Anda di halaman 1dari 16

Dasar Aksiologi Ilmu Pengetahuan

(Makalah ini Dibuat untuk Memenuhi Tugas

dalam Mata Kuliah Filsafat Ilmu)

Disusun Oleh:

Lita Rismayanti 11190110000111

Dimas Muhammad Putra 11190110000116

Nur Rahma Fadhilah 11190110000121

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2020

1
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Yang
telah melimpahkan rahmat ,hidayah, dan inayah-Nya. Sehingga, penulisan makalah ini dapat
terselesai-kan.

Sholawat serta salam semoga senantiasa kami perlimpahkan kepada Nabi Muhammad
SAW. Beserta keluarganya sahabat-sahabatnya serta orang-orang mukmin yang senantiasa
mengikutinya

Dengan kerendahan hati kami sampaikan bahwa makalah ini tidak akan mungkin
terselesaikan tanpa adanya dukungan dan bantuan dari semua pihak, baik secara langsung
maupun tidak langsung. Oleh karena itu, kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak
yang telah membantu. Adapun ucapan terimakasih secara khusus kami sampaikan kepada
kedua orang tua yang telah memberkan do’a dan dukungan moral maupun material kepada
kami dalam proses pembuatan makalah ini.

Kepada semua, kami mengucapkan terima kasih, turut serta do’a semoga budi baik
semuanya diterima oleh Allah SWT dan mendapatkan balasan yang berlipat ganda dari-Nya.

Jakarta, 26 Oktober 2020

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................................2

BAB I................................................................................................................................................4

PENDAHULUAN.............................................................................................................................4

A. Latar belakang...........................................................................................................................4

B. Rumusan masalah......................................................................................................................4

C. Tujuan penulisan........................................................................................................................4

BAB II...............................................................................................................................................5

PEMBAHASAN................................................................................................................................5

A. Pengertian Aksiologi.................................................................................................................5

B. Pendekatan dalam Aksiologi......................................................................................................6

C. Teori-teori Tentang Nilai...........................................................................................................7

D. Korelasi Antara Filsafat Ilmu dan Aksiologi.............................................................................8

E. Hierarki Nilai.............................................................................................................................9

F. Etika........................................................................................................................................10

G. Metaetika.................................................................................................................................12

H. Estetika....................................................................................................................................13

BAB III............................................................................................................................................15

PENUTUP.......................................................................................................................................15

A. Kesimpulan..............................................................................................................................15

B. Saran........................................................................................................................................15

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................................16

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar belakang

3
Aktivitas filsafat melibatkan akal pikiran manusia secara utuh, konsisten dan bertanggung
jawab. Dalam aktivitas akal itu para filsuf mencoba mengungkap tentang realitas kegiatan
mengungkap realitas ini membutuhkan bahasa sebagai sarana bagi pemahaman terhadap
realitas tersebut. Dari sini muncullah berbagai istilah teknis filsafat yang mengandung makna
khas, seperti: substansi, eksistensi, impresi kategori. Istilah-istilah teknik filsafat muncul
dalam bidang-bidang utama filsafat,yakni ontology,epistemology, dan aksiology. Dalam
makalah ini kami akan membahas secara singkat tentang salah satu bidang utama filsafat
yakni aksiologi ilmu pengetahuan yang selanjutnya lebih dikenal sebagai dampak ilmu bagi
umat manusia, baik itu persoalan apa manfaat ilmu itu sendiri, serta untuk apa itu digunakan.

B. Rumusan masalah
Berdasarkan pernyataan dari latar belakang diatas dapat ditemukan masalah sebagai
berikut.
1. Apa pengertian tentang aksiologi ?
2. Bagaimana cara pendekatan dengan aksiologi ?
3. Apa yang dimaksud dengan teori-teori tentang nilai ?
4. Apa yang dimaksud dengan etika ?
5. Apa yang dimaksud dengan estetik ?

C. Tujuan penulisan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan aksiologi.
2. Untuk mengetahui apa saja pendekatan dalam Aksiologi.
3. Untuk mengetahui apa yang di maksud dengan teori-teori tentang nilai.
4. Untuk mengetahui apa itu Korelasi Antara Filsafat Ilmu dan Aksiologi.
5. Untuk mengetahui apa itu Hierarki Nilai.
6. Untuk mengetahui apa yang di maksud dengan etika.
7. Untuk mengetahui apa itu Metaetika
8. Dan untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan estetika.

