka pada suatu saat buli-buli tidak mampu lagi menampung
urine yang akan mengakibatkan tekanan intravesika meningkat.
6) Gagal ginjal bisa dipercepat jika terjadi infeksi
7) Hematuri, terjadi karena selalu terdapat sisa urine, sehingga dapat terbentuk
batu saluran kemih dalam buli-buli, batu ini akan menambah keluhan iritasi.
Batu tersebut dapat pula menibulkan sistitis, dan bila terjadi refluks dapat
mengakibatkan pielonefritis.
B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
Pengkajian berdasarkan pada format Gordon (Imam Subekti, Sugianto Hadi, Ngesti
W. Utami, 2016)
1) Pengkajian
A) Data Subjektif
 Identitas pasien:
a. Nama klien
b. Umur
c. Agama
d. Jenis kelamin
e. Status Maternital
f. Pendidikan
g. Pekerjaan
h. Suku Bangsa
i. Alamat
j. Tanggal MRS
k. Tanggal pengkajian
l. Nomor Register
m. Diagnosa medis
 Identitas penanggung jawab
a. Nama penanggung jawab
b. Umur
c. Hubungan dengan pasien
d. Pekerjaan
e. Alamat
b) Status kesehatan
 Status kesehatan saat ini
a. Saat MRS
Keluhan utama saat masuk rumah sakit, kita menjelaskan mengenai
keluhan apa yang pasien/ klien rasakan saat masuk rumah sakit.
b. Saat Ini
Keluhan saat ini, kita menjelaskan mengenai kondisi saat pasien/ klien
dirawat di rumah sakit.
 Alasan masuk rumah sakit dan perjalanan penyakit saat ini
Pada bagian ini, pasien/ klien menjelaskan bagaimana alasan mengapa ia
akhirnya dirawat hingga di rumah sakit serta bagaimana perjalanan penyakit
yang klien/ pasien alami.
 Upaya yang Dilakukan untuk Mengatasinya
Pada bagian ini, baik keluarga klien/ kliennya menjelaskan mengenai upaya
yang telah dilakukan untuk mengatasi permasalahan yang dialami oleh pasien/
klien.
 Status Kesehatan Masa Lalu
a. Penyakit yang pernah dialami
Pada bagian ini pasien menjelaskan riwayat penyakit yang pernah dialami
sebelum sakit.
b. Pernah dirawat
Pada bagian ini pasien menjelaskan pasien pernah dirawat dirumah sakit
sebelumnya.
c. Alergi
Pada bagian ini pasien menjelaskan ada atau tidaknya alergi yang dimiliki.
d. Kebiasaan (merokok/kopi/alkohol dll)
Pada bagian ini pasien menjelaskan kebiasaan-kebiasaan sebelum sakit.
 Riwayat Penyakit Keluarga
Pada bagian ini pasien menjelaskan ada atau tidaknya riwayat penyakit
keturunan.
2) Diagnosa Medis dan Therapy
Tanggal
No Awal Nama Obat Dosis Rute Indikasi
diberikan

3) Pola Fungsi Kesehatan Gordon


a. Pola Persepsi dan Manajemen Kesehatan
Pasien menjelaskan bagaimana pasien atau klien dapat menggambarkan persepsi
pemeliharaan dan penanganan kesehatan.
b. Pola Nutrisi Metabolik
 Sebelum Sakit
Pasien menggambarkan masukan nutrisi, balance cairan, dan elektrolit sebelum
sakit.
 Saat Sakit
Pasien menggambarkan nafsu makan klien, pola makan dan kebutuhan jumlah zat
gizi pada klien.
c. Pola Eleminasi
1) BAB
 Sebelum Sakit
Pasien menjelaskan pola kebiasaan defekasi serta ada atau tidaknya masalah
terkait defekasi.
 Saat Sakit
Pasien menjelaskan frekuensi defekasi, dan karakteristik feses.
2) BAK
 Sebelum Sakit
Pasien menjelaskan pola fungsi ekspresi kandung kemih, kulit, kebiasaan defekasi
serta ada atau tidaknya masalah terkait defekasi.
 Saat Sakit
Pasien menjelaskan ada atau tidaknya infeksi pada saluran kemih serta frekuensi
miksi.
d. Pola Aktivitas dan Latihan
1) Aktivitas
Kemampuan Perawatan Diri 0 1 2 3 4

