Penemuan Hukum
Penemuan Hukum
id/opini_dosen/tantangan-hukum-di-era-revolusi-industri-4-0-oleh-syafrinaldi
PEMBANGUNAN yang dilakukan oleh suatu bangsa harus memihak kepada kepentingan
rakyat. Pembangunan sebagai suatu proses yang berkesinambungan harus senantiasa
tanggap dan peka terhadap dinamika yang terjadi di dalam masyarakat, baik di bidang
politik, ekonomi, teknologi, sosial dan budaya dan sebagainya.
Masyarakat modern (modern society) hidup dalam era teknologi informasi (information
technology) atau disebut juga dengan informative society yang saat ini populer disebut
dengan „disruptive era“ atau era revolusi industri 4.0. Artinya, dunia global telah
menempatkan kehidupan manusia berada di tengah-tengah arus teknologi yang begitu
cepat perkembangannya dan sekaligus menjadi ancaman bagi manusia. Kemajuan dalam
bidang teknologi (informasi) merupakan hasil karya intelektual manusia yang telah banyak
membawa perubahan luar biasa dalam pola hidup manusia dewasa ini.
Berbagai capaian manusia dalam bidang paten dan hak cipta merupakan bukti nyata, bahwa
dalam perdagangan dunia karya-karya intelektual manusia telah menjadi mesin ekonomi
yang sangat ampuh bagi pertumbuhan ekonomi suatu bangsa. Dalam konteks itulah sangat
tepat dikatakan, bahwa teori keuntungan (benefit theory) dalam perlindungan hukum atas
hak milik intelektual (intellectual property rights) sangat relevan, karena perlombaan untuk
menghasilkan karya-karya intelektual dilakukan untuk mendapatkan keuntungan (materil
dan moril) bagi si pencipta atau inventor.
Perubahan yang begitu cepat dalam dunia bisnis merupakan ciri dari kehidupan manusia di
era disruption. Kehidupan dunia usaha dan bisnis yang didukung oleh teknologi informasi,
seperti internet telah menciptakan dunia bisnis seolah-olah tanpa batas (borderless trade) di
seluruh penjuru dunia. Kemajuan ini secara otomatis, baik langsung maupun tidak
langsung, telah berimplikasi pada eksistensi hukum yang mengaturnya.
Kemajuan pesat yang terjadi dalam masyarakat dunia, termasuk juga masyarakat Indonesia,
perlu dibarengi dengan sentuhan hukum, sehingga eksistensi negara hukum dapat terus
dipertahankan. Artinya dukungan yang diberikan oleh pemerintah dalam pengembangan
teknologi informasi harus diikuti dengan perkembangan hukum, sehingga kemajuan
teknologi tersebut dapat bermanfaat secara maksimal bagi masyarakat dan negara dan akan
dapat mendorong masuknya investor ke Indonesia.
Perkembangan dan kemajuan teknologi informasi secara global membawa dampak luas di
tengah-tengah kehidupan masyarakat nasional dan internasional. Kemajuan tersebut tidak
hanya telah menciptakan perdagangan dengan menggunakan elektronik (electronic
commerce – e-commerce), sehingga telah melenyapkan konsep jual beli secara
konvensional, tetapi sekaligus juga telah menimbulkan kekhawatiran dan ketakutan
masyarakat terhadap ekses-ekses negative dari teknologi tersebut, seperti kejahatan
terhadap credit card atau Anjung Tunai Mandiri (ATM) serta ancaman keadidayaan
teknologi informasi sebagai pengganti tenaga manusia di dalam dunia kerja seperti
maraknya online shopping.
Ciri khas dari perbuatan hukum siber ini, pertama, kendatipun perbuatan hukum itu
dilakukan di dunia virtual yang tidak mengenal locus delicti, tetapi perbuatan itu berakibat
nyata (legal facts), sehingga perbuatan itu harus dianggap sebagai perbuatan yang nyata
pula. Dengan demikian segala bukti yang terdapat dan menggunakan teknologi informasi,
seperti e-mail dan lain-lain dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah. Kedua, UU ini juga
tidak mengenal batas wilayah (borderless) dan siapa pelakunya (subyek hukum), sehingga
siapapun pelakunya dan dimanapun keberadaannya tidak begitu penting asalkan
perbuatannya tersebut dapat menimbulkan akibat hukum di Indonesia. Jadi, yang
terpenting disini adalah bahwa perbuatan hukum itu menimbulkan kerugian terhadap
kepentingan Indonesia yang meliputi tetapi tidak terbatas pada merugikan kepentingan
ekonomi nasional, perlindungan data strategis, harkat dan martabat bangsa, pertahanan dan
keamanan, serta badan hukum Indonesia.
Institusi hukum, seperti Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman dan Advokat harus mereposisi
diri. Profesionalisme mereka sangat dituntut dalam menyelesaikan tugas-tugas berat dalam
bidang hukum ke depan. Sebab ditangan merekalah kepastian hukum (legal certainty)
dapat diwujudkan bagi si pencari keadilan di muka bumi ini (justice for all).
Dalam UU ITE ditetapkan mengenai perluasan dari alat bukti yang sah yang selama ini
dikenal dalam Hukum Acara di Indonesia. Semua informasi elektronik dan/ atau dokumen
elektronik dan/ atau hasil cetaknya merupakan alat bukti yang sah, apabila menggunakan
sistem elektronik. Sistem elektronik adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik
yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan,
menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/ atau menyebarluaskan informasi
elektronik.
Berbagai perbuatan hukum, baik itu perdata maupun pidana dilakukan oleh manusia dengan
mempergunakan sistem teknologi informasi. Hal ini dapat dibuktikan, betapa banyaknya
masyarakat internasional yang melakukan aktivitas bisnis usahanya di alam maya dengan
menggunakan internet. Hal yang sama juga dengan mudah kita temukan di Indonesia.
Banyak pelaku ekonomi yang memperjualbelikan dagangannya baik barang maupun jasa
melalui internet tanpa harus bertemu secara fisik antara si penjual dan si pembeli.
Pemberlakuan tiket dengan sistem electronic ticket (e-ticket) di bisnis penerbangan secara
global merupakan contoh yang jelas dan memberikan kemudahan bagi konsumen.
Demikian juga dengan penutupan kontrak oleh para pihak cukup dilakukan melalui dunia
maya dengan membubuhkan tandatangan elektronik, yaitu tanda tangan yang terdiri atas
informasi elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan informasi elektronik
lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentifikasi.
Pada akhirnya era disruption meninggalkan banyak pekerjaan rumah bagi ahli dan penegak
hukum di Indonesia yang menuntut tingkat profesionalisme yang tinggi dan handal dengan
penguasaan soft skill seperti komputer dan bahasa inggris. Tantangan atau challenge
bukanlah sesuatu yang harus dielakkan melainkan harus dihadapi dengan cara dan strategi
yang tepat, sehingga semuanya mendapatkan ruang dalam ilmu hukum dan implementatif.*
Revolusi Industri Keempat atau The Fourth Industrial Revolution (Revolusi Industri 4.0) telah
membawa tantangan baru. Revolusi Industri 4.0 yang luar biasa cepatnya telah berdampak pada
perubahan teknologi dan sosial, maka adalah hal keliru untuk memastikan hasil yang tepat jika
hanya mengandalkan legislasi/regulasi dan insentif dari pemerintah. Pada saat diterapkannya
suatu legislasi/regulasi dan insentif pemerintah maka bisa jadi norma/aturan sudah tidak
memadai lagi atau malah menjadi tumpang tindih.
Hal itu yang dimaksud dalam White Paper yang diterbitkan oleh World Economic Forum
(WEF) pada November 2016 bahwa “Given the Fourth Industrial Revolution’s
extraordinarily fast technological and social change, relying only on government
legislation and incentives to ensure the right outcomes is ill-advised. These are likely to be
out-of-date or redundant by the time they are implemented".
G-2o pada Desember 2018 di Argentina telah memastikan kesepakatan bersama dalam
pemberdayaan digital ekonomi. G-20 Leaders’ Declaration Building Consensus For Fair
and Sustainable Development dalam butir ke-9 dinyatakan bahwa: “To maximize the benefits
of digitalization and emerging technologies for innovative growth and productivity, we will
promote measures to boost micro, small and medium enterprises and entrepreneurs, bridge the
digital gender divide and further digital inclusion, support consumer protection, and improve
digital government, digital infrastructure and measurement of the digital economy. We reaffirm
the importance of addressing issues of security in the use of ICTs. We support the free flow of
information, ideas and knowledge, while respecting applicable legal frameworks, and working to
build consumer trust, privacy, data protection and intellectual property rights protection. We
welcome the G20 Repository of Digital Policies to share and promote the adoption of innovative
digital economy business models. We recognize the importance of the interface between trade and
the digital economy. We will continue our work on artificial intelligence, emerging technologies
and new business platforms.” Wilayah Asia khususnya negara-negara ASEAN memiliki
peran utama dalam peradaban digital ekonomi sebagaimana terlihat dari data International
Monetary Fund (IMF) sebagai berikut:
Digital ekonomi memiliki karakter yang masif dan eskalatif karena kemudahan dan
kecepatan akses teknologi informasi atau media internet. Hanya dengan sekali sentuh maka
dapat disebarkan data secara meluas dan berubah dalam berbagai format dalam waktu yang
singkat.
Utilisasi informasi dari digital ekonomi termasuk kegiatan pengumpulan data (data
collecting); penelisikan data (data crawling); dan analisis perilaku interaksi data (data
behavior analyzing).
Data dimaksud harus mampu dimonetisasi dan divaluasi dalam indikator finansial sebelum
mampu menjadi nilai kompetitif sebagai model bisnis. Model bisnis yang kemudian
berbasis aplikasi tidak hanya jaringan dan jasa, baik dalam perdagangan elektronik (e-
commerce) maupun teknologi finansial (FinTech). Fenomena teknologi finansial secara
digital dimulai dengan bermunculannya model bisnis yang berfokus pada data, namun
hanya beberapa perusahaan/korporasi saja yang telah mencapai dampak finansial yang
signifikan.
Hasil dari Survei Global McKinsey 2017, menunjukkan bahwa peningkatan pangsa
korporasi yang menggunakan data dan analisis sebagai model bisnis yang menghasilkan
pertumbuhan finansial. Pertumbuhan finansial dari perusahaan yang berbasis model bisnis
data memerlukan kombinasi strategi, budaya, dan organisasi yang tepat.
Perusahaan melakukan monetisasi data (data monetizing, data capitalization) sebagai alat
pertumbuhan finansial. Walaupun masih dalam evolusi awal nampak beberapa perusahaan
dengan pertumbuhan tercepat (berkinerja tinggi) sudah berada di depan perusahaan-
perusahaan yang lainnya.
Digital ekonomi memiliki potensi peningkatan ekonomi kerakyatan di Indonesia dengan 3
pilar “berbagi” yaitu berbagi ekonomi (economic sharing), berbagai kepercayaan (trust
sharing), dan berbagi pengetahuan (intellectual sharing).
Peran yang terus tumbuh dari platform transportasi online, perdagangan online, pendidikan
online, menjadikan Pemerintah Indonesia menyadari pentingnya peradaban digital ekonomi
dalam mencapai tujuan kesejahteraan umum. Pemerintah bersama ekosistem industri terus
berupaya memperluas dan memperkuat sektor infrastruktur digital dan sumber daya talenta
digital.
Revolusi Industri 1.0 hingga Revolusi Industri 3.0 membebaskan manusia dari kekuatan
hewan, memungkinkan produksi massal dan membawa kemampuan digital kepada miliaran
orang. Revolusi Industri 4.0 pada dasarnya sangat berbeda dengan ditandai berbagai
teknologi baru yang menggabungkan dunia fisik, digital dan biologis.
Hal itu memengaruhi semua disiplin ilmu, ekonomi, dan industri, dan bahkan ide-ide yang
menantang tentang “apa” artinya menjadi manusia. Pergeseran dan gangguan yang terjadi
menjadikan manusia hidup di masa yang penuh dengan janji dan bahaya besar.
Dunia memiliki potensi untuk menghubungkan miliaran lebih banyak orang ke jaringan
digital, secara dramatis meningkatkan efisiensi organisasi dan bahkan mengelola aset
dengan cara yang dapat membantu meregenerasi lingkungan alam serta berpotensi disrupsi
terhadap revolusi-revolusi industri sebelumnya.
Klaus Schwab dalam tulisannya "The Fourth Industrial Revolution" sebagaimana dimuat
dalam Foreign Affairs, memiliki keprihatinan besar bahwa organisasi bisnis mungkin tidak
dapat beradaptasi; pemerintah dapat gagal menggunakan dan mengatur teknologi baru
untuk menangkap manfaatnya; pergeseran kekuasaan akan menciptakan masalah keamanan
yang baru dan penting; ketidaksetaraan bisa tumbuh; dan fragmentasi masyarakat.