4
BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Aksiologi
Aksiologi merupakan bagian dari filsafat Ilmu yang mempertanyakan bagaimana
manusia menggunakan ilmunya. Aksiologi berasal dari bahasa Yunani, axios yang berarti
nilai dan logos yang berarti teori. Dengan demikian, maka aksiologi adalah teori tentang nilai.
Aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan
yang diperoleh. Aksiologi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kegunaan ilmu
pengetahuan bagi kehidupan manusia, kajian tentang nilai-nilai khususnya etika. Menurut
Bramel aksiologi terbagi dalam tiga bagian pertama: Pertama, moral conduct yaitu tindakan
moral yang melahirkan etika. Kedua, esthetic expression yaitu ekspresi keindahan. Ketiga,
sosialpolitical life yaitu kehidupan sosial politik, yang akan melahirkan filsafat sosiopolitik.1
Aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai yang pada umumnya
ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan. Aksiologi meliputi nilai-nilai, parameter bagi apa
yang disebut sebagai kebenaran atau kenyataan itu, sebagaimana kehidupan kita yang
menjelajahi berbagai kawasan, seperti kawasan sosial, kawasan fisik materil dan kawasan
simbolik yang masing-masing menunjukkan aspeknya sendiri. Lebih dari itu, aksiologi juga
menunjukkan kaidah-kaidah apa yang harus kita perhatikan dalam menerapkan ilmu kedalam
praksis. Menurut Kattsoff dapat dijawab melalui 3 cara. Pertama, nilai sepenuhnya berkaki-
kali subjektif. Kedua, nilai merupakan kenyataan ditinjau dari segi ontologis namun tidak
terdapat dalam ruang dan waktu. Ketiga, nilai merupakan unsur objektif yang menyusun
kenyataan yang demikian disebut objektivisme metafisik.2
Ada beberapa makna terminology aksiologi, yaitu:
a. Aksiologi merupakan analisis nilai-nilai, maksudnya ialah membatasi arti, ciri-ciri,
asal, tipe, kriteria dan status epistimologis dari nilai-nilai itu.

1
Dr. Aceng Rachmat, et al, Filsafat Ilmu Lanjutan, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm 154.
2
Prof. Dr. H. Endang Komara, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian, (Bandung: PT Refika Aditama, 2011), hlm
14-15.

5
b. Aksiologi merupakan studi yang menyangkut teori umum tentang nilai atau suatu
studi yang menyangkut segala yang bernilai.
c. Aksiologi adalah studi filosofi tentang hakikat-hakikat nilai.3
Dalam Encyclopedia of Philosophy dijelaskan bahwa aksiologi disamakan dengan value
dan valuation. Ada tiga bentuk value dan valuation yaitu:
a. Nilai, sebagai suatu kata benda abstrak. Dalam pengertian sempit: berupa sesuatu
yang baik, menarik, dan bagus. Adapun dalam pengertian luas, berupa kewajiban,
kebenaran, dan kesucian.
b. Nilai sebagai kata benda konkret, contohnya ketika kita berkata sebuah nilai atau
nilai-nilai, ia sering kali dipakai untuk merujuk kepada sesuatu yang bernilai, seperti
nilainya, nilai dia, dan sistem nilai.
c. Nilai juga digunakan sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai, memberi nilai, dan
dinilai. Menilai sama dengan evaluasi yang digunakan untuk menilai perbuatan.4
Secara historis, aksiologi atau teori umum tentang nilai bermula dari perdebatan Alexius
Menang dengan Christian von Ahrenfels pada tahun 1890-an berkaitan dengan sumber nilai.
Meaning memandang bahwa sumber nilai adalah perasaan (feeling), atau perkiraan, atau
kemungkinan adanya kesenangan terhadap suatu objek. Spinoza melihat bahwa sumber nilai
adalah hasrat atau keinginan. Suatu objek menyatu dengan nilaielalui keinginan aktual atau
yang kemungkinan, artinya suatu objek memiliki nilai karena ia menarik. Menurut kedua
pendapat tersebut, nilai adalah milik objek itu sendiri.
Sampai disini, muncul pertanyaan: Apakah nilai itu sebenarnya? Secara bahasa, nilai berasal
dari bahasa Latin Valerie yang berarti berguna, mampu akan, berdaya, berlaku, atau kuat.
Dari sini nilai berarti harkat yakni kualitas sesuatu hal yang menjadikan hal itu dapat disukai,
juga bisa bermakna keistimewaan yakni apa yang dihargai, dinilai tinggi, atau dihargai
sebagai suatu kebaikan.5

B. Pendekatan dalam Aksiologi


Ada tiga ciri yang dapat kita kenali terhadap nilai, yaitu nilai yang berkaitan subjektif,
praktis, dan sesuatu yang ditambahkan pada objek.

