Anda di halaman 1dari 14

BAB KEDUA

A. AL – GHAZALI

a. Biografi Al Ghazali

Abu Hamid Muhammad Ibn Muhammad Ibn Muhammad Al –


Ghazali1 atau yang lebih dikenal dengan Al – Ghazali, lahir di Tus, sebuah
kota kecil di daerah Khurasan ( sekarang Iran ) pada pertengahan abad ke
lima Hijriyah, tepatnya pada tahun 450 H / 1058 M 2 . Tiga tahun setelah
kaum Saljuk mengambil kekuasaan di Baghdad3. Al-Ghazali dilahirkan di
suatu kampung bernama Ghazalah, Tus. Kampung itu terletak di suatu
kota Khurasan, Resia. Abu Hamid Al-Ghazali Adalah keturunan asli Persi
dan mempunyai hubungan keluarga dengan raja-raja Bani Saljuk yang
memerintah daerah Khularasah, Jibal, Irak, Jazirah, Persia dan Ahwas4.
Pada saat itu kota Tus mayoritas penduduknya umat islam sunni, meski
ada juga sebagian kecil dari penduduknya itu dari golongan syi’ah dan
sedikit yang beragama Nasrani.5

Ayahnya seorang pemintal wool, meskipun demikian ayah dari Al –


Ghazali ini dikenal sebagai seorang ilmuan dan seorang sufi yang shaleh6,
ayahnya sangat memeperhatiakan pendidikan anaknya, sehingga ketika
sebelum meninggal, ayahnya berpesan kepada sahabatnya yang
merupakan seorang sufi juga agar kedua putranya yaitu Muhammad ( Abu

1
Nama yang ditunjukan kepadanya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad
bin Muhammad bin Ta’us Ath-Thusi Asy-Syafi’I Al-Ghazali. Lihat Perdana boy, Filsafat Islam:
Sejarah Aliran dan Tokoh, (Malang: UMM Press, 2003), h. 175.
2
Hery Sucipto, “ Imam al-Ghazali dalam, Hery Sucipto, Ensiklopedia Tokoh Islam, dari Abu Bakr
samapi Nasr dan Qardhawi, ( Jakarta: Hikmah, 2003), h. 163.
3
M. Dholihin, Epistemologi Ilmu dalam Sudut Pandang Abu Hamid Al-Ghazali, (Bandung:
PustakaSetia, 2001), h. 20.
4
Manshur Thoha Abdullah, Kritik Metodologi Hadits, Tinjauan atas Kontroversi Pemikiran al-
Ghazali (Yogyakarta: Pustaka Rihalah, 2003), h. 23.
5
Ibid, h.23.
6
Fadjar Noegraha Syamhoedie, Tasawuf Kehidupan al-Ghazali, Refleksi Petualangan Intelektual
dan Teolog, Filosof hingga sufi, (Jakarta: CV Putra Harapan, 1999, cet. 1), h. 10.
Hamid Al – Ghazali ) dan saudaranya Ahmad7 diasuh dan disempurnakan
pendidikannya sampai tuntas sekalipun harus menghabiskan seluruh harta
warisannya.

b. Latar belakang pendidikan Al - Ghazali

Latar belakang pendidikan Al – Ghazali yaitu belajar al – Qur’an


kepada ayahnya sendiri. Setelah kesepeninggalan ayahnya yang hanya
berjarak beberapa tahun saja dari lahirnya Al – Ghazali, ia dan saudaranya
dititipkan kepada sahabat ayahnya yaitu Ahmad Ibn Muhammad Az –
Zakharani, yang merupakan seorang sufi besar di Tus. Al – Ghazali
mempelajari Ilmu Fiqih, riwayat hidup para wali dan tentang mahabbah
kepada Tuhan, Al – Qur’an dan Sunnah. Kemudian ia dimasukan
kesebuah sekolah yang menyediakan biaya hidup bagi guru muridnya. Dan
di sekolah itu gurunya adalah Yusuf An – Nassj, yang juga seorang sufi.8

