Anda di halaman 1dari 8

FILSAFAT

Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.

Langsung ke: navigasi, cari

Kata falsafah atau filsafat dalam bahasa Indonesia merupakan kata serapan dari bahasa Arab

‫فلسة‬, yang juga diambil dari bahasa Yunani; Φιλοσοφία philosophia. Dalam bahasa ini,
kata ini merupakan kata majemuk dan berasal dari kata-kata (philia = persahabatan, cinta
dsb.) dan (sophia = "kebijaksanaan"). Sehingga arti harafiahnya adalah seorang “pencinta
kebijaksanaan” atau “ilmu”. Kata filosofi yang dipungut dari bahasa Belanda juga dikenal di
Indonesia. Bentuk terakhir ini lebih mirip dengan aslinya. Dalam bahasa Indonesia seseorang
yang mendalami bidang falsafah disebut "filsuf".

Definisi kata filsafat bisa dikatakan merupakan sebuah problema falsafi pula. Tetapi paling
tidak bisa dikatakan bahwa “falsafah” itu kira-kira merupakan studi daripada arti dan
berlakunya kepercayaan manusia pada sisi yang paling dasar dan universal. Studi ini didalami
tidak dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan
mengutarakan problem secara persis, mencari solusi untuk ini, memberikan argumentasi dan
alasan yang tepat untuk solusi tertentu dan akhirnya dari proses-proses sebelumnya ini
dimasukkan ke dalam sebuah dialektik. Dialektik ini secara singkat bisa dikatakan merupakan
sebuah bentuk daripada dialog.

Logika merupakan sebuah ilmu yang sama-sama dipelajari dalam matematika dan filsafat.
Hal ini membuat filasafat sebuah ilmu yang pada sisi-sisi tertentu bisa dikatakan banyak
menunjukkan segi eksakta, tidak seperti yang diduga banyak orang.

Klasifikasi filsafat
Di seluruh dunia, banyak orang yang menanyakan pertanyaan yang sama dan membangun
tradisi filsafat, menanggapi dan meneruskan banyak karya-karya sesama mereka. Oleh karena
itu filsafat biasa diklasifikasikan menurut daerah geografis dan budaya. Pada dewasa ini
filsafat biasa dibagi menjadi: “Filsafat Barat”, “Filsafat Timur”, dan “Filsafat Timur Tengah”.

Filsafat Barat

‘‘‘Filsafat Barat’’’ adalah ilmu yang biasa dipelajari secara akademis di universitas-
universitas di Eropa dan daerah-daerah jajahan mereka. Filsafat ini berkembang dari tradisi
falsafi orang Yunani kuno.

Plato, Aristoteles, Thomas Aquinas, Réne Descartes, Immanuel Kant, Georg Hegel, Arthur
Schopenhauer, Karl Heinrich Marx, Friedrich Nietzsche, dan Jean-Paul Sartre.

Filsafat Timur
‘‘‘Filsafat Timur’’’ adalah tradisi falsafi yang terutama berkembang di Asia, khususnya di
India, Tiongkok dan daerah-daerah lain yang pernah dipengaruhi budayanya. Sebuah ciri khas
Filsafat Timur ialah dekatnya hubungan filsafat dengan agama. Meskipun hal ini kurang lebih
juga bisa dikatakan untuk Filsafat Barat, terutama di Abad Pertengahan, tetapi di Dunia Barat
filsafat ’an sich’ masih lebih menonjol daripada agama. Nama-nama beberapa filsuf:
Siddharta Gautama/Buddha, Bodhidharma, Lao Tse, Kong Hu Cu, Zhuang Zi dan juga Mao
Zedong.

