Anda di halaman 1dari 3

BAB VI

SYAIKH ABDUL RAUF AS-SINGKILI DAN SYAIKH


MUHAMMAD ARSYAD AL-BANJARI
Syaikh Abdur Rauf as-Singkili (Singkil, 1035 H/1615 M – Banda
Aceh, 1105 H/1693 M) Seorang ulama besar dan tokoh tasawuf dari Aceh
yang pertama kali membawa dan mengembangkan Tarekat Syattariah di
Indonesia. Abdur Rauf berangkat ke tanah Arab dengan tujuan
mempelajari agama pada tahun 1604 H/1643 M. Ia menimba ilmu pada
pusat pendidikan dan pengajaran agama di sepanjang jalur perjalanan haji
antara Yaman dan Mekah. Abdur Rauf memiliki sekitar 21 karya tertulis,
yang terdiri dari 1 kitab tafsir, 2 kitab hadis, 3 kitab fikih, dan sisanya
kitab tasawuf.
Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari lahir di desa Lok Gabang
pada hari kamis dinihari 15 Safar 1122 H, bertepatan 19 Maret 1710 M.
Sejak kecil ia mempunyai bakat di bidang seni lukis dan kaligrafi (Khat).
Ketika berumur 7 tahun, Ia dijadikan anak angkat oleh Sultan
Tahmidullah Penguasa Kerajaan Banjar saat itu..
Setelah 35 tahun lamanya menimba ilmu di Makkah, Ia pulang ke
kampung halamannya. Sultan Tamjidillah sebagai Raja Banjar
menyambut kedatangan beliau dengan upacara adat kebesaran.
rakyat Banjar memberinya julukan “Matahari Agama”.
Setiap masa ada Tokohnya dan setiap Tokoh ada masanya. Kata mutiara
ini sebagai inspirasi bagi kita untuk senantiasa bercermin kepada tokoh-
tokoh terdahulu dan senantiasa giat belajar untuk menyongsong masa
depan serta menjadi manusia yang selalu memberi manfaat bagi orang
lain.
1. Syaikh Abdur Rauf as-Singkili

Nama aslinya adalah Abdur Rauf al-Fansuri yang lahir di kota Singkil. Beliau
adalah orang pertama kali yang mengembangkan Tarekat Syattariyah di
Indonesia.
Sekitar tahun 1640, beliau berangkat ke tanah Arab untuk mempelajari ilmu-ilmu
keislaman. Abdur Rauf as-Singkili pernah bermukim di Makkah dan Madinah. Ia
mempelajari Tarekat Syattariyah dari gurunya yang bernama Ahmad Qusasi dan
Ibrahim al-Qur’ani. Kemudian, Abdur Rauf as-Singkili pernah menjadi Mufti
Kerajaan Aceh ketika diperintah oleh Sultanah Safiatuddin Tajul Alam.
Abdur Rauf as-Singkili memiliki sekitar 21 karya dalam bentuk kitab-kitab tafsir,
hadits, fiqh, dan tasawuf. Beberpa karyanya antara lain sebagai berikut.
a. Kitab Tafsir yang berjudul Turjuman al Mustafid (Terjemah Pemberi Faedah),
yakni merupakan kitab tafsir pertama yang dihasilkan di Indonesia.
b. Umdat al Muhtajin, yaitu karya terpenting yang ditulis oleh Abdur Rauf
Singkili. Buku ini terdiri dari 7 bab yang memuat tentang dzikir, sifat Allah dan
Rasul-Nya, serta asal-usul ajaran mistik. Pada pembahasan di bab terakhir,
beliau menceritakan tentang riwayat hidupnya dan gurunya.
c. Mir’at at-Tullab fi Tahsil Ma’rifah Ahkam asy-Syar’iyah li al-Malik al-
Wahab (Cermin bagi Penuntut Ilmu Fikih untuk Memudahkan Mengenal
Segala Hukum Syariat). Kitab ini memuat berbagai masalah Madzhab Syafi’i
yang merupakan panduan bagi para qadhi.
Abdur Rauf as-Singkili meninggal di Aceh. Beliau dikenal dengan sebutan Teungku
Syiah Kuala. Sebagai penghargaan masyarakat Aceh kepada perjuangan beliau, maka
namanya dijadikan sebagai nama perguruan tinggi di Aceh, yaitu Universitas Syiah
Kuala. Kampus ini didirikan pada tahun 1961 di Banda Aceh

1. Syaikh Muhammad Arsyad al Banjari


Muhammad Arsyad al-Banjari lahir di Lok Gabang, Martapura, Kalimantan
Selatan pada tahun 1710. Beliau lahir dari pasangan Abdullah dan Siti Aminah.
Setelah wafat, beliau dikenal dengan sebutan Datuk Kalampayan karena
dimakamkan di Desa Kalampayan.
Ketika masih kanak-anak, beliau diadopsi oleh Sultan Tahlilullah untuk dididik
secara tuntas. Bahkan, beliau dikirim ke Makkah dan Madinah untuk belajar di
sana selama lebih kurang 30 tahun.
Sebelum berangkat ke tanah suci, beliau dinikahkan dengan seorang putri yang
bernama Bajut sebagai sarana untuk mengikat perasaan dengan keluarga di
tanah air. Di antara gurunya yang sangat berpengaruh adalah Syekh ‘Athaillah
yang pernah memberikan izin kepada Muhammad Arsyad al-Banjari untuk
mengajar dan memberi fatwa di Masjidil Haram. Selama belajar di tanah Suci
ia berteman dengan para ulama, di antaranya sebagai berikut.
a. Syaikh Abdus Samad al-Palimbani.
b. Abdul Wahab Bugis dari Makassar yang kemudian menjadi menantunya
(dinikahkan dengan Syarifah binti Muhammad Arsyad al-Banjari).
c. Syaikh Abdurrahman Masri dari Jakarta.
Langkah pertama yang dilakukan Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari
sekembalinya dari belajar di tanah suci adalah membina kader-kader ulama.
Ia meminta kepada Sultan Tamjidillah sebidang tanah untuk dijadikan
sebagai pusat pendidikan. Di tempat itu, dibangun rumah tinggal, ruang
belajar, perpustakaan, serta asrama bagi para santri.
Berkat perjuangan keras beliau dengan dibantu menantunya akhirnya pusat
pendidikan tersebut ramai dikunjungi para santri dari berbagai daerah.
Tempat tersebut hingga saat ini dikenal dengan nama “Kampung dalam
Pagar”. Sebab, para santri yang belajar dilarang meninggalkan tempat
tersebut tanpa izin. Muhammad Arsyad al-Banjari juga aktif menulis buku.
Di antara karyanya yang terbesar adalah kitab yang berjudul Sabilul
Muhtadin (Jalan Orang yang Mendapat Petunjuk). Karena keilmuan beliau
yang luar biasa, Muhammad Arsyad al-Banjari mendapat julukan “Matahari
Agama” dari Banjar

Anda mungkin juga menyukai