Setelah itu Al – Ghazali merantau ke beberapa kota lain untuk


meningkatkan ilmu pengetahuannya. Pertama – tama beliau pergi ke
Jurjan dibawah bimbingan Nasr Al – Isma’ili.9 Kemudian pada tahun 1077
beliau meneruskan pencarian ilmunya ke Nisapur10. Disini beliau berguru
kepada Al – Juwaini Imam Al – Haramain yang waktu itu menjabat
sebagai kepala Madrasah Nizamiah.11 Oleh Al – Juwaini, Al – Ghazali
diajarkan Ilmu pengetahuan mengenai Fiqh, Mantiq, dan Kalam.12 Beliau
memang orang yang cerdas, sampai – sampai gurunya memberi predikat
sebagai orang yang memiliki ilmu yang sangat luas bagaikan “Laut dalam

7
Nama lengkapnya adalah Abdul Futuh Ahmad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad at-
Tusi Abu Hamid al-Ghazali yang dilaqabi dengan Majd ad-Din, Lihat: Ahmad bin Muhammad bin
Muhammad bin Muhammad Abu Hamid al-Ghazali, h. 8.
8
Ensiklopedia Islam, Jilid 2, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve), 1993, h. 25.
9
Ibid. h.25
10
Fadjar Noegraha Syamhoedie, Tasawuf Kehidupan,…. H. 11
11
M. Amin Abdullah, Antara al-Ghazali dan Kant, Filsafat Etika Ilsma, (Bandung: Mizan, 2002),
h. 28.
12
M. Abdul Quasem, Etika Abu Hamid al-Ghazali: Etika Maejemuk di dalam Islam, terj. J.
Mahyudin, Judul Asli: The Ethics of Abu Hamid al-Ghazali: A Composite Ethics In Islam,
(Bandung: Pustaka, 1998), cet. 1, h. 3-4.
nan menenggelamkan”13. Ketika gurunya meninggal dunia pada tahun 478
H, Al- Ghazali meninggalkan Naisabur dan menuju ke Istana Nidzam Al –
Mulk14, dan menetap disana.15

Kehausan Al – Ghazali akan Ilmu pengetahuan sudah tampak saat


masih muda. Beliau cenderung mengetahui, dan mendalami masalah –
masalah yang hakiki. Hal ini dilukiskan dalam kitab sejarah perkembangan
pemikirannya. Abu Hamid Al – Ghazali berkata sebagaimana dikutip oleh
Abidin Ibn Rusd :

“Keharusan untuk menggali Hakikat persoalan telah menjadi


kebiasaanku semenjak aku muda belia. Dan hal itu merupakan tabiat
dan fitrah yang telah diletakan oleh Allah SWT dalam kejadianku,
bukan karena usahaku”.16

Dapat dipahami bahwa sejak kecil Al – Ghazali telah memiliki bekal


keimanan yang tinggi, berpola hidup sederhana dan selalu tabah dalam
menghadapi berbagai kedsulitan dan cobaan hidupnya. Disamping itu
berkat kecerdsasan dan ketekunannya ia dapat mengembangkan potensi
yang dimilikinya dengan bimbingan guru – guru hebat dan ulama – ulama
hebat yang memiliki ilmu pengetahuan tinggi serta wawasan yang luas.
Maka bukan menjadi hal yang menganehkan jika Al – Ghazali menguasai
berbagai cabang ilmu, sehingga ia berusaha memadukan seluruh
pengetahuaannya dalam melihat suatu masalah.

