Anda di halaman 1dari 60

https://uir.ac.

id/opini_dosen/tantangan-hukum-di-era-revolusi-industri-4-0-oleh-syafrinaldi

PEMBANGUNAN yang dilakukan oleh suatu bangsa harus memihak kepada kepentingan
rakyat.  Pembangunan sebagai suatu proses yang berkesinambungan harus senantiasa
tanggap dan peka terhadap dinamika yang terjadi di dalam masyarakat, baik di bidang
politik, ekonomi, teknologi, sosial dan budaya dan sebagainya.

Masyarakat modern (modern society) hidup dalam era teknologi informasi (information
technology) atau disebut juga dengan informative society yang saat ini populer disebut
dengan „disruptive era“ atau era revolusi industri 4.0.  Artinya, dunia global telah
menempatkan kehidupan manusia berada di tengah-tengah arus teknologi yang begitu 
cepat perkembangannya dan sekaligus menjadi ancaman bagi manusia.  Kemajuan dalam
bidang teknologi (informasi) merupakan hasil karya intelektual manusia yang telah banyak
membawa perubahan luar biasa dalam pola hidup manusia dewasa ini.

Berbagai capaian manusia dalam bidang paten dan hak cipta merupakan bukti nyata, bahwa
dalam perdagangan dunia karya-karya intelektual manusia telah menjadi mesin ekonomi
yang sangat ampuh bagi pertumbuhan ekonomi suatu bangsa.  Dalam konteks itulah sangat
tepat dikatakan, bahwa teori keuntungan (benefit theory) dalam perlindungan hukum atas
hak milik intelektual (intellectual property rights) sangat relevan, karena perlombaan untuk
menghasilkan karya-karya intelektual dilakukan untuk mendapatkan keuntungan (materil
dan moril) bagi si pencipta atau inventor.

Perubahan yang begitu cepat dalam dunia bisnis merupakan ciri dari kehidupan manusia di
era disruption.  Kehidupan dunia usaha dan bisnis yang didukung oleh teknologi informasi,
seperti internet telah menciptakan dunia bisnis seolah-olah tanpa batas (borderless trade) di
seluruh penjuru dunia.  Kemajuan ini secara otomatis, baik langsung maupun tidak
langsung, telah berimplikasi pada eksistensi hukum yang mengaturnya.

Kemajuan pesat yang terjadi dalam masyarakat dunia, termasuk juga masyarakat Indonesia,
perlu dibarengi dengan sentuhan hukum, sehingga eksistensi negara hukum dapat terus
dipertahankan.  Artinya dukungan yang diberikan oleh pemerintah dalam pengembangan
teknologi informasi harus diikuti dengan perkembangan hukum, sehingga kemajuan
teknologi tersebut dapat bermanfaat secara maksimal bagi masyarakat dan negara dan akan
dapat mendorong masuknya investor ke Indonesia.

Perkembangan dan kemajuan teknologi informasi secara global membawa dampak luas di
tengah-tengah kehidupan masyarakat nasional dan internasional.  Kemajuan tersebut tidak
hanya telah menciptakan perdagangan dengan menggunakan elektronik (electronic
commerce – e-commerce), sehingga telah melenyapkan konsep jual beli secara
konvensional, tetapi sekaligus juga telah menimbulkan kekhawatiran dan ketakutan
masyarakat terhadap ekses-ekses negative dari teknologi tersebut, seperti kejahatan
terhadap credit card atau Anjung Tunai Mandiri (ATM) serta ancaman keadidayaan
teknologi informasi sebagai pengganti tenaga manusia di dalam dunia kerja seperti
maraknya online shopping.

Tanggal 21 April 2008 merupakan tonggak sejarah bagi perkembangan hukum di


Indonesia.  Pada tanggal tersebut Pemerintah Indonesia telah mengundangkan undang-
undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Kehadiran UU
ini membuktikan bahwa Pemerintah Indonesia harus mengikuti arus globalisasi dalam
segala bidang, termasuk dalam transaksi elektronik yang jelas berbeda dengan perbuatan
hukum pada umumnya.    Pemberlakuan UU ini sekaligus juga menjawab tantangan hukum
di dunia maya atau hukum siber yang selama ini belum diatur secara khusus di Indonesia.

Ciri khas dari perbuatan hukum siber ini, pertama, kendatipun perbuatan hukum itu
dilakukan di dunia virtual yang tidak mengenal locus delicti, tetapi perbuatan itu berakibat
nyata (legal facts), sehingga perbuatan itu harus dianggap sebagai perbuatan yang nyata
pula.  Dengan demikian segala bukti yang terdapat dan menggunakan teknologi informasi,
seperti e-mail dan lain-lain dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah.  Kedua, UU ini juga
tidak mengenal batas wilayah (borderless) dan siapa pelakunya (subyek hukum), sehingga
siapapun pelakunya dan dimanapun keberadaannya tidak begitu penting asalkan
perbuatannya tersebut dapat menimbulkan akibat hukum di Indonesia.  Jadi, yang
terpenting disini adalah bahwa perbuatan hukum itu menimbulkan kerugian terhadap
kepentingan Indonesia yang meliputi tetapi tidak terbatas pada merugikan kepentingan
ekonomi nasional, perlindungan data strategis, harkat dan martabat bangsa, pertahanan dan
keamanan, serta badan hukum Indonesia.

Keterkaitan UU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dengan berbagai UU dalam


hak milik intelektual sangat dekat.  Sebab, semua informasi dan atau dokumen elektronik
yang disusun merupakan obyek yang dilindungi berdasarkan UU Hak Cipta.  Demikian
juga dengan hal-hal yang berkaitan dengan rejim paten, merek dan indikasi geografis,
perlindungan varietas tanaman, rahasia dagang, desain industri dan desain tata letak sirkuit
terpadu juga tunduk pada ketentuan perundangan masing-masing.

Dengan diberlakukannya UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi


Elektronik membawa konsekuensi logis di tubuh institusi penegak hukum di Indonesia.
UU yang baru ini menuntut aparatur hukum yang betul-betul memahami dan menguasai
teknologi informasi secara komprehensif dalam melaksanakan tugas-tugas ke depan.  Hal
ini disebabkan, karena perbuatan-perbuatan yang dulunya secara konvensional terasa
mudah untuk diselesaikan, tetapi tantangan tugas-tugas ke depan harus berhadapan dengan
suatu perbuatan hukum yang hanya dapat dirasakan akibatnya saja tanpa diketahui siapa
pelaku dan dimana perbuatan itu dilakukan.  Perbuatan hukum itu terjadi di alam maya
(cyber world).

Institusi hukum, seperti Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman dan Advokat harus mereposisi
diri.   Profesionalisme mereka sangat dituntut dalam menyelesaikan tugas-tugas berat dalam
bidang hukum ke depan.  Sebab ditangan merekalah kepastian hukum (legal certainty)
dapat diwujudkan bagi si pencari keadilan di muka bumi ini (justice for all).

Dalam UU ITE ditetapkan mengenai perluasan dari alat bukti yang sah yang selama ini
dikenal dalam Hukum Acara di Indonesia.  Semua informasi elektronik dan/ atau dokumen
elektronik dan/ atau hasil cetaknya merupakan alat bukti yang sah, apabila menggunakan
sistem elektronik.  Sistem elektronik adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik
yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan,
menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/ atau menyebarluaskan informasi
elektronik.

Berbagai perbuatan hukum, baik itu perdata maupun pidana dilakukan oleh manusia dengan
mempergunakan sistem teknologi informasi.  Hal ini dapat dibuktikan, betapa banyaknya
masyarakat internasional yang melakukan aktivitas bisnis usahanya di alam maya dengan
menggunakan internet.  Hal yang sama juga dengan mudah kita temukan di Indonesia. 
Banyak pelaku ekonomi yang memperjualbelikan dagangannya baik barang maupun jasa
melalui internet tanpa harus bertemu secara fisik antara si penjual dan si pembeli.  
Pemberlakuan tiket dengan sistem electronic ticket (e-ticket) di bisnis penerbangan secara
global merupakan contoh yang jelas dan memberikan kemudahan bagi konsumen.
Demikian juga dengan penutupan kontrak oleh para pihak cukup dilakukan melalui dunia
maya dengan membubuhkan tandatangan elektronik, yaitu tanda tangan yang terdiri atas
informasi elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan informasi elektronik
lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentifikasi.

Pada akhirnya era disruption meninggalkan banyak pekerjaan rumah bagi ahli dan penegak
hukum di Indonesia yang menuntut tingkat profesionalisme yang tinggi dan handal dengan
penguasaan soft skill seperti komputer dan bahasa inggris.  Tantangan atau challenge
bukanlah sesuatu yang harus dielakkan melainkan harus dihadapi dengan cara dan strategi
yang tepat, sehingga semuanya mendapatkan ruang dalam ilmu hukum dan implementatif.*

[]Penulis: Rektor Universitas Islam Riau


https://kumparan.com/danrivanto-budhijanto/yurisdiksi-virtual-dalam-revolusi-industri-4-0-
1553915193203304572

Revolusi Industri Keempat atau The Fourth Industrial Revolution (Revolusi Industri 4.0) telah
membawa tantangan baru. Revolusi Industri 4.0 yang luar biasa cepatnya telah berdampak pada
perubahan teknologi dan sosial, maka adalah hal keliru untuk memastikan hasil yang tepat jika
hanya mengandalkan legislasi/regulasi dan insentif dari pemerintah. Pada saat diterapkannya
suatu legislasi/regulasi dan insentif pemerintah maka bisa jadi norma/aturan sudah tidak
memadai lagi atau malah menjadi tumpang tindih.
Hal itu yang dimaksud dalam White Paper yang diterbitkan oleh World Economic Forum
(WEF) pada November 2016 bahwa “Given the Fourth Industrial Revolution’s
extraordinarily fast technological and social change, relying only on government
legislation and incentives to ensure the right outcomes is ill-advised. These are likely to be
out-of-date or redundant by the time they are implemented".

1. Peradaban Digital Ekonomi dalam Revolusi Industri 4.0

G-2o pada Desember 2018 di Argentina telah memastikan kesepakatan bersama dalam
pemberdayaan digital ekonomi. G-20 Leaders’ Declaration Building Consensus For Fair
and Sustainable Development dalam butir ke-9 dinyatakan bahwa: “To maximize the benefits
of digitalization and emerging technologies for innovative growth and productivity, we will
promote measures to boost micro, small and medium enterprises and entrepreneurs, bridge the
digital gender divide and further digital inclusion, support consumer protection, and improve
digital government, digital infrastructure and measurement of the digital economy. We reaffirm
the importance of addressing issues of security in the use of ICTs. We support the free flow of
information, ideas and knowledge, while respecting applicable legal frameworks, and working to
build consumer trust, privacy, data protection and intellectual property rights protection. We
welcome the G20 Repository of Digital Policies to share and promote the adoption of innovative
digital economy business models. We recognize the importance of the interface between trade and
the digital economy. We will continue our work on artificial intelligence, emerging technologies
and new business platforms.” Wilayah Asia khususnya negara-negara ASEAN memiliki
peran utama dalam peradaban digital ekonomi sebagaimana terlihat dari data International
Monetary Fund (IMF) sebagai berikut:
Digital ekonomi memiliki karakter yang masif dan eskalatif karena kemudahan dan
kecepatan akses teknologi informasi atau media internet. Hanya dengan sekali sentuh maka
dapat disebarkan data secara meluas dan berubah dalam berbagai format dalam waktu yang
singkat.
Utilisasi informasi dari digital ekonomi termasuk kegiatan pengumpulan data (data
collecting); penelisikan data (data crawling); dan analisis perilaku interaksi data (data
behavior analyzing).
Data dimaksud harus mampu dimonetisasi dan divaluasi dalam indikator finansial sebelum
mampu menjadi nilai kompetitif sebagai model bisnis. Model bisnis yang kemudian
berbasis aplikasi tidak hanya jaringan dan jasa, baik dalam perdagangan elektronik (e-
commerce) maupun teknologi finansial (FinTech). Fenomena teknologi finansial secara
digital dimulai dengan bermunculannya model bisnis yang berfokus pada data, namun
hanya beberapa perusahaan/korporasi saja yang telah mencapai dampak finansial yang
signifikan.
Hasil dari Survei Global McKinsey 2017, menunjukkan bahwa peningkatan pangsa
korporasi yang menggunakan data dan analisis sebagai model bisnis yang menghasilkan
pertumbuhan finansial. Pertumbuhan finansial dari perusahaan yang berbasis model bisnis
data memerlukan kombinasi strategi, budaya, dan organisasi yang tepat.
Perusahaan melakukan monetisasi data (data monetizing, data capitalization) sebagai alat
pertumbuhan finansial. Walaupun masih dalam evolusi awal nampak beberapa perusahaan
dengan pertumbuhan tercepat (berkinerja tinggi) sudah berada di depan perusahaan-
perusahaan yang lainnya.
Digital ekonomi memiliki potensi peningkatan ekonomi kerakyatan di Indonesia dengan 3
pilar “berbagi” yaitu berbagi ekonomi (economic sharing), berbagai kepercayaan (trust
sharing), dan berbagi pengetahuan (intellectual sharing).
Peran yang terus tumbuh dari platform transportasi online, perdagangan online, pendidikan
online, menjadikan Pemerintah Indonesia menyadari pentingnya peradaban digital ekonomi
dalam mencapai tujuan kesejahteraan umum. Pemerintah bersama ekosistem industri terus
berupaya memperluas dan memperkuat sektor infrastruktur digital dan sumber daya talenta
digital.

2. Koridor Cyber Law dalam Revolusi Industri 4.0

Peradaban digital ekonomi yang melesat memerlukan koridor yang memastikan


terpenuhinya hak dan kewajiban para pelaku ekonominya dan terjaganya
kepentingan umum. Cyber law terus berupaya mengantisipasi dampak dari Revolusi
Industri 4.0 terutama dengan telah lahirnya peradaban digital ekonomi, melalui
pendekatan legislasi, regulasi, dan swa-regulasi.

Pendekatan legislasi (legislative approach) adalah upaya untuk membentuk


peraturan perundang-undangan sebagai dampak dari tren konvergensi dan sekaligus
sebagai antisipasi terhadap fenomena konvergensi dari teknologi informasi. Solusi
legislatif dalam mendefinisikan rezim hukum baru, atau membentuk kerangka
pengaturan, atau regulasi yang baru adalah upaya antisipatif terhadap implikasi
konvergensi dan arah kebijakan masa depan dari peradaban manusia.
Sebagaimana yang dinyatakan secara tegas oleh Menteri Komunikasi dan Informatika R.I.
Rudiantara bahwa “Undang-Undang ITE (UU Nomor 11 Tahun 2008) yang merupakan UU
pertama di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik sebagai produk legislasi
yang menjadi pionir dalam meletakkan dasar pengaturan dan perlindungan dalam bidang
pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik.”
3. Daniel Malan dalam tulisannya "The Law Can't Keep Up With New Tech. Here's How To
Close The Gap", memberikan narasi bahwa memahami skala dan kompleksitas ekonomi
global serta pengetahuan kita tentang sifat manusia, maka akan sangat naif untuk hanya
mengandalkan spontanitas dan kesukarelaan dari perilaku etis individu serta korporasi
untuk memastikan keadilan atau meningkatkan martabat manusia juga masyarakat.
4. Pemberlakuan legislasi dan regulasi yang dikombinasikan dengan penegakan hukum yang
serius, tetap diperlukan untuk memandu perilaku masyarakat dan memastikan supremasi
hukum.
5. Namun pendekatan ini sering menghasilkan permainan kucing dan tikus (cat and
mouse game) antara regulator dan pelaku ekonomi.
6. Individu dan korporasi yang taat hukum menghabiskan banyak waktu serta finansial
untuk mencari celah hukum sekedar mencapai kepatuhan teknis saja, sementara
yang lain melakukan 'akrobatik' hukum sehingga ketidakpatuhan mereka tetap tidak
dapat terdeteksi.
7. Mochtar Kusumaatmadja menegaskan bahwa tujuan pokok dari hukum apabila
hendak direduksi pada satu hal saja adalah ketertiban (order), ketertiban adalah
tujuan pokok dan pertama dari segala hukum dan kebutuhan terhadap ketertiban ini
merupakan syarat pokok (fundamental) bagi adanya suatu masyarakat manusia yang
teratur.
8. Di samping ketertiban, tujuan lain daripada hukum adalah tercapainya keadilan
yang berbeda-beda isi dan ukurannya, menurut masyarakat dan zamannya.
9. Untuk mencapai ketertiban dalam masyarakat ini, diusahakan adanya kepastian
dalam pergaulan antarmanusia dalam masyarakat. Pemahaman yang penting sekali
bukan saja bagi suatu kehidupan masyarakat teratur, tetapi merupakan syarat mutlak
bagi suatu organisasi hidup yang melampaui batas-batas saat sekarang.
10. Karena itulah terdapat lembaga-lembaga hukum seperti misalnya dalam (1) lembaga
perkawinan, yang memungkinkan kehidupan yang tak dikacaukan oleh hubungan
laki-laki dan perempuan; (2) lembaga hak milik; dan (3) lembaga kontrak yang
harus ditepati oleh pihak-pihak yang menyepakatinya.
11. Tanpa kepastian hukum dan ketertiban masyarakat yang dijelmakan olehnya maka
manusia tak mungkin mengembangkan bakat-bakat dan kemampuan yang diberikan
Tuhan kepadanya secara optimal di dalam masyarakat tempat hidup. Sjachran
Basah secara lebih konstruktif menjelaskan 5 (lima) fungsi hukum dalam kaitannya
dengan kehidupan masyarakat, yaitu sebagai berikut:
12. Direktif bahwa hukum berfungsi sebagai pengarah dalam membangun untuk
membentuk masyarakat yang hendak dicapai sesuai dengan tujuan kehidupan
bernegara;
13. Integratif bahwa hukum berfungsi sebagai pembina kesatuan bangsa;
14. Stabilitatif bahwa hukum berfungsi sebagai pemelihara (termasuk ke dalamnya
hasil-hasil pembangunan) dan penjaga keselarasan, keserasian, dan keseimbangan
dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat;
15. Perfektif bahwa hukum berfungsi sebagai penyempurna terhadap tindakan-tindakan
administrasi negara, maupun sikap tindak warga negara dalam kehidupan bernegara
dan bermasyarakat; dan
16. Korektif bahwa hukum berfungsi baik terhadap warga negara maupun administrasi
negara dalam mendapatkan keadilan.

Revolusi Industri 1.0 hingga Revolusi Industri 3.0 membebaskan manusia dari kekuatan
hewan, memungkinkan produksi massal dan membawa kemampuan digital kepada miliaran
orang. Revolusi Industri 4.0 pada dasarnya sangat berbeda dengan ditandai berbagai
teknologi baru yang menggabungkan dunia fisik, digital dan biologis.
Hal itu memengaruhi semua disiplin ilmu, ekonomi, dan industri, dan bahkan ide-ide yang
menantang tentang “apa” artinya menjadi manusia. Pergeseran dan gangguan yang terjadi
menjadikan manusia hidup di masa yang penuh dengan janji dan bahaya besar.
Dunia memiliki potensi untuk menghubungkan miliaran lebih banyak orang ke jaringan
digital, secara dramatis meningkatkan efisiensi organisasi dan bahkan mengelola aset
dengan cara yang dapat membantu meregenerasi lingkungan alam serta berpotensi disrupsi
terhadap revolusi-revolusi industri sebelumnya.
Klaus Schwab dalam tulisannya "The Fourth Industrial Revolution" sebagaimana dimuat
dalam Foreign Affairs, memiliki keprihatinan besar bahwa organisasi bisnis mungkin tidak
dapat beradaptasi; pemerintah dapat gagal menggunakan dan mengatur teknologi baru
untuk menangkap manfaatnya; pergeseran kekuasaan akan menciptakan masalah keamanan
yang baru dan penting; ketidaksetaraan bisa tumbuh; dan fragmentasi masyarakat.
Schwab menempatkan pula perubahan terbaru ke dalam konteks historikal; menguraikan
teknologi utama (mainstream) yang mendorong Revolusi Industri 4.0; membahas dampak
utama pada pemerintah, bisnis, masyarakat sipil dan individu; dan menyarankan cara untuk
menanggapi hal-hal dimaksud.
Perlu keyakinan bahwa Revolusi Industri 4.0 berada dalam kendali selama kita mampu
berkolaborasi lintas geografis, sektoral, dan disiplin untuk memahami peluang yang
dihadirkannya dalam peradaban manusia.
Schwab secara khusus menyatakan seruan bagi para pemimpin dan warga negara untuk
"bersama membentuk masa depan yang bekerja untuk semua dengan menempatkan orang-
orang terbaiknya, memberdayakan mereka dan terus-menerus mengingatkan diri kita bahwa
semua teknologi baru ini adalah alat pertama dan utama yang dibuat oleh orang-orang
untuk manusia".

Revolusi Industri 4.0 memiliki implikasi atau dampak terhadap bagaimana fungsi hukum di
dalam masyarakat. Sehingga perlu didekati dari pemahaman Teori Hukum.
Teori Hukum adalah cabang dari Ilmu Hukum yang dalam suatu perspektif interdisipliner
secara kritikal menganalisis berbagai aspek dari gejala hukum masing-masing secara
tersendiri dan dalam kaitan keseluruhan mereka, baik dalam konsepsi teoretikal mereka
maupun dalam penjabaran praktikal mereka, dengan mengarah pada suatu pemahaman
yang lebih baik dalam, dan suatu penjelasan yang jernih atas bahan-bahan yuridikal.
Revolusi Industri 4.0 sanggup menghasilkan kepercayaan, setiap orang yang berkontribusi
harus berkolaborasi dan merasakan hubungan dengan tujuan bersama. Lebih banyak
transparansi tentang bagaimana kita mengatur dan mengelola teknologi ini adalah kunci,
seperti juga model keamanan yang meningkatkan kepercayaan diri kita bahwa sistem ini
tidak akan diretas, dikenali, atau menjadi alat kompetisi oleh mereka yang
mengendalikannya.
Revolusi Industri 4.0 memberi dampak pada konsep membawa semuanya bersama, bahwa
inovasi dalam kecerdasan buatan, bioteknologi, robotika, dan teknologi baru lainnya akan
mendefinisikan kembali apa artinya menjadi manusia dan bagaimana kita berinteraksi satu
sama lain dan planet ini. Kemampuan kami, identitas kami, dan potensi kami semua akan
berevolusi seiring dengan teknologi yang kami buat.
Dalam beberapa dekade mendatang, kita harus membangun pagar pembatas yang menjaga
kemajuan Revolusi Industri 4.0 di jalur untuk memberi manfaat bagi seluruh umat manusia.
Kita harus mengenali dan mengelola potensi dampak negatif yang dapat mereka miliki,
terutama di bidang kesetaraan, pekerjaan, privasi, dan kepercayaan.
Kita harus secara sadar membangun nilai positif ke dalam teknologi yang kita buat, berpikir
tentang bagaimana mereka akan digunakan, dan merancangnya dengan penerapan etika
dalam pikiran dan mendukung cara kolaboratif untuk melestarikan apa yang penting bagi
kita.
Upaya ini menuntut semua pemangku kepentingan yaitu pemerintah, pembuat kebijakan,
organisasi internasional, regulator, organisasi bisnis, akademisi, dan masyarakat sipil untuk
bekerja sama mengendalikan teknologi yang kuat dengan cara yang membatasi risiko dan
menciptakan dunia yang sejalan dengan tujuan bersama untuk masa depan.
Kita semua sebagai pribadi, warga negara, karyawan, investor, dan pemberi pengaruh
sosial, adalah pemangku kepentingan yang sangat penting dalam Revolusi Industri 4.0,
sebagaimana ditegaskan oleh Klaus Schwab dalam “The Fourth Industrial Revolution”
bahwa “The Fourth Industrial Revolution can compromise humanity's traditional sources
of meaning—work, community, family, and identity—or it can lift humanity into a new
collective and moral consciousness based on a sense of shared destiny. The choice is ours”.

