Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

“Korupsi di Indonesia”
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Kelompok
Dosen Pengampuh : Sumarno, MM

Disusun Oleh :
1. A’inul Yaqin
2. Luki
3. Japar

Semester : II (dua)

Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam


Prodi Ekonomi Syari’ah

UNIVERSITAS INSTITUT AGAMA BUNGA BANGSA


CIREBON
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur marilah kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan kesehatan jasmani dan rohani sehingga kita masih tetap bisa menikmati
indahnya alam cipataan-Nya.
Kami disini akhirnya dapat merasa sangat bersyukur karena telah menyelesaikan
makalah yang kami beri judul “Korupsi di Indonesia” sebagai tugas kelompok.
Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
hingga terselesaikannya makalah ini. Dan penulis memahami jika makalah ini tentu jauh dari
kesempurnaan maka kritik dan saran sangat kami butuhkan guna memperbaiki karya-karya
kami dilain waktu.

Cirebon, 23 Januari 2022


Penulis,

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................................i

DAFTAR ISI.....................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.......................................................................................................1

B. Rumusan Masalah..................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Korupsi................................................................................................2

B. Jenis-Jenis Korupsi................................................................................................3

C. Ciri-Ciri Korupsi....................................................................................................4

D. Sebab Terjadinya Korupsi.....................................................................................4

E. Gambaran Umum Korupsi di Indonesia................................................................5

F. Persepsi Masyarakat tentang Korupsi....................................................................6

G. Fenomena Korupsi di Indonesia............................................................................6

H. Kebijakan Pemerintah dalam Pemberantasan Korupsi..........................................7

I. Peran Serta Pemerintah dalam Pemberantasan Korupsi........................................8

J. Peran Serta Masyarakat dalam Pemberantasan Korupsi.......................................9

K. Upaya Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi...................................................9

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan..........................................................................................................11

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................12

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang saat ini sedang
bersaing di dalam era reformasi. Di era reformasi ini, Indonesia mengalami
perkembangan di segala aspek seperti aspek ekonomi, aspek sosial, aspek politik,
aspek teknologi, bahkan aspek budaya. Pembangunan dari Indonesia ini tentu harus
didukung oleh semua pihak yaitu pemerintah dan masyarakat. Keberhasilan dari
pembangunan ini akan ditentukan oleh 2 hal, yaitu sumber daya manusianya dan dana
dari pembangunan itu sendiri. Tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia merupakan
negara yang kaya akan sumber daya baik sumber daya alam maupun sumber daya
manusianya. Tapi masalah yang kita hadapi disini adalah bahwa tidak ada kemauan
dari sumber daya manusia yang ada untuk membantu membangun bangsa ini.
Hal inilah yang menjadi akar dari semua permasalahan, sikap apatis yang tidak dapat
dihilangkan dari masyarakat Indonesia.
Munculnya sikap apatis ini akhirnya menimbulkan keegoisan diri yang
menyebabkan semua masyarakat selalu mementingkan dirinya atau golongannya untuk
mencapai suatu tujuan. Inilah yang saat ini kita lihat dalam sistem
pemerintahan kita. Bahwa banyak pemerintah dan pejabat yang mementingkan dirinya
sendiri dan mengeksploitasi segala sumber da ya yang ada. Inilah penyebab korupsi
yang sudah mengakar dari jiwa masyarakat Indonesia. Akibatnya, pembangunan
bersama bangsa ini akan terhambat karena setiap orang akan mementingkan
dirinya terlebih dahulu. Korupsi yang memakan dana pembangunan akan
menghentikan pembangunan itu sendiri dan hal ini tentu harus dihentikan oleh kita
sebagai generasi muda. Cara yang paling dasar untuk menghentikan korupsi
adalah dengan mengubah pemahaman generasi muda tentang sistem bernegara dan
itu harus dilakukan mulai dari sekarang.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah yang akan dikemukakan
penulis adalah pengetahuan dasar mengenai korupsi dan cara pencegahan tindak korupsi.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Korupsi
Korupsi berasal dari bahasa latin, Corruptio-Corrumpere yang artinya busuk,
rusak, menggoyahkan, memutarbalik atau menyogok. Korupsi menurut Huntington
(1968) adalah perilaku pejabat publik yang menyimpang dari norma-norma yang
diterima oleh masyarakat, dan perilaku menyimpang ini ditujukan dalam rangka
memenuhi kepentingan pribadi. Menurut Dr. Kartini Kartono, korupsi adalah
tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk
keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum. Selanjutnya, dengan merujuk definisi
Huntington diatas, Heddy Shri Ahimsha-Putra (2002) menyatakan bahwa persoalan
korupsi adalah persoalan politik pemaknaan.
Maka dapat disimpulkan korupsi merupakan perbuatan curang yang
merugikan Negara dan masyarakat luas dengan berbagai macam modus. Seorang sosiolog
Malaysia Syed Hussein Alatas secara implisit menyebutkan tiga bentuk korupsi yaitu
sogokan (bribery), pemerasan (extortion), dan nepotisme. Alatas mendefinisikan
nepotisme sebagai pengangkatan kerabat, teman, atau sekutu politik untuk
menduduki jabatan-jabatan publik, terlepas dari kemampuan yang dimilikinya dan
dampaknya bagi kemaslahatan umum (Alatas 1999:6).
Inti ketiga bentuk korupsi menurut kategori Alatas ini adalah subordinasi
kepentingan umum dibawah tujuan-tujuan pribadi yang mencakup pelanggaran-
pelanggaran norma-norma, tugas, dan kesejahteraan umum, yang dibarengi dengan
kerahasiaan, pengkhianatan, penipuan, dan sikap masa bodoh terhadap akibat yang
ditimbulkannya terhadap masyarakat.
Istilah korupsi dapat pula mengacu pada pemakaian dana pemerintah untuk
tujuan pribadi. Definisi ini tidak hanya menyangkut korupsi moneter yang
konvensional, akan tetapi menyangkut pula korupsi politik dan administratif. Seorang
administrator yang memanfaatkan kedudukannya untuk menguras pembayaran tidak
resmi dari para investor (domestik maupun asing), memakai sumber pemerintah,
kedudukan, martabat, status, atau kewenangannnya yang resmi, untuk keuntungan
pribadi dapat pula dikategorikan melakukan tindak korupsi.

