Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

BUDAYA AKADEMI DAN ETOS KERJA,SIKAP TERBUKA DAN ADIL

OLEH :

ASRINI 201702005

NURFAINI 201702028

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

STIKES WIDYA NUSANTARA PALU 2018/2019


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepadat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat serta
karunia-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah mata kuliah
Pendidikan Agama Islam ini dengan tepat waktu yang berjudul “Budaya Akademik, Etos Kerja, Sikap
Terbuka, dan Keadilan”.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih kurang sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari
semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah
selanjutnya.

Besar harapan kami semoga makalah ini dapat bermanfaat sebagai informasi ataupun pengetahuan
bagi pembaca dan dapat menjadi literature guna membantu mahasiswa dalam belajar mata kuliah
Pendidikan Agama Islam.

Palu, 18 mei 2019

   

 
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................ i

DAFTAR ISI........................................................................................................ ii

BAB1 PENDAHULUAN                                                                      

1.1  Latar Belakang...........................................................................................          iii 

BAB II PEMBAHASAN                                                                             

2.1  Budaya Akademik dalam Pandangan Budaya Islam..................................                    

2.1.1 Pengertian Budaya Akademik                                            

2.1.2 Pembahasan Tentang Budaya Akademik                           

2.2 Etos Kerja, Sikap Terbuka Dan Keadialan Dalam Pandangan Agama Islam

2.2.1 Etos Kerja                                                                           

2.2.2 Sikap Terbuka                                                                     

2.2.3 Bersikap Adil                                                                      

2.2.4 Etos Kerja, Sikap Terbuka, dan Keadilan dalam Islam      

BAB III PENUTUP                                                                                     

3.1 Kesimpulan                                                                                    

3.2 Saran                                                                                              

DAFTAR PUSTAKA                                                                                 


BAB I

PENDAHULUAN

1.1.      LATAR BELAKANG

Islam adalah agama yang universal, karena itu masalah-masalah yang ada dalam masyarakat sudah
barang tentu diatur di dalam ajaran Islam. Kajian tentang Al Quran serta kandungan ajarannya
tampaknya tidak akan pernah selesai dan akan berlanjut sepanjang zaman. Keajaibannya akan
senantiasa muncul kepermukaan bagaikan mata air yang tidak pernah kering dan akan selalu
menjadi inspirasi kehidupan ummat Islam. Al Quran akan selalu hadir dalam kehidupan yang sarat
dengan berbagai persoalan hidup yang dialami oleh umat Islam. Di sinilah letak salah satu keunikan
Al Quran itu dan dari sini kita dapat memahami mengapa orang yang mempercayainya tidak akan
pernah meragukan validitas ajarannya dan menganggapnya sebagai kebenaran mutlak dan final
meski dipihak lain orang yang meragukan dan tidak mempercayainya selalu berupaya untuk
meruntuhkan kebenaran Al Quran baik dengan cara halus atau kasar, dibungkus dengan metode
ilmiah yang mengandung distorsi atau bahkan hanya dengan hujatan, tanpa mengandung ilmiah
yang layak dalam kajian akademis.

Islam sebagai agama rahmatan lil alamin sudah representatif untuk mewujudkan pendidikan
multikultural(beragam budaya). Budaya merupakan Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan
masyarakat.

Dalam makalah ini, penulis akan membahas lebih jauh tentang Budaya Akademik menurut Islam,
Budaya Etos Kerja menurut Islam, Budaya Sikap Terbuka dan Adil menurut Islam.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1        BUDAYA AKADEMIK DALAM PANDANGAN AGAMA ISLAM

2.1.1  Pengertian Budaya Akademik

Budaya akademik dalam pandangan Islam adalah suatu tradisi atau kebiasaan yang berkembang
dalam dunia Islam menyangkut persoalan keilmuan. Atau dalam bahasa yang lebih sederhana adalah
tradisi ilmiah yang dikembangkan Islam. Di antara poin-poin pentingnya adalah pertama, tentang
penghargaan Al-quran terhadap orang-orang yang berilmu, di antaranya adalah:

1. Wahyu Al-quran yang turun pada masa awal mendorong manusia untuk memperoleh ilmu
pengetahuan. Dalam ayat-ayat yang pertama kali turun Al-'Alaq 96: l-5 tergambar dengan jelas
betapa kitab suci Al-quran memberi perhatian yang sangat serius kepada perkembangan ilmu
pengetahuan. Sehingga Allah SW'T menurunkan petunjuk pertama kali adalah terkait dengan salah
satu cara untuk memperoleh ilmu pengetahuan yang dalam redaksi ayat tersebut menggunakan
redaksi "iqra" . Makna perintah tersebut bukanlah hanya sebatas membaca dalam arti membaca
teks, tetapi makna iqra' adalah membaca dengan melibatkan pemikiran dan pemahaman dan itulah
kunci perkembangan ilmu pengetahuan dalam sepanjang sejarah kemanusiaan. Dalam kontek
modern sekarang makna iqra' dekat dengan makna reading with understanding (membaca disertai
dengan pemahaman).