3. Teori Hukum Konvergensi sebagai Fundamental Yurisdiksi Virtual


4. Cyber law memiliki peran yang tidak bisa digantikan dalam ekosistem Revolusi
Industri 4.0 sebagai upaya pencapaian tujuan masyarakat. Mochtar Kusumaatmadja
menegaskan bawa peran hukum dalam pembangunan adalah untuk menjamin
bahwa perubahan itu terjadi dengan cara yang teratur yang didasarkan oleh
perundang-undangan atau keputusan pengadilan atau kombinasi dari kedua-duanya.
5. Perubahan yang teratur melalui prosedur hukum, baik berwujud perundang-
undangan atau keputusan badan-badan peradilan. Perubahan maupun ketertiban
(atau keteraturan) merupakan tujuan kembar daripada masyarakat yang sedang
membangun maka cyber law menjadi suatu alat yang tidak dapat diabaikan dalam
Revolusi Industri 4.0.
6. Peran cyber law sebagaimana dimaksud adalah suatu alat pembaharuan masyarakat,
sehingga mengharuskan masyarakat memiliki pengetahuan lebih banyak dan luas
dari cyber law.

7. Seorang ahli hukum di suatu masyarakat yang sedang membangun dalam ekosistem
Revolusi Industri 4.0 harus mengetahui interaksi antara hukum dengan faktor-faktor
lain dalam perkembangan masyarakat, terutama variabel-variabel teknologi,
ekonomi, dan sosial. Cyber law mengharuskan dilakukannya analisis fungsionil dari
sistem hukum sebagai keseluruhan dan kaidah-kaidah serta lembaga-lembaga sosial
tertentu.
8. Sistem Hukum sebagaimana dimaksud dapat dijelaskan melalui pendekatan Teori
Hukum dan Ilmu Hukum.
9. Teori Hukum adalah teorinya Ilmu Hukum, sebagaimana yang dipahami dari
Sudikno Mertokusumo bahwa teori hukum berhubungan dengan hukum pada
umumnya dan dikenal sebagai meta teori Ilmu Hukum.
10. Teori Hukum digunakan untuk menyelesaikan masalah-masalah hukum tertentu
yang mendasar, yang berkaitan dengan masalah-masalah hukum positif (legal
problems, legislations issues, regulations disputes) tetapi jawabannya tidak dapat
dicari atau diketemukan dalam hukum positif (peraturan perundang-undangan).
11. Sudikno dengan tegas mengkualifikasikan bahwa Teori Hukum adalah teorinya
Ilmu Hukum, dan Ilmu Hukum adalah teorinya peraturan perundang-undangan
(legislasi dan regulasi) dan praktik hukum (law in actions).
12. Teori Hukum adalah sebuah upaya untuk pada kegiatan mempelajari hukum,
mengintegrasikan lagi hukum ke dalam konteks total dari keterberian-keterberian
faktual dan keyakinan-keyakinan ideal yang hidup yang terkait padanya, sehingga
mampu mengintegrasikannya ke dalam masyarakat (pergaulan hidup).
13. Tiap ilmu atau tiap cabang ilmu membedakan diri dari yang lain tidak terutama oleh
pokok-telaahnya (objeknya) tetapi oleh metodenya, yakni cara khas yang dengannya
orang bekerja untuk memperoleh pengetahuan ilmiah. Metode dari Teori Hukum
tidak dapat lain kecuali interdisipliner sintetikal. Teori Hukum dengan metode
interdispliner melaksanakan suatu fungsi konvergensi atau menggabungkan
(overkoepelen) dan, lebih lagi, mensintetisasi dalam keseluruhan dari Ilmu Hukum.

14. Teori Hukum harus dapat secara ilmiah menampilkan secara layak densitas dari
kenyataan ini sebagaimana dalam keseluruhannya dialami oleh tiap orang yang
berurusan dengan hukum atau yang berpartisipasi pada pembentukan hukum.
15. Kenyataan mewujudkan suatu keseluruhan, kebenaran yang tidak dapat dipecah
(ondeelbaar) serta tidak ada realitas yuridikal dan tidak ada kebenaran yuridikal,
namun yang ada adalah realitas dan kebenaran kemanusiaan dan kemasyarakatan,
yang di dalamnya hukum mensituasikan diri. Pada akhirnya, hal mempelajari aspek
hukum secara terpisah akan menjadi tidak ilmiah karena tidak setia pada kebenaran.
16. Hukum mengemban fungsi ekspresif, yakni mengungkapkan pandangan hidup,
nilai-nilai budaya dan keadilan.
17. Di samping itu, hukum juga mengemban fungsi instrumental, yakni sarana untuk
menciptakan dan memelihara ketertiban, stabilitas dan prediktabilitas; sarana untuk
melestarikan nilai-nilai budaya dan mewujudkan keadilan; sarana pendidikan dan
pengadaban masyarakat; sarana mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan
masyarakat; dan sarana untuk pembaharuan masyarakat (mendorong,
mengkanalisasi, dan mengarahkan perubahan masyarakat).
18. Dalam masyarakat pasca-kolonial yang sedang menjalani perubahan sosial yang
fundamental dan mencakup seluruh bidang kehidupan secara simultan, maka
perundang-undangan memegang peranan dominan dalam pembangunan tata-hukum
nasional serta menjalankan fungsi hukum sebagai sarana pendidikan dan perubahan
masyarakat.
19. Yurisprudensi berperan untuk mendukung dengan menjabarkan ketentuan
perundang-undangan dakam putusan konkretnya. Dalam kaitan ini, maka Ilmu
Hukum yang adekuat sangat dibutuhkan sebagai sarana intelektual untuk membantu
proses pembentukan hukum melalui perundang-undangan dan yurisprudensi, serta
membantu penyelenggaraan hukum menjalankan fungsi hukum sebagai sarana
pendidikan dan pembaharuan masyarakat.
20. Klaus Schwab sang pendiri World Economic Forum mempercayai bahwa fase
Revolusi Industri 4.0 akan dibangun di sekitar “cyber-physical systems” (sistem
cyber-fisik) dengan mengaburkan fisik, digital dan biologis. Ketika manusia
merangkul usia teknologi digital maka kita perlu dihadapkan dengan tantangan etika
baru dan menyerukan diperlukannya undang-undang baru. Dalam beberapa kasus,
seluruh kode moral mungkin perlu di-boot ulang (reboot), karena itulah sifat
terobosan teknologi.
21. ADVERTISEMENT
22. Untuk mencapai tujuan hukum yang progresif, yakni hukum yang mengabdi
manusia dan mewujudkan keadilan di dalam masyarakat, maka secara hermeneutis
semua metode interpretasi perlu diupayakan. Sehingga untuk menetapkan apa
makna hukum yang tercantum dalam suatu perundang-undangan yang membentuk
peradaban ekonomi digital perlu dilakukan berdasarkan aturan hukum positif yang
dipahami (diinterpretasi) berdasarkan:
23. a. Gramatikal, sesuai makna kata dan struktur kalimatnya.
24. b. Historikal, konteks latar belakang sejarah.
25. c. Teleologikal, dalam kaitan dengan tujuannya yang menentukan isi aturan hukum
positif tersebut.
26. d. Sistematikal, dalam konteks hubungan aturan-aturan positif yang lainnya.
27. e. Sosiologikal-Teknologikal, secara kontekstual merujuk pada faktor-faktor
kenyataan kemasyarakatan dan ekonomi serta teknologi.
28. f. Filosofikal, dengan mengacu nilai-nilai kultural dan kemanusiaan yang
fundamental.
29. g. Futurologikal, dalam proyeksi ke masa depan.
30. Teori Hukum Konvergensi merupakan pemahaman konseptual dan teoretikal dari
penyatuan (convergence) variabel-variabel teknologi, ekonomi, dan hukum terhadap
hubungan manusia dan masyarakat dalam Revolusi Industri 4.0, baik dalam tataran
nasional, regional maupun tataran internasional.
31. Paradigma dari konvergensi tatanan hukum dapat dilakukan pemahaman yang lebih
mendalam dengan mengkaji pendekatan konsepsi konvergensi dan konsepsi non-
konvergensi hukum. Pendekatan untuk mencari keterkaitan dengan persamaan atau
perbedaan antara sistem hukum, atau membandingkan sistem hukum yang berbeda
diharapkan dapat menjelaskan pentingnya konsepsi konvergensi hukum.

Sumber: Infrastruktur Digital Ekonomi, Kemkominfo R.I.


https://www.kompasiana.com/machsvorming/5befd75dc112fe3024079132/hukum-dalam-
pusaran-revolusi-industri-4-0?page=all

Oleh : Ganda Martunas Sihite 

Mahasiswa Fakultas Hukum UNRI dan Kader GMNI Pekanbaru

Perkembangan globalisasi yang semakin pesat hingga hari ini memberikan pengaruh yang
berdampak dalam segala bidang kehidupan manusia baik ekonomi, sosial maupun politik. 

Pesatnya perkembangan globalisasi yang ditandai oleh teknologi membuat manusia tidak
dapat berjalan secara beriringan dengan waktu. 

Manusia cenderung berpikir bahwa eksistensi teknologi canggih yang ada dihadapan nya
sudah final tanpa adanya pemeriksaan lebih lanjut dan memang harus dibutuhkan tanpa
berpikir akan resiko dan akibat yang akan terjadi.

Percepatan Teknologi yang berjalan semakin pesat, membuat manusia semakin


dipertanyakan akan kesiapannya. Alhasil cepatnya laju dobrakan sosial oleh teknologi
tanpa sadar telah mendorong manusia untuk terperosok masuk ke dalam pemahaman yang
sempit. 

Pemahaman yang mengimani dan meyakini pesatnya kemajuan alat-alat itu sebagai sebuah
proses yang tanpa cela, netral, bebas nilai, absen dari tendensi rivalitas dan kepentingan
ekonomi-politik dan hukum yang berlaku. Sehingga mucul suatu pemujaan dan
penghambaan terhadap arus teknologi tersebut.

Dalam rentetan perkembangannya, penggunaan teknologi mulai memasuki seluruh seluk


beluk kehidupan hingga menjadi "otak" daripada manusia itu. Di kala eksistensinya
semakin pesat, saat itu juga penggunaannya mulai disalahgunakan untuk berbagai
kepentingan yang menyimpang daripada norma yang ada. 

Tidak hanya sampai disitu, di tengah-tengah banjirnya hoaks dan kikuknya penalaran kritis
namun tertutup oleh tudung jargon, yang melekat bersama teknologi tinggi sehingga
memicu integrasi yang seharusnya tidak terjadi.

Auguste Comte, mengatakan bahwa perkembangan pengetahuan dan teknologi adalah


penentu utama jalannya peradaban."  Peradaban yang dimaksud bisa saja peradaban yang
harmoni dan bersinergi untuk pembangunan sumber daya manusia dan disisi lain bisa
menjadi peradaban yang hanya sementara. 

Dalam perkembangannya, laju peradaban kini terbungkus dalam label baru yang dikemas
dalam bentuk Revolusi Industri 4.0. Terjadinya gempuran di berbagai ranah dan kepungan
teknologi  yang serba disruptif, mulai dari Internet of things (IoT), big data, otomasi,
robotika, komputasi awan, hingga inteligensi artifisial (Artificial Intelligence) berhasil
menorehkan penandaan besar dalam sejarah termasuk dalam tatanan hukum.

Penamaan angka 4.0 di belakang revolusi industry, dikemas secara singnifikan agar segala
inovasi dan penemuan besar dan terbaru mampu memberikan dampak positif terhadap
lingkungan dan kehidupan masyarakat. Seturut dengan penamaan tersebut, teknologi yang
diyakini manusia sebagai solusi daripada kerumitan mampu merubah lekuk dan tatanan
segala bidang kehidupan khususnya bidang hukum. Sehingga mampu memberikan
pemahaman dibidang hukum secara rasionalitas.

Indonesia sebagaimana dikatakan sebagai negara hukum, yang menjunjung tinggi akan
hukum seakan terguncang oleh kahadirannya, baik dari kebijakan dan regulasi pemerintah,
produk legislatif, bahkan peradilan. Terguncangnya lini-lini itu meninggalkan jurang
pertanyaan antara perkembangan teknologi yang melesat dan sikap publik terhadapnya.
Kehadiran globalisasi telah jauh melaju memasuki babak baru dan merintangi zona waktu
yang signifikan dengan kemajuan teknologi yang semakin canggih. 

Di sampingi itu tak ada jalan lain untuk tetap berada pada zona statis. Manusia sudah harus
segera melakukan harmonisasi antara kemajuan teknologi dan regulasi yang tepat untuk
membingkainya dengan hukum sebagai rambu rambu alami yang selalu ada membersamai
tatanan sosial.

Deru revolusi Industri 4.0 terhadap tatanan hukum di Indonesia harus dicermati secara
kritis dan negara jangan menjadikannya sebagai jargon belaka. Disamping itu, jika negara
lengah dalam menyikapi hal ini sama saja dengan mudahnya tatanan hukum yang sedang
berlangsung  akan terlibas oleh kepiawaian daripada teknologi yang tidak maksimal
dikelola oleh negara. Sebagaimana dikatakan Balakrishnan dihadapan para peserta
konferensi di Suntec Singapore Convention & Exhibition Centre bahwa "Kita akan
menghadapi ledakan berbagai persoalan hukum seiring revolusi teknologi ini,"

Tidak dapat  dipungkiri, sebelum memasuki revolusi 4.0 yaitu era revolusi industri 3.0 saat
ini persoalan hukum semakin membanjiri ruang-ruang media sebagai corong daripada
teknologi tersebut. 

Di samping itu nalar kritis dan inovasi seakan tidak mendapat dukungan Hukum secara
penuh, bahkan sebaliknya hukum menjadi kebablasan dan terkadang mandul akibat inovasi
dan nalar kreatif yang berlebihan dan menimbulkan kerugian terhadap konsumsi publik
berupa pembodohan

Akan tetapi, ruang ruang diskusi dan perdebatan tentang arus revolusi Industri 4.0 dalam
tatanan hukum di Indonesia seolah belum dibuka dan dikaji. Ditandai dengan tidak adanya
argumen argumen atau topik topik yang mengarah ke pusaran revolusi industri 4.0 dan
pembaharuan tekonolgi tingkat tinggi tersebut.

Kehadiran revolusi industri 4.0 baiknya disikapi secara cermat dan kritis melalui kajian dan
riset yang ilmiah. Supaya dalam pelaksanaannya siap atau tidaknya Indonesia, hukum harus
tetap tajam keatas dan persamaan hukum semakin menguat secara hakikatnya. 

Di samping itu regulasi hukum yang sudah ada maupun akan dibuat selayaknya memberi
kemanfaatan yang positif dan selaras dengan teknologi yang ada. Inovasi dan invensi serta
penemuan baru melalui teknologi tidak terhambat dan mendapatkan penguatan yang penuh
daripada hukum. Sehingga terciptanya relevansi hukum yang berbasis human digital dan
soft skill digital yang mendukung pertumbuhan sumber daya manusia yang berkualitas  dan
keadilan yang hakiki.
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5ac746938ce04/3-strategi-negeri-
singa-harmoniskan-hukum-dan-teknologi-di-era-revolusi-industri-40/

Strategi Negeri Singa Harmoniskan Hukum dan Teknologi di


Era Revolusi Industri 4.0.
Menyelaraskan berbagai kebijakan dan regulasi pemerintah, produk legislatif, bahkan peradilan
dengan revolusi teknologi harus dilihat sebagai strategi pembangunan jangka panjang di era
digital.
Normand Edwin Elnizar

Era revolusi industri 4.0 ditandai dengan pola digital economy, artificial intelligence, big
data, robotic, dan sebagainya yang dikenal sebagai fenomena disruptive innovation.
Disrupsi ini tak terkecuali juga berdampak pada bidang hukum sebagai rambu-rambu alami
yang selalu membersamai tatanan sosial. Sebagai negara dengan global competitiveness
index pada World Economic Forum 2017-2018 peringkat ke-3, Singapura mungkin adalah
salah satu contoh berhasil di Asia Tenggara dalam menghadapinya.

Globalisasi telah jauh memasuki babak baru dengan kemajuan teknologi yang semakin
canggih. Tak ada jalan lain bagi Indonesia untuk menjadi negara maju selain banyak
mengambil pelajaran dari berbagai praktik berhasil di negara lain. Termasuk dalam
mengharmonisasikan antara kemajuan teknologi dengan regulasi yang tepat untuk
membingkainya.

Sebagai salah satu media partner Techlaw.Fest 2018 (techlawfest.com), kali ini
hukumonline menjadi bagian dari 500 delegasi mancanegara. Hadir sebagai pembicara
kunci, Vivian Balakrishnan selaku Minister in Charge of The Smart Nation Initiative
Singapore.

Dalam pidato pembuka sesi konferensi, Balakrishnan menuturkan bahwa pesatnya


kemajuan teknologi di era ini tidak semestinya disikapi sekadar perkembangan teknologi
biasa, namun sebagai gelombang revolusi industri. Capaian teknologi saat ini telah
mengubah cara hidup manusia mulai dari berpikir, berkomunikasi, bekerja, mobilitas,
hingga tatanan sosial. Termasuk tatanan hukum yang berlaku.

Semua aktifitas berkaitan dengan teknologi ini memengaruhi kebijakan publik dan regulasi
di Singapura untuk mengarahkan kemajuan teknologi sebagai penunjang pembangunan.
Karena itu ia mengatakan bahwa berbagai upaya harmonisasi kebijakan dan regulasi
pemerintah, produk legislatif, bahkan peradilan dengan revolusi teknologi harus dilihat
sebagai strategi pembangunan jangka panjang.

“Kita akan menghadapi ledakan berbagai persoalan hukum seiring revolusi teknologi ini,”
katanya di hadapan para peserta konferensi Kamis (5/4), di Suntec Singapore Convention &
Exhibition Centre.

Regulator, dalam hal ini pemerintah, menurut Balakrishnan harus bekerja ekstra karena
kemajuan teknologi selalu menghasilkan berbagai implikasi hukum yang membutuhkan
jawaban. Namun regulasi yang dibuat juga jangan sampai menghambat manfaat kemajuan
teknologi tersebut bagi pembangunan negara.

 (Baca Juga: Artificial Intelligence dalam Industri Hukum, Menyongsong Masa


Depan Dunia Hukum Tanpa Hakim dan Lawyer?)

 Nampak dari penyataannya bahwa pada akhirnya hukum harus mendatangkan


kemanfaatan. “Perlu memastikan bahwa regulasi nantinya tidak menghambat inovasi terus
berkembang,” ujarnya.

Ada 3 pendekatan regulasi yang dijelaskan Balakrishnan sebagai strategi pemerintah


Singapura mengelola penerapan kemajuan teknologi dalam berbagai aspek kehidupan.
Pertama, pendekatan yang disebutnya sebagai establishment of regulatarly sandboxes.
Berbagai ide, produk, atau layanan berbasis teknologi diberikan ruang uji coba terbatas.
Pengaturannya bersifat longgar dan belum permanen. Cara ini diterapkan sejak 2015 untuk
fintech dimana sudah 13 perusahaan yang bergabung. Pada bidang transportasi, Singapura
mengizinkan operasi kendaraan otomatis tanpa pengemudi selama 5 tahun. Adapula
regulasi perlindungan data pribadi yang masih mengizinkan berbagi data pelanggan secara
terbatas kasus per kasus.

 (Baca Juga: Era Ekonomi Digital dan Tantangan Menghadirkan Barang Bukti
Digital di Pengadilan)

 Kedua adalah pendekatan yang disebut masterly inactivity. Sebuah istilah medis untuk
sikap wait & see dokter sampai perkembangan penyakit pasien jelas diketahui. Ia
mencontohkan sikap otoritas perbankan dan jasa keuangan Singapura yang tidak mengatur
soal criptocurrency. Namun fokus pada pengaturan aktifitas yang berkaitan dengan
criptocurrency dilakukan sambil mengevaluasi risikonya, menimbang model regulasi yang
tepat nantinya, dan memastikan bahwa regulasi nantinya tidak menghambat inovasi terus
berkembang.

Adapun yang terakhir ialah terus mendorong prosedur pembuatan regulasi lebih cepat
mengejar perkembangan teknologi. Pendekatan ini menjadi komplementer kedua
pendekatan sebelumnya.

Chief Technology Officer (CTO) Hukumonline.com, Arkka Dhiratara, menilai strategi


yang digunakan oleh Singapura adalah cara yang baik untuk mengatasi kekosongan
regulasi namun pada saat yang sama memberikan ruang terbuka bagi perkembangan
inovasi berbasis teknologi. “Hal yang paling logis memang wait & see, saat regulator tidak
paham tapi mengatur jauh malah membunuh inovasi, tapi dibiarkan saja juga nggak benar,
itu (strategi Singapura-red) cara yang cukup baik,” katanya.

Arkka menilai di Indonesia sebenarnya terlihat menggunakan pendekatan yang sama untuk
sektor fintech, namun belum terlihat jelas dalam sektor lainnya. Arkka menambahkan
bahwa regulator harus banyak melakukan up date atas perkembangan teknologi sebelum
memutuskan membuat regulasi.

Model regulatory sandboxes menjadi jalan tengah di mana ada batasan khusus untuk
mengembangkan inovasi berbasis teknologi sampai pada tahap tertentu sementara regulator
juga ikut mempelajari produk berbasis teknologi yang akan diatur.
 

Hukumonline.com, menurut Arkka, selama ini telah berupaya menyediakan layanan yang
bisa membantu pemerintah sebagai regulator untuk melihat dari sudut pandang berbeda
terhadap perkembangan dunia hukum. Mulai dari basis data lengkap atas beragam regulasi
yang diklasifikasikan berdasarkan saling keterkaitan satu sama lain, analisis profesional
terhadap berbagai isu regulasi, hingga beragam produk berita hukum terkini.

