Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

A.  LATAR BELAKANG
Belajar merupakan tindakan dan perilaku peserta didik yang kompleks. Sebagai
tindakan, maka belajar hanya dialami oleh peserta didik  sendiri. Peserta didik
adalah penentu terjadinya atau tidak terjadinya proses belajar. Proses belajar terjadi
berkat peserta didik mempelajari sesuatu yang ada di lingkungan sekitar.
Lingkungan yang dipelajari oleh peserta didik berupa keadaan alam, benda-benda
atau hal-hal yang dijadikan bahan belajar.
Tindakan belajar dari suatu hal tersebut nampak sebagai perilaku belajar yang
nampak dari luar. Pengertian dari belajar sangat beragam, banyak dari para ahli
yang mengartikan secara berbeda-beda definisi dari belajar. Sebagaimana kita
ketahui bahwa belajar merupakan hal yang penting dalam bidang pendidikan. Tentu
saja dalam proses belajar terdapat teori-teori yang memunculkan adanya belajar.
Dari zaman dahulu, para ilmuwan terus mengembangkan teori-teori belajar
sebagai temuan mereka untuk mengembangkan pemikiran belajar mereka. Era
globalisasi telah membawa berbagai perubahan yang memunculkan adanya teori-
teori belajar yang baru guna menyempurnakan teori–teori yang telah ada
sebelumnya.
Dengan bermunculnya teori-teori yang baru akan menyempurnakan teori-teori
yang sebelumnya. Berbagai teori belajar dapat dikaji dan diambil manfaat dengan
adanya teori tersebut. Tentunya setiap teori belajar memiliki keistimewaan
tersendiri. Bahkan, tak jarang dalam setiap teori belajar juga terdapat kritikan-
kritikan untuk penyempurnaan teori tersebut.

B.  RUMUSAN MASALAH
Dalam makalah ini masalah yang perlu dipecahkan dirumuskan sebagai berikut :
1.    Apa pengertian belajar bermakna menurut Ausubel ?
2.    Apa saja prasyarat belajar bermakna menurut Ausubel ?
3.    Apa saja tipe belajar menurut Ausubel ?
4.    Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi belajar bermakna menurut Ausubel ?
5.    Bagaimana langkah-langkah pembelajaran Ausubel?
6.    Apa saja kekurangan dan kelebihan dari belajar bermakna ?
7.    Metode dan pendekatan apa yang sesuai dengan teori belajar Ausubel ?

C.  TUJUAN
1.    Untuk mengetahui pengertian belajar bermakna menurut Ausubel.

2.    Untuk mengetahui prasyarat belajar bermakna menurut Ausubel.

3.    Untuk mengetahui tipe belajar menurut Ausubel.

4.    Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi belajar bermakna menurut


Ausubel.
5.    Untuk mengetahui langkah-langkah pembelajaran Ausubel.

6.    Untuk mengetahui kekurangan dan kelebihan dari belajar bermakna.

7.    Untuk mengetahui metode dan pendekatan yang sesuai dengan teori belajar
Ausubel.
BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian Belajar Bermakna


Menurut David P. Ausubel, ada dua jenis belajar :
1.    Belajar Bermakna (Meaningfull Learning)
Belajar dikatakan bermakna bila informasi yang akan dipelajari peserta didik
disusun sesuai dengan struktur kognitif yang dimiliki peserta didik itu sehingga
peserta didik itu dapat mengaitkan informasi barunya dengan struktur kognitif yang
dimilikinya. Sehingga peserta didik menjadi kuat ingatannya dan transfer belajarnya
mudah dicapai. Struktur kognitif dapat berupa fakta-fakta, konsep-konsep maupun
generalisasi yang telah diperoleh atau bahkan dipahami sebelumnya oleh siswa.
2.    Belajar Menghafal (Rote Learning)
Bila struktur kognitif  yang cocok dengan fenomena baru itu belum ada maka
informasi baru tersebut harus dipelajari secara menghafal. Belajar menghafal ini
perlu bila seseorang memperoleh informasi baru dalam dunia pengetahuan yang
sama sekali tidak berhubungan dengan apa yang ia ketahui sebelumnya.

B.  Dua Dimensi Belajar Bermakna Menurut Ausubel


Menurut Ausubel belajar dapat diklasifikasikan kedalam dua dimensi. Dimensi
pertama berhubungan dengan cara informasi atau materi pelajaran itu disajikan
kepada peserta didik melalui penerimaan atau penemuan. Selanjutnya dimensi
kedua menyangkut bagaimana peserta didik dapat mengaitkan informasi itu pada
struktur kognitif yang telah ada. Jika peserta didik hanya mencoba menghafalkan
informasi baru itu tanpa menghubungkan dengan struktur kognitifnya, maka
terjadilah belajar dengan hafalan. Sebaliknya jika peserta didik menghubungkan
atau mengaitkan informasi baru itu dengan struktur kognitifnya maka yang terjadi
adalah belajar bermakna.

C.  Empat Tipe Belajar Menurut Ausubel


1.    Belajar dengan penemuan yang bermakna
Informasi yang dipelajari, ditentukan secara bebas oleh peserta didik. Peserta
didik itu kemudian menghubungkan pengetahuan yang baru itu dengan struktur
kognitif yang dimiliki. Misalnya peserta didik diminta menemukan sifat-sifat suatu
bujur sangkar. Dengan mengaitkan pengetahuan yang sudah dimiliki, seperti sifat-
sifat persegi panjang, peserta didik dapat menemukan sendiri sifat-sifat bujur
sangkar tersebut.
2.     Belajar dengan penemuan tidak bermakna
Informasi yang dipelajari, ditentukan secara bebas oleh peserta didik, kemudian ia
menghafalnya. Misalnya, peserta didik menemukan sifat-sifat bujur sangkar tanpa
bekal pengetahuan sifat-sifat geometri yang berkaitan dengan segiempat dengan
sifat-sifatnya, yaitu dengan penggaris dan jangka. Dengan alat-alat ini diketemukan
sifat-sifat bujur sangkar dan kemudian dihafalkan.
3.     Belajar menerima yang bermakna
Informasi yang telah tersusun secara logis di sajikan kepada peserta didik dalam
bentuk final/ akhir, peserta didik kemudian menghubungkan pengetahuan yang
baru itu dengan struktur kognitif yang dimiliki. Misalnya peserta didik akan
mempelajari akar-akar persamaan kuadrat. Pengajar mempersiapkan bahan-bahan
yang akan diberikan yang susunannya diatur sedemikian rupa sehingga materi
persamaan  kuadrat tersebut dengan mudah ter’tanam’ kedalam konsep persamaan
yang sudah dimiliki peserta didik. Karena pengertian persamaan lebih inklusif dari
pada persamaan kuadrat, materi persamaan tersebut dapat dipelajari peserta didik
secara bermakna.
4.    Belajar menerima yang tidak bermakna
Dari setiap tipe bahan yang disajikan kepada peserta didik dalam bentuk
final. Peserta didik tersebut kemudian menghafalkannya. Bahan yang disajikan tadi
tanpa memperhatikan pengetahuan yang dimiliki peserta didik.