2
B. Jenis-Jenis Korupsi
Korupsi telah didefinisikan secara jelas oleh UU No 31 Tahun 1999 jo UU
No. 20 Tahun 2001 dalam pasal-pasalnya. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, terdapat
33 jenis tindakan yang dapat dikategorikan sebagai korupsi 33 tindakan tersebut
dikategorikan ke dalam 7 kelompok yakni :
1. Korupsi yang terkait dengan merugikan keuangan Negara
2. Korupsi yang terkait dengan suap-menyuap
3. Korupsi yang terkait dengan penggelapan dalam jabatan
4. Korupsi yang terkait dengan pemerasan
5. Korupsi yang terkait dengan perbuatan curang
6. Korupsi yang terkait dengan benturan kepentingan dalam pengadaan
7. Korupsi yang terkait dengan gratifikasi
Menurut Aditjandra dari definisi tersebut digabungkan dan dapat diturunkan
menjadi dihasilkan tiga macam model korupsi (2002: 22-23) yaitu :
a. Model korupsi lapis pertama
Berada dalam bentuk suap (bribery), yakni dimana prakarsa datang dari
pengusaha atau warga yang membutuhkan jasa dari birokrat atau petugas
pelayanan publik atau pembatalan kewajiban membayar denda ke kas negara,
pemerasan (extortion) dimana prakarsa untuk meminta balas jasa datang dari
birokrat atau petugas pelayan publik lainnya.
b. Model korupsi lapis kedua
Jaring-jaring korupsi (cabal) antar birokrat, politisi, aparat penegakan hukum,
dan perusahaan yang mendapatkan kedudukan istimewa. Menurut Aditjandra, pada
korupsi dalam bentuk ini biasanya terdapat ikatan-ikatan yang nepotis antara
beberapa anggota jaring-jaring korupsi, dan lingkupnya bisa mencapai level nasional.
c. Model korupsi lapis ketiga
Korupsi dalam model ini berlangsung dalam lingkup internasional dimana
kedudukan aparat penegak hukum dalam model korupsi lapis kedua
digantikan oleh lembaga- lembaga internasional yang mempunyai otoritas di
bidang usaha maskapai-maskapai mancanegara yang produknya terlebih oleh
pimpinan rezim yang menjadi anggota jaring- jaring korupsi internasional korupsi
tersebut.