Filsafat Timur Tengah

‘‘‘Filsafat Timur Tengah’’’ ini sebenarnya mengambil tempat yang istimewa. Sebab dilihat
dari sejarah, para filsuf dari tradisi ini sebenarnya bisa dikatakan juga merupakan ahli waris
tradisi Filsafat Barat. Sebab para filsuf Timur Tengah yang pertama-tama adalah orang-orang
Arab atau orang-orang Islam (dan juga beberapa orang Yahudi!), yang menaklukkan daerah-
daerah di sekitar Laut Tengah dan menjumpai kebudayaan Yunani dengan tradisi falsafi
mereka. Lalu mereka menterjemahkan dan memberikan komentar terhadap karya-karya
Yunani. Bahkan ketika Eropa setalah runtuhnya Kekaisaran Romawi masuk ke Abad
Pertengahan dan melupakan karya-karya klasik Yunani, para filsuf Timur Tengah ini
mempelajari karya-karya yang sama dan bahkan terjemahan mereka dipelajari lagi oleh
orang-orang Eropa. Nama-nama beberapa filsuf Timur Tengah: Avicenna(Ibnu Sina), Ibnu
Tufail, Kahlil Gibran (aliran romantisme; kalau boleh disebut bergitu)dan Averroes.

Munculnya Filsafat
Filsafat, terutama Filsafat Barat muncul di Yunani semenjak kira-kira abad ke 7 S.M.. Filsafat
muncul ketika orang-orang mulai berpikir-pikir dan berdiskusi akan keadaan alam, dunia, dan
lingkungan di sekitar mereka dan tidak menggantungkan diri kepada agama lagi untuk
mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini.

Banyak yang bertanya-tanya mengapa filsafat muncul di Yunani dan tidak di daerah yang
beradab lain kala itu seperti Babilonia, Yudea (Israel) atau Mesir. Jawabannya sederhana: di
Yunani, tidak seperti di daerah lain-lainnya tidak ada kasta pendeta sehingga secara
intelektual orang lebih bebas.

Orang Yunani pertama yang bisa diberi gelar filsuf ialah Thales dari Mileta, sekarang di
pesisir barat Turki. Tetapi filsuf-filsuf Yunani yang terbesar tentu saja ialah: Sokrates, Plato
dan Aristoteles. Sokrates adalah guru Plato sedangkan Aristoteles adalah murid Plato. Bahkan
ada yang berpendapat bahwa sejarah filsafat tidak lain hanyalah “Komentar-komentar karya
Plato belaka”. Hal ini menunjukkan pengaruh Plato yang sangat besar pada sejarah filsafat.

Sejarah Filsafat Barat


Sejarah Filsafat Barat bisa dibagi menurut pembagian berikut: Filsafat Klasik, Abad
Pertengahan, Modern dan Kontemporer.

Klasik

“Pra Sokrates”: Thales - Anaximander - Anaximenes - Pythagoras - Xenophanes –


Parmenides - Zeno - Herakleitos - Empedocles – Democritus - Anaxagoras
"Zaman Keemasan": Sokrates - Plato - Aristoteles

Abad Pertengahan

"Skolastik": Thomas Aquino

Modern

Machiavelli - Giordano Bruno - Francis Bacon - Rene Descartes - Baruch de Spinoza- Blaise
Pascal - Leibniz - Thomas Hobbes - John Locke - George Berkeley - David Hume - William
Wollaston - Anthony Collins - John Toland]] - Pierre Bayle - Denis Diderot - Jean le Rond
d'Alembert - De la Mettrie - Condillac - Helvetius - Holbach - Voltaire - Montesquieu - De
Nemours - Quesnay - Turgot - Rousseau - Thomasius - Ch Wolff - Reimarus - Mendelssohn -
Lessing - Georg Hegel - Immanuel Kant - Fichte - Schelling - Schopenhauer - De Maistre -
De Bonald - Chateaubriand - De Lamennais - Destutt de Tracy - De Volney - Cabanis - De
Biran - Fourier - Saint Simon - Proudhon - A. Comte - JS Mill - Spencer - Feuerbach - Karl
Marx - Soren Kierkegaard - Friedrich Nietzsche - Edmund Husserl

Kontemporer

Jean Baudrillard - Michel Foucault - Martin Heidegger - Karl Popper - Bertrand Russell -
Jean-Paul Sartre – Albert Camus - Jurgen Habermas - Richard Rotry - Feyerabend- Jacques
Derrida - Mahzab Frankfurt

 Filosofi meluaskan pandangan serta mempertajam pikiran--Mohammad Hatta, Alam Pikiran


Yunani, 1941, karya yang ditulis di masa pembuangan politik di Banda Neira oleh kolonialis
Belanda.

