Anda di halaman 1dari 26

Referat Ilmu Kedokteran Kehakiman

MALPRAKTEK MEDIS

Pembimbing : dr. Sofwan Dahlan,DSF


Dosen Residen : dr. Intarniati N.

Penyaji
Christopher Warouw (Atma Jaya, 2006-61-086)
Herlina Wijaya (UKI, 0261050171)
Lucki (UKI, 0261050136)
Maria Mellyana (Atma Jaya, 2005-61-095)
Mungky Sukarnadi (Atma Jaya, 2006-61-083)
Sanni Juniar (Atma Jaya, 2006-61-084)
Tetty Kartini (UKI, 0261050041)
Yuliana Masakke (UKI, 0061050142)

Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Kedokteran Kehakiman


Rumah Sakit Umum Pusat dr. Kariadi
Semarang

1
Periode 27 November – 23 Desember 2006
Kata Pengantar

Puji dan syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
rahmat-Nya sehingga referat yang berjudul Malpraktek Medis ini dapat diselesaikan
dengan baik dan tepat pada waktunya.
Dengan rasa hormat kami juga mengucapkan terima kasih kepada dr. Sofwan
Dahlan, DSF selaku pembimbing atas pengarahan dan waktu yang telah diberikan dan
dr. Intarniati N. yang telah memberikan dukungan baik materiil maupun spirituil
sehingga referat ini dapat terselesaikan.
Adapun tujuan disusunnya referat ini ialah untuk memenuhi tugas kepaniteraan
di bagian ilmu kedokteran kehakiman dan menambah pengetahuan kami mengenai
masalah Malpraktek Medis serta hal-hal yang berhubungan, yang mungkin akan dihadapi
di masa yang akan datang.
Kami sadar bahwa banyak kekurangan dalam penulisan referat ini, oleh karena itu
kami mengharapkan saran dan kritik dari pembaca, untuk perbaikan di masa yang akan
datang. Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi mereka yang membutuhkan informasi
mengenai malpraktek medis. Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.

Hormat kami,

Penulis

2
DAFTAR ISI

I. PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
I.1 Latar Belakang ........................................................................................................ 2
I.2 Perumusan Masalah................................................................................................. 4
I.3 Tujuan...................................................................................................................... 4
I.4 Manfaat ................................................................................................................... 4

II.TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................................... 5
II.1 Definisi Malpraktek ............................................................................................... 5
II.2 Malpraktek di Bidang Hukum................................................................................ .6
II.3 Pembuktian Malpraktek Di Bidang Pelayanan Kesehatan .................................... 9
II.4 Tanggung Jawab Hukum ....................................................................................... 11
II.5.1 Pencegahan Terjadinya Malpraktek ................................................................... 12
II.5.2 Upaya Menghadapi Tuntutan Hukum................................................................. 14
II.6 Dasar Hukum ......................................................................................................... 15

III. KESIMPULAN .................................................................................................... 20

3
I. PENDAHULUAN

Sejak permulaan sejarah manusia dikenal hubungan kepercayaan antara dua insan,
yaitu sang pengobat dan penderita. Dalam zaman modern disebut juga hubungan
kesepakatan terapeutik antara dokter dan pasien yang dilakukan dalam suasana percaya
mempercayai serta senantiasa diliputi emosi, harapan, dan kekhawatiran makhluk insani.
Sejak terwujudnya sejarah kedokteran, seluruh manusia mengakui dan
mengetahui adanya beberapa sifat mendasar yang melekat secara mutlak pada diri
seorang dokter yang baik dan bijaksana, yaitu sifat Ketuhanan, kemurnian niat,
keluhuran budi, kerendahan hati, kesungguhan kerja, integritas ilmiah dan sosial serta
kesejawatan yang tidak diragukan.
Imhotep dari Mesir, Hippocrates dari Yunani, Galinus dari Roma yang merupakan
ahli pelopor kedokteran kuno yang meletakkan sendi-sendi permulaan untuk terbina suatu
tradisi kedokteran yang mulia. Semua tokoh dan organisasi kedokteran yang tampil ke
forum internasional bermaksud mendasarkan tradisi dan disiplin kedokteran pada suatu
etik profesional.
Menurut Bernard Barber, profesi mengandung esensi membutuhkan ilmu
pengetahuan yang tinggi yang hanya dapat dipelajari secara sistematik, orientasi
primernya lebih ditujukan untuk kepentingan masyarakat, memiliki mekanisme kontrol
terhadap perilaku pemegang profesi, dan memiliki sistem reward.
Profesi dokter selama ini merupakan profesi yang sarat dengan aturan etika,
dasar-dasar keprofesian yang tinggi dan perlu diagungkan sesuai dengan perkembangan
ilmu, dunia kesehatan berkembang dengan cepat. Masyarakat yang semula menjadi
sasaran pelayanan kesehatan sekarang sudah mempunyai kecakapan untuk menyikapi
pelayanan kesehatan mana yang terbaik untuknya.
Konsekuensi dari kemajuan ini, hubungan antara dokter dan pasien sudah berubah
bentuk menjadi hubungan kontraktual. Keterbukaan penjelasan sebelum tindakan
pengobatan dilakukan ketetapan dan aturan hak dan kewajiban pasien serta hak

4
kewajiban dokter merupakan dasar untuk keberhasilan dalam hubungan dokter dan
pasien.
Guna mendapatkan hasil yang maksimal dalam pelayanan kesehatan, maka tertib
hukum dalam bidang kedokteran kini menjadi lebih jelas dengan dilahirkannya Undang-
undang RI No.29/2004 beserta peraturan-peraturan pendukungnya, sehingga kita perlu
menjalankan pelayanan kesehatan yang lebih profesional dan lebih meningkatkan
kesadaran etika dan kesadaran hukum agar kita terhindar dari kasus dugaan malpraktek.

