Anda di halaman 1dari 46

DAFTAR ISI

BAB

I
PENDAHULUAN.............................................................................................................2
1.1 Latar Belakang Masalah........................................................................................2
1.2 Identifikasi Masalah............................................................................................12
1.3 Batasan Masalah..................................................................................................13
1.4 Rumusan Masalah...............................................................................................14
1.5 Tujuan Penelitian.................................................................................................14
1.6 Kegunaan Hasil Penelitian...................................................................................15
1.6.1 Kegunaan Teoritis........................................................................................15
1.6.2 Kegunaan praktis.........................................................................................15
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA...................................................................................................17
2.1 Landasan Teoritis................................................................................................17
2.1.1 Kinerja Kepala Sekolah...............................................................................17
2.1.2 Kriteria Kinerja Kepala Sekolah..................................................................19
2.1.3 Manajemen Berbasis Sekolah......................................................................28
2.1.3.1 Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah.............................................28
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Pembangunan nasional merupakan usaha peningkatan kualitas

sumber daya manusia yang dilakukan secara berkelanjutan, berlandaskan

kemampuan nasional, dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan

teknologi serta memperhatikan tantangan perkembangan global. Dalam

pelaksanaannya mengacu pada kepribadian bangsa dan nilai luhur universal

untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang berdaulat, mandiri, berkeasilan,

sejahtera, maju, dan kukuh kekuatan moral dan etiknya.

Peningkatan kualitas sumber daya manusia erat hubungannya

dengan pendidikan. Pendidikan merupakan hal yang sangat penting bagi suatu

Negara, karena dengan pendidikan akan dihasilkan manusia-manusia yang

berkualitas yang akan mengantarkan bangsa dan negaranya ke tatanan

kehidupan yang lebih maju.

Salahsatu permasalahan pendidikan yang dihadapi oleh bangsa

Indonesia adalah masih rendahnya kualitas pendidikan pada setiap jenjang dan

satuan pendidikan, khususnya pendidikan dasar dan menengah. Berbagai

usaha telah dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional,

antara lain melalui berbagai pelatihan dan peningkatan kualifikasi guru,

pengadaan buku, dan alat pelajaran, perbaikan sarana dan prasarana, serta

peningkatan kualitas manajemen sekolah. Namun berbagai indicator kualitas

pendidikan belum menunjukan peningkatan yang berarti. Ada tiga factor yang
menyebabkan kualitas tidak mengalami peningkatan secara merata. Factor

pertama, kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasioanl menggunakan

pendidikan education production functional atau input-output analysis yang

tidak dilaksanakan secara konsekuen. Pendekatan ini melihat bahwa lembaga

pendidikan tidak berfungsi sebagai pusat produksi yang apabila dipenuhi

semua input (masukan) yang diperlukan dalam kegiatan produk tersebut, maka

lembaga ini akan menghasilkan output yang dikehendaki. Pendekatan ini

menganggap bahwa apabila input pendidikan seperti pelatihan guru,

pengadaan guru, dan alat pelajaran, perbaikan sarana dan prasarana pendidkan

lainnya dipenuhi maka kualitas pendidikan (output) akan terjadi. Dalam

kenyataan, kualitas pendidikan yang diharapkan tidak terjadi. Mengapa?

Karena selama ini dalam menerapkan pendekatan educational production

function terlalu memusatkan pada input pendidikan dan kurang

memperhatikan pada proses pendidikan. Padahal proses sangat menentukan

output pendidikan. Factor kedua, penyelenggaraan pendidikan nasional

dengan secara birokratik-sentralistik, sehingga menempatkan sekolah sebagai

penyelenggaraan pendidikan sangat bergantung pada keputusan birokrasi yang

mempunyai jalur yang sangat panjang dan kadang-kadang kebijakan yang

dikeluarkan tidak sesuai dengan kondisi sekolah setempat. Dengan demikian,

sekolah kehilangan kemandirian, motivasi dan inisiatif untuk mengembangkan

dan memajukan lembaganya termasuk peningkatan kualitas pendidikan

sebagai salahsatu tujuan pendidikan nasional. Factor ketiga, peran serta

masyarakat, khususnya orangtua siswa dalam penyelenggaraanya pendidikan


selama ini masih minim. Sehingga perlu ditumbuhkembangkan kesadaran

akan pentingnya pendidikan.

Pendidikan sebagai salahsatu upaya dalam rangka meningkatkan

kualitas hidup manusia, pada intinya bertujua untuk memanusiakan manusia,

mendewasakan, merubah perilaku, serta meningkatkan kualias menjadi lebih

baik.

Pada kenyataanya pendidikan bukanlah suatu upaya yang

sderhana, melainka suatu kegiatan yang dinamis dan penuh tantangan.

Pendidikan akan selalu berubah seiring dengan perubahan zaman. Setiao saat

pendidikan selau menjadi focus perhatian dan bahkan tidak jarang menjadi

sasaran ketidakpuasan, karena pendidikan menyangkut kepentingan semua

orang, bukan hanya menyangkut investasi dan kondisi kehidupan dimasa yang

akan dating, melainkan juga menyangkut kondisi dan suasana kehidupan saat

ini. Itukah sebabnya pendidikan senantiasa memerlukan upaya perbaikan dan

pengingkatan sejalan dengan semakin tingginya kebutuhan dan tuntutan

kehidupan masyarakat.

Sampai satu dasawarsa terakhir penghujung abad ke-20, dunia

pendidika kita belum sepenuhnya dapat memenuhi harapan masyarakat.

Fenomena itu ditandai dengan rendahnya mutu lulusan pendidikan yang tidak

tuntas atau cenderung tambal sulam, bahkan lebih berorientasi proyek.

Akibatnya seringsekali hasil pendidikan mengecewakan masyarakat. Mereka

terus mempertanyakan relevansi pendidikan dengan kebutuhan masyarakat

dalam dinamika kehidupan ekonomi, politik, social, dan budaya. Kualitas

lulusan pendidikan kurang sesuia dengan kebutuhan pasar tenaga kerja dan
pembangunan, baik industry, perbankan, telekomunikasi, maupun pasaran

tenaga kerja sector lainya yang cenderung menggugat eksisensi sekolah.

Bahkan sumber daya manusia (SDM) yang disiapkan melalui pendidikan

sebagai generasi penerus belum sepenuhnya memuaskan bila dilihat dari segi

ahlak, moral, dan jati diri bangsa dlaam kemajemukan budaya bangsa.

Kondisi tersebut menyebabkan sebagian masyarakat menjadi

pesimis terhadap sekolah. Ada anggapan bahwa pendidikan tidak lagi mampu

menciptakan mobilitaas social mereka secara vertical, karena sekolah tidak

menjanjikan pekerjaan yang layak. Sekolah kurang mampu menjamin masa

depan anak yang lebih baik. Perubahan paradigma baru pendidikan kepda

mutu (quality oriented) meruapakn salahsatu strategi untuk mencapai

pembinaan keunggulan pribadi anak.

Bangsa kita saat ini mulai menyadari berbagai kelemahan masa

lalu. Kini tengah disiapkan upaya reformasi pendidikan nasional untuk

mengubah kinerja pelaksana pendidikan selama ini. Kita perlu memperbaiki

kerusakan, kejahatan, korupsi, atau kerusakan ahlak dari praktik pengelolaan

pendidikan nasional. Kesalahan kebijakan pendidikan di masa lalu perlu

segera diperbaiki dan di ubah dengan pengelolaan yang lebih baik. Otonomi

pendidikan merupakan salahsatu bentuk reformasi yang perlu dijalankan

dengan baik. Dengan di sahkannya undang-undang No.2 Tahun 1999 tentang

pemerintahan dan otonomi daerah, dan peraturan pemerintah Nomor 25 Tahun

2000 yang mengatur kewenangan kabupaten/kota sebagai daerah otonomi,

pengalihan sebagian tangggung jawab, tugas dan wewenang yang semula

dimiliki oleh pemerintah pusat atau provinsi dialihkan kepada pemerintah


kabupaten/kota, bahkan sampai pada pemberian otonomi pendidikan di tingkat

sekolah. Namun yang sangat disayangkan dengan dikeluarkannya kebijakan

ini tidak didukung oleh penyediaan sarana prasarana belajar yang memadai

serta pembinaan sumber daya secara berkesinambungan, khususnya bagi

tenaga pengajar, sehingga pengaruhnya belum bisa diharapkan secara

maksimal.

Dalam pelaksanaan otonomi daerah, salahsatu bentuk pemberian

kewenangan di bidang pendidikan kepada sekolah adalah dalam peningkatan

kualitas pendidikan dengan menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah (School

Based Management). Hal ini diharapkan agar sekolah mampu

memberdayakan, mengembangkan, serta meningkatkan potensinya masing-

masing. Kepala sekolah diberi kewenangan yang proposional/seimbang untuk

mengelola pendidikan sehingga tujuan sekolah dapat dicapai secara efektif dan

efisien. Menurut permadi (2007:26), pengertian Manajemen Berbasis Sekolah

adalah sebagai berikut:

Manajemen berbasis sekolah (MBS) atau dalam terminology


bahasa inggris lazim disebut “School Based Management” adalah
model pengelolaan yang memberikan otonomi atau kemandirian
kepada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan partisipasif
yang melibatkan secara langsung semua warga sekolah sesuai
dengan standar pelayanan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat,
provinsi, kabupaten dan kota.

Manajemen berbasis sekolah dilakukan melalui pendekatan

manajemen kualitas terpadu dengan selalu memperhatikan proses

peningkatan kualitas yang berkesinambungan, mulai dari persiapan,

implementasi, supervise dan monitoring serta pengendalian dan evaluasi

pendidikan yang dibuat seperti mata rantai yang tidak terputus melalui suatu
pendekatan “Plan, Do, Check, Act”. Prinsip- prinsip MBS tersebut bisa

dilaksanakan apabila pendidik dan tenaga kependidikan melaksanakan

kewenangan secara penuh untuk selalu memperhatikan perubahan dan

kebutuhan masyarakat (costumer focuse) sebagai pemakai jasa sekolah

dengan standar pendidikan yang baru yang bisa mengubah baik orientasi

pendidikan, kurikulum, bahan ajar maupun system tes sesuai dengan kondisi

dan sumber daya yang dimiliki sekolah. Walaupun tidak instruktif, namun

penerapan manajemen berbasiss sekolah ini harus disikapi oleh semua

pengelola pendidikan sebagai sebuah kebijakan yang menjadi salahsatu

modal dasar guna meningkatkan kualitas pendidikan di setiap sekolah.