D.  Prasyarat Belajar Bermakna


a.    Kondisi dan sikap peserta didik terhadap tugas, hendaknya bersesuaian dengan
intensi peserta didik. Apabila peserta didik melaksanakan tugas dengan sikap bahwa
ia ingin memahami bahan pelajaran dan mengaplikasikan bahan baru serta
menghubungkan bahan pelajaran yang terdahulu, dikatakan peserta didik itu belajar
bahan baru dengan cara yang bermakna. Sebaliknya bila peserta didik itu tidak
berkehendak mengaitkan bahan yang dipelajari dengan informasi yang dimiliki,
maka belajar itu tidak bermakna. Demikianlah banyak peserta didik yang tidak
berusaha mengerti matematika, cenderung mengalami kegagalan dan akhirnya
membenci matematika.
b.    Tugas-tugas yang diberikan kepada peserta didik harus sesuai dengan struktur
kognitif peserta didik sehingga peserta didik tersebut dapat mengasimilasi bahan
baru secara bermakna. Belajar bermakna pada tahap mula-mula memberikan
pengertian kepada bahan baru sehingga bahan baru itu akan terserap dan kemudian
diingat peserta didik. Ia tidak menghafal asosiasi stimulus-respon yang terpisah-
pisah.
c.    Tugas-tugas yang diberikan haruslah sesuai dengan tahap perkembangan intelektual
peserta didik. Peserta didik yang masih di dalam periode operasi konkrit, bila diberi
bahan materi matematika yang abstrak tanpa contoh-contoh konkrit dari materi
tersebut, akan mengakibatkan peserta didik itu tidak mempunyai keinginan materi
tersebut secara bermakna. Dengan demikian peserta hanya menghafal pelajaran tadi
tanpa pengertian sehingga peserta didik mempelajari matematika dengan
pernyataan- pernyataan herbal yang tidak cermat dan tepat.

E.  Prinsip-prinsip Teori Belajar Bermakna


1.    Pengatur awal (advance organizer)
Pengatur awal atau bahan pengait dapat digunakan guru dalam membantu
mengaitkan konsep lama dengan konsep baru yang lebih tinggi
maknanya. Penggunaan pengatur awal tepat dapat meningkatkan pemahaman
berbagai macam materi, terutama materi pelajaran yang telah mempunyai struktur
yang teratur. Pada saat mengawali pembelajaran dengan prestasi suatu pokok
bahasan sebaiknya “pengatur awal” itu digunakan, sehingga pembelajaran akan lebih
bermakna.
2.    Diferensiasi progresif
Dalam proses belajar bermakna perlu ada pengembangan dan kolaborasi konsep-
konsep. Caranya unsur yang paling umum dan inklusif diperkenalkan dahulu
kemudian baru yang lebih mendetail, berarti proses pembelajaran dari umum ke
khusus.
3.    Belajar superordinate
Belajar superordinat adalah proses struktur kognitif yang mengalami
pertumbuhan kearah deferensiasi, terjadi sejak perolehan informasi dan
diasosiasikan dengan konsep dalam struktur kognitif tersebut. Proses belajar
tersebut akan terus berlangsung hingga pada suatu saat ditemukan hal-hal baru.
Belajar superordinat akan terjadi bila konsep-konsep yang lebih luas dan inklusif.
4.    Penyesuaian Integratif
Pada suatu saat peserta didik kemungkinan akan menghadapi kenyataan bahwa
dua atau lebih nama konsep digunakan untuk menyatakan konsep yang sama atau
bila nama yang sama diterapkan pada lebih satu konsep. Untuk mengatasi
pertentangan kognitif itu, Ausubel mengajukan konsep pembelajaran penyesuaian
integratif. Caranya materi pelajaran disusun sedemikian rupa, sehingga guru dapat
menggunakan hierarkhi-hierarkhi konseptual ke atas dan ke bawah selama informasi
disajikan.

F.   Menghindari Belajar Hafalan


Jika seorang anak berkeinginan untuk mengingat sesuatu tanpa mengaitkan hal
yang satu dengan hal yang lain maka baik proses maupun hasil pembelajarannya
dapat dinyatakan sebagai hafalan dan tidak akan bermakna sama sekali baginya.
       Contoh lain yang dapat dikemukakan tentang belajar hafalan ini adalah beberapa
siswa SD kelas 1 atau 2 yang dapat mengucapkan: “Ini Budi. Ini Ibu Budi,” namun ia
tidak dapat menentukan sama sekali mana yang “i” dan mana yang “di”. Contoh lain
dari belajar menghafal adalah siswa yang dapat mengingat dan menyatakan rumus
luas persegi panjang adalah l = p × l, namun ia tidak bisa menentukan luas suatu
persegi panjang karena ia tidak tahu arti lambang l, p, dan l.
Setelah itu, si anak harus mampu mengaitkan antara pengetahuan yang baru
dengan pengetahuan yang sudah dipunyainya, sehingga proses pembelajarannya
menjadi bermakna..
” Jelaslah bahwa pengetahuan yang sudah dimiliki siswa akan sangat menentukan
berhasil tidaknya suatu proses pembelajaran. Untuk menjelaskan tentang belajar
bermakna ini, perhatikan tiga bilangan berikut.
Menurut Anda, dari tiga bilangan berikut: 
a.       50, 471, 198
b.      54, 918, 071
c.       17, 081, 945
manakah yang lebih mudah dipelajari atau diingat para siswa? Seorang siswa dapat
saja mengingat ketiga bilangan tersebut yaitu dengan mengucapkan bilangan
tersebut berulang-ulang beberapa kali. Namun sebagai warga bangsa Indonesia
tentunya Bapak dan Ibu Guru akan meyakini bahwa bilangan (c) yaitu 17.081.945
merupakan bilangan yang paling mudah dipelajari jika bilangan tersebut dikaitkan
dengan tanggal 17 – 08 – 1945 yang merupakan hari kemerdekaan Republik
Indonesia. Proses pembelajaran bilangan 17.081.945 (tujuh belas juta delapan puluh
satu ribu sembilan ratus empat puluh lima) akan bermakna bagi siswa hanya jika si
siswa, dengan bantuan gurunya, dapat mengaitkannya dengan tanggal keramat 17
Agustus 1945 yang sudah ada di dalam kerangka kognitifnya. 
Bilangan (b) yaitu 54.918.071 akan lebih mudah dipelajari siswa daripada bilangan
(a) yaitu 50.471.198 karena bilangan (b) didapat dari tanggal 17–08–1945 dalam
urutan terbalik yaitu 5491–80–71.
Bilangan (a) merupakan bilangan yang paling sulit untuk dipelajari karena aturan
atau polanya belum diketahui. Contoh di atas menunjukkan bahwa suatu proses
pembelajaran akan lebih mudah dipelajari dan dipahami siswa jika para guru
mampu dalam memberi kemudahan bagi siswanya sedemikian sehingga para siswa
dapat mengaitkan pengetahuan yang baru dengan pengetahuan yang sudah
dimilikinya. Itulah inti dari belajar bermakna (meaningful learning) yang telah
digagas David P Ausubel.

G. Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Belajar Bermakna


Faktor-faktor utama yang mempengaruhi belajar bermakna menurut Ausubel
adalah struktur kognitif yang ada, stabilitas, dan kejelasan pengetahuan dalam suatu
bidang studi tertentu dan pada waktu tertentu. Sifat-sifat struktur kognitif
menentukan validitas dan kejelasan arti-arti yang timbul waktu informasi baru
masuk ke dalam struktur kognitif itu; demikian pula sifat proses interaksi yang
terjadi. 
Jika struktur kognitif itu stabil, dan diatur dengan baik, maka arti-arti yang sahih
dan jelas atau tidak meragukan akan timbul dan cenderung bertahan. Tetapi
sebaliknya jika struktur kognitif itu tidak stabil, meragukan, dan tidak teratur, maka
struktur kognitif itu cenderung menghambat belajar dan retensi.

H.    Kondisi- Kondisi Belajar Bermakna


1.    Menjelaskan hubungan atau relevansi bahan- bahan baru dengan bahan- bahan
lama.
2.    Lebih dahulu diberikan ide yang paling umum dan kemudian hal- hal yang lebih
terperinci.
3.    Menunjukkan persamaan dan perbedaan antara bahan baru dengan bahan lama.
4.    Mengusahakan agar ide yang telah ada dikuasai sepenuhnya sebelum ide yang baru
disajikan.
I.       Langkah-langkah Pembelajaran
Sebelum dimulainya suatu proses belajar, maka penting untuk memperhatikan
apa-apa saja yang telah diketahui siswa, sebab ini merupakan faktor dalam
mempengaruhi keberhasilan belajar. Untuk itu perlu dibuat langkah-langkah
pembelajaran agar tidak terjadi kerancuan dalam kegiatan belajar. Berikut
merupakan langkah-langkah pembelajaran menurut teori Ausubel:
1.    Menentukan tujuan pembelajaran.
2.    Melakukan identifikasi karakteristik peserta didik (kemampuan awal, motivasi, gaya
belajar, dan sebagainya)
3.    Memilih materi pelajaran sesuai dengan karakteristik peserta didik dan
mengaturnya dalam bentuk konsep-konsep inti.
4.    Menentukan topik-topik dan menampilkannya dalam bentuk advance organizer
yang akan dipelajari peserta didik.
5.    Mempelajari konsep-konsep inti tersebut, dan menerapkannya dalam bentuk
nyata/konkret.
6.    Melakukan penilaian proses dan hasil belajar peserta didik.

J.    Kelebihan dan Kelemahan Belajar Bermakna


-          Kelebihan Belajar Bermakna
Ada tiga kelebihan dari belajar bermakna yaitu :
1.         Informasi yang dipelajari secara bermakna lebih lama diingat.
2.         Informasi yang dipelajari secara bermakna memudahkan proses belajar berikutnya
untuk materi pelajaran yang mirip.
3.         Informasi yang dipelajari secara bermakna mempermudah belajar hal-hal yang
mirip walaupun telah terjadi lupa.

-          Kelemahan Belajar Bermakna


1.        Informasi yang dipelajari secara hafalan tidak lama diingat.
2.        Jika peserta didik berkeinginan untuk mempelajari sesuatu tanpa mengaitkan hal
yang satu dengan hal yang lain yang sudah diketahuinya maka baik proses maupun
hasil pembelajarannya dapat dinyatakan sebagai hafalan dan tidak akan bermakna
sama sekali baginya.

K.    Penerapan Pembelajaran Bermakna


Ausubel berpendapat bahwa guru harus dapat mengembangkan potensi kognitif
peserta didik melalui proses belajar yang bermakna. Sama seperti Bruner dan Gagne,
Ausubel beranggapan bahwa aktivitas belajar peserta didik, terutama mereka yang
berada di tingkat pendidikan dasar akan bermanfaat kalau mereka banyak dilibatkan
dalam kegiatan langsung. Namun untuk peserta didik pada tingkat pendidikan lebih
tinggi, maka kegiatan langsung akan menyita banyak waktu. Untuk mereka, menurut
Ausubel, lebih efektif kalau guru menggunakan penjelasan, peta konsep,
demonstrasi, diagram, dan ilustrasi. Inti dari teori belajar bermakna Ausubel adalah
proses belajar akan mendatangkan hasil atau bermakna kalau guru dalam
menyajikan materi pelajaran yang baru dapat menghubungkannya dengan konsep
yang relevan yang sudah ada dalam struktur kognisi peserta didik.
Pada belajar bermakna peserta didik dapat mengasimilasi pada belajar bermakna
secara penerimaan, materi pelajaran disajikan dalam bentuk final, sedangkan pada
belajar bermakna secara penemuan, peserta didik diharapkan dapat menemukan
sendiri informasi konsep atau dari materi pelajaran yang disampaikan. Belajar
bermakna dapat terjadi jika peserta didik mampu mengkaitkan materi pelajaran
baru dengan struktur kognitif yang sudah ada. Struktur kognitif tersebut dapat
berupa fakta-fakta, konsep-konsep maupun generalisasi yang telah diperoleh atau
bahkan dipahami sebelumnya oleh peserta didik. Bruner memandang manusia
sebagai pemproses, pemikir, dan pencipta informasi.
Anak harus mengubah dirinya untuk melakukan hal itu, sebagai contoh, jika
seorang anak menemukan sebuah benda yang menghalangi jalan bagi mainannya
(mobil-mobilan misalnya), anak tersebut menemukan penyelesaian yang membuat
dirinya dapat memudahkan benda yang menghalangi itu dan mainannya dapat
berjalan lagi. Asimilasi di lain pihak, adalah kemampuan anak mengubah untuk
memenuhi apa yang ia imajinasikan. Anak memiliki ide apa yang ia inginkan dan
memodifikasi lingkungan untuk mencapai hal tersebut. 
Ia mungkin melakukan modifikasi melalui aktifitas mental, misalnya seorang
anak berumur 4 tahun menganggap sebatang sedotan minuman sebagai tongkat
ajaib atau lempengan plastik dianggapnya sebagi pedang yang ampuh. Namun, dapat
juga ia melakukannya dengan aktifitas fisik, misalnya seorang anak membuat rumah
rumahan, sebuah arca atau sebuah candi dari pasir. Hal ini sering dihubungkan
dengan ‘bermain’ (play), yang sangat disukai oleh anak-anak. Memang
antarasimilasi dan bermain terdapat hubungan yang sangat erat. 
Kita semua tahu bahwa anak suka bermain dan asimilasi menjelaskan mekanisme
psikologis mengenai hal itu. Dalam bermain anak-anak mentransformasikan objek-
objek untuk memenuhi imajinasi yang ada pada dirinya. Secara mudah dapat
dikatakan bahwa asimilasi melibatkan proses transformasi pengalaman di dalam
pikiran, sedangkan akomodasi melibatkan proses penyesuaian pikiran terhadap
pengalaman yang baru. Pada sembarang tahapan (stage) perkembangan, akomodasi
atau asimilasi salah satu untuk sementara mendominasi dan baru kemudian
digantikan oleh yang lain. Akhirnya suatu keseimbangan (equilibrium) akan
diperoleh (untuk tahapan tertentu) melalui proses penyeimbangan atau ekuilibrasi
(equilibration). Ekuilibrasi adalah kemampuan anak untuk menyusun dan mengatur.

