Anda di halaman 1dari 7

SHOCK

Drg Inda Pribadi Sp Bm

Patofisiologi Shock
Definisi : Shock adalah keadaan menurunnya perfusi sekunder karena berkurangnya
volume darah yang beredar efektif. Respons saraf simpatik, peredaran darah
sampai perfusi kejaringan vital tertahan, menghasilkan perubahan fisiologik
dan metabolisme perfusi jaringan yang buruk, yang mengarah terjadinya
dampak secara umum.

Klasifikasi : Shock berhubungan dengan trauma, terutama karena berkurangnya volume


darah atau berkaitan dengan masalah-masalah yang dapat menimbulkan
bentuk lain dari shock. Semua penderita shock umumnya mempunyai CVP
yang rendah, bertambahnya tekanan perifer dan berkurangnya output jantung
sekunder karena darah balik ( venous return ) yang kurang.

Macam-macam Shock

 Hypovolemic Shock
Terjadi karena kehilangan banyak darah , bentuk lain dari Hemorrhage ( pecahnya Hb )
dari darah segar atau dari hilangnya plasma yang masuk kedalam jaringan seperti pada
keadaan peritonitis, pancreatitis, obstruksi intestinal dan luka bakar.

 Cardiogenic Shock
Terjadi karena kegagalan pompa jantung dengan output tidak mencukupi, sehingga perfusi
jaringan tidak terjadi. Pada keadaan ini volume darah normal.

 Neurogenic Shock

1
Disebabkan oleh hilangnya kontrol simpatetik dari pembuluh-pembuluh darah tepi yang
menghasilkan pelebaran pembuluh arteriolae dan venulae sehingga berkurangnya sirkulasi
volume darah yang efektif, menghasilkan shock.

 Bacteriemie Shock / Endotoxic Shock


Terjadi akibat terkumpulnya darah tepi di vena besar, berkurangnya secara efektif volume
sirkulasi darah tanpa berkurangnya volume darah secara aktual. Hal ini akan berdampak
langsung pada myocardial dan efek perifer. Dapat terjadi dengan beberapa bentuk klinis, tipe
dan besarnya dari ketidak normalan peredaran darah berhubungan erat dengan bakteri Gram
(+) dan Gram (-).

Bakteri Gram (–) biasanya akan mengurangi tahanan perifer, akan masuk pada gagalnya
CVP, dan suatu penambahan out put. Terjadi hyperventilasi, tekanan darah akan kembali
normal jika cardiac output mencukupi. Akan tetapi jika vasodilatasi menjadi lebih buruk,
sindroma shock berkembang ketika cardiac output meningkat. Tahap selanjutnya muncul
depresi myocadial dengan sedikitnya cardiac output atau tahanan vaskuler meningkat. Terapi
diindikasikan untuk memberikan antibiotika terpilih, jika di indikasikan tindakan bedah
lakukan drainase dari abses atau membuang jaringan nekrotik. Kematian mempunyai
prosentase kemungkinan 75% bila terapi tidak adekwat. Untuk menanggulangi hal ini perlu
diperhatikan atau dilakukan tindakan sebagai berikut :

1. Tentukan CVP, bila rendah infus dengan cairan RL sampai CVP mencapai 150
mmH2O. Perbaiki kondisi asidosis dengan pemberian Bicarbonat.

2. Berikan Corticosteroid. Jika Hydrocortizon yang diberikan, pada permulaan beri 30


mg / kg BB iv, kemudian 5 mg / kg BB setiap 6 jam. Diberikan minimal sampai 3 hari
( dalam 72 jam )

3. Berikan vasoactive / vasodilatator bila masih shock seperti Isoproterenol pada


permulaannya. Bila penderita tidak merespons beri Metaraminol atau Levarterenol.
Pertahankan tekanan sistolik antara 90 dan 100 mm Hg. Perhatikan refleks sensorik
dan urine yang keluar ( output urine ). Bila output urine hanya 30 ml / jam ini
menggambarkan reflek adekwat dari perfusi ginjal karena keadaan asidosis asam
laktat yang berat, berikan alpha adrenergik yang memacu vasoaktif amine.

