Anda di halaman 1dari 41

Akuntansi Lembaga Amil Zakat Infak dan Shodaqoh (LAZIS)/BAZNAS

Diajukan untuk Melengkapi Tugas Mata Kuliah Akuntansi Perbankan Syariah

Disusun oleh:

Kelompok 1

Haniva Fauziah Ashari 11190820000045


Sania Julidar 11190820000046
Rico Juliansyah 11190820000049
Dama Cetta Reswara 11190820000103
Diva Nurafifa Jasmine 11190820000109
Linda Afrisatul Aulia 11190820000114
M. Givary Diraga 11190820000115
Fitri Diyanti 11190820000156

Jurusan Akuntansi

Fakultas Ekonomi dan Bisnis

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2021
BAB I
PENDAHULUAN
Salah satu rukun islam yang menjadi unsur pokok bagi tegaknya syariat islam adalah
zakat. Zakat adalah rukun islam yang ketiga dan hukumnya fardhu (wajib) bagi seorang
muslim yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Lain halnya dengan infak dan shadaqah
hukumnya tidak diwajibkan kepada seorang muslim karena sifatnya sukarela. Seseorang yang
berhak membayar zakat disebut muzakki sedangkan yang berhak menerimanya disebut
mustahik. Zakat merupakan salah satu alternatif dalam meminimalisir berbagai permasalahan
ekonomi, pembangunan, pendidikan dan sosial. Tujuan utama zakat untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat khususnya untuk mengikis kesenjangan pendapatan masyarakat.
Hal ini yang ingin dicapai oleh Negara Republik Indonesia yang tertuang dalam pembukaaan
Undang-undang Dasar 1945 yaitu memajukan kesejahteraan umum (Siradj 2014). Hal ini
disampaikan (Patmawati 2006) bahwa kesenjangan mengalami penurunan dari 35,97%
menjadi 32% karena zakat.

Zakat akan memberikan kesejahteraan jika pengelolaannya dilakukan sesuai dengan


peraturan yang berlaku. Peraturan pengelolaan zakat diatur oleh pemerintah dalam Undang-
undang No 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat. Pengelolaan zakat didefinisikan
sebagai kegiatan perencanaan, pelaksanaan, dan pengorganisasian dalam pengumpulan,
pendistribusian dan pendayagunaan zakat (UU No.23, 2011). Kegiatan pengelolaan ZIS harus
dikelola secara maksimal sesuai dengan syariat islam. Menurut (Triantini 2020) menyatakan
bahwa pengelolaan zakat yang sesuai dengan syariat islam yaitu pengelolaan ZIS harus
dikelola sesuai hukum islam, di mana dalam pengelolaannya diberikan kepada waliyul amr
(pemerintah) dan pemerintah yang mempunyai kewenangan untuk melakukan pengambilan
zakat. Kegiatan tersebut tidak hanya sebagai tanggung jawab pengurus tetapi juga muzakki
dan tuhan (Hermawan dan Rini 2018).

Seiring berjalannya waktu pengelolaan ZIS mengalami peningkatan. Hal ini ditandai
dengan munculnya lembaga-lembaga amil zakat. (Sudirman 2007) menyatakan bahwa
lembaga amil yang diakui pemerintah yaitu milik pemerintah itu sendiri disebut Badan Amil
Zakat Nasional (BAZNAS), dan swasta yang disebut Lembaga Amil Zakat (LAZ). LAZ
adalah bentuk badan hukum yayasan, dan melakukan kegiatannya tidak untuk laba.
Lembaga Amil Zakat (LAZ) sudah tersebar di seluruh daerah Indonesia, terutama di
Buleleng.
Lembaga Amil Zakat yang berada di Buleleng sendiri adalah Lembaga Amil Zakat,
Infak dan shadaqah Muhammadiyah dan biasanya disingkat LAZISMU. LAZISMU
merupakan lembaga yang berkhidmat dalam pemberdayaan masyarakat melalui
pendayagunaan ZIS serta dana sosial keagamaan lainnya. LAZISMU dilatar belakangi oleh
fakta bahwa sebagian siswa-siswa yang bersekolah di Persuruan Muhammadiyah berasal
dari keluarga yang tidak mampu dan banyaknya kekurangan biaya operasional dari
pembangunan gedung sekolah. Penelitian (Abubakar 2019) menunjukkan ZIS memiliki
fungsi sosial yang kuat dalam pendayagunaan keperluan pendidikan, seperti penggadaan
gedung sekolah dan tambahan biaya operasional sekolah.

Berdirinya LAZISMU Buleleng sebagai unsur Pembantu Pimpinan Daerah


Muhammadiyah Buleleng sebagai pelaksana program dan kegiatan pendukung yang bersifat
khusus dalam bidang zakat, infak, dan shadaqah. Dalam perkembangannya yang masih baru
berdiri. Hal ini dibutuhkan pengelolaan ZIS yang dilakukan secara amanah, profesional, dan
bertanggung jawab. Sesuai dengan penelitian (Firmansyah 2013) mengatakan bahwa ZIS
yang dikelola dengan baik oleh institusi amil yang amanah dan profesional, maka
pengurangan kesenjangan dapat direalisasikan.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Overview Lembaga Zakat (struktur) di Indonesia.
Zakat secara harfiah berarti berkah, bersih, baik dan meningkat. Zakat juga
berarti pembersihan diri yang didapatkan setelah pelaksanaan kewajiban membayar
zakat. Oleh karena itu, harta benda yang di keluarkan untuk zakat akan membantu
mensucikan jiwa manusia dari sifat mementingkan diri sendiri, kikir dan cinta harta.
Menurut undang-undang Nomor 38 Tahun 1999, Lembaga Amil Zakat adalah institusi
pengelolaan zakat yang sepenuhnya dibentuk atas prakarsa masyarakat dan oleh
masyarakat yang bergerak di bidang dakwah, pendidikan, sosial, dan kemashlahatan
umat Islam.

Terdapat tiga tujuan zakat yaitu : (a) Pihak para wajib zakat (Muzakki)
tujuanya untuk mensucikan dari sifat bakhil, rakusegoistis, melatih jiwa untuk
bersikap terpuji berarti bersyukur kepada Allah SWT., (b) Pihak penerima zakat
(Mustahiq) untuk memenuhi kebutuhan hidup terutama kebutuhamn primer sehari-
hari dan mensucikan ya mereka dari rasa dengki dan kebencian yang sering
menyelimuti hati mereka melihat orang kaya, Dan (c) Dilihat dari kepentingan
kehidupan social, antara lain bahwa zakat bernilai ekonomi, merealisasi fungsi harta
sebagai perjuangan menegaskan agama Allah dan untuk mewujudkan keadilan social
ekonomi masyarakat.

Dalam Undang-Undang No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat,


dijelaskan mengenai pendayagunaan adalah :

 Hasil pengumpulan zakat didayagunakan untuk mestahiq sesuai dengan


ketentuan agama.
 Pendayagunaan hasil pengumpulan zakat berdasarkan skala prioritas
kebutuhan mustahik dan dapat dimanfaatkan untuk usaha produktif.
 Persyaratan dan prosedur pendayagunaan hasil pengumpulan zakat
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan keputusan Menteri.

Sehingga dalam pendayaguaan zakat, bahwa mencangkup aspek pengumpulan


dan pendistribusian dan secara keseluruhan aspek pengumpulan, pendistribusian juga
pendayagunaan zakat merupakan pengeloaan zakat yang dimaksud oleh Undang-
undang bab II pasal 5 No. 38 tahun 1999, yang mencantumkan salah satu tujuan zakat
yaitu, meningkatkan hasil guna dan daya guna zakat.