Schwab menempatkan pula perubahan terbaru ke dalam konteks historikal; menguraikan
teknologi utama (mainstream) yang mendorong Revolusi Industri 4.0; membahas dampak
utama pada pemerintah, bisnis, masyarakat sipil dan individu; dan menyarankan cara untuk
menanggapi hal-hal dimaksud.
Perlu keyakinan bahwa Revolusi Industri 4.0 berada dalam kendali selama kita mampu
berkolaborasi lintas geografis, sektoral, dan disiplin untuk memahami peluang yang
dihadirkannya dalam peradaban manusia.
Schwab secara khusus menyatakan seruan bagi para pemimpin dan warga negara untuk
"bersama membentuk masa depan yang bekerja untuk semua dengan menempatkan orang-
orang terbaiknya, memberdayakan mereka dan terus-menerus mengingatkan diri kita bahwa
semua teknologi baru ini adalah alat pertama dan utama yang dibuat oleh orang-orang
untuk manusia".
Revolusi Industri 4.0 memiliki implikasi atau dampak terhadap bagaimana fungsi hukum di
dalam masyarakat. Sehingga perlu didekati dari pemahaman Teori Hukum.
Teori Hukum adalah cabang dari Ilmu Hukum yang dalam suatu perspektif interdisipliner
secara kritikal menganalisis berbagai aspek dari gejala hukum masing-masing secara
tersendiri dan dalam kaitan keseluruhan mereka, baik dalam konsepsi teoretikal mereka
maupun dalam penjabaran praktikal mereka, dengan mengarah pada suatu pemahaman
yang lebih baik dalam, dan suatu penjelasan yang jernih atas bahan-bahan yuridikal.
Revolusi Industri 4.0 sanggup menghasilkan kepercayaan, setiap orang yang berkontribusi
harus berkolaborasi dan merasakan hubungan dengan tujuan bersama. Lebih banyak
transparansi tentang bagaimana kita mengatur dan mengelola teknologi ini adalah kunci,
seperti juga model keamanan yang meningkatkan kepercayaan diri kita bahwa sistem ini
tidak akan diretas, dikenali, atau menjadi alat kompetisi oleh mereka yang
mengendalikannya.
Revolusi Industri 4.0 memberi dampak pada konsep membawa semuanya bersama, bahwa
inovasi dalam kecerdasan buatan, bioteknologi, robotika, dan teknologi baru lainnya akan
mendefinisikan kembali apa artinya menjadi manusia dan bagaimana kita berinteraksi satu
sama lain dan planet ini. Kemampuan kami, identitas kami, dan potensi kami semua akan
berevolusi seiring dengan teknologi yang kami buat.
Dalam beberapa dekade mendatang, kita harus membangun pagar pembatas yang menjaga
kemajuan Revolusi Industri 4.0 di jalur untuk memberi manfaat bagi seluruh umat manusia.
Kita harus mengenali dan mengelola potensi dampak negatif yang dapat mereka miliki,
terutama di bidang kesetaraan, pekerjaan, privasi, dan kepercayaan.
Kita harus secara sadar membangun nilai positif ke dalam teknologi yang kita buat, berpikir
tentang bagaimana mereka akan digunakan, dan merancangnya dengan penerapan etika
dalam pikiran dan mendukung cara kolaboratif untuk melestarikan apa yang penting bagi
kita.
Upaya ini menuntut semua pemangku kepentingan yaitu pemerintah, pembuat kebijakan,
organisasi internasional, regulator, organisasi bisnis, akademisi, dan masyarakat sipil untuk
bekerja sama mengendalikan teknologi yang kuat dengan cara yang membatasi risiko dan
menciptakan dunia yang sejalan dengan tujuan bersama untuk masa depan.
Kita semua sebagai pribadi, warga negara, karyawan, investor, dan pemberi pengaruh
sosial, adalah pemangku kepentingan yang sangat penting dalam Revolusi Industri 4.0,
sebagaimana ditegaskan oleh Klaus Schwab dalam “The Fourth Industrial Revolution”
bahwa “The Fourth Industrial Revolution can compromise humanity's traditional sources
of meaning—work, community, family, and identity—or it can lift humanity into a new
collective and moral consciousness based on a sense of shared destiny. The choice is ours”.
7. Seorang ahli hukum di suatu masyarakat yang sedang membangun dalam ekosistem
Revolusi Industri 4.0 harus mengetahui interaksi antara hukum dengan faktor-faktor
lain dalam perkembangan masyarakat, terutama variabel-variabel teknologi,
ekonomi, dan sosial. Cyber law mengharuskan dilakukannya analisis fungsionil dari
sistem hukum sebagai keseluruhan dan kaidah-kaidah serta lembaga-lembaga sosial
tertentu.
8. Sistem Hukum sebagaimana dimaksud dapat dijelaskan melalui pendekatan Teori
Hukum dan Ilmu Hukum.
9. Teori Hukum adalah teorinya Ilmu Hukum, sebagaimana yang dipahami dari
Sudikno Mertokusumo bahwa teori hukum berhubungan dengan hukum pada
umumnya dan dikenal sebagai meta teori Ilmu Hukum.
10. Teori Hukum digunakan untuk menyelesaikan masalah-masalah hukum tertentu
yang mendasar, yang berkaitan dengan masalah-masalah hukum positif (legal
problems, legislations issues, regulations disputes) tetapi jawabannya tidak dapat
dicari atau diketemukan dalam hukum positif (peraturan perundang-undangan).
11. Sudikno dengan tegas mengkualifikasikan bahwa Teori Hukum adalah teorinya
Ilmu Hukum, dan Ilmu Hukum adalah teorinya peraturan perundang-undangan
(legislasi dan regulasi) dan praktik hukum (law in actions).
12. Teori Hukum adalah sebuah upaya untuk pada kegiatan mempelajari hukum,
mengintegrasikan lagi hukum ke dalam konteks total dari keterberian-keterberian
faktual dan keyakinan-keyakinan ideal yang hidup yang terkait padanya, sehingga
mampu mengintegrasikannya ke dalam masyarakat (pergaulan hidup).
13. Tiap ilmu atau tiap cabang ilmu membedakan diri dari yang lain tidak terutama oleh
pokok-telaahnya (objeknya) tetapi oleh metodenya, yakni cara khas yang dengannya
orang bekerja untuk memperoleh pengetahuan ilmiah. Metode dari Teori Hukum
tidak dapat lain kecuali interdisipliner sintetikal. Teori Hukum dengan metode
interdispliner melaksanakan suatu fungsi konvergensi atau menggabungkan
(overkoepelen) dan, lebih lagi, mensintetisasi dalam keseluruhan dari Ilmu Hukum.
14. Teori Hukum harus dapat secara ilmiah menampilkan secara layak densitas dari
kenyataan ini sebagaimana dalam keseluruhannya dialami oleh tiap orang yang
berurusan dengan hukum atau yang berpartisipasi pada pembentukan hukum.
15. Kenyataan mewujudkan suatu keseluruhan, kebenaran yang tidak dapat dipecah
(ondeelbaar) serta tidak ada realitas yuridikal dan tidak ada kebenaran yuridikal,
namun yang ada adalah realitas dan kebenaran kemanusiaan dan kemasyarakatan,
yang di dalamnya hukum mensituasikan diri. Pada akhirnya, hal mempelajari aspek
hukum secara terpisah akan menjadi tidak ilmiah karena tidak setia pada kebenaran.
16. Hukum mengemban fungsi ekspresif, yakni mengungkapkan pandangan hidup,
nilai-nilai budaya dan keadilan.
17. Di samping itu, hukum juga mengemban fungsi instrumental, yakni sarana untuk
menciptakan dan memelihara ketertiban, stabilitas dan prediktabilitas; sarana untuk
melestarikan nilai-nilai budaya dan mewujudkan keadilan; sarana pendidikan dan
pengadaban masyarakat; sarana mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan
masyarakat; dan sarana untuk pembaharuan masyarakat (mendorong,
mengkanalisasi, dan mengarahkan perubahan masyarakat).
18. Dalam masyarakat pasca-kolonial yang sedang menjalani perubahan sosial yang
fundamental dan mencakup seluruh bidang kehidupan secara simultan, maka
perundang-undangan memegang peranan dominan dalam pembangunan tata-hukum
nasional serta menjalankan fungsi hukum sebagai sarana pendidikan dan perubahan
masyarakat.
19. Yurisprudensi berperan untuk mendukung dengan menjabarkan ketentuan
perundang-undangan dakam putusan konkretnya. Dalam kaitan ini, maka Ilmu
Hukum yang adekuat sangat dibutuhkan sebagai sarana intelektual untuk membantu
proses pembentukan hukum melalui perundang-undangan dan yurisprudensi, serta
membantu penyelenggaraan hukum menjalankan fungsi hukum sebagai sarana
pendidikan dan pembaharuan masyarakat.
20. Klaus Schwab sang pendiri World Economic Forum mempercayai bahwa fase
Revolusi Industri 4.0 akan dibangun di sekitar “cyber-physical systems” (sistem
cyber-fisik) dengan mengaburkan fisik, digital dan biologis. Ketika manusia
merangkul usia teknologi digital maka kita perlu dihadapkan dengan tantangan etika
baru dan menyerukan diperlukannya undang-undang baru. Dalam beberapa kasus,
seluruh kode moral mungkin perlu di-boot ulang (reboot), karena itulah sifat
terobosan teknologi.
21. ADVERTISEMENT
22. Untuk mencapai tujuan hukum yang progresif, yakni hukum yang mengabdi
manusia dan mewujudkan keadilan di dalam masyarakat, maka secara hermeneutis
semua metode interpretasi perlu diupayakan. Sehingga untuk menetapkan apa
makna hukum yang tercantum dalam suatu perundang-undangan yang membentuk
peradaban ekonomi digital perlu dilakukan berdasarkan aturan hukum positif yang
dipahami (diinterpretasi) berdasarkan:
23. a. Gramatikal, sesuai makna kata dan struktur kalimatnya.
24. b. Historikal, konteks latar belakang sejarah.
25. c. Teleologikal, dalam kaitan dengan tujuannya yang menentukan isi aturan hukum
positif tersebut.
26. d. Sistematikal, dalam konteks hubungan aturan-aturan positif yang lainnya.
27. e. Sosiologikal-Teknologikal, secara kontekstual merujuk pada faktor-faktor
kenyataan kemasyarakatan dan ekonomi serta teknologi.
28. f. Filosofikal, dengan mengacu nilai-nilai kultural dan kemanusiaan yang
fundamental.
29. g. Futurologikal, dalam proyeksi ke masa depan.
30. Teori Hukum Konvergensi merupakan pemahaman konseptual dan teoretikal dari
penyatuan (convergence) variabel-variabel teknologi, ekonomi, dan hukum terhadap
hubungan manusia dan masyarakat dalam Revolusi Industri 4.0, baik dalam tataran
nasional, regional maupun tataran internasional.
31. Paradigma dari konvergensi tatanan hukum dapat dilakukan pemahaman yang lebih
mendalam dengan mengkaji pendekatan konsepsi konvergensi dan konsepsi non-
konvergensi hukum. Pendekatan untuk mencari keterkaitan dengan persamaan atau
perbedaan antara sistem hukum, atau membandingkan sistem hukum yang berbeda
diharapkan dapat menjelaskan pentingnya konsepsi konvergensi hukum.
Perkembangan globalisasi yang semakin pesat hingga hari ini memberikan pengaruh yang
berdampak dalam segala bidang kehidupan manusia baik ekonomi, sosial maupun politik.
Pesatnya perkembangan globalisasi yang ditandai oleh teknologi membuat manusia tidak
dapat berjalan secara beriringan dengan waktu.
Manusia cenderung berpikir bahwa eksistensi teknologi canggih yang ada dihadapan nya
sudah final tanpa adanya pemeriksaan lebih lanjut dan memang harus dibutuhkan tanpa
berpikir akan resiko dan akibat yang akan terjadi.
Pemahaman yang mengimani dan meyakini pesatnya kemajuan alat-alat itu sebagai sebuah
proses yang tanpa cela, netral, bebas nilai, absen dari tendensi rivalitas dan kepentingan
ekonomi-politik dan hukum yang berlaku. Sehingga mucul suatu pemujaan dan
penghambaan terhadap arus teknologi tersebut.
Tidak hanya sampai disitu, di tengah-tengah banjirnya hoaks dan kikuknya penalaran kritis
namun tertutup oleh tudung jargon, yang melekat bersama teknologi tinggi sehingga
memicu integrasi yang seharusnya tidak terjadi.