Makan dan Minum

Mandi

Toileting

Berpakaian

Berpindah

0: mandiri, 1: alat bantu, 2: dibantu orang lain, 3: dibantu orang lain dan alat, 4:
tergatung total
2) Latihan
 Sebelum Sakit
Pasien menggambarkan pola latihan, pentingnya latihan atau gerak pada saat
sehat.
 Saat Sakit
Pasien menjelaskan mengenai bagaimana klien melakukan latihan saat sakit, serta
pentingnya gerak saat sakit.
e. Pola Kognitif dan Persepsi
Pasien menjelaskan mengenai kemampuan daya ingat klien terhadap peristiwa yang
telah lama terjadi atau baru terjadi saat sehat.
f. Pola Persepsi dan Konsep Diri
Pasien menjelaskan sikap tentang diri sendiri, dan persepsi terhadap kemampuan
seperti gambaran diri, harga diri, peran, identitas dan ide diri sendiri.
g. Pola Tidur dan Istirahat
 Sebelum Sakit
Pasien menggambarkan pola tidur dan istirahat saat sehat, meliputi jumlah jam tidur
pada siang dan malam serta masalah selama tidur saat sehat.
 Saat Sakit
Pasien menggambarkan pola tidur dan istirahat saat sehat, meliputi jumlah jam tidur
pada siang dan malam serta masalah selama tidur saat sakit.
h. Pola Peran dan Hubungan
 Sebelum Sakit
Pasien menggambarkan dan mengetahui hubungan dan peran klien terhadap anggota
keluarga dan masyarakat dalam tempat tinggal klien saat sehat.
 Saat Sakit
Pasien menggambarkan hubungan dan peran anggota keluarga dan masyarakat dalam
tempat tinggal pada saat klien sakit.
i. Pola Seksual dan Reproduksi
 Sebelum Sakit
Pasien menggambarkan pola seksualitas seperti riwayat haid (bagi perempuan), atau
riwayat penyakit hubungan seksual.
 Saat Sakit
Pasien menggambarkan dampak sakit terhadap seksualitas seperti menstruasi tidak
lancar (bagi perempuan) dan ejakulasi dini (bagi laki-laki).
j. Pola Toleransi Stress dan Koping
Pasien menggambarkan kemampuan untuk menangani stress dan penggunaan sistem
pendukung untuk menangani stress pada klien.
k. Pola Nilai dan kepercayaan
Pasien menggambarkan dan menjelaskan sikap dan keyakinan klien dalam
melaksanakan agama yang dipeluk dan konsekuensinya.
4) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Fisik Keperawatan (Lucilla Suparmi, 2012)
a. Keadaan Umum:
- Tingkat Kesadaran: Ukuran dari kesadaran dan respon seseorang terhadap
rangsangan dari lingkungan
 komposmentis: Kesadaran normal atau sadar sepenuhnya serta dapat
menjawab semua pertanyaan tentang keadaan sekelilingnya.
 apatis: Kesadaran yang enggan untuk berhubungan dengan lingkungan
sekitarnya
 somnolon: Kesadaran menurun, respon psikomotor yang menurun.
 stupor: Keadaan seperti tertidur lelap tetapi adanya respon terhadap nyeri
 koma: Tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon terhadap rangsangan
apapun.
 Glass Coma Scale (GCS): Verbal: …. Psikomotor: …. Mata: …..
b. Tanda-tanda Vital
- Nadi: Suhu: TD: RR:
c. Kepala dan Leher
Inspeksi
1. Bentuk kepala pada pasien
2. Warna rambut
3. Adanya kotoran/kotembe
Palpasi
Ada/tidak benjolan atau nyeri tekan pada kepala dan leher pasien
d. Mata
Inspeksi
1. Bentuk mata pada pasien
2. Sklera pada pasien
3. Konjungtiva pada
4. Pupil pada pasien
Palpasi
Ada/tidak nyeri tekan pada mata pasien
e. Hidung
Inspeksi
Bentuk hidung (kesimetrisan) pada pasien
Palpasi