c. Karya – Karya Al – Ghazali

Berkaitan dengan karya Al – Ghazali, beliau tergolong sebagai seorang


pemikir yang berwawasan luas dan produktif dalam berkarya, artinya

13
Lihat A. Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1997), h. 215.
14
Fathiyah Hasan Sulaiman, Sistem Pendidikan versi Abu Hamid al-Ghazali, terj. Fathur Rahman
dan Syamsuddin Asyrafi, Judul Asli : al-Madzabut Tarbawi indal Ghazali, (Bandung: Alma’arif,
1986), cet. 1, h. 13-14 .
15
Sulaiman Dunya, “Pengantar” dalam al-Ghazali, Keancuan Fisafat, terj. Achmad Maimun,
(Yogyakarta: Islamika, 2003), h. xxix.
16
Lihat al – Munqiz min ad – Dalal, (takhrij) oleh Jamil Saliba dan Kamil ‘Iyad, Cet. 3, h, 6 – 9.
karya – karya Al – Ghazali ini bisa dikatakan banyak. Beliau telah
menyusun banyak buku dan risalah, diantara karya al – Ghazali buku Ihya
Ulumuddin yang menacangkup kurang lebih sebanyak delapan puluh
buah, mencangkup didalam nya berbagai disiplin ilmu, filsafat, ilmu
kalam, fikih, ushul fikih, akhlak, tasawwuf, dianggap sebagai karyanya
yang paling monumental. Tidak kalah menarik, bukunya yang berjudul
Tahaful al – falasifah atau Kerancuan Filsuf membicarakan kesalahan
berfikir para filsuf dan buah pemikirannya, kimia as – sa’adah (Kimia
Kebahagiaan).

Diantara karya Al – Ghazali yang banyak membahas tentang


Kausalitas ialah Thafut al – falasifah, di karyanya ini al – ghazali
berpendapat tentang kausalitas deterministik yang banyak diusungkan para
ulama terdahulu,

B. Causality

a. The Understanding of Causality

Dilansir dari kamus besar bahasa Indonesia ( KBBI ) Kausalitas berarti


perihal sebab akibat. Kausalitas secara luas digunakan sebagai teks
eksplanasi dalam berbagai bidang Ilmu pengetahuan seperti sains untuk
menelusuri, memahami konsep dalam sains tersebut. Demikian pula dalam
Ilmu Hukum, untuk menetapkan pidana kepada tersangka hakim, saksi,
dan pengacara harus menelusuri sebab mengapa tersangka melakukan
tindak pidana tersebut, atau bagaimana korban bisa dijadikan target oleh
tersangka, penulusuran tersebut menggunakan kausalitas sebagai teks
eksplanasi. Dalam Ilmu konseling dan psikologi; seorang psikolog akan
bertanya permasalahan yang dialami oleh pasien yang akhirnya
menyimpulkan sebab dari akibat yang diaalmi oleh pasien tersebut, dan
masih banyak lagi konteks kausalitas ini digunakan sebagai teks
eksplanasi.
Kausalitas merupakan hukum keniscayaan bagi alam semesta, dan
merupakan fitrah manusia untuk memahami bahwa setiap peristiwa
merupakan hasil dari suatu sebab, ia termasuk diantara prinsip – prinsip
yang niscaya lagi rasional.
Louis O. Kattsoff menjelaskan bahwa sebab merupakan syarat – syarat
yang harus ada ( necessery ) dan yang mencukupi kebutuhan ( sufficient ).
Aristoteles mendefinisikan empat macam sebab akibat, yaitu : Material
Cause , bahwa adanya benda sebagai penyebab, dalam hal ini menyangkut
bahan kejadian sesuatu yang akan di buat17. Form Cause , disini
menyangkut rancangan sesuatu yang akan di buat, Moving Cause , yaitu
sesuatu yang mengawali gerakan, dalam hal ini sudah jelas, tidak lain dan
tidak bukan adalah Allah SWT. Karena dialah penyebab utama ( Prima
Causa ), dan Final Cause, yang menyangkut tujuan, manfaat maupun
hikmah diciptakannya oleh Allah SWT akan segala sesuatu18.
Dalam khazanah filsafat dan teologi, teori kausalitas (causal
relationship) merupakan isu yang fundamental. Prinsip teori ini
menegaskan bahwa setiap peristiwa harus mempunyai sebab, dan setiap
sebab niscaya melahirkan akibat alaminya. Kajian filosofis tentang proses
penyebaban (causation) ini sudah menyibukkan para filosof awal Yunani
untuk mengetahui apa dan bagaimana alam berasal.19 Begitu juga kaum
teolog bahkan menjadikan logika sebab akibat sebagai basis rasional
(relation principles) untuk menopang keberadaan Tuhan. Hal itu dapat
dilihat dari argumentasi-argumentasi adanya Tuhan yang mereka
kembangkan dalam berbagai perspektif.20
Pada kenyataan ini tataran kausalitas atau hukum sebab-akibat menjadi
sebuah keniscayaan. Sebagai diskursus yang mendominasi proses lahirnya
sesuatu, kausalitas menjadi referensi atas terjadinya segala hal yang