4. Umumnya terjadi koagulasi intravaskuler pada bacteriemi shock. Perbaikan dari


tekanan darah pada level normal secara umum mengakibatkan kembalinya fungsi
koagulasi normal tanpa pemberian heparin. Harus diberikan heparin jika terjadi
perdarahan / hemorrhargi yang nyata.

2
 Anaphylaktik Shock
Anaphylaktik Shock terjadi setelah pemberian obat-obatan, ekstrak pollen, serum asing,
gigitan serangga, bahan-bahan diagnostik dan bahan kontras, vaksin, lokal anestesi dan
kadang beberapa produk makanan, dimana penderita alergi atau sensitif. Tanda klinis yang
terjadi adalah tertekannya pernafasan yang berat dan masuk kedalam keadaan shock.
Pernafasan menjadi sulit karena terjadi laryngeal oedem dan bronchospasme atau ke dua-
duanya. Shock ini biasanya didahului hipoksia yang berat, kolaps dari pembuluh darah yang
kemudian masuk dalam keadaan shock tanpa gejala-gejala adanya kelainan pernafasan.
Sebagai mediator respons termasuk Histamine, SRS-A ( Slow Reacting Substance – A ) dan
Bradykinin.Tanda-tanda terjadinya diantaranya : ketakutan, urtikaria seluruh tubuh, pruritus,
oedema, cyanosis, desing nafas, cekukan ( hickup ), batuk, paraestesi, dan hilangnya
kesadaran. Kematian dapat terjadi dalam waktu 5 – 10 menit.

Response Endocrine pada Shock.


Dilepasnya ACTH ( Adenosin Cortico Tropic Hormon ), ADH ( Anti Diuretic Hormon ) dan
Aldosteron selama periode menurunnya tekanan darah menghasilkan tertahannya sodium,
chlorida dan air di ginjal, serta kehilangan potasium dan berkurangnya volume air seni.

Dilepasnya Epinephrine dan Nor Epinephrine dari medulla adrenal menghasilkan


vasokonstriksi perifer, bertahannya tekanan darah dengan berkurangnya volume dari rongga
vaskuler karena berpindahnya cairan intra vaskuler dan jaringan perifer ke pool sentral. Bila
terjadi vasokonstriksi perifer yang lama, metabolisme anaerob menghasilkan / terkumpul
metabolisme asam.

Hyperglikemia berkembang selama shock berlangsung, dan pada umumnya menuju ke


glycogenolytic dari corticosteroid dan epinephrine.

3
Ketoglutarat
Berkurangnya volume
e
Peredarah darah
Succinyl Co A
Oxalosuccinat

Respons Sympathetik Succinate


Isocitrate

Berkurangnya Fumarate
out put jantung Vasokonstriktor perifer Citrate
jantung

Malate
Berkurangnya
Oxaloacetate
perfusi jaringan

Disfungsi Hati Pooling darah ke perifer Acetyl Co A

Depresi jantung Hipoksia Blok

Asidosis Asam Laktat Asam Pyruvat

Efek Metabolisme
Pada perfusi sel normal, glukosa dalam proses pemecahan dan asam sitrat untuk
menghasilkan tenaga / energi dari ATP ( Adenosin Tri Phosphate ). Tanpa adanya O 2 ( Proses
anaerob ) piruvat menjadi asam laktat, yang kemudian berakumulasi menghasilkan keadaan
asidosis. Asam amino dan asam lemak yang dalam keadaan normal masuk kedalam proses
oksidasi untuk menghasilkan tenaga, juga terakumulasi dalam keadaan shock, menyebabkan
metabolik asidosis. Kurangnya oksigen dan keadaan asidosis sangat berhubungan dengan
fungsi membran sel, Potasium menghilang, natrium dan air bergerak kedalam sel
mengakibatkan selular odem.