Sekolah sebagai institusi atau lembaga pendidikan merupakan

wadah tempat proses pendidikan dilakukan, memiliki system yang kompleks

dan dinamis. Dalam kegiatannya sekolah adalah tempat yang bukan hanya

sekedar tempat berkumpul guru dan murid, melainkan berada dalam suatu

tataran system yang rumit dan saling berkaitan, oleh karena itu sekolah

dipandang sebagai suatu organisasi yang membutuhkan pengelolaan. Lebih

dari itu kegiatan inti organisasi sekolah adalah mengelola sumber daya

manusia yang diharapkan menghasilkan lulusan yang berkualitas sesuai

dengan tuntutan kebutuhan masyarakat, serta pada gilirannya lulusan sekolah

diharapkan dapat memberikan pengaruh pada pembangunan bangsa.

Sekolah dipandang sebagai suatu organisasi yang di desain untuk

dapat berpengaruh terhadap upaya peningkatan kualitas hidup bagi

masyarakat suatu bangsa. Sebagai salahsatu upaya peningkatan itu sekolah

perlu dikelola, diatur, ditata, dan diberdayakan agar sekolah dapat


menghasilkan produk atau hasil secara optimal. Dengan kata lain, sekolah

sebagai lembaga tempat penyelenggaraan pendidikan merupakan system yang

memiliki berbagai perangkat dan unsure yang saling berkaitan yang

memerlukan pemberdayaan. Secara internal sekolah memiliki perangkat guru,

murid, kurikulum, sarana, dan prasarana. Secara eksternal sekolah memiliki

dan berhubungan dengan instansi lain baik secara vertical maupun horizontal.

Didalam konteks pendidikan, sekolah memiliki stakeholders (yang

berkepentingan), antaralain: murid, guru, masyarakat, pemerintah,dan dunia

usaha. Oleh karena itu sekolah memerlukan pengelolaan (manajemen) yang

akurat agar dapat memberikan hasil yang optimal sesuai dengan kebutuhan

dan tuntutan semua pihak yang berkepentingan (Nanang Fatah, 2003:7-8).

Untuk kepentingan tersebut diperlukan paradigm baru manajemen

pendidikan. Dalam hal ini berbagai pihak menganalisis dan melihat perlunya

diterapkan manajemen berbasis sekolah yang dapat mengelola pendidikan

sesuai dengan tuntuan reformasi dalam era globalisasi ( E. Mulyasa, 2004:

32-33).

Pengelola pendidikan yang berperan penting dalam mencapai

keberhasilan manajemen berbasis sekolah di antaranya adalah kepala sekolah

dan tenaga pendidik (guru). Para kepala sekolah sebagai manajer sudah

saatnya mengoptimalkan mutu kegiatan pembelajaran untuk memenuhi

harapan pelanggan pendidikan. Sekolah berfungsi untuk membina sumber

daya manusia yang kreatif dan inovatif, shingga lulusannya memenuhi

kebutuhan masyarakat, baik pasar tenaga kerja sector formal maupun sector

informal. Para manajer pendidikan dituntut mencari dan menerapkan suatu


startegi manajemen baru yang dapat mendorong perbaikan mutu di sekolah-

sekolah, yakni manajemen berbasis sekolah.

Pemberlakuan manajemen berbasis sekolah memiliki impikasi

signifikan terhadap pengelolaan sekolah dari yang semula bersifat

sentralistik-birokrasi menjadi desentralisasi-otonomi. Desentralisasi

pendidikan dalam setting pengelolaan sekolah mengandung makna bahwa

kepala sekolah bersama elemen pendidikan lainnya seperti tenaga pengajar

atau guru memiliki kewenangan secara luas dalam mengelola proses

pembelajaran secara professional dan bertangggungjawab. Makna pemberian

wewenang ini ditafsirkan Nanang Fatah (2001: 12) sebagai pemberian

wewenang kepala sekolah dlam pertangggungjawabannya menggunakan

parameter mutu pendidikan. Dalam posisi ini pencapaian mutu pendidikan

merupakan esensi dasar dari tujuan pemberlakuan manajemen berbasis

sekolah. Dengan demikian indicator keberhasilan implementasi menajemen

berbasis sekolah dilihat dari dimensi output adalah tercapainya mutu

pendidikan secara berkelanjutan.

Kepala sekolah merupakan salahsatu komponen pendidikan yang

paling berperan dalam meningkatkan mutu pendidikan. Dalam pandangan

supriadi (1998: 346), menyatakan bahwa : “erat hubungannya antara mutu

kepala sekolah dengan berbagai aspek kehidupan sekolah seperti disiplin

sekolah, iklim budaya sekolah, dan menurunnya perilaku nakal peserta

didik”. Memperkuat pendapat tersebut, Nurkolis (2003: 119) mengatakan:

Pada tingkat sekolah, kepala sekolah sebagai figure kunci dalam


mendorong perkembangan dan kemajuan sekolah. Kepala sekolah
tidak hanya meningkatkan tanggung jawab dan otoritasnya dalam
dalam program-proram sekolah, kurikulum dan keputusan personil,
tetapi juga memiliki tanggung jawab untuk meningkatkan
akuntabilitas keberhasilan siswa dan programnya. Kepala sekolah
harus pandai dalam memimpin kelompok dan pendelegasian tugas
dan wewenang.

Apa yang diungkapkan di atas menjadi lebih penting sejalan

dengan semakin kompleksnya tuntutan tugas kepala sekolah, yang

mengehendaki dukungan kinerja yang semakin efektif dan efisien. Disamping

itu, perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan budaya yang

diterapkan dalam pendidikan disekolah juga cenderungan bergerak maju

semakin pesat, sehingga menuntut penguasaan secara profesional. Menyadari

hal tersebut, setiap kepala sekolah dihadapkan pada tantangan untuk

melaksanakan pengembangan pendidikan secara terarah, berencana, dan

berkesinambungan untuk meningkatkan kualitas pendidikan ( E. Mulyasa,

2004:25). Dalam kerangka inilah dirasakan perlunya peningkatan manajemen

kepala sekolah secara professional untuk mensukseskan salahsatu program

pemerintah, yakni program implementasi manajemen berbasis sekolah.

Karena luas dan kompleknya tugas yang dibebankan kepada kepala

sekolah, maka diperlukan kesungguhan dari para kepala sekolah yang

bersangkutan untuk bisa meningkatkan profesionalisme kinerjanya.

Pelaksanaan tugas kepala sekolah akan berhasil dengan baik apabila kepala

sekolah mempunyai keterampilan dalam menunjang tugasnya.

Peran kepala sekolah seperti yang dijelaskan diatas juga akan

berjalan dengan baik ketika ada kesesuaian dengan peran yang dimainkan

oleh tenaga pengajar atau guru sebagai partner kerjanya dalam meningkatkan

kualitas sekolah, terutama dalam mengimplementasikan manajemen berbasis

sekolah. Kinerja kepala sekolah dan guru sangat mendukung terhadap


keberhasilan penerapan manajemen berbasis sekolah di sekolah yang

bersangkutan.

Di kecamatan Solokanjeruk Kabupaten Bandung, khususnya pada

jenjang sekolag dasar, hamper semua sekolah dasar negeri telah

menggunakan pola manajemen berbasis sekolah (MBS), ada yang MBS

secara penuh, tingkat menengah ( sedang), dan MBS secara minimal ( pola

MBS semacam ini berdasarkan kutipan dari Fasli Djajal dan Deid Supriadi,

2001: 161).

Dari 45 sekolah dasar negeri yang ada di kecamatan Solokanjeruk

Kabupaten Bandung, implementasi MBS masing-masing sekolah sangat

beragam sehingga berakibat terhadap adanya penyebutan sekolah

favorit/unggul, sedang, dan kurang. Lalu dilihat dari latar belakang

pendidikan, pengetahuan, skill, pengalaman, kebutuhan aktualisasi dan

sosialisasi, dari masing-masing kepala sekolah juga berbeda-beda sehingga

mutu pendidikan di setiap sekolah juga berbeda-beda.

Keragaman penyebutan dan implementasi MBS di setiap sekolah

yang ada di kecamatan Solokanjeruk Kabupaten Bandung serta adanya

kesenjangan antara upaya maksimal para kepala sekolah dan guru dalam

mengimplementasikan manajemen berbasis sekolah dengan kualitas sekolah

yang masih rendah atau kurang, berimplikasi terhadap adanya dugaan dari

diri penulis bahwa hal itu terjadi kerana pengaruh kinerja masing-

masingkepala sekolah dan guru berbeda-beda, sehingga mutu pendidikan

masing-masing sekolahpun berbeda-beda pula. Fenomena itu sangat menarik

untuk dikaji lebih mendalam melalui sebuah penelitian yang di fokuskan pada
judul penelitan “ PENGARUH POLA KEPEMIMPINAN TERHADAP

KINERJA GURU DALAM KERANGKA MANAJEMEN PENINGKATAN

MUTU BERBASIS SEKOLAH” (Studi Pada Implementasi Manajemen

Berbasis Sekolah Di Sekolah Dasar Negeri Gugus I Kecamatan Solokanjeruk

Kabupaten Bandung Tahun 2014)”.

