Anda di halaman 1dari 3

Nama : Syukron Asrory

NIM : 211030121711
Prodi : Ilmu Keperawatan

C. LATIHAN SOAL/TUGAS
1. Bagaimanakah hukum merawat pasien lawan jenis menurut pandangan medis dan agama Islam?
Jelaskan dengan mengemukakan alasannya!
Jawab: 
-Pandangan medis:
Seorang perawat dalam menunaikan tugas dan tanggungjawabnya menjaga dan merawat klien tidak boleh
membeda-bedakan mereka dari segi apapun, hal tersebut sesuai dengan sumpah yang telah mereka
ikrarkan, yaitu: “... Bahwa saya sebagai Ahli Madya Keperawatan; Dalam melaksanakan tugas atas dasar
kemanusiaan, tidak akan membedakan pangkat, kedudukan, keturunan, golongan, bangsa, dan agama; ...”
Dengan demikian, seorang perawat haruslah siap dengan berbagai tantangan yang akan ditemuinya ketika
menjalankan tugas kemanusiaan di lapangan termasuk ketika harus merawat pasien lawan jenis. Merawat
pasien lawan jenis yang dibenarkan dalam hal ini pun atas dasar profesionalisme dan alasan kemanusiaan
yang diembannya, bukan atas dasar ketertarikan (nafsu) atau niat yang menyimpang.
-Pandangan Agama islam
Kebolehan seorang perawat dalam merawat pasien lawan jenis ini pun tentu memiliki beberapa syarat dan
ketentuan.Di antara syarat dan ketentuan tersebut, yaitu:
1) Dalam kondisi terpaksa. Tidak didapati perawat lain yang dapat menangani pasien tersebut meski telah
diupayakan.
2) Pasien yang dirawat oleh lawan jenis harus ditemani oleh mahramnya.
Ibnu Hajar Al-Haitami dalam Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj, hlm. 7/203,
menjelaskan:
Artinya: “Boleh melihat dan menyentuh untuk fashad1, bekam dan pengobatan lain karena kebutuhan
tetapi harus ditemani orang lain supaya tidak khalwat (berduaan) seperti mahram atau suami atau
perempuan yang bisa dipercaya .. Dan dengan syarat tidak adanya sesama jenis, dan hendaknya tidak
memakai dokter yang tidak dipercaya kalau ada yang bisa dipercaya, dan tidak memakai dokter non-
muslim kalau ada muslim.”

3) Aurat yang boleh dilihat dan disentuh adalah hanya bagian yang diperlukan untuk pemeriksaan
Ibnu Muflih dalam Al-Adab Al-Syar'iyah, hlm 2/429 menyatakan:
Artinya: “Apabila seorang perempuan sakit, dan tidak ada yang bisa mengobati kecuali laki-laki maka
boleh bagi pria itu melihat yang perlu dilihat termasuk melihat kemaluan. Begitu juga laki-laki dengan
laki-laki. Ibnu Hamdan berkata: Apabila tidak ada yang bisa mengobati (seorang pria) kecuali perempuan,
maka wanita itu boleh melihat yang perlu dilihat termasuk kemaluannya.”
Imam Badruddin Al-Zarkasyi dalam Al-Mantsur fil Qawaid Al-Fiqhiyah berkata: Al- Qaffal berkata dalam
Al-Fatawa, Wanita apabila diobati dengan cara fashad oleh pria non-mahram dalam keadaan tidak
ditemani wanita lain atau mahram maka tidak boleh membuka seluruh lengannya. Ia wajib menutup
tangannya dengan kain dan tidak membukanya kecuali anggota yang harus dibuka untuk pengobatan
fashad. Apabila lebih dari itu maka ia berdosa pada Allah.
Al-Bakri dalam Ianah At-Tolibin, hlm. 3/ 303, menyatakan:
Artinya: Terkadang haram melihat tapi boleh menyentuh saja seperti mungkinnya dokter mengetahui
penyakit dengan cukup menyentuhnya saja.
4) Bila terpaksa harus ke dokter lain jenis, maka harus diupayakan terlebih dulu dokternya adalah seorang
yang muslim yang bisa dipercaya untuk pasien perempuan, dan dokter muslimah yang bisa dipercaya
untuk pasien laki-laki. Dan bila tetap, tidak dijumpai, maka boleh ke kafir dzimmy dengan syarat bisa
dipercaya juga aman dari fitnah. Ketentuan ini berangkat dari keterangan dari kitab Hâsyiyah al-Bâjury,
antara lain s agai berikut:
Artinya: “Hukumnya boleh, melihatnya dokter ke perempuan bukan mahram pada anggota badan yang
dibutuhkan untuk pengobatan, bahkan di area farji. Namun demikian itu (harus) disertai kehadiran
mahram, suami, atau sayid, [dengan catatan] jika tidak dijumpai adanya perempuan yang bisa
mengobatinya.” (Burhanuddin Abu Ishaq Ibrahim bin Muhammad bin Ahmad Al-Bajuri, Hâsyiyah al
Bâjury ‘alâ Sharhi al- Allaâmah Ibni Qâsiīm al-Ghâzi ‘alâ Matni Abī Shujjâ’, Beirut, Dâru al-Kutub al-
‘Ilmiyyah,1999, Juz 2, hal. 99).
2. Bayi tabung adalah sebuah teknologi reproduksi yang diklaim efektif membantu wanita mendapatkan
kehamilan. Jelaskan hukum bayi tabung dalam agama Islam, dengan mengemukakan alasannya!
Jawab: 
ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa hukum program
bayi tabung adalah mubah atau diperbolehkan dengan catatan sperma dan ovum yang digunakan adalah
berasal dari pasangan suami-istri yang sah.Kebolehan ini mengingat bayi tabung dipandang sebagai salah
satu bentuk ikhtiar yang harus dilandaskan pada kaidah- kaidah agama.
Dalil yang mengharuskan penggunaan sperma dan ovum yang berasal dari pasangan suami istri yang sah
ini adalah hadis nabi berikut:
“Tidak halal bagi seseorang yang beriman pada Allah dan hari akhir menyiramkan airnya (sperma) pada
tanaman orang lain (vagina istri orang lain)’’. (HR. Abu Daud, al-Tirmidzi, dan dipandang sahih oleh Ibnu
Hibban).
Mengenai hal ini, NU telah menetapkan fatwa dalam forum Munas Alim Ulama di Kaliurang, Yogyakarta
pada 1981, ada tiga keputusan yang ditetapkan dalam forum ini terkait bayi tabung:
1) Apabila mani yang digunakan dalam proses bayi tabung bukan dari pasangan suami istri yang sah, maka
hurumnya adalah haram. Dasar hukum:
2) Apabila mani tersebut dikeluarkan dengan cara yang dilarang oleh syara’, maka hukumnya juga haram.
Dasar hukum:
3) Apabila mani yang ditabung adalah mani pasangan suami istri yang sah dan cara mengeluarkannya
termasuk muhtaram2 serta dimasukkan ke Rahim istri sendiri, maka hukumnya adalah mubah atau boleh.