“Kami berharap bisa ikut bermanfaat membantu pemerintah dalam mengembangkan


fenomena disrupsi ini dalam bidang hukum,” pungkas ahli IT jebolan Delft, Belanda ini
http://staging-point.com/read/2018/11/14/151205/
Kecerdasan.Hukum.Respons.Revolusi.Industri.4.0.

Awal April 2018, Pemerintah merilis arah strategi industri nasional, khususnya menghadapi
Revolusi Industri 4.0 yakni fokus industri makanan dan minuman, elektronik, otomotif,
tekstil, dan kimia serta ’10 Bali Baru’-- pekerjaan tangan, kerajinan tangan, industri kreatif
dan wisata. “Arahnya sudah jelas seperti itu,” papar Presiden RI Joko Widodo pada
Pembukaan Indonesia Industrial Summit Tahun 2018 dan Peluncuran “Making Indonesia
4.0” di Cendrawasih Hall, Jakarta Convention Center, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu pagi
(4/4/2018).

Jumat 2 Februari 2018 di Jakarta, Presiden RI Joko Widodo menetapkan Peraturan Presiden
(Perpres) No. 2 Tahun 2018 tentang Kebijakan Industri Nasional Tahun 2015-2019. Perpres
ini diundangkan di Jakarta 6 Februari 2018 pada Lembaran Negara RI No. 8 Tahun 2018.
Perpres ini juga melaksanakan ketentuan Pasal 12 ayat (5) Undang-Undang (UU) Nomor 3
Tahun 2014 tentang Perindustrian dan Pasal 3 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 14
Tahun 2015 tentang Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional Tahun 2015-2035.

Prof. Dr. John Pieris, SH, MS, dosen Program Pascasarjana Universitas Kristen Indonesia
(UKI) di Jakarta berpendapat bahwa Revolusi Industri 4.0 dengan simpul utamanya ialah
Internet dan Teknologi Informasi (TI) memicu perubahan pola pikir, pola kerja, dan pola
hidup warga negara di berbagai negara; namun, manusia harus tetap diposisikan sebagai
subyek dari peradaban baru berbasis Revolusi Industri 4.0; pilihannya di bidang hukum
ialah tetap mempertahankan prinsip-prinsip dasar hukum Negara RI dan di sisi lain
merumuskan regulasi dan kebijakan-kebijakan yang fleksibel guna merespons perubahan-
perubahan baru di masyarakat dan lingkungannya.

“Istilah Revolusi Industri pertama kali dikemukakan oleh Arnold Toynbee dalam bukunya
Lectures On the Indutrial Revolution (London: Rivingston, 1884). Isi paper ini ialah
deskripsi revolusi industri dan pengaruhnya terhadap kebijakan, mekanisasi produksi,
budaya, dan tata keuangan dunia khususnya Eropa. Pemicu awalnya ialah penemuan mesin
uap oleh James Watt. Berikutnya, Revolusi Industri 2.0 yang ditandai oleh penemuan
listrik, dan Revolusi Industri 3.0 ditandai oleh penemuan komputer. Awal abad 21,
penemuan Internet dan Teknologi Informasi (TI) memicu kelahiran Revolusi Industri 4.0.
Dalam seluruh siklus peradaban baru hasil revolusi industri, manusialah yang harus
diposisikan sebagai subjek dari perubahan peradaban, bukan menjadi objek kehancuran dari
munculnya peradaban baru melalui RI 4.0,” papar Prof. Dr. John Pieris, SH, MS, alumnus
S3 hukum di Universitas Indonesia (UI) tahun 2003, kepada Staging-Point.Com, Rabu
(7/11/2018) di Aula Gedung Pascasarjana UKI, Jakarta.

Prof. Dr. John Pieris menyebut sejumlah ciri peradaban baru dari Revolusi Industri 4.0.
“Revolusi Industri 4.0 memiliki 4 (empat) ciri. Yakni (1) simple atau sederhana dan anti
rumit; dulu jika bermain game, hanya satu alat dan satu game; kini melalui teknologi
Anroid, satu alat untuk ribuan bahkan jutaan games; (2) cepat (faster), kapan saja, dan dari
mana saja di antar negara; Dahulu, kalau ingin lulus di Universitas di Amerika misal
Harvard University harus pergi ke AS. Sekarang, daftar bisa via web-nya; (3) lebih murah
(cheaper), dan (4) mudah diakses (accessible); akses adalah kekayaan informasi,” ungkap
Prof. Dr. John Pieris.

Revolusi Industri 4.0. memicu perubahan berlangsung sangat cepat. Oleh karena itu,
menurut Prof. Dr. John Pieris, Rakyat dan Pemerintah setiap Negara harus memiliki
kecerdasan hukum guna merespons Revolusi 4.0.  “Penegakan hukum berlangsung pada
setiap era Revolusi Industri. Misalnya, Revolusi Industri selalu memicu perubahan kapital,
teknologi dan labor atau ketenagakerjaan. Revolusi 4.0 misalnya dapat memengaruhi
peraturan tentang hak cipta, merk dagang, dan kontrak. Hukum harus dapat merespons
perubahan, keingingan, dan kebutuhan masyarakat ini (responsive law). Namun, aspek
fundamental hukum yakni etika, moral, dan norma atau kaidah hukum harus tetap
dipertahankan oleh Negara, Rakyat dan Pemerintah. Sedangkan peraturan dan regulasi
memiliki fleksibilitas guna merespons  perubahan dan peradaban baru,” ungkap Prof. Dr.
John Pieris.

Di sisi lain, Prof. Dr. John Pieris menyarankan, bahwa Pemerintah dan pengusaha memiliki
kecerdasan hukum (legal literacy) guna merespons era baru Revolusi Industi 4. 0. “Pelaku
usaha dan Pemerintah perlu memiliki kecerdasan hukum bisnis, pajak, perbankan, hak
cipta, kontrak, tranksaksi bisnis lintas negara, keuangan, hingga hukum tentang kejahatan
ekonomi; Pelaku usaha, Pemerintah dan masyarakat juga konsisten mematuhi kaidah-
kaidah hukum dan budaya hukum untuk mencegah korupsi dan kejahatan lainnya,” papar
Prof. Dr. John Pieris. 

Oleh: Fens Alwino (Jakarta)


http://abpptsi.org/2019/03/tantangan-pendidikan-tinggi-hukum-di-era-4-0/

Tantangan Pendidikan Tinggi Hukum di Era 4.0

Oleh : Sulistyowati Irianto


Guru Besar Antropologi Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Ada berbagai alasan mengapa pendidikan tinggi hukum harus merespons pesatnya
perubahan masyarakat di era Revolusi Industri 4.0, sementara perkembangan hukum
hampir tidak bisa mengikuti kecepatannya, terutama akibat kendala politik. Pendidikan
tinggi hukum harus mengambil peran penting untuk menghadapi perkembangan praktik
hukum yang membutuhkan solusi dan pemikiran baru, dan ditransformasi kepada
mahasiswa. Kepastian hukum memang penting, tetapi hendaknya tidak meninggalkan
konteks substansi keadilan masyarakat.
Bagaimanapun hukum tidak selalu identik dengan substansi keadilan. Kontribusi apa yang
dibutuhkan pendidikan hukum masa depan agar
fakultas hukum dan sivitasnya dapat berperan mewujudkan negara hukum yang kuat, tetapi
sekaligus berperspektif keadilan masyarakat?
Pertanyaan dan persoalan hukum harus dijelaskan berdasarkan pengetahuan dasar dan
dogma hukum, tetapi itu tidak cukup sekarang. Tindak kejahatan masa kini semakin
berkembang dan pembuktiannya membutuhkan bantuan sains dan teknologi karena
pemidanaan harus didasarkan pada temuan penyidikan dan penyelidikan yang akurat dan
persis, agar tidak salah dalam menghukum orang.
Sementara itu, kebijakan pembangunan hukum untuk memberi akses keadilan bagi
kelompok rentan, perempuan dan anak, membutuhkan
pendekatan ilmu sosial dan humaniora. Juga untuk menghasilkan rumusan undang-undang
yang bermaslahat dalam bidang ekonomi, misalnya, dibutuhkan masukan dari disiplin ilmu
ekonomi.
Kebutuhan yang berasal dari masyarakat ini memperlihatkan bahwa
studi hukum harus terbuka terhadap pemikiran lintas keilmuan. Para
akademisi hukum tidak perlu khawatir kehilangan karakter paradigmatiknya karena
bantuan berbagai ilmu lain itu justru akan memperkaya ilmu hukum.
Keterbukaan terhadap studi hukum lintas disiplin memiliki legitimasinya
di dalam epistemologi hukum sendiri. Ilmu hukum terdiri atas dua bagian
besar. Pertama adalah ilmu dogma dan konsep dasar hukum; dan kedua adalah ilmu
kenyataan hukum.
Akomodasi bagi ilmu hukum yang mempelajari masyarakat, juga sains
dan teknologi, bisa diletakkan dalam ilmu kenyataan hukum. Universitas di negara lain
sudah lama mengembangkan kuliah ”law and science”, ”law and technology”, ”law and
medicine”, atau ”economic analysis of law”. Demikian pula kolaborasi interdisiplin ilmu
hukum dan ilmu sosial-humaniora telah lama melahirkan percabangan ilmu baru, socio-
legal studies. Universitas otonomi dan bersistem kredit di Indonesia harus menyediakan
kuliah pilihan yang luas. Mahasiswa harus diberi ruang untuk mendapatkan pengetahuan
yang bisa menyempurnakan keahliannya sebagai sarjana hukum. Bagaimanapun kelak
mereka akan menjadi penentu kebijakan dalam bidang hukum yang tidak steril dari konteks
politik, kultural, ekonomi, sains, dan teknologi.

Sains dan Teknologi Keterbukaan terhadap sains dan teknologi bagi kalangan hukum tidak
dapat dihindarkan.

Pertama, didorong oleh kebutuhan program reformasi hukum. Pada umumnya di seluruh
dunia problem yang dihadapi masyarakat terkait proses yudisial adalah keterlambatan,
ketiadaan akses, dan korupsi (Reiling, 2009). Teknologi informasi (TI) akan mendukung
dan memastikan tata kelola administrasi dan proses peradilan yang baik. Masa kelam
proses peradilan, di mana nepotisme, kolusi, dan korupsi menggerogoti wibawa pengadilan
(Pompe, 2012), tidak boleh terulang lagi. TI juga dibutuhkan dalam proses pembuktian di
pengadilan melalui penggunaan video, audio dalam sesi persidangan, pelaporan elektronik,
video konferensi untuk saksi, dan penyimpanan file. Pendeknya semua proses pengambilan
keputusan di persidangan membutuhkan TI (Reiling, 2009).
Kedua, pergeseran (shifting) besar- besaran terjadi ketika satu juta pekerjaan konvensional
akan hilang karena digantikan oleh kecerdasan buatan atau robotic, termasuk profesi
hukum, seperti notaris dan advokat.
Firma hukum yang besar akan runtuh karena korporasi tidak mau lagi membayar mahalnya
jasa advokat, yang tergantikan oleh aplikasi digital; sementara firma hukum yang kecil
akan bergabung (Susskind, 2012).
Namun, 1,7 juta profesi baru akan lahir. Apakah kita akan menerima
tantangan ini dengan keterbukaan dan inisiatif baru?
Namun, shifting terjadi dalam masyarakat plural yang menyebabkan
adanya disparitas teknologi. Sungguhpun sudah mengarah kepada
teknologi digital, masih ada warga masyarakat di berbagai wilayah yang
hidup dengan teknologi sederhana.
Bagaimana hukum modern bisa hidup berdampingan dengan hukum adat dan tradisi?

”Benchmarking”
Saat ini hukum Belanda yang berakar sama dengan hukum Indonesia sudah berkembang ke
arah lain. Yurisprudensi dianggap sebagai
sumber hukum yang penting, di samping kodifikasi hukum. Tampak ada upaya semakin
mendekatkan kepastian hukum dengan keadilan masyarakat. Yurisprudensi dari kasus-
kasus penting di Belanda
menjadi rujukan dan bahan diskusi di berbagai perkuliahan di fakultas
hukum. Terdapat kerja sama antara sekolah hukum dengan lembaga penegakan hukum dan
parlemen. Hukum tidak hanya dibahas sebagai teks mati (black letter), tetapi diintegrasikan
dengan persoalan hukum baru yang tidak bisa diisolasi dari perkembangan sosial dan sains.
Penegakan rule of law (negara hukum) tetap teguh sambil mengakomodasi
perkembanganhukum baru berbasis keadilan. Mahasiswa fakultas hukum Beland tidak
hanya belajar tentang konsep dasar dan dogma hukum, tetapi juga memahami hukum yang
hidup melalui putusan hakim. Selalu ada jurang antara teks hukum dan hukum hidup yang
senyatanya dianut masyarakat. Teks hukum masih berisi cita-cita dan idealisme, yang
bertujuan melindungi masyarakat, tetapi belum merupakan hukum yang hidup. Untuk
menjadi hukum yang hidup, teks hukum harus diuji dalam kasus sengketa, dan putusan
hakim terhadap sengketa itulah hukum yang hidup. Sangat penting mempelajari putusan
pengadilan bagi mahasiswa hukum.
Bagaimana perkembangan putusan pengadilan saat ini, apakah putusan
cukup berkualitas karena berisi terobosan keadilan yang baru. Sebaliknya, dalam konteks
apa putusan pengadilan menunjukkan
bahwa hakim sekadar menempatkan diri sebagai corong UU.

Kurikulum
Tuntutan masyarakat adalah agar sekolah hukum melahirkan profesi
hukum dengan pengetahuan dasar dan keterampilan hukum yang kuat;
sekaligus mampu membangun budaya berkeadilan.
Menegakkan rule of law, tanpa meninggalkan keadilan masyarakat.
Apakah kurikulum kita siap? Tampaknya kurikulum hukum
sekarang didominasi perkuliahan wajib tentang dogma dan dasar hukum. Beginilah kira-
kira gambarannya, sungguhpun tidak mewakili semua fakultas hukum. Mahasiswa S-1
wajib menempuh 144 satuan kredit semester (SKS), terdiri dari kuliah wajib fakultas 100
SKS,
wajib universitas 21 SKS, skripsi 4 SKS, dan sisanya 19 SKS masih berupa kuliah wajib
jurusan, yang hanya menyisakan sekitar 6-9 SKS
untuk kuliah pilihan. Peluang mahasiswa untuk mengambil
kuliah pilihan sangat minim, padahal saat ini ada banyak persoalan
kemanusiaan dan kemasyarakatan yang membutuhkan ilmu hukum.
Setidaknya dalam ruang kuliah pilihan dapat disemai ilmu kenyataan hukum, yaitu studi
hukum interdisipliner, yang bersentuhan dengan ilmu sosial-humaniora, sains dan teknologi
kekinian. Metode perkuliahan off class sudah menjadi kebutuhan untuk melihat praktik
hukum di lapangan.
Baik buruknya praktik hukum dapat ditelusuri dari substansi yang diajarkan pendidikan
tinggi hukum. Ilmu hukum tidak bisa lagi dikungkung dalam romantisisme akademik masa
lalu, dan
dikukuhkan dalam rezim administratif-birokratik pendidikan
tinggi yang kaku dan sukar berubah.
Jika ilmuwan hukum bisa berkolaborasi secara luas dengan ilmuwan lain, lembaga
pemerintah, industri, dan pegiat masyarakat, keberadaannya akan lebih dirasakan oleh
pencari keadilan. Masyarakat
haus akan literasi hukum, advokasi, dan pendampingan hukum.
http://digilib.unila.ac.id/9292/3/BAB%20II.pdf

TINJAUAN PUSTAKA
A. Penemuan Hukum
(Rechtsvinding)
1. Pengertian Penemuan
Hukum
Penemuan hukum adalah suatu metode untuk mendapatkan hukum dalam hal
peraturannya sudah ada akan tetapi tidak jelas bagaimana penerapannya pada suatu
kasus yang konkret. Penemuan hukum (rechtsvinding) adalah proses pembentukan
hukum oleh hakim atau aparat hukum lainnya yang ditugaskan untuk penerapan
peraturan hukum umum pada peristiwa hukum konkret. Hakim selalu dihadapkan
pada peristiwa konkret, konflik atau kasus yang harus diselesaikan atau dipecahkannya
dan untuk itu perlu dicarikan hukumnya. Jadi, dalam menemukan hukumnya untuk
peristiwa konkret. Keharusan menemukan hukum baru ketika aturannya tidak saja tak
jelas, tetapi memang tidak ada, diperlukan pembentukan hukum. Hakim harus menggali
berdasarkan banyak hal mulai dari menganalogikan dengan perkara yang (mungkin)
sejenis, menetapkan parameter tertentu yang akan dijadikan sebagai patokan didalam
menjatuhkan putusan dan yang lebih penting lagi adalah memperhatikan elemen
sosiokultural keadilan yang hidup dan berkembang di masyarakat. Dengan demikian
apakah sebuah kasus yang ditangani itu akan tuntas berdasarkan interpretasi atau
analogi, sepenuhnya akan tergantung kepada hakim. Hanya saja nanti putusan tersebut
akan diuji oleh masyarakat, tentang adil dan tidaknya. Sebab hakekat penerapan, apakah
ini interpretasi atau analogi, akan terulang kepada keharusan tegaknya nilai keadilan dan
kepastian hukum secara simetris. (Sudikno Mertokusumo,1996:hlm 37Hukum yang
merupakan bagian integral dari kehidupan bersama, kalau manusia hidup terisolir dari
manusia lain, maka tidak akan terjadi sentuhan atau kontak baik yang
menyenangkan maupun yang merupakan konflik, dalam keadaan semacam itu hukum
tidak diperlukan . Berdasarkan menurut Soedikno diatas maka dapat dikatakan
Penemuan hukum secara operasional dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan
penafsiran, yang menggunakan asas- asas logika. Namun demikian, penafsiran tidak
melulu menggunakan asas-asas logika, terdapat pula aspek-aspek lain yang menjadi
faktor di dalam menentukan suatu keputusan hakim menyangkut penerapan hukum ke
dalam suatu perkara.

Faktor-faktor yang sifatnya non logikal dan non yuridis, dapat menghaluskan hukum
(rechstvervijning), dimana hukum tidak menjadi keras bagi kelompok-kelompok
tertentu. Misalkan seorang pencuri yang didesak karena kebutuhan ekonominya
tentu akan berbeda hukumannya dengan pencuri yang mencuri dikarenakan ketamakan.
Sehingga adagium lex dura, sed tamen scripta (hukum adalah keras, tetapi memang
demikian bunyinya) menjadi tidak relevan di dalam konteks ini. Keseluruhan operasi
logika dan penafsiran menggunakan aspek- aspek lainnya, ditujukan untuk mengisi ruang
kosong yang terdapat di dalam sistem formil dari hukum. Untuk memenuhi ruang
kosong ini, hakim harus berusaha mengembalikan identitas antara sistem formil
hukum dengan sistem materil dari hukum. Dengan mencari persamaan dalam sistem
materil yang menjadi dasar lembaga hukum yang bersangkutan, sehingga membentuk
pengertian hukum (rechtsbegrip). Cara kerja atau proses berpikir hakim demikian dalam
menentukan hukum disebut konstruksi hukum yang terdiri dari konstruksi analogi,
penghalusan hukum dan argumentum a contrario.( Jazim Hamidi,2005:hlm.51)

2. Dasar Hukum Positif dalam penemuan


hukum
Dalam pasal 1 ayat (1) UU No. 48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman ditentukan
bahwa “ Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya Negara Hukum Republik
Indonesia.”
Berdasarkan ketentuan pasal di atas, kekuasaan kehakiman adalah bebas untuk
menyelenggarakan peradilan. Kebebasan kekuasaan kehakiman atau kebebasan peradilan
atau kebebasan hakim merupakan asas universal yang terdapat diberbagai negara.
Kebebasan peradilan atau hakim ialah bebas untuk mengadili dan bebas dari campur
tangan dari pihak ekstra yudisial. Kebebasan hakim ini memberi wewenang kepada
hakim untuk melakukan penemuan hukum secara leluasa.

Pasal 4 ayat (1) UU No.48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman


menyatakan

“Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan


orang “

Ini berarti bahwa hakim pada dasarnya harus tetap ada di dalam satu sistem (hukum),
tidak boleh keluar dari hukum, sehingga harus menemukan hukumnya.
Pasal 10 ayat (1) UU No. 48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
menyatakan

“Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu


perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas,
melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.”
Walau bagaimanapun hakim wajib memeriksa dan menjatuhkan putusan, yang berarti
bahwa ia wajib menemukan hukumnya.

Pasal 5 ayat (1) UU No.48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman


menyatakan
“Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan
memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat”.

Kata menggali mengasumsikan bahwa hukumannya itu ada tetapi tersembunyi, agar
sampai pada permukaan masih harus digali. Jadi hukum nya itu ada, tetapi masih harus
digali, dicari dan diketemukan, bukannya tidak ada, kemudian lalu diciptakan. Scholten
mengatakan bahwa di dalam perilaku manusia itu sendirilah terdapat hukumnya.
Sedangkan setiap saat manusia dalam masyarakat berperilaku, berbuat atau berkarya,
oleh karena itu hukumnya sudah ada, tinggal menggali, mencari atau menemukannya.
(Sudikno mertokusumo, 2010: 61).
3. Metode Penemuan Hukum Dalam Tindak Pidana
Korupsi

Metode Penemuan hukum diarahkan pada suatu peristiwa yang bersifat khusus, konkret,
dan individual. Jadi, metode penemuan hukum bersifat praktikal, karena lebih
dipergunakan dalam praktik hukum. Hasil dari metode penemuan hukum adalah
terciptanya putusan pengadilan yang baik, yang dapat dipergunakan sebagai sumber
pembaruan hukum. Putusan hakim berperan juga terhadap perkembangan hukum dan
ilmu hukum, oleh karena itu putusan hakim dapat juga digunakan sebagai bahan kajian
dalam ilmu hukum. (Lintong O. Siahaan,57:2006)

Menurut Achmad Ali, ada 2 (dua) teori penemuan hukum yang dapat dilakukan oleh
hakim dalam praktik peradilan, antara lain: (Achmad Ali, 167: 1993)
1. Metode Interpretasi atau
penafsiran

Menurut Sudikno Mertokusumo, interpretasi atau penafsiran merupakan salah satu


metode penemuan hukum yang memberikan penjelasan luas tentang teks undang-
undang, agar ruang lingkup kaidah dalam undang-undang tersebut dapat diterapkan
pada peristiwa hukum tertentu. Penafsiran oleh hakim merupakan penjelasan yang harus
menuju kepada pelaksanaan yang dapat diterima oleh masyarakat mengenai peraturan
hukum terhadap peristiwa yang konkret. Tujuan akhir penjelasan dan penafsiran aturan
tersebut untuk merealisasikan fungsi agar hukum positif itu berlaku. (Sudikno
Mertokusumo dan A.Pitlo, 1993:13)

Arti penafsiran sebagai suatu kesimpulan dalam usaha memberikan penjelasan atau
pengertian atas suatu kata atau istilah yang kurang jelas maksudnya, sehingga orang lain
dapat memahaminya, atau mengandung arti pemecahan atau penguraian akan suatu
makna ganda, norma yang kabur (vage normen), antinomi hukum (konflik norma
hukum), dan ketidakpastian dari suatu peraturan perundang-undangan. Tujuannya
tidak lain adalah mencari serta menemukan sesuatu hal yang menjadi maksud para
pembuatnya.