1.2 Identifikasi Masalah


Saat ini terjadi pelimpahan wewenang pengelolaan sekolah dari

pejabat pendidikan pusat kepeda kepala sekolah. Kepala sekolah diharapkan

mampu bekerja sama dengan para tenaga pengajar dalam mengelola

lembaganya sesuai dengan kebutuhan masyarakat sekitar dalam melibatkan

Stakeholders pendidikan di wilayah kerjanya. Kepal sekolah merupakan ujung

tombak pencapaian usaha peningkatan mutu pendidikan melalui implementasi

manajemen berbasis sekolah. Oleh karena itu kepala sekolah dan guru yang

professional dan berdedikasi tinggi sangat dibutuhkan dalam implementasi

manajemen berbasis sekolah.

Berdasarkan latar latar belakang masalah dan hasil observasi di

lapangan, penulis dapat mengidentifikasi masalah-masalah yang berhubungan

dengan implementasi manajemen berbasis sekolah sebagai berikut:

1) Masih terjadi refleksi kekuasaan dari pejabat pendidikan yang

sentralistik, sehingga kepala sekolah kurang dapat

menumbuhkembangkan sikap mandiri, kreatif, inovaif dan demokratis

sesuai dengan potensi yang dimiliki dalam mengimplementasikan

manajemen berbasis sekolah.


2) Belum ada pengaruh yang maksimal dari tenaga pengajar dalam

mengimplementasikan manajemen berbasis sekolah

3) Sebagian besar tenaga pengajar belum memahami konsep manajemen

bberbasis sekolah sekolah.

4) Kepala sekolah belum sepenuhnya melibatkan tenaga pengajar dalam

mengimplementasikan manajemen berbasis sekolah.

5) Komponen-komponen pendidikan di tingkatkan sekolah belum

memahami secara utuh prinsip-prinsip manajemen berbasis sekolah.

6) Pemenuhan kebutuhan sarana prasarana belajar yang belum maerata

untuk setiap sekolah sehingga efektivitas implementasi MBS belum

berjalan secara maksimal.

7) Implementasi MBS masing-masing sekolah sangat beragam walaupun

memiliki sumber daya manusia dan berada di wilayah yang sama.

8) Kepala sekolah dan tenaga pengajar belum mampu memberdayakan

stakeholders pendidikan di wilayah kerjanya.

1.3 Batasan Masalah


Bertitik tolak dari latar belakang dan identifikasi masalah yang

dapat dipahami bahwa kinerja (performance) kepala sekolah dan tenaga

pengajar di sekolah adalah mencakup pembinaan program pendidikan, sumber

daya manusia, sumber daya fisik, serta hubungan kerjasama antara keduanya

dengan masyarakat oleh karena itu dipandang perlu adanya uraian analisis

ilmiah dan pengujian konseptual secara terfokus mengenai pengaruh kinerja

kepal sekolah (X1) dan kompetensi guru (X2) terhadap efektivitas

implementasi manajemen berbasis sekolah (Y) di sekolah dasar. Peneliti


mencoba mengidentifikasi pengaruh kinerja tersebut dalam

mengimplementasikan manajemen berbasis sekolah. Selain itu peneliti juga

mengidentifikasi tingkat keberhasilan implementasi manajemen berbasis

sekolah di sekolah dasar yang bersangkutan.

1.4 Rumusan Masalah


Secara umum, rumusan masalahnya adalah seberapa besar

pengaruh kinerja kepala sekolah dan kompetensi guru terhadap efektivitas

implementasi manajemen berbasis sekolah, baik sendiri-sendiri maupun

bersama-sama. Secara spesifik dan operasionalnya masalah penelitian

dirumuskan sebagai berikut :

1) Seberapa besar pengaruh kinerja kepala sekolah terhadap efektivitas

implementasi manajemen berbasis sekolah pada sekolah Dasar Negeri se-

gugus 1 kecamatan Solokanjeruk Kabupaten Bandung.

2) Seberapa besar pengaruh kompetensi tenaga pengajar atau guru terhadap

efektivitas implementasi manajemen berbasis sekolah pada Sekolah

Dasar Negeri Se-gugus 1 Kecamatan Solokanjeruk Kabupaten Bandung.

3) Seberapa besar pengaruh bersama kinerja kepala sekolah dan kompetensi

guru terhadap efektivitas implementasi manajemen berbasis Sekolah

Dasar Negeri Se-gugus 1 Kecamatan Solokanjeruk Kabupaten Bandung.

1.5 Tujuan Penelitian


Secara operasional penelitian ini bertujuan untuk mengetahui :

1) Besarnya pengaruh kinerja kepala sekolah terhadap efektivitas

implementasi manajemen berbasis sekolah pada Sekolah Dasar Negeri

Se-Kecamatan Solokanjeruk Kabupaten Bandung.


2) Besarnya pengaruh kompetensi guru terhadap efektivitas implementasi

manajemen berbasis sekolah pada Sekolah Dasar Negeri Se-Kecamatan

Solokanjeruk Kabupaten Bandung.

3) Besarnya pengaruh kinerja kepala sekolah dan kompetensi guru terhadap

efektivitas implementasi manajemen berbasis sekolah pada Sekolah

Dasar Negeri Se-Kecamatan Solokanjeruk Kabupaten Bandung.

1.6 Kegunaan Hasil Penelitian

1.6.1 Kegunaan Teoritis


Secara teoritis penelitian ini bermanfaat untuk mengembangkan ilmu

administrasi pendidikan, terutama mengenai efektivitas pelaksanaan

kepemimpinan kepala sekolah dan kompetensi guru dalam

mengimplementasikan manajemen berbasis sekolah. Disisi lain dapat

digali dari penelitian ini adalah kemungkinan munculnya konsep

kontekstual yang berkenaan interdependensi atara kinerja kepala sekolah

dan kompetensi guru dengan karakteristik organisasi sekolah yang

memberikan konstribusi kearah tercapainya mutu sekolah secara

berkesinambungan.

1.6.2 Kegunaan praktis


Secara praktis penelitian ini bermanfaat :

1) Sebagai evaluasi bagi kinerja kepala sekolah dan guru untuk

meningkatkan hasil pembelajaran.

2) Sebagai bahan rujukan untuk meningkatkan kualitas proses

pembelajaran.
3) Sebagai masukan bagi instansi yang berwenang dalam pelaksanaan

pembinaan terhadap kepala sekolah dan guru khusunya mengenai

pembinaan tenaga pendidik untuk jenjang sekolah dasar.


BAB II

2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teoritis

2.1.1 Kinerja Kepala Sekolah

Profesi guru yang menjabat sebagai kepal sekolah merupakan

jabatan yang professional dengan tugas dan tangggungjwab yang cukup berat

sehingga dituntu untuk menampilkan kinerja yang professional pula dengan

berupaya semaksimal mungkin menjalankan profesinya sebaik mungkin.

Dalam hal ini kepala sekolah hendaknya dpat meningkatkan kinerjanya terus

yang merupakan modal selain bagi peningkatan professional guru juga

peningkatan prestasi belajar siswa pada khususnya dan peningkatan kualitas

pendidikan pada umumnya.

Kinerja atau prestasi kerja kepala sekolah merupakan ungkapan

kemampuan yang di dasari oleh pengetahuan, sikap, keterampilan, dan

motivasi dalam menghasilkan sesuatu atau suatu pencapaian persyaratan

pekerjaan tertenu yang secara langsung dapat didlihat dari outpunya.

Sebagaimana dikemukakan oleh Simamora (2002:423), yang menjelaskan

sebagai berikut:

Kinerja merupakan terjemahan dari bahasa Inggris, performance job


performance tetapi dalam bahasa Inggrisnya sering disingkat
menjadi performance saja . kinerja atau prestasi kerja (performance)
diartikan sebagai ungkapan kemampuan yang didasari oleh
pengetahuan, sikap, keterampilan, dan motivasi dalam menghasilkan
sesuatu. Prestasi kerja (performance) diartikan sebagai suatu
pencapaian persyaratan pekerjaan tertentu yang akhirnya secara
langsung dapat tercermin dari output yang dihasilkan baik kulaitas
maupun mutunya.
Pengertian kinerja lainnya dikemukakan oleh Payaman Simanjuntak

(2005:1) yang mengemukakan bahwa :

Kinerja adalah tingkat pencapaian hasil atas pelaksanaan tugas


tertentu. Kinerja perusahaan adalah tingkat pencapaian hasil dalam
rangka mewujudkan tujuan perusahaan. Manajemen kinerja adalah
keseluruhan kegiatan yang dilakukan untuk meningkatkan kinerja
perusahaan atau organisasi, termasuk kinerja masing-masing
individu dan kelompok kerja di perusahaan tersebut.

Berdasarkan beberapa pendapat tentang kinerja di atas, dapat

disimpulkan bahwa pengertian kinerja atau prestasi kerja mengandung

substansi pencapaian hasil kerja oleh seseorang. Dengan demikian bahwa

kinerja maupun prestasi kerja merupakan cerminan hasi yang dicapai oelh

seseorang atau sekelompok orang. Kinerja perorangan (individual

paerformance) dengan kinerja lembaga (institutional performance) baik maka

kemungkinan besar kinerja lembaga pendidikan (corporate performance)

juga baik.

Dalam Kamus besar Bahasa Indonesia (Depdiknas RI,

2003:570;546) disebutkan bahwa kinerja mempunyai tiga arti yaitu: 1)

sesuatu yang dicapai, 2) prestasi yang diperlihatkan, 3) kemampuan kerja.

Sedangkan kepala sekolah adalah orang yang memimpin suatu sekolah.

Secara mendetail tantang makna kepala sekolah diperkuat leh ungkapan

Wahjosumidjo (2002:83) sebagai berikut:

Kata “kepala” dapat diartikan “ketua” atau “pemimpin” dalam suatu


organisasi atau sebuah lembaga. Sdeng “sekolah” adalah sebuah
lembaga dimana menjadi tempat menerima dan memberi pelajaran.
Dengan demikian secara sederhana kepala sekolah dapat
didefinisikan sebagai seorang tenaga fungsional guru yang diberi
tugas untuk memimpin suatu sekolah dimana diselenggarakan proses
belajar mengajar atau tempat dimana terjadi interaksi anatara guru
yang memberi pelajaran dan murid yang menerima pelajaran.

