Anda di halaman 1dari 41

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN DIAGNOSA


MEDIS APENDISITIS

Oleh :

I WAYAN GEDE YUDI WIGATA


NIM: 219012667

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIRA MEDIKA BALI
DENPASAR
2022

1
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN DIAGNOSA
MEDIS APENDISITIS

A. KONSEP DASAR PENYAKIT


1. Definisi
Appendix vermiformis atau yang sering disebut apendiks
merupakan organ sempit, berbentuk tabung yang mempunyai otot dan
mengandung banyak jaringan limfoid. Panjang apendiks bervariasi dari 3–
4 inci (8–13 cm). Dasarnya melekat pada permukaan sekum. Sekum
adalah bagian dari usus besar yang terletak di perbatasan ileum dan usus
besar. Bagian apendiks lainnya bebas. Apendiks ditutupi seluruhnya oleh
peritoneum, yang melekat pada lapisan bawah mesenterium intestinum
tenue melalui mesenteriumnya sendiri yang pendek yang dinamakan
mesoapendiks. Mesoapendiks berisi arteri, vena dan saraf-saraf (Snell,
2014). Appendiks berisi makanan dan mengosongkan diri secara teratur ke
dalam sekum. Karena pengosongannya tidak efektif dan lumennya kecil,
appendiks cenderung menjadi tersumbat dan rentan terhadap infeksi
(Smeltzer & Bare, 2013).
Apendisitis adalah peradangan dari apendiks vermivormis, dan
merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini dapat
mengenai semua umur baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih
sering menyerang laki-laki berusia antara 10 sampai 30 tahun (Mansjoer,
2010). Apendisitis merupakan inflamasi di apendiks yang dapat terjadi
tanpa penyebab yang jelas, setelah obstruksi apendiks oleh feses atau
akibat terpuntirnya apendiks atau pembuluh darahnya (Corwin, 2011).
Apendisitis merupakan inflamasi saluran usus yang tersembunyi
dan kecil yang berukuran sekitar 4 inci (10 cm) yang buntu pada sekum.
Apendiks dapat terobstruksi oleh masa feses yang keras, yang akibatnya
akan terjadi inflamasi, infeksi, gangren, dan mungkin perforasi. Apendiks
yang ruptur merupakan gejala serius karena isi usus dapat masuk ke dalam

2
abdomen dan menyebabkan peritonitis atau abses (Caroline & Kowalski,
2017).
Apendisitis adalah peradangan akibat infeksi pada usus buntu atau
umbai cacing. Infeksi ini bisa mengakibatkan peradangan akut sehingga
memerlukan tindakan bedah segera untuk mencegah komplikasi yang
umumnya berbahaya (Sjamsuhidajat, 2010). Apabila tidak ditangani
segera, apendisitis bisa menyebabkan pecahnya lumen usus (Williams &
Wilkins, 2011).

2. Epidemiologi
Apendisitis merupakan peradangan apendik vermivormis, dan
merupakan penyebab masalah abdomen yang paling sering. Apendiksitis
dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang dari satu
tahun jarang terjadi. Insidensi pada pria dengan perbandingan 1,4 lebih
banyak daripada wanita (Muttaqin & Sari, 2013). Apendisitis ditemukan
pada semua kalangan dalam rentang usia 21-30 tahun (Ajidah & Haskas,
2015). Komplikasi apendisitis yang sering terjadi yaitu apendisitis
perforasi yang dapat menyebabkan perforasi atau abses sehingga
diperlukan tindakan pembedahan (Haryono, 2012).
Berdasarkan Data Tabulasi Nasional Departemen Kesehatan
Republik Indonesia tahun 2009, tindakan bedah menempati urutan ke 11
dari 50 pertama penyakit di rumah sakit se-Indonesia dengan persentase
12.8% yang diperkirakan 32% diantaranya merupakan tidakan bedah
laparatomi (Ajidah & Haskas, 2015). Laporan Departemen Kesehatan
(Depkes) mengenai kejadian laparatomi atas indikasi apendiksitis
meningkat dari 162 kasus pada tahun 2005 menjadi 983 kasus pada tahun
2006 dan 1.281 kasus pada tahun 2007 (Ajidah & Haskas, 2015).
Departemen Kesehatan Republik Indonesia menyatakan pada tahun
2008 jumlah penderita apendisitis mencapai 591.819, pada tahun 2009
sebesar 596.132 orang dan insiden ini menempati urutan tertinggi di antara
kasus kegawatan abdomen lainnya. Penderita apendiksitis yang dirawat di
rumah sakit pada tahun 2013 sebanyak 3.236 orang dan pada tahun 2014

3
sebanyak 4.351 orang. Kementrian Kesehatan menganggap apendiksitis
merupakan isu prioritas kesehatan di tingkat lokal dan nasional karena
mempunyai dampak besar pada kesehatan masyarakat (Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, 2013). Apendisitis merupakan salah satu
penyebab untuk dilakukan operasi kegawatdaruratan abdomen. Hal-hal
yang berhubungan dengan perawatan klien postoperasi dan dilakukan
segera setelah operasi diantaranya adalah dengan melakukan latihan napas
dalam, batuk efektif serta latihan mobilisasi dini (Muttaqin & Sari, 2013).

3. Etiologi
Obstruksi pada lumen merupakan etiologi paling sering pada
apendisitis akut. Fecalith (Faex = tinja, lithos = batu) merupakan
penyebab paling umum obstruksi apendiks. Penyebab yang paling jarang
adalah pembesaran dari jaringan limfoid, penggumpalan barium dalam
pemeriksaan X-Ray, tumor, sayur-sayuran dan biji-bijian dari buah, dan
parasit dari usus halus. Frekuensi obstruksi meningkat seiring dengan
tingkat keparahan proses inflamasi. Fecalith ditemukan pada 40% kasus
apendisitis akut, pada 65% kasus apendisitis gangren tanpa adanya ruptur
apendiks, dan 90% kasus pada apendisitis gangren dengan ruptur apendiks
(Berger, 2010).

4. Faktor Predisposisi
Faktor-faktor yang mempermudah terjadinya radang apendiks
menurut Haryono (2012) diantaranya:
a. Faktor sumbatan
Faktor sumbatan merupakan faktor terpenting terjadinya
apendisitis (90%) yang diikuti oleh infeksi. Sekitar 60% obstruksi
disebabkan oleh hiperplasia jaringan limfoid submukosa, 35% karena
stasis fekal, 4% karena benda asing, dan sebab lainnya 1% diantaranya
sumbatan oleh parasit dan cacing.

4
b. Faktor bakteri
Infeksi enterogen merupakan faktor pathogenesis primer pada
apendisitis akut. Adanya fekolit dalam lumen apendiks yang telah
terinfeksi dapat memperburuk dan memperberat infeksi, karena terjadi
peningkatan stagnasi feses dalam lumen apendiks, pada kultur yang
banyak ditemukan adalah kombinasi antara Bacteriodes fragilis dan
E.coli, Splanchius, Lacto-bacilus, Pseudomonas, Bacteriodes splanicus.
Sedangkan kuman yang menyebabkan perforasi adalah kuman anaerob
sebesar 96% dan aerob lebih dari 10%.
c. Kecenderungan familiar
Hal ini dihubungkan dengan terdapatnya malformasi yang
herediter dari organ, apendiks yang terlalu panjang, vaskularisasi yang
tidak baik dan letaknya yang mudah terjadi apendisitis. Hal ini juga
dihubungkan dengan kebiasaan makan dalam keluarga terutama
dengan diet rendah serat dapat memudahkan terjadinya fekolit dan
menyebabkan obstruksi lumen.
d. Faktor ras dan diet
Faktor ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola makanan
sehari-hari. Bangsa kulit putih yang dulunya mempunyai resiko lebih
tinggi dari negara yang pola makannya banyak serat. Namun saat
sekarang kejadiannya terbalik. Bangsa kulit putih telah mengubah pola
makan mereka ke pola makan tinggi serat. Justru negara berkembang
yang dulunya mengonsumsi tinggi serat kini beralih ke pola makan
rendah serat, kini memiliki risiko apendisitis yang lebih tinggi.