4
Respons Cardiorespiratory
Respons simpatik yang segera selama berlangsungnya shock menambah output jantung
disertai bertambahnya denyut dan kekuatan dari kontraksi jantung dalam memenuhi
kebutuhan jaringan karena bertambahnya tahanan perifer. Perfusi myocardial terjadi selama
diastolik, tachycardi menekan perfusi myocardial, menghasilkan shock yang lama karena
asidosis myocardial. Metabolik asidosis pada mulanya juga diimbangi dengan bertambahnya
ventilasi untuk perkuatan menghilangkan CO2 , asidosis yang semakin berat disertai dengan
hipoksia ( keduanya merupakan primer dan sekunder untuk mengurangi perfusi myocardial )
menghasilkan depresi myocardial, merangsang dan memudahkan terjadinya aritmia.

Terapi adjuvan pada Shock


1. Terapi Oksigen ( O2 ) dan dukungan Ventilasi

a. Semua penderita dengan dyspnea atau tachypnea harus diberikan O2. Mekanisme
transport oksigen yang paling penting ( lebih dari 95% ) adalah Haemoglobin dan
Eritrosit. Nilai normal Hb adalah 15 gram / 100 ml, dapat mengangkut 20 vol %
O2. Bila Hb hanya 7 gram / ml ( Hematokrit 21% membawa hanya 10 vol % O 2 ),
merupakan level cadangan yang sangat kritis bagi banyak jaringan tubuh, terutama
otak dan myocardium.

b. Oksigen dapat diberikan dengan masker atau nasal katheter dengan volume 8
liter / menit yang akan meningkatkan masuknya konsentrasi O 2 sebanyak 10% dan
memperbaiki saturasi Hb dan penyaluran O2 ke jaringan-jaringan. Pemberian O2
dengan endotracheal tube atau tracheostomi akan meningkatkan konsentrasi O 2
sampai 40 %. Pemberian O2 pada konsentrasi diatas 50 % tidak terlalu perlu.
Akan terjadi keracunan O2 pada paru bila 100 % O2 diberikan terus menerus
dalam 24 jam.

c. Akan terjadi Cyanosis , suatu tanda klinis yang umum bila jaringan kekurangan
O2, terjadi karena Hb dalam darah yang beredar dibawah 5 gram / 100 ml.

d. Dukungan ventilasi di indikasikan bila volume respirasi volunter tidak mencukupi


untuk suatu kondisi spesifik seperti pada keadaan berhentinya cardiopulmoner,
disfungsi dinding rongga dada mekanis, atelectasis, atau adanya edema paru.
Pemeriksaan ulang untuk hemothoraks atau pneumothoraks diutamakan selama
dukungan ventilasi sangat penting.Kecurigaan akan kerusakan yang tidak
terdeteksi harus diperhatikan dari suatu tarikan pneumothoraks jika tekanan positif
ventilasi sedang dilakukan.

5
e. Tekanan inspiratori yang tinggi, tekanan positif yang berlanjut dan penggunaan
dari peralatan pernafasan, semua untuk menambah aliran darah dalam paru.
Tekanan positif dialirkan ke rongga alveolar, kapiler-kapiler paru terdesak, dan
darah mengalir kedalam kapiler-kapiler paru yang mengecil. Pengurangan kembali
ke sisi kiri dari jantung menyebabkan suatu kegagalan cardiac output, dan
memungkinkan bertambah lamanya atau bertambah dalamnya shock, terutama
pada penderita dengan hypovolemik.

2. Dukungan Thermal
Hiperpireksia dapat terjadi karena terlambatnya metabolisme seluler akibat shock, hal
ini akan tampak sekali pada endotoksik shock. Penderita diusahakan tetap pada suhu
tubuh normal dengan bantuan suatu selimut hipotermia dan pemberian asetaminofen,
aspirin atau sodium salisilat.