Jadi secara singkat kinerja kepala sekolah dapat diartikan sebagai

kemampuan atau prestasi kerja yang diperlihatkan oleh orang yang

memimpin suatu sekolah.

Kepala sekolah merupakan salahsatu komponen pendidikan yang

paling berperan dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Menurut Supriadi

(1998:346) yang dikutip oleh E. Mulyasa (2011:25) menyatakan bahwa: “erat

hubungannya antara mutu kepala sekolah seperti disiplin sekolah, iklim

budaya sekolah, dan menurunnya perilaku nakal peserta didik”. Dalam pada

itu, kepala sekolah bertangggungjawab atas manajemen sekolah secara makro

yang secara langsung berkaitan dengan proses pembelajaran.

2.1.2 Kriteria Kinerja Kepala Sekolah

Sebelum membahas criteria kinerja seorang kepala sekolah,

alangkah lebih baiknya diuraikan terlebih dahulu tentang criteria keberhasilan

kinerja sebuah system pendidikan nasional secara umum. Dalam penjelasan

Fasli Jalal dan Dedi Supriadi (2001:69-70), menjelaskan bahwa:

Terdapat lima criteria keberhasilan system pendidikan nasional,


antara lain :
Pertama, terjadinya peningkatan kesadaran, kemampuan, dan
kepedulian masyarakat akan pendidikan serta perbaikan kinerja
system pendidikan. Kedua, tercapainya peningkatan kapabilitas
pendidikan secara sistemik, mandiri, dan strategic. Ketiga,
terlaksananya otonomi pengelolaan pendidikan secara efektif,
bermutu tinggi, efisien, dan akuntabel dalam kerangka satu system
pendidikan nasional. Keempat, terselenggaranya program-program
pendidikan strategis. Kelima, terjaminnya akuntabilitas pendidikan.
Dalam kaitannya dengan kepala sekolah, Vastetter, seperti yang

dikutif E. Mulyasa (2000:125), mengemukakan bahwa :

Ada empat criteria kerja, yaitu karakteristik personil, proses, hasil,


dan kombinasi ketiganya. Dilihat dari karakteristik personil, kinerja
meliputi kemampuan, kterampilan, kepribadian, dan motivasi untuk
dapat melaksanakan tugas dengan baik. Dilihat dari proses, kinerja
yang efektif akan tercapai dengan standar kinerja yang telah
ditentukan. Dilihat dari segi hasil, dalam menilai kinerja personil
hendaknya dilihat dari hasil nyata yang dikerjakan oleh pegawai,
baik dalam kualitas maupun dalam kuantitas.

Sedangkan menurut Mitchel yang dikutif Rahman (1997:33),

menyatakan bahwa:

Ada beberapa criteria kepala sekolah yang terlihat dalam area


performance, yaitu: 1) kualitas kerja (quality of work), 2) ketetapan
(promptness), 3) inisiatif (inisiattive), 4) kemampuan (capability),
dan 5) komunikasi (communication). Sementara itu Steers dalam
Oedjoe (1986: 76) menggunakan tiga factor penting untuk menilai
kinerja, yaitu : 1) kemampuan dan minat, 2) kejelasan penerimaan
atas [eranan, 3) tingkat motovasi pegawai.

Dari beberapa criteria diatas, maka yang akan dibahas berikut ini

adalah beberpa kriteria yang mencakup : kualitas kerja, ketepatan, inisiatif,

kemampuan, dan komunikasi.

1) Kualitas kerja (Quality Of Work)

Kualitas artinya: (1) tingkat baik buruknya sesuatu, kadar; (2)

derajat atau taraf (kepandaian, kecakapan); (3) mutu. Sedangkan kerja artinya

kegiatan melakukan sesuatu, yang dilakukan (diperbuat) (depdiknas RI 2003:

603,554). Dengan demikian kualitas kerja dapat didefinisikan sebagi tingkat

baik buruknya/bermutu tidaknya setiap kegiatan yang dilakukan.

Setiap kegiatan yang dilakukan oleh kepala sekolah yang berkaitan

dengan upayanya meningkatkan kualitas sekolah hendaknya betul-betul

menunjukan kualitas yng baik, sehingga mutu sekolahpun akan terangkat.


Kerja kepala sekolah yang bermutu akan mempermudah dalam pencapaian

hasil pendidikan. Kualitas kerja dari kepala sekolah dapat dilihat dari tingkat

motivaasi, proses, dan hasil kerjanya. Jika motivasi, proses,dan hasil kerjanya

baik, maka dapat dikatakan kualitas kepala sekolah tersebut baik, begitu pula

sebaliknya. Dalam pandangan E. Mulyasa (2002: 127), menyatakan sebagai

berikut:

Kegiatan kerja yang dilakukan oleh kepala sekolah meliputi tujuh


hal, yakni: 1) senantiasa belajar dari pekerjaan sehari=hari terutama
dari cara kerja para guru dan pegawai sekolah lainnya; 2)
melakukan observasi kegiatan manajemen secara terencana; 3)
membaca berbagai hal yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan
yang sedang dilaksanakan; 4) memenfaatkan hasil-hasil penelitian
oranglain; 5) dapat di uji cobakan; 5) berpikir untuk msa yang akan
dating; 6) merumuskan ide-ide yang dapat di uji cobakan; dan 7)
menerapkan gaya kepemimpinan yang efektif sesuai dengan situasi
dan kebutuhan serta motivasi para guru dan pekerja lain.

2) Ketetapan (promptness)

Ketetapan artinya hal (keadaan, sifat) tepat, ketelitian, kejituan.

Tepat sendiri mengandung enam makna, yaitu: 1) betul atau lurus, benar; 2)

kena benar (pada sasaran, tujuan, maksud); 3) tidak ada selisih sedikitpun,

tidak kurang tidak lebih, persis; 4) betul atau cocok ( tentang dugaan,

ramalan); 5) jitu (tentang tindakan, aturan, kritik); dan 6) betul atau mengena

tentang perkataan, jawaban (Depdiknas, 2003: 1177-1178).

Bertitik tolak dari makna di atas, maka kepala sekolah dapat

dikatakan kinerjanya baik jika ia tepat dalam menempatkan posisinya, baik

sebagai pejabat formal, sebagai manajer, sebagai pemimpin, sebagai

pendidik, dan sebagai staf. Ia jitu dalam merencanakan setiap tindakan yang

dilakukannya. Ia teliti dalam setiap perkataan dan tindakan, serta sikap yang
dilakukannya. Ketika berada di dalam sekolah maupun di luar sekolah. Setiap

rencana, kata, ucap, tindakan, sikap, benar-benar sesuai dengan aturan dan

norma yang berlaku. Yang tidak kalah pentingnya, kepala sekolah tepat

dalam mengambil sebuah kesimpulan atau keputusan, sehingga dapat

memuaskan seluruh warga sekolah.

3) Inisiatif

Sebagai seorang inisiator, kepala sekolah mempunyai inisiatif

artinya prakarsa, ide-ide (Depdiknas RI, 2003:434). Kepala sekolah yang

brilian mempunyai prakarsa atau ide yang brilian pula dalam upaya

mengembangkan sekolahnya. Setiap permasalahan yang terjadi di sekolah,

baik menyangkut siswa, guru, maupun system pendidikan secara keseluruhan,

bagi kepela sekolah ia mempunyai gagasan dalam mencari alternative

pemecahannya. Kepala sekolah demikian merupakan kepala sekolah yang

aktif, tidak fasif terhadapa segala problematika sekolah. Prakarsa yang

dimunculkan tentunya sejalan dengan tingkat dan jenis permaslahan yang

dihadapi dan ditemukan.

Jika inisiatif dalam mengembangkan kondisi sekolah terus-menerus

dipupuk dan dibina, maka tidak menutup kemungkinan sekolah tersebut akan

maju dan berkembang, sebab seiring dengan perkembangan jaman diperlukan

ide-ide cemerlang dalam mengantisipasinya. Maka disinilah peran kepala

sekolah sebagai inisiator sangant penting dalam meningkatkan kualitas

pendidikan di sekolahnya, baik kualitas kerjanya, kualitas guru, siswa, sarana,

dan sebagainya.
Dalam rangka melakukan peran dan fungsinyasebagai innovator,

kepela sekolah harus memiliki strategi yang tepat untuk menjalin hubungan

yang harmonis dengan lingkungan, mencari gagasan-gagsan yang baru,

mengintegrasikan setiap kegiatan, memberikan keteladanan kepda seluruh

tenaga pendidik di sekolah, dan mengembangkam model-model pembelajaran

inovatif. Kepala sekolah sebagai innovator akan tercermin dari cara-cara ia

melakukan pekerjaannya secara kontruktif, kreatif, dinamis, integrative,

delegatif, rasional, dan objectif, pragmatis, keteladanan, disiplin, serta

adaptable dan fleksibel (E. Mulyasa. 2004: 118).

Biasanya kepala sekolah yang penuh dengan inisiatif akan

memunculkan sebuah sekolah yang inovatif dan prestasif. Tidak jarang

ditemukan sebuah fakta bahwa sebuah sekolah dapat dikatakan unggul atau

prestasif karena kepala sekolahnya banyak memunculkan prakarsa-prakarsa

yang cemerlang dan baik bagi pencapaian tujuan pendidikan di sekolahnya.

4) Kemampuan (Ability, capability)

Kata “kemampuan” mengandung arti kesangggupan, kecakapan,

dan kekuatan (Depdiknas RI, 2003: 707). Dalam bahasa Inggris, kata

tersebut diterjemahkan dengan ability, capability, atau competence.