L.     Metode Ekspositori
Metode ekspositori sama seperti metode ceramah dalam hal terpusatnya kegiatan
pada guru sebagai pemberi informasi (bahan pelajaran). Tetapi pada metode
ekspositori dominasi guru banyak berkurang, karena tidak terus-menerus bicara. Ia
berbicara pada awal pelajaran, menerangkan materi dan contoh soal, dan pada
waktu-waktu yang diperlukan saja. Peserta didik tidak hanya mendengar dan
membuat catatan. Tetapi juga membuat soal latihan dan bertanya kalau tidak
mengerti. Kalau dibandingkan dominasi guru dalam kegiatan belajar mengajar,
metode ceramah lebih terpusat pada guru daripada metode ekspositori. Pada metode
ekspositori peserta didik belajar lebih aktif daripada metode ceramah. Peserta didik
mengerjakan latihan soal sendiri, mungkin juga saling bertanya dan mengerjakannya
bersama dengan temannya, atau disuruh membuatnya di papan tulis.
Beberapa hasil penelitian (di Amerika Serikat) menyatakan metode ekspositori
merupakan cara mengajar yang paling efektif dan efisien. Demikian pula keyakinan
sementara ahli teori belajar-mengajar. David P. Ausubel berpendapat bahwa metode
ekspositori yang baik merupakan cara mengajar yang paling efektif dan efisien dalam
menanamkan belajar bermakna.
Ausubel membedakan belajar menjadi:
a.       Belajar dengan menerima (reception learning), dan
b.      Belajar melalui penemuan (discovery learning)
Kalau materi yang disajikan kepada peserta didik lengkap sampai bentuk akhir
yang berupa rumus atau pola bilangan, maka cara belajar peserta didik dikatakan
belajar menerima. Misalnya luas segitiga diberikan lengkap sampai rumus . Pada
belajar dengan penemuan, bentuk akhir yang berupa rumus, pola, atau aturan itu
harus ditemukan sendiri oleh peserta didik. Proses penemuannya dapat dilakukan
sendiri atau dapat pula dengan bimbingan.
Belajar dibedakan pula menjadi:
a.       Belajar dengan menghafal (rote learning), dan
b.      Belajar dengan pengertian (meaningful learning)
Pada belajar dengan pengertian yang diutamakan adalah prosesnya, sedangkan
hasilnya hanya nomor dua.
Belajar dengan  menerima dan belajar melalui penemuan kedua-duanya bisa
menjadi belajar dengan menghafal atau belajar dengan pengertian. Kalau seorang
anak belajar teorema Phytagoras lengkap hingga rumusnya dengan cara menerima,
selanjutnya rumus itu selalu dikaitkan dengan hubungan antara ukuran sisi siku-
siku dan sisi miring segitiga siku-siku, maka belajar menerima itu menjadi belajar
dengan pengertian. Juga, bila seorang peserta didik memperoleh teorema
Phytagoras itu melalui penemuan dan kemudian rumusnya selalu dikaitkannya
dengan hubungan antara ukuran sisi siku-siku dengan sisi miring segitiga siku-siku,
maka belajar dengan penemuan itu menjadi belajar dengan pengertian. Jika dua
orang peserta didik belajar ; seorang belajar dengan menerima dan yang seorang lagi
belajar dengan penemuan, tetapi selanjutnya mereka hanya menghafal bentuk akhir
itu sebagai aturan untuk melakukan pembagian dengan pecahan, maka belajar
mereka akhirnya hanya belajar menghafal saja.

M.   Pendekatan Deduktif
Pendekatan deduktif merupakan cara menarik kesimpulan dari hal yang umum
menjadi kasus yang khusus. Penarikan kesimpulan secara deduktif biasanya
menggunakan pola berpikir yang disebut silogisme. Ini terdiri dari 2 macam
pernyataan yang benar dan sebuah kesimpulan (konklusi). Kedua pernyataan
pendukung silogisme disebut premis (hipotesis) yang dibedakan menjadi premis
mayor dan premis minor. Kesimpulan diperoleh sebagai hasil penalaran deduktif
berdasarkan macam premis itu.
Mengajarkan konsep dengan pendekatan deduktif dimulai dengan contoh-contoh
yang dapat diberikan oleh guru atau dicari oleh murid. Karena itu, guru harus dapat
memperkirakan pendekatan mana sebaiknya yang dipakai untuk mengajarkan bahan
tertentu di suatu kelas. Ada baiknya, para guru matematika sewaktu-waktu bertukar
pendapat mengenai pendekatan yang lebih cocok dipakai untuk mengajarkan bahan
tertentu di suatu kelas berdasarkan pengalaman. Fakta yang diperoleh dari
pengalaman merupakan salah suatu sumber pengetahuan.
Adapun kelebihan dan kelemahan dari pendekatan deduktif dibandingkan
dengan pendekatan lain adalah :
1.      Kelebihan pendekatan deduktif antara lain:
a.       Tidak memerlukan banyak waktu.
b.      Sifat dan rumus yang diperoleh dapat langsung diaplikasikan kedalam soal-soal atau
masalah yang konkrit.
2.      Kelemahan pendekatan deduktif antara lain:
a.       Siswa sering mengalami kesulitan memahami makna matematika dalam
pembelajaran. Hal ini disebabkan siswa baru bisa memahami konsep setelah
disajikan berbagai contoh.
b.      Siswa sulit memahami pembelajaran matematika yang diberikan karena siswa
menerima konsep matematika yang secara langsung diberikan oleh guru.
c.       Siswa cenderung bosan dengan pembelajaran dengan pendekatan deduktif, karena
disini siswa langsung menerima konsep matematika dari guru tanpa ada kesempatan
menemukan sendiri konsep tersebut.
BAB III
PENUTUP

