Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

MUQARRANAH MAZAHIB FIL USHUL


SUMBER-SUMBER HUKUM DALAM ISLAM YANG DI
PERSELISIHKAN ULAMA (FOKUS KE ISTIHSAN)

Dosen Pengampu : BITOH PURNOMO, LL.M


Disusun Oleh:

Kelompok 3

HERI ANI (1920102037)


SADIKIN (1920102032)

PROGRAM STUDI PERBANDINAGAN MAZHAB


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) RADEN FATAPALEMBANG
2021
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Dalam ilmu Ushul Fiqih kita akan banyak diperkenalkan pada pembahasan tentang
berbagai macam dalil hukum atau metode ijtihad para ulama dalam mengambil keputusan suatu
hukum. Sumber hukum merupakan tempat untuk menemukan atau menggali hukum, atau asas
hukum, dan menjadi referensi atas hukum yang baru.
Dalil-dalil hukum tersebut para jumhur ulama ada dalil hukum yang sepakati dan ada juga
yang tidak sepakati. Dalil hukum yang disepakati ada 4 yaitu; Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’
dan Qiyas tetapi antara Ijma dan Qiyas ada yang sepakat ada juga yang tidak akan tetapi yang
tidak sepakat hanya sebagian kecil yang tidak menyepakati adanya dalil hukum qiyas.
Sedangkan dalil hukum yang tidak disepakat ada 8 yaitu; Isthisan, isthisab, Maslahah
Mursalah, Urf, Mahzab Shahabi, dan syar’u man Qoblama, Saddu Addz-Dzari’ah, Mazhab
Shahabi, Dalalat Al-Iqtiran. Sebagian jumhur ulama ada yang menjadikan dalil-dalil tersebut
sebagai sumber hukum dan ada juga yang tidak sepakat, maka disinilah terjadi 2 bagian, yang
sebagian sepakat dan yang sebagian lagi tidak sepakat mengenai dalil yang dijadikan sebagai
sumber hukum.
Tentunya kita sebagai ummat Islam harus mengetahui mana saja dalil hukum yang
disepakati dan mana saja dalil hukum yang tidak disepakati, untuk membekali diri kita dalam
mengambil sebuah hukum, apakah yang dalam kehidupan kita sehari-hari telah mengacu
kepada dalil-dalil tersebut atau tidak.Jangan sampai ada keraguan dalam diri kita mengenai
sesuatu hukum.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sumber- Sumber Hukum Islam Yang Diperselisihkan Ulama

1. Istihsan

a. Definisi Istihsan
Menurut bahasa, istihsan berarti menganggap baik atau mencari yang
terbaik. Sedangkan menurut istilah ahli ushul, yang dimaksud istihsan adalah
berpindahnya seorang mujtahid darihukum yang dikehendaki oleh qiyas jali
(jelas) kepada hukum yang dikehendaki oleh qiyas khafi (samar-samar), atau
dari hukum kulli (umum) kepada hukum yang bersifat khusus dan istina’i
(pengecualian), karena ada dalil syara’ yang menghendaki perpindahan itu.

b. Macam-Macam Istihsan
Istihsan dibagi menjadi dua sebagai beerikut.
1) Menguatkan qiyas khafi atas qiyas jali dengan dalil.
Contoh:
Menurut Ulama Hanafiyah, wanita yang sedang haid boleh membaca Al-Qur’an
berdasarkan istihsan tetapi haram menurut qiyas.

Qiyas:
Wanita yang sedang haid diqiyaskan kepada orang junub dengan illat yang
sama-sama tidak suci. Orang junub haram membaca Al-Qur’an, maka wanita
haid juga haram membaca Al-Qur’an.

Istihsan:
Haid berbeda denga junub, karena haid waktunya lama, maka wanita haid
Boleh membaca Al-Qur’an. Sebab bila tidak, Maka karena haid yang panjang
Itu wanita tidak memperoleh pahala ibadah apapun, sedangkan laki-laki dapat
beribadah setiap saat.