2. Tugas Manusia sebagai khalifah Allah di Bumi akan sukses kalau memiliki ilmu pengetahuan.
Penggalan ayat 3l dari Surat Al-Baqarah yang berbunyi "Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama
(benda-benda) seluruhnya", juga mengandung arti bahwa salah satu keistimewaan manusia adalah
kemampuannya mengekspresikam apa yang terlintas dalam benaknya serta kemampuannya
menangkap bahasa sehingga ini mengantarnya mengetahui. Di sisi lain kemampuan manusia
merumuskan ide dan memberikan nama bagi segala sesuatu merupakan langkah menuju terciptanya
manusia yang berpengetahuan dan lahirnya ilmu pengetahuan.

3. Muslim yang baik tidak pernah berhenti untuk menambah ilmu. Etos untuk terus menambah ilmu
pengetahuan dapat diterjemahkan bahwa yang disebut belajar atau menuntut ilmu bukan hanya
pada musim tertentu atau dalam formalitas satuan pendidikan tertentu, melainkan sepanjang hayat
masih dikandung badan maka kewajiban untuk terus menuntut ilmu tetap melekat dalam diri setiap
muslim. Salah satu hikmahnya adalah bahwa kehidupan terus mengalami perubahan dan
perkembangan menuju kemajuan, maka kalau seorang muslim tidak terus menambah
pengetahuannya jelas akan tertinggal oleh perkembangan zaman yang pada gilirannya tidak dapat
memberikan kontribusi bagi kehidupan. Al-quran jelas membedakan antara orang yang
berpengetahuan dengan orang-orang yang tidak berpengetahuan.

4.   Orang yang berilmu akan dimuliakan oleh Allah SWT. Secara garis besar manusia dapat
dibedakan ke dalam dua kelompok besar; pertama, orang yang sekedar beriman dan beramal, dan
yang kedua adalah orang yang beriman dan beramal shalih serta memiliki pengetahuan. Posisi atau
derajat kelompok kedua ini lebih tinggi bukan saja karena nilai ilmu yang dimiliki, tetapi juga amal 1

dan usahanya untuk mengajarkan ilmu yang dimiliki tersebut, baik melalui lisan, tulisan atau bahkan
tindakan. Ilmu yang dimaksud tentu saja bukan hanya ilmu agama tetapi ilmu apapun yang
rnembawa maslahat bagi kehidupan manusia.

Di samping memberikan apresiasi terhadap orang yang berilmu poin penting lain yang dijelaskan Al-
quran adalah bahwa:

1.            Iman seorang muslim tidak akan kokoh kalau tidak ditopang dengan ilmu, demikian juga
dengan amal shalih.

2.            Tugas kekhalifahan manusia tidak akan dapat sukses kalau tidak dilandasi dengan ilmu.

3.            Karakter seorang muslim yang berbudaya akademik adalah; orang yang selalu mengingat
Allah yang disertai dengan ikhtiar untuk selalu menggunakan akalnya untuk memikirkan ciptaan
Allah SWT. Serta selalu berusaha menambah ilmu dengan membuka diri terhadap setiap informasi
yang baik dan kemudian memilih yang terbaik untuk dijadikan pegangan dan diikutinya.

Dikutif dari Buku:PAI (Ali Nurdin,Syaiful Mikdar,wawan Suharmawan) Universitas Terbuka Hal.
7.48

2.1.2  Pembahasan Tentang Budaya Akademik

Dari berbagai Forum terbuka tentang pembahasan Budaya Akademik yang berkembang d Indonesia,
menegaskan berbagai macam pendapat di antaranya :

1)      Konsep dan Ciri-Ciri Perkembangan Budaya Akademik

Dalam situasi yang sarat idealisme, rumusan konsep dan pengertian tentang Budaya Akademik yang
disepakati oleh sebagian besar (167/76,2%) responden adalah “Budaya atau sikap hidup yang selalu
mencari kebenaran ilmiah melalui kegiatan akademik dalam masyarakat akademik, yang
mengembangkan kebebasan berpikir, keterbukaan, pikiran kritis-analitis; rasional dan obyektif oleh
warga masyarakat akademik” Konsep dan pengertian tentang Budaya Akademik tersebut didukung
perumusan karakteristik perkembangannya yang disebut “Ciri-ciri Perkembangan Budaya Akademik”
yang meliputi berkembangnya :

1)      Penghargaan terhadap pendapat orang lain secara obyektif.