5. Patofisiologi
Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen
apendiks oleh hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur
karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma. Obstruksi
pada bagian apendiks menyebabkan tertutupnya kedua ujung segmen usus
(close-loop obstruction), dan sekresi pada mukosa apendiks yang
normalnya terus menerus mengalami bendungan dan menyebabkan
distensi pada apendiks. Kapasitas lumen dari apendiks normalnya hanya

5
0,1 ml. Sekresi cairan pada distal apendiks yang melebihi kapasitas
menyebabkan peningkatan tekanan di dalam lumen apendiks. Distensi dari
apendiks akan menstimulasi serabut saraf aferen viseral yang kemudian
diteruskan menuju korda spinalis Th8 – Th10, sehingga akan timbul
penjalaran nyeri yang yang tumpul, menyebar dan tidak terlokalisir di
daerah epigastrium dan preumbilikal. Distensi yang terjadi tiba-tiba juga
menstimulasi terjadinya peristaltik sehingga pada beberapa nyeri viseral
pada apendiks didahului oleh kram perut. Sekresi mukosa yang berlanjut
dan berkembangnya bakteri dalam apendiks semakin meningkatkan
distensi. Distensi pada tingkat ini juga menyebabkan mual, muntah dan
nyeri viseral yang berat.
Peningkatan tekanan intraluminar akan menyebabkan peningkatan
tekanan perfusi kapiler, yang akan menimbulkan pelebaran vena,
kerusakan arteri dan iskemi jaringan. Dengan rusaknya barier dari epitel
mukosa maka bakteri yang sudah berkembang biak dalam lumen akan
menginvasi dinding apendik sehingga akan terjadi inflamasi transmural.
Selanjutnya iskemia jaringan yang berlanjut akan menimbulkan infark dan
perforasi. Proses inflamasi akan meluas ke peritoneum parietalis dan
jaringan sekitarmya, termasuk ileum terminal, sekum dan organ pelvis
dimana dihasilkan karakteristik nyeri yang berpindah ke kuadran kanan
bawah.
Mukosa saluran cerna termasuk apendiks rentan terhadap gagguan
pada aliran darah. Oleh sebab, itu integritas mukosa apendiks menjadi
terganggu. Dengan distensi yang berlanjut, invasi bakteri, aliran darah
yang tidak adekuat, progresi dari nekrosis jaringan dapat menyebabkan
munculnya perforasi. Perforasi biasanya muncul di sisi luar obstruksi
karena efek tekanan intraluminal pada dinding yang paling tipis (Berger,
2010).
Patofisiologi apendisitis dapat dimulai di mukosa dan kemudian
melibatkan seluruh lapisan dinding apendiks dalam waktu 24-48 jam
pertama. Sistem pertahanan tubuh berusaha membatasi proses radang ini
dengan menutup apendiks dengan omentum, usus halus, atau adneksa

6
sehingga terbentuk massa periapendikuler yang dikenal dengan istilah
wall off atau appendicular mass. Di dalamnya dapat terjadi nekrosis
jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Jika tidak
terbentuk abses, apendisitis akan sembuh dan selanjutnya akan mengurai
diri secara lambat (Sjamsuhidajat, 2010).
Penatalaksanaan medik pada pasien apendisitis yakni apendiktomi
yaitu pembedahan untuk mengangkat apendiks. Pembedahan diindikasikan
bila diagnosa apendisitis telah ditegakkan. Hal ini dilakukan sesegera
mungkin untuk menurunkan risiko perforasi. Pilihan apendiktomi dapat
Cito (segera) untuk apendisitis akut, abses dan perforasi (Suratun &
Lusianah, 2010). Pembedahan atau operasi adalah semua tindakan
pengobatan yang menggunakan cara invasif dengan membuka atau
menampilkan bagian tubuh yang akan ditangani. Pembukaan bagian tubuh
ini umumnya dilakukan dengan membuat sayatan. Setelah bagian yang
akan ditangani ditampilkan, dilakukan tindak perbaikan yang diakhiri
dengan penutupan dan penjahitan luka (Sjamsuhidajat, 2010).
Sayatan atau luka yang dihasilkan merupakan suatu trauma bagi
penderita dan menimbulkan berbagai keluhan dan gejala. Akibat dari
prosedur pembedahan pasien akan mengalami gangguan rasa nyaman
nyeri. Nyeri sebagai suatu sensori subjektif dan pengalaman emosional
yang tidak menyenangkan berkaitan dengan kerusakan jaringan yang
aktual atau potensial atau yang dirasakan dalam kejadian-kejadian dimana
terjadi kerusakan (Potter & Perry, 2010). Sehingga terjadinya nyeri akut
yang sering ditandai dengan tampak meringis, bersikap protektif (mis.
waspada, posisi menghindari nyeri), gelisah, frekuensi nadi meningkat,
sulit tidur, tekanan darah meningkat, pola napas berubah, nafsu makan
berubah, proses berfikir terganggu, menarik diri, berfokus pada diri sendiri
dan diaforesis (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2016).

7
PATHWAY APENDISITIS
Obstruksi lumen apendiks

Sekresi cairan & lender dari mukosa apendiks


secara terus-menerus

Distensi Sekresi mukosa menumpuk dalam apendiks

Mual, muntah Peningkatan tekanan dalam lumen apendiks Menstimulasi serabut saraf aferen viseral

Kehilangan cairan Anoreksia Peningkatan tekanan perfusi kapiler Korda spinalis T8 - T10

ffffffff
MK. Risiko Hipovolemia MK. Risiko Defisit Nutrisi Pelebaran vena, kerusakan arteri Korteks serebri

Iskemia jaringan apendiks Nyeri dipersepsikan

Perforasi Nekrosis Nyeri tumpul, menyebar, dan tidak terlokalisir di


daerah epigastrium dan preumbilikal
Meluas ke peritoneum parietal dan jaringan di Kerusakan barrier dari epitel mukosa
sekitarnya seperti ileum terminal, sekum dan MK. Nyeri Akut
organ pelvis Bakteri dari usus besar berinvasi ke dalam
dinding apendiks
Pengeluaran pirogen endogen dalam tubuh
Nyeri di kuadran kanan bawah
Inflamasi transmural
Menstimulasi pusat termoregulator pada hipotalamus
MK. Nyeri Akut
APENDISITIS
Suhu tubuh meningkat
Dilakukan tindakan apendektomi
MK. Hipertermia
Hospitalisasi
Luka insisi
Kurang terpapar informasi mengenai diagnosis, Terputusnya kontinuitas kulit dan jaringan Ujung saraf terputus
pengobatan dan prognosis
Pelepasan mediator nyeri
Merasa cemas dan kebingungan MK. Kerusakan Integritas Kulit/Jaringan
Merangsang nosiseptor
MK. Ansietas
Impuls nyeri dihantarkan melalui korda spinalis