I.1 Latar Belakang

Dalam beberapa tahun belakangan ini yang dirasakan mencemaskan dalam dunia
kedokteran dan perumahsakitan di Indonesia adalah meningkatkan tuntutan dan gugatan
malpraktek dengan jumlah ganti rugi yang semakin hari semakin spektakuler, terutama
sejak diberlakukannya Undang-undang No.8 Th.1999 tentang perlindungan konsumen.
Situasi dunia kedokteran dan perumahsakitan sekarang ini amat mirip dengan krisis
malpraktek yang pernah melanda Amerika Serikat sekitar 40 tahun yang lalu, utamanya
semenjak rumah sakit tidak dianggap kebal terhadap gugatan. Sebelumnya, rumah sakit
dianggap sebagai lembaga sosial kebal hukum berdasarkan doctrine of charitable
immunity, sebab pertimbangannya, menghukum lembaga itu membayar ganti rugi sama
artinya dengan mengurangi asetnya, yang pada gilirannya akan mengurangi
kemampuannya menolong masyarakat banyak. Banyak rumah sakit mulai melupakan
fungsi sosialnya serta dikelola bagaimana layaknya sebuah industri dengan manajemen
modern, lengkap dengan manajemen resiko. Dan dengan manajemen resiko tersebut
maka sudah seharusnya apabila dokter dan rumah sakit mulai menempatkan gugatan
ganti rugi sebagai salah satu bentuk resikonya serta memperhitungkannya untuk dipikul
sendiri resiko itu atau dialihkan kepada perusahaan asuransi melalui program asuransi
malpraktek.
Yang paling penting bagi setiap dokter, pengelola dan pemilik rumah sakit adalah
memahami lebih dahulu bahwa sebelum gugatan malpraktek dapat dibuktikan maka
setiap sengketa yang muncul antara health care receiver dan health care provider baru
boleh disebut sebagai konflik atau sengketa akibat adanya ketidaksesuaian logika atas

5
sesuatu masalah, utamanya atas terjadinya adverse event. Konflik dapat diartikan sebagai
bentuk sublimasi dari logika-logika yang tidak sejalan, berseberangan atau saling
bertentangan. Maka berbagai konflik yang melanda dunia kedokteran dan
perumahsakitan sekarang ini tidak harus dipandang sebagai hal yang luar biasa sehingga
tidak perlu disikapi secara berlebihan. Perlu diketahui bahwa konflik atau sengketa medis
hanya akan terjadi kalau ada predisposing factor, berupa adverse events (yang pada
hakekatnya merupakan kesenjangan antara harapan pasien ketika memilih rumah sakit
dengan kenyataan yang diperolehnya menyusul dilakukannya upaya medis). Sedangkan
trigger factor-nya antara lain karena adanya perbedaan persepsi, komunikasi ambigius
atau gaya individual yang bisa datang dari pihak dokter atau dari pihak pasien sendiri.
Mengenai perbedaan persepsi, biasanya disebabkan ketidakmampuan pihak pasien untuk
memahami bahwa upaya medis merupakan upaya yang penuh uncertainty dan hasilnya
pun tidak dapat diperhitungkan secara matematis karena sangat dipengaruhi oleh faktor-
faktor lain diluar kekuasaan dan kontrol dokter untuk mengendalikannya. Pemahaman
yang kurang memadai tentang hakekat upaya medis masih dipengaruhi oleh minimnya
pemahaman masyarakat mengenai hukum.
Dokter atau rumah sakit tidak dibebani kewajiban untuk mewujudkan hasil berupa
kesembuhan, melainkan hanya dibebani kewajiban melakukan upaya yang benar dan
sesuai standar, yaitu suatu tingkat kualitas layanan medis yang menggambarkan telah
diterapkannya ilmu, ketrampilan, pertimbangan dan perhatian yang layak sebagaimana
yang dilakukan oleh dokter pada umumnya dalam menghadapi situasi dan kondisi yang
sama pula.
Beberapa hal yang mungkin dapat meningkatkan tuntutan malpraktek, dapat kita
bagi dari sudut pasien dan dokter.

1. Dari sudut pasien dapat disebabkan karena :


a. krisis multidimensi menyebabkan masyarakat menjadi stres dan menjadi mudah
menuntut

b. berkembangnya kesadaran HAM

6
c. kesalahpahaman bahwa kematian selalu karena malpraktek, padahal dapat
disebabkan karena proses penyakitnya sendiri, resiko tindakan dan

d. pemberitaan media cenderung negatif menimbulkan sikap menyerang terhadap


dokter maupun rumah sakit

2. Dari sudut dokter dapat disebabkan karena :

a. nilai masyarakat yang saat ini bersifat individualis dan materialistik dapat
mempengaruhi dokter dengan akibat honor yang tinggi

b. penggunaan teknologi dan obat yang tinggi sehingga menimbulkan biaya


pengobatan menjadi mahal

c. masyarakat semakin maju dan menuntut informasi yang lebih banyak sementara
kemampuan komunikasi dokter kurang karena tidak dibekali waktu
pendidikannya di Fakultas Kedokteran

d. perubahan sikap dokter dari low tech – high touch menjadi high tech – low touch,
yang idealnya adalah high tech – high touch, dan

e. belum mantapnya prinsip etika sebagai landasan praktek dokter dan pelayanan
pasien rumah sakit.

