Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqih
Dosen Pengampu:
Disusun Oleh :
Fakultas Tarbiyah D
DAFTAR ISI
[1] Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Kencana Jakarta), 120, lihat Romli SA, Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam, (Kencana Jakarta Cet I Tahun 2017), 157
[2] Mujiyo, Metodologi Syarah Hadis, (Bandung , ZIP Books, 2017), 147
[3] Amir Syarifuddin, Ushul fiqh,Kencana Prenada Grouf, cet. Ke-4. Tahun 2008
[4] A. Djazuli, Nurol Aen, Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam, PT RajaGrafindo Persada Jakarta, cet. Pertama, Tahun 2000, hal. 121
KATA PENGANTAR.……………………………….…………………………...i
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………..ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................
A. Qiyas................................................................................................5
1. Definisi.........................................................................................5
2. Qiyas Sebagai Sumber Hukum Islam.......................................8
3. Qiyas sebagai metodologi Hukum Islam..................................8
BAB III
PENUTUP………………………………………………………………...
KESIMPULAN ………………….………………………….................12
KRITIK & SARAN...........................................................................13
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................14
II
[1] Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Kencana Jakarta), 120, lihat Romli SA, Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam, (Kencana Jakarta Cet I Tahun 2017), 157
[2] Mujiyo, Metodologi Syarah Hadis, (Bandung , ZIP Books, 2017), 147
[3] Amir Syarifuddin, Ushul fiqh,Kencana Prenada Grouf, cet. Ke-4. Tahun 2008
[4] A. Djazuli, Nurol Aen, Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam, PT RajaGrafindo Persada Jakarta, cet. Pertama, Tahun 2000, hal. 121
BAB I
PENDAHULUAN
Islam yang dibawa oleh Nabi Saw. adalah sebagai agama yang lurus,
diturunkan langsung dari Sang Pencipta alam semesta ini termasuk menciptakan
manusia. Dialah yang memerintahkan manusia agar menyembbah beribadah
semata kepada-Nya, berhukum dengan hukum-hukum-Nya dan mengembalikan
segala urusan kepada Allah dan Rasul-Nya.
َّس)و ِل ِإ ْن ُ ُول َوُأولِي اَأْل ْم ِر ِم ْن ُك ْم ۖ فَ)ِإ ْن تَنَ))ازَ ْعتُ ْم فِي َش) ْي ٍء فَ) ُر ُّدوهُ ِإلَى هَّللا َوالر
َ يَا َأيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا َأ ِطيعُوا هَّللا َ َوَأ ِطيعُوا ال َّرس
َ ُِك ْنتُ ْم تُْؤ ِمنُونَ بِاهَّلل ِ َو ْاليَوْ ِم اآْل ِخ ِر ۚ ٰ َذل
ك َخ ْي ٌر َوَأحْ َسنُ تَْأ ِوياًل
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu,
Maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika
kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (QS 4:59)
Dengan demikian sebagai sebuah keniscayaan bagi orang-orang yang beriman
melaksanakan dan mengembalikan segala urusannya kepada al-Quran dan as-
Sunah dalam seluruh aspek kehidupan yaitu baik aspek ekonomi, sosial, pollitik,
budaya dan lain sebagainya.
Sebagai agama yang sempurna yang dibawa oleh nabi terakhir, setelah
nabi tutup usia, Islam kelanjutannya diemban oleh para sahabat dan generasi
setelahnya. Maka setiap persoalan yang datang mereka berhukum pada al-Quran
dan Hadis Nabi juga melalui ijma shahabat begitu juga melalui ijtihad sahabat
III
[1] Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Kencana Jakarta), 120, lihat Romli SA, Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam, (Kencana Jakarta Cet I Tahun 2017), 157
[2] Mujiyo, Metodologi Syarah Hadis, (Bandung , ZIP Books, 2017), 147
[3] Amir Syarifuddin, Ushul fiqh,Kencana Prenada Grouf, cet. Ke-4. Tahun 2008
[4] A. Djazuli, Nurol Aen, Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam, PT RajaGrafindo Persada Jakarta, cet. Pertama, Tahun 2000, hal. 121
karena hal ini seiring dengan perjalanan waktu dan kemajuan teknologi maka
muncul pula permasalahan-permasalah baru di tengah-tengah masyarakat. Seiring
dengan munculnya permasalahan-permasalahan baru, Islam memberikan cara atau
petunjuk kepada para mujtahid untuk menginterprestasikan hukum-hukum yang
bersifat global sehingga dapat diterapkan pada permasalahan-permasalahan
dimasanya.