Port d’ entré bagi mikroorganisme Korteks serebri


Keterangan:
: Pre-operatif
: Post-operatif MK. Risiko Infeksi
8 Nyeri dipersepsikan

MK. Nyeri Akut


6. Klasifikasi
Apendisitis menurut Sjamsuhidajat (2010) dapat diklasifikasikan
menjadi beberapa jenis yaitu:
1) Apendisitis Akut
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang
didasari oleh radang mendadak umbai cacing yang memberikan tanda
setempat, disertai maupun tidak disertai rangsang peritonieum lokal.
Gajala apendisitis akut talah nyeri samar-samar dan tumpul yang
merupakan nyeri viseral didaerah epigastrium disekitar umbilikus.
Keluhan ini sering disertai mual dan kadang muntah. Umumnya nafsu
makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ketitik
mcBurney. Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya
sehingga merupakan nyeri somatik setempat.
2) Apendisitis Kronik
Diagnosis apendisitis kronis baru dapat ditegakkan jika
ditemukan adanya: riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari 2
minggu, radang kronik apendiks secara makroskopik dan mikroskopik.
Kriteria mikroskopik apendisitis kronik adalah fibrosis menyeluruh
dinding apendiks, sumbatan parsial atau total lumen apendiks, adanya
jaringan parut dan ulkus lama dimukosa dan adanya sel inflamasi
kronik. Insiden apendisitis kronik antara 1-5 persen.
3) Apendisitis Perforata
Apendisitis ini terjadi disebabkan adanya fekalit didalam
lumen. Keterlambatan diagnosis merupakan faktor yang berperan
dalam terjadinya perforasi apendiks. Insiden yang sering terjadinya
perforasi ini adalah pada anak kecil dan lansia. Faktor yang
mempengaruhi seringnya terjadi pada lansia disebabkan karena
gejalanya yang samar, keterlambatan pengobatan, adanya perubahan
anatomi apendiks berupa penyempitan lumen dan arteriosklerosis.
Sedangkan pada anak disebabkan karena dinding apendiks yang masih
tipis, komunikasi anak yang belum baik sehingga memperpanjang
waktu diagnosis.

9
4) Apendisitis Rekurens
Kasus ini baru dapat dipikirkan jika ada riwayat nyeri pada
perut kanan bawah secara berulang, yang mendorong dilakukannya
apendiktomi. Kelainan ini terjadi bila serangan apendisitis akut
pertama kali sembuh secara sepontan. Risiko untuk terjadinya
serangan secara berulang lagi sekitar 50 persen. Insiden apendisitis
rekurens adalah 10 persen dari spesimen apendiktomi yang diperiksa
secara patologik.

7. Gejala Klinis
Gejala dari apendisitis antara lain:
1. Nyeri kolik periumbilikus
Nyeri abdomen merupakan keluhan utama apendisitis akut.
Nyeri pada awalnya terpusat pada epigastrium atau periumbilikus,
nyeri bersifat berat menetap dan biasanya disertai dengan kram
intermiten. Distensi dari apendiks akan menstimulasi serabut saraf
aferen viseral yang menyebabkan rasa sakit yang tumpul, menyebar
dan tidak terlokalisir di bagian tengah abdomen dan bawah
epigastrium.
2. Nyeri pada fossa-iliaca kanan
Nyeri akan berpindah setelah beberapa jam dari periumbilikus
ke kanan bawah daerah fosa iliaka kanan. Disini, nyeri dirasakan lebih
tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik
setempat.
3. Nyeri tekan
Hal yang paling khas pada apendisitis adalah berupa nyeri
tekan pada daerah McBurney. Kemudian dapat timbul spasme otot dan
nyeri tekan lepas. Apabila sudah terjadi rupture apendiks, tanda
perforasi dapat berupa nyeri tekan dan spasme. Penyakit ini sering
disertai hilangnya nyeri secara dramatis untuk sementara.
4. Demam (pyrexia)

10
Demam biasanya ringan dengan suhu sekitar 37,5–38,5oC. Bila
suhu lebih tinggi kemungkinan sudah terjadi perforasi.

5. Mual, muntah, dan anoreksia


Nyeri perut bagian sentral berhubungan dengan mual, muntah,
dan anoreksia. Apendisitis hampir selalu disertai dengan anoreksia dan
biasanya terjadi satu atau dua kali episode muntah. Hal ini konstan
sehingga pada saat diagnosis harus ditanyakan ada tidaknya keluhan
anoreksia. Walaupun 75% pasien menunjukkan gejala muntah namun
hal itu tidak berlangsung lama, kebanyakan hanya satu atau dua kali
saja. Gejala muntah ini disebabkan stimulasi dari neuron maupun
gerakan dari usus. Pada 95% pasien dengan apendisitis akut, anoreksia
merupakan gejala utama diikuti oleh nyeri abdomen kemudian
dilanjutkan dengan gejala muntah. Jika muntah lebih dominan dari
gejala nyeri abdomen maka apendisitis harus dipertanyakan (Berger,
2010).

8. Pemeriksaan Fisik
Pasien dengan apendisitis akut akan tampak kesakitan dan
berbaring. Umumnya demam sekitar 38oC. Pada pemeriksaan abdomen,
bising usus akan berkurang dan nyeri tekan daerah apendiks pada titik
sepertiga bawah garis antara umbilikus dengan spina iliaka anterior
superior (McBurney’s point). Pada palpasi akan didapatkan muscle
guarding. Nyeri tekan dan nyeri lepas akan dijumpai, batuk juga akan
meningkatkan rasa nyeri pada apendisitis.

11
Gambar 2.1 McBurney’s point
Tanda khas yang dapat dijumpai pada apendisitis akut adalah
sebagai berikut:
Nama pemeriksaan Tanda dan gejala
Rovsing’s sign Positif jika dilakukan palpasi dengan tekanan
pada kuadran kiri bawah dan timbul nyeri pada
sisi kanan.
Psoas sign atau Pasien dibaringkan pada sisi kiri, kemudian
Obraztsova’s sign dilakukan ekstensi dari panggul kanan. Positif
jika timbul nyeri pada kanan bawah.
Obturator sign Pada pasien dilakukan fleksi panggul dan
dilakukan rotasi internal pada panggul. Positif
jika timbul nyeri pada hipogastrium atau vagina.
Dunphy’s sign Pertambahan nyeri pada tertis kanan bawah
dengan batuk.
Ten Horn sign Nyeri yang timbul saat dilakukan traksi lembut
pada korda spermatik kanan.
Kocher (Kosher)’s sign Nyeri pada awalnya pada daerah epigastrium
atau sekitar pusat, kemudian berpindah ke
kuadran kanan bawah.
Sitkovskiy Nyeri yang semakin bertambah pada perut
(Rosenstein)’s sign kuadran kanan bawah saat pasien dibaringkan
pada sisi kiri.
Aure-Rozanova’s sign Bertambahnya nyeri dengan jari pada petit
triangle kanan (akan positif Shchetkin-
Bloomberg’s sign).
Blumberg sign Disebut juga dengan nyeri lepas. Palpasi pada
kuadran kanan bawah kemudian dilepaskan tiba-
tiba.

Pada apendisitis perforata, nyeri abdomen menjadi sangat hebat


dan tersebar, peningkatan spasme daripada otot abdomen sehingga

12
menyebabkan kaku otot (muscle rigidity). Denyut jantung akan meningkat
dan temperatur akan meningkat hingga melebihi 39oC.