Untuk mengetahui satu per satu dari metode penemuan hukum melalui metode
interpretasi hukum, dapat dijelaskan sebagai berikut :

a. Interpretasi Gramatikal ( penafsiran menurut


bahasa )

Interpretasi gramatikal adalah menafsirkan kata-kata dalam undang-undang sesuai


dengan kaidah bahasa dan kaidah hukum tata bahasa. Menurut A.Pitlo bahwa interpretasi
gramatikal berarti, mencoba menangkap arti sebuah teks dari peraturan perundang-
undangan menurut bunyi kata- katanya. Sebuah kata dapat mempunyai berbagai arti
misalnya dalam bahasa hukum dapat berarti lain jika dibandingkan dengan bahasa
pergaulan.

Interpretasi gramatikal adalah penjelasan dengan menguraikan menurut bahasa,


susunan kata atau bunyinya dengan menjelaskan menurut bahasa sehari-hari yang
umum. Korupsi dalampengertian bahasa sehari-hari, masyarakat lebih mengenal korupsi
sebagai perbuatan tercela, menggelapkan uang Negara, dan melakukan suap menyuap
dengan pejabat pemerintah.

a. Interpretasi Teleologis atau sosiologis (penafsiran menurut tujuan kemasyarakatan)

Interprestasi teleologis yaitu memberikan makna kepada undang-undang berdasarkan

tujuan kemasyarakatan. Dengan interpretasi ini undang-undang yang masih berlaku

tetapi sudah tidak sesuai lagi diterapkan terhadap peristiwa konkret sehubungan dengan

kebutuhan dan kepentingan masa kini meskipun sesungguhnya peristiwa-peristiwa itu

belum dikenal sewaktu undang- undang tersebut diundangkan.

Contoh :
“Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi, ketika berlaku UU
No.31 tahun
1999, maka terjadi kekosongan hukum terutama untuk diterapkan terhadap kasus-
kasus korupsi yang terjadi dalam kurun waktu antara tahun 1971 hingga tahun
1999 (kurun waktu antara UU No.3 tahun 1971-UU No.31 tahun 1999),
mengingat UU No.31 tahun
1999 mencabut UU no.3 tahun 1971. Akan tetapi dengan menggunakan
interpretasi teleologis atau sosiologis, maka asas rektroaktif undang-undang
pemberantasan korupsi dapat diterapkan oleh hakim, apalagi sifat melawan
hukum materiil dari perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma
masyarakat.

Melalui interpretasi ini hakim dapat menyelesaikan adanya perbedaan atau kesenjangan
antara sifat positif dari hukum (Rechtspositivitteit) dengan kenyataan hukum
(rechtswerkelijkheid), sehingga jenis interpretasi ini menjadi penting.

b. Interpretasi
sistematis

Satu undang-undang tidak berdiri sendiri, akan tetapi saling berkaitan dengan undnag-
undang lainnya dalam satu system perundang-undangan. Interpretasi sistematis yaitu
menafsirkan peraturan-peraturan perundang-undangan dengan menghubungkan dengan
peraturan hukum atauundang-undang lain atau keseluruhan system hukum. Penafsiran
ini disebut juga penafsiran logis.

Interpretasi sistematis adalah metode penafsiran yang menafsirkan undang-undang


sebagai bagian dari keseluruhan system perundang-undangan. Artinya tidak satu pun
dari peraturan perundang-undangan dapat ditafsirkan seakan-akan berdiri sendiri,
tetapi ia harus selalu dipahami dalam kaitannya dengan jenis peraturan yang lainnya.
Menafsirkan peraturan perundang-undangan tidak boleh menyimpang dari system
perundang-undangan suatu Negara.

Penegakan hukum tindak pidana korupsi tidak semata-mata hanya melihat peraturan
pidana tentang Korupsi, akan tetapi terkait dengan peraturan perundang-undangan
perdata, administrasi Negara dan tata Negara.

c. Interpretasi Historis (penafsiran menurut


sejarah)

Interpretasi historis adalah interpretasi menurut sejaran undang-undang. Setiap ketentuan


perundang-undang mempunyai sendiri. Karena itu, untuk mengetahui makna atau
kalimat dalam suatu undang-undang, dapat menafsirkan dengan jalan meneliti sejarah
kelahiran undang-undang atau Pasal tertentu dari undang-undang tersebut.
Ada dua jenis interpretasi
historis yaitu :

1. Penafsiran menurut sejarah undang-undang.

Yaitu yang hendak dicari adalah maksud ditetapkannya undang-undang seperti


yang hendak dimaksud oleh pembentuk undang-undang. Interpretasi ini disebut
juga interpretasi subjektif karena menempatkan penafsiran pada pandangan
subjektif pembentuk undang-undang.
2. Penafsiran menurut sejarah hukum (Rechtshistory).
Yaitu metode interpretasi yang hendak memahami undang-undang dalam
konteks seluruh sejarah hukum dengan menelusuri sejarah awal munculnya
hukum tersebut.

d. Interpretasi Komparatif (penafsiran dengan


membandingkan)

Interpretasi komparatif yaitu penafsiran dengan jalan memperbandingkan atau


perbandingan hukum. Hal ini penting untuk perjanjian-perjanjian internasional.
Interpretasi komparatif ini dimaksudkan sebagai metode penafsiran dengan jalan
membandingkan antara berbagai system hukum. Terutama bagi hukum yang timbul dari
perjanjian internasional itu penting, karena dengan pelaksanaan yang berimbang atau
seragam direalisir kesatuan hukum yang melahirkan perjanjian internasional itu sebagai
hukum objektif atau sebagai kaidah hukum umum untuk beberapa Negara.

e. Interpretasi Futuristik (interpretasi menurut aturan yang belum mempunyai


kekuatan hukum)

Interpretasi futuristik yaitu penafsiran dengan jalan menjelaskan undang-undang dengan


berpedoman pada kekuatan rancangan atau rencana undang-undang yang belum
mempunyai kekuatan berlaku. Interpretasi futuristic merupakan metode penemuan
hukum yang bersifat antisipasi yaitu penjelasan ketentuan undang-undang dapat
berpedoman pada undang-undang yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap.
Seperti Rancangan Undang-Undang (RUU) yang masih dalam tahap pembahasan di
DPR.

f. Interpretasi Restriktif
(membatasi)

Interpretasi Restriktif merupakan metode interpretasi yang bersifat


membatasi.Misalnya : Menurut interpretasi gramatikal korupsi
diartikan sebagai perbuatan yang tidak baik, buruk, curang, dapat
disuap, tidak bermoral, menyimpang dari kesucian, melanggar norma-
norma agama materiil, mental dan hukum, atau bahwa perbuatan
korupsi tersebut merupakan kejahatan atau tindak pidana. Akan tetapi,
kejahatan atau tindak pidana tersebut dibatasi pada tindak pidana yang
merugikan keungan Negara atau perekonomian Negara.

g. Interpretasi Ekstensif
(memperluas)

Metode ini merupakan metode penafsiran yang lebih luas dari pengertian yang diberikan
berdasarkam interpretasi gramatikal.
Misalnya menurut interpretasi gramatikal tentang pegawai negeri dalam korupsi dapat
diartikan sebagai orang yang bekerja pada kantor-kantor pemerintahan dan mendapatkan
gaji dari Negara, tetapi dalam pengertian pegawai negeri dalam konteks undang-undang
korupsi, maka pembuat undang-undang memberikan batasan tentang pengertian pegawai
negeri dalam konteks undang- undang korupsi, maka pembuat undang-undang
memberikan batasan tentang pengertian pegawai negeri dalam UU No.20 tahun 2001
adalah: 1) Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam undang-undang tentang
kepegawaian; 2) Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam kitab UU hukum
pidana; 3) orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan Negara atau daerah; 4)
orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari
keuangan Negara atau daerah, atau; 5) orang yang menerima gaji atau upah dari
korporasi lain yang mempergunakan modal dan fasilitas dari Negara atau masyarakat.

Dengan demikian, selain apa yang dirumuskan di atas, tidak dapat dikategorikan
sebagai pegawai negeri, misalnya karyawan yang bekerja pada perusahaan-perusahaan
swasta.h. Interpretasi Otentik (secara resmi)

Jenis interpretasi ini, hakim tidak diperkenankan melakukan penafsiran dengan cara lain
selain dari apa yang telah ditentukan pengertiannya di dalam undang-undang itu sendiri.
Artinya bahwa ketentuan suatu pasal dalam undang-undang yang jelas, tegas, definisi
tertentu yang dituju, sehingga tidak perlu penafsiran lagi dalam penerapannya.

i. Interpretasi interdisipliner (penafsiran dengan berbagai disiplin ilmu


hukum)
Interpretasi ini biasanya dilakukan dalam suatu analisis masalah yang menyangkut
berbagai disiplin ilmu hukum. Dalam menafsirkan digunakan logika penafsiran lebih
dari satu cabang ilmu hukum.
Sebagai contoh interpretasi yang menyangkut kejahatan “korupsi” hakim dapat
menafsirkan ketentuan pasal ini dalam berbagai sudut pandang yaitu hukum pidana,
administrasi Negara, tata Negara dan perdata.

j. Interpretasi
Multidisipliner

Dalam interpretasi multidisipliner, penafsiran terhadap suatu ketentuan undang-undang


harus mempelajari suatu atau beberapa disiplin ilmu lain diluar ilmu hukum. Dengan kata
lain dibutuhkan verifikasi dan bantuan dari disiplin ilmu lain. Seperti halnya dengan
korupsi, sangat membutuhkan interpretasi multidisipliner mengingat bahwa korupsi
terkait dengan berbagai aspek kehidupan baik hukum, social budaya, ekonomi dan
politik. Selain itu korupsi merupakan kejahatan yang bersifat global yang terorganisir
serta melintas batas-batas Negara.

2. Metode Konstruksi HukumMetode konstruksi hukum bertujuan agar hasil


putusan hakim dalam peristiwa konkret yang ditanganinya dapat memenuhi rasa
keadilan serta memberikan kemanfaatan bagi para pencari keadilan. Meskipun
nilai dari rasa keadilan dan kemanfaatan itu ukurannya sangat relatif. Nilai adil itu
menghendaki terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang sama, sedangkan nilai
kemanfaatan itu ukurannya terletak pada kegunaan hukum baik bagi diri pencari
keadilan, para penegak hukum, pembuat undang-undang, penyelenggara
pemerintahan dan masyarakat luas. ( Jazim hamidi,58-59:2005)

Menurut Rudolph von Jhering, ada 3 (tiga) syarat utama untuk melakukan konstruksi
hukum, yaitu:
a. Konstruksi hukum harus mampu meliputi semua bidang hukum positif yang
bersangkutan.

b. Dalam pembuatan konstruksi tidak boleh ada pertentangan logis di dalamnya


atau tidak boleh membantah dirinya sendiri.
c. Konstruksi itu mencerminkan faktor keindahan (estetika), yaitu konstruksi itu bukan
merupakan sesuatu yang dibuat-buat dan konstruksi harus mampu memberi
gambaran yang jelas tentang sesuatu hal, sehingga dimungkinkan penggabungan
berbagai peraturan, pembuatan pengertian-pengertian baru, dan lain-lain. (Achmad
Ali,191-192:1993)

Adapun penemuan hukum melalui metode konstruksi hukum,


antara lain:

a. Metode Argumentum Per Analogium (Analogi)Analogi merupakan metode


penemuan hukum dimana hakim mencari esensi yang lebih umum dari sebuah peristiwa
hukum atau perbuatan hukum baik yang telah diatur oleh undang-undang maupun yang
belum ada peraturannya.
Metode analogi sebagai salah satu jenis konstruksi hukum biasanya sering digunakan
dalam lapangan hukum perdata, dan hal ini tidak akan menimbulkan persoalan ,
sedangkan penggunaannya dalam hukum pidana sering menjadi perdebatan dikalangan
para yuris, karena ada yang setuju dan ada pula yang menolaknya. Akan tetapi, yang
jelas bahwa sebagian besar negara-negara hukum (rechtstaat) dan ahli hukum di dunia
tidak menerima analogi untuk diterapkan dalam hukum pidana , sehingga hal ini
berpengaruh pada asas legalitas dalam hukum pidana , yang tidak membolehkan sifat
retroaktif atau berlaku surut suatu peraturan perundang- undangan. (Antonius
Sudirman,2007: 70-71)
Kenyataan empiris, tampaknya penolakan atas penerapan analogi dalam hukum
pidana merupakan prinsip utama yang menjadi pegangan dan dianut oleh hakim, yang
merupakan ujung tombak dalam penerapan analogi.

b. Metode Argumentum a
Contrario

Metode ini memberikan kesempatan kepada hakim untuk melakukan penemuan hukum
dengan pertimbangan bahwa apabila undang-undang menetapkan hal-hal tertentu
untuk peristiwa tertentu, berarti peraturan itu terbatas pada peristiwa tertentu itu dan
bagi peristiwa diluarnya berlaku kebalikannya. Karena ada kalanya suatu peristiwa
tidak secara khusus diatur oleh undang-undang.
Jadi, esensi metode ini adalah mengedepankan cara penafsiran yang berlawanan
pengertiannya antara peristiwa konkret yang dihadapi dengan peristiwa yang diatur
dalam undang-undang. Metode ini menitikberatkan pada ketidaksamaan peristiwanya.
Disini diperlakukan segi negatif daripada suatu undang-undang. (Sudikno Mertokusumo
dan A.Pitlo, 1993:26-27).

c. Metode Penyempitan/Pengkonkretan Hukum


(rechtsvervijnings)

Metode Penyempitan/Pengkonkretan Hukum (rechtsvervijnings) bertujuan untuk


mengkonkretkan/menyempitkan suatu aturan hukum yang terlalu abstrak, pasif serta
sangat umum, agar dapat diterapkan terhadap suatu peristiwa tertentu. Dikatarakan
abstrak karena aturan hukum bersifat umum (norma luas) dan dikatakan pasif karena
aturan hukum tersebut tidak akan menimbulkan akibat hukum kalau tidak terjadi
peristiwa konkret.(Jazim Hamidi,
2
0
0
5
:
6
1
)

d. Fiksi
Hukum

Metode fiksi hukum ini sangat dibutuhkan oleh hakim dalam praktik peradilan, karena
seorang yang didakwa melakukan suatu tindak pidana kejahatan, tidak dapat berdalih
untuk dibebaskan dengan alasan tidak mengetahui hukumnya bahwa perbuatan yang
dilakukannya itu merupakan suatu kejahatan yang dapat dijatuhi pidana. Esensi dari
fiksi hukum merupakan metode penemuan hukum yang mengemukakan fakta-fakta
baru, sehingga tampil suatu personifikasi baru dihadapan kita. Fungsi dari fiksi hukum
di samping untuk memenuhi hasrat menciptakan stabilitas hukum, juga utamanya untuk
mengisi kekosongan undang-undang. Dengan kata lain, fiksi hukum bermaksud untuk
mengatasai konflik antara tuntutan-tuntutan baru dengan sistem hukum yang ada. (Jazim
Hamidi, 2005:63)

3. Metode Hermeneutika
Hukum

Hermeneutika hukum dalam kenyataannya bukanlah merupakan suatu kasus yang


khusus atau baru, tetapi sebaliknya, ia hanya merekonstruksikan kembali dari seluruh
problem hermeneutika.dan kemudian membentuk kembali kesatuan hermeneutika secara
utuh, dimana ahli hukum dan teologi bertemu dengan para ahli humaniora. (Jazim
Hamidi, 2005:42)
Metode hermeneutika hukum pada hakikatnya sangat berguna, tatkala seorang hakim
menganggap dirinya berhak untuk menambah makna orisinil dari teks hukum. Penemuan
hukum oleh hakim tidak semata-mata hanya penerapan peraturan-peraturan hukum
konkret, tetapi sekaligus penciptaan hukum dan pembentukan hukum. Pengalaman hakim
pada saat menemukan hukum dalam praktik di pengadilan memberikan dukungan bagi
konsepsi pragmatis dan interpretasinya. Dengan demikian, penggunaan dan penerapan
hermeneutika hukum sebagai teori dan metode penemuan hukum baru akan sangat
membantu para hakim dalam memeriksa serta memutus perkara dipengadilan. Kelebihan
metode ini terletak pada cara dan ruang lingkup interpretasinya yang tajam, mendalam,
dan holistik dalam bingkai kesatuan antara teks, konteks, dan kontekstualisasinya (Jazim
hamidi,2005:64)

Dalam praktik peradilan, tampaknya metode hermeneutika hukum ini tidak banyak atau
jarang sekali digunakan sebagai metode penemuan hukum dalam praktik peradilan di
Indonesia, hal ini disebabkan begitu dominannya metode interpretasi dan konstruksi
hukum yang sangat legalistik formal, sebagai metode penemuan hukum yang telah
mengakar cukup lama dalam sistem peradilan di Indonesia. Atau dapat pula sebagian
besar hakim belum familiar dengan metode ini, sehingga jarang atau tidak
menggunakannya dalam praktik peradilan, padahal esensi hermeneutika hukum
terletak pada pertimbangan triangle hukumnya, yaitu suatu metode menginterpretasikan
teks hukum yang tidak semata-mata melihat teksnya saja semata, tetapi juga konteks
hukum itu dilahirkan, serta bagaimakah kontekstualisasi atau penerapan hukumnya di
masa kini dan masa mendatang.

Aliran-aliran dalam menemukan hukum oleh hakim (Sudikno Mertokusumo


dan

A.Pitlo, 1993:42-45)

a.
Legis
me

Pada abad pertengahan timbullah aliran yang berpendapat bahwa satu-satunya sumber
hukum adalah undang-undang, sedangkan peradilan berarti semata-mata penerapan
undang-undang pada peristiwa yang konkrit.
Hakim hanyalah subsimpte automaat, sedangkan metode yang dipakai adalah geometri
yuridis. Kebiasaan hanya mempunyai kekuataan hukum apabila ditunjuk oleh undang-
undang.

Hukum dan undang-undang adalah identik, yang dipentingkan disni adalah kepastian
hukum. Ajaran ini sesuai dengan hukum kodrat yang rasionalistis dari abad ke 17 dan 18.
Ajaran Trias Politica (Montesquieu) mengatakan bahwa pembentukan hukum semata-
mata adalah hak istimewa dari pembentuk undang-undang, sedang kebiasaan bukanlah
sumber hukum.

Pandangan ajaran kedaulatan rakyat dari Rousseau mengatakan bahwa kehendak rakyat
bersama adalah kekuasaan tertinggi. Undang-undang sebagai pernyataan kehendak
rakyat adalah satu- satunya sumber hukum. Hukum kebiasaan tidak mempunyai
kekuatan hukum. Sedangkan menurut ajaran kedaulatan Negara satu-satunya sumber
hukum adalah kehendak Negara. Menurut ajaran kedaulatan hukum maka satu-
satunya sumber hukum adalah kesadaran hukum dan yang disebut hukum hanyalah
yang memenuhi kesadaran hukum orang banyak.

b.
Begriffsjurisprud
enz
Menurut aliran ini undang-undang sekalipun tidak lengkap tetap mempunyai peran
penting, tetapi hakim mempunyai peran yang lebih aktif. Di samping undang-undang
masih ada sumber hukum lain antara lain kebiasaan.
Aliran ini melihat hukum sebagai suatu sistem atau kesatuan tertutup yang menguasai
semua tingkah laku sosial. Dasar dari hukum adalah suatu system azas-azas hukum
serta pengertian dasar yang menyediakan kaedah yang sudah pasti untuk setiap
peristiwa konkret. Hakim memang bebas dari ikatan undang-undang tetapi harus
bekerja dalam sistem hukum yang tertutup.

Menurut aliran ini pengertian hukum tidaklah sebagai sarana tetapi sebagai tujuan,
sehingga ajaran hukum menjadi ajaran tentang pengertian (Begriffsjurisprudenz), suatu
permintaan pengertian. Titik tolak pandangan ini ialah bahwa undang-undang bukanlah
satu-satunya sumber hukum. Masih ada sumber hukum lain tempat hakim
menemukannya.

Undang-undang, kebiasaan dan sebagainya hanyalah sarana hakim dalam


menemukan hukumnya. Yang dipentingkan disini bukanlah kepastian hukum,
melainkan kemanfaatannya bagi masyarakat. Aliran ini sangatalah berlebihan karena
berpendapat bahwa hakim tidak hanya boleh mengisi kekosongan undang-undang saja,
tetapi bahkan boleh menyimpang. Kebebasan Hakim ini terpecah menjadi dua aliran,
yaitu aliaran sosiologis, yang berpendapat bahwa untuk menemukan hukum hakim harus
mencarinya dalam kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakat, dan aliran hukum kodrat
yang berpendapat bahwa untuk menemukan hukumnya harus dicari dalam hukum
kodrat.