A. Sejarah Pengelolaan Zakat di Indonesia


 Masa Kerajaan Islam
Pengelolaan zakat pada masa kerajaan-kerajaan Islam,
kemungkinannya, memiliki spirit modern yang kuat. Zakat dimaknai sebagai
sebuah “semangat (spirit)” yang memanifestasi dalam bentuk pembayaran
pajak atas negara. Seorang cendikiawan muslim kontemporer Indonesia,
Masdar F. Mas’udi, mengatakan, “zakat pada mulanya adalah upeti
sebagaimana umumya berlaku dalam praktik ketatanegaraan zaman dulu.
Hanya saja, upeti yang secara nyata telah membuat rakyat miskin semakin
tenggelam dalam kemiskinannya, dengan spirit ‘zakat’, lembaga upeti itu
justru harus menjadi sarana yang efektif bagi pemerataan dan penyejahteraan
kaum miskin. Dengan kata lain, lembaga upeti yang semula menjadi sumber
kedhaliman, dengan spirit zakat harus ditransformasikan menjadi wahana
penciptaan keadilan.
“Zakat” sebagai konsep keagamaan, di satu pihak, dan “pajak” sebagai
konsep keduniawian, di pihak lain, bukanlah hubungan dualisme yang
dikotomis melainkan hubungan keesaan wujud yang dialektis. Zakat bukan
sesuatu yang harus dipisahkan, diparalelkan, dan apalagi dipersaingkan
dengan “pajak”, melainkan justru merupakan sesuatu yang harus disatukan
sebagaimana disatukannya roh dengan badan atau jiwa dengan raga. “Zakat”
merasuk ke dalam “pajak” sebagai ruh dan jiwanya, sedangkan “pajak”
memberi bentuk pada “zakat” sebagai badan atau raga bagi proses
pengejewantahannya. Memisahkan zakat dari pajak adalah sama halnya
dengan memisahkan spirit dari tubuhnya, memisahkan bentuk dari essensinya.
Pemaknaan zakat dan pajak yang sangat modernis semacam itu dapat
kita lihat penerapannya pada masa kerajaankerajaan Islam Nusantara. Pada
masa Kerajaan Islam Aceh, misalnya, masyarakat menyerahkan zakat-zakat
mereka kepada negara yang mewajibkan zakat/pajak kepada setiap warga
negaranya. Kerajaan berperan aktif dalam mengumpulkan pajak-pajak
tersebut, dan kerajaan membentuk sebuah badan yang ditangani oleh pejabat-
pejabat kerajaan dengan tugas sebagai penarik pajak atau zakat. Pemungutan
pajak ini dilakukan di pasar-pasar, muara-muara sungai yang dilintasi oleh
perahuperahu dagang, dan terhadap orang-orang yang berkebun, berladang,
atau orang yang menanam di hutan. Karena itulah, banyak sekali macam dan
jenis pajak yang diberlakukan pada setiap sumber penghasilan dan
penghidupan warganya.
Kantor pembayaran pajak ini pada masa kekuasaan kerajaan Aceh
berlangsung di masjid-masjid. Seorang imeum dan kadi (penghulu) ditunjuk
untuk memimpin penyelenggaraan ritual-ritual keagamaan. Penghulu
berperan besar dalam mengelola keuangan masjid yang bersumber melalui
zakat, sedekah, hibah, maupun wakaf.
Sebagaimana kerajaan Aceh, Kerajaan Banjar juga berperan aktif
dalam mengumpulkan zakat dan pajak. Pajak tersebut dikenakan pada seluruh
warga negara (warga kerajaan), baik yang pejabat, petani, pedagang, atau pun
lainnya. Jenis-jenis pajak yang berlaku pada masa itu juga bermacam-macam,
seperti pajak kepala, pajak tanah, pajak padi persepuluh, pajak pendulangan
emas dan berlian, pajak barang dagangan dan pajak bandar. Yang menarik
dicatat di sini, penarikan pajak terhadap hasil-hasil bumi dilakukan setiap
tahun sehabis musim panen, dalam bentuk uang atau hasil bumi. Semua ini
sesuai dengan praktek pembayaran zakat pertanian dalam ajaran Islam.
Pembayaran pajak di kerajaan Banjar ini diserahkan kepada badan
urusan pajak yang disebut dengan istilah Mantri Bumi. Orang-orang yang
bekerja di Mantri Bumi ini berasal dari warga kerajaan biasa namun memiliki
skill dan keahlian yang mumpuni di bidangnya, oleh karena itu mereka
diangkat menjadi pejabat kerajaan.
 Masa Kolonialisme
Ketika bangsa Indonesia sedang berjuang melawan penjajahan Barat
dahulu, zakat berperan sebagai sumber dana bagi perjuangan kemerdekaan
tersebut. Setelah mengetahui fungsi dan kegunaan zakat yang semacam itu,
Pemerintah Hindia Belanda melemahkan sumber keuangan dan dana
perjuangan rakyat dengan cara melarang semua pegawai pemerintah dan
priyayi pribumi mengeluarkan zakat harta mereka. Kebijakan Pemerintah
Hindia Belanda ini menjadi batu sandungan dan hambatan bagi
terselenggaranya pelaksanaan zakat.
Namun kemudian, pada awal abad 20, diterbitkanlah peraturan yang
tercantum dalam Ordonantie Pemerintah Hindia Belanda Nomor 6200 tanggal
28 Februari 1905. Dalam pengaturan ini Pemerintah Hindia Belanda tidak
akan lagi mencampuri urusan pengelolaan zakat, dan sepenuhnya pengelolaan
zakat diserahkan kepada umat Islam.
 Masa Awal Kemerdekaan
Setelah Indonesia memperoleh kemerdekaannya, zakat kembali
menjadi perhatian para ekonom dan ahli fiqih bersama pemerintah dalam
menyusun ekonomi Indonesia. Hal tersebut dapat kita lihat pada pasal-pasal
dalam UUD 1945 yang berkaitan dengan kebebasan menjalankan syariat
agama (pasal 29), dan pasal 34 UUD 1945 yang menegaskan bahwa fakir
miskin dan anak-anak terlantar dipelihara negara. Kata-kata fakir miskin yang
dipergunakan dalam pasal tersebut jelas menunjukkan kepada mustahiq zakat
(golongan yang berhak menerima zakat).
Pada tahun 1951 Kementerian Agama mengeluarkan Surat Edaran
Nomor: A/VII/17367, tanggal 8 Desember 1951 tentang Pelaksanaan Zakat
Fitrah. Kementerian Agama melakukan pengawasan supaya pemakaian dan
pembagian hasil pungutan zakat berlangsung menurut hukum agama.
Kementerian Agama mulai menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU)
tentang Pelaksanaan Zakat dan Rencana Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (RPPPUU) tentang Pelaksanaan Pengumpulan dan
Pembagian Zakat serta Pembentukan Baitul Mal pada tahun 1964. Sayangnya,
kedua perangkat peraturan tersebut belum sempat diajukan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) maupun kepada Presiden.
Perhatian Pemerintah terhadap lembaga zakat ini mulai meningkat
sekitar tahun 1968. Saat itu diterbitkanlah peraturan Menteri Agama Nomor 4
tentang Pembentukan Badan Amil Zakat dan Nomor 5/1968 tentang
pembentukan Baitul Mal (Balai Harta Kekayaan) di tingkat pusat, propinsi
dan kabupaten/ kotamadya. Namun pada tahun tersebut, Menteri Keuangan
menjawab putusan Menteri Agama dengan menyatakan bahwa peraturan
mengenai Zakat tidak perlu dituangkan dalam Undangundang, cukup dengan
Peraturan Menteri Agama saja. Karena ada respons demikian dari Menteri
Keuangan, maka Menteri Agama mengeluarkan Instruksi Nomor 1 Tahun
1968, yang berisi penundaan pelaksanaan Peraturan Menteri Agama Nomor 4
dan Nomor 5 Tahun 1968 di atas.