2)      Pemikiran rasional dan kritis-analitis dengan tanggungjawab moral.

3)      Kebiasaan membaca.

1
Dikutif dari Buku:PAI (Ali Nurdin,Syaiful Mikdar,wawan Suharmawan) Universitas Terbuka Hal.
7.48
4)      Penambahan ilmu dan wawasan.

5)      Kebiasaan meneliti dan mengabdi kepada masyarakat.

6)      Penulisan artikel, makalah, buku.

7)      Diskusi ilmiah.

8)      Proses belajar-mengajar.

9)      Manajemen perguruan tinggi yang baik.

2.   Tradisi Akademik

Pemahaman mayoritas responden (163/74,4%) mengenai Tradisi Akademik adalah, “tradisi yang
menjadi ciri khas kehidupan masyarakat akademik dengan menjalankan proses belajar-mengajar
antara dosen dan mahasiswa seperti menyelenggarakan penelitian dan pengabdian kepada
masyarakat, serta mengembangkan cara-cara berpikir kritis-analitis, rasional dan inovatif di
lingkungan akademik”

Tradisi menyelenggarakan proses belajar-mengajar antara guru dan murid, antara pandito dan
cantrik, antara kiai dan santri sudah mengakar sejak ratusan tahun yang lalu, melalui lembaga-
lembaga pendidikan seperti padepokan dan pesantren. Akan tetapi tradisi-tradisi lain seperti
menyelenggarakan penelitian adalah tradisi baru. Demikian pula, tradisi berpikir kritis-analitis,
rasional dan inovatif adalah kemewahan yang tidak terjangkau tanpa terjadinya perubahan dan
pembaharuan sikap mental dan tingkah laku yang harus terus-menerus diinternalisasikan dan
disosialisasikan dengan menggerus sikap mental paternalistik dan ewuh-pakewuh yang berlebih-
lebihan pada sebagian masyarakat akademik yang mengidap tradisi lapuk, terutama dalam
paradigma patron-client relationship yang mendarah-daging.

3.   Kebebasan Akademik

Pengertian tentang “Kebebasan Akademik” yang dipilih oleh 144 orang (65,7%) responden adalah
kebebasan yang dimiliki oleh pribadi-pribadi anggota sivitas akademika (mahasiswa dan dosen)
untuk bertanggung jawab dan mandiri yang berkaitan dengan upaya penguasaan dan
pengembangan Iptek dan seni yang mendukung pembangunan nasional. Kebebasan akademik
meliputi kebebasan menulis, meneliti, menghasilkan karya keilmuan, menyampaikan pendapat,
pikiran, gagasan sesuai dengan bidang ilmu yang ditekuni, dalam kerangka akademis (Kistanto, et.
al., 2000: 86).

“Kebebasan Akademik” berurat-berakar mengiringi tradisi intelektual masyarakat akademik – tetapi


kehidupan dan kebijakan politik acapkali mempengaruhi dinamika dan perkembangannya. Dalam
rezim pemerintahan yang otoriter, kiranya kebebasan akademik akan sulit berkembang. Dalam
kepustakaan internasional kebebasan akademik dipandang sebagai inti dari budaya akademik dan
berkaitan dengan kebebasan berpendapat (lihat CODESRIA 1996, Forum 1994, Daedalus Winter
1997, Poch 1993, Watch 1998, Worgul 1992).

Dalam masyarakat akademik di Indonesia, kebebasan akademik yang berkaitan dengan kebebasan
berpendapat telah mengalami penderitaan yang panjang, selama puluhan tahun diwarnai oleh
pelarangan dan pembatasan kegiatan akademik di era pemerintahan Suharto (lihat Watch 1998).
Kini kebebasan akademik telah berkembang seiring terjadinya pergeseran pemerintahan dari
Suharto kepada Habibie, dan makin berkembang begitu bebas pada pemerintahan Abdurrahman
Wahid, bahkan hampir tak terbatas dan “tak bertanggungjawab,” sampai pada pemerintahan
Megawati, yang makin sulit mengendalikan perkembangan kebebasan berpendapat.

Selain itu, kebebasan akademik kadangkala juga berkaitan dengan sikap-sikap dalam kehidupan
beragama yang pada era dan pandangan keagamaan tertentu menimbulkan hambatan dalam
perkembangan kebebasan akademik, khususnya kebebasan berpendapat.

