Anda di halaman 1dari 14

PENDAHULUAN

Tujuan Umum
 Mahasiswa memahami tujuan pembelajaran bahasa Indonesia di perguruan
tinggi, sejarah perkembangan bahasa Indonesia, kedudukan dan fungsi bahasa
Indonesia, bermacam-macam ragam bahasa dan bahasa Indonesia yang baik
dan benar.
Tujuan Khusus:
 Menyebutkan tujuan pembelajaran bahasa Indonesia di perguruan tinggi
 Menceritakan sejarah perkembangan bahasa Indonesia
 Menjelaskan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia
 Menjelaskan pentingnya bahasa Indonesia
 Mengetahui dan menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar.

1. Bahasa Indonesia di Perguruan Tinggi


Pembelajaran Bahasa Indonesia di lingkungan perguruan tinggi memiliki
dua tujuan, yakni tujuan khusus dan tujuan umum. Tujuan umumnya berusaha
agar mahasiswa memiliki sikap positif terhadap bahasa Indonesia yang kemudian
ditunjukkan dengan sikap a) setia terhadap bahasa Indonesia yang mendorong
mahasiswa memelihara bahasa nasional, dan apabila perlu mencegah adanya
pengaruh negatif bahasa asing; b) memiliki kebanggaan berbahasa yang
mendorong mahasiswa mengutamakan bahasa Indonesia dan menggunakan
sebagai lambang identitas bangsa; dan c) memiliki kesadaran akan adanya norma
bahasa yang mendorong mahasiswa menggunakan bahasa Indonesia sesuai
dengan kaidah dan aturan yang berlaku.
Bahasa Indonesia di Perguruan Tinggi memiliki kedudukan sebagai Mata
Kuliah Pengembang Kepribadian (MPK). Hal itu berdasar pada Surat Keputusan
Menteri Pendidikan Nasional No. 233/U/2000 tentang Pedoman Penyusunan
Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Kurikulum Inti Pendidikan Tinggi. Selain itu,
Surat Keputusan Mendiknas 045/U/2002 menyebutkan bahwa kurikulum di
perguruan tinggi dikembangkan berdasarkan orientasi kompetensi, yaitu
seperangkat tindakan cerdas dan penuh tanggung jawab yang dimiliki seseorang
sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan
tugas-tugas tertentu (Widjono, 2007: 8).
Tujuan MPK Bahasa Indonesia di setiap perguruan tinggi adalah agar
mahasiswa mencapai menjadi ilmuwan dan profesional yang memiliki sikap
bahasa yang positif terhadap bahasa Indonesia. Sikap positif itu ditunjukkan
melalui a) setia terhadap bahasa, yang mendorong mahasiswa memelihara bahasa
nasional dan, apabila perlu, mencegah adanya pengaruh bahasa asing, b) bangga
terhadap bahasa Indonesia, yang mendorong mahasiswa mengutamakan
bahasanya dan menggunakannya sebagai lambang identitas bangsanya, dan c)
kesadaran akan adanya norma bahasa, yang mendoroang mahasiswa
menggunakan bahasanya sesuai dengan kaidah dan aturan yang berlaku (Arifin &
Tasai, 2009: 2). Orang yang terampil berbahasa dapat menunjukkan sikap positif
dan bersedia belajar dari kesalahan, memperhatikan saran, petunjuk, atau
pendapat orang yang ahli, serta mengupayakan perbaikan pemakaian bahasanya
(Sugono [Peny], 2003: 191). Sebagai mata kuliah pengembang kepribadian,
pengajaran Bahasa Indonesia bertujuan agar mahasiswa memahami konsep
penulisan ilmiah dan mampu menerapkannya dalam penulisan karya ilmiah
(Widjono, 2007: 3).

2. Perkembangan Bahasa Indonesia


Bahasa Indonesia berasal dari Bahasa Melayu, sebagai mana yang dikatakan
oleh Arifin & Tasai (2009: 5), apabila ingin membicarakan perkembangan bahasa
Indonesia, mau tidak mau kita harus membicarakan bahasa Melayu sebagai
sumber (akar) bahasa Indonesia yang kita pergunakan sekarang. Keputusan
Kongres Bahasa Indonesia II tahun 1954 di Medan, antara lain, menyatakan
bahwa bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu (Sugono [Peny.], 2003: 137).
Banyak bukti arkeologi yang menguatkan pendapat tersebut.

a. Bukti Arkeologi
Perkembangan bahasa Melayu sebagai cikal bakal bahasa Indonesia dapat
ditelusuri melalui beberapa bukti arkeologi yang ditemukan, di antaranya adalah:
1) Prasasti Kedukan Bukit (683) di Palembang.
Prasasti Kedudukan Bukit ditemukan di tepi Sungai Tatang, dekat
Palembang. Prasasti ini berangka tahun 628 Masehi. Prasasti ini berhuruf Pallawa
dan berbahasa Melayu kuno. Jumlahnya hanya 10 baris. Mengenai isi prasasti
terdapat perbedaan antara para sejarawan yaitu mengenai adanya prasasti tersebut
sebagai peringatan pendirian Sriwijaya atau sebagai peringatan kemenangan
Sriwijaya terhadap Kerajaan Melayu.
Dalam prasasti ini terdapat tulisan yang berbunyi, “Swastie syrie
warsaatieta 605 ekadasyii syuklapkasa wulan waisyaakha dapunta hyang naayik
di saamwan mangalap siddhayaatra di saptamie syuklapaksa wulan jyestha
dapunta hyang marlapas dari minaga taomwan ...” (Selamat! Pada tahun syaka
605 hari kesebelas pada masa terang bulan Waisyaakha, tuan kita yang mulia naik
di perahu menjemput Siddhayaatra. Pada hari ketujuh, pada masa terang bulan
Jyestha, tuan kita yang mulia berlepas dari Minanga Taamwan...).
2) Prasati Talang Tuo dl Palembang (684)
Prasasti ini ditemukan di daerah Talang Tuo sebelah barat Kota Palembang.
Prasasti Talang Tuo terdiri dari 14 baris dalam bahasa Melayu Kuno dan berhuruf
Pallawa. Angka tahunnya adalah 606 Saka. Ini prasasti tersebut mengenai
pembuatan kebun Sriksetra atas perintah Punta Hyang Sri Jayanasa, untuk
kemakmuran semua makhluk. Selain itu juga doa dan harapan yang menunjukkan
sifat agama Buddha.
Isi prasasti Talang Tuo adalah berupa doa-doa dedikasi, yang hingga kini,
doa-doa demikian masih dijalankan dan diyakini. Prasasti ini memperkuat
pendapat bahwa terdapat pengaruh yang kuat dari cara pandang Mahayana pada
masa tersebut, dengan ditemukannya kata-kata seperti bodhicitta, mahasattva,
vajrasarira, dan annuttarabhisamyaksamvodhi, dimana istilah-istilah bahasa
Sanskerta tersebut memang digunakan secara umum dalam ajaran Mahayana.
3) Prasasti Kota Kapur di Bangka Barat (686)
Ditemukan di dekat Sungai Menduk, di Pulau Bangka. Jenis batu yang
digunakan berbeda dengan jenis batu yang terdapat di Pualu Bangka. Hal ini
terjadi karena, kemungkinan prasasti ini dibawa dari luar Bangka. Bahasa yang
digunakan adalah bahasa Melayu kuno dan huruf yang digunakan adalah huruf
Pallawa. Isi dari prasasti ini adalah kutukan-kutukan untuk mereka yang berbuat
jahat, tidak tunduk dan setia kepada raja akan celaka. Selain itu ada keterangan
penting yaitu tentang usaha Sriwijaya untuk menaklukkan Bhumi Jawa yang tidak
tunduk kepada Sriwijaya. Angka tahunnya 608 Saka.
Desa Kota Kapur Kecamatan Mendo Barat terletak di pinggir Sungai
Mendo yang bermuara di Selat Bangka. Di desa inilah ditemukan Prasasti (Batu
bertulis) yang disebut Lingga.
Batu bertulis ini ditemukan oleh JK. Fander Meulend, orang Belanda pada
tahun 1892, pada waktu itu beliau menjabat sebagai Administrator di Sungai
Selan. Tulisan pada prasasti ini ada sepuluh baris dipahat mempergunakan aksara
pallawa dalam bahasa Sangsakerta. Prasasti tersebut sekarang berada di Musium
Nasional Jakarta.
Pada tahun 1978 ditemukan (diperkirakan alas prasasti tersebut) oleh
penduduk desa Kota Kapur di areal situs. Alas prasasti ini berukuran panjang
30cm, Lebar 52 cm, lebar 17 cm dan berat 7 kg. Prasasti Kota Kapur ditemukan
oleh Administrator Belanda, Van der Meulen di Kota Kapur, Bangka, pada bulan
Desember 1892 M. Prasasti ini berangka tahun 686 M, tiga tahun setelah
Sriwijaya menundukkan Kerajaan Melayu Jambi. Ada dugaan, prasasti ini sebagai
peringatan pada rakyat di daerah taklukan, agar tidak melawan Kedatuan
Sriwijaya.
4) Prasasti Karang Brahi antara Jambi dan Sungai Musi (688)
Ditemukan di tepi Sungai Merangin yang merupakan cabang Sungai Batang
Hari di Jambi Hulu. Prasasti ini juga berisi kutukan-kutukan. Yang menarik dari
prasasti ini adalah baris 1-4 menggunakan dialek yang berbeda dengan baris
selanjutnya.
5) Prasasti Gandasuli di Jawa Tengah (832)
Prasasti Gandasuli merupakan prasasti peninggalan Kerajaan Mataram Kuna
ketika dikuasai oleh Wangsa Syailendra. Prasasti ini ditemukan di reruntuhan
Candi Gondosuli, di Desa Gondosuli, Kecamatan Bulu, Temanggung, Jawa
Tengah. Yang mengeluarkan adalah anak raja (pangeran) bernama Rakai
Rakarayan Patapan Pu Palar, yang juga adik ipar raja Mataram, Rakai Garung.
Prasasti Gandasuli terdiri dari dua keping, disebut Gandasuli I (Dang pu Hwang
Glis) dan Gandasuli II (Sanghyang Wintang). Ia ditulis menggunakan bahasa
Melayu Kuna dengan aksara Kawi (Jawa Kuna), berangka tahun 792M. Teks
prasasti Gandasuli II terdiri dari lima baris dan berisi tentang filsafat dan
ungkapan kemerdekaan serta kejayaan Syailendra.
6) Prasasti Bogor di Jawa Barat (942)
Jika berbagai prasasti tersebut bertahun pada zaman Sriwijaya, dapat
disimpulkan bahwa bahasa Melayu Kuno zaman itu telah berperan sebagai lingua
franca atau memiliki kemungkinan sebagai bahasa resmi pada zaman Sriwijaya.
Kesimpulan ini diperkuat oleh keterangan I Tsing tentang bahasa itu bahwa
bersama dengan bahasa Sansekerta, bahasa Melayu (diistilahkan Wen Lun)
memegang peranan penting di dalam kehidupan politik dan keagamaan di negara
itu (Sriwijaya).

b. Bukti Literasi
Selain berbagai prasasti tersebut, terdapat pula beberapa catatan yang bisa
dijadikan sumber informasi tentang asal-usul bahasa Melayu. Sejarah kuno negeri
Cina turut membuktikan tentang keberadaan bahasa Melayu tersebut. Pada awal
masa penyebaran agama Kristen, pengembara-pengembara Cina yang berkunjung
ke Kepulauan Nusantara menjumpai adanya berbagai lingua franca yang mereka
namai Kw’en Lun di Asia Tenggara. Salah satu di antara Wen Lun itu oleh I Tsing
diidentifikasi di dalam Chronicle-nya sebagai bahasa Melayu.
Untuk keperluan perkembangan bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia,
Traktat London (Perjanjian London) 1824 antara pemerintah Inggris dan Belanda
merupakan tonggak sejarah yang sangat penting. Sebab, pada traktat itu antara
lain berisi kesepakatan pembagian dua wilayah, yaitu 1) Semenanjung Melayu
dan Singapura beserta pulau-pulau kecilnya menjadi kekuasaan kolonial Inggris;
dan, 2) Kepulauan Nusantara (Kepulauan Sunda besar yakni pulau-pulau
Sumatera, Jawa, sebagian Borneo/Kalimantan, dan Sulawesi; Kepulauan Sunda
kecil: pulau-pulau Bali, Lombok, Flores, Sumbawa, Sumba, sebagian Timor, dan
lain-lain; Kepulauan Maluku dan sebagian Irian) menjadi kekuasaan kolonial
Belanda: Oleh karena itu, perkembangan bahasa Melayu ini dapat dikelompokkan
menjadi dua periode, yaitu 1) periode sebelum Traktat London,: dan 2) periode
setelah Traktat London.
Bahasa Indonesia adalah bahasa Melayu, sebuah bahasa Austronesia yang
digunakan sebagai lingua franca di Nusantara kemungkinan sejak abad-abad awal
penanggalan modern, paling tidak dalam bentuk informalnya. Bentuk bahasa
sehari-hari ini sering dinamai dengan istilah Melayu Pasar. Jenis ini sangat lentur
sebab sangat mudah dimengerti dan ekspresif, dengan toleransi kesalahan sangat
besar dan mudah menyerap istilah-istilah lain dari berbagai bahasa yang
digunakan para penggunanya. Bentuk yang lebih resmi, disebut Melayu Tinggi,
pada masa lalu digunakan kalangan keluarga kerajaan di sekitar Sumatera,
Malaya, dan Jawa.
Bentuk bahasa ini lebih sulit karena penggunaannya sangat halus, penuh
sindiran, dan tidak seekspresif Bahasa Melayu Pasar. Pemerintah kolonial Belanda
yang menganggap kelenturan Melayu Pasar mengancam keberadaan bahasa dan
budaya Belanda berusaha meredamnya dengan mempromosikan Bahasa Melayu
Tinggi, diantaranya dengan penerbitan karya sastra dalam Bahasa Melayu Tinggi
oleh Balai Pustaka. Tetapi Bahasa Melayu Pasar sudah terlanjur diambil oleh
banyak pedagang yang melewati Indonesia.
Terlalu sederhana apabila kita mengatakan bahwa bahasa Indonesia berasal
dari bahasa Melayu tanpa mengetahui historisnya. Perlu diingat bahwa bahasa
Melayu merupakan salah satu dialek yang tersebar di Nusantara yang dipakai
sejak zaman dulu. Namun karena Melayu sudah merupakan lingua franca atau
juga disebut Melayu Pasar, pemakaiannya lebih menonjol dibandingkan dengan
dialek-dialek Melayu lain. Untuk lebih mengetahui perkembangan serta asal-usul
bahasa Indonesia, maka kita perlu mengetahui beberapa fakta historis seperti di
bawah ini diantaranya:
1) Bahasa Melayu Sebelum Masa Kolonial
Sesuai dengan bukti-bukti tertulis mengenai bahasa Melayu, namun dapat
dipastikan bahwa bahasa Melayu sudah dipakai sejak Zaman Kerajaan Sriwijaya
pada abad ke-7. Adapun bukti-bukti tertulis pertama mengenai bahasa Melayu ini
terdapat dalam prasasti-prasasti sekitar tahun 680 M, seperti prasasti Kedukan
Bukit di sekitar Palembang dengan angka tahun 683 M, prasasti Kota Kapur
berangka 686 M (Bangka Barat), prasasti Talang Tuwo berangka tahun 684 M,
serta prasasti Karang Brahi berangka tahun 688 M (antara Jambi dan Sungai
Musi).
2) Bahasa Melayu Pada Masa Kolonial
Ketika orang-orang Barat sampai ke Indonesia abad XVI mereka
menemukan suatu kenyataan bahwa bahasa Melayu merupakan bahasa yang
dipakai dalam kehidupan yang luas yaitu bangsa Nusantara. Hal ini dapat
dibuktikan dari beberapa kenyataan, misalnya seorang Portugis bernama Pigefetta,
setelah mengunjungi Tidore, menyusun semacam daftar kata bahasa Melayu pada
tahun 1522. Jan Huvgenvan Linschoten, menulis buku yang berjudul “Itinerarium
ofte schipvaert Naer Oost Portugels Indiens.” Dikatakan bahwa bahasa Melayu
itu bukan saja sangat harum namanya, tetapi juga merupakan bahasa negeri Timur
yang dihormati.
Baik bangsa Portugis maupun bangsa Belanda yang datang ke Nusantara
mendirikan sekolah-sekolah. Mereka terbentur dalam soal bahasa pengantar.
Kegagalan dalam mempergunakan/menyebarkan bahasa-bahasa barat itu,
memuncak dengan keluarnya keputusan pemerintah kolonial, KB 1871 No. 104,
yang menyatakan bahwa pengajaran di sekolah-sekolah bumi putera diberikan
dalam bahasa daerah atau bahasa Melayu.
Perlu diketahui pula, bahwa pada waktu itu bahasa Melayu terbagi menjadi
tiga golongan, yaitu:
a) Melayu tinggi yaitu bahasa Melayu sebagaimana dipakai dalam kitab sejarah
Melayu.
b) Melayu rendah yaitu bahasa Melayu pasar atau pula bahasa Melayu campuran.
c) Melayu daerah yaitu bahasa Melayu yang dipengaruhi oleh dialek-dialek
tertentu.
3) Bahasa Melayu pada Masa Pergerakan Kemerdekaan
Tokoh pergerakan mencari bahasa yang dapat dipahami dan dapat dipakai
oleh segenap lapisan suku bangsa yang ada. Pada mulanya memang sulit
menentukan bahasa mana yang dapat dipakai itu. Pemikiran terwujudnya bahasa
persatuan, sebenarnya tumbuh sejak kesadaran kebangsaan, lebih memuncak lagi
setelah Dewan Rakyat pada tahun 1918 berpikir tentang bahasa persatuan yang
sangat diperlukan. Dari hasil pemikiran para tokoh pergerakan dan Dewan
Rakyat, akhirnya dipilih bahasa Melayu dengan pertimbangan bahwa bahasa telah
dipakai hampir sebagian rakyat Indonesia pada waktu itu.
Tokoh pergerakan yang senantiasa memperkenalkan bahasa Melayu kepada
seluruh rakyat dengan pertimbangan bahasa Melayu telah mempunyai ejaan resmi
yang ditulis dalam Kitab Logat Melayu yang disusun oleh Ch. A. Van Ophuysen
Sejarah telah mencatat bahwa Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 adalah titik
kulminasi bagi penentuan bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia, karena pada
waktu itu pertama kali kita mengikrarkan sumpah yang berbunyi:
Bahasa Melayu di Indonesia kemudian digunakan sebagai lingua franca
(bahasa pergaulan), namun pada waktu itu belum banyak yang menggunakannya
sebagai bahasa ibu. Biasanya masih digunakan bahasa daerah (yang jumlahnya
bisa sampai sebanyak 360). Awal penciptaan Bahasa Indonesia sebagai jati diri
bangsa bermula dari Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928.
a) Kami putra-putri Indonesia mengaku bertumpah darah satu yaitu Tanah Air
Indonesia
b) Kami putra-putri Indonesia mengaku berbangsa satu yaitu bangsa Indonesia
c) Kami putra-putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan yaitu bahasa
Indonesia.
Pernyataan yang pertama adalah pengakuan bahwa pulau-pulau yang
betebaran dan lautan yang menghubungkan pulau-pulau yang merupakan wilayah
Republik Indonesia sekarang adalah satu kesatuan tumpah darah (tempat
kelahiran) yang disebut Tanah Air Indonesia. Pernyataan yang kedua adalah
pengakuan bahwa manusia-manusia yang menempati bumi Indonesia itu juga
merupakan satu kesatuan yang disebut bahasa Indonesia. Pernyataan yang ketiga
tidak merupakan pengakuan “berbahasa satu”, tetapi merupakan pernyataan tekad
kebahasaan yang menyatakan bahwa kita, bangsa Indonesia menjunjung tinggi
bahasa persatuan, yaitu bahasa Indonesia (Halim via Arifin & Tasai, 2009: 7).
Pada Kongres Nasional kedua di Jakarta, dicanangkanlah penggunaan
Bahasa Indonesia sebagai bahasa untuk negara Indonesia pasca kemerdekaan.
Soekarno tidak memilih bahasanya sendiri, Jawa (yang sebenarnya juga bahasa
mayoritas pada saat itu), namun beliau memilih bahasa Indonesia yang beliau
dasarkan dari bahasa Melayu yang dituturkan di Riau. Kalau bahasa-bahasa
daerah yang lain (bahasa Jawa, Sunda, Madura, Bali, Bugis, Maksar, Minang,
Batak, Banjar, dan sebagainya) hanya dapat bergerak di dalam masyarakatnya
sendiri, bahasa Melayu mampu melampai batas-batas kesukuan (Sumowijoyo,
2001: 10). Bahasa Melayu Riau dipilih sebagai bahasa persatuan Negara Republik
Indonesia atas beberapa pertimbangan sebagai berikut:
a) Jika bahasa Jawa digunakan, suku-suku bangsa atau puak lain di Republik
Indonesia akan merasa dijajah oleh suku Jawa yang merupakan puak
(golongan) mayoritas di Republik Indonesia.
b) Bahasa Jawa jauh lebih sukar dipelajari dibandingkan dengan bahasa Melayu
Riau. Ada tingkatan bahasa halus, biasa, dan kasar yang dipergunakan untuk
orang yang berbeda dari segi usia, derajat, ataupun pangkat. Bila pengguna
kurang memahami budaya Jawa, ia dapat menimbulkan kesan negatif yang
lebih besar.
c) Bahasa Melayu Riau yang dipilih, dan bukan Bahasa Melayu Pontianak, atau
Banjarmasin, atau Samarinda, atau Maluku, atau Jakarta (Betawi), ataupun
Kutai, dengan pertimbangan pertama suku Melayu berasal dari Riau, Sultan
Malaka yang terakhir pun lari ke Riau selepas Malaka direbut oleh Portugis.
Kedua, ia sebagai lingua franca, Bahasa Melayu Riau yang paling sedikit
terkena pengaruh misalnya dari bahasa Tionghoa Hokkien, To Ciu, Ke,
ataupun dari bahasa lainnya.
d) Pengguna bahasa Melayu bukan hanya terbatas di Republik Indonesia. Pada
tahun 1945, pengguna bahasa Melayu selain Republik Indonesia masih dijajah
Inggris. Malaysia, Brunei, dan Singapura masih dijajah Inggris. Pada saat itu,
dengan menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan, diharapkan di
negara-negara kawasan seperti Malaysia, Brunei, dan Singapura bisa
ditumbuhkan semangat patriotik dan nasionalisme negara-negara jiran di Asia
Tenggara. Dengan memilih Bahasa Melayu Riau, para pejuang kemerdekaan
bersatu lagi seperti pada masa Islam berkembang di Indonesia, namun kali ini
dengan tujuan persatuan dan kebangsaan. Bahasa Indonesia yang sudah dipilih
ini kemudian distandardisasi (dibakukan) lagi dengan nahu (tata bahasa), dan
kamus baku juga diciptakan. Hal ini sudah dilakukan pada zaman Penjajahan
Jepang.
3. Kedudukan, Fungsi Bahasa Indonesia
Sesuai dengan ikrar Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 bahasa Indonesia
berkedudukan sebagai bahasa nasional yang berfungsi sebagai a) lambang
kebanggaan kebangsaan; b) lambang identitas nasional; c) sebagai alat
penghubung antarwarga, antardaerah, dan antarbudaya; dan d) sebagai alat yang
memungkinkan terlaksananya penyatuan berbagai suku bangsa yang memiliki
latar belakang budaya dan bahasa yang berbeda-beda.
Sebagai lambang kebanggaan kebangsaan, bahasa Indonesia mencerminkan
nilai-nilai sosial budaya yang mendasari rasa kebangsaan kita. Sebagai lambang
identitas nasional, bahasa Indonesia kita junjung di samping bendera dan lambang
negara kita. Bahasa Indonesia mempunyai kedudukan yang sama dengan bendera
dan lambang negara. Fungsi yang ketiga sebagai alat perhubungan antarwarga,
antardaerah, dan antarsuku bangsa. Kita dapat bepergian dari pelosok yang satu ke
pelosok yang lain di Tanah Air kita dengan hanya memanfaatkan bahasa Indonesia
sebagai satu-satunya alat komunikasi. Fungsi bahasa Indonesia yang keempat
dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, adalah sebagai alat yang
memungkinkan terlaksananya penyatuan berbagai-bagai suku bangsa yang
memiliki latar belakang sosial budaya dan bahasa yang berbeda-beda ke dalam
satu kesatuan kebangsaan yang bulat (Arifin & Tasai, 2009: 12-13).
Sesuai dengan Bab XV pasal 36 UUD 1945 kedudukan bahasa Indonesia
sebagai bahasa negara berfungsi sebagai a) sebagai bahasa resmi kenegaraan; b)
merupakan bahasa pengantar di lembaga-lembaga pendidikan mulai Taman
Kanak-kanak sampai dengan perguruan tinggi di seluruh Indonesia; c) sebagai alat
perhubungan pada tingkat nasional untuk perencanaan dan pelaksanaan
pembangunan nasional; dan d) alat pengembang kebudayaan nasional, ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Sebagai bahasa resmi kenegaraan bahasa Indonesia dipakai di dalam segala
upacara, peristiwa, dan kegiatan kenegaraan, balk dalam bentuk lisan maupun
tulisan. Sebagai bahasa pengantar, bahasa Indonesia tidak dipergunakan
dibeberapa daerah seperti di Aceh, Batak, Sunda, Jawa, Madura, Bali, dan
Makasar yang menggunakan bahasa daerahnya sendiri sebagai bahasa pengantar
pendidikan. Sebagai alat penghubung, bahasa Indonesia dipakai bukan saja
sebagai alat komunikasi timbal-balik antar pemerintah dan masyarakat luas, dan
bukan saja sebagai alat perhubungan antar daerah dan antar suku, melainkan juga
sebagai alat perhubungan di dalam masyarakat dengan latar belakang sosial
budaya dan bahasanya. Kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara pada
fungsinya yang keempat berpeluang di dalam membina dan mengembangkan
kebudayaan nasional sedemikian rupa sehingga ia memiliki ciri-ciri dan
identitasnya sendiri, yang membedakannya dari kebudayaan daerah (Arifin &
Tasai, 2009: 14).
Fungsi bahasa secara umum meliputi a) sebagai sarana komunikasi, b)
sebagai alat untuk integrasi dan adaptasi sosial, c) sebagai sarana control sosial, d)
sebagai sarana memahami diri sendiri, e) sebagai alat untuk ekspresi diri, f)
sebagai sarana memahami orang lain, g) sebagai sarana mengamati lingkungan
sekitar, h) dan sebagai alat untuk berfikir logis, i) membangun kecerdasan, j)
mengembangkan kecerdasan ganda, k) membangun karakter, I) mengembangkan
profesi dan m) sebagai sarana untuk menciptakan kreatifitas baru (Widjono, 2008:
15-23).
Bahasa memiliki sifat atau ciri, antara lain 1) bahasa itu sebuah sistem, 2)
bahasa itu berwujud lambang, 3) bahasa itu berupa bunyi, 4) bahasa itu bersifat
arbiter, 5) bahasa itu bermakna, 6) bahasa itu bersifat konvensional. 7) bahasa itu
bersifat unik, 8) bahasa itu bersifat universal, 9) bahasa itu bersifat produktif, 10)
bahasa itu bervariasi, 11) bahasa itu bersifat dinamis, l2) bahasa itu berfungsi
sebagai alat interaksi sosial, dam 13) bahasa itu merupakan identitas penuturnya
(Chaer, 2003: 33).