I.2 Perumusan Masalah

1. pengertian malpraktek
2. malpraktek di bidang hukum
3. pembuktian malpraktek
4. tanggung jawab hukum
5. upaya pencegahan malpraktek dan mengetahui cara menghadapi tuntutan hukum.
6. dasar hukum

I.3 Tujuan

7
Memenuhi tugas kepaniteraan klinik bagian forensik dan medikolegal

I.4 Manfaat

Memahami tentang malpraktek dan dapat mencegah terjadi malpraktek dalam bidang
pelayanan kesehatan oleh tenaga dokteran.

II. TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi Malpraktek

Malpraktek, merupakan istilah yang sifatnya sangat umum dan tidak selalu harus
berkonotasi yuridis. Malpraktek berasal dari kata “mal” yang berarti salah dan “praktek”
yang berarti pelaksanaan atau tindakan, sehingga arti harafiahnya adalah “pelaksanaan
atau tindakan yang salah”. Meskipun arti harafiahnya demikian, tetapi lazimnya istilah
tersebut hanya digunakan untuk menyatakan adanya tindakan yang salah dalam rangka
pelaksanaan suatu profesi (professional misconduct).
Malpraktek medik, menurut Prof. M. Jusuf Hanafiah, SpOG(K), adalah kelalaian
seorang dokter untuk mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan yang
lazim dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang yang terluka menurut ukuran di
lingkungan yang sama. Yang dimaksud dengan kelalaian disini ialah sikap kurang hati-
hati, yaitu tidak melakukan apa yang seseorang dengan sikap hati-hati melakukannya
dengan wajar, atau sebaliknya melakukan apa yang seseorang dengan sikap hati-hati
tidak akan melakukannya dalam situasi tersebut. Kelalaian diartikan pula dengan
melakukan tindakan kedokteran dibawah standar pelayanan medik.
Menurut Marwoto (BP2A IDI Wilayah Jawa Tengah) malpraktek berdasarkan
Kamus Umum Bahasa Inggris-Indonesia : perbuatan jahat, perbuatan keliru, pemeriksaan
keliru. Sedangkan berdasarkan Ensiklopedia Etika Medis, malpraktek adalah praktik

8
buruk yaitu tindakan yang dilakukan tanpa didukung keahlian medis,dilakukan secara
salah,merugikan atau dijalankan tanpa mendapat wewenang. Yang tergolong dalam
tindakan ini yaitu perbuatan yang tanpa sengaja telah merugikan orang sehingga berhak
untuk menerima kompensasi dan ganti rugi.
Dari batasan rumusan John D. Blum et al bahwa yang dimaksudkan dengan
”medical malpractice” adalah suatu bentuk ”professional negligence” yang oleh pasien
dapat dimintakan ganti rugi apabila luka atau cacat yang diakibatkan langsung oleh
dokter yang melaksanakan profesi itu dapat diukur.

Mengingat di setiap profesi berlaku norma etika dan hukum maka kesalahan
praktek juga dapat diukur atau dilihat dari sudut pandang kedua norma tadi. Kesalahan
dari sudut pandang etika disebut ethical malpractice dan dari sudut pandang hukum
disebut yuridical malpractice. Tidak setiap ethical malpractice merupakan yuridical
malpractice, tetapi semua bentuk yuridical malpractice sudah pasti merupakan ethical
malpractice.

II.2 Malpraktek di Bidang Hukum

Untuk malpraktek hukum atau yuridical malpractice masih dibagi lagi menjadi
tiga kategori sesuai bidang hukum yang dilanggar; yaitu criminal malpractice
(malpraktek pidana), civil malpractice (malpraktek perdata) dan administrative
malpractice.

Criminal Malpractice

Suatu perbuatan dapat dikategorikan criminal malpractice apabila memenuhi


rumusan delik pidana, yaitu :
 Pertama, perbuatan tersebut (baik positive act ataupun negative act) harus merupakan
perbuatan tercela (actus reus).
 Kedua, dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens rea); yaitu berupa kesengajaan
(intentional), kecerobohan (recklessness) atau kealpaan (negligence).

9
Disebut positive act (commission) manakala seseorang melakukan perbuatan nyata
yang bersifat tercela dan disebut negative act (omission) apabila seseorang secara tercela
tidak atau gagal melakukan tindakan yang mestinya dilakukan. Apabila positive act dan
negative act tersebut dilakukan dengan dilandasi oleh sikap batin yang salah dengan
maksud agar akibat buruk (personal injury atau wrongful death) terjadi maka sikap batin
yang salah tersebut termasuk intentional dan apabila sikap batin yang salah itu karena
kurang menduga-duga akan timbulnya akibat buruk (personal injury atau wrongful death)
sehingga tidak melakukan antisipasi memadai guna mencegah timbulnya akibat buruk
yang semestinya bisa dicegah (preventable adverse event) maka sikap batin tersebut
termasuk negligence.
Untuk sikap batin yang bersifat alpa atau kurang hati-hati (negligence) maka dokter tidak
dipidana, melainkan hanya dapat digugat membayar ganti rugi.