Dalam perkembangannya, laju peradaban kini terbungkus dalam label baru yang dikemas
dalam bentuk Revolusi Industri 4.0. Terjadinya gempuran di berbagai ranah dan kepungan
teknologi yang serba disruptif, mulai dari Internet of things (IoT), big data, otomasi,
robotika, komputasi awan, hingga inteligensi artifisial (Artificial Intelligence) berhasil
menorehkan penandaan besar dalam sejarah termasuk dalam tatanan hukum.
Penamaan angka 4.0 di belakang revolusi industry, dikemas secara singnifikan agar segala
inovasi dan penemuan besar dan terbaru mampu memberikan dampak positif terhadap
lingkungan dan kehidupan masyarakat. Seturut dengan penamaan tersebut, teknologi yang
diyakini manusia sebagai solusi daripada kerumitan mampu merubah lekuk dan tatanan
segala bidang kehidupan khususnya bidang hukum. Sehingga mampu memberikan
pemahaman dibidang hukum secara rasionalitas.
Indonesia sebagaimana dikatakan sebagai negara hukum, yang menjunjung tinggi akan
hukum seakan terguncang oleh kahadirannya, baik dari kebijakan dan regulasi pemerintah,
produk legislatif, bahkan peradilan. Terguncangnya lini-lini itu meninggalkan jurang
pertanyaan antara perkembangan teknologi yang melesat dan sikap publik terhadapnya.
Kehadiran globalisasi telah jauh melaju memasuki babak baru dan merintangi zona waktu
yang signifikan dengan kemajuan teknologi yang semakin canggih.
Di sampingi itu tak ada jalan lain untuk tetap berada pada zona statis. Manusia sudah harus
segera melakukan harmonisasi antara kemajuan teknologi dan regulasi yang tepat untuk
membingkainya dengan hukum sebagai rambu rambu alami yang selalu ada membersamai
tatanan sosial.
Deru revolusi Industri 4.0 terhadap tatanan hukum di Indonesia harus dicermati secara
kritis dan negara jangan menjadikannya sebagai jargon belaka. Disamping itu, jika negara
lengah dalam menyikapi hal ini sama saja dengan mudahnya tatanan hukum yang sedang
berlangsung akan terlibas oleh kepiawaian daripada teknologi yang tidak maksimal
dikelola oleh negara. Sebagaimana dikatakan Balakrishnan dihadapan para peserta
konferensi di Suntec Singapore Convention & Exhibition Centre bahwa "Kita akan
menghadapi ledakan berbagai persoalan hukum seiring revolusi teknologi ini,"
Tidak dapat dipungkiri, sebelum memasuki revolusi 4.0 yaitu era revolusi industri 3.0 saat
ini persoalan hukum semakin membanjiri ruang-ruang media sebagai corong daripada
teknologi tersebut.
Di samping itu nalar kritis dan inovasi seakan tidak mendapat dukungan Hukum secara
penuh, bahkan sebaliknya hukum menjadi kebablasan dan terkadang mandul akibat inovasi
dan nalar kreatif yang berlebihan dan menimbulkan kerugian terhadap konsumsi publik
berupa pembodohan
Akan tetapi, ruang ruang diskusi dan perdebatan tentang arus revolusi Industri 4.0 dalam
tatanan hukum di Indonesia seolah belum dibuka dan dikaji. Ditandai dengan tidak adanya
argumen argumen atau topik topik yang mengarah ke pusaran revolusi industri 4.0 dan
pembaharuan tekonolgi tingkat tinggi tersebut.
Kehadiran revolusi industri 4.0 baiknya disikapi secara cermat dan kritis melalui kajian dan
riset yang ilmiah. Supaya dalam pelaksanaannya siap atau tidaknya Indonesia, hukum harus
tetap tajam keatas dan persamaan hukum semakin menguat secara hakikatnya.
Di samping itu regulasi hukum yang sudah ada maupun akan dibuat selayaknya memberi
kemanfaatan yang positif dan selaras dengan teknologi yang ada. Inovasi dan invensi serta
penemuan baru melalui teknologi tidak terhambat dan mendapatkan penguatan yang penuh
daripada hukum. Sehingga terciptanya relevansi hukum yang berbasis human digital dan
soft skill digital yang mendukung pertumbuhan sumber daya manusia yang berkualitas dan
keadilan yang hakiki.
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5ac746938ce04/3-strategi-negeri-
singa-harmoniskan-hukum-dan-teknologi-di-era-revolusi-industri-40/
Era revolusi industri 4.0 ditandai dengan pola digital economy, artificial intelligence, big
data, robotic, dan sebagainya yang dikenal sebagai fenomena disruptive innovation.
Disrupsi ini tak terkecuali juga berdampak pada bidang hukum sebagai rambu-rambu alami
yang selalu membersamai tatanan sosial. Sebagai negara dengan global competitiveness
index pada World Economic Forum 2017-2018 peringkat ke-3, Singapura mungkin adalah
salah satu contoh berhasil di Asia Tenggara dalam menghadapinya.
Globalisasi telah jauh memasuki babak baru dengan kemajuan teknologi yang semakin
canggih. Tak ada jalan lain bagi Indonesia untuk menjadi negara maju selain banyak
mengambil pelajaran dari berbagai praktik berhasil di negara lain. Termasuk dalam
mengharmonisasikan antara kemajuan teknologi dengan regulasi yang tepat untuk
membingkainya.
Sebagai salah satu media partner Techlaw.Fest 2018 (techlawfest.com), kali ini
hukumonline menjadi bagian dari 500 delegasi mancanegara. Hadir sebagai pembicara
kunci, Vivian Balakrishnan selaku Minister in Charge of The Smart Nation Initiative
Singapore.
Semua aktifitas berkaitan dengan teknologi ini memengaruhi kebijakan publik dan regulasi
di Singapura untuk mengarahkan kemajuan teknologi sebagai penunjang pembangunan.
Karena itu ia mengatakan bahwa berbagai upaya harmonisasi kebijakan dan regulasi
pemerintah, produk legislatif, bahkan peradilan dengan revolusi teknologi harus dilihat
sebagai strategi pembangunan jangka panjang.
“Kita akan menghadapi ledakan berbagai persoalan hukum seiring revolusi teknologi ini,”
katanya di hadapan para peserta konferensi Kamis (5/4), di Suntec Singapore Convention &
Exhibition Centre.
Regulator, dalam hal ini pemerintah, menurut Balakrishnan harus bekerja ekstra karena
kemajuan teknologi selalu menghasilkan berbagai implikasi hukum yang membutuhkan
jawaban. Namun regulasi yang dibuat juga jangan sampai menghambat manfaat kemajuan
teknologi tersebut bagi pembangunan negara.
(Baca Juga: Era Ekonomi Digital dan Tantangan Menghadirkan Barang Bukti
Digital di Pengadilan)
Kedua adalah pendekatan yang disebut masterly inactivity. Sebuah istilah medis untuk
sikap wait & see dokter sampai perkembangan penyakit pasien jelas diketahui. Ia
mencontohkan sikap otoritas perbankan dan jasa keuangan Singapura yang tidak mengatur
soal criptocurrency. Namun fokus pada pengaturan aktifitas yang berkaitan dengan
criptocurrency dilakukan sambil mengevaluasi risikonya, menimbang model regulasi yang
tepat nantinya, dan memastikan bahwa regulasi nantinya tidak menghambat inovasi terus
berkembang.
Adapun yang terakhir ialah terus mendorong prosedur pembuatan regulasi lebih cepat
mengejar perkembangan teknologi. Pendekatan ini menjadi komplementer kedua
pendekatan sebelumnya.
Arkka menilai di Indonesia sebenarnya terlihat menggunakan pendekatan yang sama untuk
sektor fintech, namun belum terlihat jelas dalam sektor lainnya. Arkka menambahkan
bahwa regulator harus banyak melakukan up date atas perkembangan teknologi sebelum
memutuskan membuat regulasi.
Model regulatory sandboxes menjadi jalan tengah di mana ada batasan khusus untuk
mengembangkan inovasi berbasis teknologi sampai pada tahap tertentu sementara regulator
juga ikut mempelajari produk berbasis teknologi yang akan diatur.
Hukumonline.com, menurut Arkka, selama ini telah berupaya menyediakan layanan yang
bisa membantu pemerintah sebagai regulator untuk melihat dari sudut pandang berbeda
terhadap perkembangan dunia hukum. Mulai dari basis data lengkap atas beragam regulasi
yang diklasifikasikan berdasarkan saling keterkaitan satu sama lain, analisis profesional
terhadap berbagai isu regulasi, hingga beragam produk berita hukum terkini.
Awal April 2018, Pemerintah merilis arah strategi industri nasional, khususnya menghadapi
Revolusi Industri 4.0 yakni fokus industri makanan dan minuman, elektronik, otomotif,
tekstil, dan kimia serta ’10 Bali Baru’-- pekerjaan tangan, kerajinan tangan, industri kreatif
dan wisata. “Arahnya sudah jelas seperti itu,” papar Presiden RI Joko Widodo pada
Pembukaan Indonesia Industrial Summit Tahun 2018 dan Peluncuran “Making Indonesia
4.0” di Cendrawasih Hall, Jakarta Convention Center, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu pagi
(4/4/2018).
Jumat 2 Februari 2018 di Jakarta, Presiden RI Joko Widodo menetapkan Peraturan Presiden
(Perpres) No. 2 Tahun 2018 tentang Kebijakan Industri Nasional Tahun 2015-2019. Perpres
ini diundangkan di Jakarta 6 Februari 2018 pada Lembaran Negara RI No. 8 Tahun 2018.
Perpres ini juga melaksanakan ketentuan Pasal 12 ayat (5) Undang-Undang (UU) Nomor 3
Tahun 2014 tentang Perindustrian dan Pasal 3 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 14
Tahun 2015 tentang Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional Tahun 2015-2035.
Prof. Dr. John Pieris, SH, MS, dosen Program Pascasarjana Universitas Kristen Indonesia
(UKI) di Jakarta berpendapat bahwa Revolusi Industri 4.0 dengan simpul utamanya ialah
Internet dan Teknologi Informasi (TI) memicu perubahan pola pikir, pola kerja, dan pola
hidup warga negara di berbagai negara; namun, manusia harus tetap diposisikan sebagai
subyek dari peradaban baru berbasis Revolusi Industri 4.0; pilihannya di bidang hukum
ialah tetap mempertahankan prinsip-prinsip dasar hukum Negara RI dan di sisi lain
merumuskan regulasi dan kebijakan-kebijakan yang fleksibel guna merespons perubahan-
perubahan baru di masyarakat dan lingkungannya.
“Istilah Revolusi Industri pertama kali dikemukakan oleh Arnold Toynbee dalam bukunya
Lectures On the Indutrial Revolution (London: Rivingston, 1884). Isi paper ini ialah
deskripsi revolusi industri dan pengaruhnya terhadap kebijakan, mekanisasi produksi,
budaya, dan tata keuangan dunia khususnya Eropa. Pemicu awalnya ialah penemuan mesin
uap oleh James Watt. Berikutnya, Revolusi Industri 2.0 yang ditandai oleh penemuan
listrik, dan Revolusi Industri 3.0 ditandai oleh penemuan komputer. Awal abad 21,
penemuan Internet dan Teknologi Informasi (TI) memicu kelahiran Revolusi Industri 4.0.
Dalam seluruh siklus peradaban baru hasil revolusi industri, manusialah yang harus
diposisikan sebagai subjek dari perubahan peradaban, bukan menjadi objek kehancuran dari
munculnya peradaban baru melalui RI 4.0,” papar Prof. Dr. John Pieris, SH, MS, alumnus
S3 hukum di Universitas Indonesia (UI) tahun 2003, kepada Staging-Point.Com, Rabu
(7/11/2018) di Aula Gedung Pascasarjana UKI, Jakarta.
Prof. Dr. John Pieris menyebut sejumlah ciri peradaban baru dari Revolusi Industri 4.0.
“Revolusi Industri 4.0 memiliki 4 (empat) ciri. Yakni (1) simple atau sederhana dan anti
rumit; dulu jika bermain game, hanya satu alat dan satu game; kini melalui teknologi
Anroid, satu alat untuk ribuan bahkan jutaan games; (2) cepat (faster), kapan saja, dan dari
mana saja di antar negara; Dahulu, kalau ingin lulus di Universitas di Amerika misal
Harvard University harus pergi ke AS. Sekarang, daftar bisa via web-nya; (3) lebih murah
(cheaper), dan (4) mudah diakses (accessible); akses adalah kekayaan informasi,” ungkap
Prof. Dr. John Pieris.