Walau bagaimana pun juga aliran bebas ini telah menanamkan dasar bagi pandangan
yang sekarang berlaku tentang undang-undang dan fungsi hakim.

c. Aliran yang berlaku


sekarang
Pandangan-pandangan ekstrim tersebut diatas ternyata tidak dapat bertahan. Timbulah
kemudian aliran baru yang berpendapat bahwa sumber hukum tidak hanya undang-
undang yang merupakan peraturan umum yang diciptakan oleh pembentuk undang-
undang itu tidaklah lengkap karena tidak mungkin mencakup segala kegiatan kehidupan
manusia. Banyak hal yang tidak sempat diatur oleh undang-undang: undang-undang
banyak kekosongannya. Kekosongan ini diisi oleh peradilan. Dengan jalan penafsiran
hakim mengisi kekosongan undang-undang itu. Di samping undang-undang dan
peradilan masih terdapat hukum yang tumbuh di dalam masyarakat, yaitu hukum
kebiasaan. Pekerjaan hakim kecuali bersifat praktis rutin juga ilmiah, sifat pembawaan
tugasnya menyebabkan ia harus selalu mendalami ilmu pengetahuan hukum untuk
memantapkan pertimbangan-pertimbangan sebagai dasar dari putusannya.

b.
Hak
im

Hakim adalah pegawai negeri sipil yang mempunyai jabatan fungsional. Tugas hakim
adalah mengkonstatir,mengkwalifisir dan kemudian mengkonstituir. Apa yang harus
dikonstituirnya adalah peristiwa dan kemudian peristiwa ini harus dikwalifisir, Pasal 4
ayat (1) UU.No 48 tahun
2009 mewajibkan hakim mengadili menurut hukum. Maka oleh karena itu hakim
harus mengenal hukum disamping peristiwanya. Hakim memiliki kewenangan untuk
melakukan penafsiran, melakukan analogi, melakukan penghalusan hukum dan lain-lain.
Hal ini kemudian yang sering diistilahkan judge made law atau penemuan hukum
(rechtsvinding) konsep ini di Indonesia, diakomodir di dalam Undang-Undang
Kekuasaan Kehakiman Nomor 48 tahun 2009 dimana dalam Pasal 16 ayat (1),
dinyatakan sebagai berikut : “Pengadilan dilarang menolak untuk
memeriksa,mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa
hukum tidak ada atau kurang jelas,melainkan wajib untuk memeriksa dan
mengadilinya”.Pada Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009
tersebut, sangat jelas terlihat bahwa hakim tidak boleh menolak mengadili suatu perkara
atas dasar ketiadaan dasar hukum. Sehingga dalam konteks hukum Indonesia
kebangkrutan hukum tidaklah diperbolehkan, dengan adanya ketentuan ini. Pasal 16 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 yang sebelumnya ada pada Pasal 14 ayat (1)
Undang-Undang nomor 14 tahun 1970 tentang pokok kekuasaan kehakiman, oleh
Mochtar Kusumaatmadja disebut juga dengan asas non-liquiet yang merupakan cerminan
dari Pasal 22 Algemene Bepalingen (AB) pada masa Belanda. ( Mochtar
Kusumaatmadja & B.Arief Sidharta,2002:hlm 99)

Asas ini kemudian mendasari atau memberikan peluang bagi hakim, untuk menafsirkan
dan menerapkan konsep penemuan hukum dalam sistem hukum Indonesia. Namun
demikian, persoalan yang muncul adalah mengenai apakah hakim dalam konteks
penemuan hukum memiliki kesamaan pengertian dengan konsep hakim membuat hukum
(judge made law) seperti di dalam hukum common law.

Hal itu menunjukkan fungsi utama hakim dalam memberikan putusan terhadap perkara
yang diajukan kepadanya.( Nanda Dewa Agung Dewantara, 2005: 28). Kebebasan hakim
dapat pula bertindak sewenang-wenang. Untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan
tersebut, harus diciptakan batasan-batasan tanpa mengorbankan prinsip kebebasan
sebagai hakikat kekuasaan kehakiman.

Berdasarkan uraian diatas dapat diketahui bahwa seorang hakim tidak menjatuhkan
putusan kepada seseorang,kecuali dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah.
Hakim sudah memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana telah terjadi dan
terdakwalah yang bersalah melakukannya( Pasal 183 UU No.8 tahun 1981).
Hal ini menunjukkan adanya kemandirian, atau bebas menentukan timbulnya keyakinan
dalam dirinya berdasarkan alat-alat bukti yang dihadapkan ke muka sidang.
Di dalam tindak pidana korupsi ada yang dinamakan hakim karier dan hakim adhoc
sebagaiman dinyatakan pada Pasal 1 UU No. 46 tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi, yaitu
:

(1) Hakim adalah hakim karier dan hakim Ad hoc

(2) Hakim karier adalah hakim pada pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan
Mahkamah

Agung yang ditetapkan sebagai hakim tindak pidana korupsi.

(3) Hakim Ad hoc adalah seseorang yang diangkat berdasarkan persyaratan yang
ditentukan dalam undang-undang ini sebagai hakim tindak pidana korupsi.

c. Tindak Pidana
korupsi

Korupsi berasal dari bahasa Latin “Corruptio” atau “Corruptus”, yang dikemudian
diadopsi oleh banyak bahasa di Eropa, mislanya di Inggris dan Perancis “ Corruption”
serta Belanda “Corruptie”,dan selanjutnya dipakai pula dalam bahasa Indonesia “
Korupsi”.

Korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau
tidak langsung merugikan keuangan negara dan perekonomian negara,atau diketahui atau
patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara. (Andi Hamzah,2005:hlm 5)

Dalam ketentuan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20


Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi tidak ditemukan pengertian tentang korupsi.
Akan tetapi, dengan memperhatikan kategori tindak pidana korupsi sebagai delik
formil, maka Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Udang No. 31 Tahun 1999 mengatur secara
tegas mengenai unsur-unsur pidana dari tindak pidana korupsi dimaksud. Pasal 2
Undang-Udang No. 31 Tahun 1999, menyatakan sebagai berikut : “Setiap orang yang
secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain
atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonoman
negara...”
Selanjutnya dalam Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, menyatakan :
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara...”
(www.google.co.id/search pengertian tindak pidana korupsi, diakses tanggal 31
Juli 2011)

Korupsi sesungguhnya sudah lama ada terutama sejak manusia pertama kali mengenal
tata kelola administrasi. Pada kebanyakan kasus korupsi yang dipublikasikan media,
seringkali perbuatan korupsi tidak lepas dari kekuasaan, birokrasi, ataupun pemerintahan.
Korupsi juga sering dikatikan pemaknaannya dengan politik. Sekalipun sudah
dikategorikan sebagai tindakan yang melanggar hukum/kriminal, pengertian korupsi
dipisahkan dari bentuk pelanggaran hukum lainnya. Selain mengkaitkan korupsi
dengan politik, korupsi juga dikatikan dengan perekonomian, kebijakan publik,
internasional, kesejahteraan sosial, dan pembangunan nasional. Begitu luasnya aspek-
aspek yang terkait dengan korupsi hingga badan dunia seperti PPB memiliki badan
khusus yang memantau korupsi dunia. Sebagai landasan untuk memberantas dan
menanggulangi korupsi adalah memahami pengertian korupsi itu sendiri.

Menurut Undang-Undang No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana


Korupsi, Bab II, Pasal 2, Ayat 1 disebutkan: “Perbuatan korup diartikan sebagai
tindakan melawan hukum dengan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”.

Pasal 3
menyebutkan:

“Perbuatan 'Korup' dilakukan oleh setiap orang yang dengan tujuan


menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi, menyalahgunakan
wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan dan
kedudukan yang dapat merugikan negara atau perekonomian negara”

Berdasarkan kedua pasal tersebut, perbuatan ‘Korup’ adalah perbuatan yang dilakukan
dengan memanfaatkan jabatan/kedudukan/kekuasaan untuk memperkaya diri sendiri atau
orang lain atau korporasi yang dapat merugikan negara dan pereknomian negara.
Menurut kedua pasal tersebut, perbuatan ‘Korup’ adalah tindakan yang melanggar
hukum.

Jika bersandar pada UU No 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana


Korupsi, maka tindak pidana ‘Korupsi’ berlaku tidak hanya pada institusi pemerintahan,
akan tetapi bisa berlaku pula untuk institusi di luar pemerintahan. Dari kasus-kasus
korupsi yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sebagian besar di
antaranya adalah kasus yang menyalah gunakan jabatan/kekuasaan. Kasus-kasus seperti
ini terdapat di tingkat pemerintahan pusat maupun daerah, termasuk di tingkat legislatif
pusat dan daerah.
https://wonkdermayu.wordpress.com/kuliah-hukum/penemuan-hukum-atau-rechtsvinding/v
Pengantar
Hukum mempunyai fungsi untuk memberikan perlindungan terhadap kepentingan manusia
(seluruh manusia tanpa terkecuali). Oleh karena itu maka hukum harus dilaksanakan agar
kepentingan manusia tersebut dapat terlindungi. Dalam pelaksanaannya, hukum dapat
berlangsung secara normal dan damai, akan tetapi dapat juga terjadi pelanggaran-
pelanggaran hukum dalam prakteknya. Dalam hal ini hukum yang telah dilanggar itu harus
ditegakkan. Melalui penegakan hukum inilah hukum ini menjadi kenyataan. Dalam
menegakkan hukum ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan : kepastian hukum
(Rechtssicherheit), kemanfaatan (Zweckmassigkeit) dan keadilan (Gerechtigkeit). Hukum
harus dilaksanakan dan ditegakkan. Setiap orang mengharapkan dapat ditetapkannya
hukum dalam hal terjadi peristiwa konkrit. Bagaimana hukumnya itulah yang harus berlaku
“fiat justitia et pereat mundus” (meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan).
Itulah yang diinginkan oleh kepastian hukum. Masyarakat mengharapkan adanya kepastian
hukum. Karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Sebaliknya
masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau penegakan hukum. Masyarakat
sangat berkepentingan bahwa dalam pelaksanaan atau penegakan hukum, keadilan
diperhatikan. Dalam pelaksanaan atau penegakan hukum harus adil.
Dalam kehidupan bermasyarakat diperlukan suatu sistem hukum untuk menciptakan
kehidupan masyarakat yang harmonis dan teratur. Kenyataannya hukum atau peraturan
perundang-undangan yang dibuat tidak mencakup seluruh perkara yang timbul dalam
masyarakat sehingga menyulitkan penegak hukum untuk menyelesaikan perkara tersebut.
Dalam usaha menyelesaikan suatu perkara adakalanya hakim menghadapi masalah belum
adanya peraturan perundang-undangan yang dapat langsung digunakan untuk
menyelesaikan perkara yang bersangkutan, walaupun semua metode penafsiran telah
digunakan.
A. Pengertian Penemuan Hukum
Penemuan hukum, pada hakekatnya mewujudkan pengembanan hukum secara ilmiah dan
secara praktikal. Penemuan hukum sebagai sebuah reaksi terhadap situasi-situasi
problematikal yang dipaparkan orang dalam peristilahan hukum berkenaan dengan dengan
pertanyaan-pertanyaan hukum (rechtsvragen), konflik-konflik hukum atau sengketa-
sengketa hukum. Penemuan hukum diarahkan pada pemberian jawaban terhadap
pertanyaan-pertanyaan tentang hukum dan hal pencarian penyelesaian-penyelesaian
terhadap sengketa-sengketa konkret. Terkait padanya antara lain diajukan pertanyaan-
pertanyaan tentang penjelasan (tafsiran) dan penerapan aturan-aturan hukum, dan
pertanyaan-pertanyaan tentang makna dari fakta-fakta yang terhadapnya hukum harus
diterapkan. Penemuan hukum berkenaan dengan hal menemukan penyelesaian-
penyelesaian dan jawaban-jawaban berdasarkan kaidah-kaidah hukum.
Penemuan hukum termasuk kegiatan sehari-hari para yuris, dan terjadi pada semua bidang
hukum, seperti hukum pidana, hukum perdata, hukum pemerintahan dan hukum pajak. Ia
adalah aspek penting dalam ilmu hukum dan praktek hukum. Dalam menjalankan
profesinya, seorang ahli hukum pada dasarnya harus membuat keputusan-keputusan
hukum, berdasarkan hasil analisanya terhadap fakta-fakta yang diajukan sebagai masalah
hukum dalam
Yogyakarta: PT. kaitannya dengan
Citra Aditya kaidah-kaidah
bakti, 1993), h. 4. hukum positif. Sementara itu, sumber
hukum utama yang menjadi acuan dalam proses analisis fakta tersebut adalah peraturan
perundangan-undangan. Dalam hal ini yang menjadi masalah, adalah situasi dimana
peraturan Undang-undang tersebut belum jelas, belum lengkap atau tidak dapat membantu
seorang ahli hukum dalam penyelesaian suatu perkara atau masalah hukum. Dalam situasi
seperti ini, seorang ahli hukum tidak dapat begitu saja menolak untuk menyelesaikan
perkara tersebut. Artinya, seorang ahli hukum harus bertindak atas inisiatif sendiri untuk
menyelesaikan perkara yang bersangkutan. Seorang ahli hukum harus mampu berperan
dalam menetapkan atau menentukan apa yang akan merupakan hukum dan apa yang bukan
hukum, walaupun peraturan perundang-undangan yang ada tidak dapat membantunya.
Tindakan seorang ahli hukum dalam situasi semacam itulah yang dimaksudkan dengan
pengertian penemuan hukum atau Rechtsvinding. Dalam proses pengambilan keputusan
hukum, seorang ahli hukum pada dasarnya dituntut untuk melaksanakan dua tugas atau
fungsi utama, diantaranya yaitu :
a.  Ia senantiasa harus mampu menyesuaikan kaidah-kaidah hukum yang konkrit
(perundang-undangan) terhadap tuntutan nyata yang ada di dalam masyarakat, dengan
selalu memperhatikan kebiasaan, pandangan-pandangan yang berlaku, cita-cita yang hidup
didalam masyarakat, serta perasaan keadilannya sendiri. Hal ini perlu dilakukan oleh
seorang ahli hukum karena peraturan perundang-undangan pada dasarnya tidak selalu dapat
ditetapkan untuk mengatur semua kejadian yang ada didalam masyarakat. Perundang-
undangan hanya dibuat untuk mengatur hal-hal tertentu secara umum saja.
b.  Seorang ahli hukum senantiasa harus dapat memberikan penjelasan, penambahan, atau
melengkapi peraturan perundang-undangan yang ada, dikaitkan dengan perkembangan
yang terjadi di dalam masyarakat. Hal ini perlu dijalankan sebab adakalanya pembuat
Undang-undang (wetgever) tertinggal oleh perkembangan perkembangan didalam
masyarakat.
Penemuan hukum merupakan pembentukan hukum oleh hakim atau aparat hukum lainnya
yang ditugaskan untuk penerapan peraturan hukum umum pada peristiwa hukum konkrit,
juga merupakan proses konkretisasi atau individualis peraturan hukum (das sollen) yang
bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa konkrit (das sein) tertentu, jadi dalam
penemuan hukum yang penting adalah bagaimana mencarikan atau menemukan hukumnya
untuk peristiwa konkrit
Salah satu fungsi dari hukum ialah sebagai alat untuk melindungi kepentingan manusia atau
sebagai perlindungan kepentingan manusia. Upaya yang semestinya dilakukan guna
melindungi kepentingan manusia ialah hukum harus dilaksanakan secara layak.
Pelaksanaan hukum sendiri dapat berlangsung secara damai, normal tetapi dapat terjadi
pula karena pelanggaran hukum. Dalam hal ini hukum yang telah dilanggar tersebut
haruslah ditegakkan, dan diharapkan dalam penegakan hukum inilah hukum tersebut
menjadikan kenyataan. Dalam hal penegakan hukum tersebut, setiap orang selalu
mengharapkan dapat ditetapkannya hukum dalam hal terjadinya peristiwa kongkrit, dengan
kata lain bahwa peristiwa tersebut tidak boleh menyimpang dan harus ditetapkan sesuai
dengan hukum yang ada (berlaku), yang pada akhirnya nanti kepastian hukum dapat
diwujudkan. Tanpa kepastian hukum orang tidak mengetahui apa yang harus diperbuat
yang pada akhirnya akan menimbulkan keresahan. Akan tetapi terlalu menitik beratkan
pada kepastian hukum, terlalu ketat mentaati peraturan hukum akibatnya juga akan kaku
serta tidak menutup kemungkinan akan dapat menimbulkan rasa ketidakadilan. Apapun
yang terjadi peraturannya adalah demikian dan harus ditaati dan dilaksanakan. Dan kadang
undang-undang itu sering terasa kejam apabila dilaksanakan secara ketat (lex dura sed
tamen scripta).
Berbicara tentang hukum pada umumnya, kita (masyarakat) hanya melihat kepada
peraturan hukum dalam arti kaidah atau peraturan perundang-undangan, terutama bagi para
praktisi. Sedang kita sadar bahwa undang-undang itu tidaklah sempurna, undang-undang
tidaklah mungkin dapat mengatur segala kegiatan kehidupan manusia secara tuntas. Ada
kalanya undang-undang itu tidak lengkap atau ada kalanya undang-undang tersebut tidak
jelas. Tidak hanya itu, dalam Al-Qur’an sendiri yang merupakan rujukan kita (umat Islam)
dalam menentukan hukum akan suatu peristiwa yang terjadi, ada kalanya masih
memerlukan suatu penafsiran (interpretasi), pada masalah-masalah yang dianggap kurang
jelas dan dimungkinkan (terbuka) atasnya untuk dilakukan suatu penafsiran. Dalam hal
terjadinya pelanggaran undang-undang, penegak hukum (hakim) harus melaksanakan atau
menegakkanPT.undang-undang.
Yogyakarta: Hakim
Citra Aditya bakti, tidak
1993), h. 4.dapat dan tidak boleh menangguhkan atau
menolak menjatuhkan putusan dengan alasan karena hukumnya tidak lengkap atau tidak
jelas. Hakim dilarang menolak menjatuhkan putusan dengan dalih tidak sempurnanya
undang-undang. Olehnya, karena undang-undang yang mengatur akan peristiwa kongkrit
tidak lengkap ataupun tidak jelas, maka dalam hal ini penegak hukum (hakim) haruslah
mencari, menggali dan mengkaji hukumnya, hakim harus menemukan hukumnya dengan
jalan melakukan penemuan hukum (rechtsvinding).
Problematik yang berhubungan dengan penemuan hukum ini memang pada umumnya
dipusatkan sekitar “hakim”, oleh karena dalam kesehariannya ia senantiasa dihadapkan
pada peristiwa konkrit atau konflik untuk diselesaikannya, jadi sifatnya konfliktif. Dan
hasil penemuan hukum oleh hakim itu merupakan hukum karena mempunyai kekuatan
mengikat sebagai hukum serta dituangkan dalam bentuk putusan. Di samping itu pula hasil
penemuan hukum oleh hakim itu merupakan sumber hukum. Penemuan hukum itu sendiri
lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas
hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa hukum yang
kongkrit. Hal ini merupakan proses kongkretisasi dan individualisasi peraturan hukum yang
bersifat umum dengan mengingat peristiwa kongkrit. Atau lebih lanjutnya dapat dikatakan
bahwa penemuan hukum adalah proses konkretisasi atau individualisasi peraturan hukum
(das sollen) yang bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa konkrit (das sein)
tertentu.

Dari abstraksi pemikiran yang dikemukakan di atas, terdapat beberapa hal atau faktor serta
alasan yang melatarbelakangi perlunya suatu analisis terhadap prosedur penemuan hukum
oleh hakim dalam proses penyelesaian perkara terutama pada tahap pengambilan
keputusan, antara lain sebagai berikut :

1.  Bahwa kegiatan kehidupan manusia ini sangatlah luas, tidak terhitung jumlah dan
jenisnya, sehingga tidak mungkin tercakup dalam satu peraturan perundang-undangan
dengan tuntas dan jelas. Maka wajarlah kalau tidak ada peraturan perundang-undangan
yang dapat mencakup keseluruhan kegiatan kehidupan manusia, sehingga tak ada peraturan
perundang-undangan yang lengkap selengkap-lengkapnya dan jelas sejelas-jelasnya. Oleh
karena hukumnya tidak lengkap dan tidak jelas maka harus dicari dan ditemukan.

2.  Perhatian dan kesadaran akan sifat dan tugas peradilan telah berlangsung lama dan
ajaran penemuan hukum, ajaran penafsiran hukum atau metode yuridis ini dalam abad ke
19 dikenal dengan hermeneutic yuridis (hermeneutika), namun yang menjadi pertanyaan,
bagaimana dengan penerapannya.

3.  Munculnya suatu gejala umum, yakni kurangnya serta menipisnya rasa kepercayaan
sebagian “besar” masyarakat terhadap proses penegakan hukum di Indonesia. Gejala ini
hampir dapat didengar dan dilihat, melalui berbagai media yang ada. Menurut hemat
peneliti gejala ini lahir tidak lain adalah karena terjadinya suatu ketimpangan dari apa yang
seharusnya dilakukan/diharapkan (khususnya dalam proses penegakan hukum) dengan apa
yang terjadi dalam kenyataannya.

4.  Kaitannya dengan gejala umum di atas, dari mekanisme penyelesaian perkara (kasus)
yang ada, tidak jarang hakim selaku penegak hukum menjatuhkan putusan/vonis terhadap
kasus yang tanpa disadari telah melukai rasa keadilan masyarakat disebabkan karena terlalu
kaku dalam melihat suatu peraturan (bersifat normative/positivistik) tanpa
mempertimbangkan faktor sosiologis yang ada. Salah satu contoh yang masih hangat
dimemori kita pada awal bulan yang lalu yakni divonis bebasnya beberapa kasus korupsi
(koruptor) kelas kakap yang nyata-nyata telah merugikan Negara.

Alasan yang lain yang tentunya sangat terkait dengan kajian ini yakni melihat bagaimana
seorang hakim melakukan penemuan hukum dalam tugas dan tanggung jawabnya yang
sudah menjadi kewajiban melekat pada profesinya serta sejauhmana hal itu dapat mewarnai
dalam setiap putusan yang dilahirkan.

B. Kegunaan Penemuan Hukum

Yogyakarta: PT. Citra


Kegunaan dari Adityahukum
penemuan bakti, 1993),
adalahh.mencari
4. dan menemukan kaidah hukum yang
dapat digunakan untuk memberikan keputusan yang tepat atau benar, dan secara tidak
langsung memberikan kepastian hukum juga didalam masyarakat. Sementara itu, kenyataan
menunjukkan bahwa :

a.  Adakalanya pembuat Undang-undang sengaja atau tidak sengaja menggunakan istilah-
istilah atau pengertian pengertian yanga sangat umum sifatnya, sehingga dapat diberi lebih
dari satu pengertian atau pemaknaan;

b.  Adakalanya istilah, kata, pengertian, kalimat yang digunakan di dalam peraturan
perundang-undangan tidak jelas arti atau maknanya, atau tidak dapat diwujudkan lagi
dalam kenyataan sebagai akibat adanya perkembangan-perkembangan didalam masyarakat;

1. Adakalanya terjadi suatu masalah yang tidak ada peraturan perudang-undangan yang
mengatur masalah tersebut.
Dalam menghadapi kemungkinan-kemungkinan itulah seorang hakim atau pengemban
profesi hukum lainnya harus dapat menemukan dan juga menentukan apa yang dapat
dijadikan hukum dalam rangka pembuatan keputusan hukum atau menyelesaikan masalah
hukum yang sedang dihadapi.

Persoalan pokok yang ada dalam sistem hukum antara lain adalah :

1.  Unsur sistem hukum, meliputi :

1. Hukum undang-undang, yakni hukum yang dicantumkan dalam keputusan resmi secara
tertulis, yang sifatnya mengikat umum.
2. Hukum kebiasaan yaitu : keteraturan-keteraturan dan keputusan-keputusan yang
tujuannya kedamaian.
3. Hukum Yurisprudensi, yakni : hukum yang dibentuk dalam keputusan hakim pengadilan.
4. Hukum Traktat : hukum yang terbentuk dalam perjanjian internasional.
5. Hukum Ilmiah (ajaran) : hukum yang dikonsepsikan oleh ilmuwan hukum.