 Masa Orde Baru


Kepemimpinan Presiden Soeharto memberikan sedikit angin segar
bagi umat Islam dalam konteks penerapan zakat ini. Sesuai anjuran Presiden
dalam pidatonya saat memperingati Isra’ Mi’raj di Istana Negara tanggal 22
Oktober 1968 maka dibentuklah Badan Amil Zakat Infaq dan Shadaqah
(BAZIS) yang dipelopori oleh Pemerintah Daerah DKI Jaya. Sejak itulah,
secara beruntun badan amil zakat terbentuk di berbagai wilayah dan daerah
seperti di Kalimantan Timur (1972), Sumatra Barat (1973), Jawa Barat
(1974), Aceh (1975), Sumatra Selatan dan Lampung (1975), Kalimantan
Selatan (1977), dan Sulawesi Selatan dan Nusa tenggara Barat (1985).
Perkembangan zakat pada masa Orde Baru ini tidak sama di setiap
daerahnya. Sebagian masih pada tahapan konsep atau baru ada di tingkat
kabupaten seperti Jawa Timur. Atau ada pula yang hanya dilakukan oleh
Kanwil Agama setempat. Karena itulah, mekanisme penarikan dana oleh
lembaga zakat ini bervariasi. Di Jawa Barat hanya terjadi pengumpulan zakat
fitrah saja. Di DKI Jaya terjadi pengumpulan zakat, ditambah dengan infaq
dan shadaqah. Dan di tempat-tempat lain masih meniru pola pada masa awal
penyebaran Islam, yakni menarik semua jenis harta yang wajib dizakati.
Pada tahun 1984 dikeluarkan Instruksi Menteri Agama Nomor 2 tahun
1984 tanggal 3 Maret 1984 tentang Infaq Seribu Rupiah selama bulan
Ramadhan yang pelaksanaannya diatur dalam Keputusan Direktur Jendral
Bimas Islam dan Urusan Haji Nomor 19/1984 tanggal 30 April 1984. Pada
tanggal 12 Desember 1989 dikeluarkan Instruksi Menteri Agama 16/1989
tentang Pembinaan Zakat, Infaq, dan Shadaqah yang menugaskan semua
jajaran Departemen Agama untuk membantu lembaga-lembaga keagamaan
yang mengadakan pengelolaan zakat, infaq, dan shadaqah agar menggunakan
dana zakat untuk kegiatan pendidikan Islam dan lainnya. Pada tahun 1991
dikeluarkan Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri
Nomor 29 dan 47 tahun 1991 tentang Pembinaan Badan Amil Zakat, Infaq,
dan Shadaqah yang kemudian ditindaklanjuti dengan Instruksi Menteri
Agama Nomor 5 tahun 1991 tentang Pedoman Pembinaan Teknis Badan
Amil Zakat, Infaq, dan Shadaqah dan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor
7 tahun 1988 tentang Pembinaan Umum Badan Amil Zakat, Infaq, dan
Shadaqah.
 Masa Reformasi
Terbentuknya Kabinet Reformasi memberikan peluang baru kepada
umat Islam, yakni kesempatan emas untuk kembali menggulirkan wacana
RUU Pengelolaan Zakat yang sudah 50 tahun lebih diperjuangkan. Komisi
VII DPR-RI yang bertugas membahas RUU tersebut. Penggodokan RUU
memakan waktu yang sangat panjang, hal itu disebabkan perbedaan visi dan
misi antara pemerintah dan anggota DPR. Satu pihak menyetujui apabila
persoalan zakat diatur berdasarkan undang-undang. Sementara pihak lain
tidak menyetujui dan lebih mendorong supaya pengaturan zakat diserahkan
kepada masyarakat.
Pada tahun 1999 Undang-undang Nomor 38 tahun 1999 tentang
Pengelolaan Zakat dikeluarkan oleh pemerintah. Pemerintah bersama Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) berusaha memajukan kesejahteraan sosial dan
perekonomian bangsa dengan menerbitkan Undang-ndang Nomor 38 tahun
1999 tentang Pengelolaan Zakat. Kemudian dikeluarkan pula Keputusan
Menteri Agama nomor 581 tahun 1999 tentang Pelaksanaan Undang-undang
Nomor 38 tahun 1999 dan Keputusan Direktur Jendral Bimas Islam dan
Urusan Haji Nomor D-291 tahun 2000 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan
Zakat.
Semua undang-undang yang diterbitkan di atas bertujuan untuk
menyempurnakan sistem pengelolaan zakat. Seperti pada masa
prakemerdekaan zakat sebagai sumber dana perjuangan, maka pada era
reformasi ini zakat diharapkan mampu mengangkat keterpurukan ekonomi
bangsa akibat resesi ekonomi dunia dan krisis multidimensi yang datang
melanda. Bahkan sebagian pihak menilai bahwa terbentuknya undang-undang
pengelolaan zakat di Indonesia merupakan catatan yang patut dikenang oleh
umat Islam selama periode Presiden B.J. Habibie.
 Pengelolaan Zakat dalam Undang-Undang No. 38 Tahun 1999
Pelaksanaan zakat yang telah berlangsung selama ini di Indonesia
dirasakan belum terarah. Hal ini mendorong umat Islam melaksanakan
pemungutan zakat dengan sebaik-baiknya. Berbagai usaha telah dilakukan
untuk mewujudkannya, baik oleh badan-badan resmi seperti Departemen
Agama, Pemerintah Daerah, maupun oleh para pemimpin Islam dan
organisasiorganisasi Islam swasta.
Pengelolaan zakat yang bersifat nasional semakin intensif setelah
diterbitkannya Undang-undang No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.
Undang-undang inilah yang menjadi landasan legal formal pelaksanaan zakat
di Indonesia. Sebagai konsekuensinya, pemerintah (mulai dari pusat sampai
daerah) wajib memfasilitasi terbentuknya lembaga pengelola zakat, yakni
Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) untuk tingkat pusat, dan Badan Amil
Zakat Daerah (BAZDA) untuk tingkat daerah. BAZNAS ini dibentuk
berdasarkan Kepres No. 8/2001 tanggal 17 Januari 2001.
Secara garis besar undang-undang zakat di atas memuat aturan tentang
pengelolaan dana zakat yang terorganisir dengan baik, transparan dan
profesional, serta dilakukan oleh amil resmi yang ditunjuk oleh pemerintah.
Secara periodik akan dikeluarkan jurnal, sedangkan pengawasannya akan
dilakukan oleh ulama, tokoh masyarakat dan pemerintah. Apabila terjadi
kelalaian dan kesalahan dalam pencatatan harta zakat, bisa dikenakan sanksi
bahkan dinilai sebagai tindakan pidana. Dengan demikian, pengelolaan harta
zakat dimungkinkan terhindar dari bentukbentuk penyelewengan yang tidak
bertanggungjawab.
Di dalam undang-undang zakat tersebut juga disebutkan jenis harta
yang dikenai zakat yang belum pernah ada pada zaman Rasulullah saw., yakni
hasil pendapatan dan jasa. Jenis harta ini merupakan harta yang wajib dizakati
sebagai sebuah penghasilan yang baru dikenal di zaman modern. Zakat untuk
hasil pendapat ini juga dikenal dengan sebutan zakat profesi. Dengan kata
lain, undang-undang tersebut merupakan sebuah terobosan baru.
BAZNAS memiliki ruang lingkup berskala nasional yang meliputi
Unit Pengumpul Zakat (UPZ) di Departemen, BUMN, Konsulat Jendral dan
Badan Hukum Milik Swasta berskala nasional. Sedangkan ruang lingkup
kerja BASDA hanya meliputi propinsi tersebut. Alhasil, pasca diterbitkannya
UU No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, maka pengelolaan zakat
dilakukan oleh satu wadah, yakni Badan Amil Zakat (BAZ) yang dibentuk
Pemerintah bersama masyarakat dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang
sepenuhnya dibentuk oleh masyarakat yang terhimpun dalam ormas-ormas
maupun yayasan-yayasan.
Hadirnya undang-undang di atas memberikan spirit baru. Pengelolaan
zakat sudah harus ditangani oleh Negara seperti yang pernah dipraktekkan
pada masa awal Islam. Menurut ajaran Islam, zakat sebaiknya dipungut oleh
negara, dan pemerintah bertindak sebagai wakil dari golongan fakir miskin
untuk memperoleh hak mereka yang ada pada harta orang-orang kaya. Hal ini
didasarkan pada sabda Nabi saw. kepada Mu’az ibn Jabal bahwa penguasalah
yang berwenang mengelola zakat. Baik secara langsung maupun melalui
perwakilannya, pemerintah bertugas mengumpulkan dan mebagi-bagikan
zakat.

2. Dasar hukum berkaitan dengan pertanggungjawaban di Lembaga/Badan Zakat


Zakat merupakan salah satu rukun Islam dan menjadi salah satu unsur pokok
tiang penegakan syariat Islam. Oleh sebab itu, hukum menunaikan zakat adalah wajib
bagi setiap muslim dam muslimah yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Allah
SWT berfirman, “Sesungguhnya orang yang beriman dan berbuat baik dan
menegakkan shalat serta membayar zakat, maka mereka akan memperoleh ganjaran
dari Tuhan mereka dan tidak ada ketakutan yang akan menimpa mereka, serta mereka
tidak akan susah” (Q.S Al-Baqarah : 277). Selain itu, Rasulullah Saw bersabda,
“Islam dibangun di atas lima perkara: bersaksi bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah
dan Muhammad adalahutusan-Nya; mendirikan shalat; melaksanakan puasa (di bulan
Ramadhan); menunaikan zakat; dan berhaji ke Baitullah (bagi yang mampu)” (HR.
Muslim).

Pada dasarnya, segala sumber dana yang berasal dari dana publik harus
transparan pengelolaan dan pertanggungjawabannya terlebih lagi dana yang berasal
dari zakat. Pertanggungjawaban dana zakat tersebut bersifat pertanggungjawaban
vertikal dan pertanggungjawaban horizontal. Pertanggungjawaban vertikal yakni
tanggung jawab kepada Allah Swt. Sedangkan pertanggungjawaban horizontal yakni
tanggung jawab kepada masyarakat yang memberikan dana untuk berzakat tersebut.
Lembaga/Badan Amil Zakat wajib menyampaikan laporan pelaksanaan
pengelolaan zakat, infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya kepada
BAZNAS dan pemerintah daerah setiap enam bulan dan akhir tahun. Dimana laporan
pelaksanaan pengelolaan zakat, infak, sedekah dan dana sosial keagamaan lainnya
oleh Lembaga/Badan Amil Zakat ini pun perlu dilakukan pemeriksaan syariat dan
pemeriksaan keuangan. Yang melakukan Pemeriksaan syariat adalah Kementerian
Agama, kemudian yang melakukan pemeriksaan keuangan yaitu akuntan publik.

Selain itu kewajiban adanya sifat akuntabilitas oleh Lembaga/Badan Amil


Zakat ini telah diatur didalam peraturan sebagai berikut:

1. Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat,


namun peraturan perundang-undangan ini kemudian di revisi kembali
karena disini pemerintah memposisikan BAZNAS memiliki posisi yang
sejajar dengan LAZ.
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat,
sebagai pengganti peraturan sebelumnya sehingga posisi BAZNAS
menjadi ada diatas LAZ sehingga tidak ada sentralisasi lagi antara
keduanya.
3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2014 Tentang
Pengelolaan Zakat, peraturan pemerintah ini dibuat sebagai penjelasan
lebih rinci terkait pelaksanaan dari UU No 23 Thn 2011. Dimana didalam
peraturan pemerintah ini dijelaskan pada BAB IX tentang Pelaporan Dan
Pertanggungjawaban Baznas Dan Laz,
4. Peraturan Menteri Agama Nomor 52 Tahun 2014 Tentang Syarat dan Tata
Cara Perhitungan Zakat Maal dan Zakat Fitrah Serta Pendayagunaan Zakat
Untuk Usaha Produktif. Yang kemudian di lakukan revisi pertama
sehingga menjadi Peraturan Menteri Agama No. 69 Tahun 2019, lalu
adanya perubahan nishab dan kadar zakat hewan ternak terbaru lagi hingga
sekarang peraturan di revisi menjadi Peraturan Menteri Agama No. 31
Tahun 2019. Peraturan ini perlu dalam menyusun laporan keuangan agar
laporan keungan dari berbagai lembaga seirama dasar penghitungannya
sehingga menimbulkan kesetaraan dan meminimalisir kecurangan.
5. Peraturan Menteri Agama Nomor 5 Tahun 2020 Tentang Tata Cara
Pengenaan Sanksi Administratif Dalam Pengelolaan Zakat, dimana dalam
membuat pertanggungjawaban berupa laporan keuangan maka
Lembaga/Badan Amil Zakat ini melakukan perhitungan pengenaan sanksi
administrasi sesuai dengan peraturan yang berlaku agar tidak adanya
penyimpangan dari cycle syariah.
6. Surat Keputusan Dewan Pertimbangan BAZNAS Nomor 001/DP-
BAZNAS/XII/2010 Tentang Pedoman Pengumpulan Dan Pentasyarufan
Zakat, Infaq, dan Shadaqah Pada Badan Amil Zakat Nasional, dimana
surat keputusan ini dibuat untuk menjaga keamanahan dan akuntabilitas
BAZNAS dalam pengelolaan dana ZIS yang bersumber dari Muzakki baik
individu maupun badan sehingga memerlukan tata kelola keuangan yang
merujuk kepada ketentuan pertimbangan syariah.
7. Peraturan Badan Amil Zakat Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun
2018 Tentang Pendistribusian Dan Pendayagunaan Zakat, dimana untuk
meningkatkan manfaat zakat dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat
dan penanggulangan kemiskinan, serta peningkatan kualitas umat maka
pendistribusian dan pendayagunaan zakat yang dilakukan oleh Badan Amil
Zakat Nasional, Badan Amil Zakat Nasional Provinsi, Badan Amil Zakat
Nasional Kabupaten/Kota, dan Lembaga Amil Zakat harus dilakukan
sesuai dengan syariat Islam dan peraturan perundang-undangan
8. Peraturan Menteri Agama Nomor 30 Tahun 2020 tentang Tugas, Fungsi,
dan Tata Kerja Anggota Badan Amil Zakat Nasional (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 1317), dimana dalam
menjalankan tugas mengoordinasikan pengumpulan, pendistribusian,
pendayagunaan, dan pengembangan zakat dapat sesuai dengan ketentuan
agama dan tugas lain berkenaan dengan pengelolaan zakat sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