A.  SIMPULAN
Menurut Ausubel ada dua jenis belajar : (1) Belajar bermakna (meaningful
learning) dan (2) belajar menghafal (rote learning). Belajar bermakna adalah suatu
proses belajar di mana informasi baru dihubungkan dengan struktur pengertian
yang sudah dipunyai seseorang yang sedang belajar. Sedangkan belajar menghafal
adalah peserta didik berusaha menerima dan menguasai bahan yang diberikan oleh
guru atau yang dibaca tanpa makna.
Metode ekspositori sama seperti metode ceramah dalam hal terpusatnya
kegiatan pada guru sebagai pemberi informasi (bahan pelajaran). Tetapi pada
metode ekspositori dominasi guru banyak berkurang, karena tidak terus-menerus
bicara. Ia berbicara pada awal pelajaran, menerangkan materi dan contoh soal, dan
pada waktu-waktu yang diperlukan saja. Peserta didik tidak hanya mendengar dan
membuat catatan. Tetapi juga membuat soal latihan dan bertanya kalau tidak
mengerti.
Pendekatan Deduktif adalah pendekatan yang menggunakan penalaran deduktif
dengan cara definisi diberikan terlebih dahulu, kemudian para siswa diajak untuk
menerapakan teori-teori melalui contoh yang sesuai dengan materi yang diberikan
sebelumnya oleh guru, atau dengan kata lain pendekatan yang menggunakan pola
pikir logis untuk menarik suatu kesimpulan dari hal umum ke hal yang khusus.

B.  SARAN
Penulis menyarankan kepada para pembaca dan seorang calon guru agar bisa
memahami apa yang dibicarakan/dibahas dalam pembahasan makalah ini, semoga
makalah ini bermanfaat bagi penulis dan terkhusus bagi para pembaca, dan apabila
ada suatu kekurangan dalam makalah ini penulis meminta maaf atas kekurangan
tersebut dan penulis menunggu atau menanti kritikan yang sifatnya membangun
dari para pembaca.
DAFTAR PUSTAKA

Krismanto, Al. 2003. Beberapa Teknik, Model, dan Strategi dalam Pembelajaran


Matematika. Yogyakarta.
http://catatantanti.blogspot.com/2012/08/teori-belajar-bandura-ausable-dan-
gagne.html
http://bupulenambudi.blogspot.com/2011/11/teori-belajar-bermakna-ausubel.html
http://rezaliah.blogspot.com/2012/05/penerapan-teori-belajar-kognitif-dalam.html
http://mtktik.blogspot.com/2012/07/pendekatan-deduktif-dan-induktif-dalam.html
Unknown di 02.47
KELEBIHAN DAN KEKURANGAN BELAJAR BERMAKNA
Kelebihan Belajar Bermakna

1. Informasi yang dipelajari secara bermakna lebih lama diingat.


2. Informasi yang dipelajari secara bermakna memudahkan proses belajar berikutnya untuk
materi pelajaran yang sama.
3. Informasi yang dipelajari secara bermakna mempermudah belajar hal-hal yang mirip
walaupun terjadi lupa.
Kekurangan Belajar Bermakna

1. Informasi yang dipelajari secara hafalan tidak lama diingat


2. jika peserta didik berkeinginan untuk mempelajari sesuatu tanpa mengaitkan hal yang satu
dengan hal yang lain yang sudah diketahuinya maka baik proses maupun hasil
pembelajarannya dapat dinyatakan sebagai hafalan.
Teori Belajar Bermakna Ausubel dan Prinsip Penerapannya
dalam Pembelajaran

Teori Belajar Bermakna Ausubel dan Prinsip Penerapannya dalam Pembelajaran

Amongguru.com. David Ausubel merupakan seorang ahli psikologi pendidikan yang


terkenal dengan teori belajar bermakna.

Ausubel memberikan penekanan pada pentingnya pembelajaran yang bermakna dan


pentingnya pengulangan sebelum dimulainya pembelajaran.

Menurut Ausubel, belajar dapat dikelompokkan ke dalam dua dimensi. Dimensi


pertama berhubungan dengan cara informasi atau materi yang disajikan pada siswa
melalui penerimaan atau penemuan.

Dimensi kedua menyangkut tentang bagaimana siswa dapat mengaitkan informasi


tersebut pada struktur kognitif yang telah ada, yang meliputi fakta, konsep, dan
generalisasi yang telah dipelajari dan diingat oleh siswa.

Menurut Ausubel, pada tahap pertama belajar, informasi dapat dikomunikasikan


kepada siswa dalam bentuk belajar penerimaan dengan menyajikan informasi dalam
bentuk final atau mengharuskan siswa untuk menemukan sendiri materi yang akan
diajarkan.

Pada tingkat kedua, siswa menghubungkan atau mengaitkan informasi  tersebut pada
pengetahuan yang telah dimilikinya, dalam hal ini terjadi proses belajar bermakna.

Teori Belajar Bermakna Ausubel


Belajar bermakna merupakan suatu proses dikaitkannya informasi baru pada konsep-
konsep yang relevan yang terdapat pada struktur kognitif seseorang. Di dalam belajar
bermakna, informasi baru diasimilasikan pada subsume-subsume yang ada.

Ausubel membedakan antara belajar menerima dengan belajar menemukan. Pada


belajar menerima, siswa hanya menerima sehingga tinggal menghapalnya.

Pada belajar menemukan, konsep sudah ditemukan oleh siswa, sehingga siswa tidak
menerima materi pelajaran begitu saja.

Selain itu, Ausubel juga berpendapat bahwa terdapat perbedaan mendasar antara
belajar menghapal dengan belajar bermakna.