Ability/capability sendiri diartikan sebagai tenaga (daya kekuatan) untuk

melakukan sesuatu perbuatan. Kemampuan bisa merupakan kesanggupan

bawaan sejak lahir atau merupakan hasil latihan atau praktek. Sedangkan

competence mengandung arti, yakni : 1) kelayakan kemampuan atau

pelatihan untuk melakukan suatu tugas, 2) dalam psikologi forensic

merupaka suatu keadaan mental yang memberikan kualifikasi seseorang


untuk berwenang dan bertanggung jawab atas tindakan atau perbuatannya

(J.P Chaplin, 1999: 199). Dengan demikian yang dimaksud dengan

kemempuan kepala sekolah adalah kesanggupan atau kecakapan yang

dimiliki oleh orang yang memimpin sebuah sekolah.

Menurut E. Mulyasa (2002:126), penilaian kinerja yag berkaitan

dengan kemampuan kepala sekolah dapat dilihat dari hal-hal berikut ini :

1) Mampu membina disiplin semua warga sekolah.


2) Mampu membangkitkan motivasi para pegawai/staf guru dan
siswa dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya.
3) Mampu memberikan penghargaan kepada warga sekolah yang
mendapatkan prestasi belajar atau prestasi kerja yang baik.
4) Mampu memberdayakan guru-guru untuk melaksanakan
proses pembelajaran dengan baik, lancer, and produkif.
5) Mampu menyelesaikan tugas dan pekerjaan sesuai dengan
waktu yang telah ditetapkan.
6) Mampu menjalin hubungan yang harmonis dengan masyarakat
sehingga dapat melibatkan mereka secara aktif dalam rangka
mewujudkan tujuan sekolah dan pendidikan.
7) Berhasil menerapkan prinsip kepemimpinan yang sesuai
dengan tingkat kedewasan guru dan pegawai lainnya diseklah.
8) Bekerja sama dengan tim manajemen, serta
9) Berhasil mewujudkan tujuan sekolah secara produktif sesuai
dengan ketentuan yang telah ditetapkan.

Sementara itu kemampuan kepala sekolah sebagai tolok ukur

keberhasilan kinerjanya, menurut Wahjosumidjo (2002: 118-119) dapat

dilihat dari hal-hal sebagai berikut:

1) Bertanggung jawab agar para guru, staf, dan siswa menyadari


akan tjuan sekolah yang telah ditetapkan dengan kesadarn
tersebut para guru, staf dan siswa dengan penuh semangat,
keyakinan melaksanakan tugas masing-masing dalam mencapai
tujuan sekolah.
2) Agar guru, staf dan siswa melaksanakan tugas-tugas dengan
penuh kesadaran, maka setiap kepala sekolah bertanggung
jawab untuk mnyediakan segala dukungan, peralatan, fasilitas,
berbagai peraturan dan suasana yang mendukung kegiatan.
3) Kepala sekolah mampu memahami motivasi setiap guru,
staf,dan siswa, mengapa bersikap dan berperilaku baik yang
bersifat positif maupun reaksi yang tidak mendukung.
4) Kepala sekolah selalu tampak sebagai sosok yang selalu
dihargai, terpercaya, diteladani, dituruti segala perintahnya,
sehingga kepala sekolah sebagai seorang pemimpin betul-betul
berfungsi sebagai sumber inspirasi bawahan.
5) Kepala sekolah selalu dapat menjaga dan memelihara
keseimbangan antara guru, staf, dan siswa di satu pihak dan
kepentingan sekolah serta kepentingan masyarakat di lain
pihak, sehingga tercpta suasana keseimbangan keserasian
antara kehidupan sekolah dengan masyarakat.
6) Tiap kepala sekolah menyadari bahwa esensi kepemimpinan
adalah kepengikutan, artinya kepemimpinan tidak akan terjadi
apabila tidak di dukung pengikut atau bawahan. Bawahan
dalam hal ini adalah guru,staf dan siswa.
7) Memberikan bimbingan, mengadakan koordinasi kegiatan,
mengadakan pengandalian/pengawasan dan mengadakan
pembinaan agar masing-masing anggota/bawahan memperoleh
tugas yang wajar dalam beban dan hasil usaha bersama.

Dari criteria kemampuan-kemampuan di atas, secara sederhana

dapat disimpulakan bahwa criteria kinerja kepala sekolah dari segi

kemampuan dapat dilihat dari tiga aspek kemampuan, yaitu aspek

kemempuan konseptual, kemampuan manusiawi, dan kemampuan tekhnik.

Pertama, kemampuan konseptual yaitu kemampuan untuk

memahami dan mengoperaasikan organisasi sekolah, meliputi:

1) Kemampuan seorang pemimpin melihat organisasi sebagai suatu

keseluruhan.

2) Mengetahui bagaimana fungsi organisasi yang bermacam-macam

saling bergantung satu sama lainnya dan bagaimana pertumbuhan yang

terjadi pada satu bagian tertentu akan berpengaruh terhadap bagian

yang lainnya.

3) Mengkoordinasikan dan meningkatkan seluruh aktivitas kepentingan

dan perspektif dair individu dan kelompok ke dalam satu organisasi

sebagai totalitas.
Kedua, kemampuan manusiawi yaitu kemampuan untuk bekerja

sama, memotivasi dan memimpin meliputi:

1) Mampu mempengaruhi oranglain

2) Mampu melihat dirinya sendiri dan sikapnya

3) Mampu menjadi komunikator dan pemimpin yang efektif

4) Mampu berhubungan dengan orang lain dan menciptakan lingkungan

yang terpercaya, keterbukaan dan rasa hormat bagi individu

5) Mampu menjadi komunikator dan pemimpin yang efektif.

Ketiga, kemampuan teknik adalah kemampuan dalam

menggunakan pengetahuan, metode, teknik, serta perlengkapan untuk

menyelesaikan tugas tertentu atau merupakan kecakapan khusus dalam

menganalisis hal-hal yang khusus dan penggunaan fasilitas, peralatan,

serta teknik-teknik pengetahuan yang spesifik.

5) Komunikasi (Communication)

Komunikasi artinya pengiriman dan penerimaan pesan atau berita

anatar dua orang atau lebih sehingga pesan yang dimaksud dapat

dipahami, hubungan, kontak (Depdiknas RI, 2003:585). Jadi komunikasi

intinya adalah adanya interaksi antara dua orang atau lebih dalam

mencapai suatu tujuan.

Deddy Mulyana (2007:14) mengemukakan pengertian komunikasi

sebagai berikut:

Komunikasi sekarang didefinisikan sebagai suatu proses


transaksional yang mempengaruhi perilaku sumber dan
penerimanya dengan sengaja menjadi (to code) perilaku mereka
untuk menghasilkan pesan yang mereka salurkan lewat suatu
saluran (channel) guna merangsang atau memperoleh sikap atau
perilaku tertentu.

Hakikat komunikasi adalah proses pernyataan antar manusia yang

dinyatakan itu adalah pikiran atau perasaan seseorang kepada oranglain

dengan menggunakan bahasa sebagai alat penyalurnya.

Komunikasi yang dijalankan oleh kepala sekolah meliputi

komunikasi intern dan ekstern. Komunikasi intern adalah komunikasi

yang dijalin dengan seluruh warga sekolah, seperti dengan guru, staf, dan

siswa. Menurut E. Mulyasa (2011:114), komunikasi intern yang

dibangun oleh kepala sekolah harus memperhatikan prinsip-prinsip

berikut:

1) Bersikap terbuka, tidak memaksakan kehendak, tetapi


bertindak sebagai fasilitator yang mendorong suasana
demokratis dan kekeluargaan.
2) Mendorong para guru untuk mau dan mampu mengemukakan
pendapatnya dalam memecahkan suatu masalah, serta harus
dapat mendorong aktivitas dan kreatifitas guru.
3) Mengembangkan kebiasaan untuk berdiskusi secara terbuka
dan mendidik guru-guru untuk mau mendengarkan pendapat
orang lain secara obyektif (hal demikian dapat dilakukan
dengan jalan menengahi pembicaraan dan menerjemahkan
pembicaraan orang lain untuk dapat dipahami).
4) Mendorong para guru dan pegawai lainnya untuk mengambil
keputusan yang paling baik dan mentaati keputusan itu.
5) Berlaku sebagai pengarah, pengatur pembicaraan, perantara,
dan pengambil kesimpulan secara redaksional.

Adapun komunikasi ekstern merupakan bentuk hubungan

sekolah dengan lingkungan eksternal di sekitarnya, untuk mendapatkan

masukan-masukan dari lingkungannya berkaitan dengan kegiatan-kegiatan

yang dilakukan disekolah. Komunikasi ekstern juga bisa dilakukan dalam

rangka memperkaya kegiatan belajar mengajar, misalnya dengan

menggunakan masyarakat atau orangtua siswa sebagai sumber.


Komunikasi ekstern meliputi hubunga sekolah dengan orangtua siswa dan

hubungan sekolah dengan masyarakat, baik secara individu maupun

lembaga.

Hubungan sekolah dengan orangtua siswa didasari oleh dua hal,

yaitu adanya kesamaan tanggung jawab dan adanya kesamaan tujuan.

Tujuan komunikasi antara sekolah dengan orangtua siswa adalah:

1) Saling membantu dan saling mengisi

2) Bantuan keuangan dan barang-barang

3) Untuk mencegah perbuatan-perbuatan yang kurang baik

4) Bersama-sama membuat rencana yang baik untuk sang anak.

Adapun cara menjalin komunikasi antara sekolah dengan orangtua

siswa adalah diantaranya melalui: 1) dewan sekolah; 2) pertemuan

penyerahan buku laporan pendidikan; 3) ceamah ilmiah, dan lainnya.

Tujuan komunikasi sekolah dengan masyarakat adalah; 1) memelihara

kelangsungan hidup sekolah; 2) meningkatkan mutu pendidikan di

sekolah; 3) memperlancar kegiatan belajar- mengajar; 4) memperoleh

bantuan dan dukungan dari masyarakat dalam rangka pengembangan

pelaksanaan proram-proram sekolah.

2.1.3 Kinerja Guru

2.1.3.1 Pengertian kinerja

Kinerja merupakan kegiatan yang dijalankan oleh tiap-tiap

individu dalam kaitannya untuk mencapai tujuan yang sudah direncanakan.

Berkaitan dengan hal tersebut terdapat beberapa definisi mengenai kinerja.