3. Prinsip dasar Zakat, Infaq dan Shadaqah


Dalam Undang-Undang Zakat yang terdapat dalam Pasal 2 yang
mengemukakan pengelolaan zakat harus berasaskan: Syariat Islam; Amanah;
Kemanfaatan; Keadilan; Kepastian hukum; Terintegrasi; dan Akuntabilitas. Secara
garis besar asas tersebut tentunya sejalan dengan prinsip Good Corporate Governance
(GCG ).
Di sini penjelasan secara umum pada empat prinsip utama yang terdapat
dalam Good Corporate Governance yaitu: Fairness, Transparency, Accountability,
dan Responsibility.

1. Fairness (Kewajaran)
Secara sederhana kewajaran (fairness) bisa didefinisikan sebagai perlakuan
yang adil dan setara di dalam memenuhi hak-hak stakeholder yang timbul
berdasarkan perjanjian serta peraturan perundangan yang berlaku.
2. Transparancy (Keterbukaan )
Transparansi bisa diartikan sebagai keterbukaan informasi, baik dalam proses
pengambilan keputusan maupun dalam mengungkapkan informasi material
dan relevan mengenai perusahaan.
3. Accountability (Dapat Dipertanggungjawabkan)
Akuntabilitas adalah kejelasan fungsi, struktur, sistem dan pertangungjawaban
organ perusahaan sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif.
4. Responsibility (Pertanggungjawaban)
Pertanggungjawaban perusahaan adalah kesesuaian (patuh) di dalam
pengelolaan perusahaan terhadap prinsip korporasi yang sehat serta peraturan
perundangan yang berlaku.

a. Pengertian Zakat, Infaq dan Shadaqah


Zakat secara bahasa merupakan bentuk dari kata dasar zaka yang berarti
suci, bersih, berkah, tumbuh, dan berkembang. Menurut terminologi syariat, zakat
berarti mengeluarkan sebagian dari harta yang telah memenuhi syarat kepada
yang berhak menerimanya (mustahiq). Harta yang sudah dikeluarkan zakatnya
akan menjadi harta yang bersih, suci, serta berkah. Pada Q.S At-Taubah ayat 103,
yang dimaksud dengan zakat itu membersihkan mereka dari kekikiran dan cinta
yang berlebih-lebihan kepada harta benda. Serta zakat itu menyuburkan sifat-sifat
kebaikan dalam hati mereka dan memperkembangkan harta benda mereka.

Selanjutanya yaitu infaq yang secara bahasa merupakan bentukan dari kata
anfaqaa yang berarti memberikan sesuatu kepada orang lain. Dalam terminologi
syariat, infaq berarti mengeluarkan atau memberikan sebagian pendapatan untuk
suatu kepentingan yang diperintahkan ajaran Islam. Infaq tidak ditentukan
jumlahnya, serta tidak ditentukan pula sasaran penyalurannya. Infaq sangat luas
cakupannya untuk membantu kepentingan pembangunan umat Islam. Dalam Q.S
Al-Baqarah ayat 3 menyebutkan ciri-ciri orang bertakwa yang salah satunya
adalah orang yang berinfaq atau menafkahkan sebahagian rizkinya.

Sedangkan shadaqah yang berasal dari kata shadaqa memiliki arti yaitu
‘benar’. Kata ‘benar’ dalam shadaqah memiliki makna bahwa orang yang
bersedekah adalah orang yang benar imannya. Secara terminologi syariat,
pengertian dan hukum sedekah sama dengan infaq, hanya saja sedekah tidak
hanya dipergunakan untuk hal-hal yang bersifat material. Namun menyangkut
seluruh aktivitas yang baik yang dilakukan seorang mukmin. Berdzikir,
berdakwah, membaca tasbih, tahmid, dan takbir, serta membuang duri dari jalan,
dan sebagainya adalah termasuk sedekah.

Adapun definisi mengenai zakat, infaq dan shadaqah yang terkandung di


dalam PSAK 109 : Akuntansi Zakat dan Sedekah dimana zakat didefinisikan
sebagai harta yang wajib dikeluarkan oleh muzakki sesuai dengan ketentuan
syariah untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya (mustahiq). Sedangkan
infak atau sedekah mengandung istilah yang ditujukan sebagai harta yang
diberikan secara sukarela oleh pemiliknya, baik yang peruntukannya dibatasi
(ditentukan) maupun tidak dibatasi.

b. Karakteristik ZIS
Zakat merupakan kewajiban syariah yang harus diserahkan oleh muzakki
kepada mustahiq baik melalui amil maupun secara langsung. Ketentuan zakat
mengatur mengenai persyaratan nisab, haul (baik yang periodik maupun yang
tidak periodik), tarif zakat (qadar), dan peruntukannya. Infak/sedekah merupakan
donasi sukarela, baik ditentukan maupun tidak ditentukan peruntukannya oleh
pemberi infak/sedekah. Zakat dan infak/sedekah yang diterima oleh amil harus
dikelola sesuai dengan prinsip-prinsip syariah dan tata kelola yang baik.

Dengan kata lain, karakteristik dana ZIS yang digolongkan dalam


klasifikasi dana adalah:

1. Dana Zakat adalah dana yang dibatasi (restricted funds) yang merupakan
dana kepercayaan (trust and agency), yang dimaksud dibatasi adalah,
dibatasi dari sisi yang mengeluarkan zakat (muzakki) sesuai dengan
nishab dan haul juga dibatasi dalam sisi penyaluran (mustahik) khusus
kepada delapan asnaf yang telah ditetapkan syariah.
2. Dana Shadaqah adalah dana yang tidak dimaksudkan oleh pemberinya
untuk tujuan tertentu, sering disebut general funds atau dana umum karena
tidak ada batasan apapun baik jumlah dana yang diberikan maupun untuk
siapa dana tersebut digunakan, dengan demikian dana ini digolongkan ke
dalam dana yang tidak terbatas atau unrestricted funds.
3. Dana Infaq adalah dana shadaqah yang dimaksudkan oleh pemberinya
untuk tujuan tertentu atau kepada penerima tertentu. Apabila LPZ
merupakan lembaga pengelola zakat yang memiliki program khusus dalam
penyaluran zakatnya, maka dana infaq dan shadaqah dapat disatukan
menjadi dana infaq atau shadaqah. Dalam pembahasan akuntansi zakat
sederhana maka LPZ harus memiliki program untuk apa dana disalurkan,
dengan demikian dana infaq dan shadaqah dapat disatukan dalam satu
nama perkiraan akun yaitu dana infaq/shadaqah.
4. Dana Amil dari Zakat dan Shadaqah ditetapkan sebesar 12,5% oleh
Dewan Syariah.
5. Jika Shadaqah dalam bentuk barang (tanah, bangunan, dan peralatan) baik
dengan akad waqaf atau hibah maka dalam akuntansi harus dinilai dengan
nilai uang sesuai dengan harga pasar atau harga perolehan.

TUJUAN ZIS

ZIS merupakan ibadah yang mempunyai dimensi ganda: transcendental


dan horizontal. ZIS memiliki banyak hikmah, baik yang terkait dengan
peningkatan keimanan terhadap Allah SWT maupun peningkatan kualitas
hubungan antarsesama manusia. Tujuan ZIS adalah sebagai perwujudan
keimanan kepada Allah SWT, mensyukuri nikmat-Nya, menumbuhkan akhlaq
mulia dengan menciptakan rasa kemanusiaan untuk saling tolong-menolong
diatanara sesama, serta menjauhkan dari sifat kikir, bakhil, serta rakus. Dan juga
menumbuhkan ketenangan hidup, dan mengembangkan harta yang dimiliki.

Manfaat dari ZIS adalah menolong, membantu, serta membina kaum


dhuafa maupun mustahiq lainnya ke arah kehidupan yang lebih baik dan lebih
sejahtera. Serta dapat membantu mereka untuk beribadah kepada Allah dengan
baik sehingga mengindarkan mereka dari kekufuran nikmatNya. Selain itu, ZIS
merupakan salah satu unsur penting dalam mewujudkan keseimbangan sosial,
keseimbangan dalam distribusi harta, serta kepemilikan harta, sehingga
diharapkan lahir masyarakat yang berdiri diatas prinsip ukhuwah Islamiyah.