9. Pemeriksaan Diagnostik/Penunjang
1) Pemeriksaan laboratorium
Pada kebanyakan pasien, sel darah putih akan meningkat
dengan neutrofil lebih dari 75%. Kadar leukosit normal pada
apendisitis ditemukan pada 10% kasus. Kadar leukosit yang tinggi,
lebih dari 20.000/ml didapatkan apabila terjadinya gangren atau
apendisitis perforasi. Urinalisis dapat dilakukan untuk menyingkirkan
diagnosis banding pyelonephritis atau nephrolithiasis (Wibisono &
Jeo, 2014).
2) Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)
Ultrasonografi dapat digunakan dengan penemuan diameter
anteroposterior apendiks yang lebih besar dari 7 mm, penebalan
dindng, struktur lumen yang tidak dapat dikompresi, atau adanya
apendikolit.
3) Pemeriksaan CT-Scan
CT-scan merupakan pilihan untuk pasien pria, pasien yang
lebih tua dan ketika pasien diduga terdapat abses sekitar apendiks.
Diagnosis CT-scan pada apendisitis didasarkan pada penemuan
sebagai berikut:
a. Dilatasi apendiks hingga > 6mm.
b. Apendiks dikelilingi oleh gambaran inflamasi atau abses.
c. Abses pericecal atau massa inflamasi dengan pembentukan
apendicolith.

10. Penatalaksanaan
Bila diagnosis klinis sudah jelas, tindakan paling tepat dan
merupakan satu-satunya pilihan yang baik adalah apendektomi. Menurut
Wibisono dan Jeo (2013), ada hal-hal yang perlu diperhatikan:
1) Preoperatif

13
Observasi ketat, tirah baring dan puasa. Pemeriksaan abdomen
dan rektal serta pemeriksaan darah dapat diulang secara periodik. Foto
abdomen dan toraks dapat dilakukan untuk mencari penyulit lain.
Antibiotik intravena spektrum luas dan analgesik dapat diberikan. Pada
apendisitis perforasi perlu diberikan resusitasi cairan sebelum operasi.

2) Intraopeartif
a. Apendektomi terbuka dilakukan dengan insisi transversal pada
kuadran kanan bawah (Davis-Rockey) atau insisi oblik (McArthur-
McBurney). Pada diagnosis yang belum jelas dapat dilakukan
subumbilikal pada garis tengah.
b. Laparoskopi apendektomi, teknik operasi dengan luka dan
kemungkinan infeksi lebih kecil.
3) Postoperatif
Perlu dilakukan observasi tanda vital untuk mengantisipasi
adanya perdarahan dalam, syok, hipertermi atau gangguan pernapasan.
Pasien dibaringkan dalam posisi Fowler dan selama 12 jam dipuasakan
terlebih dahulu. Pada operasi dengan perforasi atau peritonitis umum,
puasa dilakukan hingga fungsi usus kembali normal. Secara bertahap
pasien diberi minum, makanan saring, makanan lunak dan makanan
biasa.

11. Komplikasi
Komplikasi yang paling membahayakan adalah perforasi, baik
berupa perforasi bebas maupun perforasi pada apendiks yang mengalami
pendindingan sehingga berupa massa yang terdiri atas kumpulan apendiks,
sekum, dan lekuk usus halus.
1) Massa apendikular
Massa apendiks terjadi bila apendisitis gangrenosa atau
mikroperforasi ditutupi atau di bungkus oleh omentum. Pada massa
periapendikuler dengan pembentukan dinding yang belum sempurna,
dapat terjadi penyebaran pus ke seluruh rongga peritoneum jika

14
perforasi diikuti peritonitis purulenta generalisata. Oleh karena itu,
massa periapendikuler yang masih bebas (mobile) sebaiknya segera
dioperasi untuk mencegah penyulit tersebut. Selain itu, operasinya
masih mudah. Pada anak, dipersiapkan operasi dalam waktu 2-3 hari
saja. Pasien dewasa dengan massa periapendikuler yang terpancang
dengan pendindingan yang sempurna sebaiknya dirawat terlebih
dahulu dan diberi antibiotik sambil dilakukan pemantauan terhadap
suhu tubuh, ukuran massa serta luasnya peritonitis. Bila sudah tidak
ada demam, massa periapendikuler hilang, dan leukosit normal,
penderita boleh pulang dan apendektomi dapat dikerjakan 2-3 bulan
kemudian agar pendarahan akibat perlengketan dapat ditekan sekecil
mungkin. Bila terjadi perforasi, akan terbentuk abses apendiks. Hal ini
ditandai dengan kenaikan suhu dan frekuensi nadi, bertambahnya
nyeri, dan teraba pembengkakan massa, serta bertambahnya angka
leukosit.
Apendektomi dilakukan pada infiltrat periapendikuler tanpa
pus yang telah ditenangkan. Sebelumnya, pasien diberi antibiotik
kombinasi yang aktif terhadap kuman aerob dan anaerob. Baru setelah
keadaan tenang, yaitu sekitar 6-8 minggu kemudian, dilakukan
apendektomi. Pada anak kecil, wanita hamil, dan penderita usia lanjut,
jika secara konservatif tidak membaik atau berkembang menjadi abses,
dianjurkan operasi secepatnya. Bila sudah terjadi abses, dianjurkan
drainase saja. Apendektomi dikerjakan setelah 6-8 minngu kemudian.
Jika pada saat dilakukan drainase bedah, apendiks mudah diangkat,
dianjurkan sekaligus dilakukan apendektomi (Sjamsuhidajat, 2010).
2) Apendisitis perforata
Adanya fekalit didalam lumen, penderita pada usia anak-anak
maupun orangtua, dan keterlambatan diagnosis, merupakan faktor
yang berperanan dalam terjadinya perforasi apendiks. Insidensi
perforasi pada penderita di atas usia 60 tahun dilaporkan sekitar 60%.
Faktor yang mempengaruhi tingginya insidensi perforasi pada orang
tua adalah gejalanya yang samar, keterlambatan berobat, adanya

15
perubahan anatomi apendiks berupa penyempitan lumen, dan
arteriosklerosis. Insidensi tinggi pada anak disebabkan oleh dinding
apendiks yang masih tipis, anak kurang komunikatif sehingga
memperpanjang waktu diagnosis, dan proses pendindingan kurang
sempurna akibat perforasi yang berlangsung cepat dan omentum anak
belum berkembang.
Perforasi apendiks akan mengakibatkan peritonitis purulenta
yang ditandai dengan demam tinggi, nyeri makin hebat yang meliputi
seluruh perut, perut menjadi distensi (tegang dan kembung). Nyeri
tekan dan defans muskuler terjadi di seluruh perut, mungkin disertai
dengan pungtum maksimun di regio iliaka kanan, peristalsik usus
dapat menurun sampai menghilang akibat adanya ileus paralitik. Abses
rongga peritoneum dapat terjadi bila pus yang menyebar terlokalisasi
di suatu tempat, paling sering di rongga pelvis dan subdiafragma.
Adanya massa intraabdomen yang nyeri disertai demam harus
dicurigai sebagai abses. Ultrasonografi dapat membantu mendeteksi
adanya abses.
Perbaikan keadaan umum dengan infus, pemberian antibiotik
untuk kuman Gram negatif dan positif serta kuman anaerob, dan
pemasangan pipa nasogastrik perlu dilakukan sebelum pembedahan.
Perlu dilakukan laparatomi dengan insisi yang panjang, supaya dapat
dilakukan pencucian ronga peritoneum dari pus maupun pengeluaran
fibrin yang adekuat secara mudah serta pembersihan abses. Akhir-
akhir ini mulai banyak dilaporkan pengelolaan apendisitis perforasi
secara laparoskopi apendektomi. Pada prosedur ini, rongga abdomen
dapat dibilas dengan mudah. Hasilnya dilaporkan tidak berbeda jauh
dibandingkan dengan laparatomi terbuka, tetapi keuntungannya adalah
lama rawat lebih pendek dan secara kosmetik lebih baik
(Sjamsuhidajat, 2010).