Rasulullah Saw telah mengisyaratkan kepada sahabat, akan pentingnya
mengembalikan persoalan yang apabila tidak secara langsung diputuskan oleh al-
Quran maupun al-Hadits.
Sebagamana ketika Rasulullah mengutus (Muadz bin Jabal) ke Negeri Yaman.
اقضى بما قضى به: فان لم تجد فى كتاب هللا ؟ قال: قال. بما فى كتاب هللا: بما تقضى ؟ قال: قال رسول هللا لمعاد
الحمد هلل الذي وفق رسول: قال. اجتهد برايي: فان لم تجد فيما قضى به رسول هللا ؟ قال: قال.رسول هللا
رسوله
Artinya:
“Beliau bertanya, “Dengan apa engkau memutskan suatu hukum ketika
dihadapkan suatu masalah kepadamu ?”. Muadz berkata, “Aku putuskan dengan
kitab Allah, al-Quran, bila tidak kutemukan maka dengan sunnah Rasululah, bila
tidak kutemukan maka aku berijtihad dengan pendapatku, dan aku tidak akan
condong”. Maka Rasulullah saw menepuk dadanya dan bersabda, “Segala puji
bagi Allah yang telah memberikan pertolongan kepada utusan Rasulullah atas apa
yang ia relakan”. (HR Tirmizi)[1]
Maksud hadits di atas adalah karena Rasul menyetujui kepada Muadz
untuk berijtihad dalam memutuskan hukum yang tidak ditemukan nashnya dalam
al-Quran dan as-sunnah. Adapun ijtihad adalah mencurahkan kemampuan untuk
mendapatkan suatu hukum, termasuk diantaranya adalah qiyas. Berbagai
IV
[1] Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Kencana Jakarta), 120, lihat Romli SA, Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam, (Kencana Jakarta Cet I Tahun 2017), 157
[2] Mujiyo, Metodologi Syarah Hadis, (Bandung , ZIP Books, 2017), 147
[3] Amir Syarifuddin, Ushul fiqh,Kencana Prenada Grouf, cet. Ke-4. Tahun 2008
[4] A. Djazuli, Nurol Aen, Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam, PT RajaGrafindo Persada Jakarta, cet. Pertama, Tahun 2000, hal. 121
ketetapan Rasulullah Saw, mengenai hukum menjadi acuan bagi para sahabat,
seakan-akan selama itu beliau melatih mereka mengembangkan syari’at. Lebih-
lebih dilihat redaksi sejumlah hadis benar-benar berupa redaksi kaidah dan
sebagian lainnya berupa jumlah syarthiyyah (terdiri atas syarat dan jawabnya) dan
yang menyerupainya.[2]
Setelah sumber hukum al-Qur’an, Hadits dan Ijma sahabat maka yang
terakhir adalah Qiyas. Maka qiyas adalah salah satu yang menjadi rujukan dalam
memproduksi hukum, karena sebagai sumber hukum.
Dengan kata lain kita mengenal pokok-pokok yang dijadikan landasan atau
sumber hukum. Selain al-Qur’an, sunnah dan ijma’, ada pula qiyas (analogi).
Sebuah mekanisme untuk mengetahui sebuah hukum dengan cara menganalisis
terlebih dahulu permasalahan baru yang timbul dan mengkaitkan permasalahan
tersebut dengan dalil-dalil hukum Islam yang ada yaitu al-Qur’an, sunnah dan
ijma’. Apabila tidak ditemukan kejelasan hukumnya, barulah metode qiyas ini
digunakan, yakni menerapkan hukum atas permasalahan yang sudah jelas nash
hanya pada masalah baru tersebut setelah diyakini adanya kesamaan dalam ‘illat
hukumnya.
Kajian ini menjadi penting dan akan lebih menarik ketika muncul
masalah-masalah baru (kontemporer) yang secara eksplisit tidak ditemukan
jawabannya pada kitab-kitab hukum Islam yang disusun oleak akan memberikan
gambaran seputar trik-trik qiyas dan dasar-dasar yang menjadikan qiyas dapat
dijadikan sebagai landasan, dalil atau metode dalam upaya menyelesaikan
masalah-masalah baru yang timbul yang tidak terdapat dalam al-Qur’an dan
Sunnah. Maka melalui makalah ini, penulis ingin mengupas lebih mendalam lagi
mengenai qiyas sebagai metodologi penetapan hukum Islam.
[1] Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Kencana Jakarta), 120, lihat Romli SA, Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam, (Kencana Jakarta Cet I Tahun 2017), 157
[2] Mujiyo, Metodologi Syarah Hadis, (Bandung , ZIP Books, 2017), 147
[3] Amir Syarifuddin, Ushul fiqh,Kencana Prenada Grouf, cet. Ke-4. Tahun 2008
[4] A. Djazuli, Nurol Aen, Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam, PT RajaGrafindo Persada Jakarta, cet. Pertama, Tahun 2000, hal. 121
1.2 Rumusan Masalah
BAB II
PEMBAHASAN
A. QIYAS
1. Definisi
VI
[1] Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Kencana Jakarta), 120, lihat Romli SA, Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam, (Kencana Jakarta Cet I Tahun 2017), 157
[2] Mujiyo, Metodologi Syarah Hadis, (Bandung , ZIP Books, 2017), 147
[3] Amir Syarifuddin, Ushul fiqh,Kencana Prenada Grouf, cet. Ke-4. Tahun 2008
[4] A. Djazuli, Nurol Aen, Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam, PT RajaGrafindo Persada Jakarta, cet. Pertama, Tahun 2000, hal. 121
Secara etimologis kata “qiyas” berarti قدر, artinya mengukur,
membandingkan sesuatu dengan yang semisalnya, misalnya dalam bahasa arab
ada ungkapan: قست الثوب بالذراعyang artinya: “saya mengukur pakaian itu dengan
hasta”. Sementara pengertian qiyas menurut istilah hukum (terminology) terdapat
beberapa definisi yang berbeda yang saling berdekatan artinya[3]. Namun apabila
diperhatikan unsur-unsur pokok di dalam qiyas yaitu: ashal, cabang, hukum ashal
dan illat.[4]
a. Imam Syafi’i mengatakan tentang qiyas sebagai berikut:
وكل ما نزل بمسلم ففيه حكم الزم وعليه اذا كان بعينه اتباعه واذا لم يكن فيه بعينه يطلب الداللة على سبيل
الحق باالجتهاد واالجتحاد هو القياس
Artinya
“Setiap kejadian/peristiwa yang terjadi pada seorang muslim pasti ada
hukumnya. Dan ia wajib mengikuti nash, apabila ada nashnya. Al Dan
apabila tidak ada nashnya dicari dari permasalahannya (dilalah-nya) diatas
jalan yang benar dengan ijtihad, dan ijtihad itu adalah qiyas”.
b. -Ghazali dalam al-Mustashfa memberi definisi qiyas sebagai berikut:
حمل معلوم على معلوم فى اثبات حكم لهما او نفيه عنهما بامر جامع بينهما من اثبات حكم او نفيه عنهما
Artinya:
“Menanggungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui
dalam hal menetapkan hukum pada keduanya atau meniadakan hukum dari
keduanya disebabkan ada hal yang sama antara keduanya, dalam
penetapan hukum atau peniadaan hukum”.
c. Menurut Qadhi Abu Bakar mendefinisikan qiyas hampir sama dengan apa
yang disampaikan al-Ghazali dan disetujui oleh kebanyakan ulama, yaitu:
VII
[1] Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Kencana Jakarta), 120, lihat Romli SA, Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam, (Kencana Jakarta Cet I Tahun 2017), 157
[2] Mujiyo, Metodologi Syarah Hadis, (Bandung , ZIP Books, 2017), 147
[3] Amir Syarifuddin, Ushul fiqh,Kencana Prenada Grouf, cet. Ke-4. Tahun 2008
[4] A. Djazuli, Nurol Aen, Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam, PT RajaGrafindo Persada Jakarta, cet. Pertama, Tahun 2000, hal. 121
حمل معلوم على معلوم فى اثبات حكم لهما او نفيه عنهما بأمر جامع بينهما
Artinya:
“Menanggungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui
dalam hal menetapkan hukum pada keduanya atau meniadakan hukum dari
keduanya disebabkan ada hal yang sama antara keduanya”.
d. Menurut Ibnu Subki dalam kitabnya Jam’u al-jawami’ memberikan
definisi qiyas sebagai berikut:
اثبات مثل حكم معلوم في معلوم اخر الشتراكهما فى علة الحكم عند المثبت
Artinya:
“Menetapkan semisal hukum yang diketahui pada sesuatu lain yang
diketahui, karena keduanya berserikat dalam ‘illat hukum menurut
pandangan ulama yang menetapkan”.
g. Al-Amidi mendefinisikan qiyas sebagai berikut:
VIII
[1] Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Kencana Jakarta), 120, lihat Romli SA, Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam, (Kencana Jakarta Cet I Tahun 2017), 157
[2] Mujiyo, Metodologi Syarah Hadis, (Bandung , ZIP Books, 2017), 147
[3] Amir Syarifuddin, Ushul fiqh,Kencana Prenada Grouf, cet. Ke-4. Tahun 2008
[4] A. Djazuli, Nurol Aen, Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam, PT RajaGrafindo Persada Jakarta, cet. Pertama, Tahun 2000, hal. 121
عبارة عن األستواء بين الفرع واألصل فى العلة المستنبطة من حكم األصل
Artinya:
“Ibarat dari kesamaan antara furu’ dengan ashal dalam ‘illat yang di-
isthinbath-kan dari hukum ashal”.
h. Dan Abu Zahrah memberikan definisi qiyas sebagai berikut:
ألحاق أمر غير منصوص على حكمه بأمر أخر منصوص على حكمه الشتراكها فى علة الحكم
Artinya:
“Menghubungkan sesuatu perkara yang tidak ada nash tentang hukumnya
kepada perkara lain yang ada nash hukumnya karena keduanya berserikat
dalam ‘illat hukum”.
i. Dalam pandangan ‘Abd al-Jabbar, qiyas berarti:
Artinya:
Membawakan sesuatu kepada sesuatu yang lain dalam sebagian hukum-
hukumnya karena ada sesuatu kesamaan”.
j. Menurut Prof. Drs. H. A. Djazuly dan Prof. Dr. I. Nurol Aen, MA dalam
bukunya Ushul Fiqh, Metodologi Hukum Islam, menjelaskan bahwa qiyas
ialah mempersamakan hukum sesuatu kasus yang tidak dinashkan dengan
hukum kasus lain yang dinashkan karena persamaan illat hukum.³
IX
[1] Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Kencana Jakarta), 120, lihat Romli SA, Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam, (Kencana Jakarta Cet I Tahun 2017), 157
[2] Mujiyo, Metodologi Syarah Hadis, (Bandung , ZIP Books, 2017), 147
[3] Amir Syarifuddin, Ushul fiqh,Kencana Prenada Grouf, cet. Ke-4. Tahun 2008
[4] A. Djazuli, Nurol Aen, Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam, PT RajaGrafindo Persada Jakarta, cet. Pertama, Tahun 2000, hal. 121
telah meniscayakan adanya qiyas sebagai salah satu sumber hukum dalam Islam
setelah ijma sahabat. Qiyas dalam hal ini memiliki nash yang kuat dalam
menjadikan Qiyas sebagai metodologi dalam penetapan hukum dalam Islam.
Tentu saja dalam menjadikan qiyas sebagaimana yang telah dikemukakan di atas
memiliki kehujahan berdasarkan nash maupun aqli. Adapun kehujahan qiyas ini
dapat dijelaskan berdasarkan al-Qur’an, Sunah, Ijma sahabat maupun dalil ‘Aqli
tentang qiyas.
[1] Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Kencana Jakarta), 120, lihat Romli SA, Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam, (Kencana Jakarta Cet I Tahun 2017), 157
[2] Mujiyo, Metodologi Syarah Hadis, (Bandung , ZIP Books, 2017), 147
[3] Amir Syarifuddin, Ushul fiqh,Kencana Prenada Grouf, cet. Ke-4. Tahun 2008
[4] A. Djazuli, Nurol Aen, Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam, PT RajaGrafindo Persada Jakarta, cet. Pertama, Tahun 2000, hal. 121
berbeda tapi hukumnya lain, karena aspek lain misalnya: manusia hukumnya
adalah sama apabila ditinjau dari segi kemanusiaanya, akan tetapi manusia itu
berbeda hukumnya apabila ditinjau dari segi jenisnya, laki-laki dan perempuan
dari kemampuan akalnya anak-anak, rusyd dan baligh. Oleh karena itu, yang
nampaknya berbeda tapi hukumnya sama adalah didasarkan kepada persamaan
hukum dan yang nampaknya sama tapi hukumnya berbeda adalah didasarkan
kepada perbedaan hukum, Ibn Qayyim di dalam kitabnya I’lam al-Muwaqqi’in
membahas panjang lebar tentang ini.