Kriteria Orang yang Berhak Mendapat Dana ZIS

Dalam Al-Qur’an Q.S AtTaubah ayat 60 disebutkan:

“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang


miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk
(memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan
untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang
diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Q.S At-
Taubah : 60)”

Sehingga dapat disimpulkan bahwa kriteria dari penerima dana ZIS adalah 8
asnaf antara lain:

1. Orang fakir yaitu orang yang Amat sengsara hidupnya, tidak mempunyai
harta dan tenaga untuk memenuhi penghidupannya.
2. Orang miskin yakni orang yang tidak cukup penghidupannya dan dalam
keadaan kekurangan.
3. Amil zakat yaitu orang yang diberi tugas untuk mengumpulkan dan
membagikan zakat.
4. Muallaf yakni orang kafir yang ada harapan masuk Islam dan orang yang
baru masuk Islam yang imannya masih lemah.
5. Memerdekakan budak yang mencakup juga untuk melepaskan Muslim yang
ditawan oleh orang-orang kafir.
6. Orang berhutang dimana tujuan ia berhitungan untuk suatu kepentingan yang
bukan maksiat dan tidak sanggup membayarnya. Adapun orang yang
berhutang untuk memelihara persatuan umat Islam dibayar hutangnya itu
dengan zakat, walaupun ia mampu membayarnya.
7. Pada jalan Allah (sabilillah) yaitu untuk keperluan pertahanan Islam dan
kaum muslimin. Di antara mufasirin ada yang berpendapat bahwa fisabilillah
itu mencakup juga kepentingan-kepentingan umum seperti mendirikan
sekolah, rumah sakit dan lain-lain.
8. Orang yang sedang dalam perjalanan yang bukan maksiat mengalami
kesengsaraan dalam perjalanannya. Musafir

4. Akuntansi Zakat bagi LAZ


a. Akuntansi Penerimaan Zakat
Penerimaan zakat diakui pada saat kas atau aset nonkas diterima. Zakat
yang diterima dari muzakki diakui sebagai penambah dana zakat sebesar
a.) jumlah yang diterima, jika dalam bentuk kas;
b.) nilai wajar, jika dalam bentuk nonkas.
Penentuan nilai wajar aset nonkas yang diterima menggunakan harga pasar.
Jika harga pasar tidak tersedia, maka dapat menggunakan metode penentuan nilai
wajar lainnya sesuai dengan SAK yang relevan. Jika muzakki menentukan
mustahik yang menerima penyaluran zakat melalui amil, maka tidak ada bagian
amil atas zakat yang diterima. Amil dapat memperoleh ujrah atas kegiatan
penyaluran tersebut. Ujrah ini berasal dari muzakki, di luar dana zakat. Ujrah
tersebut diakui sebagai penambah dana amil.
Jika terjadi penurunan nilai aset zakat nonkas, maka jumlah kerugian yang
ditanggung diperlakukan sebagai pengurang dana zakat atau pengurang dana amil
bergantung pada penyebab kerugian tersebut. Penurunan nilai aset zakat diakui
sebagai :
a.) pengurang dana zakat, jika tidak disebabkan kelalaian amil;
b.) kerugian dan pengurang dana amil, jika disebabkan oleh kelalaian amil.
b. Akuntansi Penyaluran Zakat
Zakat yang disalurkan kepada mustahik, termasuk amil, diakui sebagai
pengurang dana zakat sebesar jumlah yang diserahkan, jika dalam bentuk kas;
dan jumlah tercatat, jika dalam bentuk aset nonkas. Efektifitas dan efesiensi
pengelolaan zakat bergantung pada profesionalisme amil. Dalam konteks ini, amil
berhak mengambil bagian dari zakat untuk menutup biaya operasional dalam
rangka melaksanakan fungsinya sesuai dengan kaidah atau prinsip syariah dan
tata kelola organisasi yang baik.

Penentuan jumlah atau persentase bagian untuk masing - masing mustahik


ditentukan oleh amil sesuai dengan prinsip syariah, kewajaran, etika, dan
ketentuan yang berlaku yang dituangkan dalam bentuk kebijakan amil. Beban
penghimpunan dan penyaluran zakat harus diambil dari porsi amil. Amil
dimungkinkan untuk meminjam dana zakat dalam rangka menghimpun zakat.
Pinjaman ini sifatnya jamgka pendek dan tidak boleh melebihi satu periode
(haul). Bagian dana zakat yang disalurkan untuk amil diakui sebagai penambah
dana amil.

Zakat telah disalurkan kepada mustahik nonamil jika sudah diterima oleh
mustahik nonamil tersebut. Zakat yang disalurkan melalui amil lain, tetapi belum
diterima oleh mustahik nonamil, belum memenuhi pengertian zakat telah
disalurkan. Amil lain tersebut tidak berhak mengambil bagian dari dana zakat,
namun dapat memperoleh ujrah dari amil sebelumnya. Dalam keadaan tersebut,
zakat yang disalurkan diakui sebagai piutang penyaluran, sedang bagi amil yang
menerima diakui sebagai liabilitas penyaluran. Piutang penyaluran dan liabilitas
penyaluran tersebut akan berkurang ketika zakat disalurkan secara langsung
kepada mustahik nonamil.

Dana zakat yang diserahkan kepada mustahik nonamil dengan keharusan


untuk mengembalikannya kepada amil, belum diakui sebagai penyaluran zakat.
Dana zakat yang disalurkan dalam bentuk perolehan aset tetap (aset kelolaan),
misalnya rumah sakit, sekolah, mobil ambulan, dan fasilitas umum lain, diakui
sebagai:

 penyaluran zakat seluruhnya jika aset tetap tersebut diserahkan untuk dikelola
kepada  pihak lain yang tidak dikendalikan amil.
 penyaluran zakat secara bertahap jika aset tetap tersebut masih dalam
pengendalian amil atau pihak lain yang dikendalikan amil. Penyaluran secara
bertahap diukur sebesar penyusutan aset tetap tersebut sesuai dengan pola
pemanfaatannya.

c. Akuntansi Penerimaan Infaq/Sadaqah


Infak/sedekah yang diterima diakui sebagai penambah dana Infak/sedekah
terikat atau tidak terikat sesuai dengan tujuan pemberi Infak/sedekah sebesar :

 jumlah yang diterima, jika dalam bentuk kas;


 nilai wajar, jika dalam bentuk nonkas.
Penentuan nilai wajar aset nonkas yang diterima menggunakan harga
pasar. Jika harga pasar tidak tersedia, maka dapat menggunakan metode
penentuan nilai wajar lainnya sesuai dengan SAK yang relevan.

Infak/sedekah yang diterima dapat berupa kas atau aset nonkas. Aset
nonkas dapat berupa aset lancar atau tidak lancar. Aset tidak lancar yang diterima
dan diamanahkan untuk dikelola oleh amil diukur sebesar nilai wajar saat
penerimaan dan diakui sebagai aset tidak lancar infak/sedekah. Penyusutandari
aset tersebut diperlakukan sebagai pengurang dana infak/sedekah terikat jika
penggunaan atau pengelolaan aset tersebut sudah ditentukan oleh pemberi.

Amil dapat pula menerima aset nonkas yang dimaksudkan oleh pemberi
untuk segera disalurkan. Aset seperti ini diakui sebagai aset lancar. Aset ini dapat
berupa bahan habis pakai , seperti bahan makanan; atau aset yang memiliki umur
ekonomi panjang, seperti mobil untuk ambulan. Aset nonkas lancar dinilai
sebesar nilai perolehan, sedangkan aset nonkas nonkas tidak lancar dinilai sebesar
nilai wajar sesuai dengan SAK yang relevan.

 Penurunan nilai aset infak/sedekah diakui sebagai :


 pengurang dana infak/sedekah, jika tidak disebabkan kelalaian amil;
 kerugian dan pengurang dana amil, jika disebabkan oleh kelalaian amil.

Dalam hal amil menerima infak/sedekah dalam bentuk aset nonkas tidak
lancar yang dikelola amil, maka aset tersebut dinilai sesuai denga SAK relevan.
Dana infak/sedekah sebelum disalurkan dapat dikelola dalam jangka waktu
sementara untuk mendapatkan hasil yang optimal. Hasil dana pengelolaan diakui
sebagai penambah dana infak/sedekah.

d. Akuntansi Penyaluran Infaq/Sadaqah


Penyaluran dana infak/sedekah diakui sebagai pengurang
dana  infak/sedekah sebesar: jumlah yang diserahkan, jika dalam bentuk kas; dan
nilai tercatat aset yang diserahkan, jika dalam bentuk aset nonkas. Bagian dana
infak/sedekah yang disalurkan untuk amil diakui sebagai penambah dana amil.
Penentuan jumlah atau persentase bagian untuk para penerima infak/sedekah
ditentukan oleh amil sesuai dengan prinsip syariah, kewajaran, etika, dan
ketentuan yang berlaku yang dituangkan dalam bentuk kebijakan amil.
Penyaluran infak/sedekah oleh amil kepada amil lain merupakan
penyaluran yang mengurangi dana infak/sedekah jika amil tidak akan menerima
kembali aset infak/sedekah yang disalurkan tersebut. Penyaluran infak/sedekah
kepada penerima akhir dalam skema dana bergulir dicatat sebagai piutang
infak/sedekah bergulir dan tidak mengurangi dana infak/sedekah.
5. Laporan Keuangan LAZ
Dasar Penyusunan Laporan Keuangan LAZ mengacu kepada Standar
Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia, laporan keuangan ini disusun
berdasarkan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan No. 109. Standar akuntansi
yang digunakan dalam penyusunan laporan keuangan adalah sebagai berikut:

 Laporan Keuangan disusun dengan dasar harga perolehan dan berbasiskan kas
untuk pengakuan sumber dan penggunaan dalam Laporan Aktivitas dan basis
akrual untuk pengakuan aset, kewajiban, dan saldo dana dalam laporan posisi
keuangan.
 Laporan Arus Kas menyajikan sumber dan penggunaan kas dan setara kas atas
dasar kegiatan operasi, investasi dan pendanaan. Laporan Arus Kas disusun
dengan menggunakan metode langsung.
 Laporan Aktivitas difokuskan pada penyajian perubahan saldo dana bersih
selama satu periode dan menyajikan jumlah masing-masing saldo dana bersih
berdasarkan ada tidaknya pembatasan oleh penyumbang yang dikelompokkan
menjadi dana terikat dan dana tidak terikat.