3
C. Ciri-Ciri Korupsi
Dalam buku Sosiologi Korupsi oleh Syed Hussein Alatas, disebutkan ciri-ciri
korupsi antara lain sebagai berikut :
 Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang.
 Korupsi pada umumnya melibatkan keserbarahasiaan.
 Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungann timbale balik.
 Berusaha menyelubungi perbuatannya dengan berlindung dibalik perlindungan
hukum.
 Mereka yang terlibat korupsi adalah mereka yang menginginkan keputusan-
keputusan yang tegas dan mereka yang mampu untuk mempengaruhi keputusan-
keputusan itu.
 Setiap tindakan korupsi mengandung penipuan, biasanya pada badan publik atau
masyarakat umum.
 Setiap bentuk korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan.
 Setiap bentuk korupsi melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif.
 Perbuatan korupsi melanggar norma-norma tugas dan pertanggungjawaban dalam
masyarakat.

D. Sebab Terjadinya Korupsi


Penyebab adanya tindakan korupsi sebenarnya bervariasi dan beraneka ragam.
Akan tetapi, secara umum dapatlah dirumuskan, sesuai dengan pengertian korupsi
diatas yaitu bertujuan untuk mendapatkan keuntungan pribadi /kelompok /keluarga/
golongannya sendiri. Faktor-faktor secara umum yang menyebabkan seseorang
melakukan tindakan korupsi antara lain yaitu :
 Ketiadaan atau kelemahan kepemimpinan dalam posisi-posisi kunci yang mampu
memberi ilham dan mempengaruhi tingkah laku yang menjinakkan korupsi.
 Kelemahan pengajaran-pengajaran agama dan etika.
 Kolonialisme, suatu pemerintahan asing tidaklah menggugah kesetiaan dan
kepatuhan yang diperlukan untuk membendung korupsi.
 Kurangnya pendidikan.
 Adanya banyak kemiskinan.
 Tidak adanya tindakan hukum yang tegas.

4
 Kelangkaan lingkungan yang subur untuk perilaku anti korupsi.
 Struktur pemerintahan.
 Perubahan radikal, suatu sistem nilai yang mengalami perubahan radikal, korupsi
muncul sebagai penyakit transisional.
 Keadaan masyarakat yang semakin majemuk.
Dalam teori yang dikemukakan oleh Jack Bologne atau sering disebut GONE
Theory, bahwa faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi meliputi :
 Greeds (keserakahan) : berkaitan dengan adanya perilaku serakah yang secara
potensial ada di dalam diri setiap orang.
 Opportunities (kesempatan) : berkaitan dengankeadaan organisasi atau instansi atau
masyarakat yang sedemikian rupa, sehingga terbuka kesempatan bagi seseorang
untuk melakukan kecurangan.
 Needs (kebutuhan) : berkaitan dengan faktor-faktor yamg dibutuhkan oleh individu-
individu untuk menunjang hidupnya yang wajar.
 Exposures (pengungkapan) : berkaitan dengan tindakan atau konsekuensi yang
dihadapi oleh pelaku kecurangan apabila pelaku diketemukan melakukan kecurangan.
Bahwa faktor-faktor Greeds dan Needs berkaitan dengan individu pelaku (actor)
korupsi, yaitu individu atau kelompok baik dalam organisasi maupun di luar
organisasi yang melakukan korupsi yang merugikan pihak korban. Sedangkan
faktor-faktor Opportunities dan Exposures berkaitan dengan korban perbuatan
korupsi (victim) yaitu organisasi, instansi, masyarakat yang kepentingannya
dirugikan.
Menurut Dr.Sarlito W. Sarwono, faktor penyebab seseorang melakukan
tindakan korupsi yaitu faktor dorongan dari dalam diri sendiri (keinginan, hasrat,
kehendak, dan sebagainya) dan faktor rangsangan dari luar (misalnya dorongan
dari teman-teman, kesempatan, kurang kontrol dan sebagainya).
Menurut Komisi IV DPR-RI, terdapat tiga indikasi yang menyebabkan
meluasnya korupsi di Indonesia, yaitu :
 Pendapatan atau gaji yang tidak mencukupi.
 Penyalahgunaan kesempatan untuk memperkaya diri.
 Penyalahgunaan kekuasaan untuk memperkaya diri.