Ada/tidak nyeri tekan atau benjolan pada pasien
f. Telinga
Inspeksi
Bentuk telinga (kesimetrisan), ada/tidak penumpukan kotoran telinga (earwax) pada
pasien.
Palpasi
Ada/tidak nyeri tekan dan ada benjolan pada pasien
g. Integumen
Turgor kulit , ada/tidak luka/memar, /edema, Warna kulit pada pasien hipertensi
h. Mulut
Inspeksi
Bentuk bibir (kesimetrisan), ada/tidak stomatitis, mukosa bibir kering/tidak,
ada/tidaknya karies pada pasien.
i. Leher
Inspeksi
Ada/tidak terlihat pembesaran kelenjar tiroid, ada/tidaknya pembesaran vena jugularis
pada pasien.
Palpasi
Ada/tidak benjolan dari kelenjar tiroid, ada/tidaknya nyeri tekan pada leher pasien.
j. Dada
 Paru-Paru
Inspeksi: ada/tidak retraksi dada, bentuk dada (kesimetrisan), ada/tidak penggunaan
otot bantu pernafasan pada pasien.
Palpasi: ada/tidaknya denyut apeks.
Perkusi: Suara sonor
Auskultasi: Bunyi vesikuler
 Jantung
Inspeksi: mengamati apeks pada jantung pada pasien.
Palpasi: ada/tidak nyeri tekan, terasa/tidaknya denyut apeks pada pasien.
Perkusi: suara redup
Auskultasi: Bunyi S1, S2 tunggal reguler
k. Punggung
Inspeksi: ada/tidaknya lesi, bentuk punggung (kesimetrisan), warnanya sulit
punggung pada pasien.
Palpasi: ada/tidaknya nyeri tekan, dan benjolan pada pasien.
l. Payudara dan Ketiak
Inspeksi: ada/tidak benjolan, rata/tidaknya warna kulit dengan anggota tubuh lainnya.
Palpasi: ada/tidaknya nyeri tekan
m.Abdomen
Inspeksi: ada/tidaknya lesi/kelainan/edema
Auskultasi: Bising usus antara 15-30x menit
Palpasi: ada/tidaknya nyeri tekan
Perkusi: Suara timpani
m. Ekstremitas
 Atas
ROM tidak terbatas, hemiplegic tidak, capillary refill time <3 detik
 Bawah
ROM tidak terbatas, hemiplegic tidak, capillary refill time <3 detik
n. Genetalia
Tidak ada pisomis, tidak ada luka/memar, warna kulit sawo matang
o. Anus
Tidak terkaji
p. Neurologis
 Status Mental dan Emosi
Masih baik, tapi sedikit gelisah karena kurang tidur akibat sakit kepala
q. Pemeriksaan refleks
Tidak terkaji
5) Diagnosa Keperawatan yang biasanya muncul:
Diagnosa keperawatan yang biasanya muncul (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2016)
a. Pre operasi
- Nyeri akut berhubungan dengan adanya obstruksi saluran perkemihan d.d pasien
mengeluh nyeri pada perut bagian hipogastrik.
- Risiko infeksi ditandai dengan adanya tindakan katerisasi.
- Retensi urin berhubungan dengan obstruksi saluran perkemihan ditandai dengan
pasien mengeluh mengalami nocturia, bak tidak tuntas serta adanya dripping
urine.
- Ansietas berhubungan dengan kurangnya informasi terhadap tindakan bedah.
b. Post operasi
- Risiko infeksi ditandai dengan adanya pemasangan kateter.
- Risiko hypovolemia ditandai dengan adanya perdarahan.
- Risiko inkontinensia urin urgensi ditandai dengan adanya obstruksi kateter.
- Nyeri akut berhubungan dengan adanya iritasi mukosa kandung kemih ditandai
dengan pasien mengeluh nyeri pada perut bagian hipogastrik.
- Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi terhadap tindakan
pembedahan ditandai dengan pasien menanyakan terkait kondisinya.
6) Rencana Tindakan dan Rasionalisasi:
Rencana tindakan keperawatan dan rasionalisasi (Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018)
Pre Operasi