Adapun sistem pengakuan dalam LAZ, yaitu Semua penerimaan diakui saat
aset diterima (realization basis) sedangkan pengeluaran diakui dengan dasar akrual
(accrual basis). Penerimaan dana Baznas terdiri dari :

 Zakat maal, zakat penghasilan, dan zakat fitrah. Zakat fitrah hanya untuk
titipan dan bukan bagian dari aktifitas pengelolaan.
 lnfak, sedekah, hibah, dan penerimaan dari APBN.
 Bagi hasil bank syariah yang dikelompokkan sesuai sumber dana
masingmasing dana
 Jasa giro bank konvensional yang dikelompokkan ke dalam Dana Non
Syariah.
a. Laporan Posisi Keuangan

Dalam proses penyusunan laporan keuangan BAZNAS tidak terlepas dari proses
pengumpulan bukti penerimaan dan penyaluran dana zakat yang kemudian dicatat dalam
pencatatan harian. Siklus pencatatan harian dilakukan pada saat terjadi transaksi penerimaan
dan penyaluran dana zakat dan infak/sedekah dari para muzakki dan donatur. Pencatatan ini
kemudian dibuatkan laporan kas harian selanjutnya dimasukkan ke dalam laporan
penerimaan dan penyaluran dana zakat dan infak/sedekah. Dari laporan berupa daftar total
transaksi selama satu tahun agar bisa tersusunan laporan posisi keuangannya. Di dalam
Laporan Posisi Keuangan, BAZNAS menyajikan posisi aset, kewajiban, dan saldo dana per
tanggal laporan. Penyajian aset dan kewajiban tidak terlalu berbeda dengan laporan posisi
keuangan organisasi lainnya. Namun, pada laporan posisi keuangan OPZ bagian modal
diganti dengan saldo dana. Saldo dana mencerminkan aktiva kelolaan (baik lancar maupun
tidak lancar) yang dimiliki oleh OPZ tahunan BAZNAS.

Dalam format laporan BAZNAS secara umum, terdapat dua kolom berbeda yaitu
tahun 2019 dan tahun 2020. Penyajian ini memudahkan pembaca laporan keuangan untuk
melihat seberapa besar posisi keuangan dari tahun 2019- 2020. Setelah dianalisa, format
laporan posisi keuangan BAZNAS sebagai laporan utama sudah sesuai dengan yang diatur
pada lampiran PSAK 109. Dilihat dari laporan keuangan BAZNAS merinci saldo dana yang
terdiri dari saldo dana zakat, infak/sedekah, dan saldo dana amil. Biaya yang masih harus
dibayar termasuk dalam kewajiban lancar.

Dalam penyajian laporan posisi keuangan, BAZNAS menyajikan akun-akun aktiva


sesuai dengan urutan likuiditasnya, dari yang paling likuid yaitu kas dan setara kas, sampai
yang paling tidak likuid, yaitu aset kelolaan. Untuk kewajiban, akun disajikan hanya
kewajiban jangka pendek. Hal ini belum sesuai dengan contoh format laporan posisi
keuangan pada PSAK 109, karena tidak menyajikan akun kewajiban jangka panjang. Aktiva
tetap disajikan dalam nilai buku, penjelasan dari aktiva tetap dan akumulasi penyusutannya
bisa dibaca dari catatan atas laporan keuangan. Saldo dana dalam PSAK 109 adalah selisih
dari aktiva dan kewajiban. Saldo dana terdiri dari dana zakat, dana infak/sedekah, dan dana
amil. Pengklasifikasian saldo dana tersebut dilakukan sesuai dengan sumber penerimaan dana
pada OPZ. Dalam laporan ini, disajikan saldo dana dari dana zakat, infak/sedekah, dan dana
amil. Hal ini telah sesuai dengan PSAK 109.
b. Laporan Perubahan Dana
Laporan Perubahan Dana adalah laporan yang menggambarkan kinerja organisasi,
yang meliputi penerimaan dan penyaluran dana pada suatu periode tertentu. Oleh karena itu
BAZNAS membuat Laporan Perubahan Dana sesuai format yang tertera di lampiran PSAK
109. Karena secara tidak langsung laporan perubahan dana BAZNAS sudah lengkap dan jelas
dari tahun 2019-2020.
c. Laporan Perubahan Aset Kelolaan
d. Laporan Arus Kas

Laporan arus kas adalah laporan yang menggambarkan arus kas masuk dan keluar
pada suatu periode tertentu. Tujuannya adalah untuk menyajikan informasi mengenai
penerimaan dan pengeluaran kas organisasi pada suatu periode tertentu. Laporan arus kas
BAZNAS disusun dengan mengelompokkan arus kas dalam aktivitas operasi, investasi dan
pendanaan. Dalam pembuatan laporan arus kas, BAZNAS berpedoman kepada PSAK 2
tentang laporan arus kas, sehingga laporan arus kas BAZNAS sudah sesuai dengan PSAK
109. Berikut penjelasan mengenai laporan arus kas BAZNAS berdasarkan PSAK No. 109.
1. Arus Kas dari Aktivitas Operasi : akun-akun yang disajikan adalah penambahan dan
pengurangan arus kas yang terjadi pada perkiraan yang terkait dengan operasional
BAZNAS seperti pendapatan (dana zakat, sedekah/infaq, dana amil, dll), penyaluran
dan beban.
2. Arus Kas dari Aktivitas investasi : akun-akun ini menjelaskan transaksi pengadaan
aset tetap , pengadaan aset tetap kelolaan dan penjualan aset tetap.
3. Arus Kas dari Aktivitas Pendanaan : perkiraan yang termasuk dalam aktivitas
pendanaan adalah perkiraan penerimaan dari aktivitas pencarian dana. Yang pada
tahun 2019 dan 2020 tidak terdapat penerimaan kas dari utang jangka panjang.
e. Catatan Atas Laporan Keuangan
Catatan Atas Laporan Keuangan merupakan rincian atau penjelasan detail dari
laporan keuangan sebelumnya yang dapat bersifat kuantitatif dan kualitatif. Dalam Catatan
Atas Laporan Keuangan BAZNAS diterangkan berbagai catatan dan penjelasan dari laporan
keuangan yang disajikan. Catatan Atas Laporan Keuangan adalah bagian yang tidak
terpisahkan dari laporan keuangan BAZNAS secara utuh. Catatan Atas Laporan Keuangan
juga merupakan salah satu bentuk pengungkapan BAZNAS terhadap kebijakan, aktivitas, dan
keuangannya. Menurut kelompok kami, Laporan yang dibuat oleh BAZNAS sudah cukup
informatif dan bisa menjelaskan dari laporan secara keseluruhan.

6. Tingkat Pengungkapan laporan keuangan LAZ dan BAZNAS


Pada pencatatan akuntansi dan pelaporan BAZNAS telah menerapkan aturan-aturan
yang terdapat dalam PSAK 109. Dalam menyusun pelaporan keuangan, BAZNAS mengacu
pada PSAK 109. Laporan keuangan BAZNAS diterbitkan tahunan. Laporan tahunan
mengungkapkan laporan keuangan lebih lengkap yang terdiri dari laporan posisi keuangan,
laporan perubahan dana, laporan perubahan aset kelolaan, laporan arus kas, dan catatan atas
laporan keuangan. Berikut menjelaskan penerapan PSAK 109 tentang pengungkapan:

PSAK PELAKSANAAN PADA KESESUAIAN


BAZNAS
ZAKAT
Amil menyajikan dana zakat, dana Dalam laporan BAZNAS yang khusus Sesuai
infak, dan dana amil secara terpisah LAZ, laporan posisi keuangan
dalam laporan posisi keuangan. menyajikan dana zakat, dana infak, dan
dana amil secara terpisah.
Penggunaan dana zakat atau infaq Mengenai aset kelolaan dapat dilihat di Sesuai
dalam bentuk asset kelolaan. dalam laporan keuangan tahunan
Diungkapkan jumlah persentase BAZNAS
terhadap seluruh penyaluran dana zakat
dan alasannya.