2.  Pembidangan sistem hukum

1. Ius Constitutum (hukum yang kini berlaku).


2. Ius Constituendum (hukum yang kelak berlaku)

Dasar pembedaannya adalah ruang dan waktu

3.  Pengertian dasar dalam suatu sistem hukum

1. Masyarakat hukum : suatu wadah bagi pergaulan hidup yang teratur yang tujuannya
kedamaian.
2. Subyek hukum
3. Hukum dan kewajiban
4. Peristiwa hukum
5. Hubungan hukum ; sederajat dan timpang
6. Obyek hukum

Pengertian butir diatas tidak terlepas dari makna sebenarnya  hukum yang merupakan
bagian integral dari kehidupan bersama, kalau manusia hidup terisolir dari manusia lain,
maka tidak akan terjadi sentuhan atau kontak baik yang menyenangkan maupun yang
merupakan konflik, dalam keadaan semacam itu hukum tidak diperlukan.

C. Penemuan Hukum Dalam Sistem Hukum Indonesia

Indonesia dalam perspektif keluarga-keluarga hukum di dunia termasuk kedalam kelurga


hukum civil law yang sering diperlawankan dengan keluarga hukum common law. Kedua
sistem hukum ini merupakan dua sistem hukum utama yang banyak diterapkan di dunia,
namun selain dua sistem hukum tersebut terdapat beberapa hukum lainnya yang diterapkan
di dunia yakni
Yogyakarta: PT.sistem hukumbakti,
Citra Aditya Islam1993),
(Islamic Law) dan sistem hukum komunis (Communist
h. 4.
Law). Indonesia menganut sistem hukum sipil, akibat penjajahan yang dilakukan oleh
Belanda selama kurun waktu 350 tahun melalui kebijakan bewuste rechtspolitiek, yang
kemudian pasca kemerdekaan tata hukum tersebut diresepsi menjadi tata hukum nasional
Indonesia melalui Aturan Peralihan UUD 1945 Pasal II (Pra Amandemen) yang
menyatakan : “segala badan negara dan peraturan yang ada masih berlaku, selama belum
diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”. Oleh karenanya, keberadaan
lembaga dan aturan-aturan yang ada merupakan lembaga dan aturan-aturan yang dibawa
oleh Belanda yang merupakan negara yang menganut sistem civil law.

Salah satu karakteristik utama dari civil law ialah penggunaan aturan-aturan yang tertulis
dan terbukukan (terkodifikasi) sebagai sumber hukumnya. Untuk menerjemahkan aturan-
aturan hukum tersebut, kepada peristiwa-peristiwa konkret, maka difungsikanlah seorang
hakim. Seorang hakim memiliki kedudukan pasif di dalam menerapkan aturan hukum
tersebut, dia akan menerjemahkan suatu aturan hukum apabila telah terjadi sengketa
diantara individu satu dengan yang lainnya di dalam masyarakat yang kemudian hasil
terjemahan aturan hukum tersebut ditetapkan di dalam suatu putusan pengadilan yang
mengikat pada pihak-pihak yang bersengketa.

Pengunaan aturan hukum tertulis di dalam civil law, terkadang memiliki kendala-kendala
tertentu. Salah satu kendala utama ialah, relevansi suatu aturan yang dibuat dengan
perkembangan masyarakat. Hal ini dikarenakan akitivitas masyarakat selalu dinamis, oleh
karenanya segala aturan hukum yang dibentuk pada suatu masa tertentu belum tentu
relevan dengan masa sekarang. Sehingga dapat disimpulkan bahwa, aturan hukum selalu
berada satu langkah dibelakang realitas masyarakat. Relevansi aturan hukum dengan
persoalan masyarakat merupakan hal yang esensial demi terciptanya keadilan dan
ketertiban di masyarakat. Aturan hukum yang tidak relevan, akan menciptakan kekacuan
dan ketidakadilan, dan menjadi persoalan karena tidak dapat menjawab persoalan-persoalan
yang ada di masyarakat. Relevansi di sini mengandung pengertian, bahwa hukum harus
bisa memecahkan suatu persoalan dari suatu realitas baru masyarakat. Sehingga jika tidak,
akan menyebabkan terjadinya apa yang disebut dengan bankruptcy of justice yakni suatu
konsep yang mengacu kepada kondisi dimana hukum tidak dapat menyelesaikan suatu
perkara akibat ketiadaan aturan hukum yang mengaturnya.

Untuk menyelesaikan persoalan ini, maka diberikanlah kewenangan kepada hakim untuk
mampu mengembangkan hukum atau melakukan penemuan hukum (rechtsvinding), namun
demikian dalam konteks sistem hukum civil law hal ini menjadi suatu persoalan. Hakim
pada prinsipnya merupakan corong dari undang-undang, dimana peranan dari kekuasaan
kehakimanan hanya sebagai penerap undang-undang (rule adjudication function) yang
bukan merupakan kekuasaan pembuat undang-undang (rule making function). Sehingga
diperlukan batasan-batasan mengenai penemuan hukum (rechtsvinding) oleh hakim dengan
menggunakan konstruksi hukum, Indonesia di dalam keluarga-keluarga sistem hukum
dunia, termasuk salah satu dari keluarga hukum Eropa Kontinental (civil law). Sistem
Eropa Kontinental ini, mengutamakan hukum tertulis dan terkodifikasi sebagai sendi utama
dari sistem hukum eropa kontinental ini, oleh karenanya sering pula disebut sebagai .
Pemikiran kodifikasi ini dipengaruhi oleh konsepsi hukum abad ke-18 – 19. Untuk
melindungi masyarakat dari tindakan-tindakan sewenang-wenang dan demi kepastian
hukum, kaidah-kaidah hukum harus tertulis dalam benruk undang-undang. Lebih lanjut
pemikiran ini menyatakan bahwa, suatu undang-undang harus bersifat umum (algemeen).
Umum baik mengenai waktu, tempat, orang atau obyeknya. Kedua, undang-undang harus
lengkap, tersusun dalam suatu kodifikasi. Berdasarkan pandangan ini Pemerintah dan
Hakim tidak lebih dari sebuah mesin yang bertugas untuk menerapkan undang-undang
(secara mekanis). Berkebalikan dengan sistem eropa continental, sistem anglo saxon yang
biasa disebut dengan sistem common law merupakan sistem hukum yang menjadikan
yurisprudensi sebagai sendi utama di dalam sistem hukumnya. Yurisprudensi ini
merupakan keputusan-keputusan hakim mengenai suatu perkara konkret yang kemudian
putusan tersebut menciptakan kaidah dan asas-asas hukum yang kemudian mengikat bagi
hakim-hakim berikutnya di dalam memutus suatu perkara yang memiliki karakteristik yang
sama dengan perkara sebelumnya. Aliran hukum ini menyebar dari daratan Inggris
kemudian ke daerah-derah persemakmuran Inggris (eks jajahan Inggris), Amerika Serikat,
Canada, Australia
Yogyakarta: dan
PT. Citra lain-lain.
Aditya bakti,Namun
1993), demikian,
h. 4. pada perkembangannya kedua sistem
hukum tersebut mengalami konvergensi (saling mendekat), yang ditandai dengan peranan
yang cukup penting suatu peraturan perundang-undangan bagi sistem common law dan
sebaliknya peranan yang signifikan pula dari yurisprudensi dalam sistem Eropa
Kontinental.

Makin besarnya peranan peraturan perundang-undangan terjadi karena beberapa hal,


diantaranya ialah :

a.  Peraturan perundang-undangan merupakan kaidah hukum yang mudah dikenali, mudah
diketemukan kembali dan mudah ditelusuri. Sebagai kaidah hukum tertulis, bentuk, jenis
dan tempatnya jelas. Begitu pula pembuatnya;

b.  Peraturan perundang-undangan memberikan kepastian hukum yang lebih nyata karena
kaidah-kaidahnya mudah diidentifikasi dan mudah diketemukan kembali;
1. Struktur dan sistematika peraturan perundang-undangan lebih jel sehingga
memungkinkan untuk diperiksa kembali dan diuji baik segi-segi formal maupun materi
muatannya; dan

d.  Pembentukan dan pengembangan peraturan perundang-undangan dapat direncanakan.


Faktor ini sangat penting bagi negara-negara yang sedang membangun termasuk
membangun sistem hukum baru yang sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan
masyarakat.

Tetapi tidak berarti pemanfaatan peraturan perundang-undangan tidak mengandung


masalah-masalah, adapun masalah-masalah tersebut ialah :

a.  Peraturan perundang-undangan tidak fleksibel. Tidak mudah menyesuaikan peraturan


perundang-undangan dengan perkembangan masyarakat. Pembentukan peraturan
perundang-undangan membutuhkan waktu dan tata cara tertentu. Sementara itu masyarakat
berubah terus bahkan mungkin sangat cepat. Akibatnya maka terjadi semacam jurang
antara peraturan perundang-undangan dan masyarakat. Dalam keadaan demikian,
masyarakat akan menumbuhkan hukum sendiri sesuai dengan kebutuhan. Bagi masyarakat
yang tidak mampu menumbuhkan hukum-hukum sendiri akan “terpaksa” menerima
peraturan-peraturan perundangan-undangan yang sudah ketinggalan. Penerapan peraturan
perundang-undangan yang tidak sesuai itu dapat dirasakan sebagai ketidakadilan dan dapat
menjadi hambatan perkembangan masyarakat;

b.  Peraturan perundang-undangan tidak pernah lengkap untuk memenuhi segala peristiwa
hukum atau tuntutan hukum dan menimbulkan apa yang lazim disebut kekosongan hukum
atau rechstvacuum. Barangkali yang tepat adalah kekosongan peraturan perundang-
undangan bukan kekosongan huku. Hal ini dikarenakan ajaran Cicero-ubi societas ubi ius-
maka tidak akan pernah ada kekosongan hukum. Setiap masyarakat mempunyai mekanisme
untuk menciptakan kaidah-kaidah hukum apabila “hukum resmi” tidak memadai atau tidak
ada.

Kelemahan-kelemahan dari peraturan perundang-undangan inilah yang kemudian


menimbulkan konsep penemuan hukum oleh hakim. Namun demikian, terdapat beberapa
pandangan yang menyatakan bahwa penemuan hukum tidak diperkenankan hakim
melakukan penemuan hukum. Gagasan penolakan ini lebih disebabkan oleh
ketidakmungkinan dari apa yang disebut dengan kekosongan hukum. Hal ini merupakan
pandangan dari positivisme Kelsen, yang menyatakan bahwa “tidak mungkin terdapat suatu
kekosongan hukum dikarenakan jika tata hukum tidak mewajibkan para individu kepada
suatu perbuatan tertentu, maka individu-individu tersebut adalah bebas secara hukum.
sepanjang negara tidak menetapkan apa-apa maka itu merupakan kebebasan pribadinya”.
Berkebalikan dengan pandangan ini, justru kekosongan hukum sangat mungkin terjadi dan
akan menimbulkan kebangkrutan keadilan (bankruptcy of justice) dimana hukum tidak
dapat memfungsikan dirinya di tengah-tengah masyarakat untuk menyelesaikan persoalan
yang ada di masyarakat. Kebangkrutan keadilan, merupakan konsekuensi dari kondisi
dimana hukum tidak dapat menyelesaikan suatu sengketa yang timbul di dalam masyarakat.
Yogyakarta: PT. Citra Aditya bakti, 1993), h. 4.
Melihat dua pandangan yang saling bertentangan tersebut, maka kekosongan hukum ini
adalah mungkin terjadi. Hal ini dikarenakan argumentasi Kelsen yang membangun
konstruksi berpikirnya hanya pada ranah logikal, namun tidak memperhatikan fakta-fakta
empiris dimana hukum tidak semata-mata merupakan apa yang kemudian dinyatakan oleh
negara sebagai hukum. Lebih dari itu, hukum juga terdapat di dalam masyarakat akibat
proses interaksi yang sangat dinamis dari kehidupan sehari-hari. Kemudian, argumentasi
dari yang menyatakan terjadinya kekosongan hukum dapat menimbulkan kebangkrutan
keadilan titik tekannya adalah kehidupan yang selalu berkembang di dalam masyarakat,
memungkinkan hukum selalu tertinggal satu langkah di bandingkan fakta-fakta sosial
kemasyarakatan, oleh karenanya fakta sosial yang demikian dinamis kadang kala
merupakan friksi antara kepentingan individu-individu, individu dengan kelompok ataupun
kelompok dengan kelompok dan menjadi kontraproduktif jika tidak dapat diselesaikan oleh
hukum.
Pada konteks tersebut di atas kekosongan hukum yang berujung pada kebangkrutan hukum
adalah hal yang dipastikan dapat terjadi, jika hanya menyatakan bahwa sumber hukum
satu-satunya adalah undang-undang. Oleh karenannya, dituntut peranan hakim yang lebih
besar dari pada sekedar corong undang-undang. Dalam rangka mengisi kekosongan hukum
ini, maka hakim memiliki kewenangan untuk melakukan penafsiran, melakukan analogi,
melakukan penghalusan hukum dan lain-lain. Hal ini kemudian yang sering diistilahkan
jugde made law atau penemuan hukum (rechtsvinding). Konsep ini di Indonesia,
diakomodir di dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman Nomor : 4 Tahun 2004
dimana dalam Pasal 16 ayat (1), dinyatakan sebagai berikut :

“pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan suatu
perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas melainkan
wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.

Pada Pasal 16 ayat (1) undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tersebut, sangat jelas terlihat
bahwa hakim tidak boleh menolak mengadili suatu perkara atas dasar ketiadaan dasar
hukum. Sehingga dalam konteks hukum Indonesia kebangkrutan hukum tidaklah di
perbolehkan, dengan adanya ketentuan ini. Pasal 16 ayat (1) undang-undang Nomor 4
Tahun 2004 yang sebelumnya ada pada Pasal 14 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun
1970 tentang pokok kekuasaan kehakiman. Namun demikian, persoalan yang muncul
adalah mengenai apakah hakim dalam konteks penemuan hukum memiliki kesamaan
pengertian dengan konsep hakim membuat hukum (judge made law) seperti di dalam
hukum common law.

Pengertian judge made law dalam pengertian sistem hukum common law, ialah bahwa
hakim memiliki peranan di dalam membentuk suatu norma hukum yang mengikat yang
didasarkan pada kasus-kasus konkrit, sehingga hukum di dalam pengertian ini benar-benar
membentuk suatu norma hukum baru, guna mencapai kepastian hukum maka
dikembangkanlah sistem precedent, dimana hakim terikat dengan keputusan hakim
terdahulu menyangkut suatu perkara yang identik. Apabila dalam suatu perkara hakim di
dalam menerapkan precedent justru akan melahirkan ketidakadlian maka hakim harus
menemukan faktor atau unsur perbedaannya. Dengan demikian ia bebas membuat putusan
baru yang menyimpang dari putusan lama.

Dalam konteks tersebut sistem Eropa Kontinental khususnya Belanda, penemun hukum
didasarkan pada ajaran menemukan hukum dengan bebas (vrije rechtsvinding), yang pada
ajaran tersebut terbagi menjadi tiga ajaran menyangkut dimanakah hukum bebas tersebut
dapat ditemukan. Ajaran pertama yang dimotori oleh Hamaker menyatakan bahwa hukum
bebas dapat ditemukan dengan menggalinya dari adat istiadat di dalam masyarakat, oleh
karenanya ajaran ini disebut pula ajaran aliran sosiologi. Ajaran kedua memandang hukum
dapat ditemukan di dalam ketentuan-ketentuan kodrati yang sudah ada untuk manusia,
ketentuan kodrati ini tertuang di dalam kitab-kitab suci dan perenungan-perenungan
kefilsafatan tentang keadilan dan moralitas, oleh karenanya, hukum ini disebut dengan
hukum kodrat. Dan ajaran ketiga ialah ajaran yang menghendaki hakim dalam menemukan
hukum, tidak hanya berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang sudah ada
Yogyakarta:
namun lebih PT.dari
Citra Aditya
itu, bakti,
hakim 1993), h.
di dalam 4.
menemukan hukum harus juga dalam konteks
mengoreksi dan jika perlu membatalkan peraturan perundang-undangan tersebut dan
membentuk norma hukum baru, aliran ini disebut juga rechter-koningschap.

Pada konteks hukum positif tampaknya kewenangan hakim menemukan hukum


sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 14 ayat (1) undang-undang nomor 4 tahun 2004
tentang kekuasaan kehakiman, juga harus ditafsirkan secara sistematis dengan Pasal 28 ayat
(1) dan (2) Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004, yang berbunyi sebagai berikut :

(1).  Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan
dalam masyarakat.

(2).  Dalam menerapkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat
yang baik dan jahat dari terdakwa.
Dari kedua ayat dalam pasal tersebut, dengan jelas dinyatakan hakim menggali, mengikuti
dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat dan memperhatikan
hal-hal yang baik dan jahat dari terdakwa sebelum memutus suatu perkara. Hal ini
menunjukan bahwa, Indonesia memang menganut ajaran penemuan hukum bebas (vrije
rechstvinding), namun menyangkut hukum bebas tersebut hakim masih terikat oleh
peraturan perundang-undangan. Sehingga hukum bebas di posisikan sebagai tambahan dari
aturan perundang-undangan dia tidak dapat menyimpang dari aturan perundang-undangan
tersebut, akan tetapi hakim dapat mengkontekskan aturan hukum yang ada sesuai dengan
rasa keadilan dan nilai-nilai masyarakat, yang merupakan inti dari ajaran penemuan hukum
bebas yang beraliran sosiologis. Hukum bebas dalam pengertian rasa keadilan dan nilai-
nilai masyarakat sangat identik dengan hukum agama dan adat yang ada di dalam
masyarakat. Namun tidak sebatas itu, tafsir rasa keadilan dan nilai-nilali masyarakat juga
dapat ditafafsirkan di dalam dinamika sosial kemasyakatan. Dimana aspek tuntutan dan
tekanan masyarakat, mengenai mana yang adil dan tidak adil menjadi aspek yang tidak
dapat diabaikan dalam memutus suatu perkara.

Salah satu contoh penemuan hukum yang menjadi preseden di dalam hukum Indonesia,
misalnya dalam kasus sengkon dan karta yang menumbuhkan kembali lembaga Herzeining
(peninjauan kembali) dan penafsiran secara meluas (ekstensif) di dalam definisi mengenai
barang dalam Pasal 378 oleh Bintan Siregar kemudian pada zaman kolonial dengan
beberapa benchmark cases, seperti mendefinisikan ulang unsur-unsur perbuatan melawan
hukum melalui kasus pipa ledeng atau mendefinisikan secara luas (ekstensif) pengertian
barang dalam delik pencurian, yang mengkualifikasikan listrik sebagai barang pada H.R. 23
Mei 1921, N.J.1921, 564. Dalam konteks hukum nasional ialah putusan yang mengizinkan
perubahan status jenis kelamin pasca operasi penggantian kelamin sebagaimana diputus
oleh Pengadilan Jakarta Selatan dan Barat Nomor 546/73.P Tanggal 14 November 1973
dengan pemohon ialah Iwan Robianto Iskandar.

Penemuan hukum secara operasional dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan


penafsiran, yang menggunakan asas-asas logika. Namun demikian, penafsiran tidak melulu
menggunakan asas-asas logika, terdapat pula aspek-aspek lain yang menjadi faktor di
dalam menentukan suatu keputusan hakim menyangkut penerapan hukum ke dalam suatu
perkara. Faktor-faktor yang sifatnya non logikal dan non yuridis, dapat menghaluskan
hukum (rechstvervijning), dimana hukum tidak menjadi keras bagi kelompok-kelompok
tertentu. Misalkan seorang pencuri yang didesak karena kebutuhan ekonominya tentu akan
berbeda hukumannya dengan pencuri yang mencuri dikarenakan ketamakan. Sehingga
adagium lex dura, sed tamen scripta (hukum adalah keras, tetapi memang demikian
bunyinya) menjadi tidak relevan di dalam konteks ini. Keseluruhan operasi logika dan
penafsiran menggunakan aspek-aspek lainnya, ditujukan untuk mengisi ruang kosong yang
terdapat di dalam sistem formil dari hukum. Untuk memenuhi ruang kosong ini, hakim
harus berusaha mengembalikan identitas antara sistem formil hukum dengan sistem materil
dari hukum. Dengan mencari persamaan dalam sistem materil yang menjadi dasar lembaga
hukum yang bersangkutan, sehingga membentuk pengertian hukum (rechtsbegrip). Cara
kerja atau proses berpikir hakim demikian dalam menentukan hukum disebut konstruksi
hukum yang terdiri dari konstruksi analogi, penghalusan hukum dan argumentum a
contrario. PT. Citra Aditya bakti, 1993), h. 4.
Yogyakarta:

Di dalam melakukan penafsiran suatu aturan hukum, hakim hendaknya mengikuti beberapa
prinsip di bawah ini :

1.  Prinsip objektivitas : penafsiran hendaknya berdasarkan pada arti secara literal dari
aturan hukum dan berdasarkan hakekat dari aturan hukum tersebut harus dibuat sejelas
mungkin untuk perkembangan selanjutnya.

2.  Prinsip kesatuan : setiap norma harus dibaca dengan teks dan tidak secara terpisah.
Bagian harus berasal dari keseluruhan dan keseluruhan harus berasal dari bagiannya.

3.  Prinsip penafsiran genetis : selama melakukan penafsiran terhadap teks, keberadaan teks
asli harus dijadikan pertimbangan, terutama dalam aspek objektifitas, tata bahasa, budaya
dan kondisi sosial dari pembentukan hukum tersebut dan terutama dari pembuat hukum
tersebut;

4.  Prinsip perbandingan : prinsip ini ialah prinsip untuk membandingkan suatu teks hukum
dengan teks hukum lainnya menyangkut hal yang sama di suatu waktu.

Keempat prinsip tersebut merupakan prinsip yang dijadikan semacam panduan bagi
penafsiran dalam rangka menemukan hukum, sehingga kepastian hukum dan keadilan di
dalam masyarakat dapat terjalin secara baik.