 Filosofi berguna untuk penerangkan pikiran dan penetapan hati. Ia membawa kita ke dalam
alam pikiran, alam nurani semata-mata. Dan oleh karena itu melepaskan kita daripada
pengaruh tempat dan waktu. Dalam pergaulan hidup, yang begitu menindas akan rohani,
sebagai di tanah pembuangan Digul, keamanan perasaan itu perlu ada--Mohammad Hatta,
Alam Pikiran Yunani, 1941.

 Siapa yang hidup dalam dunia pikiran, dapat melepaskan dirinya daripada gangguan hidup
sehari-hari--Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani, 1941.

 Apa sebenarnya yang disebut filosofi, lebih baik jangan dipersoalkan pada permulaan
menempuhnya. Akan hilang jalan nanti karena banyak ragam dan paham. Tiap-tiap ahli
berlainan pendapatnya tentang apa yang dikatakan filosofi. Tiap-tiap filosofpun lain-lain pula
tujuannya--Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani, 1941.

 Filosofi orang sebut juga berpikir merdeka dengan tiada dibatasi kelanjutannya--Mohammad
Hatta, Alam Pikiran Yunani, 1941.

 Filosofi meninjau dengan pertanyaan apa itu, dari mana dan ke mana. Di sini orang tidak
mencari pengetahuan sebab dan akibat dari pada sesuatu masalah--seperti yang diselidiki
oleh ilmu--, melainkan orang mencari tahu tentang apa yang sebenarnya pada barang atau
masalah itu, dari mana jadinya dan ke mana tujuannya--Mohammad Hatta, Alam Pikiran
Yunani, 1941.
 Filosofi memandang alam sebagai satu soal yang bulat. Ia mencari pengetahuan yang selesai
tentang alam dan penghidupan. Itulah yang dicarinya senantiasa dengan tak pernah sampai
ke penghabisannya--Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani, 1941.

 Filosofi mencukil soalnya lebih dalam. Ia tidak puas menilik sesuatunya dari jurusan
sebagaimana adanya. Sering ia bertanya, apakah barang yang lahir itu barang yang
sebenarnya ataukah hanya bayangan daripada suatu pokok atau sifat yang lebih dalam
letaknya?--Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani, 1941.

 Ada masanya yang filosofi hampir bertaut dengan agama, sebagai pada permulaan tarikh
Masehi dan di masa Zaman Tengah. Dalam Zaman Tengah filosofi kedudukannya hanya
sebagai anggota akal untuk menyuluhi kebenaran yang lebih sempurna, yang didapat sebagai
wahyu yang diturunkan Tuhan--Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani, 1941.

 Filsafat itu memberi ketenangan pikiran dan kemantapan hati, meski sekalipun menghadapi
maut--Sutan Takdir Alisjahbana, Pembimbing ke Filsafat Metafisika 1947.

 Pekerjaan berfilsafat itu ialah berpikir. Hanya makhluk manusia yang telah tiba di tingkat
berpikir, yang berfilsafat--Sutan Takdir Alisjahbana, Pembimbing ke Filsafat Metafisika 1947.

 Berfilsafat ialah berpikir dengan insaf. Yang dimaksud dengan berpikir dengan insaf ialah
berpikir dengan teliti, menurut suatu aturan yang pasti--Sutan Takdir Alisjahbana,
Pembimbing ke Filsafat Metafisika 1947.

 Ilmu-ilmu yang lain itu mewatasi yang diperiksanya dan dipikirkannya pada suatu bahagian
dari alam, atau pada suatu kumpulan peristiwa, filsafat menyelidiki dan memikirkan seluruh
alam, seluruh kenyataan--Sutan Takdir Alisjahbana, Pembimbing ke Filsafat Metafisika 1947.