3. Pemberian Antibiotik
Trauma yang berat dan shock berhubungan dengan tekanan dari fungsi
reticuloendothelial. Selama awal periode pasca trauma, kemampuan tubuh menolak
bakteri dari sirkulasi terhambat. Terapi antibiotika propilaksis sering di indikasikan.
Pemilihan pemberian antibiotika tergantung jenis kerusakan jaringannya. Untuk
bagian bedah direkomendasikan penggunaan Cefalosporin untuk pemberian awal,
ditambah antibiotik lain ( Gentamycin ) untuk kasus-kasus tertentu.

4. Pemberian Diuretika
Produksi urine mengindikasikan kemampuan perfusi yang baik. Kemampuan output
urine 30 – 50 ml / jam dapat dianalogikan dengan kemampuan volume dari cairan
intravena dan darah sampai nyata terjadi secara klinis volume ekspansi mencukupi,
pemberian diuretik harus dihindarkan. Osmotik diuresis di indikasikan diberikan bila
ada tahanan tetap dari keluarnya urine sehingga ada pembengkakan wajah,
meningkatnya CVP, denyut nadi. Diuresis yang diberikan biasanya Manitol, suatu
monosakharida yang dapat disaring tetapi tidak dapat diresorbsi oleh ginjal, sehingga
mengakibatkan pengeluaran secara paksa dari air yang disaring. Oleh karena Manitol
juga bereaksi sebagai plasma ekspander, perlu diperhatikan CVP selama terapi. Jika
pemberian manitol tidak ada respons, Furosemide dapat digunakan melalui intravena.
Karena obat-obatan ini memaksa urine keluar juga ketika terdapat hipovolemia,
sehingga akan memperberat shock, maka pemberian diuretik di anjurkan bila kondisi
penderita stabil dan normovolemia.

5. Pemberian Obat-obatan Vasoaktif


Terjadinya vasokonstriksi sekunder dari respons simpatik pada shock menjadi
bertambah buruk karena masalah utama adanya hipoperfusi. Obat-obatan
vasokonstriktor mempersulit respons tersebut dan pada umumnya tidak mempunyai
peran dalam terapi dari hipovolemik shock.

6
a. Secara teoritis bahan yang mem blok simpatetik vasokonstriktor akan
melengkapi penambahan perfusi, mengurangi hipoksia jaringan dan asidosis.
Karena efek sistemik dari beberapa macam obat , adalah sangat penting
mengembalikan volume darah dengan penggunaan terapi cairan sesegera
mungkin selama perawatan.

b. Setelah cairan infus diberikan, beri Chlorpromaxine ( Thorazine ) 3 mg setiap


2-3 jam, diharapkan menghasilkan perbaikan dalam perfusi jaringan.

c. Phenoxy Benzamine Hydrochloride ( Dibenzyline ) merupakan alpha


adrenergic blocker yang kuat, diberikan secara parenteral / injeksi.

6. Pemberian Obat-obatan Jantung


Pada banyak kasus shock karena trauma, penderita mempunyai myocardium yang
normal. Secara umum obat-obatan digitalis belum perlu diberikan bila fungsi jantung
dapat diperbaiki dengan memenuhi jumlah volume darah yang kurang. Akan tetapi
bagi penderita dengan usia lanjut dan penderita yang mempunyai penyakit jantung
( myocardial primer ), penderita dapat dengan cepat masuk pada kondisi tachycardia
yang mana keadaan ini akan tetap ada walau volume cairan infus sudah diberikan.
Dan kadang-kadang berkembang terjadi kegagalan jantung atau peningkatan CVP
dengan hipotensi. Untuk penderita yang demikian di indikasikan pemberian obat-
obatan digitalis.
a. Hipovolemia, dapat dikoreksi dengan obat-obatan digitalis, diberikan :
1) Dexametason 1 – 3 mg / kg BB diberikan single iv injeksi
2) Methyl Prednisolone 1 – 2 mg
3) Epinehrine / Lidocaine 50 – 100 mg iv ( 0,5 – 1,0 cc )

Anda mungkin juga menyukai