17
Louis O Kattsoff, Pengantar Filsafat, terj, Soejono Soemargono, Tiara Wacana,
Yogyakarta. 1995. Page 57
18
Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Bulan Bintang, Jakarta. 1991. Page 75.
19
Ahmad Nawawi, Prespektif Teologi & Filsafat Al – Ghazali dan Hume ( Malang : Madani,
2011), http://digilib.iain-palangkaraya.ac.id/2233/1/Nawawi2.pdf.
20
Nawawi, Prespektif Teologi & Filsafat.
bersifat empiris, normatif, dan objektif. Sebab sebagai materi yang
mempengaruhi atas terjadinya suatu peristiwa, sedangkan akibat sebagai
dampak yang terjadi karena ada faktor yang mempengaruhinya. Teori
kausalitas inilah yang menjadi pondasi atas perkembangan ilmu
pengetahuan klasik masa Yunani hingga modern. Hukum sebab-akibat
merupakan eksistensi yang signifikan. Dalam dunia medis misalnya,
penggunaan obat mesti berasaskan prinsip-prinsip kausalitas. Sebuah obat
dianggap harus memiliki kadar kepastian tertentu sebagai sebab-akibat
sembuhnya suatu penyakit. Jika hal tersebut tidak berlaku, maka dapat
dibayangkan proses kehidupan manusia berada pada titik krisis. Seorang
dokter dapat berspekulasi bahwa penyakit yang diderita pasien adalah
berdasarkan gejala-gejala yang menjangkiti kondisi pasien, sehingga
dokter melakukan penyelidikan atas penyakit tersebut secara ilmiah.
Dokter akan memberikan penanganan intensif atas kondisi pasien yang
lemah dan memberikan pelayanan pemeriksaan rutin dan memberikan
resep obat agar pasien penyandang penyakit dapat segera sembuh.
Kronologi peristiwa demikian tidak dapat lepas dari hukum sebab-akibat
dan masih banyak lagi konsep tersebut dalam kehidupan sehari - hari.
Teori kausalitas bahkan sangat penting pada tataran rekonstruksi ilmu
pengetahuan. Asumsinya menjadi pondasi epistemologis bagi progresifitas
sains dan teknologi yang dikembangkan manusia. Sebagaimana menurut
Barbour, pengetahuan adalah suatu yang bertumpu pada dunia observasi
dan eksperimentasi.21 Proses tersebut berlangsung berdasarkan melalui
kegiatan pengamatan saat menyusun hipotesis yang kemudian diikuti
percobaan - percobaan empirik yang kemudian menjadi dasar perumusan
dan penentuan suatu teori dari sisi keilmuan hukum (scientific law).
Teori-teori ilmiah dalam berbagai lapangan eksperimen dan
observasional, secara umum bergantung pada prinsip dan hukum-
hukum kausalitas. Jika kausalitas dan sistem tentunya terhapus dari
alam semesta, maka penciptaan teori ilmiah dalam lapangan apapun akan

21
Ian G Barbour, Religion in the edge of Science ( London : SCM Press, 1990 ).
menjadi sulit sekali. Untuk menjelaskan hal ini, harus dipaparkan
sejumlah hukum kausal dari himpunan (hukum) filosofis yang menjadi
sandaran ilmu pengetahuan. Hukum-hukum ini adalah sebagai
berikut:22
1. Prinsip Kausalitas yang menyatakan bahwa setiap peristiwa
mempunyai sebab.
2. Hukum keniscayaan yang menyatakan bahwa setiap
sebab niscaya melahirkan akibat alaminya, dan bahwa
tidak mungkin akibat terpisah dari sebabnya,
3. Hukum keselarasan antara sebab dan akibat yang
menyatakan bahwa setiap himpunan alam yang secara
esensial selaras mesti pula selaras dengan sebab dan
akibatnya.

b. Causality in the wordview of the Qur’an

Dalam hal menjelaskan kausalitas Al – Qur’an juga tidak dapat luput


untuk dijadikan referensi dalam mencari makna – pengertian kausalitas.

Apa yang disebut dalam filsafat dengan “hukum alam” dan “hukum
kausalitas”, dalam agama islam disebut juga “sunnatullah”.Di dalam
al-Qur‟an disebutkan surat al-Fath/48 ayat 23 yang artinya: “ sebagai
suatu suannatullah yang telah berlaku seak dahulu, kamu sekali-kali
tidak akan menemukan perubahan bagi sunnatullah.”23

Hal yang terpenting disini ialah mengetahui bahwa alam ini tidak
berjalan tanpa aturan dan tidak berputar secara semena - mena. Semuanya
mengikuti taqdir Allah dan peputarannya sesuai dengan hukum Allah.
Inilah yang disebut dalam Al-Qur‟an sebagai hukum alam. Hukum ini
berlaku untuk alam semesta, dan manusia tidak dapat mengubah

22
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 1996. 102
23
Murtadla Muthahari, Manusia dan Agama, Mizan, Bandung. 1995. 107
ataupun menggantinya. Perjalanannya sekarang sama seperti
peralanannya dulu, hukum ini juga berlaku untuk orang-orang beriman
dan orang-orang kafir.24

Hukum kausalitas merupakan bagian dari sunnatullah yang dapat


di rasionalkan dalam akal pikiran manusia, karena kehendak Allah
tidak dapat dijangkau oleh akal manusia, maka Allah menciptakan
sebab untuk akibat.

Di pembahasan mengenai kausalitas secara umum di atas, pendapat


para Ahli sangat relevan dengan firman Allah SWT pada surat al-Kahfi/
18 ayat 84 yang artinya: “... dan kami telah memberikan kepadanya alat
(untuk mencapai) segala sesuatu”.

Sebagian besar para mufassir mengartikan lafadz sababa dengan


arti “jalan” diantaranya Az-Zamakhsyari25 Ar-Razi, Wahbah Az-Zuhaili
meskipun dalam redaksi yang berbeda-beda. Dimana jalan itu berupa
ilmu, kekuatan, alat untuk mendapatkan atau melakukan sesuatu.

Sabab (sebab), merupakan salah satu kata yang digunakan dalam


al-Qur‟an yang mempunyai jama‟ asbab (sebab-sebab). Menurut bahasa
adalah:

 Al-‘ilah berarti alasan, ad-dzari’ah berarti perantara dan al-wasilah


(penghubung/perantara).
 Al-Habl berarti tali, karena dengan tali dapat menghubungkan
dengan air (menimba, pen), dan sesuatu yang dapat menyambung
dengan lainnya. Menurut ar-Razi ungkapan tali diisti‟arahkan
(dipinjamkan) pada setiap sesuatu yang menghubungkan
dengan yang dimaksud atau kehendaki.26

24
Yusuf Qardlawi, Fiqh Peradaban, terj, Faizah Firdaus, Dunia Ilmu, Surabaya. 1995. 262.
25
Fakhruddin ar-Razi, Tafsir al-Kabir, Dar al-kutub al-ilmiyah, Beirut. tt . 715.
26
(Ar-Razi, Jilid XI, Juz XXI: 141)
 Ath-Thariqberarti jalan, sebagaimana dikatakan aku tak ada jalan
kedepannya.27

Penggunaan lafadz sabab memiliki arti yang sama dengan dengan


lafadz ‘illat dalam kebiasaannya, sebagaimana pendapat Aristoteles,
dan Ibnu Rusyd yang dikutip dalam kitab Dairatul Ma’arif. Lafadz
‘Illat itu menunjukkan pada ‘illat pertama, sedangkan lafadz sabab
menunjukkan pada ‘illat yang kedua.