Revolusi Industri 4.0. memicu perubahan berlangsung sangat cepat. Oleh karena itu,
menurut Prof. Dr. John Pieris, Rakyat dan Pemerintah setiap Negara harus memiliki
kecerdasan hukum guna merespons Revolusi 4.0. “Penegakan hukum berlangsung pada
setiap era Revolusi Industri. Misalnya, Revolusi Industri selalu memicu perubahan kapital,
teknologi dan labor atau ketenagakerjaan. Revolusi 4.0 misalnya dapat memengaruhi
peraturan tentang hak cipta, merk dagang, dan kontrak. Hukum harus dapat merespons
perubahan, keingingan, dan kebutuhan masyarakat ini (responsive law). Namun, aspek
fundamental hukum yakni etika, moral, dan norma atau kaidah hukum harus tetap
dipertahankan oleh Negara, Rakyat dan Pemerintah. Sedangkan peraturan dan regulasi
memiliki fleksibilitas guna merespons perubahan dan peradaban baru,” ungkap Prof. Dr.
John Pieris.
Di sisi lain, Prof. Dr. John Pieris menyarankan, bahwa Pemerintah dan pengusaha memiliki
kecerdasan hukum (legal literacy) guna merespons era baru Revolusi Industi 4. 0. “Pelaku
usaha dan Pemerintah perlu memiliki kecerdasan hukum bisnis, pajak, perbankan, hak
cipta, kontrak, tranksaksi bisnis lintas negara, keuangan, hingga hukum tentang kejahatan
ekonomi; Pelaku usaha, Pemerintah dan masyarakat juga konsisten mematuhi kaidah-
kaidah hukum dan budaya hukum untuk mencegah korupsi dan kejahatan lainnya,” papar
Prof. Dr. John Pieris.
Ada berbagai alasan mengapa pendidikan tinggi hukum harus merespons pesatnya
perubahan masyarakat di era Revolusi Industri 4.0, sementara perkembangan hukum
hampir tidak bisa mengikuti kecepatannya, terutama akibat kendala politik. Pendidikan
tinggi hukum harus mengambil peran penting untuk menghadapi perkembangan praktik
hukum yang membutuhkan solusi dan pemikiran baru, dan ditransformasi kepada
mahasiswa. Kepastian hukum memang penting, tetapi hendaknya tidak meninggalkan
konteks substansi keadilan masyarakat.
Bagaimanapun hukum tidak selalu identik dengan substansi keadilan. Kontribusi apa yang
dibutuhkan pendidikan hukum masa depan agar
fakultas hukum dan sivitasnya dapat berperan mewujudkan negara hukum yang kuat, tetapi
sekaligus berperspektif keadilan masyarakat?
Pertanyaan dan persoalan hukum harus dijelaskan berdasarkan pengetahuan dasar dan
dogma hukum, tetapi itu tidak cukup sekarang. Tindak kejahatan masa kini semakin
berkembang dan pembuktiannya membutuhkan bantuan sains dan teknologi karena
pemidanaan harus didasarkan pada temuan penyidikan dan penyelidikan yang akurat dan
persis, agar tidak salah dalam menghukum orang.
Sementara itu, kebijakan pembangunan hukum untuk memberi akses keadilan bagi
kelompok rentan, perempuan dan anak, membutuhkan
pendekatan ilmu sosial dan humaniora. Juga untuk menghasilkan rumusan undang-undang
yang bermaslahat dalam bidang ekonomi, misalnya, dibutuhkan masukan dari disiplin ilmu
ekonomi.
Kebutuhan yang berasal dari masyarakat ini memperlihatkan bahwa
studi hukum harus terbuka terhadap pemikiran lintas keilmuan. Para
akademisi hukum tidak perlu khawatir kehilangan karakter paradigmatiknya karena
bantuan berbagai ilmu lain itu justru akan memperkaya ilmu hukum.
Keterbukaan terhadap studi hukum lintas disiplin memiliki legitimasinya
di dalam epistemologi hukum sendiri. Ilmu hukum terdiri atas dua bagian
besar. Pertama adalah ilmu dogma dan konsep dasar hukum; dan kedua adalah ilmu
kenyataan hukum.
Akomodasi bagi ilmu hukum yang mempelajari masyarakat, juga sains
dan teknologi, bisa diletakkan dalam ilmu kenyataan hukum. Universitas di negara lain
sudah lama mengembangkan kuliah ”law and science”, ”law and technology”, ”law and
medicine”, atau ”economic analysis of law”. Demikian pula kolaborasi interdisiplin ilmu
hukum dan ilmu sosial-humaniora telah lama melahirkan percabangan ilmu baru, socio-
legal studies. Universitas otonomi dan bersistem kredit di Indonesia harus menyediakan
kuliah pilihan yang luas. Mahasiswa harus diberi ruang untuk mendapatkan pengetahuan
yang bisa menyempurnakan keahliannya sebagai sarjana hukum. Bagaimanapun kelak
mereka akan menjadi penentu kebijakan dalam bidang hukum yang tidak steril dari konteks
politik, kultural, ekonomi, sains, dan teknologi.
Sains dan Teknologi Keterbukaan terhadap sains dan teknologi bagi kalangan hukum tidak
dapat dihindarkan.
Pertama, didorong oleh kebutuhan program reformasi hukum. Pada umumnya di seluruh
dunia problem yang dihadapi masyarakat terkait proses yudisial adalah keterlambatan,
ketiadaan akses, dan korupsi (Reiling, 2009). Teknologi informasi (TI) akan mendukung
dan memastikan tata kelola administrasi dan proses peradilan yang baik. Masa kelam
proses peradilan, di mana nepotisme, kolusi, dan korupsi menggerogoti wibawa pengadilan
(Pompe, 2012), tidak boleh terulang lagi. TI juga dibutuhkan dalam proses pembuktian di
pengadilan melalui penggunaan video, audio dalam sesi persidangan, pelaporan elektronik,
video konferensi untuk saksi, dan penyimpanan file. Pendeknya semua proses pengambilan
keputusan di persidangan membutuhkan TI (Reiling, 2009).
Kedua, pergeseran (shifting) besar- besaran terjadi ketika satu juta pekerjaan konvensional
akan hilang karena digantikan oleh kecerdasan buatan atau robotic, termasuk profesi
hukum, seperti notaris dan advokat.
Firma hukum yang besar akan runtuh karena korporasi tidak mau lagi membayar mahalnya
jasa advokat, yang tergantikan oleh aplikasi digital; sementara firma hukum yang kecil
akan bergabung (Susskind, 2012).
Namun, 1,7 juta profesi baru akan lahir. Apakah kita akan menerima
tantangan ini dengan keterbukaan dan inisiatif baru?
Namun, shifting terjadi dalam masyarakat plural yang menyebabkan
adanya disparitas teknologi. Sungguhpun sudah mengarah kepada
teknologi digital, masih ada warga masyarakat di berbagai wilayah yang
hidup dengan teknologi sederhana.
Bagaimana hukum modern bisa hidup berdampingan dengan hukum adat dan tradisi?
”Benchmarking”
Saat ini hukum Belanda yang berakar sama dengan hukum Indonesia sudah berkembang ke
arah lain. Yurisprudensi dianggap sebagai
sumber hukum yang penting, di samping kodifikasi hukum. Tampak ada upaya semakin
mendekatkan kepastian hukum dengan keadilan masyarakat. Yurisprudensi dari kasus-
kasus penting di Belanda
menjadi rujukan dan bahan diskusi di berbagai perkuliahan di fakultas
hukum. Terdapat kerja sama antara sekolah hukum dengan lembaga penegakan hukum dan
parlemen. Hukum tidak hanya dibahas sebagai teks mati (black letter), tetapi diintegrasikan
dengan persoalan hukum baru yang tidak bisa diisolasi dari perkembangan sosial dan sains.
Penegakan rule of law (negara hukum) tetap teguh sambil mengakomodasi
perkembanganhukum baru berbasis keadilan. Mahasiswa fakultas hukum Beland tidak
hanya belajar tentang konsep dasar dan dogma hukum, tetapi juga memahami hukum yang
hidup melalui putusan hakim. Selalu ada jurang antara teks hukum dan hukum hidup yang
senyatanya dianut masyarakat. Teks hukum masih berisi cita-cita dan idealisme, yang
bertujuan melindungi masyarakat, tetapi belum merupakan hukum yang hidup. Untuk
menjadi hukum yang hidup, teks hukum harus diuji dalam kasus sengketa, dan putusan
hakim terhadap sengketa itulah hukum yang hidup. Sangat penting mempelajari putusan
pengadilan bagi mahasiswa hukum.
Bagaimana perkembangan putusan pengadilan saat ini, apakah putusan
cukup berkualitas karena berisi terobosan keadilan yang baru. Sebaliknya, dalam konteks
apa putusan pengadilan menunjukkan
bahwa hakim sekadar menempatkan diri sebagai corong UU.
Kurikulum
Tuntutan masyarakat adalah agar sekolah hukum melahirkan profesi
hukum dengan pengetahuan dasar dan keterampilan hukum yang kuat;
sekaligus mampu membangun budaya berkeadilan.
Menegakkan rule of law, tanpa meninggalkan keadilan masyarakat.
Apakah kurikulum kita siap? Tampaknya kurikulum hukum
sekarang didominasi perkuliahan wajib tentang dogma dan dasar hukum. Beginilah kira-
kira gambarannya, sungguhpun tidak mewakili semua fakultas hukum. Mahasiswa S-1
wajib menempuh 144 satuan kredit semester (SKS), terdiri dari kuliah wajib fakultas 100
SKS,
wajib universitas 21 SKS, skripsi 4 SKS, dan sisanya 19 SKS masih berupa kuliah wajib
jurusan, yang hanya menyisakan sekitar 6-9 SKS
untuk kuliah pilihan. Peluang mahasiswa untuk mengambil
kuliah pilihan sangat minim, padahal saat ini ada banyak persoalan
kemanusiaan dan kemasyarakatan yang membutuhkan ilmu hukum.
Setidaknya dalam ruang kuliah pilihan dapat disemai ilmu kenyataan hukum, yaitu studi
hukum interdisipliner, yang bersentuhan dengan ilmu sosial-humaniora, sains dan teknologi
kekinian. Metode perkuliahan off class sudah menjadi kebutuhan untuk melihat praktik
hukum di lapangan.
Baik buruknya praktik hukum dapat ditelusuri dari substansi yang diajarkan pendidikan
tinggi hukum. Ilmu hukum tidak bisa lagi dikungkung dalam romantisisme akademik masa
lalu, dan
dikukuhkan dalam rezim administratif-birokratik pendidikan
tinggi yang kaku dan sukar berubah.
Jika ilmuwan hukum bisa berkolaborasi secara luas dengan ilmuwan lain, lembaga
pemerintah, industri, dan pegiat masyarakat, keberadaannya akan lebih dirasakan oleh
pencari keadilan. Masyarakat
haus akan literasi hukum, advokasi, dan pendampingan hukum.
http://digilib.unila.ac.id/9292/3/BAB%20II.pdf
TINJAUAN PUSTAKA
A. Penemuan Hukum
(Rechtsvinding)
1. Pengertian Penemuan
Hukum
Penemuan hukum adalah suatu metode untuk mendapatkan hukum dalam hal
peraturannya sudah ada akan tetapi tidak jelas bagaimana penerapannya pada suatu
kasus yang konkret. Penemuan hukum (rechtsvinding) adalah proses pembentukan
hukum oleh hakim atau aparat hukum lainnya yang ditugaskan untuk penerapan
peraturan hukum umum pada peristiwa hukum konkret. Hakim selalu dihadapkan
pada peristiwa konkret, konflik atau kasus yang harus diselesaikan atau dipecahkannya
dan untuk itu perlu dicarikan hukumnya. Jadi, dalam menemukan hukumnya untuk
peristiwa konkret. Keharusan menemukan hukum baru ketika aturannya tidak saja tak
jelas, tetapi memang tidak ada, diperlukan pembentukan hukum. Hakim harus menggali
berdasarkan banyak hal mulai dari menganalogikan dengan perkara yang (mungkin)
sejenis, menetapkan parameter tertentu yang akan dijadikan sebagai patokan didalam
menjatuhkan putusan dan yang lebih penting lagi adalah memperhatikan elemen
sosiokultural keadilan yang hidup dan berkembang di masyarakat. Dengan demikian
apakah sebuah kasus yang ditangani itu akan tuntas berdasarkan interpretasi atau
analogi, sepenuhnya akan tergantung kepada hakim. Hanya saja nanti putusan tersebut
akan diuji oleh masyarakat, tentang adil dan tidaknya. Sebab hakekat penerapan, apakah
ini interpretasi atau analogi, akan terulang kepada keharusan tegaknya nilai keadilan dan
kepastian hukum secara simetris. (Sudikno Mertokusumo,1996:hlm 37Hukum yang
merupakan bagian integral dari kehidupan bersama, kalau manusia hidup terisolir dari
manusia lain, maka tidak akan terjadi sentuhan atau kontak baik yang
menyenangkan maupun yang merupakan konflik, dalam keadaan semacam itu hukum
tidak diperlukan . Berdasarkan menurut Soedikno diatas maka dapat dikatakan
Penemuan hukum secara operasional dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan
penafsiran, yang menggunakan asas- asas logika. Namun demikian, penafsiran tidak
melulu menggunakan asas-asas logika, terdapat pula aspek-aspek lain yang menjadi
faktor di dalam menentukan suatu keputusan hakim menyangkut penerapan hukum ke
dalam suatu perkara.