 Berfilsafat itu menghendaki berpikir dan menyelidiki yang bebas, yaitu yang bukan saja tidak
terikat kepada sesuatu ilmu, tetapi juga tidak terikat kepada sesuatu kepercayaan dari
semula, suatu dogma dll. Baginya tidak ada yang suci, tidak ada yang pantang, segalanya
dibawanya ke gelanggang pikiran dan penyelidikan--Sutan Takdir Alisjahbana, Pembimbing
ke Filsafat Metafisika 1947.

 Dalam tujuannya yang tunggal, yaitu kebenaran, yang tak dapat dimadui itulah letaknya
kebesaran, kemuliaan, malahan kebangsawanan filsafat di antara kerja manusia yang lain--
Sutan Takdir Alisjahbana, Pembimbing ke Filsafat Metafisika 1947.

 Jika aliran filsafat dalam perkembangannya tumbuh menjadi ideologi sedemikian rupa, ia
akan kehilangan ciri khasnya sebagai filsafat, yaitu keterbukaan serta kebebasan berpikir;
keterbukaan untuk diuji lebih lanjut. Dengan hilangnya ciri khas tersebut, maka filsafat akan
beku sebagai alam pikiran--Fuad Hassan, Berkenalan dengan Eksistensialisme 1973.

 Tidak seorang filsuf pun pernah menganggap dirinya mampu menyatakan 'kata akhir'--Fuad
Hassan, Berkenalan dengan Eksistensialisme 1973.

 Filsafat menunjukkan arah, ilmu menjalani arah itu. Dengan meminjam istilah militer, filsafat
menentukan strategi dan ilmu melaksanakan taktik--Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat (Buku
1) 1973.
 Di mana filsafat berakhir, di situ ilmu dimulai.--Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat (Buku 1)
1973.

 Apabila ilmu dan teknik bergerak, tanpa filsafat memberikan haluannya, maka kedua itu
tidak tentu arah.--Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat (Buku 1) 1973.

 Kalau menghadapi masalah-masalah yang tidak tertampung oleh ilmu tidak dibantu oleh
filsafat, orang akan jatuh kepada dongeng dan khayalan.--Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat
(Buku 1) 1973.

Diperoleh dari "http://id.wikiquote.org/wiki/Filsafat"

INI ITU FILSAFAT


Kata-kata "filsafat", "filosofi", "filosofis", "filsuf", "falsafi" bertebaran di sekeliling kita. Apakah
pemakaiannya dalam kalimat-kalimat sudah tepat atau sesuai dengan arti yang dimilikinya, kita
acapkali tidak merisaukan hal itu, mungkin karena kita sendiri juga kurang paham dan belum
berkesempatan memeriksa beberapa literatur atau pun bertanya kepada mereka yang berkompeten
menjelaskan hal itu. Sementara itu, kita mengerti bahwa beberapa peristilahan ada karena memiliki
latar belakang yang unik.

Suatu peristilahan perlu dipahami konteks-nya untuk memperoleh kejelasan maknanya, baik itu
konteks sosial, budaya bahkan politik. Karena suatu peristilahan pada hakikatnya adalah melukiskan
atau pun mewakili suatu konsep, proses, keadaan, atau sifat yang khas dari yang dilukiskan atau
diwakilinya. Submenu Terminologi memperlihatkan bagaimana istilah-istilah yang disebutkan tadi
bisa digunakan. Dalam bagian ini juga dapat diperoleh uraian lebih lanjut mengenai relasi antara
filsafat, ilmu dan agama; hal yang tak jarang menjadi bahan persoalan.

Pada subemenu Sejarah, kita akan melihat ringkasan sejarah filsafat Timur dan Barat. Kita akan
berjumpa dengan pergulatan jaman dengan para pemikir, filsuf dan masyarakatnya. Kita mulai
dengan mengenal sejumlah nama-nama : jaman atau periode apa ia disebut, siapa-siapa filsuf yang
berpengaruh, pemikiran atau filsafat apa yang berkembang, dan seterusnya. Uraian yang lebih
komprehensif tentang nama-nama ini justru terdapat dalam pembahasan berikutnya, seperti dalam
Aliran, Cabang, dan Filsuf, Hidup dan Karyanya serta Filsafat Hari Ini; sambil nama-nama itu
sesekali diuraikan dengan turut menampilkan semangat jamannya.