DI dalam belajar menghapal, siswa menghapalkan materi yang sudah diperolehnya,


sedangkan pada belajar bermakna, materi yang telah diperoleh tersebut tersebut
dikembangkan sehingga belajarnya menjadi lebih dimengerti.

Menurut Ausubel, prasyarat belajar bermakna ada dua, sebagai berikut: (1) Materi yang
akan dipelajari harus bermakna secara potensial; dan (2) Siswa yang akan belajar harus
bertujuan untuk melaksanakan belakar bermakna.

Prinsip Penerapan Teori Belajar Bermakna


Sesuai pendapat Ausubel, faktor penting yang memengaruhi belajar adalah apa yang
sudah diketahui siswa. Jadi agar terjadi belajar bermakna, konsep atau informasi batu
harus dikaitkan dengan konsep-konsep yang sudah ada dalam struktur kognitif siswa.
Di dalam menerapkan teori Ausubel dalam belajar, terdapat prinsip-prinsip yang harus
diperhatikan, sebagai berikut.

1. Pengaturan awal (advance organizer)

Pengaturan awal mengarahkan siswa ke materi yang akan dipelajari dan mengingatkan
siswa pada materi sebelumnya yang dapat digunakan untuk membantu guru dalam
menanamkan konsep baru.

2. Diferensiasi progresif

Pengembangan kosep berlangsung paling baik jika unsur-unsur yang paling umum,
paling inklusif dari suatu konsep diperkenalkan terlebih dahul, baru kemudian diberikan
hal-hal yang lebih spesifik dan khusus dari konsep tersebut.

3. Belajar superordinat

Selama informasi diterima dan diasosiasikan dengan konsep dalam struktur kogniif
(subsumsi), maka konsep tersebut tumbuh dan mengalami diferensiasi.

Belajar superordinat dapat terjadi apabila konsep-konsep yang telah dpelajari


sebelumnya dikenal sebagai unsur-unsur dari sebuah konsep yang lebih luas dan lebih
inklusif.

4. Penyesuaian integratif (rekonsiliasi integratif)

Guru harus mampu memperlihatkan secara eksplisit bagaimana arti-arti baru


dibandingkan dan dipertentangkan dengan arti-arti sebelumnya yang lebih sempit, dan
bagaimana konsep-konsep yang tingkatannya lebih tinggi selanjutnya mengambil arti
baru.

Di dalam menerapkan teori Ausubel dalam pembelajaran, maka perlu digunakan dua
fase, yaitu fase perencanaan dan fase pelaksanaan.

Fase perencanaan terdiri dari menetapkan tujuan pembelajaran, mendiagnosis latar


belakang pengetahuan siswa, membuat struktur materi dan memformulasikan
pengetahuan awal.

Sedangkan fase pelaksanaan, dalam pembelajaran terdiri dari pengaturan awal,


diferensiasi progresif, dan rekonsiliasi integratif.

Demikian ulasan mengenai teori belajar Bermakna Ausubel dan prinsip


penerapannya dalam pembelajaran. Semoga bermanfaat.
Teori David Ausubel: Belajar Bermakna

David Ausubel adalah seorang ahli psikologi pendidikan. Menurut Ausubel, belajar 
dapat diklasifikasikan ke dalam dua dimensi, yaitu:
•  Dimensi pertama berhubungan dengan cara informasi atau materi pelajaran disajikan
pada siswa, melalui penerimaan atau penemuan.
•  Dimensi kedua menyangkut cara bagaimana siswa dapat mengaitkan informasi itu
pada struktur kognitif yang telah ada. Struktur kognitif yang dimaksud adalah fakta-fakta,
konsep-konsep dan generalisasi-generalisasi yang telah dipelajari dan diingat oleh
siswa (Dahar,1989).

Pada tingkat pertama dalam belajar, informasi dapat dikomunikasikan pada siswa baik
dalam bentuk belajar penerimaan yang menyajikan informasi itu dalam bentuk  final,
maupun dengan bentuk belajar penemuan yang mengharuskan siswa untuk
menemukan sendiri sebagian atau seluruh materi yang akan diajarkan.

Pada tingkat kedua, siswa menghubungkan atau mengaitkan informasi itu pada
pengetahuan (berupa konsep atau  lainnya) yang telah dimiliki sebelumya, dalam hal ini
terjadi belajar bermakna. Akan tetapi siswa juga dapat mencoba-coba menghafalkan
informasi baru itu, tanpa menghubungkannya pada konsep-konsep yang telah ada
dalam struktur kognitifnya, dalam hal ini terjadi belajar hafalan.

Pada saat guru menjelaskan materi, dapat terjadi dua dimensi, pertama dapat terjadi
belajar bermakna, yaitu apabila siswa menghubungkan atau mengaitkan informasi yang
diterima dengan konsep-konsep yang telah ada atau  yang telah dimiliki sebelumnya.
Dapat pula hanya penerimaan informasi saja tanpa mengaitkan dengan konsep-konsep
yang telah ada atau yang dikenal dengan belajar hafalan. 

Walaupun demikian, belajar hafalan dapat pula menjadi bermakna yaitu dengan cara
menjelaskan hubungan antara konsep-konsep. Untuk lebih jelasnya dapat diperhatikan
bagan di bawah ini. 
Sepanjang garis mendatar, dari kiri ke kanan terdapat berkurangnya belajar
penerimaan, dan bertambahnya belajar penemuan, sedangkan sepanjang garis vertikal
dari bawah ke atas terjadi berkurangnya belajar hafalan dan bertambahnya belajar
bermakna. Inti dari teori Ausubel tentang belajar adalah  belajar bermakna  yang
merupakan suatu proses mengaitkan informasi baru pada konsep-konsep relevan yang
terdapat dalam struktur kognitif seseorang.

Pada seorang anak, pembentukan konsep merupakan proses utama untuk membentuk
konsep-konsep. Telah kita ketahui, bahwa pembentukan konsep adalah semacam
belajar penemuan yang menyangkut baik pembentukan hipotesis dan pengujian
hipotesis maupun  pembentukan generalisasi dari hal-hal yang khusus. 

Pada saat usia masuk sekolah tiba, pada umumnya anak telah mempunyai kerangka
konsep-konsep yang mengijinkan terjadinya belajar bermakna. Bila dalam struktur
kognitif seseorang tidak terdapat konsep-konsep relevan, maka informasi baru dipelajari
secara hafalan, dan bila tidak dilakukan usaha untuk mengasimilasikan pengetahuan
baru pada konsep-konsep relevan yang sudah ada dalam struktur kognitif, akan terjadi
belajar hafalan.