3
Dr. Zaprulkhan, S.Sos.I., M.S.I, Filsafat Ilmu: Sebuah Analisis Kontemporer, (Depok: PT RajaGrafindo Persada,
2016), hlm. 82
4
Ibid hlm. 155
5
Ibid hlm. 83

6
Pertama, nilai berkaitan dengan subjek. Artinya, nilai itu berkaitan dengan kehadiran
manusia sebagai subjek. Kalau tidak ada manusia yang memberi nilai, nilai itu tidak akan
pernah ada. Tanpa kehadiran manusia pun, kalau Gunung Merapi meletus ya tetap meletus.
Pasalnya sekarang, ketika Gunung Merapi meletus misalnya, apakah itu sesuatu yang
“indah” ataukah “membahayakan” bagi kehidupan manusia. semuanya itu tetap memerlukan
kehadiran manusia untuk memberikan penilaian. Dalam hal ini nilai subjektivitas memang
bergantung semata-mata pada pengalaman manusia. Kedua, nilai dalam konteks praktis.
Yaitu, subjek ingin membuat sesuatu seperti lukisan, gerabah, dan lain-lain. Ketiga, nilai-nilai
merupakan unsur-unsur obyektif yang menyusun kenyataan.6

C. Teori-teori Tentang Nilai


Secara umum, dalam wacana aksiologi terdapat tiga macam teori mengenai nilai.
Pertama, teori objektivitas nilai yang merupakan teori nilai yang menyatakan bahwa nilai-
nilai, seperti kebaikan, kebenaran, keindahan, ada dalam dunia nyata dan dapat ditemukan
sebagai entitas-entitas, kualitas-kualitas, atau hubungan nyata, dalam bentuk (rupa) yang
sama sebagaimana kita dapat menemukan objek-objek, kualitas-kualitas, atau hubungan-
hubungan seperti meja atau merah.
Teori objektivitas nilai juga merupakan pandangan yang menyatakan bahwa nilai-nilai
adalah objektif dalam arti bahwa nilai-nilai itu dapat didukung oleh argumentasi cermat dan
rasional konsisten sebagai yang terbaik dalam situasi tersebut. Nilai, norma, ideal dan
sebagainya merupakan unsur atau benda dalam objek atau berada pada realitas objektif, atau
ia dianggap berasal dari suatu objek melalui ketertarikan.
Kedua, teori subjektivitas nilai, yakni pandangan bahwa nilai-nilai, seperti kebaikan,
kebenaran, keindahan, tidak ada dalam dunia real objektif, tetapi merupakan perasaan-
perasaan, sikap pribadi, dan merupakan penafsiran atas kenyataan. Pandangan ini mereduksi
penentuan nilai ke dalam statemen yang berkaitan dengan sikap ental terhadap suatu objek
atau situasi. Penentuan nilai dapat dianalisis sebagai sebuah pernyataan menyangkut sikap,
tingkat kesetujuan, kesenangan, dan sebagainya. Subjektivisme aksiologi cenderung
mengalahkan teori etika yang disebut hedonisme, sebuah teori yang menyatakan kebahagiaan
sebagai kriteria nilai, dan naturalisme yang meyakini bahwa suatu nilai dapat direduksi
kedalam sebuah pernyataan psikologis.