2) Pengecualian sebagian hukum kulli dengan dalil atau meninggalkan hukum


kulli kepada hukum istihsan.
Contoh:
Jual beli salam (pesanan) berdsarkan istihsan diperbolehkan. Menurut dalil
kulli, syara’ melarang jual beli yang barangnya tidak ada pada aktu akad.
Alasan istihsan ialah manusia berhajat kepada akad yang seperti itu dan sudah
menjadi kebiasaan mereka.
c. Kedudukan Istihsan Sebagai Sumber Hukum Islam

Ulama Hanafiyah, Malikiyah, dan sebagian ulama Hambaliah berpendapat


bahwa istihsan merupakan dalil yang kuat dalam menetapkan hukum.Golongan
Hanafiyah sangat mengagungkan istihsan, Hambali dan Maliki juga memakainya,
tetapi masih membatasinya, sebab bukanlah sumber yang berdiri sendiri. Adapun Imam
Syafi’i menentangi Istihsan, karena akan membuka pintu untuk menetapkan hukum
asesuai kehendaknya. Beliau berkata: “Barang siapa yang menggunakan istihsan berarti
telah membuat syariat sendiri.”
Adanya perbedaan pendapat pendapat ulama tentang istihsan karena tidak
adanya persesuaian pendapat dalam mengartikan istihsan. Sebenarnya, istihsan itu
mengalihkan suatu dalil yang nyata atau mengalihkan hukum kulli kepada suatu dalil
yang lebih sesuai dengan kemaslahatan, bukan mengalihkannya kepada sesuatu
menurut kemauan hawa nafsu.Oleh karena itu, Imam asy-Syatibi berpendapat, barang
siapa yang beristihsan tidaklah berarti bahwa memulangkannya kepada perasaan dan
kemauan hawa nafsunya, tetapi ia memulangkannya kepada maksud syar’i yang umum
dalam peristiwa-peristiwa yang dikemukakan.

2. Istishab

a. Definisi Istishab

Secara bahasa istishab berarti menyertakan, membawa serta dan tidak melepaskan
sesuatu. Adapun menurut istilah, istishab ialah mengambil hukum yang telah ada atau tetapkan
pada masa lalu dan tetap dipakai hingga masa-masa selanjutnya sebelum ada hukum yang
mengubahnya. Menurut istilah ilmu ushul fiki, “istishab yaitu melanjutkan berlakunya hukum
yang telah ada dan yang telah ditetapkan karena sesuatu dalil, sampai ada dalil lain yang
mengubah kedudukan hukum tersebut.”

b. Contoh Istishab

Ketika kita menetapkan bahwa si A adalah pemilik rumah, atau mobil, entah itu
melalui proses jual-beli atau pewarisan, maka selama kita tidak menemukan ada dalil atau bukti
yang mengubah kepemilikan tersebut, kita tetap berkeyakinan dan menetapkan bahwa si A- lah
pemilik rumah atau mobil tersebut hingga sekarang atau nanti.

c. Macam-Macam Istishab

Istishab terbagi menjadi beberapa macam, sebagai berikut.


1) Istishab hukum asal atas sesuatu saat tidak ditemukan dalil lain yang menjelaskannya.
2) Istishab al-Bara’ah al-Ashliyah.
3) Istishab hukum yang ditetapkan oleh ijma’ pada saat berhadapan dengan masalah yang
masih diperselisihkan.
d. Kedudukan Istishab Sebagai Sumber Hukum Islam

Para ulama berbeda pendapat tentang kehujjahan istishab.


1) Menerima istishab sebagai pegangan dalam menentukan hukum
Ulama yang termasuk kelompok ini adalah Syafi’iyah, Hanabilah, Malikiyah,
Zhahiriyah, dan sebagian kecil ulama Hanafiyah.
2) Menolak istishab sebagai pegangan dalam menetapkan hukum
Ulama golongan kedua ini kebanyakan adalah ulama hanafiyah. Mereka
menyatakan bahwa istishab dengan pengertian diatas adalah tanpa dasar.