Proses Belajar Bermakna


Pada gambar di atas, informasi baru a, b, c, dikaitkan pada konsep yang relevan dalam
struktur kognitif (subsumer) A, B, C. Subsumer A lebih banyak mengalami diferensiasi
lebih banyak daripada subsumer B atau C (Novak, 1977 dalam Dahar,1989) 

Selama belajar  bermakna berlangsung, informasi baru a, b, b, terkait pada konsep-


konsep dalam struktur kognitif  (subsumer) A, B, C. Untuk menekankan pada fenomena
pengaitan itu Ausubel mengemukakan istilah subsumer, Subsumer memegang peranan
dalam proses perolehan informasi baru. Dalam belajar bermakna subsumer mempunyai
peranan interaktif, memperlancar gerakan informasi yang relevan melalui penghalang-
penghalang  perseptual dan  menyediakan  suatu kaitan
antara informasi yang baru diterima dengan pengetahuan yang sudah dimiliki
sebelumnya.

Proses interaktif antara materi yang baru dipelajari dengan subsumer-subsumer inilah
yang menjadi inti teori belajar asimilasi Ausubel. Proses ini disebut proses subsumsi.
Selama belajar bermakna, subsumer mengalami modifikasi dan terdiferensiasi lebih
lanjut. Diferensiasi subsumer-subsumer diakibatkan oleh asimilasi pengetahuan baru
selama belajar bermakna berlangsung. Informasi yang dipelajari secara bermakna
biasanya lebih lama diingat dari pada informasi yang dipelajari secara hafalan.

Menurut Ausubel dan  juga Novak (1977), ada tiga kebaikan belajar bermakna, yaitu:

 Informasi yang dipelajari secara bermakna lebih lama dapat diingat.

 Informasi yang tersubsumsi berakibatkan peningkatan diferensiasi dari subsumer-


subsumer, jadi memudahkan proses belajar berikutnya untuk materi pelajaran yang
mirip.

 Informasi yang dilupakan sesudah subsumsi obliteratif (subsumsi yang telah rusak),
meninggalkan efek residual pada subsumer, sehingga mempermudah belajar hal-
hal yang mirip walaupun telah terjadi lupa.

Menurut Ausubel, pengembangan konsep berlangsung paling baik bila unsur-unsur


yang paling umum, paling inklusif dari suatu konsep diperkenalkan terlebih dahulu, dan
kemudian baru diberikan hal-hal yang lebih rinci dan khusus dari konsep tersebut.
Dengan perkataan lain model  belajar menurut Ausubel umumnya berlangsung dari
umum ke khusus. 
Ausubel berkeyakinan bahwa belajar merupakan proses deduktif. Dalam strategi
mengajar deduktif, guru mengajarkan konsep-konsep yang paling inklusif dahulu,
kemudian konsep-konsep yang kurang inklusif dan seterusnya. Proses penyusunan
konsep semacam ini disebut diferensial progresif atau konsep-konsep disusun secara
hierarki, hal ini diterjemahkan oleh Novak sebagai peta konsep. 
Gagasan/pandangan belajar dari Ausubel yang menekankan pada belajar terjadi melalui
penerimaan memberikan konsekuensi pada cara/metode penyajian dalam mengajar. 
Ausubel memberikan sebutan  pada cara penyajian itu dengan pengajaran ekspositori.  

Pada pengajaran expositori terdapat 4 ciri utama, yaitu:

 Interaksi guru-siswa, walaupun guru lebih dominan dalam meyajikan materi, ide-
ide/gagasan  awal siswa harus menjadi bahan pertimbangan utama dalam
pembahasan selanjutnya dalam setiap pengajaran.

 Buatlah contoh-contoh untuk setiap konsep, walaupun penekanan belajar pada


belajar bermakna secara verbal, pemberian contoh-contoh seperti dalam gambar
dan diagram sangatlah diperlukan.

 Penyajian bentuk deduktif.  Dalam penyajian materi hendaknya diperkenalkan


terlebih dahulu konsep-konsep umum dan inklusif, baru kemudian contoh-contoh
yang lebih khusus.

 Penyajian secara hierarkis.Penyajian bentuk ini menekankan penyajian materi


secara hierarkis, misalnya sebelum menguraikan materi secara rinci, terlebih
dahulu kita uraikan materi secara keseluruhan, sehingga siswa mampu menangkap
struktur atau kedudukan sesuatu pada batang tubuh materi yang sedang
dibahasnya.

Untuk menerapkan ciri-ciri pembelajaran seperti disarankan oleh Ausubel, strategi


penyajian materi haruslah berbentuk  Advance Organizer(pengaturan awal). Advance
Organizer akan berfungsi sebagai suatu Cognitive Bridge  (jembatan pengetahuan) 
yang akan menguatkan   struktur kognitif siswa yang dapat menjadikan informasi-
informasi baru dapat dengan mudah diasimilasikan. 
Advance Organizer  akan mengarahkan siswa ke materi yang akan dipelajari dan
menolong mereka untuk mengingat kembali informasi yang berhubungan, yang dapat
digunakan membantu menanamkan pengetahuan baru. 
Variabel-variabel yang mempengaruhi belajar bermakna  Faktor-faktor utama yang
mempengaruhi belajar bermakna ialah: (1) struktur kognitif yang ada, (2) stabilitas dan
kejelasan pengetahuan dalam
suatu bidang studi tertentu dan (3) pada waktu tertentu. Sifat-sifat struktur kognitif
menentukan validitas dan kejelasan arti-arti yang timbul waktu informasi itu masuk ke
dalam struktur kognitif  itu, jika struktur kognitif itu stabil, jelas dan diatur dengan baik,
maka akan timbul arti-arti yang jelas, sahih atau tidak meragukan dan cenderung akan
bertahan. Tetapi sebaliknya, jika struktur kognitif itu tidak stabil, meragukan dan tidak
teratur, maka struktur kognitif itu cenderung menghambat belajar.

Prasyarat-prasyarat dari belajar bermakna adalah sebagai berikut.

 Materi yang akan dipelajari harus bermakna secara potensial.


 Anak yang akan belajar harus bertujuan untuk melakukan belajar bermakna,
mempunyai kesiapan dan niat untuk belajar bermakna. 

Kebermaknaan materi pelajaran secara potensial tergantung pada dua faktor, yaitu:

 Materi harus memiliki kebermaknaan logis yaitu materi yang konsisten, ajeg dan
substantif yaitu dapat dinyatakan dalam berbagai cara, tanpa mengubah arti,

 Gagasan-gagasan yang relevan harus terdapat dalam struktur kognitif siswa.