Hubungan pihak-pihak berelasi BAZNAS menjelaskan di CALK Sesuai


antara amil dan mustahik yang mengenai jejaring yang digunakan
untuk menyalurkan zakat, jumlah dan
meliputi sifat hubungan, jumlah
jenis.
dan jenis aset yang disalurkan,
dan presentase dari setiap aset
yang disalurkan tersebut dari
total penyaluran zakat selama
periode.
INFAQ/SHADAQAH
Kebijakan penyaluran infaq atau Dalam CALK diungkapkan skala Sesuai
sedekah seperti penentuan skala prioritas penyaluran dan penerimaan
prioritas penyaluran infaq atau sedekah infaq atau sedekah.
dan penerima infaq atau sedekah
Kebijakan penyaluran infaq dan Dalam CALK tidak diungkapkan Tidak Sesuai
sedekah untuk amil dan non amil, mengenai kebijakan penyaluran untuk
seperti persentase pembagian, alasan, amil dan non amil, persentase
dan konsistensi kebijakan. pembagiannya.
Hasil yang diperoleh dari pengelolaan Dalam laporan keuangan tahunan yang Sesuai
dana infaq dan sedekah diungkapkan lengkap diungkap hasil pengelolaan
secara terpisah. dana infaq atau sedekah.

Pelaporan keuangan BAZNAS sudah sesuai dengan apa yang telah digariskan dalam
PSAK 109. Menurut kelompok kami, pembuatan laporan keuangan BAZNAS yang sekarang
sudah baik dan informatif bagi pembaca laporan keuangan. Namun, bila dilihat dari
kepatuhan terhadap PSAK 109, masih perlu diperbaiki.

Dapat disimpulkan bahwa laporan keuangan BAZNAS telah sesuai dengan


Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 109. Pernyataan Standar Akuntansi
Keuangan (PSAK) No. 109 adalah standar akuntansi yang memang dibuat untuk laporan
keuangan lembaga amil zakat dan memang sudah seharusnya diterapkan oleh lembaga amil
zakat pada laporan keuangannya. Pada proses penerimaan dan penyaluran dana zakat dan
dana infak/sedekah BAZNAS mencatat sebagai penambah dan pengurang dana zakat pada
saat zakat diterima dan dikeluarkan. Dalam penyajian laporan keuangannya BAZNAS
menyajikan setiap transaksi yang dilakukan secara terpisah berdasarkan sumber dan
peruntukannya. Secara garis besar, laporan keuangan BAZNAS telah sesuai dengan
Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 109 dari sisi pengakuan, pengukuran,
penyajian dan pengungkapan. Hanya saja dalam pengakuan, BAZNAS tidak melaporkan
dana non halal.

Analisis Rasio Keuangan

Terdapat lima kategori rasio yang dapat digunakan oleh Organisasi Pengelola Zakat (OPZ),
antara lain:
1) Rasio Aktivitas
Rasio Aktivitas adalah rasio yang mengukur aktivitas operasional Dana Zakat, Infak
dan Sedekah yang terhimpun oleh lembaga zakat. Rasio aktivitas ini dapat diukur
menggunakan 18 rasio, beberapa diataranya yaitu
 Zakah Allocation Ratio
Total Penyaluran Dana Zakat
=
Total Penghimpunan Dana Zakat
237.667.923 .278
=
305.347 .256.942
= 0,78

Jadi dana zakat yang dihimpun oleh BAZNAS, yang disalurkan kepada para
mustahik sebesar 78% atau dalam kondisi yang efektif.

 Zakah Allocation Ratio non Amil


Total Penyaluran Dana Zakat −Bagian Amil dari Dana Zakat
=
Total Penghimpunan Dana Zakat −Bagian Amil dari Dana Zakat
237.667.923 .278−37.747 .432.003
=
305.347.256 .942−37.747 .432.003
= 0,75

Jadi dana zakat yang dihimpun oleh BAZNAS, yang disalurkan kepada para
mustahik tanpa memperhitungkan bagian zakat dari dana amil sebesar 75% atau
dalam kondisi yang cukup efektif.

 Infaq and Shodaqa Allocation Ratio


Total Penyaluran Dana Infaq Sedekah
=
Total Penghimpunan Dana Infaq Sedekah
57.003.027 .626
=
76.400.140 .474
= 0,75
Jadi dana infaq dan shodaqah yang dihimpun oleh BAZNAS, yang disalurkan
kepada para mustahik sebesar 75% atau dalam kondisi yang cukup efektif.
 Infaq and Shodaqa Allocation Ratio non Amil
=
Total Penyaluran Dana Infaq Sedekah−Bagian Amil dari Dana Infaq Sedekah
Total Penghimpunan Dana Infaq Sedekah−Bagian Amil dari Dana Infaq Sedekah
57.003.027 .626−5.289 .839.695
=
76.400.140 .474−5.289 .839.695
= 0,73
Jadi dana infaq dan shodaqah yang dihimpun oleh BAZNAS, yang disalurkan
kepada para mustahik tanpa memperhitungkan bagian zakat dari dana amil sebesar
73% atau dalam kondisi yang cukup efektif.
2) Rasio Efisiensi
Rasio Efisiensi adalah rasio yang mengukur efisiensi atas biaya-biaya operasional
yang telah dikeluarkan oleh lembaga zakat dalam menghimpun atau menyalurkan
dana. Rasio efisiensi ini dapat diukur menggunakan 3 rasio, salah satunya yaitu
 Rasio Biaya Operasional Terhadap Total Hak Amil
Total Biaya Operasional
=
Total Hak Amil
27.108 .923.243
=
45.540 .385.956
= 0,59
Jadi dana hak amil yang digunakan dalam proses operasional mempunyai rasio
sebesar 59% atau dalam kondisi yang efisien.
3) Rasio Dana Amil
Rasio Dana Amil adalah rasio yang mengukur efektivitas penggunaan Dana Amil
dalam operasional lembaga zakat. Rasio dana amil ini dapat diukur menggunakan 4
rasio, 2 diataranya yaitu
 Rasio Hak Amil atas Zakat
Bagian amildari zakat
= X 100
( Penerimaan zakat− penerimaan bagi hasil atas penempatan dana zakat)
37.747 .432.003
= X 100
(305.347 .256 .942−89.424 .909)
= 12%
Jadi tingkat efisiensi dan efektivitas dana amil yang digunakan dalam kegiatan
operasional penghimpunan dan penyaluran dana zakat sebesar 12% yang mana,
tingkat rasio ini dikatakan baik.
 Rasio Hak Amil atas Infak/sedekah
=

Bagian amil dari Infak sedekah


( Penerimaan Infak sedekah−penerimaan bagi hasil atas penempatan danainfak sedekah)
X 100
5.289 .839.695
= X 100
(76.400 .140 .474−34.938 .296)
= 7%
Jadi tingkat efisiensi dan efektivitas dana amil yang digunakan dalam kegiatan
operasional penghimpunan dan penyaluran dana infaq dan shodaqah sebesar 7%
yang mana, tingkat rasio ini dikatakan baik.
4) Rasio Likuiditas
Rasio Likuiditas adalah rasio yang mengukur kemampuan lembaga zakat dalam
melunasi kewajiban jangka pendeknya. Rasio likuiditas ini dapat diukur
menggunakan 4 rasio, salah satunya yaitu
 Current Ratio
=
Total Aset Lancar
( Saldo Dana Zakat+ Saldo Dana Infak sedekah +total kewajiban jangka pendek )−Aset kelolaan
134.379.512 .233
=
( 146.731.452 .352+21.604 .116.896+ 1.341.126 .313 )−39.159 .613 .858
= 1,03
Rasio diatas dikatakan baik karena aset lancar BAZNAS mampu memenuhi
seluruh kewajiban jangka pendeknya termasuk kewajiban penyaluran dana zakat,
infak sedekah pada suatu periode.
5) Rasio Pertumbuhan
Rasio Pertumbuhan adalah rasio yang mengukur tingkat pertumbuhan dana dari
tahun-tahun sebelumnya. Rasio pertumbuhan ini dapat diukur menggunakan 6 rasio, 2
diataranya yaitu
 Growth of ZIS
Penghimpunan ZIS t −Penghimpunan ZISt −1
=
Penghimpunan ZIS t−1
381.747.397 .416−289.891 .424 .196
=
289.891 .424 .196
= 0,32
Jadi kemampuan lembaga zakat dalam meningkatkan dana ZIS yang terhimpun
dari tahun sebelumnya dikatakan tidak baik, karena rasionya dibawah 100%.
 Growth of Allocation
Total Penyalurant −Total Penyaluran t−1
=
Total Penyaluran t−1
294.670.950 .904−270.716 .950 .765
=
270.716 .950 .765
= 0,09
Jadi pertumbuhan penyaluran dana zakat tahun ini terhadap tahun sebelumnya
dikatakan sangat tidak baik, karena rasionya dibawah 100%.
BAB III
CONTOH SOAL

1. Transaksi
1) Jurnal untuk mencatat pinjaman dari Tuan Ali sebesar Rp 10.000.000,- yang
diakui sebagai kewajiban jangka pendek yang menjadi tanggungan amil.

(Dr) kas Amil Rp 10.000.000,-

(Cr) Hutang Jangka Pendek (Amil) Rp10.000.000,-

2) Jurnal penerimaan dana zakat sebesar Rp 80.000.000,- dan dana infak Rp


50.000.000,- dibuat dalam rekening penerimaan dana untuk masing-masing jenis.