Pemakaian lafadz sababatau bentuk jamaknya yaitu asbab dalam


al-Qur‟an terletak pada 5 surat dan 8 ayat. Dalam bentuk isim mufrad
sebanyak 4 kali, sedang dalam bentuk jamak sebanyak 4 kali.28

Di dalam al-Qur‟an kita memiliki beberapa ayat al-Qur‟an


yang membicarakan pola-pola (sunnah-sunnah) Allah SWT, yang
tidak berubah di dalam alam semesta, berikut surat al-Isra’ /17
ayat 77 dan surat al-Ahzab /33 ayat 62 yang berkaitan dengan hal ini
“(Kami menetapkan yang demikian) sebagai suatu ketetapan terhadap
rasul-rasul kami yang kami utus sebelum kamu dan tidak akan
kamu dapat perubahan bagi ketetapan kami itu.”29

Beberapa ayat al-Qur‟an menunjukkan bahwa baik penciptaan


ataupun sebab-sebab kejadian di dalam alam mengikuti
ukuran tertentu, dan setiap wujud alam memiliki rentang
kehidupan yang terbatas dan pasti, hal ini tertulis dalam
firman-Nya surat ar-Rahman/55 ayat 5 “(Matahari dan Bulan
(beredar) menurut perhitungan.

27
Ahmad Warson, Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab Indonesia, Pustaka Progressif,
Yogyakarta. tt . 641
28
Jurnal Pendidikan agama Islam, Hukum Kausalitas prespektif al – qur’an.
29
Mahdi Ghulsyani, Filsafat-Sains menurut Al-Qur’an,Terj. Agus Efendi, Mizan, Bandung. 1993.
125
Beberapa ayat menyebutkan mekanisme dan jalan khusus
kejadian tertentu dalam alam, diantaranya surat al-Mukminun/23
ayat 12-13 dan surat al-Baqarah/2 ayat 22:

“Dan sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dari suatu


saripati (berasal) dari tanah.”

“Kemudian kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan)


dalam tempat yang kokoh (rahim).”

“Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan


langit sebagai atap, dan dia menurunkan air (hujan) dari langit,
lalu dia menghasilkan dengan hujan itu segala buh-buahan
sebagai rizki untukmu, karena itu janganlah kamu
mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.”

Semua penjelasan diatas merumuskan bahwa perbuatan Allah


SWT berjalan diatas hukum dan urutan tertentu, dan bahwasannya
kehendak Allah SWT dalam menciptakan dan mengatur alam adalah
sama dalam kehendak-Nya dalam menciptakan hukum yang ada.
Tiadanya hukum tertentu diantara semua yang ada mengharuskan
sesuatu yang manapun dapat menjadi sumber bagi sesuatu yang
lain, juga mengharuskan bersumbernya suatu maujud dari suatu
maujud yang lain.30

30
Murtadla Muthahari, Manusia dan Agama, Mizan, Bandung. 1995. 107
C. Quantum Physic
a. The Understanding of Quantum Physic

Untuk mengetahui pengertian fisika kuantum kita harus memahami


terlebih dahulu apa yang dimaksud dari kata fisika dan kata kuantum. Kata
Fisika merupakan kata serapan dari bahasa Belanda, Arab , Yunani, Latin
yang berarti alam, maka fisika merupakan sains atau ilmu alam yang
mempelajari materi31, gerak dan perilakunya dalam lingkup ruang dan
waktu, bersamaan dengan konsep yang berkaitan seperti energi dan gaya32,
dan bertujuan utama memahami bagaimana alam semesta bekerja33. Fisika
memiliki berbagai macam cabang disiplin ilmu lain nya.