Smith dalam (Mulyasa, 2005: 136) menyatakan bahwa kinerja adalah

“…..output drive from processes, human or otherwise”. Kinerja merupakan

hasil atau keluaran dari suatu proses. Dikatakan lebih lanjut oleh Mulyasa

bahwa kinerja atau performance dapat diartikan sebagai prestasi kerja,

pelaksanaan kerja, pencapaian kerja, hasil-hasil kerja atau unjuk kerja.

Kinerja merupakan suatu konsep yang bersifat universal yang merupakan

efektifitas operasional suatu organisasi, bagian organisasi, dan karyawannya

berdasarkan standar dan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya. Karena

organisasi pada dasarnya dijalankan oleh manusia maka kinerja

sesungguhnya merupakan perilaku manusia dalam menjalankan perannya

dalam suatu organisasi untuk memenuhi standar perilaku yang telah

ditetapkan agar membuahkan tindakan serta hasil yang diinginkan. Menurut

Prawirasentono (1999: 2):

“Performance adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang


atau sekelompok orang dalam suatu organisasi, sesuai dengan
wewenang dan tanggung jawab masing-masing, dalam rangka
upaya mencapai tujuan organisasi yang bersangkutan secara legal,
tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral ataupun etika”.

Dessler (1997: 513) menyatakan pengertian kinerja hampir sama dengan

prestasi kerja ialah perbandingan antara hasil kerja actual dengan standar

kerja yang ditetapkan. Dalam hal ini kinerja lebih memfokuskan pada hasil

kerja. Dari beberapa pengertian tentang kinerja tersebut di atas dapat

disimpulkan bahwa kinerja adalah prestasi kerja yang telah dicapai oleh

seseorang. Kinerja atau prestasi kerja merupakan hasil akhir dari suatu

aktifitas yang telah dilakukan seseorang untuk meraih suatu tujuan.

Pencapaian hasil kerja ini juga sebagai bentuk perbandingan hasil kerja
seseorang dengan standar yang telah ditetapkan. Apabila hasil kerja yang

dilakukan oleh seseorang sesuai dengan standar kerja atau bahkan melebihi

standar maka dapat dikatakan kinerja itu mencapai prestasi yang baik.

Kinerja yang dimaksudkan diharapkan memiliki atau menghasilkan mutu

yang baik dan tetap melihat jumlah yang akan diraihnya. Suatu pekerjaan

harus dapat dilihat secara mutu terpenuhi maupun dari segi jumlah yang

akan diraih dapat sesuai dengan yang direncanakan.

2.1.3.2 Pengertian Kinerja Guru

Kinerja guru mempunyai spesifikasi tertentu. Kinerja guru dapat

dilihat dan diukur berdasarkan spesifikasi atau kriteria kompetensi yang

harus dimiliki oleh setiap guru. Berkaitan dengan kinerja guru, wujud

perilaku yang dimaksud adalah kegiatan guru dalam proses pembelajaran.

Berkenaan dengan standar kinerja guru Sahertian sebagaimana dikutip

Kusmianto (1997: 49) dalam buku panduan penilaian kinerja guru oleh

pengawas menjelaskan bahwa:

“Standar kinerja guru itu berhubungan dengan kualitas gurudalam


menjalankan tugasnya seperti: (1) bekerja dengan siswasecara
individual, (2) persiapan dan perencanaan pembelajaran,(3)
pendayagunaan media pembelajaran, (4) melibatkan siswa
dalam berbagai pengalaman belajar, dan (5) kepemimpinan yang
aktif dari guru”.

UU Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas

pasal 39 ayat (2), menyatakan bahwa pendidik merupakan tenaga

profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses

pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan


pelatihan serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat,

terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi. Keterangan lain menjelaskan

dalam UU No. 14 Tahun 2005 Bab IV Pasal 20 (a) tentang Guru dan Dosen

menyatakan bahwa standar prestasi kerja guru dalam melaksanakan tugas

keprofesionalannya, guru berkewajiban merencanakan pembelajaran,

melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu serta menilai dan

mengevaluasi hasil pembelajaran. Tugas pokok guru tersebut yang

diwujudkan dalam kegiatan belajar mengajar merupakan bentuk kinerja

guru. Pendapat lain diutarakan Soedijarto (1993) menyatakan ada empat

tugas gugusan kemampuan yang harus dikuasai oleh seorang guru.

Kemampuan yang harus dikuasai oleh seorang guru, yaitu: (1)

merencanakan program belajar mengajar; (2) melaksanakan dan memimpin

proses belajar mengajar; (3) menilai kemajuan proses belajar mengajar; (4)

membina hubungan dengan peserta didik. Sedangkan berdasarkan

Permendiknas No. 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses untuk Satuan

Pendidikan Menengah dijabarkan beban kerja guru mencakup kegiatan

pokok: (1) merencanakan pembelajaran; (2) melaksanakan pembelajaran;

(3) menilai hasil pembelajaran; (4) membimbing dan melatih peserta didik;

(5) melaksanakan tugas tambahan.

Kinerja guru dapat dilihat saat dia melaksanakan interaksi belajar

mengajar di kelas termasuk persiapannya baik dalam bentuk program

semester maupun persiapan mengajar. Berkenaan dengan kepentingan

penilaian terhadap kinerja guru. Georgia Departemen of Education telah

mengembangkan teacher performance assessment instrument yang


kemudian dimodifikasi oleh Depdiknas menjadi Alat Penilaian Kemampuan

Guru (APKG). Alat penilaian kemampuan guru, meliputi: (1) rencana

pembelajaran (teaching plans and materials) atau disebut dengan RPP

(Rencana PelaksanaanPembelajaran); (2) prosedur pembelajaran (classroom

procedure); dan (3) hubungan antar pribadi (interpersonal skill). Proses

belajar mengajar tidak sesederhana seperti yang terlihat pada saat guru

menyampaikan materi pelajaran di kelas, tetapi dalam melaksanakan

pembelajaran yang baik seorang guru harus mengadakan persiapan yang

baik agar pada saat melaksanakan pembelajaran dapat terarah sesuai tujuan

pembelajaran yang terdapat pada indikator keberhasilan pembelajaran.

Proses pembelajaran adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan

oleh seorang guru mulai dari persiapan pembelajaran, pelaksanaan

pembelajaran sampai pada tahap akhir pembelajaran yaitu pelaksanaan

evaluasi dan perbaikan untuk siswa yang belum berhasil pada saat dilakukan

evaluasi. Dari berbagai pengertian di atas maka dapat disimpulkan definisi

konsep kinerja guru merupakan hasil pekerjaan atau prestasi kerja yang

dilakukan oleh seorang guru berdasarkan kemampuan mengelola kegiatan

belajar mengajar, yang meliputi perencanaan pembelajaran, pelaksanaan

pembelajaran, evaluasi pembelajaran dan membina hubungan antar pribadi

(interpersonal) dengan siswanya.


2.1.3.3 Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja

Kinerja dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut Malthis

dan Jackson (2001: 82) dalam Wikipedia, ada beberapa faktor yang

mempengaruhi kinerja. “Faktor-faktor yang memengaruhi kinerja individu

tenaga kerja, yaitu: 1) Kemampuan mereka 2) Motivasi. 3) Dukungan yang

diterima. 4) Keberadaan pekerjaan yang mereka lakukan. 5) Hubungan

mereka dengan organisasi”.

Sedangkan menurut Menurut Gibson (1987) masih dalam

Wikipedia menjelaskan ada 3 faktor yang berpengaruh terhadap kinerja.

“Tiga faktor tersebut adalah: 1) Faktor individu (kemampuan, ketrampilan,

latar belakang keluarga, pengalaman kerja, tingkat sosial dan demografi

seseorang). 2) Faktor psikologis (persepsi, peran, sikap, kepribadian,

motivasi dan kepuasan kerja). 3) Faktor organisasi (struktur organisasi,

desain pekerjaan, kepemimpinan, sistem penghargaan atau reward system)”.

Penjelasan lain mengenai faktor yang berpengaruh terhadap kinerja

dijelaskan oleh Mulyasa. Menurut Mulyasa (2007: 227) sedikitnya terdapat

sepuluh faktor yang dapat meningkatkan kinerja guru, baik faktor internal

maupun eksternal: “Kesepuluh faktor tersebut adalah: (1) dorongan untuk

bekerja, (2) tanggung jawab terhadap tugas, (3) minat terhadap tugas, (4)

penghargaan terhadap tugas, (5) peluang untuk berkembang, (6) perhatian

dari kepala sekolah, (7) hubungan interpersonal dengan sesama guru, (8)

MGMP dan KKG, (9) kelompok diskusi terbimbing serta (10) layanan

perpustakaan”.
Selanjutnya pendapat lain juga dikemukakan oleh Surya (2004: 10)

tentang faktor yang mempengaruhi kinerja guru. “Faktor mendasar yang

terkait erat dengan kinerja profesional guru adalah kepuasan kerja yang

berkaitan erat dengan kesejahteraan guru. Kepuasan ini dilaterbelakangi

oleh faktorfaktor: (1) imbalan jasa, (2) rasa aman, (3) hubungan antar

pribadi, (4) kondisi lingkungan kerja, (5) kesempatan untuk pengembangan

dan peningkatan diri”.

Berdasarkan penjelasan yang dikemukakan diatas, faktor-faktor

yang menentukan tingkat kinerja guru dapat disimpulkan antara lain: (1)

tingkat kesejahteraan (reward system); (2) lingkungan atau iklim kerja guru;

(3) desain karir dan jabatan guru; (4) kesempatan untuk berkembang dan

meningkatkan diri; (5) motivasi atau semangat kerja; (6) pengetahuan; (7)

keterampilan dan; (8) karakter pribadi guru.