Yogyakarta: PT. Citra Aditya bakti, 1993), h. 4.


https://media.neliti.com/media/publications/240264-rechtsvinding-penemuan-
hukum-suatu-perba-26eead6b.pdf

R E C H T S V I N D I N G : P E N E M U A N H U KU M

( Suatu Perbandingan Metode Penemuan Hukum Konvensional dan Hukum

Islam ) Oleh : Muliadi Nur

Abstrak

Tidaklah salah anggapan yang mengatakan bahwa undang-undang itu tidak


sempurna, memang tidak mungkin undang-undang itu mengatur segala kegiatan
kehidupan manusia secara tuntas. Ada kalanya undang-undang itu tidak lengkap
dan ada kalanya pula tidak jelas, namun walau demikian undang-undang tersebut
hams dilaksanakan. Olehnya maka penegak hokum (hakim) dalam menyelesaikan
swot( permasalahan hokum konkrit, entab karena aturan hularm yang
mengaturnya tidak lengkap, tidak jelas auto bahkun tidak ada sania sekali, arau
juga karena perubahan masyarakat yang sangat pesat, haru,slah mencari dan
menemukan hukunmya, dengan kata lain is dituntut untuk melakukan suatu
penemuan hukum oleh karena ia dilarang menolak menjatuhkan putusan
dengan dalih tidak sempurnanya aturan hukum (undang-undang) yang mengatur.

A. Pendahuluan

Salah satu fungsi dari hukum ialah sebagai alat untuk melindungi kepentingan
manusia atau sebagai perlindungan kepentingan manusia. Salah satu upaya yang
semestinya dilakukan guna melindungi kepentingan manusia ialah hukum hams
dilaksanakan secara layak. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara damai,
normal, tetapi dapat terjadi juga karena pelanggaran hukum. Dalam hal ini hukum yang
telah dilanggar tersebut haruslah ditegakkan, dan diharapkan dalam penegakan hukurn
Yogyakarta: PT. Citra Aditya bakti, 1993), h. 4.
inilah hukum tersebut menjadikan kenyataan.

Dalam hal penegakan hukum tersebut, setiap prang selalu mengharapkan


dapat ditetapkannya hukum dalam hal terjadinya peristiwa kongkrit, dengan kata lain
bahwa peristiwa tersebut tidak boleli menyimpang dan hams ditetapkan sesuai
dengan hukum yang ada (berlaku), yang pada akhirnya nanti kepastian hukum dapat
diwujudkan. Namun perlu diingat bahwa dalam penegakan hukum terdapat tiga
unsur yang oleh Gustav Radbruch dinama-yang oleh Gustav Radbruch dinamakan
sebagai tiga nilai dasar hukum, yang selalu harus diperhatikan guna mewujudkan
hakikat dari fungsi dan tujuan itu sendiri, yaitu: kepastian hukum (rechtssicherheit),
kemanfaatan (zweckmassigkeit) dan keadilan (gerechtgkeit).1

Dalam menegakkan hukum diharapkan adanya kompromi antara ketiga unsur


tersebut. Ketiga unsur itu haruslah mendapat perhatian secara proporsional seimbang.
Tetapi dalam praktek tidak selalu mudah mengusahakan kompromi secara proporsional
seimbang antara ketiga unsur tersebut.

Diakui bahwa tanpa kepastian hukum orang tidak mengetahui apa yang harus
diperbuatnya yang pada akhirnya akan menimbulkan keresahan. Akan tetapi terlalu
menitikberatkan pada kepastian hukum, terlalu ketat mentaati peraturan hukum

akibatnya juga akan kaku serta tidak menutup kemungkinan akan dapat
menimbulkan rasa ketidakadilan. Apapun yang terjadi peraturannya adalah demikian
dan harus ditaati dan dilaksanakan. Dan kadang undangundang itu sering terasa
kejam apabila dilaksanakan secara ketat (lex dura sed tamen scripta).

Berbicara tentang hukum pada umutrmya, kita (masyarakat) hanya melihat


kepada peraturan hukum dalam arti kaedah atau peraturan perundang-undangan,
terutama bagi para praktisi. Sedang kita sadar bahwa undang-undang itu tidaklah
sempurna, undang-undang tidaklah mungkin dapat mengatur segala kegiatan
kehidupan manusia secara tuntas. Ada kalanya undang-undang itu tidak lengkap atau
ada kalanya pula tidak jelas. Tidak hanya itu, dalam Al-Qur'an sendiri yang
merupakan rujukan (umat Islam) dalam menentukan hukum akan suatu peristiwa yang
terjadi, ada kalanya masih memerlukan suatu penafsiran (interpretasi), pada
masalah-masalah yang dianggap kurang jelas dan dimungkinkan (terbuka)
atasnya untuk dilakukan suatu penafsiran.

Dalam hal terjadin ya pelanggaran undang-undang, penegak hukum


(hakim) harus melaksanakan atau menegakkan undang-undang. Hakim tidak
Yogyakarta: PT. Citra Aditya bakti, 1993), h. 4.
dapat dan tidak boleh menangguhkan atau menolak menjatuhkan putusan
dengan alasan

karena hukumnya tidak lengkap atau tidak jelas. Hakim dilarang menolak menjatuhkan
putusan dengan dalih tidak sempurnanya undang-undang.2

1 AchmAd Ali„Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan


Historis. (Cet. I; Jakarta: Chandra Pratama, 1996), h. 95

Olehnya, karena undangundang yang mengatur akan peristiwa kongkrit tidak lengkap
ataupun tidak jelas, maka dalarn hal ini penegak hukum (hakim) haruslah mencari,
menggali dan mengkaj i hukumnya, hakim hams menemukan hukumnya dengan jalan
melakukan penemuan hukum (rechtsvinding).

Penemuan hukum lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh


hakim atau petugaspetugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan
hukum terhadap peristiwa hukum yang kongkrit. Hal ini merupakan proses
kongkretisasi dan individualisasi peraturan hukum yang bersifat umuin dengan
mengingat peristiwa kongkrit.3 Sementara sebabagian orarig lebih suka
menggun akan istilah "pembentukan hukum" dari pada penemuan hukum"
oleh karena istilah penemuan hukum memberi sugesti seakan- akan hukumnya
sudah ada. 4

Dalam penemuan hukum, baik dalam hukum konvensional maupun dalam hukum
Islam terdapat beberapa aliran serta metode-metode penemuan hukum, namun
tulisan ini, penulis tidak akan membahas secara mendalam tentang aliran-
aliran(mazhab) dalam penemuan hukum, melainkan ingin mencoba menyajikan suatu
kajian secara sederhana yang bersifat komparatif terhadap metodemetode penemuan
hukum menurut hukum konvensional dan hukum Islam.

B. Makna Penemuan
Hukum

1. Istilah Penemuan
Hukum

Istilah "penemuan hukum" oleh beberapa pakar sering dipermasalahkan,


bahwa apakah tidak lebih tepat istilah "pelaksanaan hukum", "penerapan
hukum", "pem- bentukan hukum" atau "penciptaan hukum".5

Istilah "pelaksanaan hukum"6 dapat berarti menjalankan hukum tanpa


sengketa atau pelanmaran. Namun disarnping itu pelaksanaan hukum dapat pula
Yogyakarta: PT. Citra Aditya bakti, 1993), h. 4.
terjadi kalau ada sengketa,

yaitu yang dilaksanakan oleh hakim dan hal ini sekaligus pula merupakan penegakan
hukum.

2
Lihat Pasal 27 UU Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Pokok-Pokok Kekuasaan
Kehakiman.
3
Van Eikema Hommes, Logica en rechtsvincling, (roneografie) Vrije Universiteit, h.32.
4
Algra, Rechtsaanvemg, Drukkerij BV, Utrech, 1975, h. 219
5
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar (Cet. I; Yogyakarta:
Liberty,
1996), h. 36
6
Ibid

Adapun istilah "penerapan hukum" 7 tidak lain berarti menerapkan (peraturan)


hukum yang abstrak sifatnya pada peristiwanya. Menerapkan hukum (peraturan)
hukum pada peristiwa konkrit secara langsung tidak mungkin. Peristiwa konkrit
itu harus dijadikan peristiwa hukum terlebiii dahulu agar peraturan hukumnya dapat
diterapkan.

Dan istilah "pembentukan hukum"8 adalah merumuskan peraturan-peraturan


yang berlaku umum, bagi setiap orang. Kalau lazimnya pembentukan hukum
dilakukan oleh pembentuk undang-undang, maka hakim dimungkinkan pula
membentuk hukum, yaitu kalau hasil penemuan hukumnya merupakan yurisprudensi
yang diikuti oleh para hakim dan merupakan pedoman bagi masyarakat yang
mengandung asasasas hukum yang dirumuskan dalam peristiwa konkrit dan
memperoleh kekuatan berlaku umum.

Sedangkan istilah "penciptaan hukum"9 terasa kurang tepat karena memberikan


kesan bahwa hukumnya itu sama sekali tidak ada, kemudian diciptakan (dari tidak ada
menjadi

ada). Hukum bukanlah selalu berupa kaedah baik tertulis maupun tidak, tetapi
dapat juga berupa perilaku atau peristiwa, dan di dalam perilaku itulah terdapat
hukumnya yang harus digali serta ditemukan. Dengan demikian, maka kiranya
istilah "penemuan hukum" lah yang rasanya lebih tepat untuk digunakan.

2. Batasan Penemua
n Hukum

P e n e m u a n h u k u m y a n g dimaksud oleh Paul Scholten dalam


(Achmad Ali,

1996:146) adalah sesuatu yang lain daripada hanya penerapan peraturan-peraturan


Yogyakarta: PT. Citra Aditya bakti, 1993), h. 4.
pada peristiwanya. Kadang-kadang dan bahkan sangat sering terjadi bahwa
peraturannya harus ditemukan, baik dengan jalan interpretasi maupun dengan
analogi ataupun rechtsvervijning.10

S e d a n g a p a ya n g d i m a k s u d dengan penemuan hukum oieh Sudikno


Mertokusumo, lazimnya adalah proses pembentukan hukum oleh hakim atau aparat
hukum lainnya yang

diberi tugas untuk penerapan peraturan hukum umum pada peristiwa hukum
kongkrit. Lebih
7
Ibid
8
Ibid
9
Ibid., hal. 37.
10
Achmad Ali, op.cit., h. 146.

lanjut dapat dikatakan bahwa penemuan hukum adalah suatu proses kongkretisasi atau
individualisasi peraturan hukum (das sollen) yang bersifat umum dengan mengingat
akan peristiwa kongkrit (das sein) tertentu.11

Menemukan hukum merupakan kar ya manusia dan ini berarti


antara lain bahwa setiap penerapan hukum selalu didahului oleh seleksi
sub yektif mengenai peristiwa-peristiwa dan peraturan-peraturan yang relevan.
Selanjutnya penerapan sendiri selalu berarti merumus ulang suatu peraturan abstrak
untuk peristiwa konkrit.

Problematik yang berhubungan dengan penemuan hukum pada umumnya


dipusatkan sekitar hakim dan pembentuk Undang-undang saja. Berbagai pihak
melakukan penemuan hukum. Penemuan hukum boleh dikatakan merupakan
problematik setiap pencari keadilan. Boleh dikatakan setiap orang yang
berkepentingan dalam suatu perkara melakukan kegiatan menemukan hukum untuk
peristiwa konkrit.

Pada dasarnya setiap orang melakukan penemuan h ukurn. Oleh karena setiap
orang selalu berhubungan dengan orang lain (melakukan interaksi), hubungan many
diatur oleh hukum dan setiap orang akan berusaha menemukan hukumnya untuk
dirinya sendiri, yaitu kewajiban dan wewenang apakah yang dibebaskan oleh hukum
padanya.

Penemuan hukum terutama dilakukan oieh hakim dalam memeriksa dan


Yogyakarta: PT. Citra Aditya bakti, 1993), h. 4.
memutus suatu perkara, penemuan hukum oleh hakim ini dianggap yang
mempunyai wibawa. Ilmuan hukumpun dapat mengadakan penemuan hukum,
namun hasil dari penemuan hukum oleh ilmuan tersebut bukanlah hukum melainkan
ilmu atau doktrin. Walau demikian, sekalipun yang dihasilkan tersebut bukan hukum,
akan tetapi dalam hal ini tetap digunakan istilah penemuan hukum juga, oleh karena
doktrin tersebut apabila diikuti atau diambil alih oleh hakim dalam putusannya, maka
secara otomatis hal itu (ilmu or doktrin) menjadi hukum. Dan selanjutnya uraian tentang
penemuan hukum dalam kajian iiv dibatasi pada (metode) penemuan
hukum
oleh
hakim.

11
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum
(Cet. I;

Yogyakarta: PT. Citra Aditya bakti, 1993), h. 4.


3. Sistem Penemuan
Hukum

Dalam perkembangan system penemuan dikenal dua system penemuan


hukum, yaitu: 12

a. Sistem Penemuan Hukum Heteronom

Sebagai prototype penemuan hukum heteronom terdapat dalam sistem peradilan


negara- negara Kontinental termasuk di dalamnya Indonesia. Di sini hakim behas, tidak
terikat pada putusan hakim lain yang pernah dijatuhkan mengenai perkara sejenis. Hakim
berfikir deduktif dari bunyi undang-undang (umum) menuju ke peristiwa khusus dan
akhirnya sampai pada putusan. Dalam penemuan yang typis logistic atau heteronom
hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara berdasarkan pada faktor-faktor di luar
dirinya.

b. Sistem Penemuan Hukum Otonom

Sebagai prototype penemuan hukum otonom terdapat dalam sistem peradilan


Anglo Saks yang menganut asas the binding force precedent atau stare decisis
et olio non movere. Di sini hakim terikat pada putusan pada putusan hakim
yang telah dijatuhkan mengenai perkara sejenis dengan yang akan diputus hakim
yang bersangkutan. Memang di sini putusan hakim terdahulu yang mengikatnya,
sehingga merupakan faktor di luar diri hakim yang akan memutuskan, tetapi hakim
yang akan memutuskan itu menyatu dengan hakim terdahulu yang telah
menjatuhkan putusan mengenai perkara yang sejenis dan dengan demikian
putusan hakim terdahulu merupakan faktor di luar dirinya.

Namun di dalam perkembangannya dua sistem penemuan hukum itu saling


mempengaruhinya, sehingga penemuan hukum tidak lagi murni otonom dan murni
heteronom. Bahkan ada kecenderungan bergeser ke arah penemuan hukum otonom.

Antara penemuan hukum yang heteronom dan otonom tidak ada batas yang
tajam. Di dalam praktek penemuan hukum kita jumpai kedua unsur tersebut
(heteronom dan otonom).

Putusan pengadilan di negara-negara Anglo saks merupakan hasil penemuan


hukum otonom sepanjang pembentukan peraturan dan penerapan peraturan itu
dilakukan oleh hakim
12
Sudikno Mertokusumo,Penemuan, op.cit., h. 40-42.berdasarkan hati
nuraninya, tetapi sekaligus juga bersifat heteronom karena hakim
terikat pada putusanputusan sebelumnya (faktor di luar diri hakim).

Hukum di Indonesia mengenal penemuan hukum heteronom sepanjang hakim


terikat pada undangundang, tetapi penemuan hukum ini juga mempunyai unsur-unsur
otonom yang kuat, karena hakim seringkali harus menjelaskan atau melengkapi
undang-undang menurut pandangannya sendiri.

Kalau asas peradilan yang berlaku di Indonesia itu ialah bahwa hakim
tidak terikat pada putusan hakim terdahulu mengenai perkara yang sejenis,
maka ini tidak sedikit hakim yang, dalam menjatuhkan putusannya, berkiblat pada
putusan pengadilan yang lebih tinggi mengenai perkara serupa dengan yang
dihadapinya.

4. Dasar Hukum Positif Penemuan Hukum

Dalam pasal 1 UU No. 14 Tahun 1970 ditentukan bahwa kekuasaan kehakiman


adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan, guna
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya
Negara Hukum Republik Indonesia. "Merdeka" di sini berarti "bebas". Jadi
kekuasaan kehakiman adalah bebas untuk menyelenggarakan peradilan. Kebebasan
kekuasaan kehakiman atau kebebasan peradilan atau kebebasan hakim merupakan
asas universal yang terdapat dimana-mana, baik dinegaranegara Eropa timur, maupun
di Amerika, Jepang, Indonesia dan sehagainya. Asas kebebasan peradilan merupakan
dambaan setiap bangsa. Yang dimaksudkan dengan kebebasan peradilan atau hakim
ialah bebas untuk mengadiii dan bebas dari campur tangan dari pihak ekstra yudisiil.

Penemuan hukum di samping didasarkan pada ketentuan di atas, menemukan


dasar hukumnya dengan jelas dan tegas pada pasal 27 UU No. 14 tahun 1970,
yang berbunyi : Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali,
mengikuti dan memahami nilai- nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Kata
menggali mengasumsikan bahwa hukumnya itu ada tetapi tersembunyi, agar sampai
pada permukaan masih harus digali, dicari dan diketemukan, bukannya tidak ada,
kemudian lalu diciptakan.

C. Sumber Penemuan Hukum

1. Sumber Penemuan Hukum Konvensional


Sumber penemuan hukum tidak lain yang dimaksud adalah sumber atau tempat,
terutama bagi hakim dalam menemukan hukumnya.
S u r n b e r u t a m a p e n e m u a n hukum dalam hukum konvensional
menurut Sudikno Mertokusumo, adalah peraturan perundang-undangan,
kemudian hukum kebiasaan, yurisprudensi, perj anj i an internasional dan
doktrin.13 Jadi menurutnya terdapat tingkatan- tingkatan, hierarki atau kewedaan dalam
sumber hukum.

Dalam ajaran penemuan hukum "undang-undang" diprioritaskan atau


didahulukan dari sumber-sumber hukum lainnya. Kalau hendak mencari hukumnya,
arti dari sebuah kata maka terlebih dahulu dicari dalam undang-undang, karena
undang- undang bersifat otentik dan berbentuk tertulis, yang lebih menjamin kepastian
hukum.

Undang-undang merupakan sumber hukum yang penting dan utama,


namun senantiasa perlu pula diingat bahwa undang-undang dan hukum tidaklah
identik.

Apabila dalam peraturan perundang-undangan tidak terdapat ketentuannya atau


jawabannya, maka barulah mencari dalam hukum kebiasaan (yang tidak tertulis).
Hukum kebiasaan pada umumnya melengkapi (pelengkap) undang-undang dan tidak
dapat mengesampingkan undang-undang. Akan tetapi dalam keadaan tertentu
hukum kebiasaan dapat saja mengalahkan undang-undang: hukum kebiasaan
mengalahkan undangundang yang bersifat pelengkap.

Dan kalau hukum kebiasaan ternyata tidak memberi jawaban, maka


dicarilah dalam "yurisprudensi", yang berarti setiap putusan hakim, dapat pula
berarti kumpulan putusan hakim yang disusun secara sistematis dari tingkat
peradilan pertama sampai pada tingkat kasasi. Dan kadang pula yurisprudensi-
diartikan pandangan atau pendapat Para ahli yang dianut oleh hakim dan dituangkan
dalam putusannya.

2. Sumber Penemuan Hukum Islam

Seperti halnya sumber hukum dalam hal penemuan hukum menurut hukum
konvensional, maka dalam hukum Islam juga terdapat urutan atau hierarki tersendiri
dalam

hal penemuan hukum yaitu Al-Qur'an, Sunnati (hadits nabi) dan Jima.

13
Ibid., h. 48.
D. Aliran-aliran Penemuan Hukum

Dalam penemuan hukum terdapat beberapa aliran. Sebelum tahun 1800


sebagian besar hukum adalah hukum kebiasaan, yang beraneka ragam dan kurang
menjamin kepastian hukum. Keadaan ini menimbulkan gagasan untuk menyatukan
hukum dan menuangkan dalam sebuah kitab undang-undang (codex), maka timbullah
gerakan kodifikasi. Timbulnya gerakan kodifikasi ini disertai timbulnya aliran legisme,
yaitu aliran dalam ilmu pengetahuan hukum dan peradilan yang tidak mengakui hukum
di luar undang-undang.

Menurut aliran ini, hakim tidaklah menciptakan hukum. Ajaran ini


didasarkan atas pandangan Montesquieu tentang, negara ideal, yang menurutnya
hakim itu hares tunduk pada undang-undang. Menurut aliran ini semua hukum itu
terdapat dalam undang-undang. Hakim menerapkannya pada peristiwa yang konkrit,
ia tidak bertanggung jawab dan tidak dapat dicela. Pandangan ini berkuasa di Eropa
antara 1830-1880.

Berbeda dengan itu, Portalis berpendapat bahwa kitab undangundang meskipun


tampaknya lengkap, tetapi tidak pernah rampung, sebab ribuan pen-nasalahan yang
tidak terduga akan diajukan kepada hakim. Undang-undang yang sudah ditetapkan itu
tidak akan berubah, sedangkan manusia tidak pernah berhenti dan perkembangan itu
selalu akan menimbulkan peristiwa bard.

Undang-undang ternyata tidak lengkap dan sering tidak jelas. Aliran legisme ini
lama- lama ditinggalkan. Dan hakim diharapkan dapat menyesuaiakan undang-undang
dengan keadaan. Pada abad ke-19 lahirlah di Jennan dua aliran yang lebih lunak
dari legisme, yaitu mazhab sejarah dan Freirechtschule. Menurut pandangan
mazhab historis maka undang-undang tidak lengkap. Di samping undang-undang
masih ada cumber hukum lain, yaitu kebiasaan. Menurut Von Savigny hukum itu
berdasarkan sistem asas-asas hukum dan pengertian dasar dari mana untuk setiap
peristiwa dapat diterapkan kaedah yang cocok. Hakim memang bebas dalam
menerapkan undangundang, tetapi ia tetap bergerak dalam sistem hukum yang
tertutup.

E. Aliran Penemuan Hukum Oleh hakim

Di samping aliran di atas, dan ketika dirasakan betapa aliran legis tersebut tidak
mampu lagi memecahkan problem-problem hukum yang muncul, maka oleh
kalangan hukum berpendapat bahwa melakukan penemuan hukum oleh hakim adalah
sesuatu yang wajar dan bahkan sangat diperlukan.
Penemuan hukum bagaimanapun selalu dilakukan oleh hakim dalam setiap
putusannya. Tidak ada teks yang jelas, tidak ada teks yang tanpa sifat ambiguitas, hal
ini sudah menjadi sifat setiap bahasa.

a. Aliran Begriffsjurisprudenz

Aliran ini dikenal sebagai aliran yang mengawali dibolehkannya hakim


melakukan penemuan hukum, aliran ini sekaligus memulaimemperbaiki kelemahan
yang ada pada ajaran Ajaran dari aliran ini bahwa sekalipun benar undang-undang
itu tidak lengkap, namun undang-undang masih dapat menutupi kekurangan-
kekurangannya sendiri,karena undang- undang memiliki daya meluas, yang bersi fat
"normlogisch".

Penggunaan hukum-logika yang biasa di seb ut "sillogisme" menjadi dasar


utama dari aliran ini. Dan olehnya, ia menempatkan rasio dan logika pada tempat
yang sangat istimewa. Kekurangan undangundang menurut aliran ini hendaknya diisi
dengan penggunaan hukumhukum logika dan memperluas undang-undang
berdasarkan rasio.

