Kelompok 3
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam ilmu Ushul Fiqih kita akan banyak diperkenalkan pada pembahasan tentang
berbagai macam dalil hukum atau metode ijtihad para ulama dalam mengambil keputusan suatu
hukum. Sumber hukum merupakan tempat untuk menemukan atau menggali hukum, atau asas
hukum, dan menjadi referensi atas hukum yang baru.
Dalil-dalil hukum tersebut para jumhur ulama ada dalil hukum yang sepakati dan ada juga
yang tidak sepakati. Dalil hukum yang disepakati ada 4 yaitu; Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’
dan Qiyas tetapi antara Ijma dan Qiyas ada yang sepakat ada juga yang tidak akan tetapi yang
tidak sepakat hanya sebagian kecil yang tidak menyepakati adanya dalil hukum qiyas.
Sedangkan dalil hukum yang tidak disepakat ada 8 yaitu; Isthisan, isthisab, Maslahah
Mursalah, Urf, Mahzab Shahabi, dan syar’u man Qoblama, Saddu Addz-Dzari’ah, Mazhab
Shahabi, Dalalat Al-Iqtiran. Sebagian jumhur ulama ada yang menjadikan dalil-dalil tersebut
sebagai sumber hukum dan ada juga yang tidak sepakat, maka disinilah terjadi 2 bagian, yang
sebagian sepakat dan yang sebagian lagi tidak sepakat mengenai dalil yang dijadikan sebagai
sumber hukum.
Tentunya kita sebagai ummat Islam harus mengetahui mana saja dalil hukum yang
disepakati dan mana saja dalil hukum yang tidak disepakati, untuk membekali diri kita dalam
mengambil sebuah hukum, apakah yang dalam kehidupan kita sehari-hari telah mengacu
kepada dalil-dalil tersebut atau tidak.Jangan sampai ada keraguan dalam diri kita mengenai
sesuatu hukum.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Istihsan
a. Definisi Istihsan
Menurut bahasa, istihsan berarti menganggap baik atau mencari yang
terbaik. Sedangkan menurut istilah ahli ushul, yang dimaksud istihsan adalah
berpindahnya seorang mujtahid darihukum yang dikehendaki oleh qiyas jali
(jelas) kepada hukum yang dikehendaki oleh qiyas khafi (samar-samar), atau
dari hukum kulli (umum) kepada hukum yang bersifat khusus dan istina’i
(pengecualian), karena ada dalil syara’ yang menghendaki perpindahan itu.
b. Macam-Macam Istihsan
Istihsan dibagi menjadi dua sebagai beerikut.
1) Menguatkan qiyas khafi atas qiyas jali dengan dalil.
Contoh:
Menurut Ulama Hanafiyah, wanita yang sedang haid boleh membaca Al-Qur’an
berdasarkan istihsan tetapi haram menurut qiyas.
Qiyas:
Wanita yang sedang haid diqiyaskan kepada orang junub dengan illat yang
sama-sama tidak suci. Orang junub haram membaca Al-Qur’an, maka wanita
haid juga haram membaca Al-Qur’an.
Istihsan:
Haid berbeda denga junub, karena haid waktunya lama, maka wanita haid
Boleh membaca Al-Qur’an. Sebab bila tidak, Maka karena haid yang panjang
Itu wanita tidak memperoleh pahala ibadah apapun, sedangkan laki-laki dapat
beribadah setiap saat.
2. Istishab
a. Definisi Istishab
Secara bahasa istishab berarti menyertakan, membawa serta dan tidak melepaskan
sesuatu. Adapun menurut istilah, istishab ialah mengambil hukum yang telah ada atau tetapkan
pada masa lalu dan tetap dipakai hingga masa-masa selanjutnya sebelum ada hukum yang
mengubahnya. Menurut istilah ilmu ushul fiki, “istishab yaitu melanjutkan berlakunya hukum
yang telah ada dan yang telah ditetapkan karena sesuatu dalil, sampai ada dalil lain yang
mengubah kedudukan hukum tersebut.”
b. Contoh Istishab
Ketika kita menetapkan bahwa si A adalah pemilik rumah, atau mobil, entah itu
melalui proses jual-beli atau pewarisan, maka selama kita tidak menemukan ada dalil atau bukti
yang mengubah kepemilikan tersebut, kita tetap berkeyakinan dan menetapkan bahwa si A- lah
pemilik rumah atau mobil tersebut hingga sekarang atau nanti.
c. Macam-Macam Istishab
4. Al-‘ Urf
a. Definisi Al-Urf
‘ Urf ialah segala sesuatu yang sudah dikenal dan dijalankan oleh suatu
masyarakat secara turun temurun dan sudah menjadi adat –istiadat, baik berupa
perkataan (qauli) maupun perbuatan (‘amali). Menurut bahasa, ‘urf artinya
sesuatu yang di pandang baik, yang dapat diterima akal sehat. Menurut ahli-ahli
syar’i bahwa antara adat –istiadat dengan ‘urf amali itu tidak ada
bedanya.Contohnya dalam jual beli salam (jual beli dengan pesanan) yang tidak
memenuhi syarat jual beli. Menurut syarat jual-beliadalah pada saat jual beli
dilangsungkan pihak pembeli telah menerima barang telah dibeli dan pihak
penjual telah menerima uang hasil penjualan barangnya. Sedangkan pada salam
barang yang akan di beli itu belum ada wujudnya pada saat akad jual beli, tetapi
karena sudah menjadi kebiasaan si masyarakat dan bahkan dapat memperlancar
jual beli, maka salam sibolehkan.
‘Urf berbeda dengan ijma’ karena ‘Urf terjadi terjadi berdasarkan
kebiasaan-kebiasaan yang dialami oleh orang-orang yang berbeda tingkatan
dengan mereka . Sedangkan ijma’ dibentuk dari persesuaian pendapat khusus
dari kalangan mujtahid. Dalam ijma’ orang-orang umum tidak ikut dalam
pembentukannya.
b. Macam-Macam Al-‘Urf
Syar’u Man Qoblana (syariat sebelum kita) ialah hukum-hukum yang telah
disyariatkan untuk umat sebelum islam yang dibawah oleh para Nabi dan Rasul
terdahulu dan menjadi beban hukum dan diikuti oleh umat sebelum adanya
syariat Nabi Muhammad saw.
6. Sadd Adz-Dzari’ah
Saddu dzariah terdiri atas dua perkara, yaitu saddu dan dzariah . Saddu
bearati penghalang, hambatan, sumbatan, sedangkan dzariah berarti jalan.
Maksudnya, menghambat atau menghalangi atau menyumbat semua jalan yang
menuju kepada kerusakan atau maksiat. Menurut istilah ulama ushul fiqh bahwa
yang disebut dengan dzari’ah ialah: “Masalah yang lahirnya boleh (mubah),
tetapi dapat membuka jalan untuk melakukan perbuatan yang dilarang.”
Dengan demikian, saddu al-dzari’ah berarti melarang perkara-perkara yang
lahirnya boleh, karena ia membuka jalan dan mejadi pendorong kepada
perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh agama. Seperti melarang
perbuatan/permainan judi tanpa uang.
Mulyani, Sri.2018.Fikih untuk MAdan yang Sederajat Kelas XII. Surakarta:Putra Nugraha.