No Dx Tujuan dan Kriteria Intervensi Rasional


Hasil
1 Nyeri akut Setelah dilakukan Manajemen Nyeri -Untuk mengetahui
berhubungan asuhan keperawatan, Observasi: sejauh mana
dengan agen diharapkan nyeri - Monitor tanda-tanda tingkat nyeri dan
injuri biologi klien berkurang vital merupakan
(distensi dengan kriteria Nursing treatment: indiaktor secara
jaringan hasil : - Kaji tingkat nyeri, dini untuk dapat
intestinal oleh - Klien mampu lokasi dan karasteristik memberikan
inflamasi mengontrol nyeri nyeri. tindakan
(tahu penyebab - Berikan aktivitas selanjutnya
nyeri, mampu hiburan (ngobrol -Informasi yang tepat
menggunakan dengan anggota dapat menurunkan
tehnik keluarga) tingkat kecemasan
nonfarmakologi Edukasi: pasien dan
untuk - Jelaskan pada pasien menambah
mengurangi tentang penyebab nyeri pengetahuan
nyeri, mencari - Ajarkan tehnik untuk pasien tentang
bantuan) pernafasan diafragmatik nyeri.
- Melaporkan lambat / napas dalam -Napas dalam dapat
bahwa nyeri Collaboration: menghirup
berkurang dengan - Kolaborasi dengan tim O2 secara
menggunakan medis dalam pemberian adequate sehingga
manajemen nyeri analgetik otot-otot menjadi
- Tanda vital dalam relaksasi sehingga
rentang normal : dapat mengurangi
TD (systole 110- rasa nyeri.
130mmHg, -Meningkatkan
diastole 70- relaksasi dan
90mmHg), dapat
HR(60-100x/men meningkatkan
it), RR kemampuan
(16-24x/menit), koping.
suhu (36,5- -Deteksi dini terhadap
37,50C) perkembangan
- Klien tampak kesehatan pasien.
rileks mampu -Sebagai profilaksis
tidur/istirahat untuk dapat
menghilangkan
rasa nyeri.
2 Resiko infeksi Setelah diberikan Pencegahan Infeksi -Dugaan adanya
berhubungan asuhan keperawatan Observasi: infeksi
dengan tindakan …x24 jam - Monitor tanda-tanda v -Dugaan adanya
invasif (insisi diharapkan gangguan ital. Perhatikan infeksi/terjadinya
post infeksi pada pasien demam, menggigil, sepsis, abses,
pembedahan). dapat diatasi dengan berkeringat, peritonitis
kriteria hasil : perubahan mental -Mencegah transmisi
- Monitor tanda dan penyakit virus ke
- Klien bebas dari
gejala infeksi lokal orang lain.
tanda-tanda
dan sistemik -Mencegah meluas
infeksi
- Menunjukkan Nursing treatment: dan membatasi
kemampuan - Kaji adanya tanda- penyebaran
untuk mencegah tanda infeksi pada organisme infektif
timbulnya area insisi / kontaminasi
infeksi - Lakukan teknik isolasi silang.
- Nilai leukosit untuk infeksi enterik, -Menurunkan resiko
(4,5-11ribu/ul) termasuk cuci tangan terpajan.
efektif. -Terapi ditunjukkan
- Pertahankan teknik pada bakteri
aseptik ketat pada anaerob dan hasil
perawatan luka insisi / aerob gra negatif.
terbuka, bersihkan
dengan betadine.
- Awasi / batasi