Olehnya yang menjadi tujuan dari aliran Begriffsjurisprudenz ini adalah


bagaimana kepastian hukum dapat terwujud, dengan tidak begitu memperhatikan rasa
keadilan dan kemanfaatan hukum bagi warga masyarakat, sebab ia hanya melihat hukum
sekedar persoalan logika dan rasio belaka.

b. Aliran Interessenjurisprudenz (Freirechtsschule)

A l i r a n i n i m u n c u l s e b a g a i kritik terhadap aliran


Begriffsjurisprudenz. Dimana m enurut aliran ini, undang-undang jelas tidak
lengkap. Undang-undang bukan satu- satunya sumber hukum, sedang hakim dan
pejabat lainnya mempunyai kebebasan yang seluas-luasnya untuk melakukan
"penemuan hukum". Bahkan menurut aliran ini, untuk mencapai keadi Ian yang setinggi-
tingginya, hakim boleh menyimpang dari undang-undang, demi kemanfaatan ma
syarakat.

Namun di sisilain, bagaimanapun aliran ini membuka peluang teijadinya


kesewenangwenangan, karena hakim adalah manusia biasa yang takkan mungkin
terlepas dari berbagai kepentingan dan pengaruh sekelilingnya, termasuk pengaruh
kepentingan pribadi, keluarga dan sebagainya. Faktor subyektif yang ada pada diri
hakim sebagai manusia biasa, akan sangat mudah menciptakan kesewengwenangan
dalam putusannya.14

c. Aliran Soziologische Rechtsschule

Aliran ini lahir sebagai reaksi terhadap aliran freirerechtsschule yang pada
pokoknya hendak menahan kemungkinan munculnya kesewenang-wenangan hakim,
berkaitan dengan diberikannya hakim "fi-eies ermessen . Namunpun demikian aliran
ini tetap mengakuib a h w a h a k i m t i d a k h a n ya s e k e d a r " t e r o m p e t u n
dang-undang", tetapi hakim hams jugamemperhatikan
kenyataan-kenyataan masyarakat, perasaan dan kebutuhan hukum serta kesadaran
hukum warga masyarakat.

Hamaker, berpendapat bahwa hakim seyogianya mendasarkan putusannya sesuai


dengan kesadaran hukum dan perasaan hukum yang sedang hidup di dalam masyarakat
ketika putusan itu dijatuhkan.

Sejalan dengan Hamaker, I.H. Hymans menyatakan bahwa hanya putusan hakim
yang sesuai dengan kesadaran hukum dan kebutuhan hukum warga masyarakat yang
merupakan "hukum- dalam makna sebenarnya" (het recht der werkelUlcheid).15

F. Metode Penemuan Hukum

1. Metode Penemuan Hukum Konvensional

Penemuan hukum adalah merupakan kegiatan terutama dari hakim dalam


melaksanakan undangundang bila terjadi peristiwa konkrit, dimana dalam
kegiatan tersebut (penemuan hukum) dibutuhkan adanya suatu metode (langkah)
yang nantinya dapat dipergunakan oleh penegak hukum (hakim) dalam
memberikan keputusan terhadap suatu peristiwa hukum yang terjadi, yang
dipahami bahwa aturan hukum (UU) dalam peristiwa tersebut tidak jelas atau
bahkan belum diatur sama sekali.

Salah satu metode penemuan hukum yang memberi penjelasan yang gamblang
mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaedah dapat ditetapkan
sehubungan dengan peristiwa tertentu adalah melalui interpretasi atau penafsiran.
Penafsiran oleh hakim merupakan penjelasan yang hams menuju kepada
pelaksanaan yang dapatditerima oleh masyarakat mengenai peraturan hukum
terhadap peristiwa yang konkrit. Metode interpretasi ini adalah sarana atau aiat
untuk mengetahui makna undang-undang.
Pembenarannya terletak pada kegunaannya untuk melaksanakan ketentuan yang
konkrit dan bukan untuk kepentingan metode itu sendiri.

a.Metode Subsumptif

Yang dimaksud metode subsumptif ini adalah di mana hakim hams menerapkan
suatu teks undangundang terhadap kasus in-konkreto, dengan belum memasuki taraf
penggunaan penalaran yang lebih remit, tetapi sekedar menerapkan sillogisme.

Achmad Ali (1996: 176). menggolongkan metode subsumptif ini ke dalam salah
sate jenis interpretasi, yaitu interpretasi yang paling sederhana, karena metode
subsumptif ini berdasarkan pada bunyi teks undang-undang.16

b. Interpretasi Menurut Bahasa


(Grainatikal)

Metode interpretasi gramatikal merupakan cara penafsiran atau penjelasan yang


paling sederhana untuk mengetahui makna ketentuan undang-undang dengan
menguraikannya menurut bahasa, susunan kata atau bunyinya. Interpretasi
menurut bahasa ini selangkah lebih jauh sedikit dari hanya sekedar membaca
undangundang. Di sini arti atau makna ketentuan undang-undang dijelaskan menurut
bahasa sehari-hari yang umum. Metode interpretasi ini biasa juga disebut dengan metode
obyektif.

B a g i P i t l o ( 1 9 9 8 : 1 8 - 3 1 ) , interpretasi gramatikal berarti, bahwa


kita mencoba menangkap arti suatu teks menurut bunyi kata-katanya. Ini dapat
terbatas pada sesuatu yang otomatis, yang tidak disadari, yang kita selalu lakukan
pada saat membaca. Tetapi dapat juga lebih mendalam. Sebuah kata dapat
mempunyai berbagai arti; dalam bahasa hukum dapat berarti lain daripada bahasa
pergaulan.

Dalam interpretasi gramatikal, kita mencoba menem


u k a n m a k n a k a t a d e n g a n m e n e l u s u r i k a t a m a n a y a n g oleh
pembuat undang-undang digunakan dalam mengatur peristiwa sejenis dan sekaligus
menelusuri di tempat mana lainnya dan dalam hubungan apa pembentuk
undangundang rnenggunakan kata yang sama. c . I n t e r p r e t a s i T e l e o l o g i s
atau Sosiologis
Metode interpretasi ini biasa digunakan apabila makna
undangundang itu ditetapkan berdasarkan tujuan kemasyarakatan. Dengan
interpretasi teleologis ini undangundang yang masih berlaku tetapi sudah usang
atau sudah tidak sesuai lagi, diterapkan terhadap peristiwa, hubungan,
kebutuhan dan kepentingan masa kini, tidak perduli apakah hal ini semuanya pada
waktu diundangkannya undang-undang tersebut dikenal atau tidak. Di sini peraturan
perundang-undangan disesuaikan dengan hubungan dan situasi sosial yang baru.

Ketentuan undang-undang yang tidak sesuai lagi dilihat sebagai alat untuk
memecahkan atau menyelesaikan sengketa dalam kehidupan bersama waktu
sekarang. Interpretasi

teleologic ini biasa juga disebut dengan interpretasi sosiologis, metode ini baru
digunakan apabila kata-kata dalam undang-undang dapat ditafsirkan dengan pelbagai
cara.

d. Interpretasi Sistematis

T e r j a d i n y a s u a t u u n d a n g - undang selalu berkaitan dan


berhubungan dengan peraturan perundang-undangan lain, dan tidak ada undang-
undang yang berdiri sendiri lepas sama sekali dari keseluruhan perundang-
undangan. Setiap undang-undang merupakan bagian dari keseluruhan system
perundang-undangan. Metode interpretasi sistematis ini adalah merupakan metode yang
menafsirkan undang-undang sebagai bagian dari keseluruhan sistem perundang-
undangan dengan jalan menghubungkannya dengan undang- undang lain, metode ini
biasa pula disebut dengan interpretasi logis.

e. Interpretasi Historis

Salah satu cara untuk mengetahui makna undang-undang dapat pula dijelaskan
atau ditafsirkan dengan meneliti sejarah teijadinya. Penafsiran ini
dikenal sebagai interpretasi historis, dengan kata lain penafsiran ini merupakan
penjelasan menurut terjadinya undang-undang.

Terdapat dua macam interpretasi historis, yaitu penafsiran menurut sejarah


undang- undang dan penafsiran menurut sejarah hukum. Dengan penafsiran
menurut sejarah undang-undang, hendak dicari maksud ketentuan undang-undang
seperti yang dilihat oleh pembentuk undang-undang pada waktu pembentukannya.

f. Interpretasi Komparatif
In t e r p r e t a s i k o m p a r a t i f i n i adalah metode membandingkan antara
berbagai sistem hukum. Dengan demikian metode ini hanya terutama digunakan
dalam bidang hukum perjanjian internasional.

g. Interpretasi Futuristis

Interpretasi ini menjelaskan undang-undang yang berlaku sekarang (ius


constitutum) dengan berpedoman pada undang-undang yang belum mempunyai
kekuatan hukum (ius constituendum). Misalnya suatu rancangan undang-undang yang
masih dalam proses pengundangan, tetapi yang sudah pasti akan diundangkan (dugaan
politis).

h. Interpretasi Restriktif

Interpretasi restriktif adalah m eto de int e rpr et asi ya n g si fat n ya


membatasi, misalnya secara gramatikal, pengertian istilah tetangga dalam pasal 666
KUH. Perdata adalah setiap tetangga termasuk seorang penyewa dari pekarangan
sebelahnya. Tetapi kalau dibatasi menjadi tidak termasuk tetangga penyewa, ini
berarti kita telah melakukan interpretasi restriktif.

i. Interpretasi Ekstensif

Interpretasi ekstensif adalah metode interpretasi yang membuat


interpretasi melebihi batas-batas hasil interpretasi gramatikal. Contohnya,
perkataan menjual dalam Pasal 1579 dalam KUH. Perdata ditafsirkan iyas yaitu
bukan setnata-mata hanya berarti jual beli saja, melainkan juga berarti peranan hak".

Metode Konstruksi

a. Metode Argurnentum Per Analogian (Analogi)

Analogi merupakan salah satu jenis konstruksi hukum yang sering


digunakan dalam perkara perdata, tetapi yang menimbulkan polemik penggunaannya
dalam perkara pidana. Analogi ini merupakan metode penemuan hukum di mana
hakim mencari esensi yang lebih umum pada suatu perbuatan yang diatur atau
peristiwa yang secara konkrit dihadapi hakim.

Bagi Paton, kegunaan menggunakan analogi secara balk dimungkinkan


untuk memecahkan problem barn dengan suatu peraturan yang dapat ditempatkan
dalam suatu hubungan yang erat dengan peraturan-peraturan yang telah diadakan.
Dengan demikian dianggap bahwa hukum merupakan suatu susunan asas-asas yang
sangat kokoh dan setiap usaha yang dilakukan untuk membuat hal itu tetap demikian.

Adapun tentang penerapan analogi dalam hukum pidana, terdapat perbedaan


pendapat di kalangan pakar hukum. Sebagai contoh Sudikno Mertokusumo menulis
bahwa :

"Hukum Inggris yang sebagian tertulis (satute law) dan sebagian tidak tertulis
(common law) memperkenalkan analogi, meskipun demikian hakim di Inggris
menolak menggunakan analogi terhadap hukum pidana".

Di Indonesia tampak masih disepakati bahwa analogi belum diterima untuk


digunakan terhadaphakim mencari esensi yang lebih umum pada suatu perbuatan yang
diatur atau peristiwa yang secara konkrit dihadapi hakim.

Bagi Paton, kegunaan menggunakan analogi secara baik dimungkinkan


untuk memecahkan problem barn dengan suatu peraturan yang dapat ditempatkan
dalam suatu hubungan yang erat dengan peraturan-peraturan yang telah diadakan.
Dengan demikian dianggap bahwa hukum merupakan suatu susunan asas-asas yang
sangat kokoh dan setiap usaha yang dilakukan untuk membuat hal itu tetap demikian.

Adapun tentang penerapan analogi dalam hukum pidana, terdapat perbedaan


pendapat di kalangan pakar hukum. Sebagai contoh Sudikno Mertokusumo menulis
bahwa : "Hukum Inggris yang sebagian tertulis (satute law) dan sebagian tidak tertulis
(common law) memperkenalkan analogi, meskipun demikian hakim di Inggris menolak
menggunakan analogi terhadap hukum pidana".17

Di Indonesia tampak masih disepakati bahwa analogi belum diterima untuk


digunakan terhadap kasus pidana, walaupun beberapa terobosan pernah dicoba.

17
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Yogyakarta: Liberty, 1986), h. 150

b. Metode Argumentum A' Contrario

Metode ini menggunakan penalaran bahwa jika undang-undang menetapkan hal-


hal tertentu untuk peristiwa tertentu, berarti peraturan itu terbatas pada peristiwa
tertentu itu dan bagi peristiwa di luamya berlaku kebalikannya.

Menurutsudikno Mertokusumo,18 pada argumentum a'ccontrario titik berat


diletakkan pada ketidaksamaan peristiwanya. Di sini diperlakukan segi negatif dari
Undang-undang.
A c h m a d A l i 19 m e n g a n g g a p , b a h w a s e b e n a r n ya j i k a k i t a
mengaitkan antara metode argumenta' contraric ini dengan pembagian dua
sistem hukum ke dalam sistem hukum Anglo saxon dan sisrem hukum Eropa
Kontinental, maka metode ini selaras dengan metode berpikir hakim di Eropa
Kontinental. Di dalam sistem Anglo Saxon, para hakim cenderung berpikir secara
induktif, khusus ke umum (species ke general). Hakim mencari dan menemukan
peraturan sebagai dasar putusannya melalui sederetan putusan-putusan
sebelumnya, jadi bersifat "reasoning from case to case", bersifat "reasoning by
analogy''.

Sedangkan di dalam sistem Eropa Kontinental, hakim cenderung berpikir


secara deduktif, yaitu mengikat hakim dengan undangundang yang merupakan
peraturan umum agar sekelompok peristiwa tertentu yang serupa dapat diputus
serupa pula. Di dalam sistem hukum ini, hakim mengadakan konkritisasi
peraturan yang rnengabstraksikan peristiwanya. Dengan demikian cara berpikir
hakim di Eropa ontinental cenderung menggunakan ciri "subsumptie" dan "sillogistis".

c. Rechtsvervnings (Pengkonkritan
Hukum)

Metode pengkonkritan hokum (Rechtsvervijnings) ini bertujuan untuk


mengkonkritka_n suatu aturan hukum yang terlalu abstrak. Sebagai contoh
adalah pasal

1365 BW yang berbunyi: "Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa


kerugian pada pihak lain, mewajibkan si pelaku yang karena salahnya menimbulkan
kerugian itu, untuk mengganti kerugian itu".

Apa yang dimaksud perbuatan melanggar hukum di sini?, Bagairnana


kriteria salah?, apakah hanya terbatas pada melanggar u n d a n g - u n d a n g
atau lebih luas?,

18
Ibid., h. 52.
19
Achmad Ali, op.cit., 11. 197.
Undang-undang jelas tidak memberikan jawaban. Untuk itu hakim harus
menggunakan metode

rechtsvervijning atau pengkonkritan hukum.

2. Metode Penemuan
Hukum Islam
Metode penemuan hukum yang dimaksudkan dalam sub ini adalah
"tharigah", yaitu jalan atau cara yang harus dilakukan oleh seorang mujtahid dalam
memahami, menemukan dan merumuskan hukum syara'.

Penemuan hukum dalam hukum Islam (ijtihad), pada dasarnya adalah


usaha memahami, menemukan dan merumuskan hukum syara'. Bagi hukum yang
jelas terdapat nash,usaha yang dilakukan oleh penemu hukum (mujtahid) adalah
memahami nash yang berisi hukum itu dan merumuskannya dalam bentuk
rumusan hukum yang mudah dilaksanakan secara operasional. Bagi hukum
yang tidak tersurat secara jelas dalam nash, kerja ijtihad adalah mencari apa
yang terdapat dibalik nash tersebut, kemudian merumuskannya dalam bentuk
hukum. Sedang bagi hukum yang sama sekali tidak ditemukan petunjuknya dalam
nash, tetapi mujtahid menyadari bahwa hukum Allah pasti ada, maka kerja ijtihad
adalah menggali sampai menemukan hukum Allah, kemudian merumuskannya
dalam rumusan hukum yang operasional.

Dalam hal menemukan hukum dan menetapkan hukum di luar apa yang
dijelaskan dalam nash Al-Quran dan Hadits, para ahli mengerahkan segala
kemampuan nalarnya, mereka merumuskan cara atau metode yang mereka
gunakan dalam menemukan hukum. Ada beberapa metode yang lahir dari hasil
rumusan, diantaranya ada metode yang merupakan ciri khas (hasil temuan)
seorang mujtahid yang berbeda (dan tidak digunakan oleh) mujtahid lainnya.
Adanya perbedaan metode ini berimplikasi pada munculnya perbedaan antara hasil
ijtihad seorang mujtahid dengan yang lainnya. Perbedaan metode tersebut ditentukan
oleh jenis petunjuk dan bentuk pertimbangan yang dipakai oleh masing- masing
mujtahid dalam berijtihad.

M e s k i p u n a d a b e b e r a p a metode ijtihad dalam menetapkan hukum,


namun tidak semua metode itu disepakati penggunanannya. Dalam bahasan ini
akan dikemukakan beberapa cara atau metode tersebut, di antaranya :
a. Qiyas

Secara bahasa qiyas berarti ukuran, mengetahui ukuran sesuatu, membandingkan


atau menyamakan sesuatu dengan yang lain. Sedang pengertian qiyas secara terminologi
terdapat beberapa defenisi, yang walaupun redaksi berbeda tapi mengandung pengertian
yang sama. Diantaranya, yang dikemukakan Sadr al-Syari'ah, bahwa qiyas adalah
memberlakukan hukum asal kepada hukum furu' disebabkan kesatuan 'Mat yang tidak
dapat dicapai melalui pendekatan bahasa saja.20

b. Istihsan

Istihsan termasuk salah satu metode penemuan hukum (ijtihad) yang


diperselisihkan oleh para ulama, meskipun dalam kenyataannya, semua ulama
menggunakannya secara praktis.

Secara etimologi istihsan berarti rnenyatakan dan meyakini baiknya sesuatu.


Tidak terdapat perbedaan pendapat ulama ushul fiqhi dalam mempergunakan lafal
istihsan dalam pengertian etimologi. Sedang secara terminologi Imam Malik
sebagaimana dinukilkan oleh Imam Syathibi mendefenisikan istihsan dengan:
memberlakukan kemaslahatan juz'i ketika berhadapan dengan dengan kaidah umum,
yang hakikatnya bahwa mendahulukan mashlahah al-mursalah dari qiyas.21

c. Mashlahah al-mursalah

Secara etimologi mashlahah sama dengan manfaat, baik dari segi lafal maupun
makna. Mashlahah juga berarti manfaat atau suatu pekerjaan yang mengandung manfaat.
Secara terminologi, Imam Ghazali mengemukakan bahwa pada prinsipnya
mashlahah adalah mengambil manfaat dan menolak kemudaratan dalam rangka
memeli hara tujuan-tujuan syara' .22

Imam al-Ghazali memandang bahwa suatu kemaslahatan hams sejalan


dengan tujuan syara' (agama, jiwa, akal, keturunan dan harta), sekalipun
bertentangan dengan tujuan-tujuan manusia, karena kemashlahatan manusia tidak
selamanya didasarkan kepada

kehendak syara', tetapi sering didasarkan kehendak hawa nafsu.

20
H. Nasrun Haroen, Ushul Figh I (Cet. I; Jakarta: Logos, 1996), h. 62
21
Ibid., h. 102.
22
Ibid., h. 114.
d. Istishhab

Secara etimologi, istishhab berarti "minta bersahabat" atau "rnembandingkan


sesuatu dan mendekatkannya". Secara terminologi terdapat beberapa metode
istishhab, Imam al- Ghazali mendefenisikan istishhab dengan : berpegang pada dalil
akal atau syara', bukan didasarkan karena tidak mengetahui adanya dalil, tetapi setelah
dilakukan pembahasan dan penelitian cermat, diketahui tidak ada dalil yang mengubah
hukum yang telah ada.23

lbn Flazm mendefenisikan istishhah dengan berlakunya hukum asal yang


ditetapkan berdasarkan nash (ayat atau hadits) sampai ada dalil lain yang
menunjukkan perubahan hukum tersebut. Kedua defenisi ini, pada dasarnya
mengandung pengertian bahwa hukum yang sudah ada pada masa lampau tetap
berlaku untuk zaman sekarang dan yang akan datang selama tidak ada dalil lain yang
mengubah hukum itu.

e. 'Urf

Secara etimologi `urf berarti "yang baik". Sedang surf menurut ulama
ushul fiqhi adalah kebiasaan mayoritas kaum baik dalam perkataan atau
perbuatan. Berdasarkan defenisi tersebut, Mushthafa Ahmad al-Zarqa mengatakan
bahwa surf merupakan bagian dari adat, karena adat lebih umum dari surf Suatu
surf menurutnya harus berlaku pada kebanyakan orang di daerah tertentu, bukan
pada prihadi atau kelompok tertentu.24

f. Mazhah Shahabi

Mazhah shahabi berarti pendapat para sahabat rasulullah saw, yang


dimaksud pendapat sahabat adalah pendapat para sahabat tentang suatu kasus yang
dinukilkan para ulama, baik berupa fatwa maupun ketetapan hukum, sedangkan ayat
atau hadits tidak menjelaskan hukum terhadap kasus yang dihadapi sahabat
tersebut. Disamping belurn adanya ijma para sahabat yang menetapkanhukum
tersebut. Persoalan yang dibahas para ulama ushul fiqhi adalah apabila pendapat
para sahabat itu diriwayatkan dengan jalur yang

shahih, apakah wajib diterima, diamalkan dan dijadikan dalil?.

23
Ibid., h. 128.
24
Ibid, h. 137.
G. Penutup

1 . M e t o d e p e n e m u a n h U k u m konvensional (yang biasa dipergunakan)


terbagi kepada dua yaitu, metode interpretasi dan konstruksi. Sedang metode
penemuan hukum Islam meliputi: qiyas, istihsan, mashlahah mursalah, istishhab, `urf,
mazhab shahabi.

2 . Pada dasarn ya dari segi metode penemuan hokum yang digunakan, baik dalam
hukum konvensional maupun dalam hukum Islam terdapat beberapa
persamaan, dan perbedaan, yang pada intinya dapat dikombinasikan dan
saling melengkapi. Namun apabila dilihat dari sudut sumber hukum dalam metode
penemuan hukum tersebut terdapat perbedaan yang sangat prinsipil, dimana sumber
hukum dalam metode penemuan hukum Islam bersumber dari Al-Qur'an dan
hadits, sedang sumber hukum metode penemuan hokum konvensional adalah UU,
kebiasaan, dll, yang nota bone adalah hasil karya (produk) manusia.

Anda mungkin juga menyukai