6
Louis, O Kattsoff, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1992), hlm. 67

7
Ketiga, relativisme nilai. Relativisme nilai adalah pandangan yang memiliki beberapa
prinsip berikut: a. Bahwa nilai-nilai bersifat relatif karena berhubungan dengan preferensi
(sikap, keinginan, ketidaksukaan, perasaan, selera, kecenderungan, dan sebagainya), baik
secara sosial dan pribadi, yang dikondisikan oleh lingkungan, kebudayaan, atau keturunan. b.
Bahwa nilai-nilai berbeda(secara Radikal dalam banyak hal) dari suatu kebudayaan ke
kebudayaan lainnya. c. Bahwa penilaian-penilaian seperti benar/salah, baik/buruk, tepat/tidak
tepat, tidak dapat diterapkan padanya. Dan d. Bahwa tidak ada, dan tidak dapat ada nilai-nilai
universal, mutlak, dan objektif manapun yang dapat diterapkan pada semua orang pada segala
waktu.
Akan tetapi, teori ini mendapat kritik tajam. Sebab pandangan ini secara keliru
menyamakan nilai objektif dengan penilaian pribadi subjek, khususnya dengan perasaan-
perasaan subjek. Oleh karena itu, relativisme jatuh kedalam subjektivisme nilai. Menurut
teori ini, setiap individu (subjek) menentukan nilai-nilai yang sendiri. Nilai-nilai fundamental
eksistensi insani niscaya ada karena struktur hakiki manusia dan ada. Karena alasan ini nilai-
nilai memperoleh kesahihan mutlak, tidak dapat berubah. Dengan alasan inilah, sebagian
filsuf menyatakan dengan tegas bahwa nilai adalah esensi nontemporal dan hierarkis sifatnya.

D. Korelasi Antara Filsafat Ilmu dan Aksiologi


Dalam kaitan antara nilai guna ilmu, baik itu ilmu umum maupun ilmu agama,
tidak dapat dibantah lagi bahwa kedua ilmu itu sangat bermanfaat bagi seluruh umat
manusia, dengan ilmu seseorang dapat mengubah wajah dunia. Nilai itu bersifat objektif,
tapi kadang-kadang bersifat subjektif. Dikatakan jika nilai-nilai tidak tergantung pada
subjek atau kesadaran yang menilai. Tolak ukur suatu gagasan berada pada objeknya,
bukan pada subjek yang melakukan penilaian. Kebenaran tidak tergantung pada
kebenaran pada pendapat individu, tetapi pada objektivitas fakta. Sebaliknya, nilai
menjadi subjektif apabila subjek berperan dalam memberi penilaian; kesadaran manusia
menjadi tolak ukur penilaian. Dengan demikian, nilai subjektif selalu memperhatikan
berbagai pandangan yang dimiliki akal budi manusia, seperti perasaan yang akan
mengarah kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang.7 Teori tentang nilai
dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika di mana etika memiliki arti,
yaitu merupakan suatu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan
manusia dan suatu predikat yang dipakai untuk membedakan perbuatan, tingkah laku.8
7
Aimira Hidayat, Filsafat Ilmu, Pamekasan: STAIN Pamekasan Press, 2006, h. 112.
8
Mukhtar Latif, Orientasi Ke Arah Pemahaman Filsafat Ilmu, Jakarta: Kencana, 2014, h.241.

8
Kenyataan yang tidak dapat dimungkiri bahwa peradaban manusia sangat
berutang kepada ilmu pengetahuan dan teknologi, sains, dan teknologi dikembangkan
untuk memudahkan hidup manusia agar lebih mudah dan nyaman. Perabadan manusia
berkembang sejalan dengan perkembangan sains dan teknologi, karena itu kita tidak bisa
dimungkiri peradaban manusia berutang budi pada sains dan teknologi. Berkat sains dan
teknologi pemenuhan kebutuhan manusia bisa dilakukan dengan lebih cepat dan mudah.
Perkembangan ini baik dibidang kesehatan, pengangkutan, pemukiman, pendidikan, dan
komunikasi telah mempermudah kehidupan manusia. Sejak dalam tahap pertama ilmu
sudah dikaitkan dengan tujuan perang, di samping itu ilu sering dikaitkan dengan faktor
kemanusiaan, dimana bukan lagi teknologi yang berkembang seiring dengan
perkembangan dan kebutuhan manusia, namun sebaliknya manusialah yang akhirnya
harus menyesuaikan diri dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
selalu berkembang melampaui perkembangan budaya dan peradaban manusia.