Contoh dari criminal malpractice yang sifatnya intentional antara lain:


 Melakukan aborsi tanpa indikasi medik (pasal 299 KUHP)
 Melakukan euthanasia (pasal 344 KUHP)
 Membocorkan rahasia kedokteran (pasal 332 KUHP)
 Tidak melakukan pertolongan terhadap seseorang yang sedang dalam keadaan
emergency meskipun tahu bahwa tidak ada dokter lain yang akan menolongnya
(negative act)
 Menerbitkan surat keterangan dokter yang tidak benar (pasal 263 KUHP)
 Membuat visum et repertum yang tidak benar
 Memberikan keterangan yang tidak benar di sidang pengadilan dalam
kapasitasnya sebagai ahli

Contoh dari criminal malpractice yang bersifat recklessness antara lain:


 Melakukan tindakan medik yang tidak lege artis
 Melakukan tindakan medik tanpa informed consent

Contoh dari criminal malpractice yang bersifat negligence antara lain:

10
 Alpa atau kurang hati-hati sehingga meninggalkan gunting dalam perut pasien
 Alpa atau kurang hati-hati sehingga pasien menderita luka-luka (termasuk cacat)
atau meninggal dunia
Pada criminal malpractice, tanggung jawabnya selalu bersifat individual (bukan
korporasi) dan personal (hanya pada yang melakukan). Oleh sebab itu tidak dapat
dialihkan kepada orang lain atau kepada rumah sakit.

11
Civil Malpractice
Disebut civil malpractice jika dokter tidak melaksanakan kewajibannya (ingkar janji),
yaitu tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati.
Tindakan dokter yang yang dapat dikategorikan civil malpractice antara lain:
 Tidak melakukan (negative act) apa yang menurut kesepakatannya wajib
dilakukan
 Melakukan (positive act) apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tapi
terlambat
 Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tapi tidak
sempurna
 Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak harus dilakukan
Pada civil malpractice, tanggung gugat (liability) dapat bersifat individual atau
korporasi. Selain itu dapat pula dialihkan kepada pihak lain berdasarkan principle of
vicarious liability. Dengan prinsip ini maka rumah sakit dapat bertanggung jawabt atas
kesalahan yang dilakukan oleh dokter-dokternya, asalkan dapat dibuktikan bahwa
tindakan dokter itu dalam rangka melaksanakan kewajiban rumah sakit.

Adiminstrative Malpractice
Dikatakan administrative malpractice jika dokter melanggar hukum tata-usaha
negara.
Contoh tindakan yang dapat dikategorikan administrative malpractice antara lain:
 Menjalankan praktek kedokteran tanpa lisensi atau izin
 Melakukan tindakan medik yang tidak sesuai izin atau lisensi yang dimiliki
 Melakukan praktek kedokteran dengan menggunakan lisensi atau izin yang sudah
kadaluarsa
 Tidak membuat rekam medik
Menurut peraturan yang berlaku, seseorang yang telah lulus dan diwisuda sebagai
dokter tidak secara otomatis boleh melakukan pekerjaan dokter. Ia harus lebih dahulu
mengurus lisensi agar supaya memperoleh kewenangan untuk itu. Perlu dipahami bahwa
tiap jenis-jenis lisensi memerlukan basis science dan mempunyai batas kewenangan

12
sendiri-sendiri. Tidak dibenarkan melakukan tindakan medik melampaui batas
kewenangan yang telah ditentukan.

II.3 Pembuktian Malpraktek Di Bidang Pelayanan Kesehatan

Mengingat kesalahan dokter merupakan kesalahan profesi, maka tidaklah mudah


bagi siapa saja (termasuk penegak hukum) yang tidak memahami profesi ini untuk
membuktikannya di pengadilan. Meskipun demikian tidak berarti kesalahan dokter tidak
mungkin dapat dibuktikan.
Pada criminal malpractice pembuktiannya didasarkan atas dipenuhi tidaknya
unsur pidananya, sehingga karenanya tergantung dari jenis criminal malpractice yang
dituduhkan. Dalam hal dokter dituduh melakukan kealpaan sehingga pasien yang
ditangani meninggal dunia, menderita luka berat atau luka sedang maka yang harus
dibuktikan adalah adanya unsur perbuatan tercela (salah) yang dilakukan dengan sikap
batin berupa alpa atau kurang hati-hati (kurang praduga).
Perlu dipahami bahwa tidak setiap hasil pengobatan yang tidak sesuai dengan
harapan pasien merupakan bukti adanya criminal malpractice mengingat kejadian
semacam itu juga dapat merupakan bagian dari risiko tindakan medik. Kesalahan
diagnosis juga tidak boleh secara otomatis dijadikan ukuran adanya criminal malpractice
sebab banyak faktor yang mempengaruhi ketepatan diagnosis, yang kadang-kadang
sebagian faktor tersebut berada di luar kontrol (kekuasaan) dokter.
Pada civil malpractice pembuktiannya dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu
langsung atau tak langsung.