E. Gambaran Umum Korupsi di Indonesia

5
Korupsi di Indonsia dimulai sejak era Orde Lama sekitar tahun 1960-an
bahkan sangat mungkin pada tahun-tahun sebelumnya. Pemerintah melalui Undang-
Undang Nomor 24 Prp 1960 yang diikuti dengan dilaksanakannya “Operasi
Budhi” dan Pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi berdasarkan Keputusan Presiden
Nomor 228 Tahun 1967 yang dipimpin langsung oleh Jaksa Agung, belum membuahkan
hasil nyata.
Pada era Orde Baru, muncul Undang-Undang Nomor3 Tahun 1971 dengan
“Operasi Tertib”yang dilakukan Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan
Ketertiban (Kopkamtib), namun dengan kemajuan iptek, modus operandi korupsi
semakin canggih dan rumit sehingga Undang-Undang tersebut gagal dilaksanakan.
Selanjutnya dikeluarkan kembali Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999.
Upaya-upaya hukum yang telah dilakukan pemerintah sebenarnya sudah
cukup banyak dan sistematis. Namun korupsi di Indonesia semakin banyak sejak akhir
1997 saat negara mengalami krisis politik, sosial, kepemimpinan, dan kepercayaan
yang pada akhirnya menjadi krisis multidimensi.Gerakan reformasi yang
menumbangkan rezim Orde Baru menuntut antara lain ditegakkannya supremasi
hukum dan pemberantasan Korupsi, Kolusi & Nepotisme (KKN). Tuntutan tersebut
akhirnya dituangkan di dalam Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1999 & Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penye-lenggaraan Negara yang Bersih & Bebas dari
KKN.

F. Persepsi Masyarakat tentang Korupsi


Rakyat kecil yang tidak memiliki alat pemukul guna melakukan koreksi
dan memberikan sanksi pada umumnya bersikap acuh tak acuh. Namun yang
paling menyedihkan adalah sikap rakyat menjadi apatis dengan semakin meluasnya
praktik- praktik korupsi oleh be-berapa oknum pejabat lokal, maupun nasional.
Kelompok mahasiswa sering menanggapi permasalahan korupsi dengan emosi
dan de-monstrasi. Tema yang sering diangkat adalah “penguasa yang korup” dan
“derita rakyat”. Mereka memberikan saran kepada pemerintah untuk bertindak tegas
kepada para korup-tor. Hal ini cukup berhasil terutama saat gerakan reformasi tahun
1998. Mereka tidak puas terhadap perbuatan manipulatif dan koruptif para pejabat.
Oleh karena itu, mereka ingin berpartisipasi dalam usaha rekonstruksi terhadap
masyarakat dan sistem pemerin-tahan secara menyeluruh, mencita-citakan
keadilan, persamaan dan kesejahteraan yang merata.

6
G. Fenomena Korupsi di Indonesia
Fenomena umum yang biasanya terjadi di negara berkembang, contohnya
Indonesia, ialah:
 Proses modernisasi belum ditunjang oleh kemampuan sumber daya manusia pada
lembaga-lembaga politik yang ada.
 Institusi-institusi politik yang ada masih lemah disebabkan oleh mudahnya “ok -
num” lembaga tersebut dipengaruhi oleh kekuatan bisnis/ekonomi, sosial, keaga-
maan, kedaerahan, kesukuan, dan profesi serta kekuatan asing lainnya.
 Selalu muncul kelompok sosial baru yang ingin berpolitik, namun sebenarnya
banyak di antara mereka yang tidak mampu.
 Mereka hanya ingin memuaskan ambisi dan kepentingan pribadinya dengan dalih
“kepentingan rakyat”.
Sebagai akibatnya, terjadilah runtutan peristiwa sebagai berikut :
 Partai politik sering inkonsisten, artinya pendirian dan ideologinya sering beru-bah-
ubah sesuai dengan kepentingan politik saat itu.
 Muncul pemimpin yang mengedepankan kepentingan pribadi daripada kepenting-an
umum.
 Sebagai oknum pemimpin politik, partisipan dan kelompoknya berlomba-lomba
mencari keuntungan materil dengan mengabaikan kebutuhan rakyat.
 Terjadi erosi loyalitas kepada negara karena menonjolkan pemupukan harta dan
kekuasaan.Dimulailah pola tingkah para korup.
 Sumber kekuasaan dan ekonomi mulai terkonsentrasi pada beberapa kelompok kecil
yang mengusainya saja. Derita dan kemiskinan tetap ada pada kelompok
masyarakat besar (rakyat).
 Lembaga-lembaga politik digunakan sebagai dwi aliansi, yaitu sebagai sektor di
bidang politik dan ekonomi-bisnis.
 Kesempatan korupsi lebih meningkat seiring dengan semakin meningkatnya ja-batan
dan hirarki politik kekuasaan.