E. Hierarki Nilai
Dalam perspektif Max Scheler, ada empat gugus nilai yang mandiri dan jelas berbeda
antara yang satu dengan yang lainnya. Gugus nilai pertama dan paling rendah adalah segala
nilai dalam dimensi “yang menyenangkan” dan “yang tidak menyenangkan”, yang disini
dimengerti dalam arti perasaan badani. Nilai-nilai ini dirasakan secara fisik dan menghasilkan
perasaan nikmat dan sakit.
Gugus yang kedua, nilai-nilai disekitar “perasaan vital”, yang berkaitan bukan dengan
fungsi-fungsi indrawi tertentu, melainkan dengan kehidupan dalam keutuhannya. Nilai-nilai
ini tersebar di sekitar “yang luhur” Dan “yang kasar”, yang “kuat” dalam arti kesehatan fisik,
dan yang “lemah” dalam arti ringkih, sakitan, dan sebagainya. Di sini terdapat segala macam
perasaan "hidup naik daun " atau menurun, perasaan sehat badan atau sakit, kuat atau lemah
dengan reaksi perasaan gembira atau sedih serta reaksi jawaban "berani" dan takut, dorongan
spontan marah dan mata gelap, sdan sebagainya, serta kesejahteraan sebagai keaadaan
bernilai. Perasaan perasaan dari dua gugus pertama dirasakan baik oleh manusia maupun
binatang.
Lain halnya dengan gugus ketiga, nilai-nilai itu tidak lagi tergantung dari dimenai
kebutuhan. Scheler mencatat bahwa orang bersedia mengorbankan nilai-nilai di mensi
kehidupan ( nilai-nilai vital) demi nilai-nilai rohani nilai rohani ada tiga macam yang

9
pertama nilai estentis, jadi nilai di sekitar " yang indah " dan "yang jelek ". Yang kedua Nilai-
nilai benar dan tidak benar dalam arti dapat di benarkan dan yang terkahir nilai -nilai
pengetahuan murni, pengetahuan demi pengetahuan.
Gugus keempat dan tertinggi adalah nilai-nilai sekitar " yang kudus " ( das Heilige) dan
"yang profan " (das unheilige) . Di sini termasuk " kebahagian " ( religius) dan "keputusan
( religius) " (Verzweiflung yang bedakan dari perasaan malang) sikap -sikap yang
menjawab nilai-nilai yang kudus adalah "kepercayaan " dan tidak mau percaya " " takjub "
( Ehrfurcht) " penyembahan dan lain lain. Nilai-nilai lanjutan "yang kudus " adalah benda -
benda suci dan bentuk-bentuk ibadat yang terdapat dalam liturgi (kurt) dan sakramen -
sakramen.9
Diantara empat gugus nilai itu terdapat tatanan atau hierarki ada uyang lebih tinggi
ada yang lebih rendah. Nilai nilai yang enak adalah nilai nilai “yeng enak” dan “yang tidak
enak” . nilai nilai vitalberhakikat lebih tinggi karena menyangkut dinamika kehidupan
seutuhnya. Nilai nilai rohani lebih tinggi dari pada nilai nilai yang secara hakiki terikat pada
perasaan badani.

F. Etika
Secara etimologi etia berasal dari Bahasa Yunani. Yaitu dari kata ethikos atau ethos
yang berarti adat, kebiasaan dan praktis. Secara umum etika merupakan teori tentang tingkah
laku perbuatan manusia, dipandang dari nilai baik dan buruk, sejauh yang bisa ditentukan
oleh akal. Dalam terspektif para ahli, etika secara garis besar dapat di klalifikasik kedalam
tiga bidang studi, yaitu etika desksipsif, etika normative, dan metaetika.
A. Etika Deskriptif
Etika deskripsif menguraikan dan menjelaskan kesadaran dan pengalaman moral
secara deskriptif. Ini dilakukan dengan bertolak dari kenyataan bahwa ada berbagai
fenomena moral yang dapat digambarkan dan diuraikan secara ilmiah, seperti yang
dapat dilakukan terhadap fenomena spriritual lainnya. Misalnya relagi dan seni. Oleh
karena itu, etika deskriptif digolongkan kedalam bidang ilmu pengetahuan empiris
dan berhubungan erat dengan sosiologi. Dalam hubungannya dengan sosiologi, etika
deskriptif berupa menjalankan dan menjelaskan kesadaran, keyakinan dan
pengalaman moral dalam suatu kultur tertentu.