Dapat dikatakan bahwa kebebasan akademik suatu masyarakat-bangsa sangat tergantung dan
berkaitan dengan situasi politik dan pemerintahan yang dikembangkan oleh para penguasa.
Pelarangan dan pembatasan kehidupan dan kegiatan akademik yang menghambat perkembangan
kebebasan akademik pada lazimnya meliputi :

1.      Penerbitan buku tertentu.

2.      Pengembangan studi tentang ideologi tertentu.

3.      Pengembangan kegiatan kampus, terutama demonstrasi dan diskusi yang bertentangan dengan
ideologi dan kebijakan pemerintah atau negara.

2.2        ETOS KERJA, SIKAP TERBUKA DAN KEADILAN DALAM PANDANGAN AGAMA ISLAM

2.2.1  Etos Kerja

Telah disebutkan terdahulu hakikat manusia terletak pada eksistensinya. “Eksistensinya” berarti
berpikir untuk mencipta yang menghasilkan produk atau ciptaan. Dengan kata lain hakikat manusia
adalah kerja. Konsekuensi logisnya adalah berhenti bekerja hilang hakikatnya sebagai manusia. Telah
disebutkan pula bahwa Islam lebih mementingkan amal dari pada gagasan atau terminal terakhir
adalah amal. Amal identik dengan kerja dan sekali lagi hakikat manusia adalah kerja.

Alquran sendiri memandang amal itu begitu penting. Kata amal dan berbagai kata yang seakar kata
dengannya seperti ya’malun, ta’malun, ‘amila, i’malu dan yang sejenisnya disebut dalam Al-Quran
sebanyak 192 kali. Kata amal shalih yang dirangkai dengan kata iman sebanyak 46 kali. Ini berarti
hakikat manusia atas dasar pendekatan kebudayaan maupun agama adalah sama yaitu terletak pada
kerja atau amal. Kesimpulan ini didukung oleh pepatah:

‫ا لعلم بال عمل كا لنخل بال عسل‬

(ilmu tanpa amal bagaikan lebah tanpa madu) atau

‫ا لعلم بال عمل كا لشجر بال ثمر‬

(ilmu tanpa amal bagaikan pohon tanpa buah).

Dengan demikian manusia yang tidak beramal atau tidak bekerja hakikat kemanusiaannya tidak
utuh, atau bahkan hilang hakikat kemanusiaannya.
Supaya manusia tidak hilang hakikat kemanusiaannya, Rasulullah mengajarkan kepada umatnya
supaya terjauh dari sifat pemalas. Demikian doa Rasul:

)‫للهم ا نى اعو ذ بك من الكسل والعجز والبخل (روا ه التر مذى عن زيد بن ارقم‬

(ya Allah sesungguhnya aku mohon perlindungan Engakau dari kemalasan, kelemahan, dan
kebakhilan. H.R at-Turmuzi dari ibn Arqam (at-Turmuzi, V:226)).

Malas, lemah kepribadian dan bakhil adalah penghalang utama dalam menumbuhkan etos apapun
termasuk etos kerja. Sebaliknya Islam memotifasi demikian bersemangat supaya setiap pemeluknya
rajin beramal atau bekerja. Allah berfirman:

Artinya :

“ Barangsiapa membawa amal yang baik, Maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan
Barangsiapa yang membawa perbuatan jahat Maka Dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang
dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan) “.( QS Al An’am : 160 ).

Dalam ayat tersebut menunjukkan bahwa siapa yang beramal baik pahalanya dilipatgandakan 10 kali
lipat. Sebelas kali Allah berfirman bahwa orang yang beramal baik itu berakhir dengan
keberuntungan (Abd al-Baqi, [t.th.]:668). Satu diantara:

Artinya :

“ Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan
perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan “. ( QS Al Hajj : 77 ).

Kata kemenangan dalam ayat itu sama dengan keberuntungan, dapat diperhatikan dalam ayat
berikut:

Artinya :

“ Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman “.(QS. Al Mu’minun: 1)

Keberuntungan atau kemenangan dalam ayat tersebut dan ke 11 yang lain dalam Al-Quran selalu
berarti sebagai akibat dari amal baik. Keberuntungan sebagai amal atau kerja bisa berupa pahala
yang dinikmati besok di hari akhirat kelak, bisa di kehidupan dunia sekarang. Bahkan sesungguhnya,
karena Islam tidak mengenal paham sekularisme, yaitu pemisahan urusan dunia dan urusan akhirat
(agama), justru setiap urusan apapun dalam Islam selalu mengandung dimensi dunia dan akhirat.
Karena itu di dalam Islam dianjurkan mencari kebahagiaan dunia dan kehidupan akhirat sekaligus.
Allah berfirman:

Artinya :
“Dan di antara mereka ada orang yang bendoa: "Ya Tuhan Kami, berilah Kami kebaikan di dunia dan
kebaikan di akhirat dan peliharalah Kami dari siksa neraka“. ( QS. Al Baqarah : 201 ).