H. Kebijakan Pemerintah dalam Pemberantasan Korupsi


Mewujudkan keseriusan pemerintah dalam upaya memberantas korupsi, Telah
di keluarkan berbagai kebijakan. Di awali dengan penetapan anti korupsi sedunia oleh

7
PBB pada tanggal 9 Desember 2004, Presiden susilo Budiyono telah mengeluarkan
instruksi Presiden Nomor 5tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi,
yang menginstruksikan secara khusus Kepada Jaksa Agung dan kapolri:
 Mengoptimalkan upaya-upaya penyidikan/Penuntutan terhadap tindak pidana
korupsi untuk menghukum pelaku dan menelamatkan uang negara.
 Mencegan & memberikan sanksi tegas terhadap penyalah gunaan wewenang yg di
lakukan oleh jaksa (Penuntut Umum)/ Anggota polri dalam rangka penegakan
hukum.
 Meningkatkan Kerjasama antara kejaksaan dgn kepolisian Negara RI, selain denagan
BPKP,PPATK,dan intitusi Negara yang terkait denagn upaya penegakan hukum dan
pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi Kebijakan
selanjutnya adalah menetapkan Rencana aksi nasional Pemberantasan Korupsi
(RAN-PK) 2004-2009. Langkah-langkah pencegahan dalam RAN-PK di
prioritaskan pada :
 Mendesain ulang layanan publik .
 Memperkuat transparasi, pengawasan, dan sanksi pada kegiatan pemerintah
yg berhubungan Ekonomi dan sumber daya manusia.
 Meningkatkan pemberdayaan pangkat – pangkat pendukung dalam
pencegahan korupsi.

I. Peran Serta Pemerintah dalam Pemberantasan Korupsi


Partisipasi dan dukungan dari masyarakat sangat dibutuhkan dalam mengawali
upaya- upaya pemerintah melalui KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan aparat
hukum lain. KPK yang ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi untuk mengatasi,
menanggulangi, dan memberan- tas korupsi, merupakan komisi independen yang
diharapkan mampu menjadi “martir” bagi para pelaku tindak KKN.
Adapun agenda KPK adalah sebagai berikut :
 Membangun kultur yang mendukung pemberantasan korupsi.
 Mendorong pemerintah melakukan reformasi public sector dengan mewujudkan
good governance.
 Membangun kepercayaan masyarakat.
 Mewujudkan keberhasilan penindakan terhadap pelaku korupsi besar.

8
 Memacu aparat hukum lain untuk memberantas korupsi.

J. Peran Serta Masyarakat dalam Pemberantasan Korupsi


Bentuk-bentuk peran serta mayarakat dalam pemberantasan tindak pidana
korupsi menurut UU No. 31 tahun 1999 antara lain adalah SBB :
 Hak Mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan tindak pidana
korupsi
 Hak untuk memperoleh layanan dalam mencari, memperoleh, dan
memberikan informasi adanya dugaan telah tindak pidana korupsi kepada penegak
hukum
 Hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kpada
penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi
 Hak memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporan yg di berikan kepada
penegak hukum waktu paling lama 30 hari
 Hak untuk memperoleh perlindungan hukum
 Penghargaan pemerintah kepada mayarakat

K. Upaya Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi


Menurut Baharuddin Lopa, mencegah korupsi tidaklah begitu sulit kalau kita
secara sadar untuk menempatkan kepentingan umum (kepentingan rakyat banyak)
di atas kepentingan pribadi atau golongan. Ini perlu ditekankan sebab betapa pun
sempurnanya peraturan, kalau ada niat untuk melakukan korupsi tetap ada di hati para
pihak yang ingin korup, korupsi tetap akan terjadi karena faktor mental itulah yang
sangat menentukan. Dalam melakukan analisis atas perbuatan korupsi dapat
didasarkan pada 3 (tiga) pendekatan berdasarkan alur proses korupsi yaitu :
 Pendekatan pada posisi sebelum perbuatan korupsi terjadi,
 Pendekatan pada posisi perbuatan korupsi terjadi,
 Pendekatan pada posisi setelah perbuatan korupsi terjadi.
Dari tiga pendekatan ini dapat diklasifikasikan tiga strategi untuk mencegah
dan memberantas korupsi yang tepat yaitu :
1. Strategi Preventif.