9
Zaprulkhan, S.Sos.I., M.S.I, Filsafat Ilmu: Sebuah Analisis Kontemporer, (Depok: PT RajaGrafindo Persada,
2016), hlm. 87

10
Etika deskriptif dapat dibagi dalam dua bagian: pertama, sejarah moral yang
meneliti cita-cita, aturan-aturan dan norma-norma yang pernah diperlakukan dalam
kehidupan manusia pada kurun waktu dan suatu tempat tertentu atau dalam
lingkungan besar yang mengcangkup beberapa bangsa. Kedua fenomenologi moral,
yang berupanya menemkan arti dan makna moralitas dari beberapa norma yang ada.

B. Etika Normatif
Etika Normatif berarti sisitem-sistem yang dimaksudkan untuk memberikan
petunjuk atau penuntun dalam mengambil keptusan yang mengangkut baik dan buruk,
benar dan salah. Etika normatif secara global dibagi kedalam dua teori besar, yaitu
etika teleologis dan etika deontologis. Pertama etika teleologis etika teleologis
memiliki pandangan bahwa sebuah tindakan dapat dinilai etis apabila dapat dilihat
dari konsekuensinya aatau akibatnya,
Dalam perspektif Milton D. Hunnex, bentuk terpenting dari teori etika releologis
adalah tindakan utilitariannisme (teori yang mengatakan bahwa suatu tindakan yang
patut adalah yang memaksimalkan penggunaan (utility), biasanya didefinisikan
sebagai memaksimalkan kebahagiaan dan mengurangi penderitaan.) berdasarkan
tindakan utilitarianisme seseorang harus mempertanyakan. “Apakah akibat yang
terjadi jika seseorang melakukan aturan ini, jika melakukan kebaikan dan
menghindari keburukan ?” Contoh: “sebagai sebuah aturan, selalu mengatakan yang
benar akan mengakibatkan hal yang terbaik, meskipun hal itu dilakukan pada
lingkungan yang tidak tepat.
Etika Deontologis. Etika deontologi mengukur baik tidaknya sesuatu perbuatan
hanya berdasarkan maksud si pelaku atau berdasarkan kewajiban semata. Prinsip
prinsip dasar etika deontologi antara lain:
 teori etika pada dasarnya berkaitan pada kewajban moral –yang benar—dari
pada hasil akhie atau akibat
 kewajiban moral terkait dengan tungas wajib, keharusan, kebenaran atau
kecocokan
 kewajiban moral menimbulkan sebuah keharusan dalam melakukan tindakan
yakni secara mutlak.
 Pertimbangan kewajiban moral menjadi lebih diprioritaskan dari pada
pertimbangan nilai moral konsep nilai moral (seperti baik) dapat dijelaskan

11
dalam arti kewajiban moral atau kecocokan rasional yang bersumer dari
padanya sendiri, tidak dapat dianalisis.

Sebagai etika intuisionalisme, etika deontologis menekankan objek kebenaran


atau kebaikan moral, objektivitas aksiologis, dan menekankan non-naturalistik dari
penentuan moral, yakni karakter yang tidak dapat di reduksi.

G. Metaetika
Menurut Jan Hendrik Rapar, metaetika merupakan suatu studi terhadap
disiplin etika. Metaetika baru muncul ketika abad ke-20, yang secara khusus
menyelidika dan menetapkan arti serta makna istilah istilah nornatif yang
diungkapkan lewat pernyataan-pernyataan etis yang membenarkan atau menyalahkan
suatu tindakan, istilah istilah nornatif yang sering mendapakan perhatian khusus,
antara lain, keharusan, baik, buruk, benar, salah, yang terpuji, yang tidak terpuji, yang
adil, yang semestinya, dan sebagainya.
Ada beberapa teori yang disodorkan oleh aliran-aliran yang cukup terkenal
dalam metaetika. Teori tersebut ialah teori naturalistis dari naturalisme, teori intuitif
dari intuisionisne, teori kognitivis dari kognitivisme, teori subjektif dari
subjektivisme, dan teori skeptis dari skeptisisme
Teori Naturalisme mengatakan bahwa istilah-istilah moral sesungguhnya
memanai hal-hal atau fakta-faktayang sulit dan rumit. Teori naturalisme juga
berpendapat bahwa pertimbangan-pertimbangan moral dapat dilakukan dalam
pengelidikan dan penelitian ilmiah.
Teori kognitivisme mengatakan bahwa pertimbangan-pertimbangan moral
tidak selalu benar, sewaktu-waktu bisa keluru. Itu berarti keputusan moral bisa benar
dan bisa salah. Selain itu teori kognitivis dapat bersifat naturalistis dan dapat juga
bersfat non-naturalistis
Teori intuitif berpendapat bahwa pengetahuan manusia tentang yang baik dan
yang salah diperolrh secara intuitif. Teori intuitif menolak kemungkinan untuk meberi
batasan-batasan non normatif terhadap istilah-istilah normatif etis. Bagi teori intuitif,
pengetahuan menusia tentang yang bak dan yang salah itu jelas dengan sendirinya
karena manusia dapat merasa dan mengetahui secara langsung apakah nilai hakiki
sesuatu hal itu baik atau buruk, atau benar tidaknya suatu tindakan