Kuantum menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah 1.


Banyaknya (jumlah) sesuatu. 2. Bagian dari energi yang tidak dapat di
bagi lagi. Terkesan makna pertama kuantum kerasal dari kata kuantitas
sementara makna yang kedua akrab dengan fisika sekaligus matematika.
Dalam fisika, Kuantum adalah jumlah minimum dari setiap entitas fisika
yang terlibat dari suatu interaksi. Gagasan mendasar bahwa sifat fisika
dapat dikuantisasi disebut sebagai Hipotesis kuantisasi” 34 . Ini berarti
bahwa besarnya sifat fisika hanya dapat mengambil nilai diskrit yang
terdiri dari kelipatan bilangan bulat dari suatu kuantum.

Setelah pengertian tentang kata fisika dan kuantum usai di kupas di


penjelasan dia atas kita akan beranjak ke pengertian Fisika kuantum itu
sendiri.

Fisika kuantum dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari


kelakuan materi dan energi pada skala molekul, atom, inti dan bahkan
pada level mikroskopik lain nya yang lebih kecil35 dan bergerak dalam

31
Richard Feynman, The Feynman Lectures on Physics, Leighton, R.B.; Sands, M. 1963 p.1.
32
Maxwell, J.C, Matter and Motion, D. Van Nostrand’s Magazine, 1878, p.9
33
Holzner, S. , Physics for Dummies, John Wiley & Sons. Inc. 2006. P.
34
Wiener, N. Ruang diferensial, Sistem kuantum, dan prediksi , Cambridge : Institut Teknologi
Massachusetts
35
Halim, .A., Herliana, .F. Pengantar fisika kuantum, Syiah Kuala University Press 2020. P.33
kecepatan yang rendah dimana hukum ruang waktu tidak lagi berlaku.
Fisika kuantum merupakan salah satu cabang dari filsafat modern yang
merupakan respon dari ketidakmampuan fisika klasik dalam memecahkan
masalah hukum fisika yang berlaku kepada benda pada skala mikroskopik
( Pada awal abad ke – 20, telah ditemukan fakta bahwa hukum – hukum
yang mengatur benda – benda makroskopik36 tidak berlaku sama pada
benda berskala mikroskopik37.

Benda – benda massif atau non-massif berukuran sekitar diameter


atom atau lebih kecil memiliki perilaku ganda ( dualisme ), yaitu
bertingkah laku seperti partikel dan gelombang. Dalam mekanika klasik
telah dirumuskan secara sempurna hukum dan persamaan untuk
menjelaskan prilaku partikel atau prilaku gelombang secara terpisah.
Artinya hukum dan persamaan sudah ada untuk menjelaskan prilaku
partikel, hukum , dan persamaan untuk menjelaskan prilaku gelombang
pada kondisi dan tempat yang berlainan. Didalam mekanika kuantum,
suatu sistem fisika ( foton, elektron, proton ) memperlihatkan dua prilaku
pada benda yang berbeda, tetapi pada waktu yang bersamaan atau lebih
dikenal sebagai Superposisi.38 Kadangkala cahaya dapat menunjukan
prilaku gelombang dan pada waktu yang lain dapat memperlihatkan
perilaku partikel39. Dalam fisika mekanika Klasik belum ada hukum atau
persamaan yang dapat menjelaskan prilaku partikel atau gelombang yang
memiliki sifat ganda ( dualisme ) seperti itu.40

Perbedaan paling mendasar dari fisika klasik dan fisika kuantum


adalah persoalan kepastian terhadap hasil pengukuran maupun hasil
perhitungan pada suatu besaran fisis41. Ukuran ketepatan atau ketelitian