2.1.3.4 Penilaian kinerja guru

Penilaian kinerja pada dasarnya merupakan faktor kunci guna

mengembangkan suatu organisasi secara efektif dan efisien, karena adanya

kebijakan atau program yang lebih baik atas sumber daya manusia yang ada

dalam organisasi. Terdapat berbagai model instrumen yang dapat dipakai

dalam penilaian kinerja guru. Namun demikian, ada dua model yang paling

sesuai dan dapat digunakan sebagai instrumen utama, yaitu skala penilaian

dan lembar observasi atau penilaian. Skala penilaian mengukur penampilan

atau perilaku orang lain melalui pernyataan perilaku dalam suatu kontinum

atau kategori yang memiliki makna atau nilai. Observasi merupakan cara
mengumpulkan data yang biasa digunakan untuk mengukur tingkah laku

individu ataupun proses terjadinya suatu kegiatan yang dapat diamati baik

dalam situasi yang alami sebenarnya maupun situasi buatan. Tingkah laku

guru dalam mengajar, merupakan hal yang paling cocok dinilai dengan

observasi.

Menilai kinerja guru adalah suatu proses menentukan tingkat

keberhasilan guru dalam melaksanakan tugas-tugas pokok mengajar dengan

menggunakan patokan-patokan tertentu. Bagi para guru, penilaian kinerja

berperan sebagai umpan balik tentang berbagai hal seperti kemampuan,

kelebihan, kekurangan dan potensinya. Bagi sekolah hasil penilaian para

guru sangat penting arti dan perannya dalam pengambilan keputusan.

2.1.3.5 Manfaat Penilaian Kinerja Guru

Penilaian kinerja guru memiliki manfaat bagi sebuah sekolah

karena dengan penilaian ini akan memberikan tingkat pencapaian dari

standar, ukuran atau kriteria yang telah ditetapkan sekolah. Sehingga

kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam seorang guru dapat diatasi serta

akan memberikan umpan balik kepada guru tersebut.

Menurut Mangkupawira (2001: 224), manfaat dari penilaian

kinerja karyawan adalah: (1) perbaikan kinerja; (2) penyesuaian

kompensasi; (3) keputusan penetapan; (4) kebutuhan pelatihan dan

pengembangan; (5) perencanaan dan pengembangan karir; (6) efisiensi

proses penempatan staf; (7) ketidakakuratan informasi; (8) kesalahan


rancangan pekerjaan; (9) kesempatan kerja yang sama; (10) tantangan-

tantangan eksternal; (11) umpan balik pada SDM.

Sedangkan Mulyasa (2007: 157) menjelaskan tentang manfaat

penilaian tenaga pendidikan:

“Penilaian tenaga pendidikan biasanya difokuskan pada prestasi


individu, dan peran sertanya dalam kegiatan sekolah. Penilaian ini
tidak hanya penting bagi sekolah, tetapi juga penting bagi tenaga
kependidikan yang bersangkutan. Bagi para tenaga kependidikan,
penilaian berguna sebagai umpan balik terhadap berbagai hal,
kemampuan, ketelitian, kekurangan dan potensi yang pada
gilirannya bermanfaat untuk menentukan tujuan, jalur, rencana, dan
pengembangan karir. Bagi sekolah, hasil penilaian prestasi tenaga
kependidikan sangat penting dalam mengambil keputusan berbagai
hal, seperti identifikasi kebutuhan program sekolah, penerimaan,
pemilihan, pengenalan, penempatan, promosi, sistem imbalan dan
aspek lain dari keseluruhan proses pengembangan sumber daya
manusia secara keseluruhan”.

Berdasarkan uraian di atas dapat dilihat bahwa penilaian kinerja

penting dilakukan oleh suatu sekolah untuk perbaikan kinerja guru itu

sendiri maupun untuk sekolah dalam hal menyusun kembali rencana atau

strategi baru untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.

Penilaian yang dilakukan dapat menjadi masukan bagi guru dalam

memperbaiki dan meningkatkan kinerjanya. Selain itu penilaian kinerja guru

membantu guru dalam mengenal tugas-tugasnya secara lebih baik sehingga

guru dapat menjalankan pembelajaran seefektif mungkin untuk kemajuan

peserta didik dan kemajuan guru sendiri menuju guru yang profesional.

Penilaian kinerja guru tidak dimaksudkan untuk mengkritik dan

mencari kesalahan, melainkan sebagai dorongan bagi guru dalam pengertian

konstruktif guna mengembangkan diri menjadi lebih profesional dan pada

akhirnya nanti akan meningkatkan kualitas pendidikan peserta didik. Hal ini
menuntut perubahan pola pikir serta perilaku dan kesediaan guru untuk

merefleksikan diri secara berkelanjutan.

2.1.4 Manajemen Berbasis Sekolah

2.1.4.1 Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah

Manajemen berbasis sekolah merupakan strategi untuk

mewujudkan sekolah yang efektif dan produktif. Manajemen berbasis sekolah

merupakan paradigma baru manajemen pendidikan, yang memberikan

otonomi luas pada sekolah, dan pelibatan masyarakat dalam kerangka

kebijakan pendidikan nasional. Otonomi diberikan agar sekolah leluasa

mengelola sumber daya, sumber dana, sumber belajar dan

mengalokasikannya sesuai prioritas kebutuhan, serta lebih tanggap terhadap

kebutuhan setempat (Mulyasa, 2007: 33).

Manajemen berbasis sekolah adalah suatu ide tentang pengambilan

keputusan pendidikan yang diletakkan pada posisi yang paling dekat dengan

pembelajaran, yakni sekolah. Pemberdayaan sekolah dengan memberikan

otonomi yang lebih besar, di samping menunjukkan sikap tanggap pemerintah

terhadap tuntutan masyarakat juga merupakan sarana peningkatan efisiensi,

mutu, dan pemerataan pendidikan. Penekanan aspek-aspek tersebut sifatnya

situasional dan kondisional sesuai dengan masalah yang dihadapi dan politik

yang dianut pemerintah.

Manajemen berbasis sekolah merupakan salah satu wujud

reformasi pendidikan yang memberikan otonomi kepada sekolah untuk

mengatur kehidupan sesuai dengan potensi, tuntutan, dan kebutuhannya.

Otonomi dalam manajemen merupakan potensi bagi sekolah untuk


meningkatkan kinerja para tenaga kependidikan, menawarkan partisipasi

langsung kelompok-kelompok terkait dan meningkatkan pemahaman

masyarakat terhadap pendidikan.

Menurut Made Pidarta (2004: 3), manajemen merupakan proses

mengintegrasikan sumber-sumber yang tidak berhubungan menjadi system

total untuk menyelesaikan suatu tujuan. Yang dimaksud sumber di sini ialah

mencakup orang-orang, alat-alat, media, bahan-bahan, uang, dan sarana.

Semuanya diarahkan dan dikoordinasi agar terpusat dalam rangka

menyelesaikan tujuan.

Menurut Mulyasa (2007: 35) karakteristik manajemen berbasis

sekolah antara lain:

1) Pemberian Otonomi Luas Kepada Sekolah

Manajemen berbasis sekolah memberikan otonomi luas kepada

sekolah, disertai seperangkat tanggung jawab. Dengan adanya otonomi

yang memberikan tanggung jawab pengelolaan sumber daya dan

pengembangan strategi sesuai dengan kondisi setempat, sekolah dapat

lebih memberdayakan tenaga kependidikan guru agar lebih

berkonsentrasi pada tugas utamanya mengajar. Sekolah sebagai lembaga

pendidikan diberi kewenangan dan kekuasaan yang luas untuk

mengembangkan program-program kurikulum dan pembelajaran sesuai

dengan kondisi dan kebutuhan peserta didik sesuai tuntutan masyarakat.

2) Partisipasi Masyarakat dan Orang Tua

Dalam manajemen berbasis sekolah, pelaksanaan program-program

sekolah didukung oleh partisipasi masyarakat dan orang tua peserta didik
yang tinggi. Orang tua peserta didik dan masyarakat tidak hanya

mendukung sekolah melalui bantuan keuangan, tetapi melalui komite

sekolah dan dewan pendidikan merumuskan serta mengembangkan

program-program yang dapat meningkatkan kualitas sekolah. Masyarakat

dan orang tua menjalin kerja sama untuk membantu sekolah sebagai nara

sumber berbagai kegiatan sekolah untuk meningkatkan kualitas

pembelajaran.

3) Kepemimpinan Yang Demokratis dan Profesional

Dalam manajemen berbasis sekolah, pelaksanaan program-

program sekolah didukung oleh adanya kepemimpinan sekolah yang

demokratis dan profesional. Kepala sekolah dan guru-guru sebagai

tenaga pelaksana inti program sekolah merupakan orang-orang yang

memiliki kemampuan dan integritas profesional. Kepala sekolah adalah

manajer pendidikan profesional yang direkrut komite sekolah untuk

mengelola segala kegiatan sekolah berdasarkan kebijakan yang

ditetapkan.

4) Team Work Yang Kompak dan Transparan

Dalam manajemen berbasis sekolah, keberhasilan program-

program sekolah didukung oleh kinerja team work yang kompak dan

transparan dari berbagai pihak yang terlibat dalam pendidikan di sekolah

Keberhasilan manajemen berbasis sekolah merupakan hasil sinergi dari

kolaborasi tim yang kompak dan transparan. Menurut Mulyasa (2003:

24) manajemen berbasis sekolah merupakan paradigma baru pendidikan,

yang memberikan otonomi luas pada tingkat sekolah (pelibatan


masyarakat) dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional. Otonomi

diberikan agar sekolah leluasa mengelola sumber daya dan sumber dana

dengan mengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan, serta

lebih tanggap terhadap kebutuhan setempat. Pelibatan masyarakat

dimaksudkan agar mereka lebih memahami, membantu dan mengontrol

pengelolaan pendidikan. Manajemen berbasis sekolah merupakan salah

satu wujud dari reformasi pendidikan yang menawarkan kepada sekolah

untuk menyediakan pendidikan yang lebih baik dan memadai bagi para

peserta didik. Otonomi dalam manajemen merupakan potensi bagi

sekolah untuk meningkatkan kinerja para staf, menawarkan partisipasi

langsung kelompok-kelompok yang terkait, dan meningkatkan

pemahaman masyarakat terhadap pendidikan. Sejalan dengan jiwa dan

semangat desentralisasi serta otonomi dalam bidang pendidikan,

kewenangan sekolah juga berperan dalam menampung konsensus umum

yang menyakini bahwa sedapat mungkin keputusan seharusnya dibuat

oleh mereka yang memiliki akses paling baik terhadap informasi

setempat, yang bertanggungjawab terhadap pelaksanaan kebijakan dan

yang terkena akibat-akibat dari kebijakan tersebut.