Kebahagiaan (hasanah) tidak pernah datang begitu saja kepada seseorang yang berpangku tangan.
Hanya kerja keras kebahagiaan juga takkan didapat. Tetapi kebahagiaan selalu merupakan
perpaduan antara kerja keras dan anugerah Allah. Karena itu Allah juga memerintahkan supaya di
dalam mencari kehidupan itu tidak setengah-setengah, dunia saja atau akhirat saja, melainkan
keduannya

Artinya :

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan
janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada
orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat
kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan
“. ( QS. Al Qashash : 77 ).

Kemudian, di dalam kerja keras mencari kebahagiaan baik dunia maupun akhirat itu ada kode
etiknya, yaitu tidak boleh berbuat kerusakan, kerusakan apapun (diri sendiri, hubungannya dengan
orang lain, terhadap tetumbuhan, binatang, maupun alam semesta).

2.2.2  Sikap Terbuka

Inti sikap terbuka adalah jujur, dan ini merupakan ajaran akhlak yang penting di dalam Islam. Lawan
dari jujur adalah tidak jujur. Bentuk-bentuk tidak jujur antara lain adalah korupsi, kolusi, dan
nepotisme (KKN). Sebagai bangsa, kita amat prihatin, di satu sisi, kita (bangsa Indonesia) merupakan
pemeluk Islam terbesar di dunia, dan di sisi lain sebagai bangsa amat korup. Dengan demikian terjadi
fenomena antiklimak. Mestinya yang haq itu menghancurkan yang bathil, justru dalam tataran
praktis seolah-olah yang haq bercampur dengan yang bathil. Tampilan praktisnya, salat ya, korupsi
ya. Ini adalah cara beragama yang salah.

Cara beragama yang benar harus ada koherensi antara ajaran, keimanan terhadap ajaran, dan
pelaksanaan atas ajaran. Dapat dicontohkan di sini, ajaran berbunyi:

Artinya :

“ ….Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar…..” ( QS. Al
‘Ankabut : 45 ).

Manusia merespon terhadap ajaran (wahyu) itu dengan iman. Setelah itu ia mewujudkan
keimanannya dengan melakukan salat dan di luar pelaksanaan salat mencegah diri untuk berbuat
keji dan munkar.

Termasuk koherensi antara ajaran, iman, dan pelaksanaan ajaran adalah jika terlanjur berbuat salah
segera mengakui kesalahan dan memohon ampunan kepada siapa ia bersalah (Allah atau sesama
manusia). Jika berbuat salah kepada Allah segera ingat kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya.
Artinya :

“ dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri,
mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka…. “ ( QS. Ali Imron :
135 ).

Jika berbuat salah kepada manusia segera meminta maaf kepadanya tidak usah menunggu lebaran
tiba. Pengakuan kesalahan baik terhadap Allah maupun kepada selain-Nya ini merupakan sikap jujur
dan terbuka. Menurut Islam sikap jujur dan terbuka termasuk baik. Nabi bersabda:

‫ وا ن ا لكذ ب يهد ا لى ا‬.‫تى يكتب عند هللا صد يقا‬##‫دى ا لى ا لجنة وا ن ا لرجل يصد ق ح‬##‫بر يه‬##‫ا ن ا لصد ق يهدى ا لى ا لبر وا ن ا ل‬
)‫ وا ن الرجل ليكذ ب حتى يكتب عند هلل كذا با( متفق عليه‬.‫ وا ن ا لفجور يهدى ا لنا ر‬.‫لفجور‬

(Sesungguhnya jujur itu menggiring ke arah kebajikan dan kebajikan itu mengarah ke surga.
Sesungguhnya lelaki yang senantiasa jujur, ia ditetapkan sebagai orang yang jujur. Sesungguhnya
bohong itu menggiring ke arah dusta. Dusta itu menggiring ke neraka. sesungguhnya lelaki yang
senantiasa berbuat bohong itu akan ditetapkan sebagai pembohong. Muttafaq ‘alaih (an-Nawawi,
[t.th.]:42)).

2.2.3  Bersikap Adil

Secara leksikal adil dapat diaritikan tidak berat sebelah, tidak memihak, berpegang kepada
kebenaran, sepatutnya, dan tidak sewenang-wenang (Kamus Besar, l990 :6-7) Dari masing-masing
arti dapat dicontohkan sebagai berikut: (1) Cinta kasih seorang ibu terhadap putra-putrinya tidak
berat sebelah. (2) Dalam memutuskan perkara, seorang hakim tidak memihak kepada salah satu
yang bersengketa.(3) Di dalam menjalankan tugasnya sebagai hakim, Hamid selalu berpegang
kepada kebenaran. (4) Sudah sepatutnya jika akhlaqul-karimah guru diteladani oleh murid.(5)
Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang tidak berbuat sewenang-wenang terhadap yang
dipimpin. Dari masing-masing contoh ini dapat disimpulkan bahwa sikap adil amat positif secara
moral.