12. Prognosis

16
Tingkat mortalitas dan morbiditas sangat kecil dengan diagnosis
yang akurat serta pembedahan. Tingkat mortalitas keseluruhan berkisar
antara 0,2-0,8% dan disebabkan oleh komplikasi penyakit dan pada
intervensi bedah. Pada anak, angka ini berkisar antara 0,1-1%, sedangkan
pada pasien diatas 70 tahun angka ini meningkat di atas 20% terutama
karena keterlambatan diagnosis dan terapi (Wibisono & Jeo, 2014).

B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN


1. Pengkajian
Pengkajian adalah pemikiran dasar yang bertujuan untuk
mengumpulkan informasi atau data tentang pasien, agar dapat
mengidentifikasi, mengenal masalah-masalah kebutuhan kesehatan dan
keperawatan pasien, baik fisik, mental, sosial dan lingkungan. Pengkajian
yang dilakukan pada pasien dengan Apendisitis meliputi:
a. Pre-operatif
Pengkajian keperawatan pasien apendisitis meliputi anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pengkajian diagnostik. Pada anamnesis,
keluhan utama yang paling sering ditemukan adalah nyeri pada
abdomen kanan bawah atau luka post operasi. Pengkajian nyeri dengan
pendekatan PQRST dapat membantu perawat dalam menentukan
rencana intervensi yang sesuai. Perbedaan kualitas dan skala nyeri
yang bertambah berat menandakan adanya proses inflamasi lokal yang
berat atau kemungkinan adanya kondisi perforasi apendiks. hal-hal
yang perlu dikaji pada pasien pre-operasi apendektomi menurut
Haryono (2012), yaitu:
a) Aktivitas dan istirahat
Gejala: Malaise.
b) Sirkulasi
Tanda: Takikardia.

17
c) Eliminasi
Gejala: Konstipasi pada awitan awal.
Diare (kadang-kadang).
Tanda: Distensi abdomen, nyeri tekan/nyeri lepas, kekakuan,
penurunan atau tidak ada bising usus.
d) Makanan dan cairan
Gejala: Mual/muntah.
Anoreksia.
e) Nyeri dan kenyamanan
Gejala: Nyeri abdomen sekitar epigastrium atau umbilikus, yang
meningkat berat dan terlokalisasi pada titik Mc. Burney
(setengah jarak antara umbilikus dan tulang ileum kanan),
meningkat karena berjalan, bersin, batuk, atau napas dalam
(nyeri berhenti tiba-tiba diduga perforasi atau infark pada
apendiks), keluhan berbagai rasa nyeri atau gejala tidak
jelas (sehubungan dengan lokasi apendiks, contoh
retrosekal atau sebelah ureter).
Tanda: Perilaku berhati-hati, berbaring ke samping atau telentang
dengan lutut ditekuk, meningkatnya nyeri pada kuadran
kanan bawah karena posisi ekstensi kaki kanan atau posisi
duduk tegak, nyeri lepas pada sisi kiri diduga inflamasi
peritoneal.
f) Keamanan
Tanda: Demam (biasanya rendah).
g) Pernapasan
Tanda: Takipneu, pernapasan dangkal.
b. Post-operatif
Hal-hal yang perlu dikaji pada pasien post-operasi apendektomi
menurut Haryono (2012), yaitu:
a) Pernapasan
Agen anestesi tertentu dapat menyebabkan depresi
pernapasan. Waspadai pernapasan dangkal, lambat, dan batuk

18
lemah. Kaji patensi jalan napas, irama, kedalaman ventilasi, simetri
gerakan dinding dada, suara napas, dan warna mukosa.
b) Sirkulasi
Pasien berisiko mengalami komplikasi kardiovaskular yang
disebabkan oleh hilangnya darah aktual atau potensial dari tempat
pembedahan, efek samping anestesi, ketidakseimbangan elektrolit,
dan depresi mekanisme yang mengatur sirkulasi normal. Masalah
umum awal sirkulasi adalah perdarahan. Kehilangan darah dapat
terjadi secara eksternal melalui saluran atau sayatan internal.
Kedua tipe ini menghasilkan perdarahan dan penurunan tekanan
darah, jantung, dan laju pernapasan meningkat, nadi terdengar
lemah, kulit dingin, lembab, pucat, dan gelisah.
c) Kontrol suhu
d) Keseimbangan cairan dan elektrolit
Kaji status hidrasi dan pantau fungsi jatung dan saraf untuk
tanda-tanda perubahan elektrolit. Monitor dan bandingkan nilai-
nilai laboratorium dengan nilai-nilai dasar dari penderita. Catatan
yang akurat dari asupan dan keluaran dapat menilai fungsi ginjal
dan peredaran darah. Ukur semua sumber keluaran, termasuk
urine, keluaran dari pembedahan, drainase luka dan perhatikan
setiap keluaran yang tidak terlihat dari diaforesis.
e) Integritas kulit dan kondisi luka
Perhatikan jumlah, warna, bau dan konsistensi drainase
diperban. Pada penggantian perban pertama kalinya perlu dikaji
area insisi, jika tepi luka berdekatan untuk perdarahan atau
drainase.
f) Fungsi perkemihan
Anestesi epidural atau spinal sering mencegah penderita
dari sensasi kandung kemih yang penuh. Raba perut bagian bawah
tepat di atas simfisis pubis untuk mengkaji distensi kandung kemih.
Jika penderita terpasang kateter urin, harus ada aliran urine terus
menerus sebanyak 30-50 ml/jam pada orang dewasa.

19
g) Fungsi gastrointestinal
Inspeksi abdomen untuk memeriksa perut kembung akibat
akumulasi gas. Kaji kembalinya peristaltik setiap 4 sampai 8 jam.
Auskultasi perut secara rutin untuk mendeteksi suara usus kembali
normal, 5-30 bunyi keras per menit pada masing-masing kuadran
menunjukkan gerak peristaltik yang telah kembali.
h) Kenyamanan
Pasien merasakan nyeri sebelum mendapatkan kembali
kesadaran penuh. Kaji nyeri penderita dengan skala nyeri.

2. Diagnosis Keperawatan yang Mungkin Muncul


Diagnosis keperawatan yang mungkin muncul pada kasus
Apendisitis berdasarkan Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (Tim
Pokja SDKI DPP PPNI, 2016), antara lain:
a. Pre-operatif
1) Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis
(inflamasi).
2) Risiko hipovolemia dibuktikan dengan kehilangan cairan secara
aktif.
3) Risiko defisit nutrisi dibuktikan dengan ketidakmampuan menelan
makanan.
4) Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit (infeksi).
5) Ansietas berhubungan dengan kurang terpapar informasi.
b. Post-operatif
1) Gangguan integritas kulit berhubungan dengan faktor mekanis
(luka insisi).
2) Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (prosedur
operasi).
3) Risiko infeksi berhubungan dengan kerusakan integritas kulit.