3. Islam telah mengatur donor/pemberian ASI untuk Balita jauh sebelum WHO atau lembaga lain
menetapkannya. Jelaskan dalil tentang anjuran pemberian ASI eksklusif ini dalam pandangan Islam!
Jawab: 
Artinya: Dan Kami ilhamkan kepada ibunya Musa, “Susuilah dia (Musa), dan apabila engkau khawatir
terhadapnya maka hanyutkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah engkau takut dan jangan (pula)
bersedih hati, sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya salah seorang
rasul.”
Melalui ayat di atas, dapat diketahui bahwa Allah SWT telah memerintahkan para ibu untuk menyusui
anaknya yang digambarkan melalui kisah Nabi Musa dan ibunya.Kemudian dalam QS. Al-Baqarah ayat
233 dijelaskan kembali mengenai lama waktu menyusui yaitu dua tahun atau apabila sang ibu tidak
mampu menyusui anaknya selama dua tahun karena ada halangan yang dibenarkan oleh agama, maka sang
ibu boleh menggunakan jasa ibu lain (ibu susuan) yang dapat menyusui anaknya.
Dalam Islam, istilah donor ASI dikenal dengan Istirdla’. Melalui fatwa MUI Nomor 28 Tahun 2013
didapati bahwa ASI boleh untuk dibagi atau didonor selama memenuhi beberapa ketentuan berikut:
1) Ibu yang memberikan ASI harus sehat, baik fisik maupun mental;
2) Ibu tidak sedang hamil.
Persoalan donor ASI bahkan pernah dicontohkan melalui kisah Nabi Muhammad Saw
yang disusui juga oleh wanita selain ibunya atau yang akrab dengan istilah ibu susu. Wanita yang menjadi
ibu susu Rasulullah tersebut merupakan seorang wanita Badui yang bernama Halimah As-Sa’diyah.
Islam cukup tegas mengatur donor ASI ini lantaran donor ASI bukan hanya sekedar permasalahan
kemanusiaan semata, melainkan ini akan menyangkut perihal nasab dan kemahraman. 

4. Bagaimana hukum penggunaan vaksin meningitis bagi jamaah haji? Jelaskan dengan mengemukakan
alasannya!
Jawab: 
Hukum penggunaan vaksin meningitis bagi jemaah haji adalah Boleh (Fatwa MUI Nomor 5 Tahun
2009)atas dasar keadaam darurat karena peyakit tersebut dapat menular serta mematikan

5. Sebutkan apa saja tujuan dan fungsi imunisasi pada Balita! Lalu, bagaimana pandangan Islam tentang
imunisasi yang sebagian bahannya berasal dari gelatin babi?
Jawab: 
 Tujuan imunisasi adalah untuk membentuk kekebalan pada tubuh,Tujuan imunisasi adalah sebagai
upaya untuk mencegah timbulnya penyakit,Tujuan imunisasi adalah sebagai upaya untuk
mencegah terjadinya penularan penyakit, Tujuan imunisasi adalah untuk melindungi lingkungan
agar terhindar dari ancaman penyakit

 MUI mengeluarkan sebuah fatwa mengenai imunisasi melalui Fatwa Nomor 33 Tahun 2018, MUI
menyatakan vaksin MR hukumnya mubah (dibolehkan) karena kondisi keterpaksaan dan belum
ditemukan vaksin MR yang halal. Fatwa ini melengkapi Fatwa MUI Nomor 4 Tahun 2016 yang
sebelumnya juga sudah menjelaskan hukum imunisasi.
 Dalam Fatwa MUI dijelaskan bahwa imunisasi wajib menggunakan vaksin yang halal dan suci.
Meski begitu, penggunaan vaksin imunisasi yang berbahan haram dan atau najis diperbolehkan,
jika menemui beberapa kondisi, seperti digunakan pada kondisi al-dlarurat yaitu kondisi
keterpaksaan yang apabila tidak diimunisasi dapat mengancam jiwa manusia atau al-hajat yaitu
belum ditemukan bahan vaksin yang halal dan suci; dan adanya keterangan tenaga medis yang
kompeten dan dipercaya bahwa tidak ada vaksin yang halal.

Anda mungkin juga menyukai