1. Cara langsung

Oleh Taylor membuktikan adanya kelalaian memakai tolok ukur adanya 4 D


yakni :
a. Duty (kewajiban)
Dalam hubungan perjanjian tenaga dokteran dengan pasien, tenaga dokteran haruslah
bertindak berdasarkan :

13
1) Adanya indikasi medis
2) Bertindak secara hati-hati dan teliti
3) Bekerja sesuai standar profesi
4) Sudah ada informed consent.
b. Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban)
Jika seorang tenaga dokteran melakukan asuhan kedokteran menyimpang dari apa yang
seharusnya atau tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standar
profesinya, maka tenaga dokteran tersebut dapat dipersalahkan.
c. Direct Causation (penyebab langsung)
d. Damage (kerugian)
Tenaga dokteran untuk dapat dipersalahkan haruslah ada hubungan kausal (langsung)
antara penyebab (causal) dan kerugian (damage) yang diderita oleh karenanya dan tidak
ada peristiwa atau tindakan sela diantaranya., dan hal ini haruslah dibuktikan dengan
jelas. Hasil (outcome) negatif tidak dapat sebagai dasar menyalahkan tenaga dokteran.
Sebagai adagium dalam ilmu pengetahuan hukum, maka pembuktiannya adanya
kesalahan dibebankan/harus diberikan oleh si penggugat (pasien).
Menelantarkan kewajiban terbukti jika dokter melakukan tindakan medik yang
kualitasnya dibawah standar; yaitu suatu tindakan yang mutunya tidak menggambarkan
telah diterapkannya ilmu, ketrampilan, perhatian dan pertimbangan yang layak
sebagaimana dilakukan oleh kebanyakan dokter dengan keahlian yang sama ketika
menghadapi situasi dan kondisi yang sama pula. Untuk membuktikan ini diperlukan
kesaksian ahli dari dokter yang sama keahliannya dengan dokter yang sedang diadili.
Rusaknya kesehatan terbukti jika pasien meninggal dunia, cacat, lumpuh,
mengalami luka berat atau luka sedang. Jika pasien meninggal dunia perlu dilakukan
otopsi dan bila masih hidup perlu dilakukan pemeriksaan oleh dokter lain yang akan
bertindak sebagai saksi ahli.

2.Cara Tak Langsung

Cara ini adalah cara yang paling mudah yaitu dengan mencari fakta-fakta yang
berdasarkan doktrin Res Ipsa Loquitur (the thing speaks for itself) dapat membuktikan

14
adanya kesalahan di pihak dokter. Namun tidak semua kelalaian dokter meninggalkan
fakta semacam itu. Perlu diketahui bahwa doktrin Res Ipsa Loquitur hanya dapat
diterapkan jika fakta yang ditemukan memenuhi kriteria seperti tersebut dibawah ini
yaitu:
- Fakta tidak mungkin terjadi jika dokter tidak lalai
- Fakta yang terjadi memang berada dibawah tanggung jawab dokter
- Pasien tidak ikut menyumbang timbulnya fakta itu atau dengan kata lain tidak ada
contributory negligence.
Jika misalnya ada gunting atau tang tertinggal dalam perut pasien yang menjalani
operasi, maka gunting atau tang itu berdasarkan doktrin Res Ipsa Loquitur, dapat
dijadikan fakta yang secara tidak langsung dapat membuktikan kesalahan dokter,
mengingat:
- Gunting atau tang itu tak mungkin tertinggal kalau tidak ada kelalaian
- Gunting atau tang yang tertinggal itu berada di bawah tanggung jawab dokter
- Pasien dalam keadaan terbius sehingga tidak mungkin dapat memberi andil terhadap
tertinggalnya alat-alat tersebut

II.4 Tanggung Jawab Hukum

1. Contractual liability
2. Vicarius liability
3. Liability in tort

Seperti dikemukakan di depan bahwa tidak setiap upaya kesehatan selalu dapat
memberikan kepuasan kepada pasien baik berupa kecacatan atau bahkan kematian.
Malapetaka seperti ini tidak mungkin dapat dihindari sama sekali. Yang perlu dikaji
apakah malapetaka tersebut merupakan akibat kesalahan dokter atau merupakan resiko
tindakan dan selanjutnya siapa yang harus bertanggung gugat atas kerugian tersebut. Di
dalam transaksi teraputik ada beberapa macam tanggung gugat, antara lain:

15
1. Contractual liability
Tanggung gugat ini timbul sebagai akibat tidak dipenuhinya kewajiban dari
hubungan kontraktual yang sudah disepakati. Di lapangan pengobatan, kewajiban yang
harus dilaksanakan adalah daya upaya maksimal, bukan keberhasilan, karena health care
provider baik tenaga kesehatan maupun rumah sakit hanya bertanggung jawab atas
pelayanan kesehatan yang tidak sesuai standar profesi/standar pelayanan.

2. Vicarius liability
Vicarius liability atau respondeat superior ialah tanggung gugat yang timbul atas
kesalahan yang dibuat oleh tenaga kesehatan yang ada dalam tanggung jawabnya (sub
ordinate), misalnya rumah sakit akan bertanggung gugat atas kerugian pasien yang
diakibatkan kelalaian dokter sebagai karyawannya.

3. Liability in tort
Liability in tort adalah tanggung gugat atas perbuatan melawan hukum
(onrechtmatige daad). Perbuatan melawan hukum tidak terbatas hanya perbuatan yang
melawan hukum, kewajiban hukum baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang
lain, akan tetapi termasuk juga yang berlawanan dengan kesusilaan atau berlawanan
dengan ketelitian yang patut dilakukan dalam pergaulan hidup terhadap orang lain atau
benda.(Hogeraad 31 Januari 1919).