(Dr) kas Zakat Rp 80.000.000,-

(Cr) Penerimaan Dana Zakat Rp80.000.000,-

(Dr) kas Infak Rp 50.000.000,-

(Cr) Penerimaan Dana Infaq Rp50.000.000,-

3) Jurnal pembayaran sewa kantor dimuka untuk 1 tahun kedepan sebesar Rp


2.400.00,-

(Dr) Sewa Dibayar Dimuka Rp 2.400.000,-

(Cr) kas Rp 2.400.000,-

4) Jurnal pembelian alat-alat tulis untuk keperluan lembaga sebesar Rp 1.000.000,-

(Dr) Suplies (Alat Tulis Kantor) Rp 1.000.000,-

(Cr) kas Rp 1.000.000,-


5) Jurnal penyaluran dana zakat kepada fakir sebesar 8 orang @ Rp 150.000,-
sehingga total seluruhnya adalah Rp 1.200.000

(Dr) Penyaluran Fakir Miskin Rp 1.200.000,-

(Cr) kas Zakat Rp 1.200.000,-

2. Kasus
Banyak penyelewengan dana zakat yang terjadi di Indonesia misalnya ada kasus
korupsi dana zakat sebesar 461 juta di Pagaralan, Sumatera Selatan pada tahun 2019,
kemudian ada penyalahgunaan dana zakat sebesar Rp7 miliar di Aceh pada 2012.
Lalu juga ditemukan Kasus penyalahgunaan dana donasi juga muncul pada 2017 yang
menggunakan sebagian dana sumbangan yang masuk ke rekeningnya untuk membeli
mobil Fortuner dan iPhone 7. Maka dari itu apa yang harus kemenag lakukan agar
tidak terjadi penyelewengan dana lagi?

Jawab:

Untuk manjaga agar penghimpunan dana masyarakat tetap berjalan sesuai dengan
syariat dan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan maka Kementerian
Agama inisiatif untuk membentuk tim investigasi pengelolaan dana zakat, infak, dan
sedekah terhadap lembaga amil zakat (LAZ) yang diduga menyalahgunakan
wewenang. Ini termasuk solusi jangka pendek yang diterbitkan oleh Kementerian
Agama. Selain adanya tim investigasi, kemenag juga membentuk inspektorat jenderal
untuk melakukan audit terhadap LAZ yang diduga melakukan pelanggaran

Untuk solusi jangka panjang, Kemenag melaku penyusunan Surat Keputusan Dirjen
tentang Tim Pengawasan Organisasi Pengelola Zakat, serta Surat Edaran Menteri
Agama tentang Pengawasan Terhadap Organisasi Pengelola Zakat. Sehingga nanti
Dalam regulasi itu, akan diatur supaya Lembaga Amil Zakat tidak hanya melaporkan
jumlah dana, pendistribusian, dan pendayagunaan dana zakat, infak, dan sedekah
(ZIS), tetapi juga harus melaporkan aktivitas dan kegiatan lembaga agar tidak
menyimpang dari tujuan pengelolaan zakat itu sendiri.
BAB IV
PENUTUP
Berdasarkan PSAK 109 terkait akuntansi zakat dan sedekah, dimana zakat
didefinisikan sebagai harta yang wajib dikeluarkan oleh muzakki sesuai dengan ketentuan
syariah untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya (mustahiq). Sedangkan infak atau
sedekah mengandung istilah yang ditujukan sebagai harta yang diberikan secara sukarela oleh
pemiliknya, baik yang peruntukannya dibatasi (ditentukan) maupun tidak dibatasi. Menurut
undang-undang Nomor 38 Tahun 1999, Lembaga Amil Zakat adalah institusi pengelolaan
zakat yang sepenuhnya dibentuk atas prakarsa masyarakat dan oleh masyarakat yang
bergerak di bidang dakwah, pendidikan, sosial, dan kemashlahatan umat Islam. Tujuan ZIS
adalah sebagai perwujudan keimanan kepada Allah SWT, mensyukuri nikmat-Nya,
menumbuhkan akhlaq mulia dengan menciptakan rasa kemanusiaan untuk saling tolong-
menolong diatanara sesama, serta menjauhkan dari sifat kikir, bakhil, serta rakus. Dan juga
menumbuhkan ketenangan hidup, dan mengembangkan harta yang dimiliki.

Sejarah pengelolaan zakat di Indonesia dimulai pada masa Kerajaan Islam, kemudian
dilanjutkan pada Masa Kolonialisme, dimana pada masa ini diterbitkanlah peraturan yang
tercantum dalam Ordonantie Pemerintah Hindia Belanda Nomor 6200 tanggal 28 Februari
1905. Setelah Indonesia memperoleh kemerdekaannya, zakat kembali menjadi perhatian para
ekonom dan ahli fiqih bersama pemerintah dalam menyusun ekonomi Indonesia. Kemudian
pada tanggal 22 Oktober 1968 dibentuklah Badan Amil Zakat Infaq dan Shadaqah (BAZIS)
yang dipelopori oleh Pemerintah Daerah DKI Jaya di masa Orde Baru. Pengelolaan zakat
yang bersifat nasional semakin intensif setelah diterbitkannya Undang-undang No. 38 tahun
1999 tentang Pengelolaan Zakat. Undang-undang inilah yang menjadi landasan legal formal
pelaksanaan zakat di Indonesia.

Penerimaan zakat diakui pada saat kas atau aset nonkas diterima. Zakat yang diterima
dari muzakki diakui sebagai penambah dana zakat sebesar jumlah yang diterima, jika dalam
bentuk kas dan nilai wajar, jika dalam bentuk nonkas. Zakat yang disalurkan kepada
mustahik, termasuk amil, diakui sebagai pengurang dana zakat sebesar jumlah yang
diserahkan, jika dalam bentuk kas; dan jumlah tercatat, jika dalam bentuk aset nonkas.
Infak/sedekah yang diterima diakui sebagai penambah dana Infak/sedekah terikat atau
tidak terikat sesuai dengan tujuan pemberi Infak/sedekah sebesar jumlah yang diterima, jika
dalam bentuk kas dan nilai wajar, jika dalam bentuk nonkas. Penyaluran dana infak/sedekah
diakui sebagai pengurang dana  infak/sedekah sebesar: jumlah yang diserahkan, jika dalam
bentuk kas; dan nilai tercatat aset yang diserahkan, jika dalam bentuk aset nonkas.
DAFTAR PUSTAKA

Faisal. (2011). SEJARAH PENGELOLAAN ZAKAT DI DUNIA MUSLIM DAN


INDONESIA (Pendekatan Teori Investigasi-Sejarah Charles Peirce dan Defisit
Kebenaran Lieven Boeve). Analisis, Volume X, 242-272.

Badan Amin Zakat Nasional. (2018, Maret 28). Peraturan Badan Amil Zakat Nasional
Nomor 3 Tahun 2018. Diambil kembali dari Paralegal.id:
https://paralegal.id/peraturan/peraturan-badan-amil-zakat-nasional-nomor-3-tahun-
2018/

BAZNAZ Provinsi Bengkulu. (2019). Pengelolaan Zakat. Diambil kembali dari


https://bengkulu.baznas.go.id/download/detail/pengelolaan-zakat

Menteri Agama. ( 2020, Januari 29). Peraturan Menteri Agama Nomor 5 Tahun 2020
tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dalam Pengelolaan Zakat.
Diambil kembali dari SIRANDANG:
http://itjen.kemenag.go.id/sirandang/peraturan/5506-5-peraturan-menteri-agama-
nomor-5-tahun- 2020-tentang-tata-cara-pengenaan-sanksi-administratif-d

Menteri Agama Republik Indonesia. ( 2020, September 2). Peraturan Menteri Agama Nomor
30 Tahun 2020 tentang Tugas, Fungsi, dan Tata Kerja Anggota Badan Amil Zakat
NAsional. Diambil kembali dari Sirandang:
http://itjen.kemenag.go.id/sirandang/peraturan/5586-30-peraturan-menteri-agama-
nomor-30-tahun- 2020-tentang-tugas-fungsi-dan-tata-kerja-anggota-bada

Pemerintah Pusat. (2011, November 25). Undang-undang (UU) No. 23 Tahun 2011
Pengelolaan Zakat. Diambil kembali dari JDIH BPK RI:
https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/39267/uu-no-23-tahun-2011

Pemerintahan Pusat. (2014, Februari 14). Pelaksanaan Undang Undang Nomor 23 Tahun
2011 Tentang Pengelolaan Zakat. Diambil kembali dari JDIH BPK RI:
https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/5451/pp-no-14-tahun-2014

PPID BAZNAS RI. (2010). Pengelolaan Zakat. Diambil kembali dari


https://pid.baznas.go.id/pengelolaan-zakat/
Salamah, S. U. (2019). Relasi Zakat dan Pajak: Studi Kasus Badan Amil Zakat Nasional
Kabupaten Malang dan Kantor Pelayanan Pajak Pratama Kepanjen Malang . Jurnal
Hukum dan Syariah Vol. 6 No. 1 , 34-35.

Vidya Nuchaliza, S. (2020, 07 02). Ketentuan Audit atas Pengelolaan Zakat, Infak, serta
Sedekah oleh Masjid. Diambil kembali dari HUKUMONLINE.COM:
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5edc83a0e2c4f/ketentuan-audit-
atas-pengelolaan-zakat--infak--serta-sedekah-oleh-masjid/

Zakat, Infaq, Sedekah dan Wakaf. (2018). Diambil kembali dari Tamzis:
https://www.tamzis.id/page/21-zakat-infaq-sedekah-dan-wakaf

Zakat, Infaq, Sedekah dan Wakaf. (2021). Diambil kembali dari Lembaga Amil Zakat DASI
NTB: https://dasintb.org/donasi/zakat-infaq-sedekah-dan-wakaf/

Ikatan Akuntan Indonesia. (2008, 7 4). Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan No. 109.
Akuntansi Zakat dan Infaq/Sedekah. Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai