Anda di halaman 1dari 138

BAB I

PEMBANGUNAN SOSIAL ORIENTASI LINGKUNGAN DENGAN


TUJUAN TANPA KEMISKINAN, KEHIDUPAN SEHAT DAN
SEJAHTERA, DAN PENDIDIKAN BERKUALITAS

Relasi Kemiskinan dan Lingkungan di Indonesia : Seiring atau Beda Arah

Oleh: Sutyastie Soemitro

1. Pendahuluan

Isu kemiskinan tampaknya merupakan isu abadi – tak lekang oleh zaman. Tidak
ada satupun negara yang terbebas dari derita kemiskinan sebagian rakyatnya kendati
negara tersebut telah memiliki rata-rata pendapatan per kapita yang tinggi. Upaya
meningkatkan pendapatan tentu melibatkan berbagai sumberdaya yang sebagian
terpaksa mengeruk sumberdaya alam yang berakibat menurunnya kualitas
lingkungan. Sehingga tak terhindarkan seiring sejalan antara kemiskinan dan
lingkungan, kemiskinan meningkat dan lingkungan tambah buruk, namun beberapa
negara mampu merubah arah untuk tidak sejalan atau menyeimbangkan antara
peningkatan kemiskinan dengan penurunan kondisi lingkungan hidup. Hubungan
timbal balik ini akan diamati untuk beberapa negara termasuk Indonesia.
Harian Kompas yang terbit pada tanggal 9 April 2018 dengan menggunakan
tajuk “Kemiskinan Masih Pelik” menyatakan bahwa tingkat kemiskinan di Indonesia
terus turun. Namun, sejumlah persoalan menyebabkan penurunannya agak lambat.
Padahal rasio ketergantungan penduduk turun secara signifikan. Data BPS
menunjukkan bahwa pada tahun 1993 jumlah penduduk miskin tercatat sebanyak
37,9 juta orang, pada tahun 2017 turun menjadi 27,7 juta jiwa (10,64%). Pelambatan
pengurangan jumlah penduduk miskin tentu disebabkan beberapa hal yang perlu
dianalisis. Ditengah optimisme pembangunan infrastruktur yang sangat progresif
yang dipastikan mempengaruhi kondisi lingkungan maka apabila isu penurunan
kemiskinan yang melambat ditambah isu perusakan lingkungan yang meluas maka
lengkaplah permasalahan pembangunan.

1
Setiap ada kampanye pilkada Bupati/Walikota, Gubernur bahkan Presiden,
kemiskinan selalu menjadi isu utama ratusan kampanye, apalagi tahun ini adalah
tahun politik dengan 171 pilkada artinya isu kemiskinan lebih dari seratus terulang,
namun hingga diganti lagi para pimpinan daerah mengulang lagi isu kemiskinan.
Semoga ke depan isu kemiskinan bukan hanya menjadi ajang kampanye dan
perdebatan yang tidak ada selesainya. Oleh karena itu adakah jalan keluar yang dapat
ditawarkan di akhir tulisan ini.

2. Isu Jangka Panjang : Kemiskinan dan Lingkungan


Dalam buku terbarunya Arief Anshory yang berjudul “Keadilan untuk
Pertumbuhan” (2018) yang disampaikan pada acara pengukuhan jabatan akademik
profesornya, berdasarkan penelitiannya yang berdurasi cukup lama, sampai pada
suatu kesimpulan bahwa keadilan untuk pertumbuhan adalah paradigma
pembangunan ekonomi yang pada intinya menempatkan keadilan ekonomi dahulu
sebelum pertumbuhan ekonomi. Paradigma tersebut menepis paradigma lama antara
lain dari dua ekonom Bank Dunia, David Dollar dan Aart Kraay yang
memublikasikan makalahnya yang cukup terkenal, yaitu berjudul “Growth is Good
for the Poor” (2002) dengan menggunakan data dari 92 negara. Mereka
menunjukkan bahwa masyarakat 20% termiskin selalu naik seiring dengan
pertumbuhan ekonomi sehingga berkesimpulan bahwa pertumbuhan ekonomi
adalah senjata ampuh untuk mengurangi kemiskinan.
Setelah hampir dua dekade pertumbuhan ekonomi beberapa negara terutama di
Asia tentu sangat penting untuk diketahui terlebih bagi Indonesia yang turut
meratifikasi ke 17 goals SDGs dalam kemampuannya untuk menghilangkan tingkat
kemiskinan hingga nol di tahun akhir periode 2030.

Tabel 1. 1 Persentase kelompok ekonomi di negara-negara ASEAN Tahun 2015

Miskin Miskin Rentan Secure Kelas


Ekstrim Moderat (%) (%) Menengah
(%) (%) (%)
Cambodia 0.7 14 49.6 34.9 0.7
Indonesia 7.5 24.6 35.9 27.7 4.3
Lao PDR 13.8 27.9 36 20.1 2.2
Malaysia 0 0.03 2.6 31.3 65.7
2
Philippines 6.6 18.7 30.8 34.7 9.2
Thailand 0 0.8 10.1 53.6 35.4
Vietnam 2.7 7.1 23.7 57 9.5
Sumber: Bank Dunia dalam Arief Anshory Yusuf (2018)

Pada tahun yang lalu Bank Dunia melaporkan tentang kemiskinan di negara-
negara ASEAN yang diukur pada tahun 2015 (Tabel 1.1) yang mengelompokkan
penduduk di setiap negara ke dalam 5 kelompok: miskin ekstrem, miskin moderat,
rentan, secure dan kelas menengah. Jika dibandingkan dengan negara ASEAN
lainnya, kelompok miskin ekstrem sebanyak 7,5% disaat yang sama Malaysia dan
Thailand 0% yang berarti pada tahun 2015 kedua negara ini telah mencapai target
zero poverty agenda kesatu dari 17 tujuan pembangunan berkelanjutan utama
(Sustainable Development Goals atau SDGs) yang ditargetkan untuk tahun 2030.
Masih dari tabel yang sama kita peroleh gambaran bahwa di awal pencanangan
SDGs ada sebanyak 68% masyarakat Indonesia yang tergolong miskin ekstrem,
miskin moderat dan rentan sehingga hanya 32% yang termasuk secure dan kelas
menengah, bahkan kelas menengah ini hanya sebesar 4,3%. Apakah dalam waktu 12
tahun yang akan datang 68% tersebut bisa di nolkan…rasa-rasanya terlampau berat
untuk dapat dicapai atau apakah dapat menyamai Malaysia dan Thailand dengan
menghilangkan 7,5% kelompok yang tergolong miskin ekstrem?
Jika kita amati penurunan rasio kemiskinan di Indonesia cenderung mengalami
perlambatan sebagaimana tampak pada Gambar 1 di bawah ini. Selama periode 1981
hingga 2015, khususnya untuk tingkat kemiskinan moderat dengan menggunakan
standar internasional (Purchasing Power Parity sebesar $ 3,1 per orang per hari atau
setara Rp 13.000 pada tahun 2016), ternyata lagi-lagi Malaysia dan Thailand
rasionya mampu mendekati 0 sementara Indonesia masih 24,6% yang notabene
sedikit lebih baik dibanding Lao PDR yang paling buncit diantara 7 negara ASEAN.
Di saat yang sama Indonesia masih memiliki masyarakat yang tergolong rentan
sebanyak 35,9% yang setiap saat jika terjadi kenaikan harga-harga barang dan jasa
akan mudah tergelincir masuk ke dalam golongan miskin moderat.
Melalui ilustrasi tersebut, jika tidak ada upaya-upaya serius untuk
menanggulangi kemiskinan di Indonesia tampaknya target zero poverty akan sulit
dicapai di tahun 2030.
3
100
Indonesia

90

80

70

60
Persen

50 Vietnam
Thailand
40
1992 2009

30

20

10
Malaysia

0
1981
1983
1985
1987
1989
1991
1993
1995
1997
1999
2001
2003
2005
2007
2009
2011
2013
2015

Gambar 1. 1 Tingkat kemiskinan moderat di Indonesia, Malaysia, Vietnam, Thailand 1981-


2015 (Bank Dunia) dalam Arief Anshory Yusuf, 2018

Isu penting kedua yang coba diulas adalah isu tentang lingkungan. Terkait isu
lingkungan, Indonesia menghadapi tantangan yang makin besar di masa mendatang
berkenaan dengan perubahan iklim. Sebagaimana diketahui Indonesia adalah negara
penghasil emisi CO2 terbesar se-Asia Tenggara dengan pemberi kontribusi yang
paling besar bersumber dari deforestasi. Apabila kita mengabaikan emisi yang
bersumber dari deforestasi, dengan tren yang ada saat ini, diproyeksikan di tahun
2030, Indonesia akan menjadi juara ke 6 tertinggi di dunia dalam emisi CO2 (lihat
Yusuf dan Patunru, 2016).
Keterkaitan antara pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan distribusi
pendapatan di awal-awal pembangunan yang dihasilkan pemikirannya oleh Simon
Kuznets - yang merupakan trade-off sehingga membentuk kurva huruf U terbalik
tampaknya terkait aspek lingkungan, analogi hubungan antara polusi dan PDB per
4
kapita juga berbentuk huruf U terbalik yang dikenal dengan kurva Environmental
Kuznet Curve (EKC) yang menunjukkan bahwa dimana kualitas lingkungan hanya
akan membaik jika tingkat kesejahteraan tertentu sudah tercapai. Hasil-hasil empiris
menunjukkan bahwa titik-belok EKC dari berbagai jenis polusi, relatif tinggi
sehingga membutuhkan waktu lama untuk negara berkembang memasuki tahap
tersebut, sebagaimana terlihat pada Tabel 1.2 berikut.
Jika Indonesia kini rata-rata Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita berada
pada US $ 3.600 misalnya untuk polusi CO2 titik belok terjadi pada US $7.114 maka
apabila laju pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat dipertahankan stabil di tingkat 5
% per tahun maka titik belok penurunan emisi tersebut baru akan dicapai pada kurun
waktu paling cepat 20 tahun yang akan datang atau tahun 2038 yang berarti lewat
target 2030. Itu baru dari satu jenis emisi, bagaimana jika kombinasi berbagai jenis
polusi, semakin jauh panggang dari api.
Apalagi untuk jenis SO2, NOx dan SPM titik belok baru terjadi pada pendapatan
per kapita di atas US $ 10.000 – 13.000 sehingga apabila digunakan dengan asumsi
yang sama seperti di atas, maka titik belok penurunan polusinya baru bisa dicapai
dalam waktu 80 tahun., atau tahun 2098. Periode penormalan kembali membutuhkan
waktu yang sangat panjang, bahkan lebih dari beberapa generasi.

Tabel 1. 2 Titik Belok EKC untuk beberapa jenis polusi

SO2 dan partikulat $4000 - $5000


Konsentrasi polusi lokal $3000 - $4000
SO2 $10,391
NOx $13,383
SPM $12,275
CO2 $7,114
Sumber: Grossman and Krueger (1994); Shafik and Bandyopadhyay (1992);
Selden and Song (1994) dalam Arief Anshory Yusuf (2018)

3. Penutup

Berdasarkan analisis sederhana tersebut yang mencoba mengaitkan aspek


ekonomi diwakili tingkat kemiskinan dan aspek lingkungan yang diwakili
beberapa jenis polusi, dapat disimpulkan bahwa kemiskinan dan lingkungan adalah
isu jangka panjang. Oleh karenanya membutuhkan konsistensi dan kesinambungan
5
dalam program penanggulangan dan pencegahannya. Selain daripada itu, jika isu
kemiskinan tidak mampu tertangani dengan baik cenderung menimbulkan isu
kerusakan lingkungan yang makin parah. Kedua isu ini saling berjalan searah,
saling melengkapi namun berdampak negatif yang bersifat spiral membesar
layaknya bola salju yang menggelinding ke bawah. Pelambatan penurunan tingkat
kemiskinan akan lebih sulit ditanggulangi apabila kualitas lingkungan makin
memburuk.
Konsekuensi sangat logis adalah sudah semestinya kelembagaan yang
berwenang atas penanganan kedua isu ini harus bergandengan tangan erat dan
sungguh-sungguh saling berkoordinasi agar bola salju tidak makin membesar
sehingga berdampak lebih mengerikan. Bersamaan waktu dibutuhkan komitmen
kuat pimpinan negara dan jajaran untuk memprioritaskan kedua isu ini diantara
kepentingan-kepentingan lain guna mencapai target SDGs pada tahun 2030.

DAFTAR PUSTAKA

Arief Anshory Yusuf, Estimates of the “Green” or “ECO” Regional Domestic


Product of Indonesian Provinces for the Year 2005, Economics and Finance Indonesia
Vol. 58 No. 2, 2010

-------, Keadilan untuk Pertumbuhan, 2018, UNPAD Press, ISBN 978-602-


439-278-9

Armida Alisyahbana and Arief Anshory Yusuf, Green Accounting and


Sustainable Development in Indonesia, 2004, Ford Foundation and
UNPAD Press, Bandung, ISBN : 9799664780

-------, Poverty Dynamics in Indonesia : Evidence from Longitudinal Data, in


Regional Development in Decentralized Era, 2004, Indonesian Regional
Science Association and UNPAD Press

-------, Arief Anshory Yusuf, Zuzy Anna, dkk, Menyongsong SDGs: Kesiapan
Daerah-daerah di Indonesia, UNPAD Press. ISBN : 978- 602-439232-1

Bank Dunia. 2018. Riding the Wave: An East Asian Miracle for the 21st Century.
World Bank East Asia and Pasific Regional Report; Washington, DC: World
Bank. https:// penknowledge.worldbank.org/handle/10986/28878 License: CC
BY 3.0 IGO
6
Harian Kompas, Senin 9 April 2018, Kemiskinan Masih Pelik, halaman 17

Sutyastie Soemitro Remi dan Prijono Tjiptoherijanto, Kemiskinan dan


Ketimpangan, Penerbit Eka Tjipta, Jakarta, 2012

---------, Ed, Andreas, Agus Ismail, Irwansyah, Hamdi Sari Maryoni, Jokowi-JK
: Evaluasi Paket Kebijakan Ekonomi, 2017, UNPAD Press, ISBN 978-
602-439-236-9

---------, Muhammad Aliyudin, Muhammad Fajri, Rani Nurfaidah, KuunaisahE-Tae,


Perekonomian Indonesia, 2017, UNPAD Press, ISBN 978-602-439-236-9

---------, Ed, Aan Zulyanto, Lilis Siti Badriah, Astrid Amalia Noeraini, Navik
Istikomah, Pencapaian MDGs di Indonesia, 2015, UNPAD Press, ISBN : 978-
602-9238-99-0

---------, Ed, ,Siswanda, Agus Purwantoro, Indra Bastian Tahir, dkk, SDGs :
Prognosa dan Sintesa, 2016, UNPAD Press, ISBN 978-602-8818- 86-7

7
Efek Radon Terhadap Kesehatan Gigi dan Mulut

Oleh: Suhardjo

Ringkasan
Radon222 yang dilepaskan oleh batuan memberikan kontribusi pada radiasi terhadap
tubuh manusia. Dampak negatif terhadap kesehatan yang disebabkan oleh radiasi jangka
panjang dan di luar kendali telah terbukti melalui studi epidemiologi (William Field, 2001).
Radon berasal dari peluruhan radioaktif asal batuan dan tanah yang mengandung uranium.
Pengetahuan geologi dapat berkontribusi dalam menentukan/membatasi daerah-daerah yang
pancaran radonnya dalam tanah dan batuan meningkat. Pengion alami dari sumber-sumber
eksternal dan internal ditengarai cukup tinggi. Sebagai contoh, di Amerika Serikat, rata-
ratanya, E tiap tahun kira-kira 3 mSv atau penyumbang terbesar, yaitu 83% dari seluruh
distribusi radiasi pengion alami. Apabila dibandingkan dengan radiasi buatan yang besarnya
hanya 0,60 mSv atau 17%. Nilai ini cukup besar, sehingga perlu menjadi bahan pertimbangan
dalam bidang Dentomaxilofacial Radiology Diagnostic di Provinsi Jawa Barat. Beberapa studi
epidemiologi dalam laporan WHO Handbook on Indoor Radon (2009) menunjukkan adanya
resiko yang ditimbulkan oleh radiasi pengion terhadap kesehatan dan dalam jangka panjang
dan pada akhirnya akan berdampak pada kualitas hidup ( Quality of Life/ QoL).
Pada tahun pertama (2015) dan kedua (2016) telah dilakukan penelitian di Kabupaten
Padalarang Provinsi Jawa Barat, yaitu di Desa Cipatat dan Desa Gunung Masigit Kecamatan
Cipatat. Hasil penelitian tahun pertama menunjukkan Kadar Radon di udara di wilayah Gunung
Masigit adalah sebesar 24,8 ± 29, Bq/m3 sedangkan kadar radon di udara wilayah Cipatat
sebesar 16,6 ± 24, Bq/m3. pengisian angket, kondisi kesehatan responden baik di wilayah Desa
Cipatat maupun Desa Gunung Masigit menunjukan kondisi kesehatan kurang baik, responden
cukup sering mengalami sakit dalam setiap bulannya. Akses terhadap pelayanan kesehatan
umumnya hanya diperoleh di Puskesmas terdekat, yaitu Puskesmas Cipatat, sementara akses
terhadap pelayanan kesehatan yang lain seperti rumah sakit pemerintah atau swasta, klinik dan
praktek dokter yang mandiri jaraknya cukup jauh.
Pada tahun kedua hasil Epidemiologi Karies Gigi pada masyarakat yang tinggal di
wilayah dengan kadar radon tinggi dan rendah. Indeks keparahan karies gigi di wilayah dengan
kadar radon 24,8 ± 29, Bq/m3 adalah sebesar 7,8 untuk indeks DMF-T dan 2,70 untuk Indeks
Karies Aktif. Indeks keparahan Karies Gigi pada wilayah dengan radon 16,6 ± 24, Bq/m3
8
adalah sebesar 7,8 untuk indeks DMF-T dan 2,70 untuk indeks Karies Aktif. Tingginya Indeks
Keparahan Karies dapat berdampak pada rendahnya kualitas hidup dalam aspek kesehatan gigi
dan mulut. Produk hasil penelitian tahun pertama dan kedua adalah terpublikasinya hasil
penelitian pada kegiatan seminar internasional, invited speaker pada pertemuan seminar
internasional, dan dihasilkannya karya ilmiah akhir bagi mahasiswa S1, serta adanya kerjasama
dengan berbagai institusi untuk pengembangan produk.
Hasil penelitian tahun pertama dan kedua merupakan pondasi untuk mengelaborasi efek
biologis radon terhadap sel dan jaringan di rongga mulut. Penelitian selanjutnya akan
mengelaborasi sampai sejauh mana sinar alfa yang dilepaskan oleh radon terakumulasi pada
gigi dan tulang yang dapat menyebabkan efek biologis. Selain itu pada tahun ketiga dan
keempat diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menganalisis kontribusi faktor lingkungan,
faktor sosial – ekonomi, faktor perilaku dan faktor pelayanan kesehatan dapat berpengaruh
terhadap status kesehatan gigi dan mulut serta kualitas hidup masyarakat yang tinggal di
wilayah dengan kadar radon tinggi.

Pendahuluan
Radon222 yang dilepaskan oleh batuan memberikan kontribusi pada radiasi terhadap
tubuh manusia. Dampak negatif terhadap kesehatan yang disebabkan oleh radiasi jangka
panjang dan di luar kendali telah terbukti melalui studi epidemiologi (William Field, 2001).
Radon berasal dari peluruhan radioaktif asal batuan dan tanah yang mengandung uranium.
Pengetahuan geologi dapat berkontribusi dalam menentukan/membatasi daerah-daerah yang
pancaran Radonnya dalam tanah dan batuan meningkat.
Pengion alami dari sumber-sumber eksternal dan internal ditengarai cukup tinggi.
Sebagai contoh, di Amerika Serikat, rata-ratanya, E tiap tahun kira-kira 3 mSv atau
penyumbang terbesar, yaitu 83 % dari seluruh distribusi radiasi pengion alami. Apabila
dibandingkan dengan radiasi buatan yang besarnya hanya 0,60 mSV atau 17 %. Nilai ini cukup
besar, sehingga perlu menjadi bahan pertimbangan dalam bidang Dentomaxilofacial Radiology
Diagnostic di Provinsi Jawa Barat.
Pemantauan gas radon di lingkungan, rumah dan perkantoran di negara-negara maju
seperti USA, Australia, Jepang dan negara-negara Eropa Barat, telah mendapat perhatian serius
sedangkan Indonesia masih sangat kurang padahal berdasarkan data geografis Indonesia
termasuk berpotensi besar. Peta Radon Jawa Barat berdasarkan data jenis batuan granit sangat
9
berpotensi memiliki kandungan radon tinggi. Hasil studi berdasarkan batuan di Padalarang
dan Subang didapatkan dosis radon tertinggi 77 Bq/kg dan terendah 32-35 Bq/kg di Padalarang
dan 8 Bq/kg di Subang. Kadar Radon di Padalarang sudah terpetakan kedalam 2 kelas, yaitu
Kelas Radon Tinggi (52-77 Bq/kg) dan Normal (32-35 Bq/kg) (Ildrem, Hirnawan dan
Suhardjo, 2011).
Reimer et al., (1991) beranggapan bahwa geologi dan gas radon dalam tanah adalah
indikator yang berguna untuk menentukan konsentrasi kadar radon di rumah dan di ruangan
rumah. Kadar radon rumah menjadi dasar potensi gelombang alfa yang dapat mencapai 20 kali
dari sumber radonnya sendiri. Gelombang alfa merupakan radiasi pengion apabila mengenai
jaringan atau melekul umumnya secara indirect, yaitu melalui media air, akan menghasilkan
radikal bebas Hidrogen (H), Hidroksil (OH) dan akhirnya dapat terbentuk peroksida H2O2 yang
bersifat sangat reaktif. Radikal bebas merupakan hasil samping proses metabolisme normal
yang dapat melibatkan oksigen, seperti senyawa oksigen reaktif (SOR) dan senyawa nitrogen
reaktif (SNR). Senyawa radikal mengandung elektron tidak berpasangan pada kulit terluar
sehingga sangat reaktif menarik elektron dari molekul di sekelilingnya untuk melengkapi
kekurangan elektron di dalamnya. Akibat reaktivitasnya, molekul yang kehilangan elektron
berubah menjadi radikal yang baru dan akhirnya menyebabkan kerusakan sel, gangguan fungsi
sel, bahkan kematian sel. Molekul penting di dalam tubuh yang rentan dirusak oleh radikal
bebas, yaitu deoxyribonucleic acid (DNA), lemak, dan protein.
Bukti dari efek Radon terhadap kesehatanpertama kali ditemukan terhadap kanker paru,
emphesema, fibrosis pulmo, dan pemendekan waktu hidup. Efek radon dalam jumlah aktivitas
yang kecil (dari alam), bersifat probabilistik (stokastik), artinya peluang atau terkena efek tidak
mempunyai dosis ambang. Efek radiasi dapat terjadi pada tingkat organ, sel dan melekuler
termasuk organ dan sel di dalam jaringan rongga mulut. Efek terhadap sel dapat berupa
nekrosis atau transformasi sel. Nekrosis terjadi apabila stabilitas membran sel terganggu
sehingga terjadi kegagalan pompa natrium yang berakhir dengan kematian sel.
Radikal bebas dapat menimbulkan berbagai perubahan pada DNA yang antara lain
berupa, hidroksilasi basa timin dan sitosin, pembukaan inti purin dan pirimidin serta
terputusnya rantai fosfodiester DNA. Bila kerusakan tak terlalu parah, maka masih bisa
diperbaiki oleh sistem perbaikan DNA (DNA repair system). Namun apabila kerusakan terlalu
parah, misalnya rantai DNA terputus-putus diberbagai tempat, maka kerusakan tersebut tak
dapat diperbaiki dan replikasi sel akan terganggu. Perbaikan DNA ini sering menimbulkan
10
mutasi, karena dalam memperbaiki DNA tersebut sistem perbaikan DNA cenderung membuat
kesalahan. Semakin sering dan lama terpapar radiasi pengion semakinbesar radikal bebas di
hasilkan.
Efek radikal bebas dapat dideteksi dengan mengukur aktifitas enzim superoxide
dismutase (SOD), katalase dan Glutation peroxidase (GSH-PX) pada eritrosit. Kerja SOD
adalah menekan kerusakan oksidatif dengan cara mengkatalisis reaksi dismutasi anion
superoksida (O2*) menjadi H2O2. H2O2 merupakan oksidator kuat. Aktivitas SOD yang rendah
merupakan bukti bahwa kadar radikal bebasnya tinggi. Dalam keadaan normal pertahanan
tubuh yang baik akan terjadi proses keseimbangan proses kematian sel berupa nekrosis atau
apoptosis. Nekrosis terjadi apabila stabilitas membran sel terganggu sehingga terjadi kegagalan
pompa natrium yang berakhir dengan kematian sel. Gangguan perbaikan lesi DNA akibat
radikal bebas dapat menyebabkan terjadi mutasi sehingga berbagai protein fungsional
terganggu. Sebagai penanda awal terjadi perubahan fungsi protein secara molekuler terjadi
Apoptosis patologis. Apoptosis dapat direspons secara fisiologis, adaptif dan patologis
tergantung fungsi protein pengendali. Apoptosis dikendalikan oleh berbagai protein dalam sel
terutama adalah kelompok protein Bcl-2. Kelompok protein Bcl-2 terdiri dari protein pro-
apoptosis seperti Bax, Bad dan Bid; dan protein anti-apoptosis seperti Bcl-2 dan Bcl-x dan p
53.
Disamping itu proses Apoptosis dan proliferasi secara normal dikendalikan oleh
Telomer. Dengan adanya struktur telomer yang khas dan enzim telomerase penggandaan untai
DNA dapat dilakukan secara menyeluruh. Bila fungsi enzim telomerase terganggu, sel tersebut
tidak mampu menggandakan bagian paling akhir dari untai DNA-nya, walaupun tetap dapat
membelah diri. Hal tersebut menyebabkan untai DNA pada sel akan menjadi lebih pendek dari
sel awal. Bila keadaan ini berlanjut terus-menerus seiring dengan pembelahan sel, untai DNA
menjadi terlalu pendek dan kestabilan genom terganggu. Keadaan ini mengancam kelanjutan
hidup sel, dan dapat mengaktifkan program bunuh diri sel (apoptosis).
Mekanisme radon dalam menimbulkan efek terhadap kesehatan seperti yang telah
diuraikan di atas adalah karena keterpaparannya melalui inhalasi (inhalation exposure), rongga
mulut (oral exposure), kulit (dermal exposure) dan jalan keterpaparan lainnya (Other
exposure). Efek yang ditimbulkan radon terhadap kesehatan dapat berupa kematian, gangguan
sistemik, efek pada sistem imunitas, efek pada sistem saraf, efek pada pertumbuhan dan
perkembangan, efek pada sistem reproduksi, genotoksis, dan kanker. Saat ini biomarker yang
11
dapat digunakan untuk melihat efek radon terhadap kesehatan adalah melalui tulang, gigi,
darah, rambuh dan ‘whiskers” (US EPA, 1990).
Efek biologis dari radiasi pengion dapat dibagi menjadi dua kategori besar, yaitu efek
deterministik dan efek stokastik. Efek deterministik terjadi apabila tingkat keparahan respon
sebanding dengan dosis. Efek ini, biasanya dapat membunuh sel, terjadi pada semua orang
ketika dosis cukup besar. Efek deterministik memiliki ambang batas dosis di bawah ini yang
respon tidak terlihat. Radon juga memiliki efek stokastik, berlangsung lama setelah terjadi
penyinaran. Berkaitan dengan penerimaan radiasi dosis rendah oleh tubuh manusia, dalam
tingkat tertentu menyebabkan kelainan genetik. Sebagian besar mutasi gen diyakini akibat
radiasi sebagai hasil hilangnya seluruh gen, bersamaan dengan daerah kromosom sekitarnya.
Berdasarkan route of radon exposure, maka efek stokastik dan efek deterministik radon
terhadap jaringan di dalam rongga mulut pada masyarakat yang tinggal di wilayah dengan
kadar radon tinggi merupakan masalah yang perlu diteliti lebih lanjut.
Efek radiasi dimungkinkan dapat berpengaruh pada fungsi kelenjar ludah, yang dapat
meningkatkan resiko penyakit periodontal maupun karies. Berdasarkan pendekatan Triangle
Epidemiology, terjadinya karies berkaitan erat dengan adanya interaksi antara host (perubahan
keadaan lingkungan rongga mulut), agent (perubahan mikro flora oral) dan faktor
lingkungan/perilaku. Untuk melihat adanya pengaruh radiasi Radon terhadap karies,
diperlukan penelitian guna mengkaji interaksi faktor agent, host dan lingkungan sebagai
penyebab karies dengan melibatkan paparan Radon. Dengan demikian, diharapkan mekanisme
dampak paparan Radon terhadap kesehatan jaringan mulut akan dapat diketahui secara lebih
mendalam.
Penelitian tentang Paparan Radiasi Pengion Alami Radon di Jawa Barat yang dilakukan
oleh Ildrem, Hirnawan dan Suhardjo (2011) menunjukkan paparan radiasi pengion alami radon
di Daerah Padalarang dan sekitarnya dalam katagori radon rendah normal dan tinggi,
sedangkan untuk daerah Subang dan sekitarnya dalam katagori rendah-normal, normal,
normal-tinggi, dan tinggi. Studi awal penelitian akan dilakukan di Padalarang karena
kandungan Radon di Padalarang sudah terpetakan dengan jelas antara kadar radon radioaktif
rendah dan tinggi. Hal ini dapat memudahkan dilakukannya studi penelitian komparasi.
Beberapa studi epidemiologi dalam laporan WHO Handbook on Indoor Radon (2009)
menunjukkan adanya risiko yang ditimbulkan oleh radiasi pengion terhadap kesehatan dan
dalam jangka panjang dan pada akhirnya akan berdampak pada kualitas hidup (Quality of
12
Life/QoL). Di beberapa negara maju seperti Amerika Serikat, Australia, Jepang dan negara-
negara Eropa Barat, masalah gas radon ini telah mendapatkan perhatian yang serius.
Pemerintah Australia misalnya, melalui Commonwealth of Health, Housing and Community
Services telah membuka pusat-pusat informasi mengenai gas radon ini di setiap negara bagian.
Hal ini dimaksudkan agar masyarakat dapat memperoleh informasi yang tepat mengenai resiko
yang dapat ditimbulkan oleh gas radon tersebut. Pemerintah Amerika Serikat dan Jepang juga
telah memetakan daerah-daerah dengan kadar gas radon tinggi.
Di Indonesia, penelitian mengenai dampak jangka panjang radon terhadap status
kesehatan gigi – mulut dan kualitas hidup bahkan efek radon terhadap sel dan jaringan di dalam
rongga mulut belum pernah dilakukan. Berdasarkan hal tersebut, diperlukan penelitian untuk
memetakan kondisi kesehatan gigi dan mulut (karies gigi, jaringan peridontal, dan kondisi
lainnya) serta kualitas hidup masyarakat yang tinggal di wilayah dengan kadar radon tinggi dan
untuk menganalisis efek radon terhadap sel dan jaringan di dalam rongga mulut. Hasil
penelitian diharapkan dapat merekomendasikan model pencegahan penyakit gigi dan mulut
karena radon dan promosi kesehatan guna meningkatkan kualitas hidup bagi masyarakat yang
tinggal di wilayah dengan kadar radon tinggi.
Pada tahun pertama dan kedua telah dilakukan penelitian di Kabupaten Padalarang
Provinsi Jawa Barat, yaitu di Desa Cipatat dan Desa Gunung Masigit Kecamatan Cipatat. Desa
Cipatat berada di Kabupaten Bandung Barat yang memiliki luas wilayah sebesar 1105,16 Ha
dengan tipologi desa berupa perbukitan. Batas wilayah Desa Cipatat meliputi: sebelah utara
adalah Desa Kertamukti; sebelah selatan adalah Desa Cipageran dan Desa Ciptaharja; sebelah
barat Desa Rajamanda dan Desa Ciptaraharja; sebelah timur adalah Desa Citatah (Monografi
Desa Cipatat, 2014).
Desa Gunung Masigit terbentuk pada tahun 1982 melalui Peraturan Daerah Nomor
3211707 dan termasuk pada Kecamatan Cipatat Kabupaten Bandung Barat. Luas wilayah Desa
Gunung Masigit sebesar 1.053 Ha dengan batas wilayah meliputi: sebelah utara adalah Desa
Cirawamekar Kecamatan Cipatat; sebelah selatan adalah Desa Cikande adalah Kecamatan
Saguling; sebelah timur Desa Ciburuy Kecamatan Padalarang; sebelah barat adalah Desa
Citatah Kecamatan Cipatat (Monografi Desa Gunung Masigit, 2014).
Hasil observasi pada tahun pertama terhadap kondisi lingkungan menunjukkan kondisi
lingkungan sangat memprihatinkan karena dipengaruhi oleh polusi udara akibat dari kegiatan
penambangan pasir dan kapur. Kondisi lingkungan di sekitar kawasan tempat tinggal penduduk
13
di Desa Cipatat dan Gunung Masigit pada umumnya cukup baik, namun untuk kondisi sampah
dan pembuangan air limbah, khususnya di wilayah Gunung Masigit, kondisinya tidak baik.
Berdasarkan hasil wawancara dan pengisian angket, kondisi kesehatan responden baik di
wilayah Desa Cipatat maupun Desa Gunung Masigit menunjukkan kondisi kesehatan kurang
baik, responden cukup sering mengalami sakit dalam setiap bulannya. Akses terhadap
pelayanan kesehatan umumnya hanya diperoleh di Puseksmas terdekat, yaitu Puskesmas
Cipatat, sementara akses terhadap pelayanan kesehatan yang lain seperi rumah sakit
pemerintah atau swasta, klinik dan praktek dokter yang mandiri jaraknya cukup jauh.
Hasil penelitian tahun pertama menunjukkan Kadar radon di udara di wilayah Gunung
Masigit adalah sebesar 24,8 ± 29, Bq/m3 sedangkan kadar radon di udara di wilayah Cipatat
sebesar 16,6 ± 24, Bq/m3
Pada tahun kedua diperoleh Hasil Epidemiologi Karies Gigi pada masyarakat yang tinggal
di wilayah dengan kadar radon tinggi dan rendah.Indeks keparahan karies gigi di wilayah
dengan kadar radon 24,8 ± 29, Bq/m3 adalah sebesar 7,8 untuk Indeks DMF-T dan 2,70 untuk
Indeks Karies Aktif. Indeks Keparahan Karies gigi pada wilayah dengan kadar radon 16,6 ±
24, Bq/m3 adalah sebesar 7,8 untuk Indeks DMF-T dan 2,70 untuk Indeks Karies Aktif.
Tingginya indeks keparahan karies gigi tersebut dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan,
sosial dan perilaku kesehatan masyarakat setempat. Simpulan penelitian secara deskripsi
menunjukkan adanya perbedaan indeks keparahan karies gigi pada wilayah dengan kadar radon
tinggi dan kadar radon rendah. Tingginya Indeks Keparahan Karies dapat berdampak pada
rendahnya kualitas hidup dalam aspek kesehatan gigi dan mulut.
Produk hasil penelitian tahun pertama dan kedua adalah terpublikasikannya hasil penelitan
pada kegiatan seminar internasional, invited speaker pada pertemuan seminar internasional,
dan dihasilkannya karya ilmiah akhir bagi mahasiswa S1, serta adanya kerjasama dengan
berbagai institusi untuk pengembangan produk.
Hasil penelitian tahun pertama dan kedua merupakan fondasi untuk mengelaborasi efek
biologis radon terhadap sel dan jaringan di rongga mulut. Penelitian tahun ketiga dan keempat
akan mengelaborasi sampai sejauhmana sinar alfa yang dilepaskan oleh radon terakumulasi
pada gigi dan tulang yang dapat menyebabkan efek biologis. Selain itu pada tahun ketiga dan
keempat diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menganalisis kontribusi faktor lingkungan,
faktor sosial – ekonomi, faktor perilaku dan faktor pelayanan kesehatan dapat berpengaruh

14
terhadap status kesehatan gigi dan mulut serta kualitas hidup pada masyarakat yang tinggal di
wilayah dengan kadar Radon tinggi.

Efek Radon Terhadap Kesehatan Gigi dan Mulut


Radon merupakan suatu gas yang berasal peluruhan radioaktif dari unsur Radium.
Peluruhan radioaktif tersebut merupakan suatu proses yang berlangsung secara spontan dan
alami. Dalam hal ini sebuah atom dari suatu unsur yang meluruh membentuk unsur lain, dengan
hilangnya partikel-partikel (proton, neutron, atau elektron). Jika Radium padat meluruh
membentuk gas Radon, maka unsur tersebut akan kehilangan dua proton dan dua neutron.
Kedua proton dan neutron tersebut disebut sebagai partikel alpha, yang merupakan suatu jenis
radiasi. Unsur-unsur yang menghasilkan radiasi disebut radioaktif. Radon itu sendiri adalah
radioaktif karena ia juga meluruh dan melepaskan suatu partikel alpha dan membentuk unsur
Polonium. Unsur-unsur kimia yang secara alami radiokaktif meliputi, Uranium, Thorium,
Karbon, Potasium, Radium dan Radon. Uranium merupakan unsur yang pertama meluruh dan
menhasilkan Radium dan Radon dalam suatu deretan peluruhan yang panjang. Uranium
dianggap sebagai the parent element, sedangkan Radium dan Radon disebut sebagai daughters.
Radium dan Radon juga akan membentuk daughter elements melalui peluruhannya.
Peluruhan unsur-unsur radioaktif terjadi pada suatu kecepatan yang sangat spesifik.
Kecepatan suatu unsur meluruh diterminologikan sebagai Waktu Paruh (Half-Life), atau
lamanya waktu suatu unsur untuk meluruh setengahnya dari jumlah awal. Radon mempunyai
waktu paruh hanya 3.8 hari. Jika suatu guci diisi dengan Radon, maka dalam 3.8 hari hanya
setengah dari Radon yang tersisa dalam guci tersebut. Tetapi, daughter product dari Radon
berupa Polonium, Bismuth, dan Timah Hitam juga akan terdapat dalam guci tersebut. Polonium
adalah unsur radioaktif, yang dihasilkan oleh Radon di udara dan pada paru-paru manusia.
Polonium tersebut bisa melukai selubung paru-paru dan menyebabkan kanker paru-paru.
Keberadaan gas radon di lingkungan sangat dipengaruhi oleh kondisi, situasi dan jenis
batuan yang terdapat pada daerah tersebut. Di dalam ruangan tempat tinggal/kantor, disamping
dipengaruhi oleh kondisi dan bahan bangunan, juga dipengaruhi oleh kondisi sirkulasi udara
dalam ruangan dengan udara luar atau lingkungan.
Potensi radon pada suatu daerah mungkin merupakan suatu kombinasi sifat-sifat tanah
dan batuan di bawahnya, misalnya sebaran uranium dan radium, porositas, permeabilitas, dan
kelembaban serta variasi cuaca dan variasi musim (Choubey, V.M., Bartarya, S.K. dan Ramola,
15
R.C., 2010). Hasil studi lapangan (gundersen et al., 1988; Schumann and Owen, 1988; Bolinder
et al., 1993; Choubey et al.,1999,2000,2001,2005 in Choubey, V.M.et al, 2010) menunjukkan
bahwa terdapat hubungan yang erat antara geologi dan radon dalam gas tanah.
Radon-222 adalah unsur kimia yang dilepaskan oleh batuan, bersifat radioaktifdan
berdampak negatif pada tubuh manusia. Efek biologisdari radiasi pengion initerbagi menjadi
dua kategori besar yaitu efek deterministik dan stokastik. Radon dapat menimbulkan efek
terhadap kesehatan melalui paparan (exposure) seperti: inhalasi (inhalation), rongga mulut
(oral), kulit (dermal) dan jalan keterpaparan lainnya (others). Efek yang ditimbulkan radon
terhadap kesehatan dapat berupa gangguan sistemik, sistem imunitas, sistem saraf,
pertumbuhan dan perkembangan, efek pada sistem reproduksi, genotoksis, kanker termasuk
kematian. Hasil beberapa studi epidemiologi menunjukkan sinar alfa yang dilepaskan oleh
radon terakumulasi pada gigi dan tulang (Almayahi, 2014) yang dapat menyebabkan efek
biologis.
Saat ini biomarker yang dapat digunakan untuk melihat efek radon terhadap kesehatan
adalah melalui tulang, gigi, darah, rambut (US EPA, 1990). Efek radiasi radon dimungkinkan
dapat berpengaruh pada fungsi kelenjar ludah, yang dapat meningkatkan resiko penyakit
periodontal maupun karies gigi. Berdasarkan route of radon exposure, maka efek stokastik dan
efek deterministik radon terhadap jaringan di dalam rongga mulut pada masyarakat yang
tinggal di wilayah dengan kadar radon tinggi merupakan masalah yang perlu diteliti lebih
lanjut.
Penelitian tentang Paparan Radiasi Pengion Alami Radon di Jawa Barat yang dilakukan
oleh Ildrem, Hirnawan dan Suhardjo (2011) menunjukkan paparan radiasi pengion alami radon
di Daerah Padalarang dan sekitarnya dalam katagori radon rendah normal dan tinggi,
sedangkan untuk daerah Subang dan sekitarnya dalam katagori rendah-normal, normal,
normal-tinggi, dan tinggi. Studi awal penelitian akan dilakukan di Padalarang karena
kandungan Radon di Padalarang sudah terpetakan dengan jelas antara kadar radon radioaktif
rendah dan tinggi. Hal ini dapat memudahkan dilakukannya studi penelitian komparasi. Studi
lanjutan akan memetakan kadar radon di wilayah lainnya di Provinsi Jawa Barat diantaranya
di Kabupaten Bandung Barat.
Di Indonesia, penelitian mengenai dampak jangka panjang radon terhadap status
kesehatan gigi – mulut dan kualitas hidup bahkan efek radon terhadap sel dan jaringan di dalam
rongga mulut belum pernah dilakukan. Berdasarkan hal tersebut, diperlukan penelitian untuk
16
memetakan kondisi kesehatan gigi dan mulut (karies gigi, jaringan peridontal, dan kondisi
lainnya) serta kualitas hidup masyarakat yang tinggal di wilayah dengan kadar radon tinggi dan
untuk menganalisis efek radon terhadap sel dan jaringan di dalam rongga mulut. Hasil
penelitian diharapkan dapat merekomendasikan model pencegahan penyakit gigi dan mulut
karena radon dan promosi kesehatan guna meningkatkan kualitas hidup

Kesimpulan
Radon adalah senyawa radioaktif berupa gas, tidak tampak, tidak berbau berasal dari
unsur radioaktif dari dalam tanah, dapat mempengaruhi kesehatan gigi dan mulut.

DAFTAR PUSTAKA

Agency for Toxic Substances and Disease Registry US Public Health Service in Collaboration
with US Environmental Protection Agency. 1990. Toxicological Profile for Radon

Blasco MA, Lee HW, Hande MP, Samper E, Lansdorp PM, DePinho RA, Greider
CW.Telomere shortening and tumor formation bymouse cells lacking telomerase RNA.
Cell.1997;91:25–34. [PubMed]

Campisi J, Fagagna F. Cellular senescence:when bad things happen to good cells. Nat RevMol
Cell Biol. 2007;8:729-40.

Chandra Satish., Chandra Shaleen. 2003. Textbook of Preventive Dentistry. Jaypee Brothers.
Medical Publishers (P) LTD

Collado M, Serrano M. Senescence in tumors:Evidence from mice and humans. Nat revCancer.
2010;10:51-7

Dickson MA, Hahn WC, Ino Y, Ronfard V,Wu JY, Weinberg RA, Louis DN, Li FP,Rheinwald
JG. Human keratinocytes thatexpress hTERT and also bypass a p16(INK4a)-enforced
mechanism that limits life span become immortal yet retain normal growth and
differentiation characteristics. Mol Cell Biol.2000;20:1436–1447. [PMC free art
icle][PubMed]

Dimri GP, Lee X, Basile G, Acosta M, Scott G,Roskelley C, Medrano EE, Linskens
M,"12Rubelj I, Pereira-Smith O, et al. A biomarker that identifies senescent human
cells in culturand in aging skin in vivo. Proc Natl Acad Sci.1995;92:9363–9367. [PMC
free art icle][PubMed]

17
Feldser, D.M. & Greider, C.W. Short telomeres limit tumor progression in vivo by inducing
senescence. Cancer Cell 2007; 11:461-9.

Gilley D, Tanaka H, Herbert BS. Telomere dysfunction in aging and cancer. Int J Biochem
Cell Biol. 2005;37:1000-13.

Greider CW, Blackburn EH. Identification of aspecific telomere terminal transferase activity
in Tetrahymena extracts. Cell. 1985;43:405–413.[PubMed]

Harley CB. Telomere loss: Mitotic clock orgenetic time bomb? Mutant Res. 1991;256:271–
282. [PubMed]

Hoeijmakers JHJ. DNA damage, aging andcancer. N Eng J Med. 2009;36(15):1475-85.

Huffman KE, Levene SD, Tesmer VM, ShayJW, Wright WE. Telomere shortening is
proportional to the size of the G-rich telomeric113′-overhang. J Biol Chem.
2000;275:19719–19722. [PubMed]

Hugh Synnott and David Fenton, 2005, An Evaluation of Radon Mapping Techniques in
Europe, European Radon Research and Industry Collaboration Concerted Action

Jon Miles, 2009, Radon Risk Mapping, Centre for Radiation, Chemical and Environmental
Hazards

Jones CJ, Kipling D, Morris M, Hepburn P, Skinner J, Bounacer A, Wyllie FS, Ivan M, Bartek
J, Wynford-Thomas D, et al. Evidencefor a telomere-independent “clock” limiting
RASoncogene-driven proliferation of human thyroidepithelial cells. Mol Cell Biol.
2000;20:5690–5699. [PMC free article] [PubMed]

Kirkwood TBL. Understanding the odd scienceof aging. Cell, 2005;120: 437-47

Lombard DB, Chua KF, Mostoslavsky R,Franco S, Gostissa M, Alt FW. DNA repair,g e n o
m e s t a b i l i t y a n d a g i n g . C e l l2005;120:497-512.

Matej Neznal and Martin Neznal, 1995, Brief Outline of A Researh Project Dealing with Radon
Risk Classification of Foundation Soils, Radon v.os. Corp., Prague, Czech Republic

Matej Neznal and Martin Neznal, 2005, Permeability as an important parameter for radon risk
classification of foundation soils, Annals of Geophysics, Vol. 48, N. 1, February 2005,
Radon v.o.s. Corp., Prague, Czesh Republic

Mc Nee W. Accelerated lung aging:a novelp a t h o g e n i c m e c h a n i s m o f C O P D


.2009;135:173-80.

18
Neidle S, Parkinson GN. The structure of telomeric DNA. Curr Opin Struct Biol. 2003;
13:275–283.

Norwood TH, pendergrass WR. The cultured diploid fibroblast as a model for the study of
cellular aging. Crit Rev Oral Biol M. 1992;3(4):353-70

Opresko PL, von Kobbe C, Laine JP,Harrigan J, Hickson ID, Bohr VA. Telomere binding
protein TRF2 binds to and stimulates theWerner and Bloom syndrome helicases. J
BiolChem. 2002; 277: 41110–41119.

Otton, J.K.,1992, The Geology of Radon : U.S. Geological Survey, 28 p.

Pillalamarri Ila, 2007, Radon Research in Multi Disciplines : A Review, Earth Atmospheric
& Planetary Sciences Neutron Activation Analysis Laboratory Massachusetts Institute
of Technology Cambridge, MA 021391AP 2007 : 12.091 Credit Course : January 17-
25, 2007

R. Randall Shumann, 1993, The Radon Emanation Coefficient : An Improtant Tool for
Geologic Radon Potential Estimations, International Radon Conference

Ron Churchill, 1997, Radon Mapping, Department of Conservation, Division of Mines and
Geology, California

Savage SA, Stewart BJ, Weksler BB,Baerlocher GM, Lansdorp PM, Chanock SJ,Alter BP.
Mutations in the reverse transcriptase component of telomerase (TERT) in patients with
bone marrow failure. Blood Cells Mol Dis37: 134–136, 2006.

Savale L, Chaouat A, Bastuji-Garin S, MarcosE, Boyer L, Maitre,et al. Shoetened telomeres in


circulating leucocytes of Patients with COPD.Am J Respir Crit Care
Med.2009;179:566-71.

Sharma G, Goodwin J. Effect of aging onrespiratory system physiology and immunology.Clin


Interv Aging.2006;1(3):253-60.

Smogorzewska A, de Lange T. Regulation of telomerase by telomeric proteins. Annu Rev


Biochem.2004; 73: 177–208.

Stanley S. Johnson, 1979, Radioactivity Surveys, Virginia Minerals Vol. 25, No.2, 8 p.

Stewart SA, Weinberg RA. Telomeres: cancerto human aging. Annu Rev Cell Dev Biol 2006

Susilawati, Sri., Haroen, E.R., Syaefullah A., Suryana. 2011 Kesehatan Gigi – Mulut dan
Kualitas Hidup (Oral Health Related Quality of Life). Disertasi

19
Theimer CA, Feigon J. Structure and function of telomerase RNA. Curr Opin Struct
Biol.2006;16: 307–318.

Tuder RM, Yoshida T, Arap W Pasqualini R,Petrache I. Cellular and molecular mechanisms
of alveolar destructio in emphysema. Proc AmThorac Soc. 2006;3:503-11"13

William Field. 2001. A Review of Residential Radon Case-Control Epidemiologic Studies


Performed in the United States. Reviews on Environmental Health. Volume 16, No.3
p151-16

William G.A., Linda L. Devocelle, 1997, Mapping Indoor Radon Potential Using Geology and
Soil Permeability, International Radon Symposium

World Health Organization. 2005. Social Determinants of Health. The International Journal of
Public Health. Volume 83, Number 9, September 2005. P 711-718

World Health Organization. 2009. WHO Handbook on Indoor Radon. A Public Health
Perspective.

World Health Organization. 2013. WHO Oral Health Surveys Basic Methods

Xin ZT, Beauchamp AD, Calado RT, BradfordJW, Regal JA, Shenoy A, Liang Y,
LansdorpPM, Yo u n g NS , Ly H. Functional characterization of natural telomerase
mutations found in patients with hematologic disorders. Blood. 2007; 109: 524–
532."141

Yoshiko Takahashu, Makoto Kuro, and Fuyuki Ishikawa. Aging Mechanisms.


PNAS.November 2000;Vol 97 no 23:12407-408

20
Kebijakan Pembangunan Perumahan Bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah di
Perkotaan

Oleh: H. Budiman Rusli

Sebagai bagian dari sistem masyarakat internasional, penyelenggaraan perumahan di


Indonesia tidak dapat dipisahkan dari beberapa agenda global yang terkait dengan bidang
perumahan, khususnya Agenda 21 tentang pembangunan berkelanjutan (SDGs). Konsep
pembangunan yang berkelanjutan atau sustainable development menitikberatkan pada
hubungan antara pengembangan atau pembangunan dan permasalahan lingkungan dalam
pembangunan tersebut dan mengarahkan adanya perubahan secara politik dan ekonomi secara
lokal, nasional dan global. Untuk meredam permasalahan tersebut (Smitt & Warr, 1991).
Dalam The United Nations World Commision on Environment and Development yang diketuai
oleh Gro Harlem Brundtland yang juga perdana menteri Norwegia mempublikasikan laporan
yang berjudul “Our Common Future”. Brundtland mendefinisikan pembangunan
berkelanjutan adalah pembangunan yang mempertemukan kebutuhan di masa sekarang dan
keberlanjutannya untuk generasi mendatang. Otto Soemarwoto (2003) menyatakan
pembangunan berkelanjutan adalah menjaga kemampuan lingkungan untuk mendukung
pembangunan merupakan usaha untuk mencapai pembangunan jangka panjang yang
mencakup jangka waktu antar generasi. Didalam tujuan SDGs, disebutkan pada poin 11
adalah membangun kota dan pemukiman inklusif, aman, tahan lama dan berkelanjutan,
dengan target pada tahun 2030, memastikan akses terhadap perumahan dan pelayanan dasar
yang layak, aman dan terjangkau bagi semua dan meningkatkan mutu pemukiman kumuh.
Rumah merupakan kebutuhan pokok manusia disamping sandang serta pangan. Untuk
memenuhinya pemerintah sangat berperan termasuk menciptakan lingkungan yang nyaman
bagi warga penghuninya. Pembangunan perumahan tidak hanya berkaitan dengan mendirikan
bangunan fisik saja tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah menciptakan suasana lingkungan
hidup yang nyaman sehingga mendorong terjadinya interaksi yang sehat antara sesama warga.
Berkaitan dengan itu, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan
Permukiman, menyatakan bahwa warga negara Indonesia berhak hidup sejahtera lahir dan
batin. Kesejahteraan semacam itu perlu ditopang dengan ketersediaan tempat tinggal dan
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.

21
Kebijakan pembangunan perumahan dan kawasan permukiman mencakup beberapa
kegiatan pokok mulai dari perencanaan pembangunan, pemanfaatan dan pengendalian,
termasuk di dalamnya pengembangan kelembagaan,pendanaan dan sistem pembiayaan serta
peran masyarakat yang terkoordinasi dan terpadu (psl 1 ayat 6 UU no.1 thn 2011).
Menurut Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan
dan Kawasan Permukiman, yang dimaksud dengan perumahan adalah kumpulan rumah
sebagai bagian dari permukiman, baik perkotaan maupun perdesaan, yang dilengkapi dengan
prasarana, sarana, dan utilitas umum sebagai hasil upaya pemenuhan rumah yang layak huni.
Dalam banyak istilah rumah lebih digambarkan sebagai sesuatu yang bersifat fisik
(house, dwelling, shelter) atau bangunan untuk tempat tinggal/ bangunan pada umumnya
(seperti gedung dan sebagainya). Jika ditinjau secara lebih dalam rumah tidak sekedar
bangunan melainkan konteks sosial dari kehidupan keluarga di mana manusia saling mencintai
dan berbagi dengan orang-orang terdekatnya. Secara umum UU tentang perumahan membagi
beberapa jenis perumahan :
1. Rumah umum adalah rumah yang diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan rumah
bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
2. Rumah Swadaya adalah rumah yang dibangun atas prakarsa dan upaya masyarakat.
3. Rumah komersial adalah rumah yang diselenggarakan dengan tujuan mendapatkan
keuntungan.

Permasalahan pembiayaan secara umum tertumpu pada terbatasnya kemampuan


ekonomi masyarakat untuk memiliki rumah yang layak. Secara nasional persoalan pembiayaan
adalah terbatasnya kemampuan pemerintah untuk mendukung pembiayaan pembangunan
perumahan dan permukiman. Perbankan mengalami kesulitan untuk menjadi lembaga
intermediasi pembiayaan di bidang perumahan dan permukiman. Terbukti minimnya
perbankan yang bersedia menyalurkan kredit untuk perumahan bersubsidi seperti rumah
sederhana sehat (RSH).
Ada sejumlah agenda dan persoalan penting dalam pembangunan perumahan diantaranya :

1. Tingginya kebutuhan tempat tinggal, tempat usaha dan tempat produksi beserta sarana
dan prasarana pendukungnya, namun lahan yang tersedia semakin terbatas.

22
2. Sasaran kebijakan banyak ditujukan pada jumlah rumah yang dibangun, padahal
banyak sumberdaya yang ternyata mubazir dan kontribusinya pada peningkatan
kualitas pemukiman dan kualitas hidup sangat kecil. Belum lagi pembangunan
perumahan berlangsung pada lokasi yang menimbulkan disintegrasi sosial dan
disintegrasi fungsional.
3. Iklim usaha menyediaan perumahan relatif belum stabil, berkenaan dengan banyak dan
tumpang tindihnya sistem regulasi serta berbagai kepentingan yang saling tidak
selamanya sinkron. Tidak konsistennya penerapan kebijakan tentang pembangunan
perumahan dari sisi ratio jenis perumahan (sederhana, menengah dan atas / mewah).
4. Belum mantapnya sistem penyediaan sarana dan prasarana hunian terutama pelayanan
air bersih, drainase, jaringan jalan, transportasi umum, jalur hijau, fasilitas umum serta
akses terhadap pusat layanan publik (pusat kesehatan, pendidikan, pasar, sarana sosial)
5. Belum optimalnya sistem penggalangan dana masyarakat sebagai sumber pembiayaan
pembangunan perumahan. Kelembagaan pemerintah baik dari Regulator, lembaga
keuangan dan dunia usaha belum bersinergis dalam sistem kepemilikan rumah.
6. Tingginya harga rumah menyebabkan samakin termarginalkan masyarakat
berpenghasilan rendah memiliki tempat tinggal yang layak. Hal ini berimplikasi terjadi
persaingan yang tidak sehat, yakni terkooptasinya kepemilikan rumah oleh kelompok
masyarakat berpenghasilan menengah ke atas dan juga munculnya bangunan rumah di
tempat tinggal darurat / kumuh (DAS, lorong jembatan, tanah milik negara).

Persoalan tersebut tentu memerlukan penanganan yang konstruktif dalam bentuk


perencanaan kebijakan yang komprehensif. Pemerintah memiliki peranan dalam pengaturan,
dan pengendalian yang melibatkan multi stakeholder. Kebijakan dan program pembangunan
perumahan seyogyanya dibuat dalam bentuk road map yang dari waktu ke waktu disesuaikan
dengan dinamika perubahan dan perkembangan lingkungan yang semakin pesat.
Pada masyarakat modern, perumahan menjadi masalah yang cukup serius. Pemaknaan
atas rumah, simbolisasi nilai-nilai dan sebagainya seringkali sangat dipengaruhi oleh tingkat
ekonomi dan status sosial. Rumah pada masyarakat modern, terutama di perkotaan, menjadi
sangat bervariasi, dari tingkat paling minim, yang karena keterbatasan ekonomi hanya
dijadikan sebagai tempat berteduh, sampai kepada menjadikan rumah sebagai lambang prestise
karena kebutuhan menjaga citra kelas sosial tertentu.
23
Ada anggapan bahwa istilah perumahan sesugguhnya sudah mengandung
kompleksitas permasalahan dan hubungan sebab akibat yang pelik. Hal ini antara lain
dikemukakan oleh Charles Abrams, ahli perumahan PBB tahun lima puluhan. Ketika ia
menuangkan pengalamannya sebagai ahli perumahan PBB dalam sebuah buku yang disusun
sekitar lima puluh tahun yang lalu, ia tidak melihat perumahan hanya sebagai wadah fisik. Dari
pengalamannya menjelajah sekitar empat puluh negara di dunia, dia menyimpulkan bahwa
perumahan bukan hanya lindungan, tetapi merupakan bagian dari kehidupan komunitas dan
keseluruhan lingkungan social. Perumahan sesungguhnya berkaitan erat dengan
indrustrialisasi, aktivitas ekonomi, dan pembangunan. Keberadaan perumahan juga ditentukan
oleh perubahan sosial, ketidakmatangan sarana hukum, politik, dan administratif serta
berkaitan pula dengan kebutuhan dan pendidikan. Perumahan juga menghadapi persoalan
penempatan peranan pihak swasta, peranan pemerintah, pembiayaan, dan kebijakan
transportasi. Intinya, Charles Abrams menyimpulkan bahwa masalah perumahan tidaklah
sederhana, tidak ada obat mujarab yang dapat digunakan dan cocok untuk mengatasi masalah
di semua Negara (Abrams, 1964).
Masalah perumahan di Indonesia berakar dari pergeseran konsentrasi penduduk dari
desa ke kota. Pertumbuhan penduduk kota di Indonesia yang cukup tinggi, sekitar 4 %
pertahun, lebih tinggi dari pertumbuhan nasional, dan cenderung akan terus meningkat. Hal ini
menunjukkan kecenderungan yang tinggi tumbuhnya kota-kota di Indonesia. Sayangnya,
terjadi keadaan yang tidak sesuai antara tingkat kemampuan dengan kebutuhan sumber daya
manusia untuk lapangan kerja yang ada di perkotaan, mengakibatkan timbulnya kelas sosial
yang tingkat ekonominya sangat rendah.
Berbagai program pengadaan perumahan telah dilakukan Pemerintah dan swasta (real
estate). Tetapi apa yang dilakukan belum mencukupi, baik dari segi kualitas maupun kuantitas.
Dari segi jumlah ternyata Pemerintah dan swasta hanya mampu menyediakan lebih kurang 10
% saja dari kebutuhan rumah, sementara sisanya dibangun sendiri oleh masyarakat. Dari segi
kualitas, banyak pihak yang berpendapat bahwa program yang ada belum menyentuh secara
holistik dimensi sosial masyarakat, sehingga masih perlu diupayakan perbaikan-perbaikan.
Ketidakseimbangan pasokan (supply) dan permintaan (demand),terutama didominasi
oleh kebutuhan rumah sederhana dari kalangan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Kebutuhan rumah dari masyarakat menengah ke bawah ini kurang mendapat respon , karena

24
kecenderungan pihak pengembang-terutama swasta membangun untuk masyarakat menengah
atas yang memang menjanjikan keuntungan yang lebih besar.
Keberlanjutan (sustainability) rumah dan perumahan belum mendapat perhatian yang
baik dari pemerintah dan juga pihal pengembang. Belum ada sistem yang efektif untuk
mengevaluasi perumahan, agar dapat diperoleh gambaran kehidupan masyarakat di dalamnya
pasca okupansi. Padahal hal ini penting untuk perbaikan kualitas perumahan secara
berkelanjutan.
Ketidakseimbangan aksesibilitas masyarakat terhadap fasilitas pelayanan kota
terutama yang dihadapi masyarakat yang membangun perumahan secara swadaya. Kalangan
masyarakat seperti ini dinilai seringkali mengabaikan ketentuan-ketentuan yang berlaku.
Sebagai Masyarakat berpenghasilan rendah yang membangun rumahnya dalam batas
kemampuannya pada ruang-ruang kota, dianggap illegal sering kali tidak memiliki akses yang
semestinya ke fasilitas pelayanan kota, seperti prasarana dan sanitasi lingkungan. Hal ini
menunjukkan tidak terlindunginya hak-hak mereka sebagai warga kota.
Masalah perolehan tanah. Belum adanya sistem pengendalian harga tanah oleh
Pemerintah, menyebabkan merebaknya spekulan tanah, yang mengakibatkan membubungnya
harga tanah, jauh dari jangkauan daya beli masyarakat. Menyelesaikan masalah-masalah
tersebut merupakan tanggung jawab seluruh komponen bangsa. Oleh karenanya setiap pihak
harus mengupayakan perbaikan perumahan sesuai dengan kemampuannya masing-masing,
baik melalui sumbang pemikiran, tenaga maupun modal.
Perencanaan dan regulasi merupakan instrumen yang diperlukan untuk
mengendalikan dan mengorganisasikan pembangunan perumahan. Namun sampai saat ini
instrument tersebut belum diterapkan secara efektif. Unit pemerintahan yang menangani
pengorganisasian dan pengendalian pembangunan perumahan ini tidak mendapatkan prioritas
untuk diperkuat. Ditambah dengan makin meningkatnya jumlah orang yang terkonsentrasikan,
bisalah dimengerti apabila pembangunan perumahan yang tak terkendali terus meningkat.
Pada tahun 1972, pemerintah pusat mencoba melaksanakan pembangunan perumahan
secara massal dengan mendorong berdirinya usaha swasta bidang perumahan (real estate).
Selanjutnya pada tahun 1974, membentuk Badan Kebijaksanaan Perumahan Nasional,
mendirikan badan usaha milik negara yang bergerak di bidang perumahan (Perumnas), dan
juga lembaga keuangan yang memfasilitasi pembangunan perumahan (Bank Tabungan
Negara).
25
Bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah, seperti pegawai/karyawan instansi
pemerintah/swasta/perusahaan yang penghasilannya teratur namun belum mampu memenuhi
kebutuhan rumahnya karena relatif rendahnya tingkat kemampuan daya belinya diperlukan
skema bantuan perumahan. Demikian juga bagi kelompok masyarakat lainnya seperti petani,
nelayan, dan masyarakat miskin yang bekerja di sektor informal dan tidak mempunyai
penghasilan tetap perlu juga difasilitasi dengan skema subsidi perumahan yang dapat secara
mudah diakses oleh mereka.
Bantuan perumahan dapat berbentuk subsidi pembiayaan; subsidi prasarana dan
sarana dasar lingkungan perumahan dan permukiman; ataupun kombinasi dari kedua bentuk
subsidi tersebut. Pada dasarnya subsidi pembiayaan perumahan dapat dikembangkan untuk
pengadaan rumah baru, perbaikan dan pemugaran rumah, serta untuk hunian dengan sistem
rumah sewa. Sedangkan subsidi prasarana dan sarana dasar perumahan dapat dikembangkan
untuk mendukung kelengkapan standar pelayanan minimal lingkungan yang berkelanjutan,
seperti ketersediaan air bersih, jalan lingkungan, saluran drainase, pengelolaan limbah, ruang
terbuka hijau, fasilitas umum dan sosial serta fasilitas ekonomi lokal.
Sistem dan mekanisme subsidi perumahan tersebut diatur dan dikembangkan
sedemikian rupa sehingga esensi dan ketepatan sasaran subsidi yang memenuhi rasa keadilan
sosial dapat dicapai semaksimal mungkin. Dalam kaitan pengembangan dan pengaturan
subsidi perumahan tersebut, maka seluruh pelaku perumahan, khususnya di tingkat lokal perlu
mengembangkan sistem dan mekanisme subsidi yang lebih sesuai dengan potensi dan
kemampuan daerah masing-masing.
Upaya lain berkaitan Pembangunan Rumah bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah
di Perkotaan yang bisa dilakukan diantaranya dengan :
Pembangunan perumahan formal yang terorganisasikan. Pertama, adalah
pengorganisasian dari sisi pasokan, yaitu pengorganisasian pembangunan perumahan untuk
permintaan yang tidak terorganisasikan. Upaya pembangunan diprakarsai oleh pihak pemasok
yang disebut pengembang. Mekanisme pasarlah yang mempertemukan hasil pembangunan
yang terorganisasikan dengan permintaan individual yang bebas atau umum yang tak
terorganisasikan. Rumah adalah komoditas yang bisa dibeli oleh siapapun yang mengetahui
serta sampai pada tangan pembelinya karena dijajakan melalui suatu promosi terbuka ataupun
diam-diam. Seperti pada umumnya mekanisme pasar, permintaan akhirnya terorganisasikan
oleh harga rumah. Harga rumah adalah cermin dari kualitas, luas, lokasi rumah yang akhirnya
26
menentukan lapisan masyarakat pembelinya. Dengan demikian harga rumah ini seolah-olah
mengorganisasikan masyarakat, perumnas dan pengembang swasta adalah organisator
pembangunan perumahan dari sisi pasokan ini yang secara tidak sengaja juga membentuk
komunitas baru. Kedua, adalah pengorganisasian dari sisi permintaan. Individu atau rumah
tangga diorganisasikan untuk bersama-sama mengupayakan rumah bagi dirinya sendiri.
Pembangunan perumahan secara kooperatif dan pembangunan perumahan bertumpu pada
kelompok yang dieksperimenkan dan didukung pemerintah dengan diterbitkannya suatu
panduan, adalah upaya mengembangkan sistem pembangunan perumahan yang
diorganisasikan dari sisi permintaan.
Membangun perumahan bertumpu pada komunitas atau kelompok, Pembangunan
perumahan ini dilakukan pertama-tama dengan mengorganisasikan calon pemilik atau calon
penghuninya. Ini dapat kita artikan bahwa perlu ada komunitas terlebih dahulu sebelum ada
perumahan. Dengan komunitas inilah diharapkan tumbuh solidaritas dan partisipasi antara
sesame anggota komunitas yang akan menjadi kekuatan dan pendorong pembangunan
perumahan. Cara membangun rumah atas dasar solidaritas dan partisipasi yang dikenal dengan
istilah gotong royong ini, memang merupakan nilai budaya masyarakat adat yang secara turun
menurun dijalankan dengan suatu aturan yang ketat.
Di Indonesia Koperasi dapat dijadikan sebagai salah satu bentuk pengorganisasian
permintaaan atau kelompok dalam pembangunan perumahan yang bertumpu pada kelompok.
Koperasi juga dapat dipandang sebagai pengorganisasi penyediaan perumahan yang memang
hanya memasok anggotanya, koperasi menjadi pengembang yang berbeda dengan badan usaha
lainnya. Pertama, hubungan pengembang dan anggota koperasi peminat rumah dalam bahasa
ekonomi hubungan penjual dan pembeli – tidak terputus walau telah terjadi transasksi jual beli.
Ini karena keanggotaan terus berjalan. Dalam kondisi seperti ini, kebutuhan pasca
pembangunan pun menjadi tanggungan bersama pula. Kedua, menghimpun kekuatan sendiri
secara berangsur-angsur, mendorong para anggota untuk memenuhi kebutuhan sesuai
kemampuannya. Sifat gotong-royong dalam memenuhi kebutuhan bersama menjadikan
kekuatan individu sebagai kekuatan yang tidak terhingga. Koperasi memiliki keunggulan
tersendiri dibanding pelaku pembangunan perumahan lainnya. Antara lain, koperasi
membangun suatu perumahan berdasarkan “captive market” yang sudah ada, yaitu para
anggota koperasi yang jumlahnya sangat banyak. Adanya “captive market” tersebut secara
teoritis akan mengurangi biaya pemasaran. Anggota koperasi yang terkadang jumlahnya ribuan
27
orang juga merupakan keuntungan tersendiri karena dari segi skala ekonomi dapat
mengefisienkan biaya pembangunan perumahan.
Dalam negara yang tidak menganut sistem ekonomi pasar, peranan pemerintah
memang sangat besar. Demikian juga halnya dengan perumahan, pemerintahlah yang
mengorganisasikan pasokan tetapi sekaligus juga mengatur pendistribusiannya. Peranan
negara semacam ini makin ditinggalkan sehingga kini sedikit sekali yang dapat kita jumpai,
pemerintah yang langsung mengorganisasikan pembangunan perumahan. Walaupun demikian
untuk suatu misi tertentu, boleh jadi pemerintah memang harus mengorganisasikan pasokan
atau pembangunan perumahan dan sekaligus juga mengorganisasikan pengguna rumah
tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Kirmanto, Djoko, Pembangunan Perumahan dan Permukiman Yang Berwawasan Lingkungan


Strategis Dalam Pencegahan Banjir di Perkotaan, Seminar Peduli Banjir, Forest,
Jakarta 25 Maret 2002.

Kuswartojo, Tjuk. 1996. Perumahan dalam perspektif perkembangan kota. Loka Karya
Agenda 21 April 1997.

_____________________.2005. Perumahan dan Pemukiman di Indonesia. Penerbit : ITB.

Meneg LH & UNDP. 2001. Seri Panduan Perencanaan Pembangunan berkelanjutan Buku I
dan II.

Pamudji S. Prof. Drs. MPA. 1985. Pembinaan Perkotaan di Indonesia. Jakarta : Bina Aksara.

Rukmana, Nana; Steinberg, Florian. 1993. Manajemen Pembangunan Prasarana Perkotaan.


Jakarta : LP3ES.

Sasongko, D.P., Hadiyarto A. 2000. Kebisingan Lingkungan. Univ. Diponegoro, Semarang.

Sastra M, Suparno.dkk. 2006. Perencanaan dan Pengembangan Perumahan. Yogyakarta: CV.


Andi.
28
Smitt & Warr, 1991. the-united-nations-world-commission-on-environment-and-development/
http://grawemeyer.org/

Soemarwoto, O., 2003. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.

29
Reorientasi Tanggungjawab Sosial dan Lingkungan pada BUMN Sejalan dengan ISO
26000 Menuju pada TPB/SDGs

Oleh: Dwi Kartini

PENDAHULUAN

Menteri BUMN telah menerbitkan Peraturan Menteri BUMN Nomor : PER-


02/MBU/7/2017 tentang PKBL (Program Kemitraan dan Bina Lingkungan) BUMN. Adapun
Program Kemitraan merupakan tanggungjawab sosial BUMN kepada Usaha Mikro dan Kecil
dalam membatu permodalan mereka secara bergulir. Sedangkan Program Bina Lingkungan
tanggungjawab BUMN atas pelestarian alam.
Setelah munculnya ISO 26000 sejak tahun 2010 sampai tahun 2018 memuat 7 isu
sentral yang menjadi bahasan dari sertifikasi CSR di masa depan, yaitu sebagai berikut:
Isu 1. Tata Kelola Organisasi
Isu 2. Hak Asasi Manusia
Isu 3. Praktik Ketenagakerjaan
Isu 4. Lingkungan
Isu 5. Praktik Operasi yang Adil
Isu 6. Konsumen
Isu 7. Pembangunan Sosial dan Ekonomi Masyarakat

Dari ketujuh isu sentral tersebut kiranya masing-masing Perusahaan BUMN perlu
menata value chain management sejak proses supply value chain, company value chain sampai
kepada customer value chain agar memperoleh supply chain visibility melalui competitive
advantadge untuk memperoleh sales revenue sampai mencapai net profit yang ditargetkan.
Dalam menata value chain management, tanggungjawab sosial bukan hanya sekedar kemitraan
membantu Usaha Mikro dan Kecil saja tetapi perlu ditinjau kembali tanggungjawab sosial di
internal Perusahaan itu sendiri yaitu dimulai dari research and development, operasional antar
fungsi bisnis secara terpadu. Demikian pula dalam tanggungjawab bina lingkungan perlu
diperhatikan sekitar green building dan K3LH.
Semua upaya tanggungjawab sosial dan tanggungjawab lingkungan dari setiap
Perusahaan BUMN di sektor bisnis apapun dalam kerangka TPB/SDGs (Tujuan

30
Pembangungan Berkelanjutan/Sustainability Development Goals) 2015-2030 di Indonesia
keterkaitannya dengan Global Addis Ababa Plan of Action dan Paris Climate Agreement.
Tulisan ini menghimbau kepada Kementerian BUMN untuk melakukan Reorientasi
tanggungjawab sosial dan tanggungjawab lingkungan pada BUMN sejalan dengan ISO 26000
menuju TPG/SDGs.

SDGs DALAM PENDEKATAN HOLISTIK DAN TERINTEGRASI PADA BUMN


Menurut Armida dkk. (2018) betapa pentingnya pendekatan TPG/SDGs secara Holistik
dan Terintegrasi dapat disimak sebagai berikut :

“Berbeda dengan MDGs, SDGs merupakan tujuan pembangunan yang tidak hanya
lebih holostik dan komprehensif, tetapi yang juga mencerminkan keterkaitan antara
satu tujuan dengan tujuan lainnya dan antar target. MDGs yang terdiri dari 8 tujuan
dalam pelaksanaanya cenderung terkotak-kotak dan terfragmentasi pada masing-
masing tujuan. Pencapaian akhir MDGs yang dirasa kurang maksimal, termasuk di
Indonesia, salah satu penyebabnya ditengarai karena pendekatan implementasi yang
kurang terintegrasi. Kebijakan, program maupun aksi yang dilakukan kemudian tidak
terintegrasi antar tujuan, sehingga hasil yang dicapai kurang maksimal.diakui bahwa
pendekatan yang holistic dan terintegrasi terhadap tujuan pembangunan global
kemudian ditranslasikan ke tingkat nasional hingga lokal tidaklah mudah…”

Prinsip Universal TPB/SDGs bertujuan untuk kemajuan semua bangsa di dunia.


Kemajuan pada satu dimensi membutuhkan keterlibatan aktif dimensi lain. Katalis untuk
kemitraan internasional. Kepemilikan bersama.SDGs sebagai kerangka komprehensif,
integrasi dan tak terpisahkan. Telah disepakati dalam Sidang Umum PBB (September 2015)
mencakup : 17 tujuan, 169 target, dan 241 indikator. SDGs kelanjutan dari MDGs.

31
Sumber : Tantangan dan Strategi Pelaksanaan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) /
Sustainabel Development Goals (SDGs), 2018.
Gambar 4. 1 Goal, Target dan Indikator TPB/SDGs

Penyempurnaan :
1. Lebih Komprehensif melibatkan seluruh Negara dengan tujuan universal.
2. Memperluas Sumber Pendanaan (Pemerintah, Swasta, dan Sumber Lain).
3. Menekankan pada hak asasi manusia dalam penanggulangan kemiskinan.
4. Prinsip : Inklusif dan no one left behind.
5. Melibatkan seluruh pemangku kepentingan : Pemerintah; OMS dan Media; Filantropi dan
Bisnis; serta Pakar dan Akademisi.
6. “Zero Goals”menargetkan untuk menuntaskan seluruh indikator.
7. Cara pelaksanaan (Means of Implementation)

Peran Perguruan Tinggi


Bagaimana TPB/SDGs Membantu Perguruan Tinggi :
1. Meningkatkan kebutuhan TPB/SDGs terkait pendidikan
2. Memberikan definisi yang komprehensif dan global bagi Perguruan Tinggi yang
bertanggungjawab
3. Menawarkan kerangka kerja untuk mencapai tujuan

32
4. Menciptakan skema baru pendanaan
5. Mendukung kolaborasi dengan mitra internal dan
eksternal yang baru
Bagaimana Perguruan Tinggi Membantu TPB/SDGs :
1. Memberikan pengetahuan, inovasi dan solusi untuk TPB/SDGs
2. Menciptakan pelaksana TPB/SDGs saat ini dan yang akan datang
3. Mendemonstrasikan bagaimana mendukung, mengadopsi dan mengimplementasikan
TPB/SDGs dalam tata kelola, operasionalisasi dan budaya
4. Mengembangkan kerja sama kepemimpinan antar sektor untuk memandu dalam
merespon TPB/SDGs
Kontribusi Perguruan Tinggi :
1. Penelitian
• Penelitian terkait TPB/SDGs
• Penelitian interdisiplin dan transdisiplin
• Inovasi dan solusi
• Pelaksanaan nasional dan daerah
• Peningkatan kapasitas penelitian
2. Pendidikan
• Pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan
• Pekerjaan untuk melaksanakan TPB/SDGs
• Peningkatan kapasitas
• Mobilisasi generasi muda
3. Operasionalisasi dan Tata Kelola
• Tata kelola dan operasionalisasi yang sejalan dengan TPB/SDGs
• Mengintegrasikan dalam laporan Perguruan Tinggi
4. Kepemimpinan Eksternal
• Keterlibatan publik
• Dialog dan aksi lintas-sektor
• Pengembangan kebijakan dan advokasi
• Advokasi untuk peran sektor
• Meningkatkan komitmen sektor

33
Peran yang diharapkan dari Perguruan Tinggi :
1. Menjadi pusat unggulan (center of excellence) serta fasilitator dan katalisator pelaksanaan
TPB/SDGs sebagai bagian dari pengabdian masyarakat.
2. Melakukan pengarusutamaan TPB/SDGs dalam proses pendidikan/pengajaran.
3. Mengembangkan studi kebijakan yang mendukung pelaksanaan pencapaian TPB/SDGs.
4. Mendukung secara akademis pengembangan berbagai indikator yang perlu
dikembangkan.
5. Menjadi mitra kerja Pemda dan pemangku kepentingan lainnya dalam menyusun landasan
regulasi dan Rencana Aksi Daerah TPB/SDGs.
6. Menjadi mitra kerja Pemerintah untuk melakukan review Agenda Pembangunan Nasional
dan Daerah.
7. Menjadi mitra Pemerintah dan Pemda, serta seluruh pemangku kepentingan lainnya dalam
melakukan implementasi TPB/SDGs hingga monitoring, evaluasi dan pelaporan.

FENOMENA ISO 26000 TENTANG SOCIAL RESPONSIBILITY REPORT

Sumber : Corporate Social Responsibility : Transformasi Konsep Sustainability Management


dan Implementasi di Indonesia, 2009.
Gambar 4. 2 ISO 26000 : Sertifikasi CSR di Masa Mendatang

34
Tabel 4. 1 Core subjects and issues of social responsibility
Addressed in
Core subjects and issues
sub-clause

Core subject: Organizational governance 6.2


Core subject: Human rights 6.3

Issue 1: Due diligence 6.3.3

Issue 2: Human rights risk situations 6.3.4

Issue 3: Avoidance of complicity 6.3.5

Issue 4: Resolving grievances 6.3.6

Issue 5: Discrimination and vulnerable groups 6.3.7

Issue 6: Civil and political rights 6.3.8

Issue 7: Economic, social and cultural rights 6.3.9

Issue 8: Fundamental principles and rights at work 6.3.10

Core subject: Labour practices 6.4


Issue 1: Employment and employment relationships 6.4.3

Issue 2: Conditions of work and social protection 6.4.4


Issue 3: Social dialogue 6.4.5

Issue 4: Health and safety at work 6.4.6

Issue 5: Human development and training in the workplace 6.4.7


Core subject: The environment 6.5

Issue 1: Prevention of pollution 6.5.3

Issue 2: Sustainable resource use 6.5.4

Issue 3: Climate change mitigation and adaptation 6.5.5

Issue 4: Protection of the environment, biodiversity and restoration of natural


6.5.6
habitats

Core subject: Fair operating practices 6.6

Issue 1: Anti-corruption 6.6.3

Issue 2: Responsible political involvement 6.6.4

Issue 3: Fair competition 6.6.5

Issue 4: Promoting social responsibility in the value chain 6.6.6

35
Issue 5: Respect for property rights 6.6.7

Core subject: Consumer issues 6.7

Issue 1: Fair marketing, factual and unbiased information and fair contractual
6.7.3
practices

Issue 2: Protecting consumers' health and safety 6.7.4

Issue 3: Sustainable consumption 6.7.5

Issue 4: Consumer service, support, and complaint and dispute resolution 6.7.6
Issue 5: Consumer data protection and privacy 6.7.7

Issue 6: Access to essential services 6.7.8

Issue 7: Education and awareness 6.7.9


Core subject: Community involvement and development 6.8

Issue 1: Community involvement 6.8.3

Issue 2: Education and culture 6.8.4

Issue 3: Employment creation and skills development 6.8.5

Issue 4: Technology development and access 6.8.6


Issue 5: Wealth and income creation 6.8.7

Issue 6: Health 6.8.8

Issue 7: Social investment 6.8.9


Sumber : International Standard ISO 26000 : Guidance on Social Responsibility, 2010.

ISO 26000 begitu brilian secara konsep dan begitu visioner sehingga ISO ini telah
mengantisipasi jauh-jauh hari bagaimana memperlakukan serta mengelola isu-isu yang akan
beririsan antara profit, people dan planet. Berdasarkan Tabel 4.1 ada tujuh isu sentral yang
menjadi bahasan dari sertifikasi CSR di masa depan ini yakni:

Isu 1. Tata Kelola Organisasi

1. Proses dan struktur pengambilan keputusan (transparensi, etis, akuntabel, perspektif


jangka panjang, memperhatikan dampak terhadap pemangku kepentingan, berhubungan
dengan pemangku kepentingan).

2. Pendelegasian kekuasaan (kesamaan tujuan, kejelasan mandat, desentralisasi untuk


menghindari keputusan yang otoriter).
36
Isu 2. Hak Asasi Manusia
1. Nondiskriminasi dan perhatian pada kelompok rentan
2. Menghindari kerumitan
3. Hak-hak sipil dan politik
4. Hak-hak ekonomi, sosial dan budaya
5. Hak-hak dasar pekerja

Isu 3. Praktik Ketenagakerjaan


1. Kesempatan kerja dan hubungan pekerjaan
2. Kondisi kerja dan jaminan sosial
3. Dialog dengan berbagai pihak
4. Kesehatan dan keamanan kerja
5. Pengembangan sumber daya manusia

Isu 4. Lingkungan
1. Pencegahan polusi
2. Penggunaan sumberdaya yang berkelanjutan
3. Mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim
4. Perlindungan dan pemulihan lingkungan

Isu 5. Praktik Operasi yang Adil


1. Anti korupsi
2. Keterlibatan yang bertanggung jawab dalam politik
3. Kompetisi yang adil
4. Promosi tanggung jawab sosial dalam rantai pemasok (supply chain)
5. Penghargaan atas property rights

Isu 6. Konsumen
1. Praktik pemasaran, informasi dan kontrak yang adil
2. Penjagaan kesehatan dan keselamatan konsumen
3. Konsumsi yang berkelanjutan
4. Penjagaan data dan privasi konsumen
5. Pendidikan dan penyadaran

37
Isu 7. Pembangunan Sosial dan Ekonomi Masyarakat
1. Keterlibatan di masyarakat
2. Penciptaan lapangan kerja
3. Pengembangan teknologi
4. Kekayaan dan pendapatan
5. Investasi yang bertanggung jawab
6. Pendidikan dan kebudayaan
7. Kesehatan
8. Peningkatan kapasitas

Setelah mengetahui tujuh isu sentral yang menjadi domain ISO 26000, sebenarnya
bagaimana proses penggodokan ISO 26000?. Ide dan konsep ISO 26000 bermula dari
kebutuhan akan suatu sertifikasi berstandar internasional sebagai Pedoman atau Panduan
mengenai Social Responsibility (SR) atau tanggung jawab sosial yang bisa diberlakukan di
seluruh dunia. ISO ini dimulai pengerjaannya pada bulan Januari 2005 dan ditargetkan selesai
dipublikasikan tahun 2010. ISO 26000 kini sudah jenis dan ukuran organisasi yang ada di dunia
serta bisa diterapkan juga di semua negara. Lain kata, ISO 26000 bersifat sangat komprehensif
dan universal.
Yang mengerjakan ISO 26000 sekelompok tim kerja (working group) yang dibentuk
oleh badan ISO yang berasal dari kalangan industri, pemerintah, tenaga kerja, konsumen, Non
Governmental Organization (NGO) serta Civil Society Organization (CSO), yang tentu saja
para perwakilan yang difusi ke dalam Working Group ini sangat berkompeten di bidangnya
masing-masing.

Item-item yang terdapat di ISO 26000 ditujukan untuk:


1. Membantu organisasi yang dalam pelaksanaan tanggung jawabnya harus memperhatikan
kondisi budaya, sosial, lingkungan, hukum yang berlaku dan pembangunan.
2. Menyediakan Panduan Praktis yang berhubungan dengan operasional tanggung jawab
sosial, identifikasi stakeholders dan komitmen terhadap para stakeholdernya serta
meningkatkan kredibilitas laporan yang terkait dengan pelaksanaan tanggung jawab sosial.
3. Mengarah kepada hasil dan kualitas kinerja.

38
4. Meningkatkan kredibilitas dan kepuasan, baik di dalam organisasi, bagi pelanggan dan para
stakeholders lainnya.
5. Menghormati dan tidak bersengketa dengan peraturan yang berlaku, kesepakatan dan
konvensi internasional serta standar ISO.
6. Tidak digunakan untuk mengurangi peran atau otoritas pemerintah dalam konteks tanggung
jawab sosial organisasi.
7. Membentuk persamaan persepsi menyangkut pengertian dari tanggung jawab sosial.
8. Memperluas kesadaran akan tanggung jawab sosial.

PERATURAN MENTERI BUMN NOMOR : PER-02/MBU/7/2017 DALAM KONTEKS


SDGs
Untuk mendorong percepatan kemandirian usaha mikro dan kecil dalam rangka
mewujudkan masyarakat adil, makmur dan merata maka perlu dilakukan pengembangan dan
pemberdayaan usaha mikro dan kecil, baik akses permodalan, manajemen maupun kegiatan
lainnya.
BUMN (Badan Usaha Milik Negara) sesuai dengan salah satu maksud dan tujuan
pendiriannya yaitu memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi
lemah, koperasi, dan masyarakat, telah terlibat secara langsung dalam program pengembangan
dan pemberdayaan usaha mikro dan kecil melalui Program Kemitraan namun belum optimal
dalam penyalurannya.
Untuk lebih mengoptimalkan penyaluran dan peningkatan manfaat dana Program
Kemitraan BUMN, termasuk kepada usaha mikro, sebagai salah satu upaya dalam
pengembangan dan pemberdayaan usaha rakyat guna mencapai tujuan tersebut, perlu
melakukan penyempurnaan terhadap Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor
PER-09 / MBU/ 07/ 2015 tentang PKBL (Program Kemitraan dan Program Bina Lingkungan)
BUMN sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-03/ MBU/
12/2016.

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan :


1. Badan Usaha Milik Negara yang selanjutnya disebut BUMN adalah badan usaha yang
seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara
langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.
39
2. Perusahaan Perseroan yang selanjutnya disebut Persero adalah BUMN yang berbentuk
perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit
51% (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang
tujuan utamanya mengejar keuntungan.
3. Perusahaan Perseroan Terbuka yang selanjutnya disebut Persero Terbuka adalah Persero
yang modal dan jumlah pemegang sahamnya memenuhi criteria tertentu atau Persero yang
melakukan penawaran umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di
bidang pasar modal.
4. Perusahaan Umum yang selanjutnya disebut Perum adalah BUMN yang seluruh modalnya
dimiliki Negara dan tidak terbagi atas saham, yang bertujuan untuk kemanfaatan umum
berupa penyediaan barang dan/ atau jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus mengejar
keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan.
5. Menteri adalah Menteri Badan Usaha Milik Negara.
6. Program Kemitraan BUMN yang selanjutnya disebut Program Kemitraan adalah program
untuk meningkatkan kemampuan usaha kecil agar menjadi tangguh dan mandiri.
7. Program Bina Lingkungan yang selanjutnya disebut Program BL adalah program
pemberdayaan kondisi sosial masyarakat oleh BUMN.
REORIENTASI TANGGUNGJAWAB SOSIAL DAN LINGKUNGAN PADA BUMN
DALAM LINGKUP VALUE CHAIN MANAGEMENT SEJALAN ISO 26000
Tulisan ini menghimbau kepada Kementerian BUMN untuk melakukan Reorientasi
tanggungjawab sosial dan tanggungjawab lingkungan pada BUMN sejalan dengan ISO 26000
menuju TPG/SDGs melalui skema di bawah ini :

40
INTERNAL PROCESS
MKNP

SUPPLY VALUE CHAIN

COMPANY VALUE CHAIN

CUSTOMER VALUE CHAIN

120 BENEFIT EFFECTIV UNIQUE


OUTPUT  E BENEFIT
INPUT COST  EFFICIEN LOWER
100 CY  RELATIVE
Manajemen Manajemen Manajemen COST
Manajeme
Operasi SDM Keuangan n
Pemasaran
Operation Human Financial Marketing
Managemen Resources Management Management
t Management
VALUE CHAIN MANAGEMENT
SUPPLY CHAIN
VISIBILITY
COMPETITIVE
ADVANTAGE
SALES
Gambar 4. 3 Value Chain Management
Perusahaan BUMN perlu menata value chain management sejak proses supply value
chain, company value chain sampai kepada customer value chain agar memperoleh supply
chain visibility melalui competitive advantadge untuk memperoleh sales revenue sampai
mencapai net profit yang ditargetkan. Dalam menata value chain management, tanggungjawab
sosial bukan hanya sekedar kemitraan membantu Usaha Mikro dan Kecil saja tetapi perlu
ditinjau kembali tanggungjawab sosial di internal Perusahaan itu sendiri yaitu dimulai dari
41
research and development, operasional antar fungsi bisnis secara terpadu. Demikian pula
dalam tanggungjawab bina lingkungan perlu diperhatikan sekitar green building dan K3LH.

KESIMPULAN
Kementerian BUMN hendaknya melakukan reorientasi Peraturan Menteri BUMN
Nomor : PER-02/MBU/7/2017 tentang PKBL (Program Kemitraan dan Bina Lingkungan)
BUMN. Adapun Program Kemitraan merupakan tanggungjawab sosial BUMN kepada Usaha
Mikro dan Kecil dalam membatu permodalan mereka secara bergulir. Sedangkan Program
Bina Lingkungan tanggungjawab BUMN atas pelestarian alam.
Kementerian BUMN tersebut dapat mengatur dan membuat ketentuan khusus sebagai
bentuk tindak lanjut dari rekonstruksi yang telah dilakukan dengan mengeluarkan PERMEN
atau KEPMEN tentang Pedoman pelaksanaan CSR di BUMN yang diperuntukan bagi
perusahaan-perusahaan BUMN hasil dari reorientasi berbasis value chain management sejalan
dengan ISO 26000 dalam rangka TPB/SDGs. PERMEN/ KEPMEN bertujuan agar adanya
keseragaman regulasi dalam pelaksanaan CSR sehingga maksud dan tujuan pelaksanaan CSR
tersebut dapat tercapai.
Bagi perusahaan BUMN khusunya dan Perusahaan BUMS (Badan Usaha Milik
Swasta) serta BUMK (Badan Usaha Milik Koperasi) seyogyanya melaksanakan tanggung
jawab yang ditimbulkan akibat adanya hubungan hukum (tanggung jawab hukum). Disamping
itu Perusahaan juga harus melaksanakan tanggung jawab sosial guna ikut membantu
memecahkan atau dengan kata lain membuat solusi permasalahan masyarakat atau Pemerintah
seperti kerusakan lingkungan, kemiskinan, dan kebodohan termasuk dalam hal ini adalah
degradasi moral yang terjadi di masyarakat, sehingga dari itu semua yang diharapkan adalah
wujud nyata kesejahteraan masyarakat. Di samping itu BUMN khususnya dan BUMS serta
BUMK yang mengimplementasikan CSR sudah seidealnya memiliki alat ukur yang jelas
berdampak pada terjadinya jaminan keberlanjutan/ kesinambungan di segala aspek.
Dengan demikian wujud nyata yang diharapkan dihasilkan harus mengedepankan
upaya sinergi yang secara terus menerus dapat dijalankan melalui komunikasi yang baik antara
Pemerintah, Perusahaan dan Masyarakat dengan memprioritaskan kepentingan bersama.
Oleh karenanya Perusahaan BUMN hendaknya lebih melibatkan Pemerintah Daerah,
Lembaga Swadaya Masyarakat/NGO CSR, Perguruan Tinggi, Media Massa dan Tokoh
Masyarakat dalam melakukan sosialisasi/penyuluhan kepada masyarakat, melakukan

42
pengawasan, melakukan audit oleh lembaga CSR, membentuk Direktorat khusus yang
memiliki kompetensi dalam CSR, pelaksanaan CSR yang transparansi dan akuntabilitas.
Pemerintah sesegera mungkin membentuk komisi dan atau badan yang berkaitan dengan
pengawasan, penilaian, evaluasi, penegakan hukum, dan pengembangan serta sosialisasi CSR
yang independen. Seyogyanya komisi atau badan ini berada langsung dibawah Menteri
BUMN.

DAFTAR PUSTAKA

Armida Salsiah and Endah Murniningtyas, 2018. Tujuan Pembangunan Berkelanjutan di


Indonesia : Konsep, Target dan Strategi Implementasi. Unpad Press.

Bambang Brodjonegoro, 2018. Tantangan dan Strategi Pelaksanaan Tujuan Pembangunan


Berkelanjutan (TPB) / Sustainabel Development Goals (SDGs).Kementerian PPN /
Bappenas.

Dwi Kartini, 2009. Corporate Social Responsibility : Transformasi Konsp Sustainability


Management dan Implementasi di Indonesia. Refika Aditama.

Dwi Kartini, Yudi Azis, and Ismail Solihin, 2013. Will Indonesia Still Sustain? Assessment on
Integrated Sustainable Development of Strategic Target and Implementation in
Indonesia, Journal of Economic, Business and Management, Vol. 1, No. 1, February
2013. IACSIT Press.

Dwi Kartini & Ernie Tisnawati Sule, 2017.Sinergitas Manajemen Kemitraan CSR sebagai
Penguatan Kolaborasi Unpad-BUMN Center of Excellence. Dies Natalis Universitas
Padjadjaran.

Rini M. Soemarno, 2015. Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor PER-
09/MBU/07/2015 tentang Program Kemitraan dan Program Bina Lingkungan Badan
Usaha Milik Negara.

Rini M. Soemarno, 2017. Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Republik Indonesia
Nomor PER-02/MBU/7/2017 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Badan
Usaha Milik Negara Nomor PER-09/MBU/07/2015 tentang Program Kemitraan dan
Program Bina Lingkungan Badan Usaha Milik Negara.

Steele, Rob, 2010, International Standard ISO 26000 : Guidance on Social Responsibility, First
Edition. ISO 2010.

43
Pelatihan dan Pengembangan SDM Sebagai Salah Satu Upaya Menjawab Tantangan
MEA

Oleh : Diana Harding

I. PENDAHULUAN

Terbentuknya kawasan ekonomi terintegrasi di wilayah Asia Tenggara yang dikenal


dengan istilah Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) atau ASEAN Economic
Community (AEC), Indonesia dan sembilan anggota ASEAN lainnya memasuki persaingan
yang sangat ketat di bidang ekonomi. Pada dasarnya, MEA merupakan wadah yang sangat
penting bagi kemajuan negara-negara ASEAN dalam mewujudkan kesejahteraan sehingga
keberadaannya harus disikapi dengan positif. Dan diharapkan negara-negara di kawasan Asia
Tenggara bisa berkompetisi dan bisa menempatkan ASEAN masuk ke dalam pasar terbesar di
dunia.
Berdasarkan ASEAN Economic Blueprint (2008), MEA menjadi sangat dibutuhkan
untuk memperkecil kesenjangan antara negara-negara ASEAN dalam hal pertumbuhan
perekonomian dengan meningkatkan ketergantungan anggota-anggota didalamnya. MEA
dapat mengembangkan konsep meta-nasional dalam rantai suplai makanan, dan menghasilkan
blok perdagangan tunggal yang dapat menangani dan bernegosiasi dengan eksportir dan
importir non-ASEAN. MEA juga akan mempercepat pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial
dan pengembangan budaya.
Terciptanya kesatuan pasar dan basis produksi tersebut akan membuat arus barang,
jasa, investasi, modal dalam jumlah yang besar, dan skilled labour menjadi tidak ada hambatan
dari satu negara ke negara lainnya di kawasan Asia Tenggara. MEA juga akan dibentuk sebagai
kawasan ekonomi dengan tingkat kompetisi yang tinggi, yang memerlukan suatu kebijakan
yang meliputi competition policy, consumer protection, Intellectual Property
Rights (IPR), taxation, dan E-Commerce. Dengan demikian, dapat tercipta iklim persaingan
yang adil; terdapat perlindungan berupa sistem jaringan dari agen-agen perlindungan
konsumen; mencegah terjadinya pelanggaran hak cipta; menciptakan jaringan transportasi
yang efisien, aman, dan terintegrasi; menghilangkan sistem Double Taxation, dan;
meningkatkan perdagangan dengan media elektronik berbasis online (Blueprint Asean
Economic Community, 2008).
44
Bagi Indonesia sendiri, MEA akan menjadi kesempatan yang baik karena hambatan
perdagangan akan cenderung berkurang bahkan menjadi tidak ada. Hal tersebut akan
berdampak pada peningkatan eskpor yang pada akhirnya akan meningkatkan perekonomian
Indonesia. Dari aspek ketenagakerjaan, terdapat kesempatan yang sangat besar bagi pencari
kerja karena dapat banyak tersedia lapangan kerja dengan berbagai kebutuhan akan keahlian
yang beraneka ragam. Selain itu, akses untuk pergi keluar negeri dalam rangka mencari
pekerjaan menjadi lebih mudah bahkan bisa jadi tanpa hambatan tertentu. MEA juga menjadi
kesempatan bagus bagi para wirausahawan untuk mencari pekerja terbaik sesuai kriteria yang
diinginkan. Dalam hal ini dapat memunculkan risiko ketenagakerjaan bagi Indonesia. Dilihat
dari sisi pendidikan dan produktivitas, Indonesia masih kalah bersaing dengan tenaga kerja
yang berasal dari Malaysia, Singapura, dan Thailand serta fondasi industri yang bagi Indonesia
sendiri membuat Indoensia berada di peringkat keempat ASEAN (Republika Online, 2013)
Berdasarkan data yang terpublikasi di Kementrian Tenaga Kerja Indonesia, berikut
terdapat data mengenai jumlah Pekerja Indonesia yang bekerja di Luar Negeri ;

Keterangan : PMI = Pekerja Migran Indonesia


Sumber : Data Kementrian Tenaga Kerja Indonesia

Gambar 5. 1 Grafik jumlah Pekerja Indonesia yang bekerja di Luar Negeri tahun 2014-2018

45
Keterangan : PMI = Pekerja Migran Indonesia
Sumber : Data Kementrian Tenaga Kerja Indonesia

Gambar 5. 2 Grafik jumlah Pekerja Indonesia berdasarkan penempatan 5 negara tahun 2014-
2018

Pada sisi demografi penduduk, Indonesia memiliki peluang yang cukup besar
mengingat Indonesia memiliki jumlah penduduk yang terbesar di Asia Tenggara. Total jumlah
penduduk Indonesia hampir 40% dari total keseluruhan penduduk ASEAN. Fakta ini bisa
dijadikan acuan untuk menguasai pasar ASEAN jika didukung dengan produktivitas yang
tinggi. Jumlah penduduk Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat. Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional (Bappenas) menyebutkan bahwa jumlah penduduk saat ini sejumlah
254 juta dan memproyeksikan pada tahun 2035 akan bertambah sejumlah 305,6 juta jiwa.
Peningkatan jumlah penduduk Indonesia tersebut diikuti dengan meningkatnya penduduk
berusia produktif (usia 15-64 tahun). Indonesia ini telah memasuki bonus demografi (rasio
ketergantungan terhadap penduduk tak produktif), yakni 49,6%. Atas dasar itu, penduduk
Indonesia yang produktif lebih banyak daripada penduduk yang tak produktif. Saat ini
Indonesia mengalami bonus demografi ini dikarenakan proses transisi demografi yang
berkembang sejak beberapa tahun yang lalu yang dipercepat dengan keberhasilan program

46
Keluarga Berencana (KB) menurunkan tingkat fertilitas dan meningkatnya kualitas kesehatan
serta suksesnya program-program pembangunan lainnya. Akan tetapi usia produktif ini apabila
tidak berkualitas malah akan menjadi beban negara, terutama dari segi pertumbuhan ekonomi
dan lapangan kerja yang juga harus meningkat seiring dengan jumlah tenaga kerja yang
semakin tinggi.

Dalam rangka meminimalkan risiko serta meningkatkan daya saing tenaga kerja
Indonesia, saat ini pemerintah Indonesia sebenarnya sudah melakukan upaya peningkatan
kesiapan sumber daya manusia Indonesia. Salah satunya adalah dibentuknya Lembaga
Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). Hal ini dilatarbelakangi adanya amanah UUD 1945
mengamanahkan bahwa sekurang-kurangnya 20% Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara
(APBN) digunakan untuk fungsi pendidikan. Melalui Undang-Undang Nomor 2 tahun 2010
tentang APBN-P 2010, Pemerintah dan DPR sepakat bahwa sebagian dari dana fungsi
pendidikan dijadikan sebagai Dana Pengembangan Pendidikan Nasional yang dikelola dengan
mekanisme pengelolaan dana abadi (endowment fund) oleh sebuah Badan Layanan Umum
(BLU).
Menteri Keuangan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor
252/PMK.01/2011 tanggal 28 Desember 2011 menetapkan Organisasi dan Tata Kelola LPDP
sebagai sebuah lembaga non eselon yang langsung bertanggung jawab kepada Menteri
Keuangan dan berpedoman pada kebijakan-kebijakan yang ditetapkan oleh Dewan Penyantun
LPDP yang terdiri dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Keuangan, dan Menteri
Agama. LPDP berusaha untuk mencetak pemimpin masa depan handal yang tersebar di
berbagai bidang. Pengelolaan dana abadi pada LPDP ditujukan untuk menjamin
keberlangsungan program pendidikan bagi generasi mendatang sebagai pertanggungjawaban
antar generasi. LPDP juga fokus pada pengembangan kualitas sumber daya manusia di
berbagai bidang yang menunjang percepatan pembangunan Indonesia. Beberapa di antara
prioritas yang menjadi fokus LPDP antara lain adalah di bidang teknik, sains, pertanian,
hukum, ekonomi, keuangan, kedokteran, agama, serta sosial dan kebudayaan.
Pembentukan LPDP juga tidak lepas dari upaya Indonesia dalam meningkatkan Index
Peningkatan Manusia. Pada tahun 2014, United Nation Development Program merilis laporan
Index Pembangunan Manusia Indonesia pada tahun 2013 dimana Indonesia berada di peringkat
108, tidak berubah dari tahun 2012. UNDP akan merilis laporan serupa pada tanggal 14

47
Desember 2015. Tentunya kita berharap ada peningkatan peringkat Indonesia. Peningkatan
peringkat akan sedikit banyak membantu meningkatkan kepercayaan diri Indonesia dalam
menghadapi MEA 2016. (www.kemenkeu.go.id).
Selain itu, berdasarkan data yang terpublikasi di Kementrian Tenaga Kerja Indonesia,
pemerintah saat ini telah melakukan program pelatihan bagi tenaga kerja Indonesia. Sampai
dengan saat ini sudah cukup banyak calon tenaga kerja yang diberikan pelatihan dalam rangka
meningkatkan keterampilan serta kualitas SDM Indonesia. Seperti dapat dilihat pada tabel
dibawah ini :

Tabel 5. 1Jumlah Orang yang Dilatih menurut Program Pelatihan Tahun 2009 s/d 2016

Jumlah Orang yang Dilatih menurut Program Pelatihan Tahun 2009 s/d 2016
PROGRAM
NO PELATIHAN 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
1 Pelatihan MTU 14.330 - - - - -
Pelatihan
Berbasis
2 Kompetensi 11.204 19.780 39.684 85.035 95.098 62.073 73.016 62.986
Pelatihan
Berbasis
3 Masyarakat 30.842 5.445 5.617 2.338 -
Pelatihan
4 Produktivitas 180 5.575 9.674 8.720 4.270 1.775 2.404 8.180
Pelatihan
5 Kewirausahaan - - 11.180 9.540 10.985 6.475 5.300 9.740
6 Pemagangan DN 13.053 14.006 21.088 11.965 12.000 6.780 8.640 8.790
7 Pemagangan LN 1.916 2.392 2.160 2.771 2.615 3.779 5.478 6.620
Pelatihan
8 Instruktur 1.070 2.592 1.541 864 1.872 985 1.965 1.183
Pelatihan Tenaga
Pengelola
9 Pelatihan - - 278 270 600 420 378 307
Pelatihan
10 Transmigrasi 4.950 4.120 7.586 8.530 11.808 6.628
Pelatihan Tenaga
11 Kerja di LPKS 420 - - - - -
Stimulus
Fiskal*/Bantuan
Sosial**/Bantuan
Program
12 Pelatihan*** 20.519* 8.704** 13860*** 11.000*** 23.200 6.920 19.220 16.680
JUMLAH 98.484 62.614 112.688 141.033 162.448 95.835 116.401 114.486

48
Sumber Data : Direktorat Stankomproglat, Direktorat Bina Talenta, Direktorat Produktivitas &
Kewirausahaan, Direktorat
Bina Pemagangan, Setditjen
Binalattas

Namun demikian, dari data tersebut masih terlihat bahwa program pelatihan yang
dilakukan belum sepenuhnya meningkat. Dari tahun ke tahun datanya menunjukkan angka
yang fluktuatif. Kondisi tersebut menunjukkan adanya kendala dalam pelaksanaan program
pelatihan yang dicanangkan oleh pemerintah. Kendala yang dihadapi adalah banyaknya jumlah
tenaga kerja yang perlu dilatih, serta bukan suatu hal yang mudah memberikan sertifikasi
kepada calon tenaga kerja Indonesia. Hal tersebut terkendala pada faktor waktu, lokasi, tenaga
profesional yang melakukan sertifikasi serta biaya yang besar. Dengan demikian, apabila hal
ini tidak tertangani dengan baik, maka risiko Indonesia serta dampak negatif dalam
menghadapi tantangan MEA akan semakin besar. Tenaga Kerja Indonesia akan habis terkuasai
oleh persaingan pasar global yang memudahkan pekerja luar menduduki posisi-posisi
pekerjaan yang ada di Indonesia.

II. UPAYA DALAM MENGHADAPI TANTANGAN MEA

Dalam rangka menjawab tantangan MEA tersebut, tentu saja hal ini tidak
terlepas dari keterlibatan berbagai pihak dalam menyelesaikan permasalahan yang ada.
Perlu adanya suatu perencanaan, konsep yang tertata, serta pasrtisipasi antara pihak
pemerintah, swasta dan akademisi.

Salah satu upaya pihak akademisi dalam menghadapi tantangan MEA adalah
menyiapkan suatu konsep yang tertata dalam hal pelatihan & pengembangan SDM,
sehingga konsep tersebut bisa dilaksanakan oleh pihak-pihak yang terkait. Pelatihan &
Pengembangan SDM merupakan hal yang sangat penting dalam meningkatkan kualitas
SDM, karena pada dasarnya setiap manusia dapat “diasah”, dilatih dan dikembangkan.
Pelatihan merupakan kegiatan dalam hubungannya dengan peningkatan pengetahuan,
sikap maupun keahlian dan perilaku. Pelatihan mencakup perubahan dalam proses
terencana untuk memodifikasi sikap, pengetahuan dan keterampilan tertentu melalui
pengalaman belajar guna mencapai kinerja yang efektif dalam sebuah atau beberapa
aktivitas pengetahuan, keterampilan, sikap-sikap dan perilaku sosial (Wayne F. Casio,
1998). Pelatihan dan pengembangan tenaga kerja pun sebenarnya mampu menolong

49
tenaga kerja baru dalam masalah dan kesulitan pada masa penyesuaian diri dengan
lingkungan pekerjaan di tempat kerjanya yang baru. (Wanous, 1993; Waung, 1995).
Bukti menunjukkan bahwa tenaga kerja yang menerima pelatihan awal terlebih dahulu,
sampai mereka ahli dan terampil, akan lebih puas dan sedikit kemungkinan untuk
berhenti selama 6 bulan pertama bekerja, dibandingkan dengan tenaga kerja yang tidak
memperoleh pelatihan terlebih dahulu di awal (Wanous, Poland, Premack, & Davis,
1992; Wanous, Stumpf, & Bedrosian, 1979).

III. PENGERTIAN PELATIHAN DAN PENGEMBANGAN SDM


Training and development berfokus pada perubahan atau peningkatan
pengetahuan, keterampilan, dan sikap individu. Pelatihan (training) biasanya berupa
penyediaan pengetahuan dan keterampilan bagi karyawan untuk dapat melaksanakan
tugas atau pekerjaan menjadi lebih baik lagi. Kegiatan pengembangan (development)
memiliki fokus jangka panjang pada mempersiapkan karyawan untuk tanggung jawab
pekerjaan di masa depan, juga meningkatkan kapasitas karyawan untuk melakukan
pekerjaan mereka pada saat ini (Werner dan DeSimone, 2012:527).
Menurut Mondy, (2008:210), pelatihan merupakan serangkaian aktivitas yang
dirancang guna memberi pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan para
pembelajar untuk dapat melaksanakan pekerjaan mereka pada saat ini.
Sedangkan Dessler (2008:280), menyatakan bahwa pelatihan dimaksudkan
untuk memberikan keterampilan yang dibutuhkan bagi karyawan baru maupun
karyawan yang sudah ada dalam melakukan pekerjaannya.
Bernard Keys dan Joseph Wolfe dalam Richard L. Daft (2011:122),
mengemukakan bahwa pelatihan dan pengembangan merupakan upaya terencana yang
dilakukan perusahaan untuk memfasilitasi pegawai untuk mempelajari berbagai
keterampilan dan perilaku yang berhubungan dengan pekerjaan.
Gomes (2003:197) mengemukakan pelatihan adalah setiap usaha untuk
memperbaiki performansi pekerja pada suatu pekerjaan tertentu yang sedang menjadi
tanggungjawabnya. Menurutnya istilah pelatihan sering disamakan dengan istilah
pengembangan, perbedaannya kalau pelatihan langsung terkait dengan performansi
kerja pada pekerjaan yang sekarang, sedangkan pengembangan tidaklah harus,
pengembangan mempunyai scope yang lebih luas dibandingkan dengan pelatihan.
50
Dengan demikian pelatihan dan pengembangan merupakan :
a. Usaha dalam bentuk proses tertentu untuk meningkatkan keterampilan dan
pengetahuan, serta sikap dan perilaku sesuai dengan perubahan teknologi
atau sesuai dengan tuntutan pekerjaan/jabatan.
b. Proses yang berkelanjutan di kelas, di program, di lingkungan organisasi
kerja/bisnis.
c. Proses untuk mempersingkat waktu dalam memperoleh pengalaman, baik
untuk anggota organisasi yang baru maupun yang sudah berpengalaman,
umumnya bagi anggota organisasi yang sudah berpengalaman.

Pelatihan dan pengembangan merupakan dua istilah yang saling berhubungan,


dan dimaksudkan untuk merencanakan suatu disain untuk memudahkan peningkatan
keahlian, pengetahuan, sikap dan perilaku. Langkah pertama dari suatu proses pelatihan
adalah menentukan kebutuhan pelatihan. Apabila proses penentuan kebutuhan
pelatihan dilakukan dengan cermat dan dengan hati-hati, maka organisasi yang
menyelenggarakan pelatihan akan dapat menghemat waktu, tenaga, dan biaya. Suatu
program pelatihan akan terlaksana dengan baik dan sasaran pelatihan dapat tercapai
sesuai dengan yang diharapkan, tergantung pada proses analisis kebutuhan pelatihan
sebelum pelatihan dilaksanakan. Dengan demikian analisis kebutuhan tersebut
sebenarnya merupakan hal yang penting yang harus dilakukan sebelum pelatihan itu
sendiri dilaksanakan. Ketepatan program pelatihan merupakan suatu hal yang utama,
agar dihasilkan orang-orang yang memiliki kesiapan kerja yang tinggi. Kesiapan kerja
ini, di kemudian hari dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk mencapai
produktivitas yang tinggi.

Analisis kebutuhan pelatihan, melibatkan 3(tiga) kegiatan analisis, yaitu : 1)


Analisis Organisasi/Lingkungan/Negara, 2) Analisis Jabatan/Tugas, 3) Analisis
Individu.

1) Analisis Organisasi/Lingkungan/Negara
Pada analisis ini kegiatan yang dilakukan adalah menganalisis Rencana Jangka
Panjang, Menengah dan Pendek dari MEA. Untuk memenuhi tujuan-tujuan tersebut,
maka perlu dibuat perencanaan mengenai pengetahuan, keterampilan, perilaku yang
diperlukan di masa depan, termasuk pula pengembangan perusahaan itu sendiri.
51
Rencana-rencana dituangkan dalam pernyataan jenis kegiatan/usaha, tujuan akhir dari
kegiatan tersebut, sumber daya dan dana untuk menunjang kegiatan tersebut,
demikian pula faktor-faktor lainnya yang termasuk pada non-pelatihan perlu
dipertimbangkan.
2) Analisa Jabatan/Tugas
Analisis tugas ini dimulai dengan meneliti uraian suatu posisi/jabatan,
kemudian diikuti dengan penelitian persyaratan jabatan untuk melakukan tugas
jabatan. Analisis tugas ini dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan tentang apa yang
harus diajarkan pada seorang tenaga kerja untuk menghasilkan hasil kerja yang efektif?
Dengan demikian, pengetahuan, kemampuan, keterampilan, sikap, dan perilaku apa
yang harus dikembangkan untuk memenuhi persyaratan posisi-posisi atau jabatan
kosong yang diperlukan.
3) Analisa Individu
Analisis inidividu ini mengupayakan untuk menjawab pertanyaan tentang siapa
yang memerlukan pelatihan dan jenis pelatihan apa yang diperlukan? Untuk itu perlu
"dilihat" pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan apa yang belum dikuasainya,
serta sikap dan perilaku kerja bagaimana yang perlu dimiliki oleh Tenaga kerja. Semua
ini nanti akan dikaitkan dengan persyaratan posisi-posisi yang dibutuhkan
Industri/Perusahaan.
IV. ANALISIS RINCI
Beberapa metode untuk memperoleh persyaratan tugas/jabatan yang
rinci, dengan menyebutkan dan menjelaskan secara singkat. Singkat bukan berarti
menganggap metode itu tidak penting, akan tetapi sebaliknya mereka melibatkan
sebagian besar waktu untuk melakukan penelitian. Semua teknik atau cara tersebut
memiliki jarak yang lebar dan bervariasi, beberapa sangat sederhana dan beberapa
menggunakan tehnik yang sangat canggih yang mempersyaratkan keahlian dan
pengalaman. Beberapa tergantung pada keadaan dari tugas tertentu yang
memerlukan tipe analisis tertentu. Berikut beberapa metode yang cukup dapat
menganalisis keahlian/keterampilan individu secara masal dan cepat. Metode
tersebut adalah :

52
1. Analisis Pengetahuan (Knowledge Analysis)
Untuk menentukan tingkat dan kebutuhan pengetahuan, dapat digunakan
pendekatan yang berbeda untuk menganalisis suatu keterampilan dan mungkin secara
langsung melalui pendekatan analisis pengetahuan. Setiap pendekatan dapat digunakan
baik bagi individu maupun untuk kelompok. Metode analisis pengetahuan mengandung
pertanyaan-pertanyaan yang sederhana untuk menjaring pengetahuan yang ada, teknik
observasi terdiri dari seperangkat aturan atau informasi yang harus diikuti, atau untuk
kasus yang lebih pelik dapat digunakan seperangkat tes.

2. Observasi & Wawancara


Observasi mengenai jabatan atau tugas, dan tampilan kerja seseorang, mudah
sekali untuk dilakukan dan pada umumnya menggunakan metode analisis yang sesuai
untuk kasus-kasus seperti itu. Namun demikian masih menyisakan beberapa kegiatan
yang tidak dapat menggunakan observasi yang sifatnya praktis. Untuk kegiatan
observasi diikut sertakan tenaga pewawancara termasuk diantaranya untuk wawancara
penilaian dan wawancara untuk kegiatan yang sejenis. Untuk kegiatan wawancara
seperti ini diperlukan seorang pewawancara yang terampil, dan mereka harus terbuka
terhadap perbedaan di dalam suatu interaksi antar individu. Seorang pewawancara
haruslah dapat mengidentifikasi segala sesuatu yang disampaikan oleh subjek yang
diwawancarai. Akhirnya, pewawancara harus mampu untuk memberikan penilaian
terhadap suatu informasi, memilah-milah informasi yang muncul, dan mengadakan
evaluasi terhadap informasi yang signifikan.

3. Kuesioner
Selain dengan metode observasi dan wawancara, informasi dapat juga dicari
melalui pendekatan metode kuesioner. Metode ini dapat digunakan untuk menjaring
tingkat pengetahuan seseorang. Penggunaan kuesioner tampaknya lebih subjektif
dibandingkan dengan wawancara, dan juga jauh lebih subjektif dibandingkan dengan
observasi yang dilengkapi dengan wawancara. Keterampilan untuk menilai suatu
kuesioner sangat diperlukan dari seorang analis.

53
V. PROGRAM PELATIHAN
Apabila tahap analisis pelatihan telah selesai dan urutan prioritas pelatihan telah
ditentukan maka tahap selanjutnya adalah merencanakan program pelatihan sesuai
dengan urutan prioritas pelatihan tersebut. Perumusan program pelatihan harus
melibatkan antara lain: (1) Lima komponen pelatihan dan (2) Proses belajar-mengajar.
Kelima komponen ini harus dirumuskan secara bijak dan tepat sasaran.
Komponen-komponen yang penting di dalam suatu program pelatihan tersebut
adalah:
(1) Tujuan Pelatihan,
(2) Peserta Pelatihan,
(3) Pelatih,
(4) Materi Pelatihan,
(5) Metode Pelatihan.

VI. PRINSIP- PRINSIP PELATIHAN DAN PENGEMBANGAN :


Agar pelaksanaan program pelatihan dan pengembangan dapat berfungsi lebih
efektif atau sesuai dengan tujuan, maka yang melaksanakan haruslah berpedoman pada
prinsip-prinsip yang mendasari pelaksanaan program pelatihan dan pengembangan.
Agar pelaksanaan program pelatihan dan pengembangan dapat berfungsi lebih efektif
atau sesuai dengan tujuan perusahaan/organisasi/Negara tujuan, maka Lembaga yang
melaksanakan pelatihan dan pengembangan haruslah berpedoman pada prinsip-prinsip
yang mendasari pelaksanaan program pelatihan dan pengembangan, yaitu :
▪ Masing-masing individu berbeda dalam bakat, keinginan dan latar belakang
pendidikan, minat dan pengalamannya. Hal-hal tersebut harus diperhatikan
dalam merencanakan suatu program pelatihan dan pengembangan SDM.
Karena dengan mengetahui perbedaan tersebut maka dapat direncanakan
Waktu, sifat, cara pelatihan dan pengembangan yang tepat dan methodis yang
akan dilaksanakan, sehingga diharapkan akan mendapatkan hasil yang
optimal.
▪ Keterangan yang menunjukkan pengetahuan, kecakapan serta sikap apakah
yang diperlukan oleh masing-masing pekerjaan yang akan diembannya

54
merupakan pedoman yang paling jelas untuk sisi pelatihan yang diinginkan.
Setelah syarat-syarat tersebut diperiksa terhadap persyaratan bagi para
pemegang jabatan dan pelamar pekerjaan, maka mereka harus menentukan
kebutuhan pelatihan.
▪ Motivasi merupakan hal yang penting dalam proses belajar. Individu
menyesuaikan diri dalam proses belajar tersebut. Ia harus mempunyai tujuan
dengan kepentingannya tersebut dan tujuan itu harus selalu diingatkan untuk
memberikan motivasi yang terus menerus sehingga memudahkan dalam
menerima pelajaran.
▪ Partisipasi aktif para peserta pelatihan dan pengembangan dalam proses
belajar dan mengajar dapat meningkatkan minat dan motivasi peserta. Dalam
hal ini peserta dan pengajar saling bertukar pikiran sehingga memudahkan
dalam pemecahan masalah.
▪ Peserta-peserta pelatihan dan pengembangan hendaknya dipilih dengan
seksama. Hal ini penting sehingga hanya orang-orang dengan kemampuan
yang disyaratkan serta pengalaman sebelumnya yang cukup yang mengikuti
program pelatihan dan pengembangan

VII. PROSES BELAJAR MENGAJAR


Pada dasarnya proses pelatihan merupakan proses belajar-mengajar. Peserta
pelatihan akan belajar untuk meningkatkan keterampilannya sesuai dengan tuntutan
tugas/jabatan yang semakin tinggi. Para pelatih (fasilitator) akan membantu
memberikan dukungan serta bantuan agar proses belajar-mengajar berjalan sesuai
dengan yang diharapkan. Peningkatan keterampilan yang diperoleh melalui pelatihan
akan membantu penanganan tugasnya dikemudian hari dengan lebih baik. Proses
belajar pada pelatihan dan pengembangan merupakan proses belajar pada orang dewasa
(Arnold & McClure, 1989). Peserta pelatihan sebagai orang yang menerima pelajaran
dalam rangka meningkatkan atau belajar keterampilan baru, baik berupa keterampilan
teknis maupun keterampilan non-teknis. Pada orang dewasa, proses belajar tiada henti
sepanjang hidup; para pelatih akan memberikan fasilitas dan dukungan pada proses
belajar tersebut. Belajar merupakan perubahan yang relatif tetap dari perilaku
sebagai hasil suatu pengertian, latihan atau pengalaman.
55
Terlebih lagi para calon tenaga kerja yang akan bertugas di negara lain dan
bekerja di kebudayaan yang berbeda membutuhkan pelatihan khusus (Tung, 1997).
Pelatihan yang dibutuhkan adalah pelatihan keterampilan berbahasa negara yang akan
dituju, pengetahuan tentang kebudayaan negara setempat secara umum, dan
pengetahuan spesifik budaya bisnis dan peraturan kerja negara setempat (Ronen, 1989).
Pelatihan pada Tenaga Kerja direncanakan untuk :
▪ Memfasilitasi karyawan dalam mempelajari pekerjaan
▪ Mempelajari rentang pelaksanaan pekerjaan
▪ Memberikan Keterampilan baru terkait pekerjaan
▪ Menyampaikan perilaku kerja yang sesuai dengan pekerjaan yang akan
dilakukan.

VIII. FUNGSI PELATIHAN (Muchinsky,1983), yaitu :

1. Pemeliharaan
Untuk memastikan tenaga kerja melakukan pekerjaan dengan cara-cara yang
sesuai dengan harapan organisasi/industri sehingga mampu mempertahankan prestasi
secara konsisten guna meraih tujuan yang ingin dicapai.
2. Memotivasi
Untuk meningkatkan minat terhadap pekerjaan dan menggerakkan tenaga kerja
untuk melaksanakan pekerjaan lebih efektif dan berprestasi.
3. Sosialisasi
Karyawan diperkenalkan pada prioritas, nilai, norma, prosedur dan sistem
organisasi secara umum.
Keterampilan yang dapat ditingkatkan melalui Pelatihan, yaitu :

◼ Motor skill
Kerampilan melakukan gerakan motorik untuk memanipulasi lingkungan fisik.
◼ Cognitive Skill
Keterampilan dalam mengelola faktor-faktor atau attitudinal (sikap-sikap yang perlu
dimiliki) untuk memahami segala sesuatu yang terkait dengan tuntutan kerja.

56
◼ Interpersonal Skill
Keterampikan untuk berinteraksi dengan orang lain dalam rangka mencapai tujuan
tertentu, seperti kerjasama.

IX. PROGRAM MENTORING

Program lain yang bisa diberikan kepada para calon tenaga kerja, yaitu kegiatan
mentoring dimana mereka mendapatkan seorang pembimbing (mentor) untuk jangka
waktu tertentu, bisa sampai 5 tahun. Akan tetapi pada umumnya, program mentoring
berjalan selama 1 – 2 tahun. Para calon tenaga kerja bisa menjadi asisten dan belajar
dengan bekerja pada trainer yang terlatih. Hal ini dapat digunakan untuk meningkatkan
keterampilan dan keahlian kejuruan pemantrian, pertukangan, elektris maupun
kesehatan.

X. PROGRAM PEMAGANGAN
Selain program pelatihan dan mentoring, program yang dapat memacu serta
meningkatkan keterampilan para tenaga kerja adalah program pemagangan. Program
ini, menempatkan calon tenaga kerja pada lingkungan kerja nyata, sehingga para calon
tenaga kerja dapat melihat langsung proses kerja dan cara-cara kerja yang diperlukan.
Proses belajar yang terjadi yaitu dengan belajar dari pengalaman langsung (experiential
learning). Hasil yang diharapkan dari program ini adalah para calon tenaga kerja dapat
langsung berpartisipasi secara aktif ketika mereka bekerja.
Salah satu tahap yang paling sulit mengenai pelatihan adalah bagaimana
melaksanakan evaluasi pelatihan. Apakah pelatihan yang telah dilaksanakan itu
efektif atau tidak? Bagaimana mengukur efektivitas pelatihan? Dampak spesifik apa
yang muncul dari setiap program pelatihan yang diberikan pada para pekerja.
Evaluasi pelatihan merupakan langkah yang penting, karena:
a. Memberi Masukan kepada para pelatih apa yang harus dikerjakan dan apa yang
tidak perlu dilakukan.
b. Proses evaluasi memberikan petunjuk bahwa program pelatihan memberi dampak
yang positif terhadap kebutuhan jangka panjang (Arnold & McClure, 1989).
Dan menurut Mc. Gehee (1961) evaluasi pelatihan memiliki dua aspek, yaitu

57
a. Menentukan apakah perubahan perilaku yang dihasilkan oleh program pelatihan
memberikan sumbangan secara umum.
b. Membandingkan berbagai teknik pelatihan untuk menentukan teknik pelatihan mana
yang paling tepat yang dapat memberikan sumbangan pada pencapaian tujuan.

Menurut Cascio (1991) melalui program pelatihan akan diperoleh dua hal yaitu
apakah program pelatihan tersebut berguna atau tidak. Berguna atau tidaknya suatu
program pelatihan harus dikaitkan dengan tingkah laku peserta pelatihan setelah
kembali bekerja dan dikaitkan dengan pencapaian tujuan pelatihan itu sendiri.

XI. BAGAIMANA MENGUKUR EFEKTIVITAS SUATU PELATIHAN


Banyak pendapat mengatakan bahwa validasi dan evaluasi pelatihan itu harus
selayak mungkin. Dalam berbagai ruang lingkup pelatihan, validasi dan evaluasi
tersebut merupakan suatu kegiatan yang sangat sulit untuk dilakukan. Akan tetapi
dengan berbagai cara, validasi dan evaluasi pelatihan tersebut dapat dilakukan, antara
lain dengan menggunakan teknik-teknik wawancara, observasi dan pengisian angket.

Pengukuran efektivitas pelatihan dirumuskan sebagai pengukuran yang bersifat


umum untuk memastikan bahwa proses pelatihan adalah efektif dan efisien dalam
mencapai tujuan pelatihan. Di dalamnya termasuk juga evaluasi dan validasi pelatihan
(Leslie Rae, 1986).

XII. PEMBAHASAN
Dengan demikian, program pelatihan dan pengembangan SDM untuk
meningkatkan tenaga kerja Indonesia dalam menjawab tantangan MEA perlu dimulai
dari tahap awal yaitu analisis kebutuhan pasar Tenaga kerja di Indonesia, Analisis
kebutuhan Pelatihan, penyusunan program pelatihan & Pengembangan, serta tahap akhir
yaitu evaluasi program pelatihan. Hal tersebut dapat terlaksana dengan kerja sama antara
pihak pemerintah, swasta, dan akademisi. Pada Tahap Analisis kebutuhan Pasar Tenaga
Kerja Indonesia, serta analisis kebutuhan pelatihan, pemerintah bisa bekerja sama dengan
pihak akademisi. Peran akademisi yaitu menyelenggarakan penelitian dan survey terkait
dengan kebutuhan pasar Tenaga kerja Indonesia. Selain itu peran akademisi, khususnya
58
bidang ilmu Psikologi, dapat melakukan analisis terkait kebutuhan program pelatihan
dengan berbagai metode serta teknik-teknik sesuai dengan kajian dan bahasan ilmu
psikologi. Hasil dari analisis kebutuhan pelatihan yang tepat dapat tercipta suatu program
pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan dan tujuan yang ingin dicapai. Analisis
kebutuhan pelatihan yang tepat dapat mengurangi waktu, tenaga serta biaya yang sia-sia.
Peran pemerintah dalam pelaksanaan program pelatihan sangat besar terutama dalam hal
pendanaan serta fasilitasi penyelenggaran pelatihan. Kita sadari bahwa untuk melakukan
pelatihan kepada para tenaga kerja membutuhkan dana yang sangat besar. Dengan
demikian, Pemerintah perlu berinvestasi terkait peningkatan dan pengembangan SDM
agar tenaga kerja Indonesia dapat memiliki keterampilan yang tinggi, handal di
bidangnya masing-masing, mampu bersaing di pasar global, serta dapat meningkatkan
produktivitasnya.
Akan tetapi, Pihak swasta pun tidak bisa menutup mata akan pentingnya program
pelatihan dan pengembangan SDM. Daya saing Industri tidak akan bisa meningkat tanpa
adanya sumber daya manusia yang handal dan kompeten di bidangnya.
Industri/perusahan/suatu organisasi juga sama-sama perlu berinvestasi dalam hal
pelatihan dan pengembangan SDM. Memberikan program mentoring dan pemagangan
dari Industri/Perusahaan merupakan salah satu upaya yang akan membantu dalam
meningkatkan keterampilan tenaga kerja dengan biaya yang relatif lebih kecil.
Selain itu, pihak Akademisi juga perlu terlibat dalam proses program pelatihan,
hal ini dikarenakan dibutuhkannya seorang yang ahli dalam memberikan pelatihan
kepada para calon tenaga kerja Indonesia. Peran akademisi dalam hal ini yaitu sebagai
pelatih (Instruktur) serta menyusun modul-modul, metode serta teknik pelatihan yang
methodis. Kerjasama antara pihak pemerintah, swasta dan akademisi akan membantu
mendorong serta mencapai peningkatan kualitas SDM yang cepat dan menyeluruh.
Tahap akhir dari program pelatihan dan pengembangan SDM adalah dengan
melakukan evaluasi program pelatihan. Evaluasi ini merupakan fungsi monitoring
apakah program pelatihan yang dijalankan sudah efektif dan efisien atau tidak. Evaluasi
ini bisa dilakukan oleh pemerintah juga akademisi untuk melihat efektivitas pelaksanaan
program pelatihan yang sudah dilakukan. Pihak akademisi bisa melakukan penelitian-
penelitian yang mengukur tentang pelaksanaan program pelatihan yang dilakukan oleh
pemerintah. Hasil yang diperoleh dapat memiliki manfaat bagi kedua belah pihak, baik
59
bagi para akademisi sendiri yaitu dapat memberikan sumbangan dalam pengembangan
ilmu pengetahuan dan bagi pihak pemerintah mengetahui seberapa besar efektivitas
pelatihan yang sudah dilakukan.
Konsep pelatihan dan pengembangan SDM tersebut dapat digambarkan seperti
gambar dibawah ini;
PROGRAM PELATIHAN & PENGEMBANGAN SDM

Gambar 5. 3 Konsep Pelatihan & Pengembangan SDM

KESIMPULAN
Lingkungan pada dasarnya akan selalu berubah. MEA yang saat ini sudah berlangsung
memberikan perubahan terhadap kondisi lingkungan kerja dan Industri di dalam negeri.
Perubahan yang terjadi dapat memberikan dampak positif dan juga negatif terhadap bangsa
Indonesia dan Tenaga Kerja Indonesia khususnya. Dengan demikian Indonesia tidak bisa

60
berdiam diri menghadapi tantangan MEA tersebut. Tenaga Kerja Indonesia harus siap bersaing
dalam persaingan pasar global yang bebas. Tantangan pekerja asing, persaingan yang semakin
ketat, perubahan teknologi, peningkatan tuntutan kerja harus mampu dihadapi oleh tenaga kerja
Indonesia. Hal tersebut tidak mungkin dapat terjadi apabila Indonesia tidak memiliki tenaga
kerja yang kompeten. Kerjasama yang kuat antara pihak pemerintah, swasta dan akademisi
dalam pelaksanaan program pelatihan dan pengembangan SDM sangat perlu dilakukan agar
tenaga kerja Indonesia yang terlatih dan kompeten semakin besar dan menyeluruh. Kendala
biaya dapat diminimalkan apabila pihak pemerintah, swasta dan akademisi sama-sama
memberikan perhatian yang besar dalam hal investasi pengembangan sumber daya manusia.
Apabila hal tersebut dapat dilaksanakan, maka semakin banyak tenaga kerja Indonesia yang
terampil dan ahli serta mampu bertahan dalam persaingan pasar global. Pada akhirnya,
produktivitas Indonesia dan prestasi Indonesia di kawasan ASEAN dapat meningkat.

DAFTAR PUSTAKA

Arnold, William E. & McClure, Lynne. 1989. Communication Training & Development. New
York: Harper & Row Publisher.
Association of Southeast ASIAN Nations (2008). Asean Economic Community Blueprint.
Jakarta: Asean Secretariat
Boydell,T.H. 1980. Petunjuk dalam Mengungkapkan Kebutuhan Latihan dan Tenaga Kerja.
Jakarta: Bhratara Karya Aksara
Cascio, Wayne, F. 1991. Applied Psychology in Personnel Management. New Jersey: Prentice
Hall.
Daft, Richard L.. 2011. Era Baru Manajemen. Terj. Edisi kesembilan buku II bekerja sama
dengan Tita Maria Kanita. Jakarta: Salemba.

Dawson, Peter P. 1985. Fundamentals of Organizational Behavior an Experiential Approach.


New Jersey: Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs.
Desimone, Randy L & Werner, Jon M. (2012). Human Resouces Development. Sixth Edition.
South-Western Cengage Learning, Canada. 527*.

Dessler, Gary. 2008. Manajemen Sumber Daya Manusia . Terj. Edisi kesepuluh jilid I bekerja
sama dengan Paramita Rahayu. Indonesia: PT Macanan Jaya Cemerlang.

61
Gomes, Faustiono Cardoso. 2003. Manajemen Sumberdaya Manusia. Yogyakarta: Penerbit
Andi.

Isaac, Stephen & Michael, William B. 1981. Handbook in Research and Evaluation. San
Diego: EdITS Publisher.
Kolb, David A. ; Rubin, Irwin M. & Osland, Joyce. 1991. Organizational Behavior, an
Experiential Approach. New Jersey: Prentice Hall, Englewood Cliffs.
Mondy, R. Wayne. 2008. Manajemen Sumber Daya Manusia. Terj. Edisi kesepuluh jilid I
bekerja sama dengan Penerbit Erlangga. Jakarta: Erlangga.

Otto, Calvin P.& Glaser, Rollin O. 1970. The Management of Training, A Handbook for
Training and Development Personnel. Massachusett: Addison-Wesley Publishing
Company

Rae, Leslie. 1986. How to Measure Training Effectiveness. Hampshire: Gower Publishing
Company Ltd.
Schultz, Duane P. & Schultz, Sydney Ellen. 1990. Psychology and Industry Today, An
Introduction to Industrial & Organizatonal Psychology. New York: Macmillan
Publishing Company.
Suryana Sumantri. 1987. Laporan Penyelenggaraan Latihan Motivasi Berprestasi dalam
Rangka Peningkatan Hasil Belajar. Bandung: Universitas Padjadjaran.
Suryana Sumantri. 1995. Pengaruh Pelatihan Pengembangan Tingkah Laku Kerja Terhadap
Motif Berprestasi, Sikap dan Morel Kerja, Serta Tingkah Laku Kerja Dalam Rangka
Meningkatkan Hasil Kerja. Disertasi – Tidak diterbitkan. Bandung : Universitas
Padjadjaran
Tracey, W.R. 1977. Designing Training and Development System. Bombay: Taraporevala
Publishing Industries Private Ltd.
Watson, Ch.E. 1979. Management Development Through Training. Massachusetts: Addison-
Wesley Publishing Company.
DAFTAR SITUS
www.kemenaker.go.id
www.kemenkeu.go.id
www.republika.co.id

62
Pengetahuan, Pandangan dan Keberlanjutan Hidup Masyarakat Asli Kabupaten
Mappi-Papua Barat

Oleh: Sjafril Darana

Abstrak

Upaya melestarikan budaya dan lingkungan hidup pada masyarakat pribumi diikuti
peningkatan standar hidup, tentu memerlukan waktu relatif lama. Nilai setiap akar budaya
etnik, bagaimanapun sangat berharga, dipertaruhkan dan diimplementasikan. Manusia harus
menyadari, bahwa setiap ciptaannya memiliki hak dan kewajiban yang sama, diantaranya
menyangkut pola hidup masyarakat pribumi Kabupaten Mappi-Papua Barat. Keberadaan hutan
lindungnya saja kini tinggal 30%. Konsep perlindungan parsitipatif dan keanekaragaman
hayati bernilai signifikan sangat layak dipertahankan. Konsep partisipatif yang lemah dapat
menghambat pembangunan, terutama pada komunitas telah lama diduduki. Diperlukannya
perlindungan hukum bagi masyarakat pribumi setempat dalam memulai menuangkan
pandangan baru. Penggunaan lahan bagi pemenuhan tuntutan keperluan hidup sehari-hari pada
daerah-daerah alternatif belum terpenuhi. Pola penangkapan ikan, lokasi penangkapan perlu
diatur. Hal tersebut berkaitan adanya kontaminasi ikan non-lokal yang dapat memakan plasma
nutfah ikan-ikan lokal. Penggunaan senjata api berburu illegal turut mengurangi populasi, dan
sudah tentu harus diawasi secara ketat. Kesenjangan status kesehatan antara penduduk pribumi
dibandingkan penduduk pendatang relatif timpang. Sistem pendidikan hanya berlangsung baik
di daerah kabupaten tertentu saja. Bagi masyarakat primitif tidak berjalan lancar, mengingat
tatanan pola hidup mereka yang bersifat nomaden. Fakta aktual yang ditemukan adalah sangat
layak untuk ditangani melalui suatu pendekatan dan upaya model penurunan kemiskinan agar
tidak semakin menimbulkan jurang pemisah. Aplikasi Metode Sistem dinamis bertujuan
menghubungkan masalah faktor-faktor yang telah diungkap di atas secara simultan dan
komprehensif dengan melibatkan berbagai aspek terkait disiplin diharapkan dapat mengatasi.

Kata kunci : kearifan lokal, model keberlanjutan hidup, masyarakat Kabupaten Mappi, Papua
Barat

INTRODUKSI

Papua merupakan pulau terbesar dengan alamnya memiliki keberagaman etnik, dan
sebagian besar lingkungan alamnya belum banyak tergarap secara baik, layaknya pada
provinsi-provinsi berkembang lainnya di Indonesia. Adalah berbeda halnya bagi salah satu
kabupaten di bagian selatan Papua Barat, yaitu Mappi. Secara realita kini banyak ditemui para
pedatang baru untuk mengadu nasib, dan faktualnya mereka bahkan menjadi penduduk tetap.
Secara garis besar dapat dimaklumi, mengingat wilayah tersebut di atas kaya akan sumber daya
alamnya seperti kayu gaharu, damar, kulit buaya, rotan, ikan dan udang sarta kayu. Bahkan
sampai-sampai populasi burung cendrawasih, kasuari, termasuk kangguru serta rusa kian
63
berkurang sebagai akibat semakin menurunnya lahan hutan yang tinggal 30%. Namun
demikian anggrek Papua yang memiliki spesifikasi belum dimanfaatkan, dan termasuk
dibudidayakan.
Adapun mata pencaharian penduduk asli, umumnya berfungsi sebagai Peramu dan
Nelayan Ikan di sungai-sungai. Masyarakat primitif dalam memenuhi kelangsungan tuntutan
hidupnya sehari-hari umumnya mencari sagu untuk bahan makanan pokok. Berburu hewan liar
seperti babi hutan, burung kasuari, kangguru, dan sebagainya. Apabila setelah sumber makanan
di sekitar mereka habis, mereka secara nomanden pindah ke tempat baru yang belum pernah
digarap hingga waktu tertentu pula. Alam kehidupannya yang selalu berpindah tersebut
membuat mereka sulit tercatat. Kawasan lindung meliputi hutan lindung dan kawasan budidaya
meliputi hutan produksi terbatas, hutan produksi yang dapat di konversi, permukiman,
perkebunan, pertanian, rawa, savana dan tanah terbuka.
Wilayah kawasan lindung kabupaten Mappi, Papua Barat, dibagi menjadi 2 (dua) bagian,
yaitu hutan berdasarkan pemanfaatan bahan dan fungsi kawasan hutan primer, sekunder,
mangrove dan rawa. Hampir seluruh distrik sebanyak 15 buah memiliki rawa. Berdasarkan
fungsi hutan terdapat hutan lindung yang terkonsentrasi di muara sungai Digoel, Kaki KOK,
Muara Kali Yuliana. Hutan produksi terbagi kedalam hutan produksi tetap, hutan produksi
terbatas, dan hutan produksi konversi terdapat di seluruh ditrik.
Jumlah penduduk sebanyak 85.129 jiwa pada tahun 2011, dengan luas wilayah 28.518
km2, diikuti pembagian jenis kelamin yaitu laki-laki 44.261 jiwa dan perempuan 40.868 jiwa.
Keberadaan penduduk yang sangat besar berada di distrik Obaa yang memang dijadikan tanah
pusat pemerintahan, secara umum, dan sebagian besar penduduknya memeluk agama Kristen
Katolik dan Protestan, dan di kabupaten Mappi terdapat empat (4) suku bangsa yaitu Yachai,
Auyu, Wiyachar, dan Tamario, di tambah suku bangsa lainnya, yakni Kima-Ghima, Uyagan,
Sawi dan Bisman yang sebagian besar sebagai masyarakat yang berprofesi peramu.
Perkembangan sarana dan prasarana pendidikan di Kabupaten Mappi terdapat 7 unit
Taman Kanak Kanak, 84 unit Sekolah Dasar Negeri (SDN), 59 unit SD Swasta. Sekolah
Menengah Pertama Negeri 8, 4 milik swasta, dan 5 Sekolah Menengah Atas atau Kejuruan
(SMK).
Dalam sarana dan prasarana kesehatan pada tahun 2011 hanya ada 1 Rumah Sakit, 11
Puskesmas, dan 64 Pustu. Penderita HIV/AIDS tahun 2011 ditemukan 11 orang berumur antara
20 sampai dengan 29 tahun. Dalam kondisi banyaknya usia subur, yaitu sebanyak 14.700 orang
64
dan terbesar barada di distrik Obaa. Adapun penderita cacat 413 orang pada tahun 2011, dan
menurun sebanyak 394 orang, yaitu dari sebanyak 807 orang pada tahun 2010.

METODE

Kabupaten Mappi, Papua Barat merupakan wilayah kajian lingkungan atas ruang lingkup
eksistensi pribumi atau keberadaan penduduk asli melalui pemikiran institusional bagi
keberlanjutan hidup masyarakatnya berdasarkan pendekatan metode deskriptif. Tiada lain
diharapkan agar dapat ditemukan suatu pola kebijakan tepat guna dalam rangka meningkatkan
taraf hidup mereka di tengah-tengah era globalisasi, dengan tanpa meninggalkan nilai budaya
leluhurnya yang memiliki asset baik untuk bangsa dan negara, serta bahkan dunia sekaligus.

HASIL

1. Letak Geografis dan Wilayah Administrasi


Secara geografis, Kabupaten Mappi terletak di antara 06o28’ – 56o4’ Bujur Timur
dan 5o – 9o Lintang Selatan dengan luas wilayah 28.518 km2, serta memiliki ketinggian 0-
100 m di atas permukaan laut, berarti termasuk daerah panas.

65
Gambar 6. 1 Peta Pembagian Wilayah Administrasi, 15 Distrik di Kebupaten Mappi

Tabel 6. 1 Luas Wilayah Administrasi Kabupaten Mappi


No. Distrik Luas Wilayah % Rawan Bencana %
(km2) (Ha)
1. Obaa 2.307 8,09 228.145,57 8,48
2. Nambioma Bapai 4.704 16,50 390.225,31 14,51
3. Edera 1.654 5,80 327.184,89 12,16
4. Venaha 2.951 10,35 369.656,92 13,75
5. Minyamur 2.054 7,20 158.042,57 5,88
6. Passue 2.075 7,27 206.163,26 7,67
7. Haju 1.432 5,02 142.519,24 5,30
8. Assue 3.265 11,45 324.218,92 12,06
9. Citak Minak 1.456 5,10 266.762,90 9,92
10. Kaibar 1.570 5,51 276.152,67 10,27
11. Syachcame 1.005 3,70 - -

66
12. Bamqi 750 2,63 - -
13. Yakomi 787 2,76 - -
14. Passue Bawah 1.229 4,31 - -
15. Ti Zain 1.229 4,31 - -
Total 28.518 100 2.689.072,25 100

Kondisi fisik Kabupaten Mappi termasuk daerah rawan rencana yang dari sebanyak
15 distik terdapat 10, diantaranya Nambioman Bapai, Edera, Obaa, Haju, Assue, Citak
Minak, Kaibar, Minyamur, dan Veneha.
Kawasan lindungnya dibagi menjadi dua (2) bagian, yaitu hutan berdasarkan
pemanfaatan lahan dan fungsi kawasan hutan, serta terbagi dalam kategori hutan primer,
sekunder, mangrove, dan rawa sebesar 2.680.462,87 Ha. Perlu diketahui, bahwa tanah
hutan di Kabupaten Mappi kini hanya tinggal 30% saja. Selain itu, Kabupaten
bersangkutan memiliki 14 sungai, yaitu Digoel, Edera, Mappi, Ia, Obba, Bapai, Widelman,
Dearam, Yuliana, Assue, Freskap, Purmi, Surung, dan Sawa dengan bentang panjang
antara 95 – 180km lebar 20 – 900m serta kedalaman 4 – 28m.
Air bersih ditemukan di Empat (0,72m/detik); Inapare (0,14/detik); Dakeman
(0,09m/detik) dan Kaltimaghon (0,03m/detik). Seperti sudah dikemukakan terdahulu,
kadaan populasi penduduknya yang laki-laki 44.261 jiwa dan 40.868 jiwa perempuan,
berarti rasio jenis kelamin di kabupaten Mappi =1,08. Apabila di kalkulasi berdasarkan
perolehan air bersih masyarakat di kabupaten Mappi perorang per jam yaitu :
[0,72 + 0,14 + 0,09 + 0,03] x [60(detik) x 60 (menit)] x m3/jam
85.129 jiwa
= 0,041 m3/jam/jiwa
2. Sosial Budaya
Beberapa kawasan di Kabupaten Mappi ditemukan adanya lokasi-lokasi yang
dianggap keramat, dan salah satu diantaranya Distrik Edera di Kampung Gimika terdapan
situs Dusun dan Yoduba merupakan sakeral bagi penduduk pribumi setempat. Rumah adat
di distrik Venaha maupun di distrik-distrik lainnya pada dasarnya tidak boleh diubah
fungsinya serta tetap harus dilestarikan. Kehidupan masyarakat pribumi, sebagian besar
masih tergantung pada alam, diantaranya berburu babi hutan, burung kasuari, kangguru,
burung cendrawasih, dan termasuk rusa yang non-original.
Pola hidup masyarakat primitif berpindah-pindah atau nomanden, sebagian besar
masih berlangsung dan sangat tergantung akan persediaan makanan. Ketika mereka

67
sekembalinya ke kampung asalnya tetap melalukan pekerjaan sebagai peramu dan nelayan
ikan di sungai-sungai. Sebagian kecil lainnya tinggal di pesisir pantai, dan bekerja sebagai
penangkap ikan laut. Perlu untuk diperhatikan, sesungguhnya keberadaan lahan bagi
kepentingan lahan pertanian di kampung asalnya cukup potensial, namun mengingat
kemampuan sumber daya manusia (SDM) mereka masih rendah. Hal tersebut dari aspek
kemampuan menjalankan atau tata cara mengolah bahan pertanian sangat kurang. Resiko
yang di temukan, akibatnya bahan pertanian mereka terbengkalai, karena tidak digarap
secara intensif .

3. Pendidikan
Kabupaten Mappi Papua Barat memiliki taman kanak-kanak hanya 7 dengan 36
guru, dan 416 murid (2011). Sekolah Dasar Negri 84, guru 288 orang, dengan 1.121 murid.
Realita tersebut memberikan suatu gambaran, bawasannya sekolah swasta menjadi
sekolah favorit, mengingat yang mengikuti pendidikan kebanyakan adalah masyarakat
pendatang. Sekolah Menengah Pertama ada 8, dengan 144 guru, dan 2.302 orang murid.
Sementara itu, sekolah menengah pertama swasta hanya ada 4, dengan 58 guru, dan 981
murid. Sekolah Menengah Atas atau Sekolah Menenegah Kejuruan ada 5, dengan 106
guru, dan 1.587 murid, juga banyak dimasuki oleh para kaum pendatang.

4. Kesehatan
Kabupaten Mappi hanya memiliki ada satu (1) rumah sakit, 11 buah puskesmas, dan
64 buah Pustu. Adapun tenaga medisnya terdiri atas 33 orang dokter ,4 orang dokter gigi,
dan 3 orang tenanga apoteker. Tenaga bidan sebanyak 77 orang, perawat 194 orang, dan
11 orang tenaga analis.
Apabila dikaitkan kondisi pupolasi penduduknya yang relatif banyak, yaitu 85.129
orang dengan 15 distrik yang tersebar relatif jauh dari pusat pemerintahan di distrik Obaa.
Hal tersebut manandakan masalah faktor kesehatan masih jauh dari pemenuhan tatantan
masyarakatnya. Hal ini, terlihat ditemukannya orang-orang cacat sebanyak 413 jiwa
(2011), kendatipun sudah relatif jauh berkurang di bandingkan dengan tahun 2010
sebanyak 807 orang.
Penyakit HIV/AIDS juga ditemukan sebanyak 11 orang yang berusia di antara 20-
29 tahun (2011), pada usia subur 14.740 orang di Distrik Obaa. Adapun peserta keluarga
bencana aktif yang melalui suntikan sebanyak 3.578 orang, dan pil 1.161 orang.

68
Kasus penyakit terbanyak di Kabupaten Mappi (2011) adalah ISPA, Sistem Otot
Jaringan Pengikat, Diare, Infeksi Usus, Kulit Akibat Jamur, Cacingan, Kulit Terinfeksi,
Karies Gigi, dan Malaria Tersiana. Faktor tersebut memberikan gambaran umum, bahwa
faktor lingkungan sangat menentukan tingkat kesehatan masyarakat.
Realita kodisi hal-hal diatas, dapat dijelaskan melalui nilai besaran garis kemiskinan
dan jumlah penduduk miskin, diketahui tahun 2008 sebesar 36,23%, tahun 2009 sebesar
34,94%, dan tahun 2010 sebesar 33,12%. Hal tersebut memberikan suatu tanggapan,
bahwa tingkat penurunan kemiskinan di Kabupaten Mappi sangat kecil. Menandakan pola
hidup dan kehidupan pada masyarakat nya memerlukan suatu model kabijakan baru dalam
menangani hal kemiskianan.

5. Perekonomian
Pola perekonomian Kabupaten Mappi Papua Barat, masih bercorak agraris, sama
halnya dengan karakteristik sebagian besar kabupaten atau kota di Provinsi Papua. Peranan
masing-masing lapangan usaha terhadap product domestic bruto disajikan pada Tabel 2.
Jelas ada tiga (3) hal besar berperan di Kabupaten Mappi, yaitu ; 1. Pertanian; 2.
Jasa; 3. Bangunan. Hal tersebut memberikan suatu gambaran umum, bahwa masalah
pertanian harus menjadi perhatian utama kebijakan, diikuti jasa, dan bahkan bangunan
mulai tampak menonjol. Menandakan dari data tersebut dapat di antisipasi, benar adanya
bahwa justru terbukti Kabupaten Mappi kini keberadaan hutannya tinggal 30% saja .

Tabel 6. 2 Peranan Masing-Masing Lapangan Usaha Terhadap Produk Domestik Regional


Bruto.(PORB)(2007-2011)(%)

No. Lapangan Usaha 2007 2008 2009 2010 2011


1 Pertanian 31.08 26.40 23.88 23.75 23.61
2 Pertambangan 0.47 0.45 0.44 0.43 0.44
dan Penggalian
3 Industri 0.43 0.38 0.34 0.33 0.31
Pengolahan
4 Listrik dan Air 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
5 Bangunan 26.48 29.72 34.79 35.17 36.45
6 Hotel dan restoran 7.25 7.15 7,27 7.30 7.95
7 Transportsi dan 4.24 9.03 3.95 3.93 3.94
Komunikasi

69
8Keungan, 1.36 1.40 1.22 1.28 1.12
Perumahan dan
Layanan Bisnis
9 Jasa 28.67 34.47 28.11 27.81 26.20
Sumber : Produk Domestik Regional Bruto, BPS Kabupaten Mappi 2011,

DISKUSI
Kabupaten Mappi, Papua Barat memiliki sumber daya alam potensial, baik berupa hutan
primer, sekunder, mangrove dan rawa yang dapat dieksploikasi dengan memperhatkian sistem
berkelanjutan serta berkesinambungan. Keberadaan geografis yang strategis, berada di wilayah
tropis pula, membuat kabupaten bersangkutan memiliki iklim musim panas dan penghujan,
sehingga amat digemari kaum pendatang serta banyak yang menetap menjadi warga setempat.
Eksistensi penduduk asli Papua Barat di Kabupaten Mappi umunya sebagai peramu dan
nelayan ikan di sungai banyak untuk dikembangkan, kendati sebagian di sungai-sungainnya
telah tercemar oleh adanya ikan luar sebagi pendatang ,yaitu gastor sejenis ikan mujair, bersifat
ganas dan membuat plasma nutfah ikan lokal semakin berkurang, bahkan dikhawatirkan cepat
punah.
Pola hidup masyarakatnya yang suka berpindah-pindah atau nomanden menimbulkan
banyak masalah, diantaranya menyangkut soal pendidikan anak-anak yang sangat tergantung
dan terlantar, belum lagi diikuti akan stabilitas ketersediaan makanan yang sukar ditentukan,
serta yang lebih memprihatinkan yaitu akan tingkat kesehatan mereka sukar sekali terdeteksi.
Selain itu, di kampung asalnya walau cukup potensial, namun mengingat sumber daya
manusianya masih rendah, mengakibatkan tidak terurus dan tergarap secara intensif.
Dampak dan sistem pola hidup, rendahnya tingkat pendidikan, diikuti rendahnya pola
tingkat kesehatan melibatkan mereka berada di tingkat garis kemiskinan terendah.
Perekonomian Kabupaten Mappi, Papua Barat sangat bergantung kepada 3 lapangan
usaha yang besar yaitu pertanian 23,61%, jasa 26,60%, dan terbesar bangunan 36,45% (2011)
memberikan gambaran umum, bahwa tidak dapat dipungkiri mengapa eksistensi hutan hanya
tinggal 30%. Menandakan sudah banyak dari hutan primer dan sekunder, pohon-pohonnya
sudah menjadi bahan-bahan banguanan yang umumnya digarap oleh para kaum pendatang.

70
KONKLUSI

Kabupaten Mappi, Papua Barat sangat layak untuk dikembangkan baik berupa
Pembangunan Struktural maupun Infrastruktural. Keberadaan pola hidup masyarakat asli
dengan memiliki Sumber Daya Manusia rendah, perlu dicari suatu pemecahan masalah melalui
“Dinamika Sistem” mengingat keikutsertaan seluruh institusional pada dasarnya dapat
dilibatkan. Keterlibatan seluruh aspek kebijakan, baik sejak dari hulu hingga ke hilir
diharapkan permasalahan dapat dipecahkan secara berkesinambungan.
Aset budaya original masyarakat asli, khususnya yang berada di Kabupaten Mappi tidak
boleh hilang begitu saja sebagai akibat pengaruh era globalisasi. Berarti eksistensi masyarakat
dunia juga dihimbau untuk ikut serta memperhatikan keberlangsungan, kelanggengan dan
kelestarian adat-istiadat masyarakat asli Papua, khususnya di Kabupaten Mappi, Papua Barat
agar tetap terjaga.

Ucapan Terima Kasih


- Tim kami mengucapkan terima kasih tak terhingga disampaikan kepada Pimpinan Fakultas
Ekonomi Bisnis atas perhatiannya diberikan kesempatan menyajikan artikel penelitian
- Tiada lupa, ucapan yang sama kepada Bapak Rektor Universitas Padjadjaran yang telah
berkenan memberikan kesempatan.
- Pemerintah Kabupaten Mappi, Papua Barat yang selama ini kerjasama dengan sangat baik
di bidang Kajian Lingkungan Hidup Strategis tahun 2011 – 2031
- Kepada Dr. Ir. Taslim Dawan, MP, Staf Fakultas Peternakan Univesitas Padjadjaran,
sebagai tenaga edukatif di bidang Ilmu Ekonomi selaku salah satu peserta tim peneliti
- Kepada prof. Dr. Ade M. Kramadibrata, Professor dari Fakultas Teknologi Industri
Pertanian Univesitas Padjadjaran, dan Direktur Indonesia Resource Center for Indigenous
Knowledge.

DAFTAR PUSTAKA
Almamater Merauke Foundation and The United Nations Development Programme
(UNPD).2005. Final Report: Study of Existence and Capacity of CSO/CBO and The
Sustainable Livelihood Communities in The 4 Districtis in Southern Papua Region.
March, Merauke .
Center for Watershed Management (BP DAS) Memberamo (decument)

71
Directorate of Environmental Geology, Ministry of Energy and Mineral Resources of The
Republic of Indonesia (document)
Directorate of Water Resources, Ministry of Public Works (document)
Institutions Research and Industrial Affiliation Institute of Technology Bandung (LAPI-ITB)
and The Regional Development Planning Board (Bappeda) Mappi. 2011. Survey Final
Report Potential of Areas Mappi Papua Province.
Kartikasari, Sri Nurani, Andrew J, Marshall, Burce M, Beehler (Ed). 2012. Department
Government Provincial of Culture Ecology. 2008. Map Tribe in Anthropology UNCEN,
Summer Institute of Linguistics (SIL), Dewan Adat Papua (DAP) and The Central
Statistics Agency (BPS).
LPKL Binalab Bandung 2011(Analysis)
Mappi Regional Regulation No. 7 Of 2006
Mappi Regional Regulation No. 7 Of 2009
Mappi Regional Regulation No. 11 Of 2011
Murdjiono, Indri Quraini. 2008. Destruction of Life Indigenous Auyu: Investement Impact Oil
Auyu Tribe Indigenous Land in The Territory Getentiri Digoel. Foker LSM Papua
Papua Provincial Transport Department, Transport the level of 2012. The Provinces of Papua
Regulation of The Minister Of Environment of The Republic of Indonesia Number 9 Year
2011; Law No.26 Of 2002; Law No.26 Of 2007; Law No.32 Of 2009
Research Institute Unhas with Palnning Agency of Regional Development (BP3D) Mappi.
2008. Tourism Development Master Plan (RIPP) Mappi Papua Province
Statistics Center Agency (BPS). Mappi. Mappi in Figures 2012
Statistics Center Agency (BPS). Mappi. Gross Regional Domestic Product Mappi 2011 BPS
Mappi
The Planning Development Regional Board (Bappeda) Mappi. 2011. Spatial Plan (RTRW)
Year 2011-2031
The Planning Development Regional Board (Bappeda) Mappi. 2013. List of Village and
Village in Mappi .
WWF Indonesian 2010 Report of Identification Fields, Reconciliation and Workshop:
Participatory Mapping Important Sites of Indigenous Peoples in Mappi.
WWF Indonesian 2010 Report on The Identification and Assessment of High Conservation
Values at Asmat and Mappi
Website:
1. radiosuaradogiyaifm.blogspot.com (accessed on 8 November 2013)
2. www.bappeda-mappi.com (accessed on 8 November 2013)
3. www.bapesdalh.papua.go.id (accessed on 8 November 2013 )
4. www.sigpertambamganpapua.com (accessed on 8 November 2013)

72
Pola Ilmiah Pokok Unpad dan Pembangunan Berkelanjutan

Oleh: Oekan Sukotjo Abdoellah

LATAR BELAKANG
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki sumber daya alam
terkaya di dunia, namun mengalami paradoks dalam pembangunan. Paradoks
tersebut di antaranya tingkat pendapatan per kapita berada di urutan 128 dunia
(lihat Abdoellah dan Yusuf, 2013); separuh jumlah penduduk Indonesia hidup di
bawah garis kemiskinan standar internasional; ketidakadilan dalam akses sumber
daya alam; ketimpangan antar golongan tinggi; ketimpangan pembangunan antar
wilayah ditandai dengan terjadinya kerusakan lingkungan hidup yang cukup parah
(Abdoellah, 2016). Kontradiksi tersebut diakibatkan oleh pembangunan yang
berorientasi pada pertumbuhan ekonomi dengan kegiatan eksploitasi sumber daya
alam dan tidak digunakannya kaidah-kaidah konservasi (Abdoellah, 2017).
Pembangunan yang belum sepenuhnya mempraktikan asas berkelanjutan ini tanpa
disadari telah menempatkan Indonesia menjadi salah satu Negara yang menghadapi
ancaman sangat serius dari isu perubahan iklim. Bahkan kemiskinan yang masih
dialami oleh 10,12 % dari jumlah penduduk Indonesia (BPS, 2017), telah
menempatkan Indonesia menjadi salah satu negara yang belum siap sepenuhnya
melakukan adaptasi perubahan iklim.
Pembangunan selayaknya tidak hanya menekankan pada pertumbuhan
ekonomi semata, tetapi perlu mengakomodir faktor lainnya. Faktor-faktor lain
selain pertumbuhan ekonomi dibutuhkan dalam pembangunan manusia untuk
meningkatkan kualitas kehidupan yang lebih berkesinambungan. Sen (2009)
menekankan bahwa kualitas kehidupan manusia tergantung pada kualitas
lingkungan hidup, sehingga pembangunan berkelanjutanpun membutuhkan
identifikasi masalah-masalah lingkungan hidup seperti terjadinya degradasi
lingkungan hidup yang semakin parah dengan indikasi semakin tinggi intensitas
kejadian banjir, longsor, kekeringan dan persoalan lingkungan lainnya. Kondisi
tersebut, semakin memperburuk persoalan sosial yang selama ini terjadi yaitu
seperti masih tingginya angka kemiskinan dan angka pengangguran. Dimana pada
73
bulan September 2017, jumlah penduduk miskin Indonesia menurut BPS (2017)
masih sebanyak 26,58 juta jiwa dan angka pengangguran terbuka per Februari 2018
mencapai 6,87 juta orang (BPS, 2018).
_____________________________________

*) Program Studi Antropologi-Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dan

Senior Researcher Centre for Environment and Sustainability Science-Universitas


Padjadjaran.

Pembangunan berkelanjutan di Indonesia --- walaupun sudah


diarusutamakan sejak lama di dalam pembangunan --- ternyata hasilnya masih
belum optimal. Hal ini salah satunya dapat dilihat dengan masih rendahnya Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia sampai saat ini. Berdasarkan informasi
dari laman BPS (http://ipm.bps.go.id/page/ipm), bahwa IPM yang dibentuk oleh
tiga dimensi dasar yaitu: umur panjang dan hidup sehat, pengetahuan dan standar
hidup layak, belum mencapai standar hidup yang memadai. Karena IPM pada
tahun 2017, baru mencapai kategori sedang yaitu 70,81. Sedangkan kategori IPM
yang tinggi menurut BPS harus mencapai 80,00.
Wacana pembangunan berkelanjutan sebetulnya telah menjadi perhatian
berbagai pemangku kepentingan di Indonesia. Bagi dunia pendidikan, gagasan
pembangunan berkelanjutan bukanlah suatu yang baru. Gagasan menyelaraskan
pembangunan ekonomi, sosial dan lingkungan di Indonesia telah dipelopori oleh
Prof. Otto Soemarwoto dengan mendirikan Lembaga Ekologi di Universitas
Padjadjaran sebelum konferensi Stockholm pada tahun 1972 (Abdoellah, 2006).
Sejak tahun 2018, Lembaga Ekologi sekarang telah bertransformasi menjadi
Center for Environment and Sustainability Science. Transformasi kelembagaan ini
menunjukkan evolusi pemikiran yang pada awalnya mengedepankan pendekatan
multidisplin, kemudian bergeser pada lebih pentingnya interdisiplin. Selanjutnya
berkembang pemikiran bahwa pendekatan transdisiplin tampak lebih relevan
dalam mencari solusi berbagai masalah lingkungan yang semakin kompleks.
Evolusi pemikiran ini mengidentifikasikan konsistensi sivitas akademika
UNPAD terhadap masalah lingkungan dan pembangunan. Dengan demikian
jelaslah, bahwa permasalahan pembangunan berkelanjutan sebenarnya telah lama
74
menjadi perhatian kita bersama, akan tetapi berbagai upaya untuk mengatasi
berbagai permasalahan tersebut belum menunjukkan hasil yang diharapkan. Untuk
mencapai hasil yang diinginkan, Indonesia membutuhkan gagasan yang mampu
mendorong pembangunan berkelanjutan yang lebih baik. Tulisan ini akan
membahas pentingnya ‘membumikan’ kembali Pola Ilmiah Pokok (PIP)
Universitas Padjadjaran Bina Mulia Hukum dan Lingkungan Hidup dalam
Pembangunan Nasional untuk tercapainya pembangunan berkelanjutan di
Indonesia.

POLA ILMIAH POKOK UNIVERSITAS PADJADJARAN.


Universitas Padjadjaran pada tanggal 28 September 1974, telah menetapkan
Pola Ilmiah Pokok (PIP) nya “Bina Mulia Hukum dan Lingkungan Hidup dalam
Pembangunan Nasional”. Dalam PIP tersebut, aspek hukum diterjemahkan sebagai
keseluruhan azas dan kaidah yang mengatur kehidupan manusia. Sedangkan
lingkungan hidup sebagai ruang di sekeliling manusia baik makhluk hidup maupun
komponen pendukung lingkungan hidup yang mempengaruhi kualitas kehidupan
manusia (UNPAD, 1996). PIP-UNPAD merupakan konsep mengenai kepatuhan
terhadap hukum untuk membentuk tatanan kehidupan bermasyarakat yang baik.
Bentuk kepatuhan hukum tersebut merupakan penghargaan terhadap alam dan
lingkungan hidup sehingga kualitas hidup masyarakat terjaga karena lingkungan
hidup terpelihara sebagai tempat hidup manusia dan mahkluk hidup lainnya.
PIP – UNPAD tersebut merupakan “roh” bagi berbagai ilmu yang dibina di
lingkungan Universitas Padjadjaran secara multidisiplin, interdisiplin dan
transdisiplin. PIP Universitas Padjadjaran oleh para penggagasnya adalah
merupakan sistem semesta berbagai kegiatan ilmu dan teknologi (UNPAD, 1996).
Secara internal PIP sebagai pemersatu sikap dan kegiatan dalam meningkatkan
“academic atmosphere” di lingkungan Universitas Padjadjaran. Sedangkan
kepentingan eksternal, PIP merupakan ciri atau “branding” atau “trademark” dari
Universitas Padjadjaran. Dengan ditetapkannya PIP tersebut, maka sudah
seharusnyalah dari mulai program studi, departemen. fakultas atau pusat studi dan
pusat unggulan di lingkungan Universitas Padjadjaran harus mampu mendasari
program-program Tridharma Perguruan Tingginya dengan gagasan yang
75
terkandung dalam PIP tersebut sesuai dengan relevansi spesialisasi dalam disiplin
pokoknya (lihat Abdoellah, 2006).
PIP selayaknya dipahami sebagai komitmen moral tentang bagaimana
seharusnya sivitas akademika Universitas Padjadjaran bersikap dan bertindak untuk
mencapai tujuan (lihat Abdoellah, 2006). Dengan demikian jangkauan fungsional
dan operasional PIP-UNPAD tetap bertitik tolak pada pengembangan spesialisasi
dalam disiplin ilmu atau ilmu pokoknya sendiri. Namun ilmu dan teknologi yang
dikembangkannya, secara fungsional dipusatkan kepada aspek guna laksana dalam
menghadapi pembangunan nasional dimana dukungan dan aksentuasi pendekatan
permasalahannya dilandasi “roh” hukum dan lingkungan hidup dalam setiap
program studi, departemen, fakultas, pusat studi dan pusat unggulan di Universitas
Padjadjaran.
“Roh” hukum dan lingkungan hidup PIP-UNPAD perlu memberikan
sentuhan kemanusiaan. Aspek ekonomi dan penggunaan teknologi dipandang
sebagai aspek pendukung utama pembangunan, namun memiliki ‘kehampaan’
secara spiritual dan kemanusiaan. Pembangunan tidak hanya dapat dipandang
sebagai uraian angka-angka penunjang kepentingan politik dan ekonomi,
melainkan perlu dimaknai terkait kualitas kehidupan manusia sebagai bukti proses
pembangunan yang berjalan. Universitas Padjadjaran menyadari bahwa
pembangunan perlu dijalankan dengan “roh” hukum dan lingkungan hidup yang
sesuai dengan ideologi bangsa.
Sesuai dengan amanat tridharma berlandaskan Pancasila dan UUD 1945
melalui pembangunan nasionalnya untuk mencapai masyarakat adil dan makmur,
maka UNPAD dengan PIP nya lebih visioner untuk melaksanakan misinya dalam
membentuk manusia Indonesia seutuhnya yang berorientasi ke masa depan, cakap
membudayakan diri sendiri dan sesamanya dalam mendayagunakan lingkungan
hidup yang mendukung kemajuan lebih lanjut. Kemajuan tersebut membutuhkan
proses yang dapat diawali dari pembentukan paradigma pendidikan dalam kawah
candradimuka yang solutif terhadap kebutuhan zaman. Dengan demikian
sesungguhnya apabila PIP-UNPAD telah terinternalisasi disetiap sivitas akademika
dan diimplementasikan dengan baik, UNPAD akan mempunyai kontribusi yang
signifikan dalam upaya mewujudkan pembangunan berkelanjutan di Indonesia.
76
Dengan PIP-UNPAD, kita akan mampu mendukung pembangunan berkelanjutan
melalui keunggulan akademik dan kegiatan tridarma yang terintegrasi dengan
kebutuhan pembangunan berkelanjutan sesuai tuntutan zaman.
Untuk mendukung pembangunan berkelanjutan tersebut, seperti yang
dikemukakan Prof. Otto Soemarwoto (2006), tentu saja dibutuhkan tolok ukur yang
memadai. Tolok ukur ini menjadi polemik karena terdapat dikotomi pandangan
antara ekonomi dan lingkungan hidup. Moffat (2008) mempertegas dua kubu utama
yaitu tolok ukur dengan dua ukuran batasan yaitu kuat dan lemah, baik universal-
ekologis dan kontekstual-ekonomis. Tolok ukur lemah bersandar pada lingkungan
hidup sebagai fungsi dari ekonomi dengan fokus terhadap prinsip-prinsip dasar ilmu
ekonomi ortodoks yang hanya mengutamakan pertimbangan pembangunan
ekonomi. Sedangkan tolok ukur kuat meninjau ekonomi sebagai fungsi dari tatanan
ekosistem sehingga konservasi dan ketahanan lingkungan hidup menjadi prioritas
di atas pertimbangan ekonomi Tolok ukur ini dapat menjadi salah satu rujukan
untuk peningkatan peran serta dan kontribusi UNPAD mensukseskan pembangunan
berkelanjutan melalui PIP-UNPAD.

PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
Konsepsi tentang pembangunan berkelanjutan, bukanlah hal yang asing di
Indonesia (Soemarwoto, 2006). Masyarakat Indonesia sebenarnya memiliki
hubungan yang erat dengan konsep penerapan pembangunan berkelanjutan. Pada
masyarakat Sunda, istilah kumaha engke, tapi engke kumaha (bagaimana nanti,
tetapi nanti bagaimana) merupakan cerminan dari apa yang dikatakan oleh para
pendahulu kita untuk tidak berfikir hanya berdasarkan pada kepentingan sesaat
(Abdoellah, 2016). Sesungguhnya, hidup harus dipikirkan secara jangka panjang,
tidak hanya untuk saat ini tetapi juga untuk masa depan. Hal ini tentu saja berarti
bahwa hidup tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, tetapi juga harus
memperhatikan kondisi sosial dan lingkungan. Tidak hanya untuk hari ini, tetapi
juga untuk hari esok yang lebih baik. Karena itulah, pada masyarakat “tradisional”,
mereka selalu berusaha untuk menjaga keselarasan hubungan sosial dengan “silih
asah, silih asuh, dan silih asih” dan menjaga keselarasan dengan lingkungan
hidupnya (Soemarwoto, 2006).
77
Pembangunan berkelanjutan, adalah merupakan upaya pengejawantahan
Pancasila dan UUD 1945 (lihat Abdoellah, 2016). Secara ideologis, seharusnya
pemerintah berpihak pada kepentingan rakyat. Karena dalam pasal 33 ayat 4 UUD
1945 memuat keberlanjutan dan wawasan lingkungan sebagai tafsir atas “sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat” (Jalal, 2018). Sehingga, kebijakan pembangunan
yang tidak berkelanjutan terkait pengelolaan sumber daya alam sesungguhnya telah
menyimpang dari ideologi bangsa Indonesia. Lebih lanjut, pembangunan
berkelanjutan sesungguhnya perlu dilihat dalam kerangka kepentingan yang
berkelindan antara aktor dan isu ke dalam empat hal utama: penciptaan lapangan
kerja, pemberantasan kemiskinan, pertumbuhan ekonomi nasional, dan
perlindungan lingkungan hidup (Soemarwoto, 2006 dalam Abdoellah, 2016).
Kerangka kepentingan dalam empat hal di atas sesungguhnya merupakan
tantangan internal yang dihadapi dalam proses pembangunan Indonesia. Selain
tantangan internal, kita juga menghadapi tantangan eksternal sepeti globalisasi telah
menyebabkan pusaran kepentingan negara-negara maju begitu kuat (lihat juga
Petras dan Veltmeyer, 2001: 12). Stiglitz (2007) memandang proses globalisasi
memicu kondisi timpang antara negara maju dan berkembang karena globalisasi
terkait masalah-masalah berikut ini: aturan main globalisasi dirancang lebih
menguntungkan negara industri maju; globalisasi lebih menekankan nilai
kebendaan di atas pengelolaan lingkungan hidup; pengelolaan globalisasi
mengancam kedaulatan negara-negara berkembang; dan globalisasi memberikan
janji keuntungan secara ekonomi, tetapi menutup mata terhadap pihak-pihak yang
dirugikan akibat globalisasi.
Globalisasi tidak saja membawa ketimpangan hubungan antara negara maju
dan berkembang, namun globalisasi membawa wacana lingkungan hidup. Salah
satunya, bagaimana wacana lingkungan hidup muncul pada konsepsi Brundtland
dalam laporannya “Our Common Future” yang menegaskan pernyataan paradigma
lingkungan hidup terhadap agenda pembangunan pada tahun 1987 (Hajer, 1995).
Dalam konsepsi Brundtland Commission, pelaksanaan pembangunan berkelanjutan
bertumpu pada pencapaian keberlanjutan kondisi lingkungan sebagai wadah fisik
pembangunan, kelembagaan atau tata kelola ekonomi yang menyokong
keberlanjutan serta perbaikan kondisi sosial yang memungkinkan pada lembaga-
78
lembaga ekonomi yang mengontrol pembangunan tersebut terkawal dengan baik.
Ketiga pilar ini harus terpenuhi secara simultan. Selain itu, tentu saja aspek moral
juga penting untuk mempersatukan langkah-langkah di ketiga hal tersebut (Elliot,
2006).
Konsep pembangunan berkelanjutan, perlu diterjemahkan sesuai dengan
kondisi nasional. Soemarwoto (2006) memandang bahwa pembangunan
berkelanjutan berkelanjutan di Indonesia dapat mengatasi berbagai persoalan
maupun keragaman aspirasi politik masyarakat Indonesia. Persoalan utama
kebijakan pembangunan berkelanjutan searah dengan Agenda 21 bertopang pada
penciptaan lapangan kerja (pro-job), pemberantasan kemiskinan (pro-poor),
pertumbuhan ekonomi nasional (pro-growth), dan perlindungan lingkungan hidup
(pro-environment) (Soemarwoto, 2006). Agenda 21 telah dirumuskan dalam tolok
ukur sesuai dengan kebutuhan pembangunan Indonesia. Selanjutnya menurut
Soemarwoto (2006), terdapat enam tolok ukur pelaksanaan pembangunan
berkelanjutan di Indonesia, di antaranya meliputi: memelihara Negara Kesatuan
Republik Indonesia (pro-NKRI), konservasi dan perlindungan lingkungan hidup,
pengentasan kemiskinan, perbaikan kesetaraan gender, penciptaan lapangan kerja,
dan pembangunan ekonomi yang bebas korupsi. Keenam tolok ukur tersebut
merupakan penjabaran butir-butir sebagaimana termaktub dalam deklarasi The
World Summit for Sustainable Development 2002 yang disesuaikan dengan kondisi
riil Indonesia. Penetapan beberapa tolok ukur tersebut, tentu saja dapat menjadi
pertimbangan patokan evaluasi kinerja pembangunan pemerintah tingkat pusat
hingga daerah (Soemarwoto, 2006).

PERMASALAHAN PRIORITAS
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terhambatnya pembangunan
Berkelanjutan di Indonesia, dimulai dari hal yang hakiki meliputi paham, kemauan
politis, hingga ke tataran teknis implementasi (Abdoellah, 2016). Terkait dengan
kemauan politik pada saat pelaksanaan Otonomi Daerah, pendekatan yang lumrah
digunakan dalam otonomi daerah bersifat parsial sehingga praktek yang
berkembang hanya fokus pada manusia sebagai pusat alam semesta. Hal tersebut
menyebabkan rendahnya kepekaan terhadap anomali ekologis yang saat ini tengah
79
terjadi. Pendekatan parsial tersirat dengan kenyataan akan rendahnya komitmen
politik terhadap pembangunan berkelanjutan (Abdoellah, 2016). Kebijakan kepala
daerah belum mencerminkan gambaran praktek pembangunan berkelanjutan
sebagaimana tertuang dalam RPJMN dan RPJPN karena lebih condong pada
kepentingan politik dan ekonomi sesaat.
Kebijakan kepala daerah seringkali mengalami perubahan karena diikuti
dengan dinamika pergantian kepala daerah. Salah satu kebijakan kepala daerah
yang perlu mendapatkan perhatian yaitu pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya
alam dan lingkungan. Namun, fungsi ekologis dari sumber daya alam belum
menjadi perhatian dalam kebijakan pemimpin daerah. Fakta empiris menunjukkan
hal yang memprihatinkan bahwa implementasi Otonomi Daerah yang ditopang
kepentingan politik dan ekonomi sesaat belum memberikan peningkatan
kesejahteraan yang merata (Abdoellah, 2016). Permasalahan Otonomi Daerah
terkait dengan kesejahteraan yang belum merata dengan indikasi bahwa kualitas
pelayanan publik yang rendah dalam bidang pendidikan, kesehatan dan perizinan
yang baru mencapai kurang dari 10 persen (Zuhro, 2016).
Salah satu permasalahan Otonomi daerah yang menghambat pembangunan
berkelanjutan adalah pembangunan ekonomi dengan pemanfaatan sumber daya
alam. Zuhro (2016) menunjukkan telah terjadi pemufakatan antara elit dan
pengusaha dalam rangka melakukan eksploitasi sumber daya alam untuk
menghasilkan keuntungan dengan minimnya perhatian terhadap kepentingan
masyarakat dan kesehatan lingkungan. Hal tersebut ditunjukkan dengan fakta yang
ironis bahwa banyak daerah yang kaya sumber daya alam, seperti Papua, Riau dan
Kalimantan, namun sebagian besar masyarakatnya belum sejahtera (lihat
Abdoellah, 2016). Di Provinsi Papua Barat, misalnya, pada tahun 2014 berdasarkan
hasil sensus nasional, jumlah penduduk miskin mencapai 26,26%, sedangkan di
Provinsi Papua mencapai 27,80% (BPS September, 2014). Padahal, jika melihat
kekayaan sumber daya alam yang dimiliki, semestinya kekayaan sumber daya alam
tersebut mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.
Secara ideal kekayaan sumber daya alam dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Namun, dua paradoks menunjukkan yaitu pengelolaan sumber daya
alam belum mencerminkan keadilan sehingga kesejahteraan belum tersebar secara
80
layak dan dampak pengelolaan sumber daya alam. Eksploitasi sumber daya alam
menyebabkan berbagai kerusakan berat terhadap lingkungan hidup. Di berbagai
daerah, sumber daya alam dan lingkungan dieksploitasi secara masif dengan
minimnya perhatian terhadap dampak sosial dan fisik. Pengabaian terhadap kaidah
konservasi dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup karena
anggapan sumber daya alam tak terbatas merupakan a symptom of human
“childishness” (Piatek, 2008, dalam Abdoellah, 2017). Akibatnya, kerusakan
lingkungan yang terjadi di Indonesia semakin meningkat.
Sindrom yang dijelaskan di atas menjadi penjelas “gagal paham”
pembangunan berkelanjutan. Gagal paham pembangunan berkelanjutan salah
satunya disebabkan oleh indikator pembangunan nasional masih dihitung secara
konvensional dengan “Brown” GDP bukan “Green” GDP. Sampai saat ini,
memasukan eksternalitas dalam GDP (“Green” GDP) belum merupakan suatu
keharusan dan belum menjadi prioritas utama pembangunan. Sebagai contoh di
China, berdasarkan hasil perhitungan “economic loss” karena polusi mencapai 3
% dari nasional GDP, bahkan kalau dihitung semua bisa mencapai 7 % dan ini
belum memperhitungkan costs untuk deplesi sumber daya alam dan kerusakan
ekologi (Anonym, 2006). Kesulitan untuk menghitung secara akurat dengan
memasukan eksternalitas dalam GDP, adalah hal lain yang menyebabkan para
pemegang kekuasaan baik di tingkat pusat maupun lokal tidak tertarik. Padahal
pengabaian eksternalitas dapat mengakibatkan perhitungan tentang pembangunan
dan pertumbuhan ekonomi keberlanjutannya dipertanyakan. Hal ini karena akan
memperhitungkan “depletion” dari sumber daya alam dan lingkungan dan
degradasi lingkungan yang terjadi.
Stiglitz (2007) memberikan kritik bahwa GDP merupakan hal yang mudah
untuk mengukur pertumbuhan ekonomi, tetapi GDP bukanlah keseluruhan maupun
akhir dari pembangunan. Stiglitz tidak memungkiri bahwa pertumbuhan ekonomi
memerlukan keberlanjutan. Namun apabila pencapaian GDP dengan merusak
lingkungan hidup sehingga menimbulkan kelangkaan sumber daya alam, maka
pertumbuhan bukanlah mendukung keberlanjutan. Bertolak dari argumen tersebut,
maka pengukuran yang dapat menilai kualitas lingkungan hidup diperlukan guna
mendukung keberlanjutan lingkungan hidup.
81
Untuk menganalisa kerusakan lingkungan hidup dalam proses
pembangunan dibutuhkan indeks penilaian. Indeks Kualitas Lingkungan Hidup
(IKLH) dapat digunakan untuk memberikan penilaian terhadap kualitas lingkungan
hidup dalam proses pembangunan yang berjalan. IKLH merupakan indeks yang
relatif baru yang perhitungannya dimulai tahun 2009 untuk mengukur capaian
pembangunan di bidang lingkungan (Fauzi & Oktavianus, 2014). Prioritas utama
pembangunan berkelanjutan di Indonesia adalah mempromosikan IKLH di samping
pembangunan sosial ekonomi dengan penilaian melalui IPM. IKLH mengambil tiga
indikator kualitas lingkungan yaitu kualitas air sungai, kualitas udara dan tutupan
hutan (Fauzi & Oktavianus, 2014).

PIP-UNPAD DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN.


Permasalahan pembangunan berkelanjutan di Indonesia adalah pengelolaan
sumber daya alam dan pengaturan daya dukung lingkungan hidup untuk masa
depan. Namun penerapan hal tersebut menghadapi berbagai tantangan. Dalam
perjalanannya, penerapan pembangunan berkelanjutan di Indonesia menghadapi
berbagai kendala, baik di tingkat nasional maupun lokal. Terjadinya degradasi
moral bangsa, sikap yang lebih mementingkan diri sendiri/kelompok, berpikir
jangka pendek dan tidak terintegrasi seperti dikatakan sebelumnya dapat dijadikan
bukti bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam pembangunan berkelanjutan telah
diabaikan. Keadaan ini jelas merupakan ancaman bagi persatuan dan kesatuan
bangsa serta dapat mengganggu stabilitas nasional (Abdoellah, 2016).
Berkaitan dengan itu, maka sangatlah relevan bagi Universitas Padjadjaran
sebagai Universitas yang mempunyai Pola Ilmiah Pokok Bina Mulia Hukum dan
Lingkungan Hidup dalam Pembangunan Nasional berperan untuk mengatasi
berbagai permasalahan yang dihadapi bangsa ini dalam upaya
mengimplementasikan pembangunan berkelanjutan. Karena itulah seharusnya PIP
– UNPAD harus dipahami sebagai komitmen moral tentang bagaimana seharusnya
sivitas akademika UNPAD bersikap dan bertindak untuk mencapai tujuan (lihat
Abdoellah, 2006).

82
Selain sebagai komitmen moral, PIP harus membumi di lingkungan civitas
akademika Unpad (Abdoellah, 2006). Untuk membumikan PIP tersebut,
diperlukan “nilai-nilai” baru seperti yang dikatakan Plumwood (2002) yang
memandang alam sebagai sesuatu hal yang bernilai tinggi dan pantas dilakukan
secara bermoral (Abdoellah, 2006; Abdoellah, 2017). Dengan nilai-nilai baru ini,
kita semua (masyarakat ilmiah beserta komponen masyarakat lainnya) dituntut
untuk menjaga dan melindungi alam beserta segala isinya. “Environmental
Culture” dapat menjadi pilihan untuk sistem nilai baru yang menekankan nilai dan
pemahaman yang utuh tentang mahluk hidup lain selain manusia (Plumwood,
2002). Sistem nilai baru tersebut, berupaya ditonjolkan dalam arah kebijakan utama
Unpad yaitu mentransformasikan proses akademik yang yang berorientasi pada
kemaslahatan pembangunan yang berkelanjutan (UNPAD, 2015). PIP-UNPAD
harus menjadi penggerak dalam mewujudkan masyarakat berkelanjutan, antara lain
melalui gagasan yang mendorong pentingnya melakukan efisiensi konsumsi
sumber daya alam dan membangun kehidupan yang harmonis dengan alam sekitar.
Arah kebijakan Unpad dalam rencana strategis 2015-2019 menjadi pijakan
transformasi Unpad untuk melakukan salah satu tuntutan global yaitu tujuan
pembangunan berkelanjutan. Upaya mendorong transformasi Unpad dengan
membumikan PIP. Membumikan PIP tidak berarti harus menimbulkan terjadinya
perubahan organisasi struktural kelembagaan di lingkungan Universitas
Padjadjaran atau tidak mengubah kurikulum secara keseluruhan (Abdoellah, 2006).
Mengintegrasikan gagasan yang terkandung dalam PIP ke dalam kurikulum di
ilmu-ilmu sosial maupun ilmu alam, adalah satu hal yang bisa dilakukan. Gagasan
dalam PIP yang masuk dalam kurikulum seyogyanya mampu menghasilkan
praktek baik dari sivitas akademika Unpad yang mendukung kehidupan hukum,
sosial, politik dan penghargaan terhadap lingkungan hidup. Gagasan PIP-UNPAD
merupakan gagasan yang menghargai semua ilmu dan kolaborasi ilmu
pengetahuan untuk menghasilkan praktek yang meningkatkan kualitas kehidupan
manusia.
UNPAD telah merumuskan visi menjadi Universitas Unggul dalam
penyelenggaraan pendidikan kelas dunia tahun 2026. Sedangkan misi Unpad
adalah menyelenggarakan tridharma pendidikan yang mampu memenuhi tuntutan
83
masyarakat, menyelenggarakan pendidikan tinggi berdaya saing internasional,
menyelenggarakan pengelolaan pendidikan yang profesional dan akuntabel dan
membentuk insan akademik yang menjunjung tinggi keluhuran budaya lokal dan
budaya nasional (UNPAD, 2015). Maka PIP-UNPAD menyiratkan kesediaannya
untuk mendukung gagasan pembangunan berkelanjutan.
Tantangan utama bagi Unpad selaku lembaga pendidikan adalah
menghimpun kekuatan untuk bersaing secara global namun mampu menjaga
keluhuran budaya lokal dan nasional dan menjadi bagian solusi permasalahan
bangsa. Apabila PIP-UNPAD dihayati dan dijalankan oleh segenap sivitas
akademika Unpad atau dengan kata lain telah terinternalisasikan, maka diyakini
sivitas akademika Unpad akan mampu meningkatkan partisipasi dalam
pembangunan berkelanjutan.
Sebagai lembaga pendidikan, Unpad dengan PIP Bina Mulia Hukum dan
Lingkungan Hidup dalam Pembangunan Nasional seharusnya memiliki kontribusi
yang besar terhadap pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Dalam
pembangunan berkelanjutan, pendidikan untuk semua meliputi pendidikan dasar
dan pendidikan pro gender menjadi hal utama dalam peningkatan kualitas hidup.
Sebagai lembaga pendidikan tinggi, melalui PIP-UNPAD selayaknya pendidikan
yang diraih sivitas akademika mampu menyebarkan nilai-nilai mengenai
pentingnya kesempatan pendidikan bagi semua pihak. Sachs (2015) menegaskan
bahwa kesempatan pendidikan yang tidak merata dapat menjadi sumber
ketimpangan. Selain itu, Sachs menegaskan bahwa pembangunan berkelanjutan
perlu menekankan kepercayaan mengenai pentingnya akses pendidikan bagi
masyarakat.
Selain pendidikan, pembangunan berkelanjutan menyoroti pertumbuhan
ekonomi. Dimana ekonomi dunia berkembang dengan cepat sekitar 3-4 persen
dalam skala per tahun, namun pertumbuhan ekonomi menimbulkan distribusi
pendapatan ekstrem antara negara maju yang meraih kemakmuran dan negara
lainnya dalam keadaan terbelit kemiskinan ekstrem (Sachs, 2015). Pada titik inilah,
pembangunan berkelanjutan merupakan hasil kesepakatan global yang memiliki
kelemahan. Gagasan yang ideal, namun bertolak dari sejarah yang berbeda antara
negara maju dan negara berkembang.
84
Sachs (2015) menyebutkan bahwa permasalahan pembangunan
berkelanjutan mengenai pertumbuhan ekonomi, penggunaan teknologi hingga
upaya kemanusiaan untuk menghadapi permasalahan lingkungan hidup. Tantangan
utama menurut Sachs saat ini terkait dengan terjadinya perubahan iklim maupun
persediaan air akan berdampak langsung terhadap kehidupan manusia dan makhluk
hidup lainnya. Mencermati hal tersebut, pembangunan berkelanjutan perlu
dipandang dengan paradigma baru. Dalam rangka mendukung pembangunan
berkelanjutan, PIP-UNPAD perlu mencermati hal-hal di atas sebagai sebuah
tantangan.
Dengan PIP-UNPAD yang menjadi “roh” nya, maka diharapkan seluruh
keluarga besar UNPAD mampu berpikir lebih ‘out of the box’. Gagalnya
pembangunan berkelanjutan diakibatkan persoalan mendasar yaitu masalah filsafat
atau pandangan yang bercorak filsafat Cartesian. Filsafat Cartesian telah
mengarahkan manusia berfikir secara parsial dan berada di luar sistem lingkungan
(Abdoellah, 2017). Sehingga manusia kemudian menjadi abai terhadap
permasalahan lingkungan hidup yang terjadi. Dalam kehidupan masyarakat ilmiah,
kepedulian terhadap persoalan moral dan politik atas dampak ilmu pengetahuan
dan teknologi yang dihasilkan harus menjadi perhatian dan bagian tanggung jawab
moral (Abdoellah, 2017).
Pendekatan Cartesian yang menyebabkan lahirnya kebijakan parsial,
pastinya saat ini, sudah tidak sesuai dengan kebutuhan zaman sehingga diperlukan
pendekatan terintegrasi untuk menyeimbangkan sektor sosial, ekonomi dan
lingkungan hidup sebagai pilar pembangunan berkelanjutan. Kehidupan
masyarakat ilmiah perlu memperhatikan pengetahuan lokal yang adaptif terhadap
perubahan lingkungan hidup. Maka ilmu kampus dan ilmu ‘kampung’ dapat
menjadi kolaborasi kekuatan dalam konsep dan implementasi pembangunan
berkelanjutan (Abdoellah, 2017). Dengan PIP-UNPAD, seharusnya kita mampu
menterjemahkan gejolak yang terjadi antara aplikasi ilmu pengetahuan dan
kebutuhan praktis bagi masyarakat untuk mendukung pembangunan berkelanjutan.
Praktek pembangunan berkelanjutan pun membutuhkan visi yang jelas. Misalnya,
upaya mengembangkan energi alternatif maupun pengelolaan sampah terpadu yang
berdaya guna. Apabila pembangunan berkelanjutan tidak sekadar dijadikan sebagai
85
“pemanis bibir”, namun lebih aplikatif dan mendukung kesejahteraan masyarakat,
maka sesungguhnya pembangunan berkelanjutan akan membawa kemajuan dan
mendorong pandangan visioner untuk hidup di masa depan yang lebih baik.

PENUTUP

Pembangunan berkelanjutan membutuhkan pendekatan keilmuan multidisiplin,


interdisiplin dan transdisiplin. Melalui PIP-UNPAD Bina Mulia Hukum dan
Lingkungan Hidup dalam Pembangunan Nasional, konsep pembangunan
berkelanjutan berupaya untuk diimplementasikan dalam lingkungan akademik untuk
selanjutnya memberikan manfaat dan nilai tambah untuk pencapaian kesejahteraan
masyarakat, mendukung pertumbuhan ekonomi dan tercapainya kualitas lingkungan
hidup yang baik. Praktek pembangunan berkelanjutan perlu dipromosikan karena
dengan mempraktekan pola pembangunan berkelanjutan berarti mendukung pola
pembangunan yang sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.
PIP-UNPAD Bina Mulia Hukum dan Lingkungan Hidup dalam Pembangunan
Nasional sebagai bentuk kepekaan Unpad selaku lembaga pendidikan terhadap
permasalahan bangsa. Tantangan pembangunan berkelanjutan baik internal maupun
eksternal perlu disikapi secara baik dengan melihat peluang untuk memperbaiki diri
dan menemukan potensi-potensi pendukung pembangunan. Persoalan mendasar
baik permasalahan ideologis, prioritas ekonomi, pengelolaan lingkungan hidup dan
sumber daya alam dan keadilan sosial merupakan tugas berat dan harus menjadi
prioritas dalam pembangunan yang perlu disuarakan dan diperjuangkan oleh
segenap sivitas akademika Unpad. PIP-UNPAD Bina Mulia Hukum dan
Lingkungan Hidup merupakan bentuk keberpihakan Unpad terhadap kepentingan
umum.
PIP-UNPAD menjadi landasan yang mendorong sivitas akademika untuk
berpikir kritis dan berani untuk keluar dari jalur mekanik yang bersembunyi pada
zona kenyamanan. Tantangan global baik dalam sektor politik, ekonomi, hukum,
sosial dan lingkungan hidup perlu disikapi dengan cara ‘yang tidak biasa’. Ketika
‘cara yang biasa’ dipilih untuk menyelesaikan masalah pembangunan, maka
hanyalah mimpi untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan. PIP-UNPAD

86
mendorong sikap rendah hati untuk mampu berdiri dalam berbagai perbedaan
perspektif sehingga semangat yang dibangun adalah kolaborasi. Kerusakan
lingkungan hidup, permasalahan sosial, permasalahan hukum, ketidakstabilan
politik maupun permasalahan pertumbuhan ekonomi sebenarnya saling terkait satu
sama lain. Maka, PIP-UNPAD selayaknya mampu menawarkan sesuatu yang
berbeda dan sesuai dengan kebutuhan pembangunan berkelanjutan dengan roh
spiritual dan kemanusiaan. Hal yang lebih besar adalah PIP-UNPAD dalam
pembangunan berkelanjutan bertujuan memberikan sumbangsih dalam perjalanan
bangsa ini dan upaya merawat NKRI.

UCAPAN TERIMAKASIH.
Gagasan dasar dari tulisan ini diambil dari beberapa hasil pemikiran penulis
terdahulu baik yang ditulis sendiri ataupun bersama rekan sejawat yang telah
dituangkan dalam seminar ataupun buku. Terimakasih kepada Ica Wulansari yang
telah menyunting dan memberikan masukan yang sangat bermakna saat naskah awal
dari tulisan ini. Terimakasih juga kepada Parikesit Ph.D. atas kritik dan sarannya
pada naskah akhir dari tulisan ini.

DAFTAR PUSTAKA

Abdoellah, O.S., 2006. Ilmu Sosial dan Pengelolaan Lingkungan Hidup:


Membumikan Pola Ilmiah Pokok Universitas Padjadjaran. Seminar
“Membangun Iklim Ilmiah di Universitas Padjadjaran untuk Meningkatkan
Kualitas Penelitian yang Berdaya Saing”. Cipanas-Garut, 16-17 Januari
2006. Lembaga Penelitian-Universitas Padjadjaran, Bandung.
Abdoellah, O.S. dan A.A. Yusuf, 2013. Sumber daya alam dan lingkungan sebagai
modal peningkatan daya saing dan konservasi. Dalam Indriastuti, R dan
A.A. Yusuf, 2013. Daya Saing Ekonomi Nasional: Masalah dan Solusi
Prioritas. UNPAD Press.
Abdoellah, O.S. 2016. Pembangunan Berkelanjutan Di Indonesia: Di
Persimpangan Jalan. Gramedia. Jakarta.

87
Abdoellah, O.S. 2017. Ekologi Manusia & Pembangunan Berkelanjutan. Gramedia.
Jakarta.
Anonym, 2006. A Summary Report on The Project Establishment of China Green
National Accounting System. Policy Research Center for Environment and
Economy, SEPA. Chinese Academy for Environmental Planning, Renmin
University of China.
BPS, 2018. Pengangguran RI Turun 2% Jadi 6,87 Juta Orang.
https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4008757/pengangguran-
ri-turun-2-jadi-687-juta-orang (Diakses 5 Juli 2018)
BPS, 2018. Indeks Pembangunan Manusia. http://ipm.bps.go.id/page/ipm (Diakses
5 Juli 2018)

BPS, 2017. Persentase Penduduk Miskin September 2017 Mencapai 10,12 Persen.
https://www.bps.go.id/pressrelease/2018/01/02/1413/persentase-
penduduk-miskin-september-2017-mencapai-10-12-persen.html (Diakses
5 Juli 2018)
BPS, 2014. Statistik Indonesia: Statistical Yearbook of Indonesia 2014.
Elliot, J.A. 2006. An Introduction to Sustainable Development. Third Edition.
London-New York: Routledge.
Fauzi, A & A., Oktavianus. 2014. Pengukuran Pembangunan Berkelanjutan di
Indonesia. Jurnal Ekonomi Pembangunan 15: 68-83.
Hajer, M.A. 1995. The Politics of Environmental Discourse. Ecological
Modernization and the Policy Process. New York: Oxford University
Press.
Jalal. 2018. Memilih Jalan Pembangunan.
http://www.hijauku.com/2018/04/25/memilih-jalan-pembangunan-
berkelanjutan/
Moffat, I. 2008. “A Preliminary Analysis of Composite Indicators of Sustainable
Development”, International Journal of Sustainable Development and
World Ecology. Vol. 18-2. Pp.81-87. Academic Research Library.
Petras, J. and H. Veltmeyer, 2001. Globalization Unmasked: Imperialism in the 21
st
Century. United Kingdom: Zed Books Ltd.

88
Plumwood, V. 2002. Environmental Culture: The Ecological Crisis of Reason.
Routledge, London-New York.
Sachs, J.D. 2015. The Age of Sustainable Development. New York: Columbia
University Press.
Sen, A. 2009. The Idea of Justice. Cambridge: Harvard University Press.
Soemarwoto, O. 2006. Pembangunan Berkelanjutan: antara konsep dan realitas.
Departemen Pendidikan Nasional, Universitas Padjadjaran.
Stiglitz, J. 2007. Making Globalization Work. Menyiasati Globalisasi Menuju Dunia
yang Lebih Adil. Bandung: Mizan.
UNPAD, 1996. Visi dan Misi Universitas Padjadjaran. Universitas Padjadjaran-
Bandung.
UNPAD, 2015. Rencana Strategis 2015-2019 Universitas Padjadjaran. Universitas
Padjadjaran-Bandung.
Zuhro, R. S. 2016. Otda Dalam UU Pemda Baru: Masalah dan Tantangan
Hubungan Pusat dan Daerah. Jurnal Penelitian Politik 13: 213-225.

89
BAB II
PEMBANGUNAN EKONOMI ORIENTASI LINGKUNGAN DENGAN
TUJUAN ENERGI BERSIH DAN TERJANGKAU DAN KEMITRAAN
UNTUK MENCAPAI TUJUAN

Energi Baru Terbarukan untuk Mendukung SDGs 7

Oleh : Armida Salsiah Alisjahbana

1. Pendahuluan

Energi sangat sentral dalam seluruh sendi kehidupan kita, dari kehidupan Rumah
tangga, bermasyarakat dan pergerakan ekonomi secara keseluruhan. Semua aspek
kehidupan manusia serta dampaknya tidak terlepas dari energi. Energi merupakan faktor
pendukung dan pengungkit pembangunan. Energi yang berkelanjutan adalah suatu
kesempatan bagi kita semua untuk mentransformasikan kehidupan, perekonomian dan
planet kita menuju keadaan yang lebih berkesinambungan. Tujuan pembangunan
berkelanjutan atau yang lebih dikenal sebagai SDGs memuat 17 Goals, satu Goal
diantaranya berkenaan dengan energi yang berkelanjutan, yaitu SDGs 7. Adapun SDGs 7
bertujuan untuk memenuhi “Akses atas Energi yang Terjangkau, Andal, Berkelanjutan dan
Modern”.
Tulisan ini mengulas Goal 7 dari SDGs khususnya yang berkenaan dengan
diversifikasi energi melalui pemanfaatan Energi Baru Terbarukan (EBT).1 Bagaimana
Indonesia menetapkan dan mengupayakan target diversifikasi energi melalui EBT dapat
terpenuhi, merupakan topik bahasan selanjutnya dari tulisan ini. Bagian akhir tulisan ini
mengupas secara kritis tentang pengembangan EBT di Indonesia, serta saran arah kebijakan
pengembangannya ke depan.

1
Tulisan ini berdasarkan pada informasi dan materi yang menjadi bagian dari penelitian yang sedang berjalan
tentang “Setting Up and Implementing Renewable Energy Goals in Indonesia” kerjasama antara SDGs Center
Universitas Padjadjaran dengan Chinese University of Hong Kong. Penulis menyampaikan terima kasih kepada
Professor Yuan Xu dari Chinese University of Hong Kong serta kepada para nara sumber yang telah
memberikan informasi dan bahan-bahan terkait dalam proses penelitian yang masih berlangsung sampai
dengan tahun 2019.
90
2. SDGs 7 dan Diversifikasi Energi

Keperluan untuk Diversifikasi Energi dalam menunjang Pembangunan


Berkelanjutan merupakan salah satu implikasi dari Goal 7 SDGs yang bertujuan untuk
memenuhi “Akses atas Energi yang Terjangkau, Andal, Berkelanjutan dan Modern”.
Terdapat beberapa alasan bahwa “Akses Energi yang “Terjangkau, Andal, Berkelanjutan
dan Menggunakan Teknologi Modern” menjadi tujuan penting dalam SDGs, yaitu
(Alisjahbana dan Murniningtyas, 2018):
a. Ketersediaan energi yang semakin meningkat dengan meningkatnya jumlah
penduduk dan konsumsi per kapita menjadi dasar untuk suksesnya pencapaian
tujuan SDGs yang lain (Kotak 1).
b. Kebutuhan energi yang semakin besar apabila tidak dilakukan dengan
berkelanjutan akan menghabiskan sumberdaya tidak terbarukan dan
mencemari lingkungan hidup;
c. Pola penggunaan energi yang boros akan mengakibatkan ketidakmampuan
sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan energi.

Kotak 1. Keterkaitan Tujuan 7. Energi Bersih, Andal dan Terjangkau dengan


Tujuan lain dalam SDGs

Berdasarkan hasil penelitian scientist


yang terkumpul dalam ICSU, Goal 7.
Akses energi untuk semua sangat
berpengaruh dan terkait erat dengan
tercapainya tujuan:
a. SDGs-1 Penurunan Kemiskinan;
b. SGDs-2 Penurunan Kelaparan;
c. SDGs-6 Air Bersih dan Sanitasi;
d. SDGs-8 Pekerjaan Layak dan
Pertumbuhan Ekonomi;
e. SDGs-13 Penanganan Perubahan
Iklim

Sumber: A Guide to SDGs Interactions: From Science to Implementations, International


Council for Science/ICSU, 2017 dalam Armida S Alisjahbana dan Endah Murniningtyas, 2018
91
Terdapat tiga langkah utama untuk mewujudkan Goal 7 tentang Energi
Berkelanjutan yang intinya adalah pada: (i) Meningkatkan efisiensi energi, yaitu
bagaimana mencapai penggunaan energi yang lebih efisien pada berbagai tingkatan
aktivitas tanpa mengurangi output atau penggunaan energi/PDB terus menurun; (ii)
Meningkatkan penggunaan teknologi bersih (clean technology) untuk mendukung
aktivitas ekonomi, baik rumah tangga, industri, maupun transportasi; (iii) Meningkatkan
porsi pasokan dan penggunaan sumber energi baru terbarukan (new and renewable
energy) dalam keseluruhan energy mix global (Alisjahbana dan Murniningtyas, 2018).

Adapun target untuk Goal 7 terkait Energi Berkelanjutan dalam SDGs dapat dilihat
sebagaimana dalam Tabel 8.1 berikut ini:

Tabel 8. 1 Target untuk Goal 7. Akses Energi yang Terjangkau, Andal, Modern dan
Berkelanjutan

Target Isi Target


1 Pada tahun 2030, menjamin akses energi secara universal yang terjangkau,
andal dan modern.
2 Pada tahun 2030, meningkat secara substansial pangsa energi terbarukan
dalam bauran energi global.
3 Pada tahun 2030, melakukan perbaikan efisiensi energi di tingkat global
sebanyak dua kali lipat.
Cara pelaksanaan
Pada tahun 2030, memperkuat kerjasama internasional untuk memfasilitas
akses pada teknologi dan riset energi bersih, termasuk energi terbarukan,
1.a. efisiensi energi, canggih, teknologi bahan bakar fosil lebih bersih, dan
mempromosikan investasi di bidang infrastruktur energi dan teknologi
energi bersih
Pada tahun 2030, memperluas infrastruktur dan meningkatkan teknologi
untuk penyediaan layanan energi modern dan berkelanjutan bagi semua
1.b. negara-negara berkembang, khususnya negara kurang berkembang
(LDCs), negara berkembang kepulauan kecil dan negara berkembang
(Small Islands Developing States - SIDS)

Sumber: PBB sebagaimana dikutip dalam Armida S Alisjahbana dan Endah


Murniningtyas, 2018

Diversifikasi energi dengan menggunakan lebih banyak energi baru terbarukan


merupakan target utama untuk mencapai Goal 7 dari SDGs. Target SDGs yang bersifat
global ini selanjutnya diterjemahkan ke dalam target untuk masing-masing Negara atau di
92
tingkat nasional. Termasuk ke dalam target SDGs 7 ini adalah bagaimana meningkatkan
pasokan dan penggunaan energi baru terbarukan dalam bauran energi nasional.

3. Target Diversifikasi Energi melalui Energi Baru Terbarukan (EBT) di Indonesia

Penggunaan EBT yang lebih banyak dalam bauran energi nasional pada hakekatnya
harus melalui upaya diversifikasi energi. Penggunaan dan kondisi energi nasional
Indonesia sampai dengan saat ini masih didominasi oleh bahan bakar fosil, seperti: minyak
bumi, batu bara dan gas bumi. lebih dari 75%. Sementara data terakhir untuk penggunaan
energi dari yang berasal dari EBT masih berkisar di angka 8% (RUEN, 2017). Di lain
pihak, data potensi energi fosil Indonesia, dengan asumsi tidak ada temuan cadangan baru,
tidak menggembirakan. Minyak bumi akan habis dalam 12 tahun, gas bumi dalam 33 tahun,
hanya batu bara yang masih tersedia banyak, baru diperkirakan akan habis dalam 82 tahun
(RUEN, 2017). Tentu alasan keterbatasan persediaan cadangan sumber energi fosil hanya
satu alasan urgensi dari diversifikasi energi, dengan alasan yang lebih penting untuk
mencapai ketersediaan sumber energi yang ramah lingkungan.

Indonesia sebagai Negara kepulauan dengan kondisi geografis yang beragam


disertai kekayaan alam yang luas, mengandung potensi EBT yang sangat beragam dan
kaya. Tabel 2 berikut ini memperlihatkan potensi EBT menurut jenis energi, kapasitas
terpasang dan pemanfaatannya. Potensi EBT Indonesia yang tersebar luas terdiri dari:
Panas Bumi, Air, Mini dan Mikro Hidro, Bioenergi, Surya, Bayu dan Laut. Total potensi
energi yang dihasilkan sebesar 443.208 MW, kapasitas terpasang menurut data terakhir
tahun 2015 baru sebesar 8.215,5 MW atau hanya 1.9% dari total potensi yang ada. Tiga
sumber EBT yang relatif tingkat pemanfaatannya sudah 5% atau lebih dari potensinya
adalah: Panas Bumi, Air atau Hidro (termasuk mikro hidro) dan Bioenergi termasuk
Biofuel (lihat Tabel 8.2). Pemanfaatan EBT lainnya: Surya, Bayu dan Laut masih sangat
kecil dan tidak signifkan.

93
Tabel 8. 2 Potensi Energi Baru Terbarukan (2015)

Jenis Energi Potensi (MW) Kapasitas Pemanfaatan


Terpasang (MW) (%)
1 Panas Bumi 29.544 1.438,5 4,9
2 Air 75.091 4.826,7 6,4
3 Mini dan Mikro Hidro 19.385 197,4 1,0
4 Bioenergi 32.654 1.671 5,1
5 Surya 207.898 78,5 0,04
6 Bayu (Angin) 60.647 3,1 0,01
7 Laut 17.989 0,3 0,002

Total 443.208 8.215,5 1,9

Sumber: Rencana Umum Energi Nasional, 2017

Target diversifikasi energi Indonesia melalui pemanfaatan yang lebih besar dari EBT
dalam bauran energi nasional tertuang dalam Peraturan Presiden No 22 Tahun 2017 tentang
Rencana Umum Energi Nasional atau disingkat Perpres 22/2017 tentang RUEN. Dalam
dokumen ini dicantumkan target pengembangan EBT dalam bauran energi nasional dalam
jangka panjang dengan target spesifik untuk tahun 2025 dan 2050 untuk semua jenis EBT dan
menurut sektor penggunaannya. Untuk keperluan pembahasan di sini, akan diuraikan secara
singkat rencana pemenuhan kebutuhan energi dengan target tahun 2025 untuk EBT. Sumber
informasi sepenuhnya berasal dari dokumen Perpres 22 tahun 2017 tentang RUEN sebagai
referensi dan acuan resmi tentang pengembangan EBT di Indonesia dalam jangka panjang.

Kebutuhan EBT dari sumber energi primer, transformasinya kemudian ke bentuk


energi final serta sektor pengguna sebagaimana diuraikan dalam RUEN dapat dijelaskan
sebagai berikut. Penggunaan EBT secara garis besar menjadi dua sumber energi, yaitu
pembangkit listrik dan non-listrik. Semua sumber EBT dapat menjadi sumber energi primer
bagi pembangkit listrik. Namun EBT yang dapat dimanfaatkan secara langsung dalam bentuk
non-listrik adalah yang langsung menjadi bahan bakar seperti: biofuel, biomassa, biogas dan
CBM. Adapun sektor pengguna baik energi listrik dan non-listrik adalah: Rumah tangga,
Industri, Komersial dan Transportasi. Nampak bahwa berdasarkan RUEN untuk skenario
jangka panjang pemenuhan energi nasional Indonesia masih akan bertumpu pada sumber
energi fosil. Batu bara dan gas bumi masih akan mendominasi, sementara pemanfaatan minyak
bumi akan diminimalisasi dan EBT akan dimaksimalkan.

94
Berapa besar peran EBT yang ditargetkan dalam bauran energi nasional dalam jangka
penjang? Sampai dengan tahun 2025, EBT diharapkan sebesar 23% dari total bauran energi
nasional (lihat Tabel 8.3). Target ini akan dicapai terutama melalui strategi transformasi energi
melalui pengembangan pembangkit tenaga listrik. Sebagai gambaran dalam dokumen RUEN,
kapasitas pembangkit tenaga listrik pada tahun 2025 ditargetkan mencapai 135,4 GW, dimana
90,4 GW berasal dari pembangkit listrik fosil, dan 45 GW berasal dari pembangkit listrik EBT.
Atau 33% dari total pembangkit listrik pada tahun 2025 akan berbasiskan EBT. Ini sebagai
bagian dari 23% total bauran energi nasional yang berasal dari EBT. Bagian terbesar dari porsi
EBT ini akan berasal dari Geothermal dan Hidro.

Tabel 8. 3 Target EBT dalam Bauran Energi Nasional Tahun 2025

Target EBT untuk Tahun 2025:


92,2 MTOE (23% EBT dalam Bauran Energi Nasional)
69,2 MTOE (75% dari target EBT 2025): 23,0 MTOE (25% dari target EBT 2025):
Listrik 45,2 GW • Biofuel 13,9 juta KL
• Biomassa 8,4 juta ton
• Biogas 489,8 juta m3
• CBM 46 MMSCFD

Sumber: Perpres no 22 tahun 2017 tentang RUEN

Apabila kita tempatkan target pemanfaatan EBT dalam kerangka bauran energi
nasional, maka tetap bahwa sumber terbesar atau sekitar 70% penggunaan EBT akan berasal
dari sektor listrik. Sisanya terutama tersebar dalam bentuk biofuel, biogas, biomasa dan CBM
yang langsung dikonsumsi pengguna dari berbagai sektor. Termasuk untuk pemanfaatan secara
langsung di sektor transportasi, meskipun sektor transportasi termasuk sektor yang
diproyeksikan akan banyak berbasiskan tenaga listrik, seperti mobil listrik dan transportasi
masal berbasis listrik (bis dan kereta listrik). Bagaimana sesungguhnya pencapaian, proyeksi
pencapaian versus target EBT sebagaimana yang diuraikan di atas, serta dikaitkan dengan
keunggulan dan kelemahan dari EBT itu sendiri menjadi uraian di bagian berikut ini.

95
4. Critical Assessment terhadap Pengembangan Energi Baru Terbarukan

Karakteristik EBT

Pemanfaatan EBT sebagaimana dibahas terdahulu adalah melalui dua jalur utama,
sebagai sumber energi primer pembangkit listrik dan sebagai sumber energi dalam bentuk
bioenergy tentu dengan keunggulan dan kelemahannya masing-masing. Kelemahan utama
energi fosil adalah menyebabkan emisi CO2 dan gas Rumah kaca lainnya. Meskipun di sisi
lain, energi fosil memiliki keunggulan dalam hal investasi per unit yang relatif lebih rendah
dibandingkan dengan EBT, serta sudah banyak digunakan sehingga didukung sarana prasarana
yang memadai. Hal ini berlaku untuk energi fosil sebagai sumber energi primer pembangkit
listrik maupun sebagai sumber energi bahan bakar sektor transportasi, keperluan rumah tangga,
komersial dan industri. Mengapa energi fosil masih menjadi prioritas dalam banyak
pembangunan pembangkit listrik di banyak Negara, termasuk Indonesia? Adapun alasannya
adalah karena hal-hal sebagai berikut yang pada akhirnya menyebabkan biaya per unit dan
reliabilitas pasokan dari pembangkit listrik energy fosil dapat diandalkan (Pamudji, 2018):

Teknologi dari pembangkit listrik berbasiskan energi batu bara, diesel, gas sudah
mature dan siap (ready). Ukuran yang tersedia dari pembangkit listrik berbasis energi fosil
sangat beragam mulai dari ukuran kecil sampai dengan sangat besar. Energi fosil (diesel, gas,
batu bara) dapat diperoleh dengan mudah di pasar. Biaya investasi per unit yang relatif lebih
rendah dari investasi serupa yang menggunakan EBT. Waktu konstruksi dari pembangkit listrik
energi fosil dapat direncanakan dengan baik dan tepat waktu, serta dapat dibangun di mana
saja. Output listrik yang dihasilkan dapat dikontrol dan dikelola dengan baik.

EBT sebagai sumber energi primer pembangkit listrik ada yang memiliki karakteristik
yang andal (reliable) seperti energi fosil, namun ada juga EBT yang bersifat intermitten (tidak
firm dan steady), dalam arti berfluktuasi dan perlu teknologi penyimpanan (battery technology)
untuk menjamin listrik yang dihasilkannya bersifat firm dan steady. Pengecualiannya jika EBT
yang bersifat intermitten ini dapat disalurkan melalui sistem smart-grid bukan manual-grid.
Tabel 4 berikut ini membagi jenis EBT sebagai sumber energi primer pembangkit listrik ke
dalam dua kelompok. Kelompok yang menghasilkan listrik secara firm dan steady seperti
energi primer dari energi fosil, dan kelompok EBT yang menghasilkan listrik secara intermitten
dan berfluktuasi. Implikasi dari jenis EBT sebagai sumber energi primer pembangkit listrik

96
menjadi jelas. EBT yang berasal dari hidro, geothermal dan biomassa akan lebih menjadi
preferensi sebagai sumber energi primer pembangkit listrik dari segi reliabilitasnya.

Tinggal kemudian menghitung biaya per unit termasuk biaya investasi yang diperlukan
untuk eksplorasi dan eksploitasinya, misalnya untuk geothermal. Ketersediaan sumber EBT
menjadi hal yang mempengaruhi feasibilitasnya. PLTA skala besar harus mengandalkan
geothermal atau sumber air dari bendungan/waduk, sementara pembangkit listrik mikro hidro
dapat dibangun relatif kecil selama ada sumber pasokan air yang terjamin kontinuitasnya. EBT
biomassa tergantung pada ketersediaan pasokan kayu, batang, daun dari pohon-pohon atau
sampah organik dari perkebunan-perkebunan. Kemajuan teknologi telah memungkinkan
kombinasi pembangkit listrik yang menggunakan sistem co-firing, batubara dan biomassa.

Pertimbangan penggunan EBT solar dan angin berbeda lagi. Faktor utama adalah
intensitas sinar matahari ataupun angin yang cukup tinggi agar energi listrik yang dihasilkan
dari Solar PV, Solar Thermal ataupun Kincir Angin dapat memadai. Indonesia termasuk
Negara dengan moderate irradiation untuk tenaga surya, sementara untuk pembangkit listrik
tenaga bayu hanya potensial di lokasi-lokasi tertentu di Pulau Jawa bagian Selatan, Sulawesi
bagian Selatan dan Nusa Tenggara yang memiliki kecepatan angin yang cukup. Untuk tenaga
listrik yang berasal dari laut: arus, ombak, gelombang dan perbedaan temperatur harus mencari
lokasi-lokasi tertentu yang sesuai. Lokasi-lokasi seperti di antara selat pulau-pulau, di laut
dengan kedalaman tertentu dan sebagainya.

Kelemahan dari sumber energi yang berasal dari solar, angin maupun laut adalah
diperlukannya teknologi penyimpanan listrik (baterai) terutama apabila listrik yang dihasilkan
sebagian ingin disimpan untuk digunakan dalam waktu yang berbeda. Teknologi ini
memerlukan investasi tersendiri, diluar investasi peralatan dan pemasangan peralatan untuk
tenaga surya, angin maupun laut. Jenis EBT ini juga memerlukan grid yang khusus, apabila
tidak ingin menggunakan sistem baterai sebagai metode penyimpanan, atau dikenal sebagai
smart-grid dan tidak memungkinkan menggunakan manual-grid sebagaimana yang ada
sekarang. Inipun tentu memerlukan biaya investasi yang tidak sedikit.

97
Tabel 8. 4 Jenis EBT untuk Sumber Energi Primer Pembangkit Listrik

Firm dan steady seperti pembangkit Intermitten: tidak firm dan steady serta
listrik menggunakan energi fosil berfluktuasi
1. Hidro (PLTA, PLTM/m/p) 1. Solar PV, Solar Thermal
2. Geothermal 2. Bayu
3. Biomassa: 3. Laut:
• Non-kayu, dibakar • Arus
• Gasified palm slury • Ombak
• Gasified palm kernels • Gelombang
• Biomassa berbasis kayu • Perbedaan temperatur dari
(gasified or fired) dari air laut
“energy plantation”
• Co-firing dalam pembangkit
listrik berbasiskan batu bara
Sumber: Pamudji, 2018

Bagaimana dengan energi biofuel atau bahan bakar yang berasal dari EBT seperti:
biodiesel dan biofuel lainnya? Biodiesel yang berasal dari campuran 20% minyak sawit
terhadap solar/diesel sudah berjalan cukup baik sejak inisiasinya beberapa tahun yang lalu.
Tujuan utama dari kebijakan ini ada dua. Pertama, mempromosikan penggunakan energi bersih
yang berasal dari sawit dalam bahan bakar solar/diesel, terutama yang digunakan di sektor
transportasi. Kedua, sekaligus menjamin penyerapan pasar dan stabilitas harga minyak sawit
dimana Indonesia merupakan produsen terbesar dunia. Pemanfaatan biogas juga mulai
dikembangkan, meskipun relatif terbatas, terutama dari kotoran ternak di daerah perdesaan
serta dari pembakaran sampah (electricity generation from waste) untuk daerah perkotaan.

Pencapaian Target EBT

Meskipun milestone target pencapaian EBT di tahun 2025, namun ada baiknya kita
mengkaji sejauh mana pencapaiannya sampai dengan data terakhir menunjukkan on-track atau
sebaliknya. Pencapaian ini tentu tidak terlepas dari kendala-kendala pengembangan EBT, baik

98
dari segi sarana prasarana yang diperlukan, lahan, pendanaan, penguasaan teknologi dan tariff
setting atau harga.

Assessment terhadap pencapaian target akan difokuskan pada EBT untuk pembangkit
listrik yang merupakan bagian terbesar dari target capaian EBT dalam bauran energi nasional.
Data tahun 2017 menunjukkan bahwa sumber energi primer pembangkit listrik yang berasal
dari EBT sudah mencapai 11,7%. Jumlah ini diharapkan meningkat lebih cepat di tahun
setelahnya sampai dengan mencapai target 23% di tahun 2025. Meskipun persentase EBT
terhadap total bauran energi harus meningkat dua kali lipat dalam 8 tahun mendatang, suatu
target yang berat, namun tetap optimistis mengingat kemajuan investasi EBT dalam tahun-
tahun terakhir yang cukup pesat. Investasi pembangkit EBT terutama untuk yang berasal dari
Air (PLTA) dan Geothermal (PLTP), dua tahun terakhir bahkan untuk pembangkit listrik
tenaga bayu.Agar pengembangan EBT tetap on-track bahkan lebih cepat lagi, beberapa hal
yang menjadi tantangan pengembangan EBT di Indonesia perlu menjadi perhatian bersama:2

Kesesuaian antara supply dan demand. Beberapa daerah saat ini mengalami over supply,
terutama daerah dengan ketersediaan energi listrik yang berasal dari PLTU dan PLTG. Untuk
daerah dengan kondisi seperti ini akan sulit untuk mengembangkan Pembangkit Listrik baru
dari sumber EBT, apabila hal ini dipaksakan maka harus dilakukan penurunan output di tengah
kondisi take or pay (PT PLN, 2017). Contoh lain dari isu kesesuaian antara supply dan demand
adalah untuk daerah dengan installed capacity yang memang kecil, sehingga ruang untuk
pembangkit EBT (PLTS dan PLTB) akan kecil (kuota MW yang kecil).

PLTA dan Mikro Hidro. Untuk pengembangan PLTA di daerah Jawa (golden sites in Java)
sudah sangat terbatas, karena hampir semua lokasi potensial sudah terbangun PLTA
sebelumnya. Pembangunan PLTA sekarang banyak di lakukan di Sumatera dan Sulawesi dan
sebagian di Nusa Tenggara untuk mengatasi daerah sulit air. Daerah yang sangat potensial dan
belum banyak di bangun PLTA adalah di Kalimantan Utara dan Papua. Sementara Mikro Hidro
sudah banyak dibangun di daerah-daerah perdesaan, namun masih banyak ruang untuk
membangun di seluruh pelosok Indonesia yang memerlukannya.

2
Berdasarkan wawancara penulis dengan Wakil Menteri ESDM pada tanggal 13 Februari 2018 di Jakarta, serta
berbagai bahan dan literatur terkait diantaranya: Pamudji (2018), PT PLN (2017), Ditjen EBTKE (2018) dan
International Renewable Energy Agency (2017).
99
Geothermal. Kapasitas realistis dari geothermal diperkirakan lebih kecil dari estimasi awal,
yaitu 8 sampai dengan 13 GW dibandingkan dengan estimasi awal 28 GW. Biaya eksplorasi
pengembangan PLTP terutama untuk drilling cukup besar, sementara success ratio kecil. Atau
diistilahkan dengan high risks and cost at exploration stage, surface does not correlate with
sub-surface. Setelah tahapan eksplorasi sukses, maka resiko dan biaya pada tahapan eksploitasi
jauh lebih rendah.

Biomassa dan Biogas. Pembangkit listrik berbasiskan biomassa relatif berkapasitas kecil.
Banyak digunakan untuk keperluan sendiri, misalnya di perkebunan-perkebunan sekaligus
memanfaatkan limbah dari tanaman/pohon di perkebunan. Seringkali sebagai bagian
terintegrasi dari suatu perkebunan, terutama perkebunan kelapa sawit. Terdapat isu dalam
kontinuitas dari supply, apakah dikembangkan sebagai bagian dari energy plantation atau
destructed forests? Meskipun pengembangan pembangkit listrik biomassa dari perkebunan
potensial berdampak positif bagi masyarakat sekitar. Masyarakat sekitar dapat ikut menikmati
akses listrik (jika belum ada akses listrik sebelumnya), atau jika perkebunan berbentuk PIR Inti
Plasma, masyarakat bisa ikut menjual limbah sawit sebagai supply dari pembangkit listrik
biomassa tersebut.

Potensi yang akhir-akhir ini banyak dikembangkan adalah Pembangkit Listrik Biogas yang
mengkonversikan sampah (waste) menjadi listrik. Terutama ini mulai dikembangkan di kota-
kota besar. Isu krusial dari pengembangan Pembangkit Listrik Biogas ini adalah pada besaran
investasi dan teknologi yang digunakan serta pengaturan kerjasama antara pihak Pemerintah
Daerah dengan Investor.

Kesesuaian tariff yang ditetapkan. Tarif yang ditetapkan serta insentif-insentif lain perlu
diperhitungkan dengan cermat agar investasi di Pembangkit Listrik EBT memberikan
keuntungan bagi investor. Perhitungan tariff listrik berbeda-beda tergantung jenis EBT dan
lokasi dari pembangkit listrik. Tarif disesuaikan dengan BPP dari daerah di mana lokasi
pembangkit listrik berada. Teknologi PLTS dan PLTB yang berkembang pesat akhir-akhir ini
menungkinkan unit cost lebih kecil dari BPP yang ditetapkan di suatu daerah di mana lokasi
pembangkit listrik itu berada. BPP dihitung berdasarkan rata-rata biaya pokok pengadaan
listrik di daerah tersebut. Pada umumnya BPP sangat dipengaruhi oleh BPP dari PLTU dan
PLTG. Apabila harga minyak bumi, gas dan batu bara cenderung naik seperti akhir-akhir ini,
maka tentu cost per unit dari pembangkit listrik EBT akan semakin kompetitif dan sebaliknya.
100
Ketersediaan lahan dan sarana prasarana penunjang. Beberapa pembangkit EBT seperti
Geothermal seringkali berada di kawasan hutan lindung, sehingga diperlukan aturan yang
bersifat break-through untuk pemanfaatan kawasan hutan lindung ini secara terbatas.
Kemudian PLTB (Angin) memerlukan lahan di lokasi yang intensitas angin kencang, sehingga
perlu pembebasan lahan atau penyewaan lahan. Sarana prasana penunjang seperti ketersediaan
smart-grid atau sistem baterai penyimpanan juga diperlukan untuk pengembangan pembangkit
listrik EBT yang bersifat intermitten. Investasi untuk teknologi baterai penyimpanan energy
listrik ataupun investasi untuk smart-grid tentu investasi yang memerlukan biaya yang tidak
sedikit. Aspek ketersediaan sumber pendanaan menjadi salah satu hal yang menentukan
kelancaran investasi bagi investor-investor IPP EBT.

5. Arah Pengembangan Energi Baru Terbarukan ke Depan

Selain tantangan sebagaimana diuraikan di atas tentang pengembangan EBT, ke depan terdapat
perubahan tren yang memperkuat peluang pengembangannya:

a. Kemajuan teknologi (solar panel, pembangkit listrik tenaga bayu, hidro, biomassa,
dll) menjadikan investasi di pembangkit listrik EBT semakin kompetitif
dibandingkan pembangkit listrik energi fosil.
b. Tren produksi di banyak Negara dan masyarakat termasuk di Indonesia kea rah
konsumsi dan produksi yang ramah lingkungan. Tidak hanya dari sisi penyediaan
energi bersih dan ramah lingkungan, namun juga dari sisi perubahan demand.
c. Generasi muda, generasi milineal, generasi dengan pendidikan rata-rata yang
semakin tinggi, generasi dengan tingkat kesejahteraan yang semakin baik, maka
asumsinya adalah generasi yang semakin sadar dan ingin hidup ramah lingkungan.
d. Industry 4.0, digital economy menyebabkan semua kegiatan produksi, konsumsi
berlangsung dengan penggunaan energi per unit yang semakin efisien.
e. Khusus di Indonesia, terutama di daerah-daerah di luar Jawa seperti di Kalimantan,
Papua tersedia kesempatan luas untuk mengintegrasikan pembangunan
pembangkit listrik hidro dengan industri berbasis sumber daya alam dan energy
intensive. Contoh adalah indusri smelter.

101
Adapun arah pengembangan pemanfaatan EBT yang lebih luas ke depan tentu harus senantiasa
memperhatikan prinsip kesesuaian permintaan dan penawaran (supply and demand) efisiensi
biaya, efektifitas pemanfaatan serta ketersediaan sarana prasarana pendukung. Berdasarkan
pembahasan di atas serta kajian dan diskusi yang penulis lakukan berkenaan dengan
pengembangan EBT ini ke depan, terdapat beberapa saran sebagai sebagai berikut:

a. Pembangunan pembangkit listrik kapasitas besar ke depan masih akan didominasi


oleh Pembangkit Listrik energi fosil seperti batu bara (PLTU) dan gas (PLTG).
Khusus teknologi untuk PLTU dalam hal ini ke depan tentu mengharuskan
diadopsinya teknologi super critical yang menjamin PLTU yang lebih ramah
lingkungan. Selanjutnya, bagaimana EBT dapat memanfaatkan skema co-firing
dari PLTU sebagaimana yang sudah dikembangkan di Negara-negara OECD.
b. Pembangkit listrik skala besar dari EBT hanya dimungkinkan berbasis hidro dan
geothermal. Untuk geothermal bagaimana solusi agar resiko dari investasi dalam
PLTP ini dapat dikelola dan diminimalisasikan. Sementara pengembangan PLTA
masih terbuka luas untuk daerah-daerah di Sumatera, Sulawesi, Kalimantan (Utara)
dan Papua. Di beberapa daerah dengan ketersediaan sumber daya alam yang
memerlukan processing lebih lanjut, misalnya melalui smelter, maka bisa
dikembangkan skema pembangunan PLTA yang terintegrasi dengan industri
sumber daya alam yang energy intensive.
c. Memanfaatkan EBT dengan sumber EBT setempat untuk pembangkit listrik skala
menengah dan kecil, termasuk untuk pemanfaatan sendiri. Contoh di perkebunan-
perkebunan kelapa sawit yang sudah banyak memanfaatkan pembangkit listrik
EBT dari ampas maupun limbah pengolahan kelapa sawit.
d. Pengembangan energi lisrik PV untuk lokasi-lokasi daerah terpencil, jauh dari grid
namun dengan instensitas sinar matahari yang cukup tinggi. Daerah-daerah yang
selama ini sudah menjadi prioritas pemerintah seperti: pulau-pulau terluar, daerah
perbatasan. Sementara pembangkit listrik mikro hidro untuk terus dikembangkan
di seluruh daerah terpencil dan perdesaan dengan sumber air yang memadai.
e. Aspek penetapan tariff dan sumber pendanaan yang kompetitif agar dikaji ulang
agar memberikan insentif yang cukup bagi investor untuk menanamkan modal di
pembangkit listrik EBT.

102
f. Sisi permintaan melalui sektor transportasi sebagai sektor yang tumbuh pesat dan
penting untuk menjamin kelancaran mobilitas orang dan barang perlu untuk
bergeser ke penggunaan transportasi masal perkotaan (termasuk berbasis listrikdan
EBT seperti biofuel untuk kendaraan bis) dan kendaraan (mobil) listrik.
g. Penting untuk suatu grand design atau strategy pengembangan industri-industri
pendukung pembangkit listrik EBT, serta semua sarana prasarana pendukungnya.

6. Penutup

Potensi EBT Indonesia sangat tersedia luas, dari sumber EBT yang sesuai untuk
menghasilkan tenaga listrik dalam skala besar seperti hidro dan geothermal sampai dengan
yang spesifik local seperti: mikro hidro, biomassa, biogas, energi dari laut dsb. Pengembangan
energi berbasiskan EBT ini harus mendasarkan kepada beberapa prinsip utama. Prinsip
keseimbangan dan kesesuaian antara demand dan supply serta ketersediaan jenis EBT menurut
daerah serta potensi pengembangannya. Kemajuan teknologi dari pengembangan EBT telah
meningkatkan daya saingnya dari sisi biaya dan harga dibandingkan dengan sumber energi
fosil. Namun demikian, pilihan pengembangan EBT tetap harus disesuaikan dengan
ketersediaan pasokan yang ada disuatu daerah, kemudian sarana prasarana yang diperlukan
untuk energi EBT dapat dimanfaatkan dengan optimal.

Beberapa skema yang dapat dikembangkan termasuk: skema pembangkit listrik hybrid
antara energi fosil dengan energi EBT, pembangunan pembangkit listrik EBT seperti hidro di
daerah dengan potensi sumber air yang masih luas diintegrasikan dengan industri pengolahan
sumber daya alam yang energi intensif. Serta yang tidak kalah penting untuk ikut
dikembangkan adalah dari sisi demand pengguna, misalnya di sektor transportasi. Bagaimana
dengan urbanisasi dan pertumbuhan daerah perkotaan yang sangat cepat, opsi transportasi
masal kemudian kendaraan berbasis listrik maupun EBT lebih masif digunakan. Serta saran
terakhir, diperlukan suatu grand strategy dan grand design pengembangan industri-industri
pendukung sektor energi, khususnya EBT beserta industri-industri komponennya di dalam
negeri.

103
Daftar Pustaka

Alisjahbana, A.S., 2010, “Ketahanan Energi Melalui Pengembangan Energi


Terbarukan” dalam Iwan Jaya Azis, dkk, 2010.

Alisjahbana, A.S. dan E. Murniningtyas, 2018, Tujuan Pembangunan Berkelanjutan di


Indonesia: Konsep, Target dan Strategi Implementasi, Unpad Press: Bandung.

Azis, I.J., L. M. Napitupulu, A. A. Patunru dan B. P. Resosudarmo, eds, 2010,


Pembangunan Berkelanjutan: Peran dan Kontribusi Emil Salim, Kepustakaan
Populer Gramedia: Jakarta.

Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, 2017, Outlook Energi Indonesia 2017,
BPPT: Jakarta.

Batidzirai, B., E.M.W. Smeets and A.P.C. Faaji, 2012, Harmonising bioenergy resource
potentials, methodological lessons from review of state of the art bioenergy
potential assessments, Renewable Energy and Sustainable Economy Reviews, 16,
pp. 6598-6630.

Direktorat Jenderal EBTKE, “Kebijakan Pengembangan Energi Baru dan Terbarukan”,


makalah disampaikan dalam MUNAS AESI, 25 Januari, 2018

International Renewable Energy Agency, 2017, Renewable Energy Prospects:


Indonesia, REmap Analysis, IRENA: Abu Dhabi.

Pamudji, N., “Development of Renewables: Policy Options for Indonesia”, paper


presented at SDGs Seminar Series organized by SDGs Center, Universitas
Padjadjaran, Bandung, 6 February, 2018

Peraturan Presiden no 22 tahun 2017, 2017, Rencana Umum Energi Nasional. Jakarta.

PT PLN, 2017, Rencana Usaha Penyediaan Listrik (RUPTL) 2017-2026, PT PLN:


Jakarta. www.pln.go.id

Sachs, J. D., 2015, The Age of Sustainable Development, Columbia University Press:
New York.

104
Schmidt, T.S. et al., 2013, Attracting private investments into rural electrification – A
case study on renewable energy based village grids in Indonesia, Energy for
Sustainable Development, 17, pp. 581-595.

Veldhuis, A.J. and A.H.M.E. Reinders, 2013, Reviewing the potential and cost
effectiveness of grid connected solar PV in Indonesia on a provincial level,
Renewable and Sustainable Energy Review, 27, pp. 315-324.

105
Pemanfaatan Limbah Peternakan dan Batubara untuk Biogas Sebagai Sumber Energi
Bersih dan Terjangkau

Oleh : Ellin Harlia

1.PENDAHULUAN

Tujuan SDGs No.7 adalah menjamin akses energi yang terjangkau, andal,
berkelanjutan dan modern untuk semua. Perencanaan produksi dan pemanfaatan energi perlu
dilakukan agar menjamin ketersediaan energi dengan harga yang terjangkau untuk jangka
panjang. Kebutuhan energi masyarakat akan terus tumbuh seiring pertumbuhan penduduk,
(BPPT, 2014).Konsumsi energi dari tahun ke tahun semakin meningkat. Peningkatan konsumsi
energi ini tidak diiringi dengan peningkatan cadangan energi yang ada, menyebabkan
diperlukannya sumber energi terbarukan menggantikan sumber energi fosil yang
ketersediannya semakin berkurang dan tidak dapat diperbaharui. Salah satu sumber energi
terbarukan tersebut adalah biogas.
Biogas merupakan gas yang dihasilkan melalui proses fermentasi dan dapat
dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan energi rumah tangga ataupun industri. Gas yang
dominan dihasilkan dari biogas adalah gas metana (CH4) dan karbondioksida (CO2) (Iftikhar
A R and S. Wazir. 2017). Gas metana secara alami terbentuk dari bahan-bahan organik seperti
kotoran ternak, kotoran manusia, sampah rumah tangga, limbah sayur dan buah, serta diketahui
juga terdapat pada batu bara atau disebut Gas Metana Batu Bara (GMB). Pemanfaatan limbah
ternak sebagai bahan baku biogas, merupakan suatu upaya ramah lingkungan dalam rangka
mereduksi cemaran mikroba asal feses ternak untuk menciptakan kesehatan lingkungan.
Jumlah Ternak di Jawa Barat saat ini, sapi potong 825.895 ekor; sapi perah 238.336 ekor dan
kerbau 102.571 ekor (Dinas Peternakan Jawa Barat,2018), dengan asumsi berat ternak rata-rata
250 kg. Jumlah feses yang dihasilkan per ekor yaitu 7% dari berat ternak. Setiap hari akan
diproduksi kurang lebih 20 ton feses ternak di wilayah Jawa Barat. Apabila feses dibiarkan
bertumpuk akan menjadi masalah kesehatan lingkungan. Penggunaan feses sebagai bahan baku
biogas dapat mengatasi masalah kesehatan lingkungan dan energi.

Gas metana batu bara (GMB) adalah adalah gas metana yang terkandung dalam batu bara
dan terperangkap dalam mikropori atau pori-pori batu bara melalui proses mikrobial (biogenic)
106
atau panas (thermogenic) selama proses pembentukan batubara pada kedalamanan 600-1000
m dibawah tanah. GMB merupakan sumber energi bersih dan dapat diperbaharui
penggunaanya, karena akan terus terproduksi selama lapisan batu bara tersebut tersedia. Gas
biogenik yang asalnya dianggap gas beracun dan berbahaya, akan berubah menjadi salah satu
sumber energi baru yang murah dan ramah lingkungan, sehingga lambat laun akan
menghilangkan ketergantungan pasokan gas elpiji (LPG) bagi masyarakat di kawasan
terpencil. Cadangan gas biogenik di tambang batubara merupakan sumber daya energi
alternatif yang cukup prospektif dan potensial bagi masyarakat terutama jika terjadi
penyesuaian harga BBM di dalam negeri telah mencapai harga yang rasional. Saat ini, gas
metana biogenik ini dapat dimanfaatakan secara langsung sebagai bahan bakar gas rumah
tangga. Sebagai bahan bakar untuk generator listrik skala mikro atau, kebutuhan energi industri
kecil.

Kemampuan untuk membentuk metana sebagai produk utama metabolisme memainkan


peran penting dalam siklus karbon. Diperkirakan bahwa 58% metana dilepaskan ke atmosfir
sebagai hasil aktivitas manusia dihasilkan oleh pohon archae metanogenik (Houweling et al.,
2008). Contohnya,Fermentasi enterik pada ruminansia bertanggung jawab atas 37% emisi
metana atmosfer antropogenik (Patra, 2013). Karena metana adalah gas rumah kaca (24 kali
lebih efektif daripada karbon dioksida (Forster et al., 2007), emisinya mungkin memiliki
dampak signifikan pada ekosistem global. Substrat yang digunakan untuk pembentukan
metana meliputi karbon dioksida dan hidrogen, asam asetat (digunakan oleh anggota genera
Methanosaeta dan Methanosarcina) dan molekul yang mengandung metil-grup. Semua substrat
ini adalah produk dari pembusukan bahan organik; Dengan demikian, methanogenesis
biasanya merupakan tahap akhir dalam mineralisasi bahan organik pada kondisi anaerobik (jika
akseptor hidrogen lain seperti nitrat atau sulfat tidak ada). Karena pembentukan metana adalah
salah satu proses pemberian energi terendah yang dilakukan oleh organisme hidup
(Deppenmeier, 2002), metana mengandung sebagian besar energi yang terkandung dalam
substrat. Fakta ini membuat teknologi pencernaan anaerobik berhasil mentransformasi bahan
organik menjadi bahan bakar. Biogas mungkin diperoleh dari berbagai biomassa atau dari H2
+ CO2.

107
2. FAKTOR PENDUKUNG DAN PENGHAMBAT PENGEMBANGAN BIOGAS

Pemanfaatan limbah peternakan (feses, urine, sisa pakan) sebagai bahan baku biogas telah
banyak dilakukan di berbagai daerah terutama sentra peternakan sapi perah. Tangki biogas
yang digunakanpun bermacam-macam, mulai dari yang semi permanen sampai bentuk
permanen (menggunakan balon plastik sampai dengan kubah beton). Setiap rumah tangga
peternak yang memiliki dua ekor sapi perah dapat menghasilkan biogas yang dihubungkan
dengan kompor untuk keperluan masak.
Pengembangan biogas berhasil dilakukan di daerah sentra peternakan sapi perah,
mengingat adanya faktor pendukung yaitu peternak sapi perah umumnya anggota koperasi Unit
Desa yang menampung produksi susu dari peternak. Peternakan sapi perah membutuhkan
sanitasi yang benar. Untuk memperoleh susu yang memenuhi syarat SNI Tahun 2011 yaitu
dengan jumlah bakteri < 106 CFU/ml, perlu menjaga kebersihan sapi dengan cara dimandikan
setiap hari, sanitasi kandang, sanitasi ruang penyimpanan susu, sanitasi alat-alat pemerahan.
Apabila jumlah bakteri dalam susu melebihi 106 CFU/m, akan menyebabkan susu mudah
rusak. Demikian juga dengan limbah cair maupun padat (urine dan feses) harus segera
dibersihkan dan dikumpulkan untuk segera masuk ke dalam digester biogas. Biogas yang
berasal dari feses secara umum mengandung 55%-65% metana (CH4), 35%-45%
karbondioksida (CO2), dan <1% nitrogen (N2), sedangkan biogas yang berasal dari limbah
organik mengandung 60%-70% CH4, 30%-40% CO2 dan <1% N2, namun jika berasal dari
Tempat Pembuangan Akhir (TPA) umumnya mengandung 45%-55% CH4, CO2 sebanyak
30%-40% dan N2 sebesar 5%-15% (Jӧnsson, 2003). Secara khusus dalam jumlah kecil pada
biogas juga terkandung beberapa senyawa hidrogen sulfida (H2S), siloksan, aromatic, dan
halogen (Rasi, 2006).
Feses yang bertumpuk di dalam kandang mengandung mikroba dan mengeluarkan bau
yang dapat mengkontaminasi susu. Setiap pagi dan sore hari dilakukan pemerahan susu, hasil
pemerahan akan diserahkan ke koperasi. Kualitas susu menjadi dasar untuk menciptakan
suasana bersih di lingkungan peternakan sapi perah. Peternak yang dapat memanfaatkan
limbah padat sebagai bahan baku biogas, akan memperoleh energi untuk memasak, sehingga
dapat menghemat untuk kebutuhan energi. Faktor penghambat pengembangan biogas yaitu
belum ada bengkel khusus yang dapat membantu apabila digester biogas mengalami
kerusakan. Sampai saat ini beberapa digester biogas menjadi terbengkalai.
108
Budidaya sapi potong terus dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan protein hewani
asal daging sapi potong. Dampak dari pengembangan sapi potong yaitu bertambahnya limbah
peternakan, Pengembangan biogas di daerah peternakan sapi potong sulit dilakukan mengingat
pemeliharaan sapi potong kurang memperhatikan masalah sanitasi. Beberapa tahun terakhir
pengembangan sapi potong dilakukan melalui program Swasembada sapi potong dengan target
memenuhi kebutuhan daging sapi di masyarakat. Masyarakat diberi paket sapi lengkap dengan
fasilitas kandang, digester biogas serta kompor biogas untuk memenuhi energi di rumah tangga
peternak. Program sapi potong diberikan kepada kelompok masyarakat yang belum pernah
memelihara sapi. Sehingga pelatihan yang diberikan kurang bermanfaat, masyarakat
mengalami kesulitan penyediaan pakan dan pengelolaan limbah menggunakan digester.
Kesulitan air menjadi masalah utama saat memelihara sapi potong. Sebagaimana diketahui,
pemeliharaan sapi potong membutuhkan banyak air. Kekurangan air akan berdampak
penyumbatan dalam saluran digester. Penyumbatan akan menyebabkan terjadinya kerusakan
digester biogas yang pada akhirnya akan menjadi barang yang tidak berguna. Hambatan lain
yaitu operator tidak mempunyai kecakapan atau waktu agar sistem berjalan baik dan peternak
tidak memperoleh pelatihan dan support teknik sistemnya yang memadai

Proses Pembentukan Biogas

Biogas terbentuk melalui tiga tahap yang terdiri dari tahap hidrolisis, asidogenesis, dan
tahap terakir yaitu metanogenesis. Selama proses tersebut terbentuk berbagai macam gas
seperti CH4, CO2, air (H2O), H2S, N2, dan amonia (NH3) (Deublein dan Steinhauser, 2008).
Menurut Seadi (2014) pembentukan biogas terjadi melalui 4 tahap yaitu, hidrolisis,
asidogenesis, asetogenesis, dan metanogenesis yang berlangsung dalam kondisi anaerob.
Waktu yang diperlukan selama proses pembentukan biogas adalah 7-10 hari, pada suhu 35oC
dan pH 6,4 -7,9 (Prasetyo, 2011).
Hidrolisis merupakan tahap pertama dalam proses pembentukan biogas, dimana pada
tahap ini terjadi degradasi bahan organik polimer menjadi bahan organik yang lebih sederhana.
Bahan Organik komplek seperti karbohidrat, lemak, asam nukleat, dan protein dikonversi
menjadi glukosa, gliserol, purin, dan piridin. Mikroorganisme hidrolitic mengekresikan enzim,
sehingga proses degradasi senyawa polimer tersebut dapat terjadi. Lemak didegradasi menjadi
asam lemak dan gliserol oleh mikroorganisme penghasil enzim lipase, polisakarida menjadi

109
monosakarida dengan bantuan mikroorganisme penghasil enzim seperti selulase, cellubiase,
xylanase, dan amilase, sedangkan protein diubah menjadi asam amino oleh mikroorganisme
penghasil enzim protease (Seadi, 2014). Spesies bakteri yang terlibat dalam proses ini adalah
Clostridium aceticum, Bacteriodes ruminicola, Bifidobacterium sp, E. coli, Enterobacter sp,
Desulfurvibrio sp, Pseudomonas sp, Flavobacterium alkaligenes, dan Aerobacter (Bryant,
1976).
Asidogenesis merupakan tahap kedua setelah proses hidrolisis. Selama proses ini produk
hasil hidrolisis dikonversi oleh mikroorganisme asidogenik menjadi substrat untuk proses
metanogenesis. Glukosa, asam amino, dan asam lemak didegradasi menjadi asetat, CO2,
Hidrogen, Vollatile Fatty Acids (VFA) dan alkohol. Hasil dari proses asidogenesis yang tidak
bisa secara langsung dikonversi menjadi metana oleh mikroorganisme metanogenic diubah
menjadi substrat untuk metanogen dalam proses asetogenesis. VFA dengan rantai karbon lebih
dari dua dan alkohol dengan rantai karbon lebih dari satu, dioksidasi menjadi asetat dan H2
(Seadi, 2014). Mikroorganisme yang berperan pada proses asidogenesis diantaranya adalah
Lactobacillus sp dan Streptococcus sp, sedangkan yang berperan dalam proses asetogenesis
diantaranya adalah syntrophobacter sp, pelotomaculum sp (Boone dan Bryant, 1980;Chen,
2005, Harmsen, 1998;Wallrabenstein, 1995 dalam Sieber, 2010;Bryant, 1976).
Metanogenesis adalah tahap terakhir dalam proses pembentukan biogas, dimana 70%
metana dari volume total metana dalam biogas dibentuk dari degradasi asetat, sedangkan
sisanya dikonversi dari Hidrogen dan CO2 oleh mikroorganisme metanogenic. Proses
metanogenesis berlangsung lambat dan dipengaruhi oleh berberapa faktor seperti suhu dan pH.
Umumnya proses metanogenesis berjalan paralel dengan proses asetogenesis sebagai bentuk
simbiosis antara dua kelompok organisme, yaitu metanogenik dan asetogenik (Seadi, 2014).
Beberapa bakteri yang berperan dalam proses metanogenesis adalah methanobacterium.
methanobacillus, methanococcus, dan methanosarcina (Price dan Cheremisinoff, 1981).

Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Biogas

Efektivitas pembentukan biogas sangat dipengaruhi oleh ketersediaan mikroorganisme


anaerob. Pertumbuhan dan aktivitas mikroorganisme tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor
seperti ketiadaan O2 dalam digester, suhu, pH, amonia, Makro- Mikro nutrisi, senyawa racun,
dan konsentrasi VFA.

110
Proses pembentukan biogas berlangsung dalam suhu yang berbeda dan dibagi menjadi tiga
kelompok suhu, yaitu psychrophilic (<25oC), mesophilic (25oC-45oC), dan thermophilic (45oC-
70oC). Terdapat hubungan antara suhu saat proses pembentukan biogas dengan waktu yang
dibutuhkan untuk substrat dalam digester habis (retention time), yaitu sebagai berikut,

Tabel 9. 1 Kelompok Suhu dan Retention Time

Kelompok Suhu Suhu Minimum retention


time
Psychrophilic < 20oC 70 – 80 hari
Mesophilic 30oC - 42oC 30 – 40 hari
Thermophilic 43oC - 55oC 15 – 20 hari

Semakin rendah tingkat retention time yang dibutuhkan maka semakin cepat proses
pembentukan biogas, sehingga lebih efisien.
Penggunaan suhu thermophilic pada proses pembentukan biogas memiliki kelebihan
dibandingkan dengan penggunaan suhu mesophilic atau psychrophilic. Beberapa kelebihan
tersebut diantaranya adalah, efektif membunuh patogen, tingkat pertumbuhan metanogen lebih
tinggi, waktu retention time lebih rendah, proses degradasi bahan padat lebih baik, memisahkan
bagian padat dan cair lebih baik (Seadi, 2014).
pH merupakan nilai yang menunjukan tingkat keasaman atau alkalinitas dari suatu larutan.
Pada proses pembentukan biogas, pH mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme sehingga
nilai pH berpengaruh terhadap keanekaragaman dan populasi mikroorganisme pada reaktor
biogas (Baily dan Ollis, 1986). Aspek-aspek metabolisme pada mikroba seperti tingkat
penggunaan karbon dan sumber energi, kemampuan mendegradasi substrat, sintesis protein
dan mineral, serta proses pembuangan sisa hasil metobilesme sangat dipengaruhi oleh nilai pH
(Gottschalk, 1986). Nilai pH dapat meningkat seiring dengan jumlah amonia, sedangkan
keberadaan VFA akan menurunkan nilai pH. Nilai pH optimum pada proses pembentukan
biogas adalah antara 7,0-8,0.
Amonia merupakan senyawa penting dalam proses pembentukan biogas yang berasal dari
degradasi protein. Konsentrasi amonia yang tinggi pada proses pembuatan biogas dapat
menghambat laju pembentukan biogas. Beberapa mikroorganisme seperti metanogen juga
sesitif terhadap amonia. Normalnya konsentrasi biogas dalam digester harus dibawah 80 mg/l.
Semakin tinggi suhu pada proses pembentukan biogas maka semakin tinggi kandungan
amonianya
111
Mikronutrisi seperti besi, nikel, kobalt, selenium, dan molibdenum memiliki peranan
penting sebagai faktor pemicu pertumbuhan dan ketahanan mikroorganisme selama proses
pembentukan biogas, sama pentingnya dengan makronutrisi seperti karbon, nitrogen, fosfor,
dan sulfur (C:N:P:S) dengan rasio 600:15:5:1. Imbangan yang tidak seimbang antara makro
dan mikro nutrisi dapat menyebabkan proses pembentukan biogas terhambat. Faktor lainnya
yang mempengaruhi proses pembentukan biogas adalah kandungan senyawa racun. Senyawa
racun tersebut dapat timbul akibat bawaan dari bahan organik yang digunakan sebagai substrat
biogas atau terbentuk selama proses pembentukan biogas (Seadi, 2014).

3.PEMANFAATAN BIOGENIK BATUBARA

Batu bara merupakan batuan heterogeneous komplek dengan sifat fisik dan kimia yang
bervariasi. Batu bara tersusun atas kandungan bahan organik dan anorganik. Kandungan
organik batubara terdiri dari karbon, oksigen, hidrogen, dan sulfur. Kandungan karbon batu
bara adalah 65%-95% dan meningkat seiring proses pembentukan batu bara yang diiringi
dengan penurunan kadar oksigen dan hidrogen sekitar 2%-30% dan 2%-7%, sedangkan
kandungan nitrogen dan sulfur hanya sekitar 1%-4% (Takanohashi, 2009).
Sarsono (2008) menjabarkan bahwa proses pembentukan batubara atau coalification
terjadi melalui dua tahap, yaitu tahap biokimia atau proses penggambutan dan tahap geokimia
atau proses pembatubaraan. Tahap penggambutan (peatification) adalah tahap dimana sisa
tumbuhan terakumulasi di daerah rawa dalam keadaan tergenang air sekitar 0,5 m – 10 m,
kemudian membusuk menjadi humus dan oleh bantuan mikroorganisme diubah menjadi
gambut. Tahap pembatubaraan (coalification) adalah gabungan proses biologi, kimia, dan
fisika yang terjadi karena pengaruh pembebanan oleh sedimen diatasnya, suhu, tekanan, dan
waktu terhadap bahan organik dari gambut. Proses tersebut akan menghasilkan batu bara yang
berbeda berdasarkan tingkat kematangannya atau coal rank, mulai dari lignit, sub bituminus,
bituminus, semi antrasit, antrasit, dan meta antrasit.
Proses pembentukan GMB terjadi melalui beberapa tahap. Pada tahap awal pembentukan
batu bara, metana biogenic terbentuk dari by-product respirasi mikroba. Mikroba aerobic
terlebih dahulu berperan dengan memanfaatkan oksigen tersisa pada sisa tanaman dan sedimen.
Setelah oksigen habis, mikroba anaerob mulai bekerja dan menghasilkan metana melalui

112
konversi CO2 dan degradasi kandungan organik pada batu bara (Rice dan Claypool, 1981
dalam Pratama,2012).
Kandungan gas di dalam batu bara bertambah dengan tambahan tingkat kekerasan batu
bara yang berhubungan dengan tingkat kematangan batu bara. Sedangkan nilai permeabilitas
akan menurun seiring dengan penambahan tingkat kekerasan batu bara. Pori-pori adalah
bagian dari total volume batu bara yang dapat diisi oleh fluida. Pori-pori batu bara digolongkan
oleh ukuran macropores (>500Å), mesopores (20-500Å), dan micropores (8-20Å). Volume
dan ukuran pori-pori akan susut seiring dengan bertambahnya tingkat kematangan batu bara.
Sebagian besar macropores terisi oleh air, gas bebas, dan gas terlarut dalam air. Pada struktur
micropores kapasitas laju air dan permeabilitas rendah, sedangkan pada cleat kapasitas laju air
dan permeabilitas lebih besar oleh karena itu batu bara adalah reservoir yang mempunyai
sistem porositas rangkap (Sarsono, 2008).

Prospek Pemanfaatan Gas Biogenik

Pemanfaatan sumber daya gas biogenik di perairan dangkal dan kawasan pesisir sebagai
salah satu sumber energi baru alternatif masih belum sampai pada tahap komersialisasi.
Walaupun gas biogenik termasuk salah satu sumber energi alternatif yang sangat murah, bersih
lingkungan dan mudah dikelola sehingga cocok untuk dikembangkan bagi masyarakat di
kawasan terpencil, tetapi pemanfaatannya masih dalam skala rumah tangga.

Hasil pemetaan PPPGL sejak tahun 1990-an, memperlihatkan bahwa sepanjang


kawasan perairan pantai utara Jawa, pantai selatan Kalimantan, pantai timur Kalimantan, dan
pantai timur Sumatra merupakan kawasan yang potensial sebagai sumber gas biogenik, karena
memiliki sejarah geologi pembentukan sedimen sungai dan rawa purba yang mirip dengan
terbentuknya gas biogenik di muara Sungai Hangzhou dan Yangtze.

Di Cina, sebagaimana laporan Qilun (1995), gas biogenik ini telah dimanfaatkan oleh
masyarakat pesisir sebagai bahan bakar rumah tangga dan industri kecil, terutama di muara
Sungai Yangtze. Umumnya, dari satu sumur gas di kawasan ini dapat dieksploitasi 5.000 m 3
gas per hari dengan tekanan maksimum 6,1 kg/cm2. Namun demikian, perkiraan harga (unit
cost) skala komersialnya masih belum bisa dihitung, karena infrastruktur pemboran dan
pipanisasi gas ini ke rumah-rumah secara langsung ditanggung oleh pemerintah Cina.

113
Di Indonesia sendiri, pemanfaatannya hanya sebatas rumah tangga. Di Desa
Kedundung (Banjarnegara, Jawa Tengah), gas biogenik ini sudah lama dikenal masyarakat,
tetapi pemanfaatannya masih terbatas karena keterbatasan pengetahuan masyarakat.
Umumnya, masyarakat memanfaatkan gas biogenik ini pada kompor gas rumah tangga secara
sederhana. Di Desa Mundak Jaya, Kec. Cikedung (Indramayu, Jawa Barat), gas biogenik juga
dimanfaatkan masyarakat pesisir untuk kepentingan rumah tangga. (Subaktian Lubis. 2015).

Secara khusus PPPGL telah memberikan penyuluhan penggunaan gas biogenik


setempat secara efisien dan aman. Selain itu, juga telah disosialisasikan penggunaan kompor
gas sederhana (kompor gas elpiji biasa) dengan cara memodifikasi sistem spuyer pembakaran
yang dan disesuaikan dengan tekanan gasnya. Dengan demikian, api pembakaran akan lebih
sempurna dan menghasilkan api berwarna biru. Diproduksinya generator listrik skala kecil oleh
Cina dan Australia yang khusus berbahan bakar metana, telah membuka peluang untuk
memanfaatkan gas biogenik untuk dikonversikan menjadi energi listrik. Diperkirakan dari satu
lubang bor gas biogenik dengan tekanan 3 kg/m2 dan kandungan >95% metana, akan
menghasilkan listrik antara 0,5 – 3,0 KWh, cukup untuk konsumsi 2-3 rumah tangga di
kawasan pedesaan.

4. MANFAAT BIOGAS ASAL LIMBAH TERNAK DAN BATUBARA SEBAGAI


SUMBER ENERGI BERSIH DAN TERJANGKAU

Tujuan SDGs No. 13 yaitu Penanganan perubahan iklim. Mengambil langkah penting
untuk melawan perubahan iklim dan dampaknya. Aktivitas mikroba anaerob memberikan
kontribusi terhadap perubahan iklim, karena menghasilkan gas. Proses fermentasi yang
dilakukan oleh bakteri anaerob yaitu memanfaatkan bahan organik sebagai sumber energi,
sumber karbon, dan elektron aseptor terakhir pada respirasinya dalam digester menghasilkan
gas metana, CO2 dan N2O. Pemanfaatan batubara secara biologi melalui simbiose
mikroorganisme, menghasilkan gas yang lebih ramah lingkungan dibandingkan pembakaran
batubara karena produksi N2O dalam konsentrasi kecil (ppm). Kemampuan tersebut dapat
dimanfaatkan sebagai agen bioremediasi di alam. Mikroba asal feses ternak dapat bersimbiose
dengan biogenik batubara. Penggunaan batubara dalam digester biogas dengan inokulum asal
limbah ternak, dapat mempertahankan jumlah bakteri anaerob > 10 10 selama beberapa bulan.

114
Inokulum bakteri asal limbah ternak dapat bersimbiose dengan bakteri asal batubara dan dapat
bertahan hidup dalam media batubara. Fermentasi dalam digester biogas dengan inokulum
mikroba asal limbah ternak dengan media yang ditambahkan batubara akan menghasilkan gas
CH4, H2, CO, CO2, O2, dan N2O yang ditampung atau dialirkan langsung ke kompor, Hasil
pembakaran gas metana di udara dengan reaksi sebagai berikut :

CH4 + 2O2 CO2 + 2H2O.


Berdasarkan reaksi tersebut dapat dikatakan sebagai sumber energi bersih, karena CO2 akan
dimanfaatkan oleh tanaman.
Beberapa contoh bakteri anaerob adalah ruminococcus sp, fibrobacter succinogenes, dan
Clostridium thermocellum yang diketahui terdapat pada rumen ruminansia. Metanogen
merupakan mikroorganisme yang memproduksi metana sebagai akhir dari proses respirasi
mereka. Metanogen memiliki tiga ciri utama yaitu, obligat penghasil metana yang
menghasilkan metana dalam kuantitas tinggi selama proses pertumbuhan, bagian dari archaea
yang termasuk kedalam filum euryarchaeota, dan bersifat anaerob mutlak. Metanogen hanya
dapat memanfaatkan jenis substrat tertentu untuk memproduksi metana. Substrat tersebut
terbagi menjadi tiga kelompok yaitu, CO2+H2 dan format, komponen methyl, dan asetat.
Kelompok tersebut masing-masing diklasifikasikan menjadi hydrogenotrophs, methylotrophs,
dan acetotrophs. Komponen organik pada umumnya seperti karbohidrat, protein, asam lemak
rantai panjang dan alkohol bukan merupakan substrat untuk metanogen, terkecuali beberapa
jenis hydrogenotrophs yang dapat memanfaatkan alkohol sekunder seperti, 2-propanol, 2-
butanol, dan cyclopentanol sebagai elektron (Bleicer, 1989; Frimmer dan Widdel, 1989;
Widdel, 1986; Widdel 1988 dalam Liu, 2010).
Sampai saat ini metanogen diklasifikasikan kedalam lima ordo yaitu, methanobacteriales,
methanococcales, methanomicrobiales, methanosarcinales, dan methnanopyrales (Whitman,
2001, 2006 dalam Liu, 2010). Metanogen hidup dalam lingkungan yang anaerob seperti
lapisan sedimen laut atau sungai, tumpukan tanah, sistem pencernaan manusia dan hewan,
digester anaerob, atau di tempat anaerob lainnya (Liu dan Whitman, 2008). Pada lingkungan
alamiah metanogen, elektron aseptor seperti O2, NO3-, Fe3+, dan SO24- jumlahnya terbatas. Pada
saat elektron aseptor selain CO2 tersedia maka metanogen akan terlepas dari kompetisi dengan
mikroba lainnya yang memanfaatkan elektron aseptor tersebut.

115
Suhu optimum untuk methanobacteriales adalah 20 oC - 88 oC dengan pH 5,5-9.
Methanobacteriales memanfaatkan H2 untuk mereduksi CO2 menjadi metana, kecuali genus
methanosphaera yang menggunakan H2 untuk mereduksi metanol. Beberapa
methanobacteriales juga dapat memanfaatkan format, CO, atau alkohol sekunder sebagai
elektron aseptor. Beberapa spesies tumbuh secara autotrophically memanfaatkan CO2 sebagai
sumber karbon tunggal dan beberapa spesises lainnya merupakan heterotrophs yang
membutuhkan asetat, asam amino, pepton, yeast extract, B-vitamins, dan atau cairan rumen
untuk tumbuh.

SIMPULAN
Biogas dengan bahan baku limbah organik peternakan dan media batubara dapat
menjadi sumber energi terbarukan, sebagai bahan pengganti energi yang berasal dari fosil.
Teknologi biogas merupakan pilihan yang tepat untuk merealisasikan tujuan SDGs No 7 dan
No. 13 mengubah limbah organik peternakan dan batubara untuk menghasilkan energi yang
mudah dijangkau dan memanfaatkan gas yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan iklim.

DAFTAR PUSTAKA

Baily, JE. Ollis D.F. 1986. Biocemical Engineering Fundamental. Second ed. McGraw-Hill,
Newyork.

Bryant, W.C. 1976. The Microbiology of Anaerobic Degradation and Methane Genesis with
Special Reference G Schiegel and J. Bornea. Institute of Gottingen Federal Republic of
Germany.

Iftikhar A Raja and Shabir Wazir 2017. Biogas Production: The Fundamental Processes.
Universal Journal of Engineering Science5(2): 29-37,

Kemenetrian Energi dan Sumber Daya Mineral. 2015. Rencana Strategis Kementerian Energi
dan Sumber Daya Mineral 2015-2019. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral,
Jakarta.

______ . 2005. Potensi CBM Cukup Besar dan


Siap Dimanfaatkan. www.esdm.go.Id/index. Php .Option .com. content & task.
view&id.336&itemid.95. diakses pada hari Selasa, 10 Januari 2015 pukul 09.19 WIB.

Krzysztof, Zieminski., Magdalena Frac. 2012. Methane Fermentation Process as Anaerobic


Digestion of Biomass: Transformations, Stages, and Microorganism. African Journal of
Biotechnology Vol. 11(18), pp. 4127-4139.

116
Kusuryani, Yanni dan Kosasih. 2015. Medium Rumen untuk Meningkatkan Produksi Gas
Metana Batubara. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas
Bumi, LEMIGAS. M7E, Vol. 13, No. 1, Maret 2015.

Liu, Y. 2010. Taxonomy of Metanogens dalam K.N Timmis (ed). Handbook of Hydrocarbon
and Lipid Microbiology. Springer-Verlag Berlin Heidelberg.

Liu, Y., Whitman WB. 2008. Metabolic, Phylogenetic, and Ecological Diversity of The
Metanogenic Archaea. Ann N Y Acad Sci 1125: 171–189

Prasetyo, S.D. 2011. Biogas sebagai Energi Alternatif Terbarukan. Semarang: Jurusan Teknik
Elektro Polines.
Pratama, Byan Muslim. 2012. Estimasi Potensi Kapasitas Adsorpsi Gas Metana Pada
Babubara Berdasarkan Kelas Batubara. Skripsi Fakultas Teknik-Teknik Kimia
Universitas Indonesia. Depok.

Price, E.C. dan P.N. Cheremisinoff. 1981. Biogas Production and Utilization. Michigan: Ann
Arbor Science Publishers inc/The Butterworth Group

Rasi, A. Veijanen, J. Rintala. 2006. Trace Compounds of Biogas from Different Biogas
Production Plants. Jurnal of Energy 32 (2007) 1375-1380.
Sarsono, Arsin. 2008. Kajian Keekononian Pengembangan Lapangan Gas Metana-B dengan Mempertimbangkan Manajemen Pengelolaan
Air Terproduksi. Skripsi Fakultas Teknik-Teknik Kimia Universitas Indonesia, Depok

Seadi, T.A. 2008. Handbook of Biogais. University of Southern Denmark Esbjerg, Niels Bohrs
Vej 9-10, DK-6700 Esbjerg, Denmark. (http://lemvigbiogas.com/ 25 Mei 2017 pukul
08.32 WIB)

Subaktian Lubis. 2015. Gas Biogenik Sebagai energi migas nonkonvensional. Artikel
Geologi Populer. GeoMagz

Jӧhnsson O, Polman E, Jensen JK, Eklund R, Schyl H, Ivarsson S. 2003.


Sustainable Gas Enters The European Gas Distribution System. Danish
Gas Technology Center.

Takanohashi T. 2009. Coal Structure and Properties. Coal,Oil, Shale, Natural Bitumen, Heavy
Oil and Peat, Vol.1.

117
118
Memperkuat UMKM Indonesia

Oleh : Ina Primiana Febri Mustika Soeharsono

Menurut menteri KUKM, jumlah UMKM di Indonesia saat ini adalah 61 juta. Hampir
setiap negara memiliki UMKM hingga 99% dari jumlah usaha yang ada seperti di Indonesia,
hanya sedikit negara yang jumlah UMKMnya berjumlah 97% antara lain Malaysia dan
Vietnam. UMKM di Indonesia menyerap jumlah tenaga kerja sebanyak 97,2 juta dan
berkontribusi terhadap PDB > 57%, lebih besar dari kontribusi Usaha besar dan terbesar di
seluruh negara-negara di Asia. Hanya bila melihat pada produk UMKM yang sudah melakukan
ekspor baru 15,4% persen terkecil diantara Negara Asia lainnya. Artinya produk UMKM tidak
mampu bersaing untuk masuk ke pasar global. UMKM terdiri dari Industri Kecil Menengah
(IKM), jasa-jasa industri, petani, nelayan, peternak, dengan memperkuat UMKM maka
kebutuhan 2% wirausaha yang menjadi program pemerintah sudah terjawab.

UMKM di Indonesia belum berperan banyak sebagai pemasok Usaha/Industri besar.


Dibandingkan dengan beberapa negara Asean lainnya persentase memiliki share yang paling
kecil, hanya sekitar 6,3% bandingkan dengan Malaysia yang mencapai 46,2%. Indonesia juga
kalah dibandingkan Philipina. Idealnya UMKM dapat menjadi pemasok bagi usaha/industri
besar. Menurut data BPS Industri besar sedang (IBS) dan IKM yang tumbuh dan serumpun
tidak lebih dari 40%, padahal industri besar terkadang kesulitan bahan baku dan harus impor
padahal bahan baku yang dibutuhkan tersedia /dapat diproduksi di dalam negeri oleh UMKM,
dan ini dapat menekan beban biaya logistik dan harga bersaing.

Berdasarkan laporan Doing Business tahun 2018, Indonesia berada pada peringkat 72
dalam melakukan bisnis tahun ini, membaik 19 poin dibandingkan tahun pada 2017. Indonesia
berada dibawah Malaysia (24), Thailand (26) dan Vietnam (68) tapi lebih baik dari China (78),
India (100) dan Philipina (113). Semakin baik peringkatnya maka Distance to Frontier lebih
mendekati 100, misalnya DTF Indonesia 66,47 dan Malaysia 78,43 seperti yang ditunjukkan
pada tabel 10.1 di bawah. Doing Business menyoroti mudah atau sulitnya pengusaha
lokal/UMKM menjalankan usaha dengan menunjukkan dua ukuran yaitu peringkat kemudahan
berbisnis dan jarak ke garis depan (Distance to Frontier).

119
Tabel 10. 1 Peringkat Kemudahan Berbisnis dan Distance to Frontier

No Negara Peringkat DTF


1 Indonesia 72 66.47
2 Malaysia 24 78.43
3 Thailand 26 77.44
4 China 78 65.29
5 India 100 60.76
6 Vietnam 68 67.93
7 Philipina 113 58.74
Sumber : Doing Business 2018
Keterangan : Peringkat dari 190 negara, DTF 0-100

Saat ini 60% dari UMKM yang ada belum memiliki legalitas usaha, mayoritas usaha
mikro dan merupakan sektor informal. Menurut data BPS jumlah sektor informal berjumlah
57% , ini menunjukkan dari 99% UMKM dan 57% diantaranya adalah sektor informal yang
belum memiliki legalitas. Perijinan memulai usaha di Indonesia masih menjadi hambatan bagi
UMKM, hal ini disebabkan karena jumlah prosedur yang harus dilewati, lamanya waktu dan
biaya yang dikeluarkan. Bila memperhatikan laporan Doing business 2018 prosedur perijinan
di Indonesia tidak terlalu buruk dibandingkan Negara lainnya, tetapi kenyataanya cukup besar
UMKM yang belum memiliki legalitas usaha, untuk memulai bisnis di Indonesia memerlukan
11 prosedur, dengan waktu antara 11-22 hari dan biaya 10,9% dari Income per capita. Diantara
Negara Asean, Thailand yang jumlah prosedur dan waktunya terkecil yaitu 5 prosedur dan 4,5
hari. China, Malaysia dan Vietnam memiliki prosedur yang lebih kecil dari Indonesia yaitu 7
prosedur, 8,5 prosedur, 9 prosedur dengan waktu yang tidak jauh berbeda dengan Indonesia
yaitu diantara 11-22 hari. Adapun biaya yang dikeluarkan untuk memulai bisnis, China
memiliki biaya terkecil yaitu 0,6% diikuti berturut turut oleh Malaysia 5,4%, Thailand 6,2%
dan Vietnam 6,5%.

Tabel 10.2 berikut menunjukkan lima faktor penghambat utama dalam menjalankan
bisnis di Indonesia posisinya bergantian dari tahun 2014-2017, korupsi terus berada pada posisi
no 1 dan diikuti oleh inefisien birokrasi di posisi ke 2 yang tidak berubah sejak tahun 2015,
faktor penghambat lainnya adalah inflasi, akses permodalan, keterbatasan infrastruktur dan

120
ketidakstabilan kebijakan.. Hambatan-hambatan ini tentunya berpengaruh terhadap daya saing
industri dalam negeri dan UMKM. Pada competitiveness index 2017 , Irregular payments and
bribes di Indonesia berada pada peringkat 75 dari 137 negara, berada dibawah Malaysia (39)
dan Thailand (72) tetapi lebih baik dari Vietnam (109) dan Philipines (118).

Tabel 10. 2 Faktor Penghambat Utama menjalankan bisnis di Indonesia

No
2014 2015 2016 2017
.

1 Corruption Corruption Corruption Corruption

Inefficient Inefficient Inefficient


Access to
2 Government Government Government
Financing
bureaucracy bureaucracy bureaucracy

Inadequate Inadequate
Access to
3 Inflation Supply of Supply of
Financing
Infrastructure Infrastructure

Inefficient Inadequate
Policy Access to
4 Government Supply of
Instability Financing
bureau cracy Infrastructure

Inadequate
Access to Policy
5 Supply of Inflation
Financing Instability
Infrastructure
Sumber : Global Competitiveness Index 2014-2017

Tabel 10.3 berikut menunjukkan sebagian dari program yang dimiliki pemerintah bagi
UMKM yang bernilai triliunan dan bersifat nasional, belum termasuk Bank Indonesia, Otoritas
Jasa keuangan, kementerian diluar kementerian KUKM dan perusahaan swasta yang memiliki
program bagi UMKM. Bila melihat pada kinerja UMKM yang mayoritas usaha mikro jalan
ditempat, informal dan belum memiliki legalitas usaha maka efektivitas dari program belum
sepenuhnya berhasil. Ambil contoh KUR, laporan Bank Indonesia menyebutkan penyebab
masalah dalam penyaluran KUR adalah: (1) Sosialiasi kepada masyarakat masih kurang; (2)
Suku bunga KUR masih dirasakan cukup tinggi , (3) Keterlambatan pembayaran klaim dari
Lembaga Penjamin, (4) Kesulitan mencari debitur yang sesuai dengan kriteria dan persyaratan,
(5) Terdapat dispute terhadap beberapa ketentuan KUR.
121
Tabel 10. 3 Beberapa Program UMKM di tingkat Nasional

Jenis Jumlah K/L yang


No Sejak Dana/ Bung Lembaga
Progr Target Besaran Persyaratan Mengeluark
. Tahun a Penyalur
am tahun an
1 PKBL 2003 3% Usaha Kecil < 200 jt 3% BUMN Memiliki kekayaan Kementerian
darilaba bersih ≤ 500 jt, BUMN
BUMN hasil penjualan ≤
2.5 M. Belum
bankable, Usaha >
1 tahun
2 LPDB 2006, 1.5 T 120.292 ≥ 150 jt 9% LPDB Membuat Proposal Kementerian
disemp UKM untuk & 5 Jaminan KUKM
urnaka melalui 586 Koperasi (Personal
n 2013 Mitra dan 250 Guarantee,fidusiapi
jt UKM utang, Cash
Collateral, Fixed
Asset & Lembaga
Penjamin
3 KUR 2007 100 T UMKM s/d 500 jt 9% BRI, BNI, Berbeda di setiap KemenkoEko
(pedagangpas BTN, bank/lembagapenya nomi,
ar, produsen) Mandiri, lur kementeriank
BSM, euangan,
Bukopin & Kementerian
LKM, KUKM
Koperasi
4 Ultra 2017 1.5 T 300.000 ≤ 10 jt 2– Pegadaian, Identitas, Ijin Kementerian
Mikro Pengusaha 4% PNM, Usaha, Legalitas, KUKM
(UMI) Ultra Mikro Bahana Lap. Keuangan,
Artha Proposal
Ventura
5 Bantua 2017 15.6 M 1200 10-13 jt - Kementeria Memiliki KUKM
nbagiS Wirausaha nKUKM rintisanusaha,
tartup IUMK, NPWP,
SLTP,usia<45
tahun
Sumber: Berbagai sumber

Hal utama yang menyebabkan tidak efektivitasnya program juga disebabkan tidak
dimilikinya data base terintegrasi yang dapat memberikan informasi tentang UMKM
khususnya tentang prospek, pembinaan /bantuan yang pernah diterima, kebutuhan pembinaan
/bantuan berikutnya, sehingga dapat dibuat kelas-kelas sesuai dengan kapasitas dan kualitas
UMKM. Bila dikaitkan dengan kredit yang disediakan pemerintah, dalam beberapa tahun

122
terakhir kredit UMKM yang tersalurkan tidak lebih dari 20% . Tabel 10.4 berikut
menunjukkan pada tahun 2015 hingga 2017 terjadi peningkatan kredit UMKM meskipun tidak
terlalu signifikan masih berkisar Rp 900 milyar dari total kredit perbankan sebesar Rp 4,5
Triliun. Adapun kredit yang disalurkan pada UMKM mayoritas digunakan untuk kredit modal
kerja bukan kredit investasi seperti yang ditunjukkan pada table 4 berikut:

Tabel 10. 4 Jenis Kredit UMKM

Jenis kredit UMKM 2015 2016 2017 Tw1


Kredit Modal Kerja Rp605,284.50 Rp 660,584.80 Rp 676,222.80
Kredit Investasi Rp225,371.60 Rp 239,805.00 Rp 232,720.20
Total Kredit UMKM Rp 830,656.10 Rp 900,389.80 Rp 908,943.00
Total Kredit Perbankan Rp 4,176,443.03 Rp 4,505,788.10 Rp 4,516,386.40
% kredit UMKM 0.198890788 0.199829593 0.2012545
Sumber: Bank Indonesia, 2017
Berdasarkan lapangan usaha, UMKM di sektor perdagangan dan eceran merupakan
sektor dengan jumlah kredit terbesar atau 73,57% dari total kredit keseluruhan, diikuti oleh
sektor industri pengolahan dan sektor pertanian masing-masing sebesar 14,41% dan 12,02%.
Hal ini tidak berbeda dengan kondisi perekonomian nasional yang didukung oleh tiga sektor
utama tersebut , walaupun kontribusinya terus menurun (Tabel 10.5).

Tabel 10. 5 Kredit UMKM berdasarkan Lapangan Usaha

JumlahKredit
Sektor UMKM (Milyar) %
Perdagangan besar danEceran Rp476,850.9 73,57%
IndustriPengolahan Rp93,373.6 14,41%
Pertanian Rp77,940.5 12,02%
Rp648,165.0
Sumber : Bank Indonesia, 2017
Meskipun terjadi kesesuaian antara kredit yang disalurkan pada UMKM dengan tiga
sektor utama, tetapi bila ditinjau lebih dalam lagi khususnya untuk industri pengolahan, hanya
40% dari jenis industri besar dan sedang (IBS) yang tumbuh sesuai dengan jenis industri kecil
mikro (IKM) yang tumbuh. Hal ini menunjukkan tidak terjadinya linkage antara IBS dan IKM,
IKM yang tumbuh bukan karena adanya demand dari IBS atau IKM dan IBS masih berjalan
sendiri-sendiri tidak saling terkait satu sama lain. Pada triwulan III 2017 IBS yang tumbuh
antara lain Industri Logam Dasar (11,97%), Industri Makanan (9,24%), Industri Bahan Kimia
dan Barang dari Bahan Kimia (9,30%) dan Industri Barang Logam, Bukan Mesin dan
123
Peralatannya (8,82%), adapun IKM yang tumbuh industri komputer, barang elektronika dan
optik (35,99%), Industri bahan kimia dan barang dari bahan kimia (24,56), Industri kertas dan
barang dari kertas (19,97%). Pertumbuhan IKM > pertumbuhan IBS. Di IKM pertumbuhan
bisa mencapai > 20%, adapun di IBS hanya <10%. Jadi pertumbuhan di IKM jauh lebih cepat
dibandingkan IBS.

Penyaluran kredit UMKM mayoritas berada di Pulau Jawa (53%), tertinggi berada di
DKI Jakarta (14%) dan diikuti oleh Jawa Tengah (14%), Jawa Barat (13%) dan Jawa Timur
(12%). Sisanya tersebar di seluruh provinsi di Indonesia. Berbeda dengan kredit, pertumbuhan
IBS tertinggi tidak berada di pulau Jawa tetapi di Lampung (17,86%) Bengkulu (10,70),
Sumatera Barat (9,68), Kepulauan Riau (9,36), Jambi (8,97), demikian pula dengan IKM
pertumbuhan tertinggi berada di Kalimantan Tengah (31,41%), Aceh (28,93%), Maluku Utara
(28,88%), Kalimantan Utara (27,49%) dan Nusa Tenggara Timur (26,59). Memperhatikan hal
tersebut maka meskipun penyaluran kredit berada di pulau Jawa, tapi pertumbuhan IBS
bergerak kearah Sumatra dan IKM bergerak ke Indonesia Timur, hal ini terjadi antara lain
disebabkan oleh mahalnya biaya-biaya yang harus dikeluarkan di pulau Jawa, seperti biaya
lahan, upah tenaga kerja dll.

Tabel 10. 6 Provinsi dengan % kredit tertinggi

Provinsi JumlahKredit %
DKI Jakarta 127,568 0.14
Jawa Tengah 126,346.70 0.14
Jawabarat 122,103 0.13
JawaTimur 107,560 0.12
Total Kredit UMKM
Nasional 908,943
Sumber: Bank Indonesia, 2017
Penutup

Dari uraian diatas tercermin bahwa UMKM di Indonesia memiliki potensi yang sangat
besar untuk menggerakkan ekonomi, tetapi dengan beberapa hambatan yang dihadapi,
menjadikan UMKM masih jalan ditempat, masih perlu mendapatkan perhatian lebih bila ingin
naik kelas. Banyak program yang terkait pengembangan UMKM tetapi kenyataannya belum
ada perubahan yang signifikan. Hal lain adanya era Disruptive yang akan mempengaruhi bisnis
UMKM agar dapat terus bertahan antara lain disruptive innovation, disruptive marketing,

124
disruptive culture, disruptive mind set. UMKM di Indonesia yang berjumlah 61 juta tentunya
tidak terlepas dari era Disruptive yang menggempur ke bisnis apapun dengan tidak memandang
ukuran perusahaan dan lama berdiri. Bagaimana pemerintah dapat mempersiapkan UMKM
mampu menghadapi perubahan? Untuk menghadapi tantangan tersebut maka perlu ada
perlindungan pada UMKM seperti yang dilakukan oleh Negara lain, sehingga UMKM dapat
lebih fokus mengembangkan bisnisnya tanpa terganggu oleh kekhawatiran akan pasar yang
tidak menentu, akibat kurangnya berpihakkan pada UMKM untuk melindungi produk UMKM.
Indonesia selama ini kurang memanfaatkan Non Tariff Measures (NTM) yang diperbolehkan
oleh WTO utk melindungi produk dalam negeri. Jenis NTM antara lain SPS, TBT, AD, Safe
Guards dll yang dapat diterapkan untuk berbagai jenis produk. Negara lain bahkan
menggunakan NTM secara berlapis untuk melindungi produknya.

Daftar Pustaka

Bank Indonesia : Perkembangan Kredit UMKM April 2017

Web Kementerian KUKM

Web Kementerian Koordinator Ekonomi

World Economic Forum: Global Competitiveness Index , 2017

World Bank : Doing Business 2018

125
Peran Penta Helix dalam Mendukung Pencapaian Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan (Sustainable Development Goals) dalam Dimensi Lingkungan Hidup

Oleh : Ernie Tisnawati Sule

Keyword: Sustainable Development Goals, Tujuan Pembangunan Berkelanjutan,


Lingkungan, Penta Helix

Tentang SDGs
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (disingkat TPB) atau dalam bahasa Inggris
dikenal sebagai Sustainable Development Goals disingkat dengan SDGs adalah sebuah
resolusi PBB yang ditandatangani pada tangga 21 Oktober 2015 yang mencantumkan 17 tujuan
pembangunan dunia dengan 169 capaian yang terukur dan tenggat yang telah ditentukan
oleh PBB sebagai agenda dunia pembangunan untuk kemaslahatan manusia dan
planet bumi . Tujuan ini dicanangkan bersama oleh negara-negara lintas pemerintahan pada
resolusi PBB yang diterbitkan pada 21 Oktober 2015 sebagai ambisi pembangunan bersama
hingga tahun 2030. Tujuan ini merupakan kelanjutan atau pengganti dari Tujuan
Pembangunan Milenium (Milenium Development Goals) yang ditandatangani oleh pemimpin-
pemimpin dari 189 negara sebagai Deklarasi Milenium di markas besar PBB pada tahun 2000
dan tidak berlaku lagi sejak akhir 2015.

Agenda pembangunan berkelanjutan yang baru dibuat untuk menjawab tuntutan


kepemimpinan dunia dalam mengatasi kemiskinan, kesenjangan, dan perubahan iklim dalam
bentuk aksi nyata. Konsep Tujuan Pembangunan Berkelanjutan lahir pada Konferensi
Pembangunan Berkelanjutan PBB, Rio+20, pada 2012 dengan menetapkan rangkaian target
yang bisa diaplikasikan secara universal serta dapat diukur. Konsep Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan mengintegerasikan dan menyeimbangkan tiga dimensi pembangunan, yakni (1)
sistem lingkungan, (2) sistem sosial, dan (3) sistem ekonomi (Barbier, Burgess, Edward
Barbier, & Edward Barbier, 2017). Ketiga dimensi diatas bersifat saling mendukung, terkait
satu sama yang lain dan tidak berupa pilar. Dalam konsep SDGs, pembangunan ekonomi tidak
boleh menyebabkan kerusakan lingkungan, pembangunan pada dimensi ekonomi juga harus
selaras dan berdampak positif terhadap peningkatan dimensi sosial.
126
Agenda 2030 terdiri dari 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) atau Tujuan
Global, yang akan menjadi tuntunan pembuatan kebijakan dan pendanaan untuk 15 tahun ke
depan (2030) bagi negara-negara yang menyepakatinya. Adapun ke tujuh belas tujuan global
dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan tersebut adalah:

1. Pengentasan segala bentuk kemiskinan di semua tempat.


2. Mengakhiri kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan perbaikan nutrisi, serta
menggalakkan pertanian yang berkelanjutan.
3. Menggalakkan hidup sehat dan mendukung kesejahteraan untuk semua usia.
4. Memastikan pendidikan berkualitas yang layak dan inklusif serta mendorong
kesempatan belajar seumur hidup bagi semua orang
5. Mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan semua perempuan
6. Menjamin akses atas air dan sanitasi untuk semua.
7. Memastikan akses pada energi yang terjangkau, bisa diandalkan, berkelanjutan dan
modern untuk semua.
8. Mendorong pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dan inklusif, lapangan pekerjaan dan
pekerjaan yang layak untuk semua.
9. Membangun infrastruktur kuat, mempromosikan industrialisasi berkelanjutan dan
mendorong inovasi.
10. Mengurangi kesenjangan di dalam dan di antara negara-negara.
11. Membuat perkotaan menjadi inklusif, aman, kuat, dan berkelanjutan.
12. Memastikan pola konsumsi dan produksi yang berkelanjutan
13. Mengambil langkah penting untuk melawan perubahan iklim dan dampaknya.
14. Pelindungan dan penggunaan samudera, laut dan sumber daya kelautan secara
berkelanjutan
15. Mengelola hutan secara berkelanjutan, melawan perubahan lahan menjadi gurun,
menghentikan dan merehabilitasi kerusakan lahan, menghentikan kepunahan
keanekaragaman hayati.
16. Mendorong masyarakat adil, damai, dan inklusif
17. Menghidupkan kembali kemitraan global demi pembangunan berkelanjutan

127
Gambar 11. 1 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan
Sumber: http://www.un.org/sustainabledevelopment/sustainable-development-goals

Ketujuhbelas Tujuan diatas, dirinci lebih lanjut dalam 169 indikator. Untuk mengubah
tuntutan ini menjadi aksi nyata, para pemimpin dunia bertemu pada 25 September 2015, di
Markas PBB di New York untuk memulai Agenda Pembangunan Berkelanjutan 2030.

Tujuan Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia


Pemerintah Indonesia serius melaksanakan agenda Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan (TPB)/ Sustainable Development Goals (SDGs). Total 169 indikator SDGs
diintegrasikan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-
2024. Pelaksanaan agenda SDGs menjadi langkah strategis pertama pembangunan nasional.
Karenanya, Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan (Perpres SDGs) pun diterbitkan pada 4 Juli lalu 2017. Perpres
SDGs tersebut menekankan keterlibatan setidaknya empat helix pemangku kepentingan untuk
berpartisipasi yaitu: 1) Organisasi Masyarakat, 2) Filantropi, 3) Pelaku Usaha, 4) Akademisi,
dan pemangku kepentingan lainnya yang memiliki peran untuk menyusun perencanaan,
pelaksanaan, dan pemantauan serta evaluasi SDGS.
128
Dimensi Lingkungan Hidup dalam SDGs
Salah satu dimensi yang menjadi fokus perhatian penting dalam SDGs adalah Dimensi
Lingkungan Hidup (Environment System), dimana Dimensi Kelestarian Lingkungan Hidup di
bumi ini menjadi fondasi terwujudnya tujuan-tujuan pada Dimensi SDGS yang lainnya (Griggs
et al., 2013). Penetapan tujuan pada dimensi Lingkungan Hidup ini bertujuan untuk melindungi
bumi dari degradasi, termasuk melalui konsumsi dan produksi yang berkelanjutan, mengelola
sumber daya alamnya secara berkelanjutan dan mengambil tindakan segera terhadap perubahan
iklim, sehingga dapat mendukung kebutuhan generasi sekarang dan mendatang.

Dalam konsep SDGs, Lingkungan merupakan prasyarat untuk pembangunan sosial-


ekonomi. misalnya, bahwa keberlangsungan pertanian bergantung pada kondisi fondasi
ekologisnya, termasuk keanekaragaman hayati yang sehat di luar pertanian dan di pertanian.
Panen ikan juga didukung oleh basis ekologis termasuk terumbu karang yang sehat dan
ekosistem yang menyediakan habitat penting bagi ikan dan jaring makanan terkait. Alam juga
menyediakan input dasar untuk ekonomi seperti air, bahan bangunan, energi dan bahan bakar,
tekstil, tanah produktif, rute navigasi untuk perdagangan kita, dan menawarkan mata
pencaharian di bidang kehutanan, perikanan, dan pertanian. Kesehatan dan kesejahteraan
manusia bergantung pada kualitas lingkungan yang baik. Sebaliknya, tidak adanya kualitas
lingkungan yang baik dalam bentuk air yang terkontaminasi atau udara yang tercemar
membahayakan kesehatan dan kesejahteraan kita.

Lalu yang mana sajakah Tujuan TBP Dimensi Lingkungan Hidup? Merujuk pada apa
yang ditulis oleh Barbier & Burgess (2017), dalam 17 Tujuan dan 169 Target dari SDGs.
Lingkungan terutama diuraikan dalam: Tujuan 11 (kota dan pemukiman), Tujuan 12 (konsumsi
dan produksi), Tujuan 13 (Aksi terhadap iklim), Tujuan 14 (Kehidupan bawah air) dan Tujuan
15 (Kehidupan darat).

129
Gambar 11. 2 Dimensi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan
Sumber: Barbier & Burgess, 2017

Tentang Penta Helix


Konsep Penta Helix semulai terbentuk atas pengembangan konsep model inovasi, yakni
dari triple helix, berkembang menjadi Quadruple Helix, dan kemudian Penta Helix. Studi
mengenai model hubungan Triple Helix antara Akademisi, Industri dan Pemerintahan diinisasi
oleh Etzkowitz dan Loet Leydesdorff di tahun 1995, mereka mengembangkan model ini dalam
dengan klaim bahwa ada pergeseran dari hubungan model dual helix (industri-pemerintah)
ataupun hubungan antara Industri – Akademisi, menjadi hubungan 3 helix dengan komponen
yakni: (1) Pemerintahan, (2) Industri/ Bisnis dan (3) Akademisi / Perguruan Tinggi.Penelitian
ini bermula pada model teoritis Triple Helix untuk Inovasi yang menyatakan bahwa hubungan
antara Akademisi – Bisnis – Pemerintahan akan berpengaruh pada dinamika inovasi (ilmu
pengetahuan) dan ekonomi berbasis inovasi (Etzkowitz & Leydesdorff, 1997, 2000;
Leydesdorff, 2000; Nakwa & Zawdie, 2012).

Konsep Triple Helix untuk inovasi kemudian berkembang menjadi Quadruple Helix
dengan penambahan unsur Media sebagai Helix keempat dalam mendorong dinamika Inovasi,
konsep ini pertama kali diusung oleh Carayannis & Campbell di tahun 2010 masih bersifat
theoritical framework dan framwork ini dipergunakan sebagai basis penelitian lainnya

130
(MacGregor, Marques-Gou, & Simon-Villar, 2010; Paredes-Frigolett, 2015; Parveen, Senin,
& Umar, 2015; Prainsack, 2012) .

Komunitas/ Masyarakat disebut-sebut sebagai helix kelima dalam konsep ini, dimana
kedudukan masyarakat dan organisasi masyarakat/organisasi nirlaba memiliki peran yang
sama pentingnya dengan akademisi, pemerintah, dan sektor swasta dalam mencapai visi misi
(Elg et al 2016, Awaludin et al 2016).

Peran masing-masing pihak dalam Penta Helix secara umum adalah sebagai berikut:

1) Akademisi adalah melakukan penelitian, pengawasan dan pengabdian kepada masyarakat


(Tridharma Perguruan Tinggi). Akademisi juga memiliki peran untuk membakukan
pengetahuan dan keterampilan yang ada dalam konsep Penta helix.
2) Pelaku bisnis berperan dalam membantu proses komersialisasi penggunaan masyarakat
melalui produk yang dihasilkannya dan juga memberikan input dari pasar kepada para
pihak yang terkait (Effendi, Ahmad, Ferra, & Rona, 2016).
3) Pemerintah berperan dalam penyediaan perizinan, infrastruktur ekonomi dan bantuan
teknis kepada para pelaku bisnis (Sugiama 2016). Pemerintah berperan penting dalam
semua variabel yang membentuk kinerja bisnis yang berkelanjutan merupakan aktor utama
yang menjadi lokomotif kesuksesan industri kreatif digital di Indonesia. Keberhasilan atau
kegagalan keempat peran aktor lainnya sangat bergantung pada kemampuan Pemerintah
dalam menjalankan perannya mengawasi pertumbuhan industri ini (Awaluddin et al 2016)
4) Komunitas masyarakat berperan dalam mendukung peran industri melalui proses interaksi
perusahaan dengan lingkungan dan meningkatkan keterampilan kreatif dan pendidikan
para anggotanya (Awaluddin et al 2016)
5) Media berperan dalam hal menyampaikan informasi tentang berbagai informasi yang
berkaitan dengan variabel bagi pemangku kepentingannya. Wartawan diposisikan untuk
meliput dan menginformasikannya kepada pemangku kepentingan melalui media online
media utama (media digital). Publisitas harus bertujuan untuk mendidik masyarakat. Media
juga menjadi saluran umpan balik dan interaksi antara pemangku kepentingan terkait
(Effendi et al 2016, Morrisan 2015,) dan juga memajukan reputasi perusahaan di Indonesia
melalui publisitas yang dilakukannya (Awaluddin et al 2016)

131
Peran Penta Helix terhadap SDGs Dimensi Lingkungan Hidup
Dalam kaitannya dengan SDGS Dimensi Lingkungan Hidup, kelima pemangku
kepentingan (Penta Helix) dalam kajian ini diharapkan menyumbangkan dukungannya dalam
bentuk:

1. Akademisi:
a. Pendidikan dan Pengajaran. Melakukan pendidikan, pengajaran kepada
siswa, mahasiswa dan masyarakat mengenai pentingnya menjaga lingkungan
hidup dan wawasan pembangunan yang tidak merusak ekologi.
b. Penelitian dan Difusi. Para peneliti di perguruan tinggi juga diharapkan
melakukan menyebarluasan teknologi, riset yang mendukung kelestarian
lingkungan melalui publikasi hasil penelitian, penyuluhan, transfer teknologi
dan metode difusi lainnya
c. Lulusan. Perguruan tinggi diharapkan menghasilkan lulusan yang memiliki
wawasan lingkungan yang memadai, yang dihasilkan dari proses pendidikan
berwawasan lingkungan
d. Sosialisasi. Para akademisi dapat berkontribusi dengan melakukan program
sosialisasi pelestarian lingkungan dan pengenalan teknologi tepat guna yang
ramah lingkungan ke masyarakat melalui program pengabdian kepada
masyarakat.

2. Bisnis
a. Penggunaan teknologi ramah lingkungan. Industri dan pebisnis dapat
berkontribusi dalam pembangunan ekonomi sekaligus menjaga lingkungan
melalui penggunaan teknologi yang ramah lingkungan dalam proses
produksinya.
b. Pengolahan limbah. Dalam proses produksi biasanya menghasilkan limbah
sebagai hasil sampingan, dalam hal ini Industri diharapkan melakukan
pengolahan limbah yang memadai sehingga limbah yang dihasilkan dipastikan
aman bagi lingkungan dan tidak mencemari lingkungan air, darat dan udara.

132
c. Bahan baku ramah lingkungan. Penggunaan bahan baku Industri ramah
lingkungan selain untuk menjamin kesehatan produk yang dihasillkan, juga
diharapkan menghasilkan residu yang ramah lingkungan juga.
d. Reward Pengolahan Sampah. Produk consumer goods, biasanya
menghasilkan banyak sampah pada kemasannya yang cukup menimbulkan
masalah signifikan pada lingkungan. Industri dapat membantu mendukung
SDGs dengan memberikan kampanye/ reward / insentif kepada para
konsumennya yang melakukan pengolahan sampah kemasan produknya

3. Pemerintahan
a. Kebijakan. Sesuai dengan fungsi utama Pemerintah yakni membuat kebijakan
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kemajuan daerahnya.
Pemerintah daerah dan pusat diharapkan mampu mendesain dan mengeluarkan
kebijakan/ peraturan diatas namun tidak merusak kelestarian lingkungan hidup.
b. Insentif. Selain kebijakan yang tidak merusak lingkungan, pemerintah dapat
mendukung SGDs dimensi lingkungan hidup dengan mendesain insentif bagi
para Pelaku industri, Komunitas/ masyarakat, Media dan Akademisi untuk
melakukan kegiatan dan insiatif yang pro lingkungan hidup.
c. Infrastruktur. Tugas utama pemerintah adalah membangun infrastruktur bagi
masyarakat, diharapkan dalam hal ini pemerintah membangun infrastruktur
fisik yang ramah lingkungan dan tidak menimbulkan dampat negatif bagi
lingkugan. Sebagai contoh pembangunan pembangkit listrik, diharapkan
menggunakan teknologi yang tidak berbahaya bagi lingkungan.
d. Dis-insentif. Untuk mengurangi kerusakan lingkungan, pemerintah dapat
menyiapkan dis-insentif berupa retribusi/ pajak / denda dengan besaran yang
signifikan bagi masyarakat dan industri yang membuang limbah, sampah dan
kegiatan yang berpotensi merusak keseimbangan lingkungan

4. Komunitas & Masyarakat


a. Konsumsi. Masyarakat konsumen dapat mendukung SDGs dimensi lingkungan
dengan cara mendukung, mempromosikan, mengkonsumsi produk yang ramah

133
lingkungan dan dihasilkan oleh industri yang ramah lingkungan. Hal ini juga
menjadi dis-insentif bagi industri yang masih merusak lingkugan.
b. Pelestarian. Masyarakat dan komunitas diharapkan juga melakukan aktivitas-
aktivitas yang melestarikan dan melakukan edukasi untuk mensosialisasikan
aktivitas yang tidak merusak lingkungan bagi komponen masyarakat lainnya.
c. Insentif. Dengan memanfaatkan insentif pro lingkungan yang ada yang
disediakan oleh pemerintah dan industri, maka diharapkan masyarakat dan
komunitas mampu melakukan aktivitasnya secara berkesinambungan.

5. Media
a. Publisitas. Media dapat mendukung SDGs dimensi lingkungan dengan
melakukan kampanye dan publisitas mengenai pentingnya menjaga kelestarian
lingkungan pada media yang dikelolanya masing-masing.
b. Investigasi. Media memiliki fungsi investigatif, pengungkapan praktek-praktek
pengrusakan lingkungan yang dilakukan masyarakat dan industri akan menjadi
hukuman tersendiri bagi para perusak lingkungan.
c. Edukasi. Media juga diharapkan dapat memberikan edukasi ke masyarakat
mengenai potensi/ dampak yang ditimbulkan akibat kerusakan lingkungan
melalui media yang dikelolanya.

Untuk mendapatkan hasil yang optimal, semua pihak yang terlibat dalam Penta Helix
ini harus bekerja secara sinergis mulai dari melakukan perencanaan, eksekusi dan evaluasi
secara bersama

134
Akademisi
• Pendidikan dan Pengajaran
• Penelitian dan Difusi
• Lulusan
• Sosialisasi

Bisnis
Media • Penggunaan teknologi ramah
• Publisitas lingkungan
• Investigasi • Pengolahan Limbah
• Edukasi Pencapaian • Bahan baku ramah lingkungan
• Reward Pengolahan sampah
TPB
dimensi
lingkungan

Pemerintahan
Komunitas
• Kebijakan
• Konsumsi
• Insentif
• Pelestarian
• Infrastruktur
• Insentif
• Dis-insentif

Gambar 11. 3 Model Dukungan Penta Helix untuk Pencapaian Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan Dimensi Lingkungan Hidup
Sumber: Konstruksi penulis

Peran Penta Helix dalam Pengembangan Geopark Ciletuh


Kolaborasi stakeholder Penta Helix di Geopark Ciletuh Jawa Barat merupakan kasus
yang baik untuk dipaparkan, dimana dalam hal ini terjadi kolaborasi yang baik dan saling
mendukung untuk pengembangan kawasan Geopark Ciletuh berbasis konservasi.

Geopark adalah taman bumi yang termasuk dalam kawasan konservasi, yang memiliki
unsur geodiversity (keragaman geologi), biodiversity (keragaman hayati, dan cultural diversity
(keragaman budaya) yang di dalamnya memiliki aspek dalam bidang pendidikan sebagai
pengetahuan di bidang ilmu kebumian pada keunikan dan keragaman warisan bumi dan aspek
ekonomi dari peran masyarakat dalam pengelolaan kawasan sebagai geowisata. Adanya
aktifitas pariwisata dalam kegiatan geowisata di suatu Geopark yang dijalankan oleh
masyarakat menjadi komponen penting dalam keberhasilan pengelolaan Geopark, dimana
peran dan partisipasi masyarakat lokal memegang peranan penting dalam pengelolaan dan
pengembangan kawasan.

Peran Penta Helix dalam case pengembangan Geopark Ciletuh, tampak dimana Bisnis
yang digawangi oleh Bio Farma, menjalankan program CSR-nya secara integratif. Bio Farma
mengajak para peneliti dari Akademisi untuk melakukan penelitian potensi, baik dari sudut
pandang geologi, biologi, budaya dan ekonomi yang dapat dikembangkan di daerah sana. Bio

135
Farma juga mensponsori promosi Geopark Ciletuh dari mulai event lokal sampai menjadi
Geopark tingkat dunia di UNESCO.

Kontribusi dari Helix Akademisi secara aktif memberikan kontribusi yang sesuai
dengan perannya, yakni dengan melakukan penelitian, KKN (Kuliah Kerja Nyata), penyuluhan
kepada masyarakat dan publikasi ilmiah. Dari penelusuran di google scholar, terdapat sekitar
40 publikasi ilmiah mengenai Geopark Ciletuh (diakses tanggal 20 Maret 2018). Akademisi
juga menjadi mitra konsultan dari pemerintah daerah setempat untuk aktivitas konsultansi
pengembangan kawasan geopark.

Pemerintah Daerah dan Pusat memegang peranan cukup penting. Dimana Kawasan
Geopark Ciletuh menjadi jauh lebih ramai dan maju setelah dilakukan perbaikan dan
pembangunan infrastruktur jalan yang baik dan juga akses listrik. Pemerintah daerah setempat
juga telah membuat masterplan pengembangan kawasan dan menyiapkan banyak event
bekerjasama dengan banyak komunitas untuk mempromosikan kawasan. Beberapa event
nasional dan internasional yang telah dan akan dilaksanakan: event festival seni lokal (festival
bebegig), lomba paralayang, lomba surfing, dan event seni lainnya.

Komunitas lokal dalam case ini, menjadi aktor utama dari pengembangan kawasan.
Disana ada Komunitas pelestari alam PAPSI (Paguyuban Alam Pakidulan Sukabumi),
Komunitas pelestari budaya PALAPA, Komunitas Penggerak Wisata Sukabumi dan Warga
lokal lainnya yang berkontribusi sebagai pelestari, penyuluh, dan pelaku bisnis wisata seperti
homestay, guide dan catering. Komunitas lokal yang solid sangat memudahkan proses
penyuluhan dan mudah untuk digerakan. Komunitas eksternal seperti hobyist pesepeda, biker,
penggiat medos juga sangat berperan dalam meningkatkan kunjungan wisata dan popularitas
kawasan.

Media dalam hal ini media cetak, elektronik dan media sosial sangat berperan dalam
promosi kawasan dengan melakukan publisitas baik terhadap event kegiatan yang ada maupun
promosi kecantikan wilayah kawasan geopark.

136
Kesimpulan
Sustainable Development Goals secara umum memiliki tujuan untuk peningkatan
kesejahteraan ummat manusia melalui dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan yang harus
saling mendukung dan tidak boleh mencederai antara satu dengan lainnya. Dimensi lingkungan
hidup menjadi dimensi utama yang perlu dijaga dalam pembangunan dimensi yang lainnya.

Stakeholder Penta Helix Akademisi, Bisnis, Pemerintahan, Komunitas dan Media


berperan secara aktif dan strategis guna mengembangkan dan pencapaian dimensi lingkungan
hidup dalam SDGs. Case Geopark Ciletuh menjadi contoh yang baik kolaborasi antara
stakeholder penta helix tersebut.

Daftar Pustaka

Awaluddin, M., Sule, E. T., & Kaltum, U. (2016). the Influence of Competitive Forces and
Value Creation on Company Reputation and Competitive Strategy : a Case of Digital
Creative Industry in Indonesia With the Implication on Sustainable Business
Performance. International Journal of Economics, Commerce and Management, IV(2),
201–234.

Barbier, E. B., Burgess, J. C., Edward Barbier, A. B., & Edward Barbier, C. B. (2017). The
Sustainable Development Goals and the systems approach to sustainability. Economics
Discussion Papers, 2017–28, 1–24. https://doi.org/10.5018/economics-ejournal.ja.2017-
28

Elg, M., Ellström, P. E., Klofsten, M., & Tillmar, M. (Eds.). (2015). Sustainable development
in organizations: studies on innovative practices. Edward Elgar Publishing.

Griggs, D., Stafford-Smith, M., Gaffney, O., Rockström, J., Öhman, M. C., Shyamsundar, P.,
… Noble, I. (2013). Policy: Sustainable development goals for people and planet.
Nature, 495(7441), 305–307. https://doi.org/10.1038/495305a

MacGregor, S. P., Marques-Gou, P., & Simon-Villar, A. (2010). Gauging Readiness for the
Quadruple Helix: A Study of 16 European Organizations. Journal of the Knowledge
Economy, 1(3), 173–190. https://doi.org/10.1007/s13132-010-0012-9

Paredes-Frigolett, H. (2015). Modeling the effect of responsible research and innovation in


quadruple helix innovation systems. Technological Forecasting and Social Change, 1–8.
https://doi.org/10.1016/j.techfore.2015.11.001

137
Parveen, S., Senin, A. A., & Umar, A. (2015). Organization Culture and Open Innovation : A
Quadruple Helix Open Innovation Model Approach, 5(2), 335–342.

Prainsack, B. (2012). Elias G. Carayannis and David F. J. Campbell, Mode 3 Knowledge


Production in Quadruple Helix Innovation Systems: 21st-Century Democracy,
Innovation, and Entrepreneurship for Development. Minerva, 50(1), 139–142.
https://doi.org/10.1007/s11024-012-9194-6

Pemerintah Republik Indonesia. (2017). Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 59


Tahun 2017 Tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan

United Nations website: Sustainable Development Goals (accessed March 20, 2018)
http://www.un.org/sustainabledevelopment/sustainable-development-goals/

United Nations. (2012) The Millennium Development Goals Report 2012 (UN)

138

Anda mungkin juga menyukai