II.5.1 PENCEGAHAN TERJADINYA MALPRAKTEK

Sejak meningkatnya tuntutan hukum yang diajukan oleh pihak pasien maka
banyak dokter yang kemudian didalam prakteknya melakukan upaya untuk
menghindarinya. Upaya semacam itu sering disebut defensive medicine, yang didasarkan
pada asumsi (dari pihak dokter) sebagai berikut:
1. Diagnosis yang akurat akan menurunkan tuntutan hukum
2.Tes dan prosedur medik akan meningkatkan probabilitas kebenaran diagnosis
3. Penggunaan teknologi maju merupakan cerminan pelayanan medik yang lebih baik
(Harris 1987)

16
Dikenal dua macam defensive medicine, yaitu defensive medicine type I atau
sering disebut positive defensive medicine dan defensive medicine type II atau sering
disebut negative defensive medicine.
Yang disebut defensive medicine type I ialah apabila dokter melakukan semua tes
atau semua prosedur medik, termasuk tes dan prosedur medik yang sebetulnya tidak
esensial dan tidak penting untuk menghindari tuntutan kalau-kalau layanan dokter
memberikan hasil yang buruk. Sudah tentu tindakan medik seperti itu (overtreatment)
akan mengakibatkan biaya pengobatan menjadi lebih tinggi, sehingga pasien juga
mengharapkan hasil yang memadai. Oleh sebab itu ketidakpuasan sedikit saja akan dapat
mendorong pasien menempuh jalur hukum untuk menuntut keadilan.
Sedangkan yang disebut defensive medicine type II adalah tindakan menghindari
tes-tes atau prosedur-prosedur medik yang menguntungkan karena takut timbulnya
komplikasi dari tindakan tersebut. Tindakan dokter seperti ini memang tidak
meningkatkan biaya pengobatan menjadi lebih tinggi, tetapi masalahnya mungkin
berkaitan erat dengan kualitas pengobatan yang dapat menjurus ke arah undertreatment.
Selain defensive medicine, upaya lain yang dapat dilakukan untuk mencegah
terjadinya kasus malpraktek adalah :
1. Tidak memberikan garansi kesembuhan karena hal itu dapat diartikan bahwa
dokter telah memilih bentuk perikatan resultaat verbintenis, bukan inspanning
verbitenis
2. Hati-hati menangani kasus yang berpotensi menimbulkan medicolegal trouble
3. Tidak menggunakan metode pengobatan atau obat-obatan yang sudah ketinggalan
zaman
4. Tidak menggunakan metode pengobatan atau obat-obatan yang masih bersifat
eksperimental, kecuali pasien diberitahu sebelumnya
5. Semua prosedur medik hendaknya dilakukan dengan informed consent
6. Rekam medik harus dibuat lengkap dan akurat
7. Bila terjadi keragu-raguan, segera berkonsultasi dengan dokter yang lebih ahli
8. Perlakukan pasien secara manusiawi dengan memperhatikan segala kebutuhannya
9. Jalin komunikasi yang baik dengan pasien maupun masyarakat sekitarnya
10. Usahakan kesediaan pasien untuk menerima pasien dengan informed consent.

17
11. Apabila terbukti pasien ikut salah karena melanggar nasehat dokter maka harus
tercatat dalam CM atau membuat berita acara dengan paksa.
12. usahakan pernyataan tertulis dari pasien untuk membebaskan doker dari
kesalahan atau kelalaian.
13. Bersepakat untuk penyelesaian bersama.
14. Peraturan pembatasan untuk jangka waktu menuntut.
15. Kompensasi ketanagakerjaan. Contoh : dokter dan pasien bekerja pada lembaga
atau badan usaha yang sama maka pasien tidak dapat menuntut ganti rugi atas
malpraktek.
16. Jika sudah mengatakan kesediaannya untuk menanggung resiko tidak dapat
menuntut apabila resiko tersebut benar terjadi, contoh: donor hidup pada
pencangkokan ginjal,dan transplantasi jantung.

II.5.2 UPAYA MENGHADAPI TUNTUTAN HUKUM

Jika dokter dilaporkan karena diduga telah melakukan criminal malpractice maka
yang dapat dilakukannya adalah sebagai berikut :
a. Informal defence, dengan mengajukan bukti untuk menangkis/ menyangkal bahwa
tuduhan yang diajukan tidak berdasar atau tidak menunjuk pada doktrin-doktrin yang ada,
misalnya dokter mengajukan bukti bahwa yang terjadi bukan disengaja, akan tetapi
merupakan risiko medik (risk of treatment), atau mengajukan alasan bahwa dirinya tidak
mempunyai sikap batin (mens rea) sebagaimana disyaratkan dalam perumusan delik yang
dituduhkan.
b. Formal/legal defence, yakni melakukan pembelaan dengan mengajukan atau menunjuk
pada doktrin-doktrin hukum, yakni dengan menyangkal tuntutan dengan cara menolak
unsur-unsur pertanggungjawaban atau melakukan pembelaan untuk membebaskan diri
dari pertanggungjawaban, dengan mengajukan bukti bahwa yang dilakukan adalah
pengaruh daya paksa. Berbicara mengenai pembelaan, ada baiknya dokter menggunakan
jasa penasehat hukum, sehingga yang sifatnya teknis pembelaan diserahkan kepadanya.
Pada perkara perdata dalam tuduhan civil malpractice dimana dokter digugat
membayar ganti rugi sejumlah uang, yang dilakukan adalah mementahkan dalil-dalil

18
penggugat, karena dalam peradilan perdata, pihak yang mendalilkan harus membuktikan
di pengadilan, dengan perkataan lain pasien atau pengacaranya harus membuktikan dalil
sebagai dasar gugatan bahwa tergugat (dokter) bertanggung jawab atas derita (damage)
yang dialami penggugat. Untuk membuktikan adanya civil malpractice tidaklah mudah,
utamanya tidak ditemukannya fakta yang dapat berbicara sendiri (res ipsa loquitur),
apalagi untuk membuktikan adanya tindakan menterlantarkan kewajiban (dereliction of
duty) dan adanya hubungan langsung antara menterlantarkan kewajiban dengan adanya
rusaknya kesehatan (damage), sedangkan yang harus membuktikan adalah orang-orang
awam dibidang kesehatan dan hal inilah yang menguntungkan tenaga dokteran.