Last but not least, filsafat terbagi dalam beberapa cabang dan aliran. Kita akan mengetahuinya
melalui submenu Cabang dan Aliran yang memang dikhususkan untuk pembahasan itu.

Simposium
Pancasila Belum Jadi Filsafat
Yogyakarta, Kompas - Pancasila sebagai ideologi negara belum dijadikan filsafat sosial yang
mendasari perumusan ilmu pengetahuan yang kontekstual Indonesia. Pancasila lebih dimaknai
sebagai doktrin politik untuk melestarikan kekuasaan negara.

Demikian isu yang mengemuka dalam simposium nasional "Pengembangan Pancasila sebagai
Paradigma Ilmu Pengetahuan dan Pembangunan Bangsa", Senin (14/8) di Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta.

Menurut Rektor UGM Prof Dr Sofian Effendi, karena belum dijadikan sebagai dasar perumusan
pengembangan ilmu pengetahuan, terjadi kolonisasi pemikiran yang kini makin marak. Pendidikan
justru menghasilkan lulusan yang lebih menghayati ilmu pengetahuan milik budaya bangsa lain yang
nilai-nilainya berbeda dengan bangsa Indonesia.
Sejak reformasi 1998 digulirkan, berkembang kecenderungan menafikan Pancasila sebagai ideologi
negara. Mengutip survei Direktorat Pendidikan Tinggi tahun 2004 atas 81 perguruan tinggi negeri,
Pancasila tidak tercantum lagi dalam kurikulum mayoritas perguruan tinggi. Padahal kampus
harusnya menjadi pelopor menghadapi gelombang globalisasi yang ditunggangi neokapitalisme dan
fundamentalisme pasar.

"Kampus harus memelopori pemikiran untuk mengembangkan filsafat bangsa Indonesia sebagai
paradigma pembangunan dan sebagai landasan etik pembangunan nasional," katanya.

Ketua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Prof Dr Umar Anggara Jenie menyatakan, Pancasila
sebagai paradigma pengembangan ilmu pengetahuan diperlukan untuk panduan etik. Sila-sila dalam
Pancasila adalah prinsip-prinsip etika universal yang juga dihormati negara lain.

Senin, 21 November 2005


Benarkah Pancasila Filsafat Bangsa?
Oleh: Qusthan Abqary H.F

Seringkali digembar-gemborkan bahwasanya Pancasila adalah falsafah bangsa dan negara. Benarkah
keberadaan Pancasila seperti yang disebutkan itu?

MENURUT keterangan, Pancasila yang dikatakan sebagai falsafah bangsa sudah ada dalam masyarakat
Nusantara jauh hari sebelum kesadaran berbangsa dan bernegara muncul. Sehingga para founding
fathers hanya tinggal merumuskannya. Namun, semakin banyaknya masyarakat Indonesia yang skeptis
terhadap Pancasila, menyisakan pertanyaan tersendiri bagi kita. Di antaranya:

(1). Apakah Pancasila masih relevan dengan konteks Indonesia kekinian?

(2). Bukankah Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa harus (selalu) menjadi landasan bagi
pemerintah dalam mengambil kebijakannya?

Namun, sebelum menjawab pertanyaan di atas, ada baiknya jika kita melihat kembali asal-usul Pancasila
itu sendiri, yang tidak jarang didominasi oleh satu pandangan historis tertentu.Dalam mengkaji asal-usul
Pancasila, setidaknya terdapat tiga teori yang biasa digunakan.

Teori pertama, menyatakan bahwa Pancasila berasal dari bumi Indonesia sendiri, yang lahir akibat
proses kebudayaan bangsa Indonesia yang beragam dan dirumuskan oleh para pendiri negara.