36
Makroskopis Ukuran benda yang dapat diamati dengan panca indra telanjang. Batasan ukuran
makroskopik yang biasa digunakan adalah >10-6 meter
37
Mikroskopis Ukuran yang digunakan untuk benda yang tidak dapat diamati oleh panca indra
telanjang. Berkisar antara 10-6 sampai dengan 10-8 meter.
38
Ibid.
39
Ibid.
40
Halim, .A., Herliana, .F. Pengantar fisika kuantum, Syiah Kuala University Press 2020. P.33
41
Halim, .A., Herliana, .F. Pengantar fisika kuantum, Syiah Kuala University Press 2020. P.95
hasil pengukuran ditentukan oleh besar atau kecil penyimpangan terhadap
nilai yang sebenarnya atau dikenal dengan istilah Tingkat kesalahan
pengukuran. Hasil pengukuran secara matematik ditulis dalam bentuk
x=xo ± ∆ x , dimana xo adalah hasil sebenarnya dan ∆ x adalah
penyimpangan hasil pengukuran. Sedangkan dalam Fisika Kuantum
terdapat empat variabel besaran fisis yang tidak tepat hasil pengukurannya
atau tidak pasti ketepatan hasil pengukuran nya, yaitu posisi ( ∆ x ),
momentum (∆ p ¿, energy ( ∆ E ) ,dan waktu ( ∆ t ).42

b. Sejarah Kemunculan Fisika Kuantum

Paparan mengenai kata kuantum diatas digagas pertamakali oleh


ilmuan bernama Max Planck seorang fisikawan jerman yang berhasil
meraih nobel tahun 1918 atas penemuan energi “kuanta” yang sekarang
namanya dijadikan sebagai skala terkecil planck scale ( 10-36 ).

Peristiwa yang menggagas Planck menemukan energi kuanta tidak


lepas dari persoalan fisika yang terkenal pada abad ke – 19; yaitu Bencana
Ultraviolet, tapi sebelumnya kita harus memahami terlebih dahulu apa
yang dimaksud dengan “radiasi benda hitam” untuk memudahkan dalam
memahaminya kita kesampingkan dulu kata “benda kitam dan mari kita
fokus ke kata “Radiasi”, di dalam fisika benda yang memiliki panas bisa
memancarkan radiasi berupa cahaya atau Photon contohnya adalah lampu
bohlam, dan seiring dengan panasnya tersebut maka cahaya yang
dihasilkan akan berubah dari warna coklat ke merah ke orange lalu ke
kuning dan lalu memutih, dalam fisika ini tandanya ada pergeseran
panjang gelombang, para ilmuan kala itu berusaha mencari hubungan
antara radiasi dengan temperatur dan panjang gelombang, pencarian
hubungan tersebut menghasilkan rumus Rayliegh-Jeans Law
2 cκbT
Bχ ( T )= 4 permasalahannya rumus tersebut gagal karena tidak
λ
konsisten antara hasil observasi dan prediksi fisika klasik.
42
Ibid
Rumus Rayliegh-Jean meramalkan bahwa radiasi benda panas akan
naik terus menuju tak hingga begitu mendekati warna Ultraviolet , dan itu
adalah bencana, karena apabila rumus tersebut benar, maka manusia tidak
mampu berdiri di bawah sinar matahari akibat radiasinya yang teramat
besar.

Menurut pengukuran ada batasan radiasi yang bisa dicapai oleh benda
panas, oleh karena itu kita tidak bisa melihat warna biru, ungu pada bara
api karena warna tersebut termasuk Ultraviolet dan memiliki radiasi yang
sangat tinggi dan sulit dicapai oleh benda panas, itu terbukti dengan
matahari yang mencapai suhu 15 – 20 juta celcius atau 2e+7 Kelvin hanya
memiliki 10% sinar ultraviolet , fernomena tersebut tidak bisa dipecahkan
oleh para ilmuan pada saat itu dengan teori klasik yang ada pada saat itu,
sampai pada saat Max Planck dengan gagasannya yang Radikal, dia
berpendapat bahwa jangan jangan pandangan kita terhadap cahaya selama
ini salah, karena problem ini bisa diselesaikan seandainya cahaya
dipandang sebagai partikel atau paket – paket energi yang disebut
”Quanta” dari sinilah isitilah kuantum itu berasal.

Anda mungkin juga menyukai