20
3. Rencana Tindakan dan Rasionalisasi
Rencana tindakan pada kasus Apendisitis berdasarkan Standar Luaran Keperawatan Indonesia (Tim Pokja SLKI DPP PPNI,
2018) dan Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018), antara lain:
a. Pre-operatif
Rencana Perawatan
Diagnosa
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional
Nyeri akut berhubungan dengan Setelah dilakukan asuhan 1. Monitor tanda-tanda vital 1. Peningkatan tanda-tanda
agen pencedera fisiologis keperawatan selama … x 24 pasien. vital dapat menjadi acuan
(inflamasi) jam, tingkat nyeri pasien 2. Identifikasi lokasi, adanya peningkatan
menurun dengan kriteria hasil: karakteristik, durasi, intensitas nyeri.
a. Keluhan nyeri menurun. frekuensi, kualitas, intensitas 2. Nyeri merupakan
b. Meringis menurun. nyeri. pengalaman subyektif dan
c. Pola napas membaik. 3. Identifikasi respon nyeri harus dijelaskan oleh
d. Diaforesis menurun. nonverbal. pasien. Identifikasi
e. Frekuensi nadi berada 4. Identifikasi faktor yang karakteristik nyeri dan
dalam rentang normal yaitu memperberat dan faktor yang berhubungan
60 – 100 kali permenit. memperingan nyeri. merupakan suatu hal yang
f. Frekuensi pernapasan 5. Berikan lingkungan yang amat penting untuk
berada dalam rentang tenang. memilih intervensi yang

21
normal yaitu 12-20 kali 6. Berikan pasien posisi yang cocok dan untuk
permenit. menyenangkan. mengevaluasi keefektifan
g. Tekanan darah berada 7. Ajarkan teknik napas dalam. dari terapi yang diberikan.
dalam rentang normal yaitu 8. Jelaskan penyebab, periode 3. Respon nonverbal seperti
100-139/60-99 mmHg. dan pemicu nyeri. meringis atau gelisah
9. Kolaborasi pemberian menunjukkan
analgetik sesuai indikasi. ketidaknyamanan yang
dirasakan oleh pasien.
4. Membantu mengurangi
nyeri dan mencegah nyeri
bertambah parah.
5. Lingkungan yang tenang
dapat membantu pasien
untuk rileks sehingga
pasien dapat beristirahat
dengan efektif.
6. Membantu meningkatkan
kenyamanan mengurangi
nyeri.

22
7. Napas dalam dapat
merilekskan pasien
sehingga membantu
mengurangi nyeri yang
dirasakan.
8. Memberikan informasi
kepada pasien mengenai
penyebab, periode dan
pemicu nyeri.
9. Analgetik dapat memblok
rangsang nyeri sehingga
nyeri tidak dipersepsikan.
Hipertermia berhubungan Setelah dilakukan asuhan 1. Monitor suhu sesering 1. Peningkatan suhu dapat
dengan proses penyakit keperawatan selama … x 24 mungkin. mengindikasikan adanya
(infeksi) jam, diharapkan termoregulasi 2. Monitor tekanan darah, nadi, proses penyakit infeksi
pasien membaik dengan dan RR. akut.
kriteria hasil: 3. Monitor IWL. 2. Peningkatan denyut nadi,
a. Keluhan panas menurun. 4. Monitor warna dan suhu dan penurunan tekanan
b. Kulit merah menurun. kulit. darah dapat

23
c. Suhu kulit membaik. 5. Berikan kompres hangat mengindikasikan
d. Suhu tubuh berada dalam pada bagian aksila dan terjadinya hipovolemia,
rentang normal yaitu 36,5- lipatan paha. yang mengarah pada
37,5oC. 6. Anjurkan banyak minum. penurunan perfusi
e. Frekuensi nadi berada 7. Anjurkan banyak istirahat. jaringan.
dalam rentang normal yaitu 8. Anjurkan menggunakan 3. IWL meningkat 10%
60 – 100 kali permenit. pakaian yang tipis. setiap terjadi peningkatan
f. Frekuensi pernapasan 9. Kolaborasi dalam pemberian suhu tubuh sebanyak 1oC.
berada dalam rentang cairan intravena. 4. Menjaga suhu dan
normal yaitu 12-20 kali 10. Kolaborasi dalam pemberian menghindari panas yang
permenit. antipiretik. berkaitan dengan
g. Tekanan darah berada 11. Kolaborasi dalam pemberian penyakit.
dalam rentang normal yaitu antibiotik. 5. Pemberian kompres
100-139/60-99 mmHg. hangat di aksila dan
lipatan paha sebagai
daerah yang dilintasi
pembuluh darah besar
merupakan upaya
memberikan rangsangan

24
pada hipotalamus agar
menurunkan suhu tubuh.
Ketika reseptor yang
sensitif suhu hangat di
hipotalamus terstimulasi,
sistem efektor tersebut
akan mengirim sinyal
yang akan memicu
produksi keringat dan
vasodilatas.
6. Mengganti cairan tubuh
yang hilang dan mencegah
dehidrasi.
7. Meminimalisir produksi
panas yang diproduksi
oleh tubuh.
8. Membantu mempermudah
penguapan panas.
9. Mengganti cairan tubuh

25
yang hilang dan mencegah
dehidrasi.
10. Antipiretik digunakan
untuk mengurangi demam
dengan aksi sentralnya
pada hipotalamus yang
merupakan pusat
pengaturan suhu tubuh.
11. Antibiotik digunakan
untuk mengatasi dan
mencegah infeksi bakteri.

Risiko hipovolemia dibuktikan Setelah dilakukan asuhan 1. Monitor tanda-tanda vital. 1. Peningkatan denyut nadi
dengan kehilangan cairan secara keperawatan selama … x 24 2. Monitor status hidrasi (mis. dan penurunan tekanan
aktif jam, diharapkan status cairan frekuensi nadi, kekuatan darah dapat
pasien menurun dengan nadi, akral, pengisian kapiler, mengindikasikan
kriteria hasil: kelembapan mukosa, turgor terjadinya hipovolemia,
a. Intake cairan membaik. kulit, tekanan darah). yang mengarah pada
b. Membran mukosa 3. Monitor intake dan output penurunan perfusi

26
membaik. cairan. jaringan.
c. Kekuatan nadi meningkat. 4. Anjurkan meningkatkan 2. Mengetahui status hidrasi
d. Turgor kulit meningkat. asupan cairan oral. pasien sehingga dapat
e. Output urine meningkat. 5. Kolaborasi dalam pemberian dijadikan acuan dalam
f. Frekuensi nadi berada cairan intravena. menentukan intervensi
dalam rentang normal yaitu selanjutnya.
60 – 100 kali permenit. 3. Membantu dalam
g. Tekanan darah berada menganalisis
dalam rentang normal yaitu keseimbangan cairan dan
100-139/60-99 mmHg. derajat kekurangan cairan.
4. Mengganti cairan tubuh
yang hilang dan mencegah
dehidrasi.
5. Mengganti cairan tubuh
yang hilang dan mencegah
dehidrasi.
Risiko defisit nutrisi dibuktikan Setelah dilakukan asuhan 1. Identifikasi status nutrisi. 1. Mengetahui status nutrisi
dengan ketidakmampuan keperawatan selama … x 24 2. Identifikasi alergi dan pasien sehingga dapat
menelan makanan jam, diharapkan status nutrisi intoleransi makanan. dijadikan acuan dalam

27
pasien membaik dengan 3. Monitor berat badan. menentukan intervensi
kriteria hasil: 4. Lakukan oral hygiene selanjutnya.
a. Porsi makanan yang sebelum makan, jika perlu. 2. Menghindari terjadinya
dihabiskan meningkat. 5. Sajikan makanan secara reaksi alergi karena
b. Nafsu makan membaik. menarik dan suhu yang makanan.
c. Frekuensi makan membaik. sesuai. 3. Penurunan berat badan
d. Membran mukosa 6. Anjurkan untuk makan mengindikasikan
membaik. sedikit tapi sering. terjadinya kekurangan
e. Bising usus membaik. 7. Kolaborasi dengan ahli gizi nutrisi.
f. Berat badan membaik. untuk menentukan jumlah 4. Mulut yang bersih dapat
g. Indeks Masa Tubuh (IMT) kalori dan jenis nutrien yang membantu meningkatkan
membaik. dibutuhkan, jika perlu. nafsu makan.
5. Membantu menggugah
selera makan dan
meningkatkan nafsu
makan.
6. Membantu memenuhi
kebutuhan nutrisi dan
mencegah mual muntah.