Teori Kedua menyatakan bahwa Pancasila adalah pengaruh dari kode moral ajaran Budha, yang telah
menjadi tatanan hidup sehari-hari dalam masyarakat, terutama masyarakat Jawa.

Teori Ketiga menyatakan bahwasanya Pancasila adalah kepanjangan dari doktrin Zionist yang telah
dipropagandakan oleh tokoh-tokoh 'Freemasonry' (Hakim; 2003: 232-4). Namun, kebanyakan
masyarakat Indonesia tentunya lebih meyakini bahwasanya teori pertama yang (paling) mendekati
kebenaran. Hal ini tentu tidaklah terlepas dari program-program Orde Baru semasa berkuasa, misalnya
Penataran P4. Bahkan, pemaksaan-pemaksaan dengan menggunakan Pancasila sebagai payung
legitimasi acapkali dilakukan.Jika sebagian besar dari kita meyakini teori pertama sebagai sebuah
kebenaran, maka, tidak serta-merta kita menyamakan apa yang disebut sebagai weltanschauung
(pandangan hidup) dengan 'filsafat' (philosophy). Drijarkara dalam sebuah seminar Pancasila
membedakan keduanya: filsafat ada di dalam lingkungan ilmu pengetahuan dan weltanschauung di
dalam lingkungan hidup (Sunoto; 1985: 49-50). Dalam masyarakat primitif sekalipun, terdapat
weltanschauung, namun belum tentu terdapat suatu sistem filsafat. Barangkali demikian yang terjadi
dengan masyarakat Nusantara, di mana, nilai-nilai dasar yang termaktub dalam Pancasila sudah
dihayati, namun belum-jika "tidak"-menjadi filsafat hidup, terlebih ideologi. Sehingga, tidak heran jika
muncul banyak "alergi" dari masyarakat Indonesia yang notabene agen pelaksana dari Pancasila itu
sendiri. Karena, masyarakat Indonesia lebih menghayati Pancasila sebagai sebuah weltanschauung
bukan sebagai filsafat. Memang diperlukan riset yang serius untuk membuktikan hal ini. Akan tetapi, kita
dapat dengan jernih melihatnya di bawah terang lentera sejarah.

Sejarah Indonesia mencatat, beragam ideologi yang bahkan bertentangan sekalipun pernah berkembang
di bawah naungan Pancasila. Dapatkah Pancasila sebagai sistem filsafat mengatasi
(mentransendensikan) sistem filsafat yang lain? Atau dengan kata lain, dapatkah suatu ideologi
menaungi ideologi yang lainnya dan hidup bersama secara "berdampingan"? Dalam hal ini Saya akan
menjawab: tidak! Karena "penerimaan" terhadap ideologi dengan landasan filsafat yang berbeda dengan
Pancasila, lebih dikarenakan masyarakat Indonesia menghayati Pancasila sebagai weltanschauung bukan
filsafat (philosophy).

ELASTISITAS PANCASILA

Sebagai weltanschauung, barangkali Pancasila tidak akan berbenturan dengan individu-individu yang
menggunakannya. Namun, apa jadinya jika weltanschauung itu dipaksakan menjadi filsafat atau ideologi
suatu bangsa atau negara? Sementara tingkat elastisitas yang dikandungnya sangatlah tinggi. Sebelum
menjawab pertanyaan ini, ada baiknya apabila kita melihat sedikit rekam jejak (track-record) dari
Pancasila.

presiden pada 16 Agustus 1982 di hadapan Dewan Perwakilan Rakyat, merupakan titik awal
penyeragaman azas berbagai organisasi masyarakat (ormas) dan organisasi sosial politik (orsospol).
Dapatkah 'penyeragaman' dilakukan di tengah 'keberagaman'? Secara spontan, tentunya mayoritas dari
kita akan menolak untuk bersepakat. Namun, sejarah menjawabnya dengan berbeda, hanya dua
organisasi yang menolak penyeragaman itu, kemudian menjadi organ bawah tanah hingga rezim Orde
Baru tumbang. Tentulah melanggar kodrat (nature) apabila 'penyeragaman' dilakukan pada Indonesia
yang terdiri dari beragam suku bangsa, agama dan kepercayaan.