II.6 DASAR HUKUM

Dalam pengajuan malpraktek medis dibagi berdasarkan :


1. Malpraktek di bidang etik, diajukan ke KODEKI
2. Malpraktek di bidang hukum , dibagi menjadi 3 :
a. Criminal malpractice, ditindak berdasarkan hukum pidana (KUHP)
b. Civil malpractice, ditindak berdasarkan hukum perdata
c. Administrative malpractice, ditindak berdasarkan pengadilan tata usaha negara
(PTUN)
Undang-undang yang terkait mengenai malpraktek adalah undang-undang no. 29
tahun 2004 mengenai praktek kedokteran, diantaranya :

19
BAB X
KETENTUAN PIDANA

Pasal 75

(1) setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran
tanpa memiliki surat tanda registrasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 29 ayat
(1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling
banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(2) Setiap dokter atau dokter gigi warga negara asing yang dengan sengaja
melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi sementara
sebagaimana dimaksud dalam pasal 31 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus
juta rupiah).
(3) Setiap dokter atau dokter gigi warga negara asing yang dengan sengaja
melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi bersyarat
sebagaimana dimaksud dalam pasal 32 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus
juta rupiah).

Pasal 76

Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa
memiliki surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam pasal 36 dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00
(seratus juta rupiah).

Di samping dokter atau dokter gigi berhak mendapatkan perlindungan hukum


sesuai dengan pasal 50 yang berbunyi :

20
“Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai hak :
a. Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan
standar profesi dan standar prosedur operasional,
b. Memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur
operasional.
c. Memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya.
d. Menerima imbalan jasa.”

Dalam hal pengaduan pidana mengenai malpraktek berdasarkan KUHP, biasanya


diajukan oleh pihak keluarga atau pasien sendiri dengan tuduhan :
 Kelalaian menyebabkan kematian (pasal 359),
 Kelalaian menyebabkan luka berat (pasal 369),
 Membiarkan orang yang perlu pertolongan (pasal 304),
 Aborsi (pasal 349),
 Euthanasia (pasal 3440),
 Penyerangan seksual (pasal 284),
 Keterangan palsu (pasal 267) dan
 Membocorkan rahasia kedokteran (pasal 322).

CONTOH KASUS
KASUS 1

Di ruang UGD datang seorang pasien yang habis bermain perahu selancar dengan
keluhan telinganya terdengar bunyi gemuruh. Setelah diperiksa oleh seorang dokter
residen, dokter tersebut memberi instruksi kepada seorang siswa dokter untuk
memberikan tetes telinga kepada pasien. Dokter bermaksud memberikan obat tetes
telinga glycerine dan acid carbol, tetapi tidak mencatatnya pada kartu pasien.
Pasien komplain karena setelah mendapat obat tetes telinga (yang meneteskannya teman
si pasien) ternyata obat tersebut mengakibatkan kerusakan sebagian kendang telinga dan
pendengarannya rusak secara permanen.

21
Pada saat mengajukan bukti-bukti dokter menyatakan bahwa ia telah
memerintahkan untuk diberikan guttae pro auribus acid carbol atau glyserine dan acid
carbol drops. Si murid dokter yang baru berpengalaman 18 bulan di rumah sakit tersebut
mendengarnya dokter mengatakan memberikan instruksi “acid carbol”.

Hakim perpendapat bahwa dokter telah lalai dalam memberikan instruksi kepada
seorang murid dokter yang tidak kompeten untuk melakukan serta disalahkan cara
instruksinya (tidak di tulis dalam kartu pasien).
Lebih lanjut Hakim mengatakan bahwa dalam memberikan instruksi kepada
seorang murid dokter, maka dokter harus menjaga agar instruksinya itu dimengerti
sepenuhnya. Dokter itu seharusnya sebelum memberikan instruksi harus yakin benar dan
mengecek kembali bahwa murid dokter tersebut cukup kompeten untuk melakukannya
dan tahu apa yang dimaksudkan (Hanson v. The Board of Management of the Perth
Hospital and Another, 1938).

KASUS 2

LBH Kesehatan Serukan Perlunya Aturan Baku Soal Euthanasia

Jakarta, Minggu

Lembaga Bantuan Hukum Kesehatan (LBHK) menyerukan perlunya peraturan


baku mengenai euthanasia (suntik mati), karena hal tersebut tidak tertuang baik dalam
Undang Undang Kesehatan maupun Undang Undang Praktek Kedokteran. Selanjutnya,
dalam ketiadaan peraturan baku tersebut pemerintah seharusnya berusaha mencarikan
jalan keluar bagi pihak-pihak yang mempermasalahkan euthanasia.
"Kontroversi mengenai euthanasia masih akan terus berlangsung karena belum
ada aturan yang jelas mengenai hal itu," kata Ketua Pendiri LBHK, Iskandar Sitorus, di
Jakarta, Minggu (26/9).
Menurut Iskandar, Hasan Kesuma, suami Ny. Again, Agian Isna Nauli yang
sedang dalam keadaan koma di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta,