28
7. Menentukan jumlah kalori
dan jenis nutrien yang
tepat untuk pasien.

Ansietas berhubungan dengan Setelah dilakukan asuhan 1. Monitor tanda-tanda vital. 1. Peningkatan tanda-tanda
kurang terpapar informasi. keperawatan selama … x 24 2. Monitor tanda-tanda ansietas vital dapat
jam, diharapkan tingkat (verbal dan nonverbal). mengindikasikan
ansietas pasien menurun 3. Berikan lingkungan yang terjadinya peningkatan
dengan kriteria hasil: nyaman. ansietas.
a. Verbalisasi kebingunan 4. Libatkan keluarga dalam 2. Mengetahui sejauhmana
menurun. proses keperawatan. tingkat ansietas pasien
b. Verbalisasi khawatir akibat 5. Berikan support sistem sehingga dapat dijadikan
kondisi yang dihadapi (perawat, keluarga atau acuan dalam menentukan
menurun. teman dekat dan pendekatan intervensi selanjutnya.
c. Perilaku gelisah menurun. spiritual). 3. Menurunkan stimulasi
d. Perilaku tegang menurun. 6. Informasikan secara faktual yang berlebihan dan dapat
e. Diaforesis menurun. mengenai diagnosis, membantu mengurangi
f. Pucat menurun. pengobatan, dan prognosis. kecemasan.
4. Peran serta keluarga

29
g. Konsentrasi membaik. sangat membantu dalam
h. Frekuensi nadi berada menentukan koping.
dalam rentang normal yaitu 5. Dukungan dari beberapa
60 – 100 kali permenit. orang yang memiliki
i. Tekanan darah berada pengalaman yang sama
dalam rentang normal yaitu akan sangat membantu
100-139/60-99 mmHg. pasien.
6. Memberikan informasi
secara faktual mengenai
diagnosis, pengobatan,
dan prognosis sehingga
dapat membantu
mengurangi kecemasan
yang dirasakan oleh
pasien.

30
b. Post-operatif
Rencana Perawatan
Diagnosa
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional
Gangguan integritas kulit Setelah dilakukan asuhan 1. Monitor karakteristik luka, 1. Mengetahui
berhubungan dengan faktor keperawatan selama … x 24 termasuk drainase, warna, perkembangan
mekanis (luka insisi) jam, diharapkan integritas kulit ukuran, dan bau. karakteristik dari luka.
pasien meningkat dengan 2. Pertahankan teknik steril 2. Mencegah kontaminasi
kriteria hasil: ketika melakukan perawatan mikroorganisme yang
a. Hidrasi meningkat. luka. dapat menyebabkan
b. Perfusi jaringan meningkat. 3. Bersihkan luka dengan Nacl infeksi.
c. Kerusakan jaringan atau pembersih nontoksik, 3. Agar tidak terjadi reaksi
menurun. sesuai kebutuhan. inflamasi akibat dari
d. Kerusakan lapisan kulit 4. Berikan balutan yang sesuai cairan pembersih luka.
menurun. dengan jenis luka. 4. Melindungi luka.
e. Nyeri menurun. 5. Ganti balutan sesuai jumlah 5. Menjaga kebersihan luka
f. Perdarahan menurun. eksudat dan drainase. dan mencegah terjadinya
6. Bandingkan dan catat setiap infeksi karena balutan
perubahan luka. yang lama terpasang.
7. Jadwalkan perubahan posisi 6. Mengetahui adanya

31
setiap 2 jam atau sesuai perubahan pada kondisi
kondisi pasien. luka.
8. Ajarkan pasien atau keluarga 7. Melancarkan sirkulasi
pada prosedur perawatan sehingga membantu
luka. mempercepat proses
9. Ajarkan pasien dan keluarga penyembuhan luka.
untuk mengenal tanda dan 8. Agar pasien atau keluarga
gejala infeksi. mampu melakukan
10. Anjurkan mengonsumsi perawatan luka secara
makanan tinggi kalori dan mandiri.
protein. 9. Agar keluarga dapat
melaporkan apabila terjadi
infeksi atau mencegah
kemungkinan terjadinya
infeksi.
10. Protein dapat membantu
mempercepat proses
penyembuhan luka.

32
Nyeri akut berhubungan dengan Setelah dilakukan asuhan 1. Monitor tanda-tanda vital 1. Peningkatan tanda-tanda
agen pencedera fisik (prosedur keperawatan selama … x 24 pasien. vital dapat menjadi acuan
operasi) jam, tingkat nyeri pasien 2. Identifikasi lokasi, adanya peningkatan
menurun dengan kriteria hasil: karakteristik, durasi, intensitas nyeri.
a. Keluhan nyeri menurun. frekuensi, kualitas, intensitas 2. Nyeri merupakan
b. Meringis menurun. nyeri. pengalaman subyektif dan
c. Pola napas membaik. 3. Identifikasi respons nyeri harus dijelaskan oleh
d. Tekanan darah membaik. nonverbal. pasien. Identifikasi
e. Diaforesis menurun. 4. Identifikasi faktor yang karakteristik nyeri dan
memperberat dan faktor yang berhubungan
memperingan nyeri. merupakan suatu hal yang
5. Berikan lingkungan yang amat penting untuk
tenang. memilih intervensi yang
6. Berikan pasien posisi yang cocok dan untuk
menyenangkan. mengevaluasi keefektifan
7. Jelaskan penyebab, periode dari terapi yang diberikan.
dan pemicu nyeri. 3. Respon nonverbal seperti
8. Kolaborasi pemberian meringis atau gelisah
analgetik sesuai indikasi. menunjukkan

33
ketidaknyamanan yang
dirasakan oleh pasien.
4. Membantu mengurangi
nyeri dan mencegah nyeri
bertambah parah.
5. Lingkungan yang tenang
dapat membantu pasien
untuk rileks sehingga
pasien dapat beristirahat
dengan efektif.
6. Membantu meningkatkan
kenyamanan mengurangi
nyeri.
7. Napas dalam dapat
merilekskan pasien
sehingga membantu
mengurangi nyeri yang
dirasakan.
8. Memberikan informasi

34
kepada pasien mengenai
penyebab, periode dan
pemicu nyeri.
9. Analgetik dapat memblok
rangsang nyeri sehingga
nyeri tidak dipersepsikan.
Risiko infeksi berhubungan Setelah dilakukan asuhan 1. Monitor tanda-tanda vital. 1. Mengetahui
dengan kerusakan integritas keperawatan selama … x 24 2. Monitor tanda-tanda infeksi. perkembangan kondisi
kulit jam, diharapkan tingkat infeksi 3. Pertahankan teknik aseptik pasien, karena perubahan
menurun dengan kriteria hasil: pada prosedur invasif. TTV (terutama suhu)
a. Kebersihan badan 4. Anjurkan pasien untuk selalu menandakan adanya
meningkat. menjaga kebersihan. masalah sistemik yang
b. Demam menurun. 5. Anjurkan pasien untuk diakibatkan adanya proses
c. Nyeri menurun. meningkatkan asupan nutrisi. inflamasi.
d. Drainase purulen menurun. 6. Kolaborasi dalam pemberian 2. Mengetahui tanda-tanda
e. Kadar sel darah putih antibiotik. infeksi sehingga dapat
membaik. dijadikan acuan dalam
f. Kultur area luka membaik. menentukan intervensi
selanjutnya.