Dari paparan tersebut diatas, jelaslah kiranya bahwa alasan-alasan jumhur
lebih kuat dan pendapatnya lebih patut diikuti, mengingat banyaknya masalah-
masalah di dalam kehidupan manusia yang terus timbul dan berkembang ini yang
bisa diselesaikan dan dipecahkan dengan menggunakan qiyas sehingga dengan
demikian hukum Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin yang kekal dan abadi terus
responsif terhadap perkembangan masyarakat.
Qiyas adalah mempersamakan suatu hukum atau satu peristiwa yang tidak
ada nashnya dengan suatu peristiwa yang sudah ada nashnya lantaran ada
persamaan ‘illaat hukumnya dari kedua peristiwa tersebut.
Qiyas sebagai sumber hukum hal ini dicontohkan dalam ayat yang mengharamkan
khamar dalam surat al-Maidah ayat 90, dalam ayat tersebut al-Qur’an secara
langsung terdapat ‘illat dalam peristiwa khamar tersebut adalah memabukkan.
Dengan demikian khamar itu hukum asal nya haram. Selanjutnya pada masa
setelahnya terdapat minuman brandi dan whisky. Kedua minuman itu dapat
diambil hukumnya dengan berdasarkan kepada qiyas dengan ayat al-Qur’an yang
mengandung kasus khamar, karena kedua minuman itu memiliki ‘illat yang sama
yaitu sama-sama memabukkan, maka brandi dan whisky mengandung hukum
XI
[1] Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Kencana Jakarta), 120, lihat Romli SA, Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam, (Kencana Jakarta Cet I Tahun 2017), 157
[2] Mujiyo, Metodologi Syarah Hadis, (Bandung , ZIP Books, 2017), 147
[3] Amir Syarifuddin, Ushul fiqh,Kencana Prenada Grouf, cet. Ke-4. Tahun 2008
[4] A. Djazuli, Nurol Aen, Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam, PT RajaGrafindo Persada Jakarta, cet. Pertama, Tahun 2000, hal. 121
yang haram karena kedua kasus tersebut memiliki ‘illat yang sama yaitu
memabukkan.
Dengan demikian qiyas tersebut menjadi sumber hukum bagi kasus yang
sama. Lebih lanjutnya arak putih dan, tuak sama-sama memabukkan, karena
sama-sama memabukkan maka dapat menjadikan qiyas sebagai sumber hukum
tersebut dapat diterapkan kepada minuman arak putih dan tuak artinya penetapan
hukum tersebut diqiyaskan kepada whisky karena memiliki qiyas sama yaitu
sama-sama memabukkan sehingga qiyas itu dijadikan sumber hukum, dengan
qiyas yang sama- sama memabukkan sehingga qiyas bisa dijadikan sumber
hukum.
Qiyas dalam pengertian di atas merupakan salah satu metode hukum islam. Oleh
karena itu, tidak mengherankan apabila sebagian ulama menjadikan qiyas sebagai
sumber hukum ke empat setelah al-Qur’an, al-Sunnah, dan al-Ijma.
Qiyas sebagai Metodologi, ialah cara menetapkan hukum itu harus
berdasarkan rukun dan syarat qiyas, kalau tidak ada maka tidak bisa diambil
hukumnya. Metodologi sama dengan turuqul istinbat. Qiyas sebagai metode
istinbath al-hukm pada hakikatnya adalah pencarian dan penetapan ‘’illat. Dengan
demikian, pembahasan ‘illat dalam qiyas ini menjadi sangat penting dalam rangka
pewujudan ada atau tidaknya hukum (al-hukm yadur ma’a ‘illatihi wajudan wa
‘adaman), maka qiyas identik dengan ijtihad. Qiyas pada dasarnya merupakan
penerapan hukum yang terdapat dalam ashal kepada far’un (cabang), yang belum
terdapat di dalamnya sesuatu hukum, qiyas dapat di laksanakan apabila di dalam
ashal dan far’un itu terdapat kesamaan ‘illat.
Para ulama ushul fiqh sepakat menyatakan bahwa proses menetapkan
hukum melalui qiyas bukanlah berarti menetapkan hukum dari awal melainkan
hanya menyingkap dan menjelaskan hukumnya yang ada pada suatu kasus yang
XII
[1] Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Kencana Jakarta), 120, lihat Romli SA, Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam, (Kencana Jakarta Cet I Tahun 2017), 157
[2] Mujiyo, Metodologi Syarah Hadis, (Bandung , ZIP Books, 2017), 147
[3] Amir Syarifuddin, Ushul fiqh,Kencana Prenada Grouf, cet. Ke-4. Tahun 2008
[4] A. Djazuli, Nurol Aen, Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam, PT RajaGrafindo Persada Jakarta, cet. Pertama, Tahun 2000, hal. 121
belum jelas hukumnya melalui pembahasan mendalam dan teliti terhadap ‘illat
dari suatu kasus atau kejadian yang dihadapi.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Secara etimologis kata “qiyas” berarti ق)))در, artinya mengukur,
membandingkan sesuatu dengan yang semisalnya, Sementara pengertian qiyas
menurut istilah hukum (terminology) terdapat beberapa definisi yang berbeda
yang saling berdekatan artinya. unsur-unsur pokok di dalam qiyas yaitu: ashal,
cabang, hukum ashal dan illat. Adanya qiyas sebagai salah satu sumber hukum
dalam Islam setelah ijma sahabat. Qiyas dalam hal ini memiliki nash yang kuat
dalam menjadikan Qiyas sebagai metodologi dalam penetapan hukum dalam
Islam. Qiyas adalah cara ijtihad yang membawa kepada perbedaan pendapat dan
pertentangan di dalam hukum, karena qiyas didasarkan kepada instinbath ‘illat
pada pokok ini sangat tergantung kepada pemahaman akal dan karenanya pasti
membawa perbedaan hukum dan pertentangan, sehingga satu kasus bisa diberikan
dua macam hukum yang berbeda. Qiyas adalah mempersamakan suatu hukum
atau satu peristiwa yang tidak ada nashnya dengan suatu peristiwa yang sudah ada
nashnya lantaran ada persamaan ‘illaat hukumnya dari kedua peristiwa tersebut.
Qiyas sebagai Metodologi, ialah cara menetapkan hukum itu harus berdasarkan
rukun dan syarat qiyas, kalau tidak ada maka tidak bisa diambil hukumnya.
Metodologi sama dengan turuqul istinbat. Qiyas sebagai metode istinbath al-hukm
pada hakikatnya adalah pencarian dan penetapan ‘’illat.
[1] Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Kencana Jakarta), 120, lihat Romli SA, Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam, (Kencana Jakarta Cet I Tahun 2017), 157
[2] Mujiyo, Metodologi Syarah Hadis, (Bandung , ZIP Books, 2017), 147
[3] Amir Syarifuddin, Ushul fiqh,Kencana Prenada Grouf, cet. Ke-4. Tahun 2008
[4] A. Djazuli, Nurol Aen, Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam, PT RajaGrafindo Persada Jakarta, cet. Pertama, Tahun 2000, hal. 121
Pada saat pembuatan makalah Penulis menyadari bahwa banyak sekali
kesalahan dan jauh dari kesempurnaan. Dengan sebuah pedoman yang bisa
dipertanggungjawabkan dari banyaknya sumber Penulis akan memperbaiki
makalah tersebut. Oleh sebab itu penulis harapkan kritik serta sarannya mengenai
pembahasan makalah dalam kesimpulan di atas.
DAFTAR PUSTAKA
XIV
[1] Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Kencana Jakarta), 120, lihat Romli SA, Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam, (Kencana Jakarta Cet I Tahun 2017), 157
[2] Mujiyo, Metodologi Syarah Hadis, (Bandung , ZIP Books, 2017), 147
[3] Amir Syarifuddin, Ushul fiqh,Kencana Prenada Grouf, cet. Ke-4. Tahun 2008
[4] A. Djazuli, Nurol Aen, Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam, PT RajaGrafindo Persada Jakarta, cet. Pertama, Tahun 2000, hal. 121
Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Kencana Jakarta), 120, lihat Romli SA, Ushul Fiqh Metodologi
Hukum Islam, (Kencana Jakarta Cet I Tahun 2017), 157
A. Djazuli, Nurol Aen, Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam, PT RajaGrafindo Persada
Jakarta, cet. Pertama, Tahun 2000, hal. 121
XV
[1] Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Kencana Jakarta), 120, lihat Romli SA, Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam, (Kencana Jakarta Cet I Tahun 2017), 157
[2] Mujiyo, Metodologi Syarah Hadis, (Bandung , ZIP Books, 2017), 147
[3] Amir Syarifuddin, Ushul fiqh,Kencana Prenada Grouf, cet. Ke-4. Tahun 2008
[4] A. Djazuli, Nurol Aen, Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam, PT RajaGrafindo Persada Jakarta, cet. Pertama, Tahun 2000, hal. 121