4. Ragam Bahasa
Ragam bahasa Indonesia dapat dibagi berdasar cara berkomunikasi, cara
pandang penutur, berdasar topik pembicaraan, dan berdasarkan sifatnya. Ragam
bahasa yang beraneka macam itu masih tetap disebut “bahasa Indonesia” karena
masing-masing berbagi teras atau inti sari bersama yang umum (Alwi, dkk, 1993:
3). Berdasar cara bekomunikasi, dibagi menjadi ragam lisan dan ragam tulis.
Tabel 1
Keunggulan dan Kelemahan
Berkomunikasi Secara Lisan dan Tertulis
Cara Komunikasi Keunggulan Kelemahan
1. Berlangsung cepat 1. Tidak selalu mempunyai
2. Dapat berlangsung tanpa bukti autentik
alat bantu 2. Dasar hukumnya lemah
3. Kesalahan dapat 3. Sulit disajikan secara
Secara lisan
langsung dikoreksi matang / bersih
4. Dapat dibantu dengan 4. Mudah dimanipulasi
gerak tubuh dan mimic
muka
1. Punya bukti autentik 1. Berlangsung lambat
2. Dasar hukumnya kuat 2. Selalu memakai alat
3. Dapat disajikan lebih bantu
matang/bersih 3. Kesalahan tidak dapat
Secara tertulis
4. Sulit dimanipulasi langsung dikoreksi
4. Tidak dapat dibantu
dengan gerak tubuh dan
mimik muka