9
Strategi ini harus dibuat dan dilaksanakan dengan diarahkan pada hal-hal
yang menjadi penyebab timbulnya korupsi. Setiap penyebab yang terindikasi
harus dibuat upaya preventifnya, sehingga dapat meminimalkan penyebab korupsi.
Disamping itu perlu dibuat upaya yang dapat meminimalkan peluang untuk
melakukan korupsi dan upaya ini melibatkan banyak pihak dalam pelaksanaanya
agar dapat berhasil dan mampu mencegah adanya korupsi.
2. Strategi Deduktif.
Strategi ini harus dibuat dan dilaksanakan terutama dengan diarahkan agar
apabila suatu perbuatan korupsi terlanjur terjadi, maka perbuatan tersebut akan
dapat diketahui dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dan seakurat-
akuratnya, sehingga dapat ditindaklanjuti dengan tepat. Dengan dasar pemikiran
ini banyak sistem yang harus dibenahi, sehingga sistem-sistem tersebut akan dapat
berfungsi sebagai aturan yang cukup tepat memberikan sinyal apabila terjadi
suatu perbuatan korupsi. Hal ini sangat membutuhkan adanya berbagai disiplin
ilmu baik itu ilmu hukum, ekonomi maupun ilmu politik dan sosial.
3. Strategi Represif.
Strategi ini harus dibuat dan dilaksanakan terutama dengan diarahkan
untuk memberikan sanksi hukum yang setimpal secara cepat dan tepat kepada
pihak-pihak yang terlibat dalam korupsi. Dengan dasar pemikiran ini proses
penanganan korupsi sejak dari tahap penyelidikan, penyidikan dan penuntutan
sampai dengan peradilan perlu dikaji untuk dapat disempurnakan di segala
aspeknya, sehingga proses penanganan tersebut dapat dilakukan secara cepat dan
tepat. Namun implementasinya harus dilakukan secara terintregasi.

10
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Korupsi merupakan tindakan buruk yang dilakukan oleh aparatur birokrasi
serta orang-orang yang berkompeten dengan birokrasi. Korupsi dapat bersumber
dari kelemahan-kelemahan yang terdapat pada sistem politik dan sistem administrasi
negara dengan birokrasi sebagai prangkat pokoknya.
Keburukan hukum merupakan penyebab lain meluasnya korupsi. Seperti halnya
deli k- delik hukum yang lain, delik hukum yang menyangkut korupsi di Indonesia
masih begitu rentan terhadap upaya pejabat-pejabat tertentu untuk membelokkan
hukum menurut kepentingannya. Dalam realita di lapangan, banyak kasus untuk
menangani tindak pidana korupsi yang sudah diperkarakan bahkan terdakwapun sudah
divonis oleh hakim, tetapi selalu bebas dari hukuman. Itulah sebabnya kalau hukuman
yang diterapkan tidak drastis, upaya pemberantasan korupsi dapat dipastikan gagal.
Meski demikian, pemberantasan korupsi jangan menajadi “jalan tak ada
ujung”, melainkan “jalan itu harus lebih dekat ke ujung tujuan”. Upaya-upaya untuk
mengatasi persoalan korupsi dapat ditinjau dari struktur atau sistem sosial, dari segi
yuridis, maupun segi etika atau akhlak manusia.

11
DAFTAR PUSTAKA

UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.


Drehel, Axel and Christos Kotsogiannis. “Corruption Around the World: Evidence from a
Structural Mode.” 2004
Hartanti, Evi. “Tindak Pidana Korupsi” , Jakarta: Sinar Grafika, 2006
Muzadi, H. “MENUJU INDONESIA BARU, Strategi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.” Malang : Bayumedia Publishing. 2004

12

Anda mungkin juga menyukai