Faktor-faktor yang sifatnya non logikal dan non yuridis, dapat menghaluskan hukum
(rechstvervijning), dimana hukum tidak menjadi keras bagi kelompok-kelompok
tertentu. Misalkan seorang pencuri yang didesak karena kebutuhan ekonominya
tentu akan berbeda hukumannya dengan pencuri yang mencuri dikarenakan ketamakan.
Sehingga adagium lex dura, sed tamen scripta (hukum adalah keras, tetapi memang
demikian bunyinya) menjadi tidak relevan di dalam konteks ini. Keseluruhan operasi
logika dan penafsiran menggunakan aspek- aspek lainnya, ditujukan untuk mengisi ruang
kosong yang terdapat di dalam sistem formil dari hukum. Untuk memenuhi ruang
kosong ini, hakim harus berusaha mengembalikan identitas antara sistem formil
hukum dengan sistem materil dari hukum. Dengan mencari persamaan dalam sistem
materil yang menjadi dasar lembaga hukum yang bersangkutan, sehingga membentuk
pengertian hukum (rechtsbegrip). Cara kerja atau proses berpikir hakim demikian dalam
menentukan hukum disebut konstruksi hukum yang terdiri dari konstruksi analogi,
penghalusan hukum dan argumentum a contrario.( Jazim Hamidi,2005:hlm.51)
Ini berarti bahwa hakim pada dasarnya harus tetap ada di dalam satu sistem (hukum),
tidak boleh keluar dari hukum, sehingga harus menemukan hukumnya.
Pasal 10 ayat (1) UU No. 48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
menyatakan
Kata menggali mengasumsikan bahwa hukumannya itu ada tetapi tersembunyi, agar
sampai pada permukaan masih harus digali. Jadi hukum nya itu ada, tetapi masih harus
digali, dicari dan diketemukan, bukannya tidak ada, kemudian lalu diciptakan. Scholten
mengatakan bahwa di dalam perilaku manusia itu sendirilah terdapat hukumnya.
Sedangkan setiap saat manusia dalam masyarakat berperilaku, berbuat atau berkarya,
oleh karena itu hukumnya sudah ada, tinggal menggali, mencari atau menemukannya.
(Sudikno mertokusumo, 2010: 61).
3. Metode Penemuan Hukum Dalam Tindak Pidana
Korupsi
Metode Penemuan hukum diarahkan pada suatu peristiwa yang bersifat khusus, konkret,
dan individual. Jadi, metode penemuan hukum bersifat praktikal, karena lebih
dipergunakan dalam praktik hukum. Hasil dari metode penemuan hukum adalah
terciptanya putusan pengadilan yang baik, yang dapat dipergunakan sebagai sumber
pembaruan hukum. Putusan hakim berperan juga terhadap perkembangan hukum dan
ilmu hukum, oleh karena itu putusan hakim dapat juga digunakan sebagai bahan kajian
dalam ilmu hukum. (Lintong O. Siahaan,57:2006)
Menurut Achmad Ali, ada 2 (dua) teori penemuan hukum yang dapat dilakukan oleh
hakim dalam praktik peradilan, antara lain: (Achmad Ali, 167: 1993)
1. Metode Interpretasi atau
penafsiran
Arti penafsiran sebagai suatu kesimpulan dalam usaha memberikan penjelasan atau
pengertian atas suatu kata atau istilah yang kurang jelas maksudnya, sehingga orang lain
dapat memahaminya, atau mengandung arti pemecahan atau penguraian akan suatu
makna ganda, norma yang kabur (vage normen), antinomi hukum (konflik norma
hukum), dan ketidakpastian dari suatu peraturan perundang-undangan. Tujuannya
tidak lain adalah mencari serta menemukan sesuatu hal yang menjadi maksud para
pembuatnya.
Untuk mengetahui satu per satu dari metode penemuan hukum melalui metode
interpretasi hukum, dapat dijelaskan sebagai berikut :
tetapi sudah tidak sesuai lagi diterapkan terhadap peristiwa konkret sehubungan dengan
Contoh :
“Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi, ketika berlaku UU
No.31 tahun
1999, maka terjadi kekosongan hukum terutama untuk diterapkan terhadap kasus-
kasus korupsi yang terjadi dalam kurun waktu antara tahun 1971 hingga tahun
1999 (kurun waktu antara UU No.3 tahun 1971-UU No.31 tahun 1999),
mengingat UU No.31 tahun
1999 mencabut UU no.3 tahun 1971. Akan tetapi dengan menggunakan
interpretasi teleologis atau sosiologis, maka asas rektroaktif undang-undang
pemberantasan korupsi dapat diterapkan oleh hakim, apalagi sifat melawan
hukum materiil dari perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma
masyarakat.
Melalui interpretasi ini hakim dapat menyelesaikan adanya perbedaan atau kesenjangan
antara sifat positif dari hukum (Rechtspositivitteit) dengan kenyataan hukum
(rechtswerkelijkheid), sehingga jenis interpretasi ini menjadi penting.
b. Interpretasi
sistematis
Satu undang-undang tidak berdiri sendiri, akan tetapi saling berkaitan dengan undnag-
undang lainnya dalam satu system perundang-undangan. Interpretasi sistematis yaitu
menafsirkan peraturan-peraturan perundang-undangan dengan menghubungkan dengan
peraturan hukum atauundang-undang lain atau keseluruhan system hukum. Penafsiran
ini disebut juga penafsiran logis.
Penegakan hukum tindak pidana korupsi tidak semata-mata hanya melihat peraturan
pidana tentang Korupsi, akan tetapi terkait dengan peraturan perundang-undangan
perdata, administrasi Negara dan tata Negara.
f. Interpretasi Restriktif
(membatasi)
g. Interpretasi Ekstensif
(memperluas)
Metode ini merupakan metode penafsiran yang lebih luas dari pengertian yang diberikan
berdasarkam interpretasi gramatikal.
Misalnya menurut interpretasi gramatikal tentang pegawai negeri dalam korupsi dapat
diartikan sebagai orang yang bekerja pada kantor-kantor pemerintahan dan mendapatkan
gaji dari Negara, tetapi dalam pengertian pegawai negeri dalam konteks undang-undang
korupsi, maka pembuat undang-undang memberikan batasan tentang pengertian pegawai
negeri dalam konteks undang- undang korupsi, maka pembuat undang-undang
memberikan batasan tentang pengertian pegawai negeri dalam UU No.20 tahun 2001
adalah: 1) Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam undang-undang tentang
kepegawaian; 2) Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam kitab UU hukum
pidana; 3) orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan Negara atau daerah; 4)
orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari
keuangan Negara atau daerah, atau; 5) orang yang menerima gaji atau upah dari
korporasi lain yang mempergunakan modal dan fasilitas dari Negara atau masyarakat.
Dengan demikian, selain apa yang dirumuskan di atas, tidak dapat dikategorikan
sebagai pegawai negeri, misalnya karyawan yang bekerja pada perusahaan-perusahaan
swasta.h. Interpretasi Otentik (secara resmi)
Jenis interpretasi ini, hakim tidak diperkenankan melakukan penafsiran dengan cara lain
selain dari apa yang telah ditentukan pengertiannya di dalam undang-undang itu sendiri.
Artinya bahwa ketentuan suatu pasal dalam undang-undang yang jelas, tegas, definisi
tertentu yang dituju, sehingga tidak perlu penafsiran lagi dalam penerapannya.
j. Interpretasi
Multidisipliner
Menurut Rudolph von Jhering, ada 3 (tiga) syarat utama untuk melakukan konstruksi
hukum, yaitu:
a. Konstruksi hukum harus mampu meliputi semua bidang hukum positif yang
bersangkutan.
b. Metode Argumentum a
Contrario
Metode ini memberikan kesempatan kepada hakim untuk melakukan penemuan hukum
dengan pertimbangan bahwa apabila undang-undang menetapkan hal-hal tertentu
untuk peristiwa tertentu, berarti peraturan itu terbatas pada peristiwa tertentu itu dan
bagi peristiwa diluarnya berlaku kebalikannya. Karena ada kalanya suatu peristiwa
tidak secara khusus diatur oleh undang-undang.
Jadi, esensi metode ini adalah mengedepankan cara penafsiran yang berlawanan
pengertiannya antara peristiwa konkret yang dihadapi dengan peristiwa yang diatur
dalam undang-undang. Metode ini menitikberatkan pada ketidaksamaan peristiwanya.
Disini diperlakukan segi negatif daripada suatu undang-undang. (Sudikno Mertokusumo
dan A.Pitlo, 1993:26-27).
d. Fiksi
Hukum
Metode fiksi hukum ini sangat dibutuhkan oleh hakim dalam praktik peradilan, karena
seorang yang didakwa melakukan suatu tindak pidana kejahatan, tidak dapat berdalih
untuk dibebaskan dengan alasan tidak mengetahui hukumnya bahwa perbuatan yang
dilakukannya itu merupakan suatu kejahatan yang dapat dijatuhi pidana. Esensi dari
fiksi hukum merupakan metode penemuan hukum yang mengemukakan fakta-fakta
baru, sehingga tampil suatu personifikasi baru dihadapan kita. Fungsi dari fiksi hukum
di samping untuk memenuhi hasrat menciptakan stabilitas hukum, juga utamanya untuk
mengisi kekosongan undang-undang. Dengan kata lain, fiksi hukum bermaksud untuk
mengatasai konflik antara tuntutan-tuntutan baru dengan sistem hukum yang ada. (Jazim
Hamidi, 2005:63)
3. Metode Hermeneutika
Hukum
Dalam praktik peradilan, tampaknya metode hermeneutika hukum ini tidak banyak atau
jarang sekali digunakan sebagai metode penemuan hukum dalam praktik peradilan di
Indonesia, hal ini disebabkan begitu dominannya metode interpretasi dan konstruksi
hukum yang sangat legalistik formal, sebagai metode penemuan hukum yang telah
mengakar cukup lama dalam sistem peradilan di Indonesia. Atau dapat pula sebagian
besar hakim belum familiar dengan metode ini, sehingga jarang atau tidak
menggunakannya dalam praktik peradilan, padahal esensi hermeneutika hukum
terletak pada pertimbangan triangle hukumnya, yaitu suatu metode menginterpretasikan
teks hukum yang tidak semata-mata melihat teksnya saja semata, tetapi juga konteks
hukum itu dilahirkan, serta bagaimakah kontekstualisasi atau penerapan hukumnya di
masa kini dan masa mendatang.
A.Pitlo, 1993:42-45)
a.
Legis
me
Pada abad pertengahan timbullah aliran yang berpendapat bahwa satu-satunya sumber
hukum adalah undang-undang, sedangkan peradilan berarti semata-mata penerapan
undang-undang pada peristiwa yang konkrit.
Hakim hanyalah subsimpte automaat, sedangkan metode yang dipakai adalah geometri
yuridis. Kebiasaan hanya mempunyai kekuataan hukum apabila ditunjuk oleh undang-
undang.
Hukum dan undang-undang adalah identik, yang dipentingkan disni adalah kepastian
hukum. Ajaran ini sesuai dengan hukum kodrat yang rasionalistis dari abad ke 17 dan 18.
Ajaran Trias Politica (Montesquieu) mengatakan bahwa pembentukan hukum semata-
mata adalah hak istimewa dari pembentuk undang-undang, sedang kebiasaan bukanlah
sumber hukum.
Pandangan ajaran kedaulatan rakyat dari Rousseau mengatakan bahwa kehendak rakyat
bersama adalah kekuasaan tertinggi. Undang-undang sebagai pernyataan kehendak
rakyat adalah satu- satunya sumber hukum. Hukum kebiasaan tidak mempunyai
kekuatan hukum. Sedangkan menurut ajaran kedaulatan Negara satu-satunya sumber
hukum adalah kehendak Negara. Menurut ajaran kedaulatan hukum maka satu-
satunya sumber hukum adalah kesadaran hukum dan yang disebut hukum hanyalah
yang memenuhi kesadaran hukum orang banyak.
b.
Begriffsjurisprud
enz
Menurut aliran ini undang-undang sekalipun tidak lengkap tetap mempunyai peran
penting, tetapi hakim mempunyai peran yang lebih aktif. Di samping undang-undang
masih ada sumber hukum lain antara lain kebiasaan.