Karena sifat yang positif, tentu sikap adil didambakan oleh banyak orang. Dalam contoh-contoh di
atas, sikap adil bersikap positif atau menguntungkan orang lain. Adil juga dapat dartikan tingkah laku
dan kekuatan jiwa yang mendorong seseorang untuk mengendalikan amarah dan syahwat dan
menyalurkannya ke tujuan yang baik (al-Hufiy, 2000: 24). Dalam definisi ini dapat dipahami bahwa
adil adalah kondisi batiniah seseorang yang berbentuk energi. Energi ini mendesak keluar untuk
mengendalikan amarah dan kemauan-kemauan hawa nafsu sehingga perbuatan yang keluar menjadi
baik. Yang mestinya orang itu menuruti hawa nafsu, karena kendali sikaprbuatannya menjadi
terarah, tidak merugikan diri sendiri dan orng lain.

Adil dapat diartikan menempatkan berbagai kekuatan batiniah secara tertib dan seimbang (al-Hufiy,
2000 :26). Kekuatan yang dimaksud adalah al-hikmah, asy-syaja’ah, dan al-‘iffa.al-Hikmah berarti
kecerdasan. Orang cerdas dapat membedakan antara yang benar dan salah, baik dan buruk, haq dan
batal secara tepat, tetapi belum tentu ia selalu memilih yang benar, yang baik, dan yang haq. Asy-
syaja’ah berarti berani tanpa rasa takut. Al-‘ffah berarti suci. Ketiga sifat utma ini jika tidak seimbang
menjadi tidak baik. Orang amat cerdas atau genius tetapi kecerdasannya dapat dijadikan alat untuk
mengelabuhi orang lain karena tidak ada ‘iffah di dalam dirinya. Orang selalu berani menangani
setiap masalah yang dihadapi, tentu akan menampakkan profil preman karena tidak ada al-hikmah
dan ‘iffah di dalam dirinya. Orang cerdas dan berani lalu digunakan untuk mengeruk kekayaan
negara secara tidak syah adalah tidak baik karena tidak ‘iffah di dalam dirinya. Orang selalu hanya
memilih kesucian dalam semua suasana secara terang-terangan tentu dapat membahayakan diri
sendiri.

Jika antara al-hikmah, asy-syaja’ah, dan al-‘iffah berpadu secara seimbang dalam diri seseorang,
maka orang itu akan bersikap adil. Orang berani melakukan sesuatu setelah ditimbang-timbang
bahwa sesuatu itu baik menurut akal dan menurut pertimbangan syariat juga baik . inilah gambaran
perbuatan adil. Berarti, ia berani berbuat karena benar. Orang tidak berani berbuat juga karena
benar, adalah bersikap adil, bukan karena takut. Dengan dimikian adil adalah puncak dari ketiga sifat
utama tersebut.

Islam memandang sikap adil amat fundamental dalam struktur ajaran. Kata adil dan berbagai
turunannya seperti : ya’dilun, i’dilu, ‘adlun, dan ta’dili diulang sebanyak 28 kali di dalam Alquran.
Karena itu Allah memerintah kepada kita supaya berlaku adil dalam semua hal. Allah berfirman:

Artinya :

“...Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa...” (QS. Al Maidah: 8).

Kata adil sinonim dengan al-qish. Kata ini dan berbagai derivasinya, umpama: iqshitu, al-muqshitun,
dan al-qashitun terulaqng sebanyak 25 kali dalam Alquran (‘Abd al-Baqiy, [t.th.] :P690). Kadang-
kadang kata adil dan kata al-qisht disebut secara besama-sama dan satu sama lain berarti sama.
Contohnya adalah:

Artinya :

“ dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan
antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang
melanggar Perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau Dia telah
surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu Berlaku adil;
Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang Berlaku adil “. ( QS. Al Hujurat : 9 ).

Karena baik secara rasional maupun syariah bahwa sikap adil itu adalah baik dan positif, tetapi di sisi
lain kita merupakan pemeluk agama Islam terbesar dunia dan di saat yang sama dikenal sebagai
bangsa dengan aneka predikat yang tidak baik seperti KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme), maka
untuk merubah citra buruk itu salah satu cara strategis adalah membudayakan sikap adil dalam
semua lapangan kehidupan.