35
3. Mencegah kontaminasi
mikroorganisme.
4. Mencegah terjadinya
infeksi.
5. Nutrisi yang baik dapat
membantu meningkatkan
sistem kekebalan tubuh.
6. Antibiotik digunakan
untuk mengatasi dan
mencegah infeksi bakteri.

36
4. Evaluasi
Evaluasi dalam pelaksanaan asuhan keperawatan dinilai
berdasarkan kriteria hasil yang telah ditetapkan pada perencanaan. Adapun
hasil yang diharapkan dari masing-masing diagnosa, antara lain:
a. Pre-operatif
1) Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis
(inflamasi).
a. Keluhan nyeri menurun.
b. Meringis menurun.
c. Pola napas membaik.
d. Diaforesis menurun.
e. Frekuensi nadi berada dalam rentang normal yaitu 60 – 100
kali permenit.
f. Frekuensi pernapasan berada dalam rentang normal yaitu 12-20
kali permenit.
g. Tekanan darah berada dalam rentang normal yaitu 100-139/60-
99 mmHg.
2) Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit (infeksi).
a. Keluhan panas menurun.
b. Kulit merah menurun.
c. Suhu kulit membaik.
d. Suhu tubuh berada dalam rentang normal yaitu 36,5-37,5oC.
e. Frekuensi nadi berada dalam rentang normal yaitu 60 – 100
kali permenit.
f. Frekuensi pernapasan berada dalam rentang normal yaitu 12-20
kali permenit.
g. Tekanan darah berada dalam rentang normal yaitu 100-139/60-
99 mmHg.
3) Risiko hipovolemia dibuktikan dengan kehilangan cairan secara
aktif.
a. Intake cairan membaik.
b. Membran mukosa membaik.

37
c. Kekuatan nadi meningkat.
d. Turgor kulit meningkat.
e. Output urine meningkat.
f. Frekuensi nadi berada dalam rentang normal yaitu 60 – 100
kali permenit.
g. Tekanan darah berada dalam rentang normal yaitu 100-139/60-
99 mmHg.
4) Risiko defisit nutrisi dibuktikan dengan ketidakmampuan menelan
makanan.
a. Porsi makanan yang dihabiskan meningkat.
b. Nafsu makan membaik.
c. Frekuensi makan membaik.
d. Membran mukosa membaik.
e. Bising usus membaik.
f. Berat badan membaik.
g. Indeks Masa Tubuh (IMT) membaik.
5) Ansietas berhubungan dengan kurang terpapar informasi.
a. Verbalisasi kebingunan menurun.
b. Verbalisasi khawatir akibat kondisi yang dihadapi menurun.
c. Perilaku gelisah menurun.
d. Perilaku tegang menurun.
e. Diaforesis menurun.
f. Pucat menurun.
g. Konsentrasi membaik.
h. Frekuensi nadi berada dalam rentang normal yaitu 60 – 100
kali permenit.
i. Tekanan darah berada dalam rentang normal yaitu 100-139/60-
99 mmHg.
b. Post-operatif
1) Gangguan integritas kulit berhubungan dengan faktor mekanis
(luka insisi).
a. Hidrasi meningkat.

38
b. Perfusi jaringan meningkat.
c. Kerusakan jaringan menurun.
d. Kerusakan lapisan kulit menurun.
e. Nyeri menurun.
f. Perdarahan menurun.
2) Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (prosedur
operasi).
a. Keluhan nyeri menurun.
b. Meringis menurun.
c. Pola napas membaik.
d. Diaforesis menurun.
e. Frekuensi nadi berada dalam rentang normal yaitu 60 – 100
kali permenit.
f. Frekuensi pernapasan berada dalam rentang normal yaitu 12-20
kali permenit.
g. Tekanan darah berada dalam rentang normal yaitu 100-139/60-
99 mmHg.
3) Risiko infeksi berhubungan dengan kerusakan integritas kulit.
a. Kebersihan badan meningkat.
b. Demam menurun.
c. Nyeri menurun.
d. Drainase purulen menurun.
e. Kadar sel darah putih membaik.
f. Kultur area luka membaik.

39
DAFTAR PUSTAKA

Ajidah, & Haskas, Y. (2015). Pengaruh Mobilisasi Dini Terhadap Peristaltik Usus
pada Pasien Pasca Operasi Laparatomi di Ruang Rawat Inap RSUP dr.
Wahidin Sudirohusodo Makasar. Jurnal Kesehatan STIKes Nani
Hasanuddin Makasar, 3(6).
Berger, D. (2010). Schawrtz Principle of Surgery: The appendix (9 ed.). United
States of America: The Mc Graw-Hill Companies.
Caroline, & Kowalski, I. (2017). Asuhan Keperawatan Pasien Dengan Gangguan
Sistem Pencernaan. Yogyakarta: Pustaka Baru Press.
Corwin. (2011). Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2013). Profil Kesehatan Indonesia.
Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Haryono, R. (2012). Keperawatan Medikal Bedah Sistem Pencernaan.
Yogyakarta: Gosyen Publishing.
Mansjoer, A. (2010). Kapita Selekta Kedokteran (4 ed.). Jakarta: Media
Aesculapius.
Muttaqin, A., & Sari, K. (2013). Gangguan Gastrointestinal: Aplikasi Asuhan
Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Salemba Medika.
Potter, & Perry. (2010). Fundamental Of Nursing: Consep, Proses and Practice
(7 ed., Vol. 3). Jakarta: EGC.
Sjamsuhidajat. (2010). Buku Ajar Ilmu Bedah (2 ed.). Jakarta: EGC.
Smeltzer, S., & Bare, B. (2013). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner
& Suddarth (8 ed.). Jakarta: EGC.
Snell, R. (2014). Anatomi Klinik Berdasarkan Regio. Jakarta: EGC.
Suratun, & Lusianah. (2010). Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan
Sistem Gastrointestinal. Jakarta: Trans Info Media.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia:
Definisi dan Indikator Diagnostik. Jakarta: DPP PPNI.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia:
Definisi dan Tindakan Keperawatan. Jakarta: DPP PPNI.

40
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia.
Jakarta: DPP PPNI.
Wibisono, E., & Jeo, W. S. (2014). Kapita Selekta Kedokteran: Apendisitis (4
ed.). Jakarta: Media Aesculapis.
Williams, & Wilkins. (2011). Nursing: Menafsirkan Tanda-Tanda dan Gejala
Penyakit. Jakarta: PT. Indeks.

41

Anda mungkin juga menyukai