Dari contoh kecil di atas, kiranya kita dapat belajar bahwa: Pancasila dapat diselewengkan oleh
kekuasaan karena ditafsirkan secara subjektif dan otoriter. Penafsiran secara subjektif dan otoriter, salah
satunya disebabkan oleh elastisitas yang terkandung dalam Pancasila itu sendiri. Elastisitas yang sangat
tinggi mengundang hadirnya multiinterpretasi, sehingga dalam suatu kasus yang sama, tidak tertutup
kemungkinan penafsiran yang berbeda bermunculan. Bagi penulis, keragaman penafsiran merupakan
suatu hal yang alamiah, namun, apabila tidak terjadi dialog yang menghasilkan konsensus, maka akan
menimbulkan masalah yang lebih besar.

Universalitas nilai-nilai Pancasila yang seringkali didengung-dengungkan seringkali menjadi bumerang,


karena "memayungi" beragam aspek-aspek yang tidak jarang saling berbenturan dalam dataran
praksisnya. Terlebih, ketika Pancasila diletakkan sebagai ideologi bangsa. Di mana, dituntut kesadaran
penuh dari seluruh anggota masyarakat untuk menerapkan Pancasila pada seluruh aspek kehidupan,
baik sebagai mahluk sosial maupun individual. Sedangkan kesadaran penuh yang pada awalnya hanya
sebatas weltanschauung dideklarasikan menjadi filsafat, bahkan ideologi bangsa dan negara. Yang
terjadi, semacam "ketidaksiapan-ketidaksiapan parsial" yang mengarah pada "penolakan".

MASIH RELEVANKAH?

Di tengah pesatnya perkembangan zaman, pergeseran nilai-nilai, dekandensi moral, serta berbagai
kebijakan-kebijakan ekonomi dan politik yang acapkali tidak berpihak pada kepentingan sebagian besar
rakyat, menyisakan pertanyaan tersendiri bagi Pancasila. Apakah Pancasila sudah tidak bisa menjawab
perkembangan zaman yang semakin cepat? Atau, apakah Pancasila masih relevan bagi bangsa
Indonesia? Namun, perlu dibedakan dengan tegas, antara Pancasila sebagai weltanschauung dengan
Pancasila sebagai filsafat bangsa dan negara.

Sebagai filsafat (Filsafat Pancasila), Prof. Koento Wibisono membedakannya menjadi: (1) Filsafat
Pancasila dalam aspeknya sebagai genetivus subyektivus, di mana, dengan Pancasila sebagai subyek
atau pangkal tolak kita ketika berbicara tentang filsafat; (2) Filsafat Pancasila dalam aspeknya sebagai
genetivus obyektivus, di mana, dengan filsafat sebagai subyek atau pangkal tolak ketika kita berbicara
tentang Pancasila (Wibisono; 1981: 86). Menurut Prof. Koento apa yang "diresahkan" selama ini ialah
yang kedua, di mana, Filsafat Pancasila belum benar-benar memenuhi syarat sebagai satu sistem yang
sesuai, sebagaimana dituntut tradisi pemikiran ala Barat.

Dari hal ini, kita dapat mencermati bahwasanya Pancasila sebagai filsafat bangsa dan negara "tidak"
relevan bagi bangsa Indonesia. Meski demikian, sebagai weltanschauung yang sudah dihayati semenjak
beratus-ratus tahun yang lalu, relevansinya dirasa tidak diragukan lagi. Weltanschauung ini sudah
dijalankan diseantero Nusantara, meski bentuk pemerintahan dan orang-orang yang memerintahnya
berbeda-beda. Sehingga pemerintah sekarang tetap harus berpijak pada Pancasila sebagai
weltanschauung dalam mengambil kebijakan. Agar bangsa dan negara ini tidak tenggelam di dalam arus
besar, namun mampu untuk berenang menyusurinya, semoga. ***

*) Penulis: Mahasiswa Jurusan Ilmu Filsafat UGM, Aktivis HMI MPO Cabang Sleman, Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai