Anda di halaman 1dari 3

Fadia Ammara Ardiana (08)

XI MIPA 5

Bunyi dan Gema

Aku adalah anak pertama dari dua bersaudara. Satu-satunya anak perempuan
yang lahir di keluarga. Awalnya, aku sangat bahagia berada disini. Namun, rasa
itu perlahan memudar dan tanpa kusadari kemudian sirna.

Setelah kelahiran Adikku, semuanya berubah. Ayah menganggap


kehadirannya adalah sebuah berkah, Ibupun ikut menimpali bahwa adikku
memang sebuah anugerah. Hanya akulah yang dalam diam memandangnya
sebagai musibah.

“Wah Dio peringkat satu lagi, memang anakku yang terbaik!”

“Dio, kamu jadi pemain terbaik di klub futsal? Hebat sekali!”

Awalnya, kukira itu hanyalah perasaan kekanak-kanakan semata. Anak kecil


yang cemburu dengan saudaranya yang mendapat lebih banyak perhatian.
Tentunya itu hal yang lumrah. Akhirnya seperti anak yang lain, akupun
mencoba mendapat perhatian yang sama dari orang tuaku. Aku belajar dengan
giat, melakukan semua hal yang adikku lakukan bahkan dengan jauh lebih baik.

“Peringkat 1 umum? Ternyata kamu pintar juga, yah baguslah.” Respon Ayah
saat mengambil rapor kenaikan kelasku.

Aku tidak mengerti, apalagi yang kurang? Aku mencoba untuk tetap bersabar.
Di lain sisi, Adikku yang mulai sibuk dengan kegiatan diluar sekolah mengalami
penurunan pada nilainya. Karena demikian, ayah dan ibu sepakat untuk
memasukkan adikku ke tempat les ternama. Aku, yang jadi gila dengan
akademis tentunya juga ingin masuk ke sana. Akhirnya, kusampaikanlah
keinginanku itu pada ayah.

“Untuk apa? Kamu kan sudah juara umum di sekolah. Tempat les itu mahal
nak.”

Lagi-lagi aku dibuat heran. Mengapa Ayah selalu membedakkan perlakuannya


padaku dan adikku? Memangnya salah bagiku ingin menjadi lebih pintar? Aku
akhirnya hanya bisa menggangguk lesu.

Kemudian, tibalah saat ku hendak lulus SMA. Aku yang berniat melanjutkan
pendidikanku kemudian menghadap ayah dan ibu. Kukatakan dengan jelas
rencanaku untuk mendaftar kuliah dengan beasiswa, dimana mereka tidak
perlu mengkhawatirkan perihal biaya lagi.

“Kamu tidak perlu lah yang begitu nak. Kamu kan perempuan, nanti saat
menikah pun kamu akan berhenti bekerja.” Ujar ayah.

Perkataan ayahku itu benar-benar membuatku hilang akal. Aku dengan emosi
yang meledak-ledak tidak dapat menahannya kembali.

“Karena aku seorang perempuan, maka aku harus mendapatkan hak yang
sama yah. Sama seperti Dio yang selama ini kalian manja.” Kataku.

“Apa maksudmu? Selama ini kami memperlakukan kalian dengan adil.” Kata
Ayah yang mulai naik pitam.

“Adil apa yang ayah dan ibu maksud? Adil dalam pandangan seorang
misoginis? Kalau demikian percuma aku berbicara hingga berbusa pula.”
Ujarku dengan sinis. Mereka pun terpaku mendengar perkataanku.

“Ayah, aku ingin bersekolah dan bekerja. Namun apakah Ayah tahu yang paling
aku inginkan? aku hanya ingin kalian menghargaiku, itu saja. Aku perempuan,
lantas dimana letak permasalahannya? Aku tetap anak kalian dan aku lebih
dari mampu membuat kalian bangga.”

Ayah dan Ibu masih terdiam, aku melihat genangan mulai terbentuk di kelopak
mata ayahku. Dan ibuku, sepertinya sudah terbangun air terjun disana. Tapi
tangisan mereka tidaklah ada gunanya.

“Aku akan tetap masuk perguruan tinggi. Ayah dan Ibu tidak perlu
mengerluarkan uang sepeserpun untukku. Aku berterima kasih atas apa yang
telah kalian lakukan untukku selama ini. Namun tolong, biarkan saja aku. Jika
kalian tidak dapat mendukungku, kumohon setidaknya jangan usik aku.” Ujarku
dengan pilu. Tak mudah juga untukku berkata demikian pada mereka.

4 tahun telah berlalu sejak kejadian itu berlangsung. Kini aku sudah menjadi
calon sarjana. Sidangku sudah selesai dan hari ini aku akan melaksanakan
upacara kelulusan. Setelah kejadian itu, aku keluar dari rumah dan memilih
untuk menyewa sebuah kontrakan kecil dekat kampusku. Meski demikian, aku
masih berkunjung ke rumah setiap hari raya, aku juga masih berhubungan baik
dengan adikku.

“Ayah merindukanmu, Kak.” Katanya di salah satu kesempatan kami bertukar


suara.
Kembali kubenahi topi toga yang bersinggah di atas kepalaku. Saat namaku
dipanggil, akupun maju ke atas panggung. Lulus dengan nilai cumlaude,
teman-teman dihadapanku bersorak dengan ria. Diantara keramaian itu,
anehnya mataku hanya terpaku kepada satu sudut. Dimana berdiri seorang
pria lanjut usia dengan wanita beraut bahagia yang lengannya tertaut padanya,
dan pemuda yang menyorakkan namaku dengan ria.

Kukedipkan mataku berkali-kali. Tidak, mereka tidak menghilang. Mereka hadir


dan hal yang paling mengejutkanku adalah dia. Ayahku, ia tersenyum. Senyum
yang dahulu kala ia hanya merkahkan pada Adikku, akhirnya terukir karenaku.
Samar-samar akupun mendengar suara.

“Selamat Anakku, maafkan perbuatan ayah selama ini. Ayah benar-benar


bangga padamu.”

Air mataku jatuh tanpa aba-aba. Inilah yang aku inginkan. Jawaban dari do’aku,
satu perkataan darinya yang lebih berarti dari segala piala yang kupunya.

Anda mungkin juga menyukai