22
beberapa waktu yang lalu pernah mengajukan permintaan euthanasia bagi istrinya setelah
dirawat selama dua bulan lebih, dan belum ada tanda-tanda istrinya akan kembali normal.
Ny Agian menderita kerusakan permanen di otak besar kanan dan kiri, otak kecil
kanan dan kiri, batang saraf dan pusat saraf di otak setelah menjalani dokteran pasca
melahirkan. Diduga Ny Agian merupakan korban malpraktek yang dilakukan oleh dokter
di RS PMI Bogor. Demi kesembuhan istrinya, Hasan, yang seorang pedagang, hingga
saat ini telah menghabiskan lebih dari Rp 90 juta.
Sementara, Dr Broto Wasisto Mph., Ketua Majelis Kode Etik Kedokteran
(MKEK) menjelaskan, euthanasia yang menjadi pembicaraan banyak orang itu adalah
euthanasia aktif, yang artinya seseorang meminta pertolongan ahli medis untuk
mengakhiri hidup orang lain.
Ia mengatakan bahwa euthanasia aktif sulit sekali dilakukan di Indonesia
mengingat ada banyak perangkat hukum yang melarangnya. "Menurut etika kedokteran,
seorang ahli medis harus membantu seseorang yang sakit untuk mendapatkan
kehidupannya sekarang, sedangkan menurut UU kesehatan, seorang ahli medis
seharusnya memberi pelayanan kesehatan kepada masyarakat," ujarnya
Bahkan, kata Broto, euthanasia sendiri menurut KUHP masih dimasukkan ke
dalam tindakan bunuh diri yang dibantu (assisted suicide) dan bisa dianggap sebagai
suatu tindakan pidana.
Saat ini baru Belanda dan beberapa negara bagian di Amerika Serikat (AS) yang
telah memiliki hukum tertulis tentang euthanasia, namun Indonesia hal ini dinilainya
masih sulit diberlakukan di Indonesia. Masyarakat Indonesia menurut Broto masih
menganggapnya sebagai isu yang kontroversial. (ant/glo)

23
III. KESIMPULAN

Malpraktek, merupakan istilah yang sifatnya sangat umum. Malpraktek medik


adalah kelalaian seorang dokter untuk mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu
pengetahuan yang lazim dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang yang terluka
menurut ukuran di lingkungan yang sama. Yang dimaksud dengan kelalaian disini ialah
sikap kurang hati-hati, yaitu tidak melakukan apa yang seseorang dengan sikap hati-hati
melakukannya dengan wajar, atau sebaliknya melakukan apa yang seseorang dengan
sikap hati-hati tidak akan melakukannya dalam situasi tersebut. Kelalaian diartikan pula
dengan melakukan tindakan kedokteran dibawah standar pelayanan medik.
Mengingat di setiap profesi berlaku norma etika dan hukum maka kesalahan
praktek juga dapat diukur atau dilihat dari sudut pandang kedua norma tadi. Kesalahan
dari sudut pandang etika disebut ethical malpractice dan dari sudut pandang hukum
disebut yuridical malpractice. Tidak setiap ethical malpractice merupakan yuridical
malpractice, tetapi semua bentuk yuridical malpractice sudah pasti merupakan ethical
malpractice.
Criminal malpractice apabila memenuhi rumusan delik pidana, yaitu :
 Pertama, perbuatan tersebut (baik positive act ataupun negative act) harus merupakan
perbuatan tercela (actus reus).
 Kedua, dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens rea); yaitu berupa kesengajaan
(intentional), kecerobohan (recklessness) atau kealpaan (negligence).
Tindakan dokter yang yang dapat dikategorikan civil malpractice antara lain:
 Tidak melakukan (negative act) apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan
 Melakukan (positive act) apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tapi
terlambat
 Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tapi tidak sempurna
 Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak harus dilakukan
Administrative malpractice jika dokter melanggar hukum tata-usaha negara.
Upaya semacam itu sering disebut defensive medicine, yang didasarkan pada
asumsi (dari pihak dokter) sebagai berikut :
1. Diagnosis yang akurat akan menurunkan tuntutan hukum

24
2. Tes dan prosedur medik akan meningkatkan probabilitas kebenaran diagnosis
3. Penggunaan teknologi maju merupakan cerminan pelayanan medik yang lebih baik

Dalam pengajuan malpraktek medis dibagi berdasarkan :


1. Malpraktek di bidang etik, diajukan ke KODEKI
2. Malpraktek di bidang hukum , dibagi menjadi 3 :
a. Criminal malpractice, ditindak berdasarkan hukum pidana (KUHP)
b. Civil malpractice, ditindak berdasarkan hukum perdata
c. Administrative malpractice, ditindak berdasarkan pengadilan tata usaha negara
(PTUN)
Dasar hukum bagi dokter dalam melakukan tugasnya tertulis dalam UU no.29
tahun 2004 pasal 50, 75, dan 76. Sedangkan berdasarkan KUHP pengaduan pidana
mengenai malpraktek yang biasanya diajukan oleh pihak keluarga atau pasien sendiri
dengan tuduhan :
 Kelalaian menyebabkan kematian (pasal 359),
 Kelalaian menyebabkan luka berat (pasal 369),
 Membiarkan orang yang perlu pertolongan (pasal 304),
 Aborsi (pasal 349),
 Euthanasia (pasal 3440),
 Penyerangan seksual (pasal 284),
 Keterangan palsu (pasal 267), dan
 Membocorkan rahasia kedokteran (pasal 322).

25
26

Anda mungkin juga menyukai