Untuk mewujudkan sikap adil harus dilatih terus menerus secara berkesinambungan, yang bererti
pembiasaan berlaku adil. “Mulai sekarang, mulai yang sederhana, dan mulai dari diri sendiri”,Inilah
komitmen untuk mulai pembiasaan berlaku adil. Jika langkah awal ini dapat dilalui dengan baik,
tentu mudah menjalar kepada orang lain, apalagi kalau yang memulai komitmen itu adalah orang
yang memiliki pengaruh di masyarakat di mana ia berada karena salah satu naluri manusia adalah
meniru idola. Jika idola tidak bersikap adil, tentu para fansnya akan meniru tidak adil pula.

Dalam Islam orang yang paling pantas untuk di dudukkan sebagai idola untuk ditiru dan diteladani
adalah Rasulullah SAW. Allah berfirman yang artinya :
“ Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang
yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah “.
( QS. Al Ahzab : 21 ).

Selain itu ‘Aisyah, istri Rasulullah, menyebutkan bahwa akhlak beliau adalah Al-Quran “kana
khuluqulm Al-Quran” (H.R Muslim dari ‘Aisyah). Kiranya terlalu pantas jika idola pertama seluruh
umat Islam adalah Rasulullah. Hingga sekarang Rasulullah adalah orang yang paling berpengaruh di
dunia (rangking pertama) dari seratus orang yang paling berpengaruh di dunia (Hart, 1982:4). Cukup
banyak contoh-contoh sikap adil yang ditampakkan oleh Rasulullah, antara lain:

An-Nu’man bin Basyir mengatakan, “Ayahku memberi sesuatu pemberian kepadaku. Lalu ibuku
Amrah bin Rawahah berkata, “Aku tidak rela sebelum engkau persaksikan hadiah itu di hadapan
Rasulullah SAW”.

Ayahku lalu menghadap Rasulullah SAW dan berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku telah
membarikan suatu pemberian kepada anakku dari Amrah bin Rawahah. Kemudian aku
diperintahkannya supaya bersaksi kepada Tuan!”

Rasulullah SAW lalu berkata, “Apakah engkau juga telah memberi kepada semua anakmu pemberian
seperti ini?”

An-Nu’man menjawab, “Tidak”.

Beliau lalu bersabda, “bertaqwalah kepada Allah dan berlaku adillah terhadap anak-anakmu!”

Kemudian ayahku pulang dan menarik kembali pemberiannya.

Dan ada orang perempuan Makhdzumiyyah mencuri. Mereka berkata, “Siapakah yang akan
membicarakan hal ini kepada Rasulullah SAW?”

Tidak ada seorangpun yang berani kecuali (kekasih wanita itu) Usman bin Zaid r.a. Lalu ia
membicarakan hal tersebut dengan Rasulullah SAW.

Beliau berkata, “Apakah kamu akan bertindak sebagai pembela dalam pelanggarana hukum Allah?”
Kemudian Rasulullah SAW berdiri serta berkhotbah. Di antara isi khotbahnya beliau bersabda,
“Sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kamu adalah apabila ada seorang dari
golongan bangsawan mencuri, mereka biarkan saja, tetapi bila yang mencuri itu dari golongan
bawah (lemah), dia dijatuhi hukuman. Demi Allah andaikata Fatimah putri Muhammad mencuri,
pasti akan kupotong tangannya.” (Al-hufiy, 2000:189)

Dan masih banyak contoh lain tentang keadilan Rasulullah.

2.2.4  Etos Kerja, Sikap Terbuka, dan Keadilan dalam Islam

Budaya akademik akan dapat terwujud dengan syarat sikap-sikap positif juga dimiliki. Di antara sikap
positif yang harus dimiliki adalah etos kerja yang tinggi,sikap terbuka dan berlaku adil. Arti penting
dari ketiga sikap tersebut dapat diringkas sebagai berikut:

Untuk dapat meningkatkan etos kerja seorang muslim harus terlebih dahulu memahami tugasnya
sebagai manusia yaitu sebagai khalifah Allah SWT di muka bumi dan sebagai hamba yang
berkewajiban untuk beribadah kepad aAllah SWT. Beberapa petunjuk Al-Qur’an agar dapat
meningkatkan etos kerja antara lain;

1.      Mengatur waktu dengan sebaik-baiknya.

2.      Bekerja harus sesuai dengan bidangnya dan ini harus diberi catatan bahwa etos kerja yang
tinggi tidak boleh menjadikan orang tersebut lupa kepada Allah SWT.

Sikap positif selanjutnya adalah sikap terbuka dan jujur, seseorang tidak mungkin meraih
keberhasilan dengan cara mempunyai etos kerja yang tinggi kalu tidak memiliki sikap terbuka dan
jujur. Karenaorang yang tidak terbuka maka akan cenderung menutup diri sehingga tidak dapat
bekerjasama dengan orang lain. Apalagi kalu tidak jujur maka energinya akan tersita untuk menutupi
ketidakjujuran yang dilakukan. Maka Al-qur’an dan Hadis memberi apresiasi yang tinggi tehadap
orang yang terbuka dan jujur.