Berdasarkan cara pandang penutur dapat dibagi menjadi ragam


dialek/kedaerahan, ragam terpelajar, ragam resmi dan ragam tak resmi.

Tabel 2
Pemakaian Ragam Resmi dan Tak Resmi
Ragam Tidak Resmi Lisan Ragam Resmi Lisan
Dipakai untuk : Dipakai untuk :
 Berbicara sehari-hari  Berceramah
 Bergunjing  Berdiskusi
 Bercerita  Presentasi
 Mengobrol
Ragam tidak Resmi Tulis Ragam Resmi Tulis
Dipakai untuk : Dipakai untuk :
 Menulis surat pribadi  Menulis surat dinas, makalah
 Menulis catatan harian  Proposal, artikel, dan KTI
 Menulis laporan formal

Contoh ragam bahasa:


Ragam lisan tak resmi : Sudah saya periksa pasien itu.
Ragam tulis formal : Saya sudah memeriksa pasien itu.
Ragam dialek : Gue udah periksa itu pasien.
Ragam terpelajar : Saya sudah memeriksa pasien itu.
Ragam resmi : Saya sudah memeriksa pasien itu.
Ragam tak resmi : Saya sudah periksa pasien itu.
Berdasarkan topik pembicaraan/profesi dibagi menjadi ragam hukum,
ragam bisnis, ragam sastra dan ragam kedokteran. Sedangkan berdasarkan
sifatnya dibagi menjadi ragam ilmiah dan ragam nonilmiah.
Tabel 3
Contoh Ragam Profesional
Sifat
Nonilmu/nonilmiah Ilmu/ilmiah
Bidang
Hukum Dia dihukum karena melakukan Dia dihukum karena melakukan
penipuan dan penggelapan tindak pidana
Bisnis Setiap agen akan mendapat Setiap agen akan mendapat
potongan khusus rabat khusus
Sastra Jalan cerita memang sinetron Alur sinetron itu memang
itu membosankan membosankan
Kedokteran Ayan bukan penyakit menular Epilepsi bukan penyakit
menular
Sumber : Finoza (2004)
5. Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar
Setiap orang diminta disiplin dalam memerantikan setiap laras bahasa dalam
praktik komunikasi dan interaksi dengan sesamanya (Rahardi, 2009: 184).
Maksudnya adalah ketika seseorang berbahasa, dia harus menyesuaikan ragam
bahasa yang digunakannya. Ketika orang harus berbahasa dengan berbahasa laras
formal, janganlah tuturan formalnya dikacaukan dengan bahasa tidak formal.
Demikian pula sebaliknya, ketika orang harus berbicara santai, harus berbicara
manja, harus berbicara dengan laras gaul atau prokem, silakan memerantikan laras
bahasa dengan demikian itu dengan sebaik-baiknya (Rahardi, 2009: 184).
Pemakaian bahasa yang mengikuti kaidah yang dibakukan atau tidak yang
dianggap baku itulah yang merupakan bahasa yang benar (Alwi, dkk, 1993: 22).
Bahasa yang benar adalah penggunaan bahasa (tulis) yang sesuai dengan kaidah
bahasa yang berlaku. Penggunaan bahasa yang benar yaitu bahasa yang sesuai
dengan aturan dan kaidah bahasa Indonesia (Widjono, 2008: 5).
Pemanfaatan ragam yang tepat dan serasi menurut golongan penutur dan
jenis pemakaian bahasa itulah yang disebut bahasa yang baik dan tepat (Alwi,
dkk, 1993: 22). Bahasa yang baik adalah bahasa yang bila digunakan untuk
berkomunikasi dapat memberikan informasi yang akurat dan tidak menimbulkan
salah faham. Bahasa Indonesia yang baik dan benar adalah penggunaan bahasa
Indonesia sebagai alat komunikasi sesuai dengan EYD sehingga maknanya mudah
difahami, tidak menimbulkan salah tafsir dan efektif. Bahasa yang santun yaitu
bahasa yang halus, sopan, menghargai orang lain, tidak menunjukkan kemampuan
diri berlebihan di hadapan orang lain (Widjono, 2008:5)

Anda mungkin juga menyukai