3. Al-Maslahah Al- Mursalah

a. Definisi Al- Maslahah Al- Mursalah

Maslahah secara umum artinya mendatangkan segala bentuk


kemanfaatan atau menolak segala kemungkinan yang merusak. Maksudnya
ialah penetapan hukum berdasarkan kepada kemaslahatan, yaitu manfaat bagi
menusia atau menolak kemedaratan atas mereka, sedangkan dalam dengan jalan
menolak syara’ (Nash) belum atau tidak ada ketentuannya. Al-Khawarizmi
menyatakan bahwa maslahah ialah menjaga tujuan syara’ dengan jalan menolak
mafsadat (kerusakan) atau mudarat dari makhluk.
Adapun menurut istilah ulama Ushul Fiqih , al-maslahah al-mursalah
bermakna: “perbuatan yang bermanfaat yang telah diperintahkan oleh
Allah Swt. Kepada hambanya tentang pemeliharaan agama, jiwa, akal,
keturunan, dan hartanya.”
Dalam istilah lain, al-maslahah al-mursalah sering disebut dengan
istilah.

b. Kedudukan Al-Maslahah Al-Mursalah Sebagai Sumber Hukum

Pendapat para ulama mengenai kedudukan al-maslahah al-mursalah


Sebagai sumber hukum.
1) Imam Malik membolehkan berpegang kepadanya secara mutlak.
2) Menurut Imam Syafi’I boleh berpegang al-maslahah al-mursalah
apabila sesuai dengan dalil kulli dan dalil juz’i dari syara’. Pendapat
ini berdasarkan hal-hal berikut.
a) Para sahabat dan tabi’in serta para mujtahid banyak menetapkan
hukum untuk mewujudkan maslahat yang tidak ada petunjuknya
dari syar’i. Misalnya, membuat penjara, mencetak uang, serta
mengumpulkan dan membukukun ayat-ayat Al-Qur’an.
b) Kehidupan manusia akan selalu berjalan mengikuti gerak zaman
.Oleh karena itu, kemaslahatan manusia juga akan berbeda-beda
sesuai dengan situasi dan kondisi yang melingkupinya.

c. Syarat-Syarat Berpegang Kepada Al-Maslahah Al-Mursalah

1) Tidak boleh bertentangan dengan Maqqasid Syariah, dalil-dalil kulli,


Dan juz’I yang qath’i wurud dan dalalahnya, dari nash Al-Qur’an dan
As- sunnah.
2) Kemaslahatan tersebut bersifat umum.
3) Pelaksanaannya tidak menimbulkan kesulitan yang tidak wajar.

4. Al-‘ Urf

a. Definisi Al-Urf

‘ Urf ialah segala sesuatu yang sudah dikenal dan dijalankan oleh suatu
masyarakat secara turun temurun dan sudah menjadi adat –istiadat, baik berupa
perkataan (qauli) maupun perbuatan (‘amali). Menurut bahasa, ‘urf artinya
sesuatu yang di pandang baik, yang dapat diterima akal sehat. Menurut ahli-ahli
syar’i bahwa antara adat –istiadat dengan ‘urf amali itu tidak ada
bedanya.Contohnya dalam jual beli salam (jual beli dengan pesanan) yang tidak
memenuhi syarat jual beli. Menurut syarat jual-beliadalah pada saat jual beli
dilangsungkan pihak pembeli telah menerima barang telah dibeli dan pihak
penjual telah menerima uang hasil penjualan barangnya. Sedangkan pada salam
barang yang akan di beli itu belum ada wujudnya pada saat akad jual beli, tetapi
karena sudah menjadi kebiasaan si masyarakat dan bahkan dapat memperlancar
jual beli, maka salam sibolehkan.
‘Urf berbeda dengan ijma’ karena ‘Urf terjadi terjadi berdasarkan
kebiasaan-kebiasaan yang dialami oleh orang-orang yang berbeda tingkatan
dengan mereka . Sedangkan ijma’ dibentuk dari persesuaian pendapat khusus
dari kalangan mujtahid. Dalam ijma’ orang-orang umum tidak ikut dalam
pembentukannya.

b. Macam-Macam Al-‘Urf

1) Al-‘Urf al-Lafzi adalah kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan


lafaz atau ungkapan tertentu. Apabila dalam memahami uangkapan
perkataan diperlukan arti lain, maka itu bukanlah ‘urf.
2) Al-‘Urf al-‘Amali adalah kebiasaan masyarakat yang bekaitan denagn
perbuatan.
c. Kedudukan ‘Urf Sebagai Sumber Hukum

Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama Ushul Fiqh tentang


kehujjahan ‘Urf.
1) Golongan Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa ‘urf adalah
hujjah untuk menetapkan hukum. Mereka beralasan firman Allah
dalam Surah al-A’raf {7}ayat 199.
2) Golongan Syafi’iyyah dan Hanbaliyah, keduanya tidak menganggap
‘urf sebagai hujjah atau dalil hukum syar’i .Mereka beralasan , ketika
ayat-ayat Al-Qur’an, banyak sekali ayat yang mengukuhkan kebiasaan
yang terdapat di tengah-tengah masyarakat.

5. Syar’u Man Qablana

a. Definisi Syar’u Man Qablana

Syar’u Man Qoblana (syariat sebelum kita) ialah hukum-hukum yang telah
disyariatkan untuk umat sebelum islam yang dibawah oleh para Nabi dan Rasul
terdahulu dan menjadi beban hukum dan diikuti oleh umat sebelum adanya
syariat Nabi Muhammad saw.

b. Pembagian dan Hukum Syar’u Man Qablana


Apa yang disyariatkan kepada mereka juga ditetapkan kepada kita umat Nabi
Muhammad saw, baik penetapannya itu melalui perintah melaksanakan.
Contoh: Puasa dan qisas.

6. Sadd Adz-Dzari’ah

a. Definisi Saddu Adz-Dzari’ah

Saddu dzariah terdiri atas dua perkara, yaitu saddu dan dzariah . Saddu
bearati penghalang, hambatan, sumbatan, sedangkan dzariah berarti jalan.
Maksudnya, menghambat atau menghalangi atau menyumbat semua jalan yang
menuju kepada kerusakan atau maksiat. Menurut istilah ulama ushul fiqh bahwa
yang disebut dengan dzari’ah ialah: “Masalah yang lahirnya boleh (mubah),
tetapi dapat membuka jalan untuk melakukan perbuatan yang dilarang.”
Dengan demikian, saddu al-dzari’ah berarti melarang perkara-perkara yang
lahirnya boleh, karena ia membuka jalan dan mejadi pendorong kepada
perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh agama. Seperti melarang
perbuatan/permainan judi tanpa uang.

b.Contoh Saddu Adz- Dzari’ah

1) Diharamkan menanam ganja untuk mnutup kerusakan yang ditimbulkannya


2) Diharamkannya mendirikan diskotik karena biasanya sebagai tempat
maksiat dan dosa.
Dengan demikian, saddu adz-dzari’ah berarti melarang perkara-perkara
yang lahirnya boleh, karena ia membuka jalan dan menjadi pendorong kepada
perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh agama.

b. Kedudukan Saddu Adz- Dzari’ah sebagai sumber hukum

Para ulam berbeda pendapat mengenai kedudukannya sebagai sumber


hukum.
1) Menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i, saddu adz-dzari’ah
tidak dapat dijadikan sumber hukum, karena sesuatu yang menurut
asalnya mubah, tetap diperakukansebagai yang mubah.
2) fatwadijadikan sumber hukum sebab sekalipun mubah, tetapi dapat
mendorong an membuka perbuatan-perbuatan yang dilarang agama.
7. Mazhab Shahabi

a. Definisi Mazhab Shahabi


Mazhab Shahabi ialah fatwa-fatwa para sahabat mengenai berbagai
masalah
gang dinyatakan setelah rasulullah saw. wafat.Fatwa-fatwa tersebut ada yang
telah di kumpulkan sebagaimana mereka mengumpulkan hadis-hadis rasulullah
saw. Fatwa-fatwa tersebut ada yang berdasarkan kepada sabda dan perbuatan
Rasul dan ada yang berdasarkan ijtihad mereka, yang terbagi menjadi dua, yaitu
ijtihad yang disepakati (ijma’) dan ijtihad yang tidak disepakati.
Madalah mazhab sahabat ini muncul, karena para tabi’in dan tabi’it
tabi’in banyak yang membukukuan dan meriwayatkan fatwa sahabat secara
teratur, sehingga menyamai pembukuan sunah-sunah Rasul.
Perkataan sahabat yang tidak mendapatkan tantangan (reaksi) dari sahabat lain
adalah menjadi hujjah bagi orang islam. Dalam hal ini disebabkan persesuaian
antara para sahabat dalam suatu masalah pada masa mereka hidup masih dekat
dengan masa hidup Rasulullah saw. Pengetahuan para sahabat yang mendalam
mengenai rahasia-rahasia syariat itu menjadi bukti berdasarkan dalil yang
qathi’i dari Rasulullah saw.
Misalnya, keputusan Khalifah Abu Bakar as-siddiq ra. Mengenai
beberapa orang nenek yang bersama-sama mendapatkan warisan seperenam
harta peninggalan yang sibagikan kepada mereka secara merata . Dalam hal ini,
Tidak ada seorang sahabat pun yang menentang keputusan Abu-bakar ra.
Tersebut.

b. Kedudukan Mazhab Shahabi Sebagai Sumber Hukum

Kedudukan madzhab sahabat ini juga dapat diklasifikasikan menjadi


berikut.
1) Mazhab sahabat yang berdasarkan sabda dan perbuatan serta
ketetapan rasul wajib ditaati, sebab hakikatnya ia menjadi sunah rasul.
2) Mazhab sahabat yang berdasarkan hasil ijtihad tetapi telah mereka
sepakati (ijma’ shahabi) dapat di jadikan hujjah dan wajib ditaati,
sebab selain dekat dengan rasul, mereka mengetahui rahasia-rahasia
tasyrik dan mengetahui perbedaan pendapat mengenai peristiwa yang
sering terjadi.
Contoh mazhab sahabat yang telah mereka sepakati, antara lain
mengenai bagian harta waris bagi nenek, yaitu (1/6)
3) Mazhab sahabat yang tidak mereka sepakati tidak dijadikan hujjah dan
tidak wajib diikuti.
a) Abu Hanifah mengakui adanya ra’yu (pendapat) sahabat.
b) Imam Syafi’i menyatakan : Tidak seorang pun ada yang
menjadikan perkataan sahabat untuk dijadikan hujjah,” sebab
perkataan sahabat tersebut didasarkan kepada ra’yu dan diantara
sahabat sendiri juga berbeda pendapat.

8. Dalalat Al- Iqtiran

a. Definisi Dalalat Al-iqtiran

Dalalat al-iqtiran ialah dalil-dalil yang menunjukan kesamaan hukum terdapat


sesuatu yang disebutkan bersamaan dengan sesuatu yang lain.

b. Kedudukan Dalalat al-iqtiran Sebagai Sumber Hukum Islam

Para ulama berbeda Pendapat mengenai kedudukan dalalat al-iqtiran sebagai


sumber hukum.
1) Jumbhur ulama berpendapat bahwa dalalat al-iqtiran tidak dapat
dijadikan hujjah, sebab sesuatu yang bersamaan dalam satu susunan
tidak mesti bersamaan dalam hukum.
2) Abu Yusuf dari kalangan Hanafiyah, Ibnu Nashar dari golongan
Malikiyah dan Ibnu Abu Hurairah dari kalangan Syafi’iyah
menyatakan dapat dijadikan hujjah.
Alasan mereka bahwa sesungguhnya huruf ‘athaf ( misalnya huruf
wawu dan fa’) itu menghendaki musyawarah/persamaan hukum.

c. Contoh Dalalat Al-iqtiran


Q.S Al-Baqarah [2]:196)
Artinya : “ Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah.”

Berdasarkan ayat ini, Imam Syafi’i menyamakan Hukum umrah dengan


haji, yaitu fardu, sebab kedua ibadah ini disebutkan dalam satu ayat.
Daftar Pustaka

Mulyani, Sri.2018.Fikih untuk MAdan yang Sederajat Kelas XII. Surakarta:Putra Nugraha.

Anda mungkin juga menyukai