pengunjung dan siap
kebutuhan.
Edukasi:
- Jelaskan tanda dan
gejala infeksi
- Ajarkan cara mencuci
tangan dengan benar
- Ajarkan etika batuk
Collaboration:
- Kolaborasi tim medis
dalam pemberian
antibiotic
- Kolaborasi pemberian
imunisasi (bila perlu)
3 Retensi urin Setelah dilakukan Kateterisasi Urine - Kondisi pasien
berhubungan asuhan keperawatan dapat meliputi
Observasi:
dengan selama 3x24 jam kesadaran,
obstruksi diharapkan retensi - Periksa kondisi pasien tanda-tanda
saluran urin dapat teratasi Nursing treatment: vital, distensi
perkemihan dengan kriteria hasil: - Pemasangan kateter pada kandung kemih,
ditandai dengan - Pasien pasien inkontinensia
pasien mengeluh melaporkan saat Edukasi: urin dan reflex
mengalami berkemih tidak berkemih)
- Jelaskan tujuan dan
nocturia, bak merasakan nyeri - Tujuan
prosedur pemasangan
tidak tuntas serta atau sensasi pemasangan
kateter
adanya dripping berkemih kateter adalah
- Anjurkan menarik napas
urine. lainnya. mengatasi
saat insersi selang kateter
- Pasien retensi atau
Collaboration: -
melaporkan tertahannya
tidak ada urine dan juga
desakan dapat menjadi
berkemih. alat untuk
- Tidak ada mengukur dan
distensi kandung memantau
kemih jumlah output
- Berkemih tuntas urine dengan
- Tidak ada urine prosedur-
menetes prosedur yang
- Pasien tetap
melaporkan mempertahanka
bahwa ia tidak n kondisi steril
lagi BAK pada guna mencegah
malam hari infeksi.
(nokturia). - Penarikan napas
dalam dapat
membantu
mengatasi rasa
nyeri.
4 Ansietas Setelah dilakukan Reduksi Ansietas - Ketakutan dapat
berhubungan asuhan keperawatan Observasi: terjadi karena
dengan adanya selama …x24 jam - Evaluasi tingkat ansietas, nyeri hebat,
tindakan diharapkan cemas catat verbal dan non penting pada
operasi. dapat teratasi dengan verbal pasien. prosedur
kriteria hasil : Nursing Treatment: diagnostik dan
- Ciptakan suasana pembedahan.
- Melaporkan
terapeutik untuk - Dapat
ansietas menurun
menumbuhkan meringankan
sampai tingkat
kepercayaan ansietas terutama
teratasi
- ketika
- Tampak rileks
Edukasi: pemeriksaan
- Pasien mampu
- Jelaskan dan persiapkan tersebut
melaporkan
untuk tindakan prosedur melibatkan
bahwa gelisahnya
sebelum dilakukan pembedahan.
menurun
- Anjurkan keluarga untuk - Membatasi
- Pasien tampak
menemani disamping kelemahan,
tidak tegang
klien menghemat
- Tanda-tanda vital
- Informasikan secara energi dan
pasien dalam
factual mengenai meningkatkan
rentang normal
diagnosis, pengobatan, kemampuan
TD (systole 110-
dan prognosis. koping.
130mmHg,
- Latih teknik relaksasi. - Mengurangi
diastole 70-
kecemasan klien
90mmHg),
HR(60-100x/men
it), RR (16-
24x/menit), suhu
(36,5-37,50C)