Menurut Mulyasa (2003: 25) manajemen berbasis sekolah

merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mencapai keunggulan

masyarakat bangsa dalam penguasaan ilmu dan teknologi, yang

dinyatakan dalam GBHN. Hal tersebut diharapkan dapat dijadikan

landasan dalam pengembangan pendidikan di Indonesia yang berkualitas

dan berkelanjutan, baik secara makro, meso, maupun mikro. Manajemen


berbasis sekolah yang ditandai dengan otonomi sekolah dan pelibatan

masyarakat merupakan respons pemerintah terhadap gejala-gejala yang

muncul di masyarakat, bertujuan untuk meningkatkan efisiensi, mutu,

dan pemerataan pendidikan. Peningkatan efisiensi, antara lain, diperoleh

melalui keleluasaan mengelola sumberdaya partisipasi masyarakat dan

penyederhanaan birokrasi. Sementara peningkatan mutu dapat diperoleh,

antara lain, melalui partisipasi orang tua terhadap sekolah, fleksibilitas

pengelolaan sekolah dan kelas, peningkatan profesionalisme guru dan

kepala sekolah, berlakunya sistem insentif serta disinsentif.

Manajemen sekolah pada hakekatnya mempunyai pengertian yang

hampir sama dengan manajemen pendidikan. Ruang lingkup di bidang

kajian menajemen sekolah juga merupakan ruang lingkup dan bidang

kajian menajamen pendidikan. Komponen-komponen yang harus

dikelola dengan baik dalam rangka MBS, menurut Mulyasa (2003: 42),

adalah sebagai berikut:

(1) Manajemen Kurikulum dan Program Pengajaran

Kurikulum dan programpengajaran merupakan bagian dari MBS.

Manajemen kurikulum dan program pengajaran mencakup kegiatan

perencanaan, pelaksanaan, dan penlilaian kurikulum. Perencanaan dan

pengembangan kurikulum nasional pada umumnya telah dilakukan oleh

Departemen Pendidikan Nasional pada tingkat pusat. Karena itu level

sekolah yang paling penting adalah bagaimana merealisasikan dan

menyesuaikan kurikulum tersebut dengan kegiatan pembelajaran.

(2) Manajemen Tenaga Kependidikan


Manajemen tenaga kependidikan atau manajemen personalia

pendidikan bertujuan untuk mendayagunakan tenaga kependidikan secara

efektif dan efisien untuk mencapai hasil yang optimal, namun tetap

dalam kondisi yang menyenangkan. Sehubungan dengan itu, fungsi

personalia yang harus dilaksanakan pimpinan, adalah menarik,

mengembangkan, menggaji, dan memotivasi personil guna mencapai

tujuan sistem, membantu anggota mencapai posisi dan standar perilaku,

memaksimalkan perkembangan karier tenaga kependidikan, serta

menyelaraskan tujuan individu dan organisasi

(3) Manajemen Kesiswaan

Mulyasa (2003: 45) manajemen kesiswaan atau manejemen

kemuridan (peserta didik) merupakan salah satu bidang operasional

MBS. Manajemen kesiswaan adalah penataan dan pengaturan terhadap

kegiatan yang berkaitan dengan peserta didik, mulai masuk sampai

dengan keluarnya peserta didik tersebut dari suatu sekolah. Manajemen

kesiswaan bukan hanya berbentuk pencatatan data peserta didik,

melainkan meliputi aspek yang lebih luas yang secara operasional dapat

membantu upaya pertumbuhan dan perkembangan peserta didik melalui

proses pendidikan di sekolah. Manajemen kesiswaan bertujuan untuk

mengatur berbagai kegiatan dalam bidang kesiswaan agar kegiatan

pembelajaran di sekolah dapat berjalan lancar, tertib dan teratur, serta

mencapai tujuan pendidikan sekolah. Untuk mewujudkan tujuan tersebut

bidang manajemen kesiswaan sedikitnya memiliki tiga tugas utama yang


harus diperhatikan, yaitu penerimaan murid baru, kegiatan kemajuan

belajar, serta bimbingan dan pembinaan disiplin.

(4) Manajemen Sarana dan Prasana Pendidikan

Mulyasa (2003: 49) sarana pendidikan adalah peralatan dan

perlengkapan yang secara langsung dipergunakan dan menunjang proses

pendidikan, khususnya proses belajar mengajar, seperti gedung, ruang

kelas, meja kursi, serta alat-alat dan media pengajaran. Adapun yang

dimaksud dengan prasarana pendidikan adalah fasilitas yang secara tidak

langsung menunjang jalannya proses pendidikan atau pengajaran, seperti

halaman, kebun, taman sekolah, jalan menuju sekolah, tetapi jika

dimanfaatkan secara langsung untuk proses belajar mengajar, seperti

taman sekolah untuk pengajaran biologi, halaman sekolah sebagai

sekaligus lapangan olah raga, komponen tersebut merupakan sarana

pendidikan.

Manajemen sarana dan prasarana pendidikan bertugas mengatur

dan menjaga sarana dan prasarana pendidikan agar dapat memberikan

kontribusi secara optimal dan berarti pada jalannya proses pendidikan.

Kegiatan pengelolaan ini meliputi kegiatan perencanaan, pengadaan,

pengawasan, penyimpanan inventarisasi dan penghapusan serta penataan.

2.1.4.2 Tujuan Manajemen Berbasis Sekolah

Tujuan dari pelaksanaan manajemen berbasis sekolah

diantaranya adalah untuk mewujudkan tatakerja yang lebih baik minimal

dalam empat hal, yakni: meningkatnya efisiensi penggunaan sumber


daya dan penugasan staf; meningkatnya profesionalisme guru dan tenaga

kependidikan disekolah; munculnya gagasan-gagasan baru dalam

implementasi kurikulum, penggunaan teknologi pembelajaran, dan

pemanfaatan sumber-sumber belajar; dan meningkatnya otonomi sekolah

ditandai dengan tingginya partisipasi masyarakat dan stakeholders.

Dimana setiap komponen sekolah dapat berperan dalam meningkatkan

kualitas sekolah, terciptanya efisiensi dan efektifitas manajemen sekolah

yang mendorong pemberdayaan sekolah. Sebagaimana dikemukakan

oleh Syaiful Sagala (2011:85), bahwa :

Pada intinya tujuan implementasi MBS ini mendorong sekolah


melakukan perubahan kearah yang lebih bermutu dan kompetetif. Untuk
ini perlu pembenahan dukungan sumberdaya manusia seperti kepala
sekolah, dewan pendidik, konselor, dan tenaga kependidikan lainnya
disekolah. Seiring dengan pembenahan sumberdaya manusia juga
dibenahi sarana dan fasilitas yang mendukung penguatan terhadap
layanan belajar.

Dengan menyimak pendapat diatas, tujuan dari MBS dijelaskan

masih secara normative. Sedangkan uraian dari tujuan MBS secara rinci

dijelaskan oleh Permadi dan Daeng (2007;27) sebagai berikut:

Implementasi manajemen berbasis sekolah memiliki tujuan sebagai


berikut:
1. Meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inidiatif
sekolah dalam mengelola dan memberdayakan sumber daya yang
tersedia;
2. Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam
penyeenggaraan pendidikan melalui pengmbilan keputusan bersama;
3. Meningkatkan tanggungjawab sekolah kepada orangtua, sekolah, dan
pemerintah tentang mutu sekolah;
4. Meningkatkan kompetensi yang sehat antar sekolah untuk pencapaian
mutu pendidikan yang diharapkan.
Berdasarkan kutipan diatas, cukup jelas bahwa tujuan dari

implementasi manajemen berbasis sekolah pada dasarnya untuk

meningkatkan kualitas pendidikan dengan meberdayakan segala sumber

daya yang dimiliki sekolah mulai dari kepala sekolah, guru, masyarakat,

dan orangtua sehingga proses dan hasil pendidikan dapat

dipertangggungjawabkan dan dapat mencapai tujan yang telah

ditetapkan.

2.1.4.3 Prinsip Dan Esensi Manajemen Berbasis Sekolah

Pada prinsipnya manajemen berbasis sekolah adalah reformasi

manajemen seklah terhadap kewajiban, wewenang, profesionalisme, dan

tanggungjawab juga transparansi untuk meninkatkan kinerja seklah dan

yang berkepentingan antara lain yaitu siswa, orangtua siswa, guru,

masyarakat, lapangan kerja, dan sebagainya yang dpat mengenal perubahan

dan memiliki kekuasaan mengoptimalkan sumber daya.

Manajemen berbasis sekolah memiliki potensi menciptakan

pengelola sekolahsecara profesional yang didukung oleh faktor informasi,

pengetahuan, keterampilan, dan intensif yang berorientasi pada mutu,

efektifitas, efisiensi, dan kemandirian mengacu pada visi dan misi

pendidikan.

Manajemena berbasis sekolah mempunyai esensi memiliki

kewenangan (otonomi) yang lebih besar da;am mengelola seklah tetapi

bukan egois sehingga lebih mandiri, inovatif, dan kreatif. Dengan


kemandirian itu seklah lebih berdaya dalam mengembangkan program-

program yang lebih sesuai dengan kebutuhan dan potensi sekolah. Dengan

demikian lebih tegas lagi bahwa esensi manajemen berbasis sekolah adalah

otonomi sekolah dan pengambilan keputusan partisipatif untuk mencapai

sasaran mutu sekolah yang ditargetkan.

Anda mungkin juga menyukai