12
Teori subjektif menekankan bahwa pertimbangan-pertimbangan moral
sesungguhnya hanya dapat menggungkapkan fakta-fakta subjektif tentang sikap dan
tingkah laku manusia. Pertimbangan-pertimbangan moral itu tidak mungkin dapat
mengungkapkan fakta-fakta objektif. Karena itu, apabila seseorang itu mengetakan
bahwa sesuatu itu benar, sebenarnya iya mengatakan bahwa ia mengetujui bahwa
sesuatu itu benar, sebaliknya demikian.
Teori emotif menegaskan bahwa pertimbangan-pertimbangan moral tidak
mengungkapkan sesuatu apa pun yang dapat disebut salah atau benar kendati hanya
secara subjektif. Pertimbangan-pertimbangan moral tidak lebih dari suatu ungkapan
emosi semata-mata, dalam hal ini sama saja seperti rintihan seruan, umpatan, dan
sebagainya.
Teori imperatif berpendapat bahwa pertimbangan-pertimbangan moral
sesungguhnya bukanlah ungkapan dari sesuatu yang dapat di nilai salah atau benar.
Dengan demikian, tidak satuapun istilah moralyang dapat mebuat sesuatu yang boleh
disebut salah atau benar. Teori imperatif mengatakan bahwa istilah-istilah moral itu
sesungguhnya hanya merupakan istilah samaran dari keharusan-keharusan atau
perintah-perintah
Yang dapat digolongkan ke dalam skeptisisme ialah teori-teori yang
mengajarkan bahwa sesungguhnya tidak ada kebenaran moral. Yang mengatakan
moralitas tidak memiliki dasar rasional, yang mengemukakan bahwa prinsip-prinsip
moral tidak dapat dibuktikan kebenarannya, yang berpendapat bahwa salah benarnya
sesuatu hal itu hanya lah semata-mata soal adat, kebiasaan-kebiasaan, ataupun selera.
Atau yang mengatakan bahwa norna-norna etis tidak mutlak.

H. Estetika
Estetika adalah cabang ilmu filsafat yang mempersoalkan seni (art) dan keindahan
(beauty) istilah estetika berasal dari kata yunani, aishesis yakni beratri pencerapan indrawi,
pemahaman intelektual, atau bisa juga berarti pengalaman spiritual. Istilah art berasal dari
kata latin ars, yang berarti seni, keterampilan, ilmu atau kecakapan, sejak zaman yunani
purba, estetika filsafat sering disebut dengan berbagai mana, seperti filsafat seni, filsafat
keindahan, filsafat citarasa, dan filsafat kritisisme

13
Istilah estetika diperkenalkan oleh seorang filsuf jerman yang bernama Alexander
Gottleb Baumgerten lewat karyanya, yang diterjemahkan dalam bahasa inggris dengan judul
Reflection on Poetry. Baumgarten mengembangkan filsafat estetika yang di definisikan
sebagai ilmu pengetahuan tentang keindahan lewat karyanya yang berjudul Aesthetica
Acromatica.
Estetika dapat dibagi kedalan dua bagian yaitu estetika deskriptif dan estetika
normatif. Estetika deskriptif menguraikan dan melukiskan fenomena-fenomena pengalaman
keindahan. Estekika normatif mempersoalkan dan menyelidiki hakekat dasar, dan ukuran
pengalaman keindahan. Ada pula yang membagi estetika kedalam filsafat seni, dan filsafat
keindahan.