Aliran ini melihat hukum sebagai suatu sistem atau kesatuan tertutup yang menguasai
semua tingkah laku sosial. Dasar dari hukum adalah suatu system azas-azas hukum
serta pengertian dasar yang menyediakan kaedah yang sudah pasti untuk setiap
peristiwa konkret. Hakim memang bebas dari ikatan undang-undang tetapi harus
bekerja dalam sistem hukum yang tertutup.
Menurut aliran ini pengertian hukum tidaklah sebagai sarana tetapi sebagai tujuan,
sehingga ajaran hukum menjadi ajaran tentang pengertian (Begriffsjurisprudenz), suatu
permintaan pengertian. Titik tolak pandangan ini ialah bahwa undang-undang bukanlah
satu-satunya sumber hukum. Masih ada sumber hukum lain tempat hakim
menemukannya.
Walau bagaimana pun juga aliran bebas ini telah menanamkan dasar bagi pandangan
yang sekarang berlaku tentang undang-undang dan fungsi hakim.
b.
Hak
im
Hakim adalah pegawai negeri sipil yang mempunyai jabatan fungsional. Tugas hakim
adalah mengkonstatir,mengkwalifisir dan kemudian mengkonstituir. Apa yang harus
dikonstituirnya adalah peristiwa dan kemudian peristiwa ini harus dikwalifisir, Pasal 4
ayat (1) UU.No 48 tahun
2009 mewajibkan hakim mengadili menurut hukum. Maka oleh karena itu hakim
harus mengenal hukum disamping peristiwanya. Hakim memiliki kewenangan untuk
melakukan penafsiran, melakukan analogi, melakukan penghalusan hukum dan lain-lain.
Hal ini kemudian yang sering diistilahkan judge made law atau penemuan hukum
(rechtsvinding) konsep ini di Indonesia, diakomodir di dalam Undang-Undang
Kekuasaan Kehakiman Nomor 48 tahun 2009 dimana dalam Pasal 16 ayat (1),
dinyatakan sebagai berikut : “Pengadilan dilarang menolak untuk
memeriksa,mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa
hukum tidak ada atau kurang jelas,melainkan wajib untuk memeriksa dan
mengadilinya”.Pada Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009
tersebut, sangat jelas terlihat bahwa hakim tidak boleh menolak mengadili suatu perkara
atas dasar ketiadaan dasar hukum. Sehingga dalam konteks hukum Indonesia
kebangkrutan hukum tidaklah diperbolehkan, dengan adanya ketentuan ini. Pasal 16 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 yang sebelumnya ada pada Pasal 14 ayat (1)
Undang-Undang nomor 14 tahun 1970 tentang pokok kekuasaan kehakiman, oleh
Mochtar Kusumaatmadja disebut juga dengan asas non-liquiet yang merupakan cerminan
dari Pasal 22 Algemene Bepalingen (AB) pada masa Belanda. ( Mochtar
Kusumaatmadja & B.Arief Sidharta,2002:hlm 99)
Asas ini kemudian mendasari atau memberikan peluang bagi hakim, untuk menafsirkan
dan menerapkan konsep penemuan hukum dalam sistem hukum Indonesia. Namun
demikian, persoalan yang muncul adalah mengenai apakah hakim dalam konteks
penemuan hukum memiliki kesamaan pengertian dengan konsep hakim membuat hukum
(judge made law) seperti di dalam hukum common law.
Hal itu menunjukkan fungsi utama hakim dalam memberikan putusan terhadap perkara
yang diajukan kepadanya.( Nanda Dewa Agung Dewantara, 2005: 28). Kebebasan hakim
dapat pula bertindak sewenang-wenang. Untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan
tersebut, harus diciptakan batasan-batasan tanpa mengorbankan prinsip kebebasan
sebagai hakikat kekuasaan kehakiman.
Berdasarkan uraian diatas dapat diketahui bahwa seorang hakim tidak menjatuhkan
putusan kepada seseorang,kecuali dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah.
Hakim sudah memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana telah terjadi dan
terdakwalah yang bersalah melakukannya( Pasal 183 UU No.8 tahun 1981).
Hal ini menunjukkan adanya kemandirian, atau bebas menentukan timbulnya keyakinan
dalam dirinya berdasarkan alat-alat bukti yang dihadapkan ke muka sidang.
Di dalam tindak pidana korupsi ada yang dinamakan hakim karier dan hakim adhoc
sebagaiman dinyatakan pada Pasal 1 UU No. 46 tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi, yaitu
:
(2) Hakim karier adalah hakim pada pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan
Mahkamah
(3) Hakim Ad hoc adalah seseorang yang diangkat berdasarkan persyaratan yang
ditentukan dalam undang-undang ini sebagai hakim tindak pidana korupsi.
c. Tindak Pidana
korupsi
Korupsi berasal dari bahasa Latin “Corruptio” atau “Corruptus”, yang dikemudian
diadopsi oleh banyak bahasa di Eropa, mislanya di Inggris dan Perancis “ Corruption”
serta Belanda “Corruptie”,dan selanjutnya dipakai pula dalam bahasa Indonesia “
Korupsi”.
Korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau
tidak langsung merugikan keuangan negara dan perekonomian negara,atau diketahui atau
patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara. (Andi Hamzah,2005:hlm 5)
Korupsi sesungguhnya sudah lama ada terutama sejak manusia pertama kali mengenal
tata kelola administrasi. Pada kebanyakan kasus korupsi yang dipublikasikan media,
seringkali perbuatan korupsi tidak lepas dari kekuasaan, birokrasi, ataupun pemerintahan.
Korupsi juga sering dikatikan pemaknaannya dengan politik. Sekalipun sudah
dikategorikan sebagai tindakan yang melanggar hukum/kriminal, pengertian korupsi
dipisahkan dari bentuk pelanggaran hukum lainnya. Selain mengkaitkan korupsi
dengan politik, korupsi juga dikatikan dengan perekonomian, kebijakan publik,
internasional, kesejahteraan sosial, dan pembangunan nasional. Begitu luasnya aspek-
aspek yang terkait dengan korupsi hingga badan dunia seperti PPB memiliki badan
khusus yang memantau korupsi dunia. Sebagai landasan untuk memberantas dan
menanggulangi korupsi adalah memahami pengertian korupsi itu sendiri.
Pasal 3
menyebutkan:
Berdasarkan kedua pasal tersebut, perbuatan ‘Korup’ adalah perbuatan yang dilakukan
dengan memanfaatkan jabatan/kedudukan/kekuasaan untuk memperkaya diri sendiri atau
orang lain atau korporasi yang dapat merugikan negara dan pereknomian negara.
Menurut kedua pasal tersebut, perbuatan ‘Korup’ adalah tindakan yang melanggar
hukum.
Dari abstraksi pemikiran yang dikemukakan di atas, terdapat beberapa hal atau faktor serta
alasan yang melatarbelakangi perlunya suatu analisis terhadap prosedur penemuan hukum
oleh hakim dalam proses penyelesaian perkara terutama pada tahap pengambilan
keputusan, antara lain sebagai berikut :
1. Bahwa kegiatan kehidupan manusia ini sangatlah luas, tidak terhitung jumlah dan
jenisnya, sehingga tidak mungkin tercakup dalam satu peraturan perundang-undangan
dengan tuntas dan jelas. Maka wajarlah kalau tidak ada peraturan perundang-undangan
yang dapat mencakup keseluruhan kegiatan kehidupan manusia, sehingga tak ada peraturan
perundang-undangan yang lengkap selengkap-lengkapnya dan jelas sejelas-jelasnya. Oleh
karena hukumnya tidak lengkap dan tidak jelas maka harus dicari dan ditemukan.
2. Perhatian dan kesadaran akan sifat dan tugas peradilan telah berlangsung lama dan
ajaran penemuan hukum, ajaran penafsiran hukum atau metode yuridis ini dalam abad ke
19 dikenal dengan hermeneutic yuridis (hermeneutika), namun yang menjadi pertanyaan,
bagaimana dengan penerapannya.
3. Munculnya suatu gejala umum, yakni kurangnya serta menipisnya rasa kepercayaan
sebagian “besar” masyarakat terhadap proses penegakan hukum di Indonesia. Gejala ini
hampir dapat didengar dan dilihat, melalui berbagai media yang ada. Menurut hemat
peneliti gejala ini lahir tidak lain adalah karena terjadinya suatu ketimpangan dari apa yang
seharusnya dilakukan/diharapkan (khususnya dalam proses penegakan hukum) dengan apa
yang terjadi dalam kenyataannya.
4. Kaitannya dengan gejala umum di atas, dari mekanisme penyelesaian perkara (kasus)
yang ada, tidak jarang hakim selaku penegak hukum menjatuhkan putusan/vonis terhadap
kasus yang tanpa disadari telah melukai rasa keadilan masyarakat disebabkan karena terlalu
kaku dalam melihat suatu peraturan (bersifat normative/positivistik) tanpa
mempertimbangkan faktor sosiologis yang ada. Salah satu contoh yang masih hangat
dimemori kita pada awal bulan yang lalu yakni divonis bebasnya beberapa kasus korupsi
(koruptor) kelas kakap yang nyata-nyata telah merugikan Negara.
Alasan yang lain yang tentunya sangat terkait dengan kajian ini yakni melihat bagaimana
seorang hakim melakukan penemuan hukum dalam tugas dan tanggung jawabnya yang
sudah menjadi kewajiban melekat pada profesinya serta sejauhmana hal itu dapat mewarnai
dalam setiap putusan yang dilahirkan.
a. Adakalanya pembuat Undang-undang sengaja atau tidak sengaja menggunakan istilah-
istilah atau pengertian pengertian yanga sangat umum sifatnya, sehingga dapat diberi lebih
dari satu pengertian atau pemaknaan;
b. Adakalanya istilah, kata, pengertian, kalimat yang digunakan di dalam peraturan
perundang-undangan tidak jelas arti atau maknanya, atau tidak dapat diwujudkan lagi
dalam kenyataan sebagai akibat adanya perkembangan-perkembangan didalam masyarakat;
1. Adakalanya terjadi suatu masalah yang tidak ada peraturan perudang-undangan yang
mengatur masalah tersebut.
Dalam menghadapi kemungkinan-kemungkinan itulah seorang hakim atau pengemban
profesi hukum lainnya harus dapat menemukan dan juga menentukan apa yang dapat
dijadikan hukum dalam rangka pembuatan keputusan hukum atau menyelesaikan masalah
hukum yang sedang dihadapi.
Persoalan pokok yang ada dalam sistem hukum antara lain adalah :
1. Hukum undang-undang, yakni hukum yang dicantumkan dalam keputusan resmi secara
tertulis, yang sifatnya mengikat umum.
2. Hukum kebiasaan yaitu : keteraturan-keteraturan dan keputusan-keputusan yang
tujuannya kedamaian.
3. Hukum Yurisprudensi, yakni : hukum yang dibentuk dalam keputusan hakim pengadilan.
4. Hukum Traktat : hukum yang terbentuk dalam perjanjian internasional.
5. Hukum Ilmiah (ajaran) : hukum yang dikonsepsikan oleh ilmuwan hukum.
1. Masyarakat hukum : suatu wadah bagi pergaulan hidup yang teratur yang tujuannya
kedamaian.
2. Subyek hukum
3. Hukum dan kewajiban
4. Peristiwa hukum
5. Hubungan hukum ; sederajat dan timpang
6. Obyek hukum
Pengertian butir diatas tidak terlepas dari makna sebenarnya hukum yang merupakan
bagian integral dari kehidupan bersama, kalau manusia hidup terisolir dari manusia lain,
maka tidak akan terjadi sentuhan atau kontak baik yang menyenangkan maupun yang
merupakan konflik, dalam keadaan semacam itu hukum tidak diperlukan.
Salah satu karakteristik utama dari civil law ialah penggunaan aturan-aturan yang tertulis
dan terbukukan (terkodifikasi) sebagai sumber hukumnya. Untuk menerjemahkan aturan-
aturan hukum tersebut, kepada peristiwa-peristiwa konkret, maka difungsikanlah seorang
hakim. Seorang hakim memiliki kedudukan pasif di dalam menerapkan aturan hukum
tersebut, dia akan menerjemahkan suatu aturan hukum apabila telah terjadi sengketa
diantara individu satu dengan yang lainnya di dalam masyarakat yang kemudian hasil
terjemahan aturan hukum tersebut ditetapkan di dalam suatu putusan pengadilan yang
mengikat pada pihak-pihak yang bersengketa.