Post Operasi

No Dx Tujuan dan Kriteria Intervensi Rasional


Hasil
1 Risiko infeksi Setelah diberikan Pencegahan Infeksi -Dugaan adanya
ditandai dengan asuhan keperawatan Observasi: infeksi
adanya …x24 jam - Monitor tanda-tanda v -Dugaan adanya
pemasangan diharapkan gangguan ital. Perhatikan infeksi/terjadinya
kateter. infeksi pada pasien demam, menggigil, sepsis, abses,
dapat diatasi dengan berkeringat, peritonitis
kriteria hasil : perubahan mental -Mencegah transmisi
- Monitor tanda dan penyakit virus ke
- Klien bebas dari
gejala infeksi lokal orang lain.
tanda-tanda
dan sistemik -Mencegah meluas
infeksi
Nursing treatment: dan membatasi
- Menunjukkan
- Kaji adanya tanda- penyebaran
kemampuan
tanda infeksi pada organisme infektif
untuk mencegah
area insisi / kontaminasi
timbulnya
- Lakukan teknik isolasi silang.
infeksi
untuk infeksi enterik, -Menurunkan resiko
- Nilai leukosit
termasuk cuci tangan terpajan.
(4,5-11ribu/ul)
efektif. -Terapi ditunjukkan
- Pertahankan teknik pada bakteri
aseptik ketat pada anaerob dan hasil
perawatan luka insisi / aerob gra negatif.
terbuka, bersihkan
dengan betadine.
- Awasi / batasi
pengunjung dan siap
kebutuhan.
Edukasi:
- Jelaskan tanda dan
gejala infeksi
- Ajarkan cara mencuci
tangan dengan benar
- Ajarkan etika batuk
Collaboration:
- Kolaborasi tim medis
dalam pemberian
antibiotic
- Kolaborasi pemberian
imunisasi (bila perlu)
2 Risiko Setelah dilakukan Manajemen Hipovolemia Pasien dengan
hypovolemia asuhan keperawatan, Observasi: diagonsa risiko
ditandai dengan diharapkan risiko - Periksa tanda dan hipovolemia
adanya hypovolemia klien gejala hipovolemia dilakukan tindakan
perdarahan. berkurang dengan - Monitor intake dan sesuai dengan
kriteria hasil : output cairan intervensi guna
- Tidak ada Nursing treatment: memenuhi nutrisi
distensi vena - Hitung kebutuhan klien.
jugularis cairan
- Tidak ada - Berikan posisi modified
gangguan absorbs Trendelenburg
cairan Education:
- Anjurkan
memperbanyak asupan
cairan oral
Collaboration:
- Kolaborasi pemberian
cairan IV isotonis
3 Risiko Setelah diberikan Manajemen Eliminasi Urine
inkontinensia asuhan keperawatan Observasi:
urin urgensi …x24 jam - Identifikasi tanda dan Tanda dan gejala
ditandai dengan diharapkan risiko gejala retensi atau retensi atau
adanya obstruksi inkontinensia urin inkontinensia urine inkontinensia urine
kateter. urgensi pada pasien - Identifikasi factor dapat meliputi…
dapat diatasi dengan yang menyebabkan Factor yang
kriteria hasil: retensi atau menyebabkan retensi
inkontinensia urine atau inkontinensia
- Pasien
- Monitor eliminasi urine meliputi
melaporkan
urine
tidak mengalami
Nursing treatment:
nocturia
- Catat waktu-waktu Catat waktu-waktu
- Tidak ada
dan haluaran dan haluaran
distensi kandung
kemih berkemih berkemih
- Tidak ada - Batasi asupan cairan,
dribbling jika perlu
- Tidak ada residu Education: Tanda dan gejala
volume urine - Ajarkan tanda dan infeksi saluran
setelah gejala infeksi saluran berkemih
berkemih kemih Tanda berkemih dan
- Ajarkan mengenali waktu yang tepat
tanda berkemih dan
waktu yang tepat
untuk berkemih Mengurangi minum
- Ajarkan mengurangi menjelang tidur
minum menjelang dapat meliputi
tidur
Collaboration:
- Kolaborasi pemberian
obat supositoria
uretra, jika perlu
4 Nyeri akut Setelah dilakukan Manajemen Nyeri -Berguna dalam
berhubungan asuhan keperawatan, Observasi: pengawasan dan
dengan adanya diharapkan nyeri - Monitor tanda-tanda keefesien obat,
iritasi mukosa klien berkurang vital kemajuan
kandung kemih dengan kriteria - Monitor efek samping penyembuhan,per
ditandai dengan hasil : penggunaan analgetik ubahan dan
pasien mengeluh - Melaporkan nyeri Nursing treatment: karakteristik
nyeri pada perut berkurang - Kaji skala nyeri nyeri.
bagian - Klien tampak lokasi, karakteristik -Deteksi dini terhadap
hipogastrik. rileks dan laporkan perkembangan
- Dapat tidur perubahan nyeri kesehatan pasien.
dengan tepat dengan tepat. -Menghilangkan
- Tanda-tanda vital - Pertahankan istirahat tegangan
dalam batas dengan posisi semi abdomen yang
normal : TD powler. bertambah dengan
(systole 110- - Berikan aktivitas posisi terlentang.
130mmHg, hiburan. -Meningkatkan
diastole 70- Edukasi: kormolisasi fungsi
90mmHg), - Dorong ambulasi dini. organ.
HR(60-100x/meni - Jelaskan penyebab, -Meningkatkan
t), RR periode dan pemicu relaksasi.
(16-24x/menit), nyeri. -Menghilangkan
suhu (36,5- - Jelaskan strategi nyeri.
37,50C) meredakan nyeri.
Collaboration:
- Kolaborasi tim dokter
dalam pemberian
analgetika.