Sedangkan keindahan diekpresikan dengan beragam makna pula oleh para filsuf.
David Hume mengatakan bahwa keindahan bukanlah suatu kualitas objektif yang terletak
didalam objek-objek itu sendiri, melainkan berada didalam fikiran. Manusia tertarik kepada
suatu bentuk dan struktur tertentu lalu mengebutkannya indah. Hume mengatakan bahwa apa
yang dianggap indah oleh manusia sesungguhnya amat ditentukan oleh sifat alami manusia.
Immanuel Kant menganggap kesadaran estetis sebagai unsur yang penting dalam
pengalaman manusia pada umumnya, sama seperti Hume Kant juga berpendapat bahwa
keindahan itu merupakan penilaian estetis yang semata-mata subjektif, didalam karyanya
Kant mengatakan bahwa pertimbangan estetis, memberikan fokus yang amat dibutuhkan
untuk menjembatani segi-segi teori dan praktik dari sifat dasar manusia.
Charles J. Bushnell mengatakan keindahan sebagai kualitas yang mendatangkan
penghargaan mendalam tentang bergagai nilai atau ideal yang mendatangkan semangat.
Gorge Santayana menolak objektivitas keindahan. Menurut santayana, keindahan identik
dengan kesenangan yang dialami manusia ketika ia mengamati objek-objek tertentu.
Benedetto Croce, mengembangkan teori estetikanya lewat alam pikir filsafat
idealisme. Croce mengamakam seni dengan intuisi, dan menurut Croce intuisi adalah gambar
yang berada di alam pikiran. Dengan demikian seni itu berada di alam pikiran seniman.
Karya seniman dalam bentuk fisik sesungguhnya bukan seni, melainkan seata-mata alat bantu
untuk menolong penciptaan kembali seni yang berada didalam pikiran seniman.
Sementara Clive Bell memopulerkan gagasannya lengwat ungkapan bentuk yang
berarti dan perasaan estetis. Yang dimaksud dengan bentuk yang berarti ialah hal yang
membuat karya-karya seni itu benar-benar bernilai. Perasaan estetis hanya dapat dialami pada
saat orang sungguh-sungguh menyadari akan bentuk yang berarti.

14
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan.
Aksiologi merupakan salah satu bagian penting filsafat ilmu yang membahas
persoalan nilai, etika, estetika. Membahas mengenai kenapa sesuatu itu dinilai baik
atau buruk, dan dinilai indah atau tidak indah. Pembincangan aksiologi berhubungan
dengan nilai-nilai, etika dan estetika. Teori hal mengenai tiga hal: objektivitas nilai,
subjektivitas nilai, dan relatifitas nilai. Sedangkan etika secara garis besar
terklasifikasi dalam tiga ranah, yaitu: etika deskriptif, nornatif dan metaetika,
sementara estetika terbagi kedalam dua bagian besar, yaitu estetika deskriptif dan
estetika normatif, ketiga stuktur fundamental itulah yang menjadi ilmu pengetauan
bukan hanya bersifat teoretis sementara, melainkan juga memiliki implikasi praktis
secara fungsional dalam kehidupan umat manusia.

B. Saran
Semoga makalah ini bisa menjadi bahan acuan dan semangat untuk mengkaji
dan membuat makalah yang semakin baik. Pembahasan makalah ini mungkin
masih kurang sempurna. Oleh karena itu penulis masih membutuhkan saran dan
perbaikan dari para pembaca.

15
DAFTAR PUSTAKA

Rachmat Aceng, Filsafat Ilmu Lanjutan, Jakarta: Kencana, 2011

H.Komara Endang, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian, Bandung: PT Refika Aditama,
2011.

Zaprulkhan, Filsafat Ilmu: Sebuah Analisis Kontemporer, Depok: PT RajaGrafindo Persada,


2016.

Kattsoff louis, Pengantar Filsafat, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1992.

Aimira Hidayat, Filsafat Ilmu, Pamekasan: STAIN Pamekasan Press, 2006.

Mukhtar Latif, Orientasi Ke Arah Pemahaman Filsafat Ilmu, Jakarta: Kencana, 2014.

16

Anda mungkin juga menyukai