Pengunaan aturan hukum tertulis di dalam civil law, terkadang memiliki kendala-kendala
tertentu. Salah satu kendala utama ialah, relevansi suatu aturan yang dibuat dengan
perkembangan masyarakat. Hal ini dikarenakan akitivitas masyarakat selalu dinamis, oleh
karenanya segala aturan hukum yang dibentuk pada suatu masa tertentu belum tentu
relevan dengan masa sekarang. Sehingga dapat disimpulkan bahwa, aturan hukum selalu
berada satu langkah dibelakang realitas masyarakat. Relevansi aturan hukum dengan
persoalan masyarakat merupakan hal yang esensial demi terciptanya keadilan dan
ketertiban di masyarakat. Aturan hukum yang tidak relevan, akan menciptakan kekacuan
dan ketidakadilan, dan menjadi persoalan karena tidak dapat menjawab persoalan-persoalan
yang ada di masyarakat. Relevansi di sini mengandung pengertian, bahwa hukum harus
bisa memecahkan suatu persoalan dari suatu realitas baru masyarakat. Sehingga jika tidak,
akan menyebabkan terjadinya apa yang disebut dengan bankruptcy of justice yakni suatu
konsep yang mengacu kepada kondisi dimana hukum tidak dapat menyelesaikan suatu
perkara akibat ketiadaan aturan hukum yang mengaturnya.
Untuk menyelesaikan persoalan ini, maka diberikanlah kewenangan kepada hakim untuk
mampu mengembangkan hukum atau melakukan penemuan hukum (rechtsvinding), namun
demikian dalam konteks sistem hukum civil law hal ini menjadi suatu persoalan. Hakim
pada prinsipnya merupakan corong dari undang-undang, dimana peranan dari kekuasaan
kehakimanan hanya sebagai penerap undang-undang (rule adjudication function) yang
bukan merupakan kekuasaan pembuat undang-undang (rule making function). Sehingga
diperlukan batasan-batasan mengenai penemuan hukum (rechtsvinding) oleh hakim dengan
menggunakan konstruksi hukum, Indonesia di dalam keluarga-keluarga sistem hukum
dunia, termasuk salah satu dari keluarga hukum Eropa Kontinental (civil law). Sistem
Eropa Kontinental ini, mengutamakan hukum tertulis dan terkodifikasi sebagai sendi utama
dari sistem hukum eropa kontinental ini, oleh karenanya sering pula disebut sebagai .
Pemikiran kodifikasi ini dipengaruhi oleh konsepsi hukum abad ke-18 – 19. Untuk
melindungi masyarakat dari tindakan-tindakan sewenang-wenang dan demi kepastian
hukum, kaidah-kaidah hukum harus tertulis dalam benruk undang-undang. Lebih lanjut
pemikiran ini menyatakan bahwa, suatu undang-undang harus bersifat umum (algemeen).
Umum baik mengenai waktu, tempat, orang atau obyeknya. Kedua, undang-undang harus
lengkap, tersusun dalam suatu kodifikasi. Berdasarkan pandangan ini Pemerintah dan
Hakim tidak lebih dari sebuah mesin yang bertugas untuk menerapkan undang-undang
(secara mekanis). Berkebalikan dengan sistem eropa continental, sistem anglo saxon yang
biasa disebut dengan sistem common law merupakan sistem hukum yang menjadikan
yurisprudensi sebagai sendi utama di dalam sistem hukumnya. Yurisprudensi ini
merupakan keputusan-keputusan hakim mengenai suatu perkara konkret yang kemudian
putusan tersebut menciptakan kaidah dan asas-asas hukum yang kemudian mengikat bagi
hakim-hakim berikutnya di dalam memutus suatu perkara yang memiliki karakteristik yang
sama dengan perkara sebelumnya. Aliran hukum ini menyebar dari daratan Inggris
kemudian ke daerah-derah persemakmuran Inggris (eks jajahan Inggris), Amerika Serikat,
Canada, Australia
Yogyakarta: dan
PT. Citra lain-lain.
Aditya bakti,Namun
1993), demikian,
h. 4. pada perkembangannya kedua sistem
hukum tersebut mengalami konvergensi (saling mendekat), yang ditandai dengan peranan
yang cukup penting suatu peraturan perundang-undangan bagi sistem common law dan
sebaliknya peranan yang signifikan pula dari yurisprudensi dalam sistem Eropa
Kontinental.
a. Peraturan perundang-undangan merupakan kaidah hukum yang mudah dikenali, mudah
diketemukan kembali dan mudah ditelusuri. Sebagai kaidah hukum tertulis, bentuk, jenis
dan tempatnya jelas. Begitu pula pembuatnya;
b. Peraturan perundang-undangan memberikan kepastian hukum yang lebih nyata karena
kaidah-kaidahnya mudah diidentifikasi dan mudah diketemukan kembali;
1. Struktur dan sistematika peraturan perundang-undangan lebih jel sehingga
memungkinkan untuk diperiksa kembali dan diuji baik segi-segi formal maupun materi
muatannya; dan
b. Peraturan perundang-undangan tidak pernah lengkap untuk memenuhi segala peristiwa
hukum atau tuntutan hukum dan menimbulkan apa yang lazim disebut kekosongan hukum
atau rechstvacuum. Barangkali yang tepat adalah kekosongan peraturan perundang-
undangan bukan kekosongan huku. Hal ini dikarenakan ajaran Cicero-ubi societas ubi ius-
maka tidak akan pernah ada kekosongan hukum. Setiap masyarakat mempunyai mekanisme
untuk menciptakan kaidah-kaidah hukum apabila “hukum resmi” tidak memadai atau tidak
ada.
“pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan suatu
perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas melainkan
wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.
Pada Pasal 16 ayat (1) undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tersebut, sangat jelas terlihat
bahwa hakim tidak boleh menolak mengadili suatu perkara atas dasar ketiadaan dasar
hukum. Sehingga dalam konteks hukum Indonesia kebangkrutan hukum tidaklah di
perbolehkan, dengan adanya ketentuan ini. Pasal 16 ayat (1) undang-undang Nomor 4
Tahun 2004 yang sebelumnya ada pada Pasal 14 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun
1970 tentang pokok kekuasaan kehakiman. Namun demikian, persoalan yang muncul
adalah mengenai apakah hakim dalam konteks penemuan hukum memiliki kesamaan
pengertian dengan konsep hakim membuat hukum (judge made law) seperti di dalam
hukum common law.
Pengertian judge made law dalam pengertian sistem hukum common law, ialah bahwa
hakim memiliki peranan di dalam membentuk suatu norma hukum yang mengikat yang
didasarkan pada kasus-kasus konkrit, sehingga hukum di dalam pengertian ini benar-benar
membentuk suatu norma hukum baru, guna mencapai kepastian hukum maka
dikembangkanlah sistem precedent, dimana hakim terikat dengan keputusan hakim
terdahulu menyangkut suatu perkara yang identik. Apabila dalam suatu perkara hakim di
dalam menerapkan precedent justru akan melahirkan ketidakadlian maka hakim harus
menemukan faktor atau unsur perbedaannya. Dengan demikian ia bebas membuat putusan
baru yang menyimpang dari putusan lama.
Dalam konteks tersebut sistem Eropa Kontinental khususnya Belanda, penemun hukum
didasarkan pada ajaran menemukan hukum dengan bebas (vrije rechtsvinding), yang pada
ajaran tersebut terbagi menjadi tiga ajaran menyangkut dimanakah hukum bebas tersebut
dapat ditemukan. Ajaran pertama yang dimotori oleh Hamaker menyatakan bahwa hukum
bebas dapat ditemukan dengan menggalinya dari adat istiadat di dalam masyarakat, oleh
karenanya ajaran ini disebut pula ajaran aliran sosiologi. Ajaran kedua memandang hukum
dapat ditemukan di dalam ketentuan-ketentuan kodrati yang sudah ada untuk manusia,
ketentuan kodrati ini tertuang di dalam kitab-kitab suci dan perenungan-perenungan
kefilsafatan tentang keadilan dan moralitas, oleh karenanya, hukum ini disebut dengan
hukum kodrat. Dan ajaran ketiga ialah ajaran yang menghendaki hakim dalam menemukan
hukum, tidak hanya berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang sudah ada
Yogyakarta:
namun lebih PT.dari
Citra Aditya
itu, bakti,
hakim 1993), h.
di dalam 4.
menemukan hukum harus juga dalam konteks
mengoreksi dan jika perlu membatalkan peraturan perundang-undangan tersebut dan
membentuk norma hukum baru, aliran ini disebut juga rechter-koningschap.
(1). Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan
dalam masyarakat.
(2). Dalam menerapkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat
yang baik dan jahat dari terdakwa.
Dari kedua ayat dalam pasal tersebut, dengan jelas dinyatakan hakim menggali, mengikuti
dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat dan memperhatikan
hal-hal yang baik dan jahat dari terdakwa sebelum memutus suatu perkara. Hal ini
menunjukan bahwa, Indonesia memang menganut ajaran penemuan hukum bebas (vrije
rechstvinding), namun menyangkut hukum bebas tersebut hakim masih terikat oleh
peraturan perundang-undangan. Sehingga hukum bebas di posisikan sebagai tambahan dari
aturan perundang-undangan dia tidak dapat menyimpang dari aturan perundang-undangan
tersebut, akan tetapi hakim dapat mengkontekskan aturan hukum yang ada sesuai dengan
rasa keadilan dan nilai-nilai masyarakat, yang merupakan inti dari ajaran penemuan hukum
bebas yang beraliran sosiologis. Hukum bebas dalam pengertian rasa keadilan dan nilai-
nilai masyarakat sangat identik dengan hukum agama dan adat yang ada di dalam
masyarakat. Namun tidak sebatas itu, tafsir rasa keadilan dan nilai-nilali masyarakat juga
dapat ditafafsirkan di dalam dinamika sosial kemasyakatan. Dimana aspek tuntutan dan
tekanan masyarakat, mengenai mana yang adil dan tidak adil menjadi aspek yang tidak
dapat diabaikan dalam memutus suatu perkara.
Salah satu contoh penemuan hukum yang menjadi preseden di dalam hukum Indonesia,
misalnya dalam kasus sengkon dan karta yang menumbuhkan kembali lembaga Herzeining
(peninjauan kembali) dan penafsiran secara meluas (ekstensif) di dalam definisi mengenai
barang dalam Pasal 378 oleh Bintan Siregar kemudian pada zaman kolonial dengan
beberapa benchmark cases, seperti mendefinisikan ulang unsur-unsur perbuatan melawan
hukum melalui kasus pipa ledeng atau mendefinisikan secara luas (ekstensif) pengertian
barang dalam delik pencurian, yang mengkualifikasikan listrik sebagai barang pada H.R. 23
Mei 1921, N.J.1921, 564. Dalam konteks hukum nasional ialah putusan yang mengizinkan
perubahan status jenis kelamin pasca operasi penggantian kelamin sebagaimana diputus
oleh Pengadilan Jakarta Selatan dan Barat Nomor 546/73.P Tanggal 14 November 1973
dengan pemohon ialah Iwan Robianto Iskandar.
Di dalam melakukan penafsiran suatu aturan hukum, hakim hendaknya mengikuti beberapa
prinsip di bawah ini :
1. Prinsip objektivitas : penafsiran hendaknya berdasarkan pada arti secara literal dari
aturan hukum dan berdasarkan hakekat dari aturan hukum tersebut harus dibuat sejelas
mungkin untuk perkembangan selanjutnya.
2. Prinsip kesatuan : setiap norma harus dibaca dengan teks dan tidak secara terpisah.
Bagian harus berasal dari keseluruhan dan keseluruhan harus berasal dari bagiannya.
3. Prinsip penafsiran genetis : selama melakukan penafsiran terhadap teks, keberadaan teks
asli harus dijadikan pertimbangan, terutama dalam aspek objektifitas, tata bahasa, budaya
dan kondisi sosial dari pembentukan hukum tersebut dan terutama dari pembuat hukum
tersebut;
4. Prinsip perbandingan : prinsip ini ialah prinsip untuk membandingkan suatu teks hukum
dengan teks hukum lainnya menyangkut hal yang sama di suatu waktu.
Keempat prinsip tersebut merupakan prinsip yang dijadikan semacam panduan bagi
penafsiran dalam rangka menemukan hukum, sehingga kepastian hukum dan keadilan di
dalam masyarakat dapat terjalin secara baik.
R E C H T S V I N D I N G : P E N E M U A N H U KU M
Abstrak
A. Pendahuluan
Salah satu fungsi dari hukum ialah sebagai alat untuk melindungi kepentingan
manusia atau sebagai perlindungan kepentingan manusia. Salah satu upaya yang
semestinya dilakukan guna melindungi kepentingan manusia ialah hukum hams
dilaksanakan secara layak. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara damai,
normal, tetapi dapat terjadi juga karena pelanggaran hukum. Dalam hal ini hukum yang
telah dilanggar tersebut haruslah ditegakkan, dan diharapkan dalam penegakan hukurn
Yogyakarta: PT. Citra Aditya bakti, 1993), h. 4.
inilah hukum tersebut menjadikan kenyataan.