David Ausubel
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Loncat ke navigasiLoncat ke pencarian

David Paul Ausubel (25 Oktober 1918 - 9 Juli 2008) adalah seorang psikolog
asal Amerika Serikat. Kontribusinya yang paling signifikan adalah di bidang psikologi
pendidikan, ilmu kognitif, dan pembelajaran pendidikan sains pada pengembangan
dan penelitian tentang "Advance Organizer" sejak tahun 1960. Lahir 25 Oktober
1918, dibesarkan di Brooklyn, New York Amerika Serikat, dan wafat, 9 Juli 2008.[1]

Daftar isi

 1Biografi
o 1.1Keluarga
o 1.2Pendidikan
o 1.3Profesi Psikiater
o 1.4Penulis
 2Pengaruh
 3Referensi

Biografi[sunting | sunting sumber]
Keluarga[sunting | sunting sumber]
Ausubel menikah dengan istrinya Pearl, dan dikaruniai dua anak. Ia merupakan
keponakan dari sejarawan Yahudi Nathan Ausubel.[1]
Pendidikan[sunting | sunting sumber]
David Ausubel belajar di University of Pennsylvania, Amerika Serikat, dan lulus
dengan pujian (cumlaude) meraih gelar sarjana psikologi pada tahun 1939. Setelah
itu, Ausubel lulus dari sekolah kedokteran pada tahun 1943 di Universitas
Middlesex tempat ia melanjutkan dan menyelesaikan magang di Rumah Sakit
Gouverneur, yang terletak di sisi timur bawah Manhattan, New York.[1] Setelah
berdinas militer di bagian Layanan Kesehatan Masyarakat AS, Ausubel
mendapatkan gelar MA dan Ph.D. dalam psikologi perkembangan dari Universitas
Columbia pada tahun 1950.  Ia menjadi guru besar (profesor) di beberapa sekolah
pendidikan.
Profesi Psikiater[sunting | sunting sumber]
Pada tahun 1973, Ausubel pensiun dari kehidupan akademik dan mengabdikan
dirinya berpraktik sebagai psikiater. Selama praktik sebagai seorang psikiater,
Ausubel menerbitkan banyak buku serta artikel di jurnal psikiatris dan psikologis.
Pada tahun 1976, ia menerima Penghargaan Thorndike dari American Psychological
Association untuk "Kontribusi Psikologis Terhadap Pendidikan".[1]
Penulis[sunting | sunting sumber]
Pada tahun 1994, di usianya ke-75, Ausubel pensiun dari seluruh kehidupan
profesionalnya dan mengabdikan diri sepenuhnya untuk menulis. Ia kemudian
menerbitkan empat buku:[2]

1. Pengembangan Ego dan Psikopatologi (1996),


2. Akuisisi dan Retensi Pengetahuan (2000),
3. Teori dan Masalah Perkembangan Remaja (2002), dan
4. Kematian dan Kondisi Manusia (2002),
Dalam Kematian dan Kondisi Manusia, ia menulis tentang psikologi kematian dan
mengesankan pemikiran psikologis, teologis, dan filosofis pribadinya tentang sifat
dan implikasi kehidupan setelah kematian,[2]  mengonseptualisasikan kematian dari
sudut pandang kepercayaan Kristen maupun tidak, mengungkapkan pandangannya
bahwa "relevansi dan nilai iman seharusnya tidak boleh direndahkan atau
diperlakukan secara merendahkan, seperti yang cenderung dilakukan oleh ateis,
agnostik, dan rasionalis."[3]

Pengaruh[sunting | sunting sumber]
Ausubel dipengaruhi oleh ajaran Jean Piaget. Mirip dengan ide-ide Piaget tentang
skema konseptual, Ausubel menghubungkan ini dengan penjelasannya tentang
bagaimana orang memperoleh pengetahuan. Ausubel percaya bahwa pemahaman
konsep, prinsip, dan ide dicapai melalui penalaran deduktif.[4]
Ia percaya pada ide pembelajaran yang bermakna sebagai kebalikan dari
menghafal. Dalam kata pengantar bukunya Educational Psychology: A Cognitive
View, dia mengatakan bahwa "Jika [dia] harus mengurangi semua psikologi
pendidikan menjadi hanya satu prinsip, [dia] akan mengatakan ini: Faktor tunggal
yang paling penting yang mempengaruhi pembelajaran adalah apa yang pelajar
sudah tahu. Pastikan ini dan ajarkan dia sesuai "(Ausubel, 1968, p. vi).[5] Melalui
keyakinannya akan pembelajaran yang bermakna, Ausubel mengembangkan
teorinya tentang Advance Organizer.
David Ausubel mengemukakan pula tentang pembelajaran bermakna yang
merupakan suatu proses mengaitkan informasi baru pada konsep-konsep relevan
yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Inti teori Ausubel tentang belajar
adalah belajar bermakna.[6]
Menurut Ausubel faktor utama yang memengaruhi belajar bermakna adalah struktur
kognitif yang telah ada, stabilitas, kejelasan pengetahuan dalam suatu bidang studi,
dan pada waktu tertentu.[6] Sifat-sifat struktur kognitif menentukan validitas dan
kejelasan arti-arti yang timbul pada waktu informasi baru masuk ke dalam struktur
kognitif itu, demikian pula sifat proses interaksi yang terjadi.
Dalam menerapkan teori belajar Ausubel dalam mengajar perlu
memperhatikan konsep-konsep atau prinsip-prinsip, yaitu pengatur awal, diferensiasi
progresif, penyesuaian integratif, dan belajar superordinat.[6]

Referensi[sunting | sunting sumber]

1. ^ Lompat ke:a b c d "DausubelIndex". www.davidausubel.org. Diakses tanggal 2020-04-04.


2. ^ Lompat ke:a b Ausubel, David (2002). Death and the Human Condition (dalam bahasa Inggris).
iUniverse. ISBN 978-0-595-23197-3.
3. ^ Ausubel, David (2002). Death and the Human Condition (dalam bahasa Inggris). iUniverse.
hlm. p.46. ISBN 978-0-595-23197-3.
4. ^ Woolfolk, A.E., Winne, P.H., Perry, N.E., &, Shapka, J. (2010). Educational Psychology (4th ed).
Toronto: Pearson Canada. ISBN 978-0-205-75926-2.
5. ^ Ausubel, David Paul (1968). Educational Psychology: A Cognitive View. New York: Holt,
Rinehart & Winston.
6. ^ Lompat ke:a b c Dahar, Ratna Wilis (1996, cetakan kedua). Teori-Teori Belajar. Jakarta: Erlangga.

Anda mungkin juga menyukai