5 Defisit Setelah dilakukan Edukasi Kesehatan Pasien dengan


pengetahuan asuhan keperawatan Observasi: diagonsa
berhubungan selama …x24 jam - Evaluasi tingkat ansietas, keperawatan defisit
dengan diharapkan defisit catat verbal dan non pengetahuan
kurangnya pengetahuan dapat verbal pasien. dilakukan tindakan
informasi teratasi dengan Nursing Treatment: sesuai dengan
terhadap kriteria hasil : - Jadwalkan istirahat intervensi guna
tindakan adekuat dan periode memenuhi nutrisi
- Perilaku keliru
pembedahan menghentikan tidur. klien.
terhadap masalah
ditandai dengan Edukasi:
telah dipahami
pasien - Jelaskan dan persiapkan
- Pertanyaan
menanyakan untuk tindakan prosedur
tentang masalah
terkait sebelum dilakukan
yang dihadapi
kondisinya. Anjurkan keluarga untuk
telah dipahami
menemani disamping klien
7) Implementasi:
- Pada bagian ini, implementasi disesuaikan dengan intervensi yang direncanakan.
8) Evaluasi:
Pembuatan evaluasi keperawatan berdasarkan buku Standar Luaran Keperawatan
Indonesia (Tim Pokja SLKI DPP PPNI, 2019)
- Pada bagian ini menjelaskan bagaimana perubahan kesehatan pasien setelah
diberikan tindakan keperawatan selama 3x24 jam. Biasanya pada bagian evaluasi
menggunakan SOAP.

DAFTAR PUSTAKA

Imam Subekti, Sugianto Hadi, Ngesti W. Utami (2016). Dokumentasi Proses Keperawatan.
UMM Press: Malang.

Grace A.Pierce, Borley R.Nier. 2011. Ata Glace Ilmu Bedah Edisi 3. Pt Gelora Aksara
Pratama

Sjamsuhidajat, R. (2010). Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC : Jakarta.

Craig, Sandy, 2011. Appendicitis. Available from:


http://emedicine.medscape.com/article/773895-overview [ citied: 9 Januari 2020]
Rukmono. 2011. Bagian Patologik Anatomik. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia:
Jakarta.

Arief Mansjoer. 2010. Kapita Selekta Kedokteran, edisi 4, Jakarta : Media Aesculapius.

Lucilla Suparmi. 2012. Konsep Dasar Pemeriksaan Fisik Keperawatan. Jakarta: Ghalia
Indonesia.
Jackson, D. (2014). Keperawatan Medikal Bedah edisi 1. Yogyakarta, Rapha Pubising.

Brunner & Suddarth. 2013. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Volume 2.
Jakarta Egc

Anda mungkin juga menyukai