Diakui bahwa tanpa kepastian hukum orang tidak mengetahui apa yang harus
diperbuatnya yang pada akhirnya akan menimbulkan keresahan. Akan tetapi terlalu
menitikberatkan pada kepastian hukum, terlalu ketat mentaati peraturan hukum
akibatnya juga akan kaku serta tidak menutup kemungkinan akan dapat
menimbulkan rasa ketidakadilan. Apapun yang terjadi peraturannya adalah demikian
dan harus ditaati dan dilaksanakan. Dan kadang undangundang itu sering terasa
kejam apabila dilaksanakan secara ketat (lex dura sed tamen scripta).
karena hukumnya tidak lengkap atau tidak jelas. Hakim dilarang menolak menjatuhkan
putusan dengan dalih tidak sempurnanya undang-undang.2
Olehnya, karena undangundang yang mengatur akan peristiwa kongkrit tidak lengkap
ataupun tidak jelas, maka dalarn hal ini penegak hukum (hakim) haruslah mencari,
menggali dan mengkaj i hukumnya, hakim hams menemukan hukumnya dengan jalan
melakukan penemuan hukum (rechtsvinding).
Dalam penemuan hukum, baik dalam hukum konvensional maupun dalam hukum
Islam terdapat beberapa aliran serta metode-metode penemuan hukum, namun
tulisan ini, penulis tidak akan membahas secara mendalam tentang aliran-
aliran(mazhab) dalam penemuan hukum, melainkan ingin mencoba menyajikan suatu
kajian secara sederhana yang bersifat komparatif terhadap metodemetode penemuan
hukum menurut hukum konvensional dan hukum Islam.
B. Makna Penemuan
Hukum
1. Istilah Penemuan
Hukum
yaitu yang dilaksanakan oleh hakim dan hal ini sekaligus pula merupakan penegakan
hukum.
2
Lihat Pasal 27 UU Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Pokok-Pokok Kekuasaan
Kehakiman.
3
Van Eikema Hommes, Logica en rechtsvincling, (roneografie) Vrije Universiteit, h.32.
4
Algra, Rechtsaanvemg, Drukkerij BV, Utrech, 1975, h. 219
5
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar (Cet. I; Yogyakarta:
Liberty,
1996), h. 36
6
Ibid
ada). Hukum bukanlah selalu berupa kaedah baik tertulis maupun tidak, tetapi
dapat juga berupa perilaku atau peristiwa, dan di dalam perilaku itulah terdapat
hukumnya yang harus digali serta ditemukan. Dengan demikian, maka kiranya
istilah "penemuan hukum" lah yang rasanya lebih tepat untuk digunakan.
2. Batasan Penemua
n Hukum
diberi tugas untuk penerapan peraturan hukum umum pada peristiwa hukum
kongkrit. Lebih
7
Ibid
8
Ibid
9
Ibid., hal. 37.
10
Achmad Ali, op.cit., h. 146.
lanjut dapat dikatakan bahwa penemuan hukum adalah suatu proses kongkretisasi atau
individualisasi peraturan hukum (das sollen) yang bersifat umum dengan mengingat
akan peristiwa kongkrit (das sein) tertentu.11
Pada dasarnya setiap orang melakukan penemuan h ukurn. Oleh karena setiap
orang selalu berhubungan dengan orang lain (melakukan interaksi), hubungan many
diatur oleh hukum dan setiap orang akan berusaha menemukan hukumnya untuk
dirinya sendiri, yaitu kewajiban dan wewenang apakah yang dibebaskan oleh hukum
padanya.
11
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum
(Cet. I;
Antara penemuan hukum yang heteronom dan otonom tidak ada batas yang
tajam. Di dalam praktek penemuan hukum kita jumpai kedua unsur tersebut
(heteronom dan otonom).
Kalau asas peradilan yang berlaku di Indonesia itu ialah bahwa hakim
tidak terikat pada putusan hakim terdahulu mengenai perkara yang sejenis,
maka ini tidak sedikit hakim yang, dalam menjatuhkan putusannya, berkiblat pada
putusan pengadilan yang lebih tinggi mengenai perkara serupa dengan yang
dihadapinya.
Seperti halnya sumber hukum dalam hal penemuan hukum menurut hukum
konvensional, maka dalam hukum Islam juga terdapat urutan atau hierarki tersendiri
dalam
hal penemuan hukum yaitu Al-Qur'an, Sunnati (hadits nabi) dan Jima.
13
Ibid., h. 48.
D. Aliran-aliran Penemuan Hukum
Undang-undang ternyata tidak lengkap dan sering tidak jelas. Aliran legisme ini
lama- lama ditinggalkan. Dan hakim diharapkan dapat menyesuaiakan undang-undang
dengan keadaan. Pada abad ke-19 lahirlah di Jennan dua aliran yang lebih lunak
dari legisme, yaitu mazhab sejarah dan Freirechtschule. Menurut pandangan
mazhab historis maka undang-undang tidak lengkap. Di samping undang-undang
masih ada cumber hukum lain, yaitu kebiasaan. Menurut Von Savigny hukum itu
berdasarkan sistem asas-asas hukum dan pengertian dasar dari mana untuk setiap
peristiwa dapat diterapkan kaedah yang cocok. Hakim memang bebas dalam
menerapkan undangundang, tetapi ia tetap bergerak dalam sistem hukum yang
tertutup.
Di samping aliran di atas, dan ketika dirasakan betapa aliran legis tersebut tidak
mampu lagi memecahkan problem-problem hukum yang muncul, maka oleh
kalangan hukum berpendapat bahwa melakukan penemuan hukum oleh hakim adalah
sesuatu yang wajar dan bahkan sangat diperlukan.
Penemuan hukum bagaimanapun selalu dilakukan oleh hakim dalam setiap
putusannya. Tidak ada teks yang jelas, tidak ada teks yang tanpa sifat ambiguitas, hal
ini sudah menjadi sifat setiap bahasa.
a. Aliran Begriffsjurisprudenz
Aliran ini lahir sebagai reaksi terhadap aliran freirerechtsschule yang pada
pokoknya hendak menahan kemungkinan munculnya kesewenang-wenangan hakim,
berkaitan dengan diberikannya hakim "fi-eies ermessen . Namunpun demikian aliran
ini tetap mengakuib a h w a h a k i m t i d a k h a n ya s e k e d a r " t e r o m p e t u n
dang-undang", tetapi hakim hams jugamemperhatikan
kenyataan-kenyataan masyarakat, perasaan dan kebutuhan hukum serta kesadaran
hukum warga masyarakat.
Sejalan dengan Hamaker, I.H. Hymans menyatakan bahwa hanya putusan hakim
yang sesuai dengan kesadaran hukum dan kebutuhan hukum warga masyarakat yang
merupakan "hukum- dalam makna sebenarnya" (het recht der werkelUlcheid).15
Salah satu metode penemuan hukum yang memberi penjelasan yang gamblang
mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaedah dapat ditetapkan
sehubungan dengan peristiwa tertentu adalah melalui interpretasi atau penafsiran.
Penafsiran oleh hakim merupakan penjelasan yang hams menuju kepada
pelaksanaan yang dapatditerima oleh masyarakat mengenai peraturan hukum
terhadap peristiwa yang konkrit. Metode interpretasi ini adalah sarana atau aiat
untuk mengetahui makna undang-undang.
Pembenarannya terletak pada kegunaannya untuk melaksanakan ketentuan yang
konkrit dan bukan untuk kepentingan metode itu sendiri.
a.Metode Subsumptif
Yang dimaksud metode subsumptif ini adalah di mana hakim hams menerapkan
suatu teks undangundang terhadap kasus in-konkreto, dengan belum memasuki taraf
penggunaan penalaran yang lebih remit, tetapi sekedar menerapkan sillogisme.
Achmad Ali (1996: 176). menggolongkan metode subsumptif ini ke dalam salah
sate jenis interpretasi, yaitu interpretasi yang paling sederhana, karena metode
subsumptif ini berdasarkan pada bunyi teks undang-undang.16
Ketentuan undang-undang yang tidak sesuai lagi dilihat sebagai alat untuk
memecahkan atau menyelesaikan sengketa dalam kehidupan bersama waktu
sekarang. Interpretasi
teleologic ini biasa juga disebut dengan interpretasi sosiologis, metode ini baru
digunakan apabila kata-kata dalam undang-undang dapat ditafsirkan dengan pelbagai
cara.
d. Interpretasi Sistematis
e. Interpretasi Historis
Salah satu cara untuk mengetahui makna undang-undang dapat pula dijelaskan
atau ditafsirkan dengan meneliti sejarah teijadinya. Penafsiran ini
dikenal sebagai interpretasi historis, dengan kata lain penafsiran ini merupakan
penjelasan menurut terjadinya undang-undang.
f. Interpretasi Komparatif
In t e r p r e t a s i k o m p a r a t i f i n i adalah metode membandingkan antara
berbagai sistem hukum. Dengan demikian metode ini hanya terutama digunakan
dalam bidang hukum perjanjian internasional.
g. Interpretasi Futuristis
h. Interpretasi Restriktif
i. Interpretasi Ekstensif
Metode Konstruksi
"Hukum Inggris yang sebagian tertulis (satute law) dan sebagian tidak tertulis
(common law) memperkenalkan analogi, meskipun demikian hakim di Inggris
menolak menggunakan analogi terhadap hukum pidana".
17
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Yogyakarta: Liberty, 1986), h. 150
c. Rechtsvervnings (Pengkonkritan
Hukum)
18
Ibid., h. 52.
19
Achmad Ali, op.cit., 11. 197.
Undang-undang jelas tidak memberikan jawaban. Untuk itu hakim harus
menggunakan metode
2. Metode Penemuan
Hukum Islam
Metode penemuan hukum yang dimaksudkan dalam sub ini adalah
"tharigah", yaitu jalan atau cara yang harus dilakukan oleh seorang mujtahid dalam
memahami, menemukan dan merumuskan hukum syara'.
Dalam hal menemukan hukum dan menetapkan hukum di luar apa yang
dijelaskan dalam nash Al-Quran dan Hadits, para ahli mengerahkan segala
kemampuan nalarnya, mereka merumuskan cara atau metode yang mereka
gunakan dalam menemukan hukum. Ada beberapa metode yang lahir dari hasil
rumusan, diantaranya ada metode yang merupakan ciri khas (hasil temuan)
seorang mujtahid yang berbeda (dan tidak digunakan oleh) mujtahid lainnya.
Adanya perbedaan metode ini berimplikasi pada munculnya perbedaan antara hasil
ijtihad seorang mujtahid dengan yang lainnya. Perbedaan metode tersebut ditentukan
oleh jenis petunjuk dan bentuk pertimbangan yang dipakai oleh masing- masing
mujtahid dalam berijtihad.
b. Istihsan
c. Mashlahah al-mursalah
Secara etimologi mashlahah sama dengan manfaat, baik dari segi lafal maupun
makna. Mashlahah juga berarti manfaat atau suatu pekerjaan yang mengandung manfaat.
Secara terminologi, Imam Ghazali mengemukakan bahwa pada prinsipnya
mashlahah adalah mengambil manfaat dan menolak kemudaratan dalam rangka
memeli hara tujuan-tujuan syara' .22
20
H. Nasrun Haroen, Ushul Figh I (Cet. I; Jakarta: Logos, 1996), h. 62
21
Ibid., h. 102.
22
Ibid., h. 114.
d. Istishhab
e. 'Urf
Secara etimologi `urf berarti "yang baik". Sedang surf menurut ulama
ushul fiqhi adalah kebiasaan mayoritas kaum baik dalam perkataan atau
perbuatan. Berdasarkan defenisi tersebut, Mushthafa Ahmad al-Zarqa mengatakan
bahwa surf merupakan bagian dari adat, karena adat lebih umum dari surf Suatu
surf menurutnya harus berlaku pada kebanyakan orang di daerah tertentu, bukan
pada prihadi atau kelompok tertentu.24
f. Mazhah Shahabi
23
Ibid., h. 128.
24
Ibid, h. 137.
G. Penutup
2 . Pada dasarn ya dari segi metode penemuan hokum yang digunakan, baik dalam
hukum konvensional maupun dalam hukum Islam terdapat beberapa
persamaan, dan perbedaan, yang pada intinya dapat dikombinasikan dan
saling melengkapi. Namun apabila dilihat dari sudut sumber hukum dalam metode
penemuan hukum tersebut terdapat perbedaan yang sangat prinsipil, dimana sumber
hukum dalam metode penemuan hukum Islam bersumber dari Al-Qur'an dan
hadits, sedang sumber hukum metode penemuan hokum konvensional adalah UU,
kebiasaan, dll, yang nota bone adalah hasil karya (produk) manusia.