Buah dari keterbukaan seseorang maka akan melahirkan sikap adil. Makna yang diperkenalkan Al-
qur’an buka hanya dalam aspek hukum melainkan dalam spektrum yang luas. Dari segi kepada siapa 
sikap adil itu harus ditujukan Al-qur’an memberi petunjuk bahwa sikap adil dissamping kepada Allah
SWT dan orang lain atau sesama makhluk juga kepada diri sendiri.
BAB III

PENUTUP

3.1        KESIMPULAN

Budaya akademik dalam pandangan Islam adalah suatu tradisi atau kebiasaan yang berkembang
dalam dunia Islam menyangkut persoalan keilmuan. Atau dalam bahasa yang lebih sederhana adalah
tradisi ilmiah yang dikembangkan Islam. Di antara poin-poin pentingnya adalah pertama, tentang
penghargaan Al-quran terhadap orang-orang yang berilmu, di antaranya adalah:

1.            Wahyu Al-quran yang turun pada masa awal mendorong manusia untuk memperoleh ilmu
pengetahuan.

2.            Tugas Manusia sebagai khalifah Allah di Bumi akan sukses kalau memiliki ilmu pengetahuan.

3.            Muslim yang baik tidak pernah berhenti untuk menambah ilmu.

4.            Orang yang berilmu akan dimuliakan oleh Allah SWT.

Di samping memberikan apresiasi terhadap orang yang berilmu poin penting lain yang dijelaskan Al-
quran adalah bahwa:

1.            Iman seorang muslim tidak akan kokoh kalau tidak ditopang dengan ilmu, demikian juga
dengan amal shalih.

2.            Tugas kekhalifahan manusia tidak akan dapat sukses kalau tidak dilandasi dengan ilmu.

3.            Karakter seorang muslim yang berbudaya akademik adalah; orang yang selalu mengingat
Allah yang disertai dengan ikhtiar untuk selalu menggunakan akalnya untuk memikirkan ciptaan
Allah SWT. Serta selalu berusaha menambah ilmu dengan membuka diri terhadap setiap informasi
yang baik dan kemudian memilih yang terbaik untuk dijadikan pegangan dan diikutinya.

Budaya akademik akan dapat terwujud dengan syarat sikap-sikap positif juga dimiliki. Di antara sikap
positif yang harus dimiliki adalah etos kerja yang tinggi, sikap terbuka dan berlaku adil. Arti penting
dari ketiga sikap tersebut dapat diringkas sebagai berikut:

Untuk dapat meningkatkan etos kerja seorang muslim harus terlebih dahulu memahami tugasnya
sebagai manusia yaitu sebagai khalifah Allah SWT di muka dan juga sebagai hamba yang
berkewajiban untuk beribadah kepada Allah SWT. Beberapa petunjuk Al-quran agar dapat
meningkatkan etos kerja antara lain;

1.            Mengatur waktu dengan sebaik-baiknya.


2.            Bekerja harus sesuai dengan bidangnya dan ini harus diberi catatan bahwa etos kerja yang
tinggi tidak boleh menjadikan orang tersebut lupa kepada Allah SWT.

Sikap positif selanjutnya adalah sikap terbuka atau jujur; Seseorang tidak mungkin akan dapat
meraih keberhasilan dengan cara mempunyai etos kerja yang tinggi kalau tidak memiliki sikap
terbuka dan jujur. Karena orang yang tidak terbuka maka akan cenderung menutup diri sehingga
tidak dapat bekerja sama dengan yang lain. Apalagi kalau tidak jujur maka energinya akan tersita
untuk menutupi ketidakjujuran yang dilakukan. Maka Al-quran dan Hadis memberi apresiasi yang
tinggi terhadap orang yang terbuka dan jujur.

Buah dari keterbukaan seseorang maka akan melahirkan sikap adil. Makna adil yang diperkenalkan
Al-quran bukan hanya dalam aspek hukum melainkan dalam spektrum yang luas. Dari segi kepada
siapa sikap adil itu harus ditujukan Al-quran memberi petunjuk bahwa sikap adil di samping kepada
Allah SWT dan orang lain atau sesama makhluk juga kepada diri sendiri.

3.2         SARAN

Untuk menuntut dan mengamalkan budaya akademis, sikap etos kerja, sikap terbuka, dan keadilan
harus kita dasar dengan keimanan dan ketakwaan kepada Allah swt agar dapat memberikan jaminan
kemaslahatan bagi kehidupan serta lingkungan sekitar kita.

Anda mungkin juga menyukai