Anda di halaman 1dari 7

DEGRADASI KONDISI MENTAL REMAJA DI MASA PANDEMI

Disusun oleh: Kelompok 3, XI MIPA 7, SMAN 1 Cikalongwetan

Anggota: - Elis Siti Nurani

- Dita Julianti

- Hilya Amania

- Fajar Indra Pratama


ABSTRAK

DEGRADASI KONDISI MENTAL REMAJA DI MASA PANDEMI

Manusia baik bayi, balita, remaja hingga lansia, merupakan makhluk


yang dikaruniai kepekaan terhadap rangsang baik secara fisik maupun
psikologis. Seiring bertambahnya usia, manusia mengenal lebih banyak
perasaan dan mulai mempelajari bagaimana mengungkapkannya baik
dalam bentuk verbal maupun tindakan fisik. Dalam mempelajari hal-hal
tersebut, manusia kadang dihadapkan dengan masalah. Dan umumnya
remaja mengalami kesulitan karena mereka ada dalam fase perubahan
dari anak-anak menuju dewasa.

Dalam mempelajari emosi atau perasaan tersebut, manusia tentu


harus memiliki ruang. Namun, di masa pandemi ini ruang bersosialisasi
banyak dibatasi. Anak-anak yang mulai beranjak remaja sehingga
banyak perubahan dalam diri mereka pun tidak bisa leluasa. Mereka
hanya dihadapkan hal yang sama setiap harinya. Ditambah, terkadang
pola asuh orang tua menyebabkan anak sulit untuk terbuka. Akhirnya
mereka memendam seluruh emosinya atau mengeksposnya lewat
media sosial tanpa sempat benar-benar mengerti apa yang sedang
mereka rasakan dan bagaimana cara mengatasinya karena kurangnya
bimbingan.

Sedangkan sebaliknya, jika ruang bersosialisasi lebih terbuka, maka


anak akan dipertemukan dengan hal-hal baru setiap harinya, mulai dari
orang-orang dengan kebiasaan yang berbeda, dan lainnya.
Kata Kunci: Degradasi, kondisi mental, remaja

LATAR BELAKANG

Secara etimologis, degradasi berarti penurunan mutu atau


kemerosotan kedudukan (Daryanto, 1997). Sedangkan, kondisi mental
adalah dasar emosi yang memengaruhi aktivitas sehari-hari, termasuk
cara berpikir, berkomunikasi, belajar, ketahanan psikologis dan rasa
percaya diri. Adanya degradasi mental berarti telah terjadinya kepada
individu penurunan cara berpikir terhadap sesuatu, penurunan
kemampuan berkomunikasi, penurunan kemampuan menyerap suatu
pelajaran, penurunan ketahanan psikologis terhadap sesuatu yang telah
terjadi, dan penurunan rasa percaya diri.

KONDISI MENTAL REMAJA PADA MASA PANDEMI

Pandemi COVID-19 yang dimulai sejak tahun 2020 di Indonesia,


mengakibatkan banyaknya perubahan dalam kehidupan sehari-hari
setiap kalangan tak terkecuali remaja-remaja yang mayoritas masih
bersekolah. Perubahan-perubahan tersebut memerlukan waktu untuk
dapat disesuaikan dengan diri masing-masing individu.

Seperti halnya remaja yang dalam masa senang berteman dan


mencoba hal baru, karena perubahan akibat pandemi tersebut mereka
dihadapkan dengan cara belajar yang berbeda dengan kebanyakan
generasi-generasi sebelumnya. Guru yang mengajar di papan tulis dan
teman sekelas tempat berdiskusi kini tak terbiasa ditatap muka ke
muka melainkan lewat layar gawai. Para remaja menghadapi layar
gawai lebih sering dari sebelum pandemi. Akibatnya terjadi perubahan
kebiasaan dan pola pikir terhadap sesuatu.

Misalnya, meskipun dipantau lewat gawai, kebanyakan siswa tak


menganggap serius aturan sekolah seperti hanya memakai atasan
seragam, mencontek dengan mudah tanpa ketahuan dan lain-lain.
Ditambah kebanyakan dari orang tua mereka juga tak
mempermasalahkannya. Bahkan sebagian kecil ada yang tak terlalu
menganggap urusan sekolah serius lagi, dikarenakan cara sekolah yang
berbeda dengan generasi mereka.

Anak remaja yang perlu banyak bimbingan ini pun seringkali


menghadapi kebingungan, bercerita tak mampu, dan akhirnya media
sosial menjadi pelarian. Media sosial sendiri dipenuhi individu dari
berbagai kalangan dan umur, ada yang benar-benar matang dan
mengerti fungsi media sosial adapula yang masih naif dan acap kali
menyerap informasi mentah-mentah dan melakukan tindakan yang
salah karenanya.

Dan terciptalah beberapa golongan di media sosial ini, dengan didasari


kesadaran terhadap mental (mental awarness). Tujuan mereka pun
sangat baik dan diperlukan. Yaitu mengenalkan kelainan-kelainan
mental kepada pengguna media sosial. Namun kebanyakan penyedia
informasi ini tidak menyertakan cara mengatasinya. Serta penjelasan
lebih mendalam tentang kelainan mental tersebut.

Akibat kurangnya pemahaman, remaja yang masih lugu acap kali


terjebak dalam diagnosa sendiri. Terkadang jika mereka melakukan
sesuatu yang tidak lazim dan salah, mereka akan berlindung dibalik
istilah mental illness.

Penyebaran informasi yang cepat pada internet ini pun, tak


menghalangi golongan lain yang menentang apa yang dilakukan oleh
remaja-remaja ini dan mereka menganjurkan agar tidak mendiagnosa
sendiri kepada remaja-remaja itu.

Remaja pun mengalami kebingungan yang baru akan apa yang


sebenarnya terjadi pada dirinya. Sebagian mulai bertanya, namun
jawabannya cenderung begitu-begitu saja dan para remaja ini pun sulit
menerapkan saran dari jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya.
Didukung oleh keadaan pandemi yang membatasi ruang untuk mereka
menerapkan seluruh ilmu dan saran untuk mereka memahami diri
sendiri.

Generasi sebelumnya pun mengcap remaja-remaja ini sebagai generasi


yang ketahanan psikologisnya lemah, bereaksi berlebihan terhadap
sesuatu, dan kurang mengerti etika. Padahal hal itu jelas karena proses
belajar antara generasi ini sangat bertolak belakang.

ARGUMEN

Jika dilihat dari sudut pandang yang lain, menkonsultasikan kesehatan


mental secara online lewat media banyak sekali positifnya. Mulai dari
kemudahan mengaksesnya, juga luasnya jangkauan informasi yang
akan didapat. Namun pengguna yang mengakses informasi harus
dibekali prinsip yang kuat mengenai bagaimana cara menyerap
informasi. Sehingga tindakan yang kurang sesuai atas ekspresi dari
emosi remaja dapat lebih tercegah. Karena itulah, peran orang tua
sangat penting dalam mendidik anak sebelum anak mengenyam
pendidikan dari luar. Orang tua dan anak harus bekerja sama dalam
membentuk keharmonisan rumah tangga sehingga terciptanya
kenyamanan untuk berkeluh kesah dan terbukanya anggota keluarga
atas suatu saran atau bimbingan karena telah terbentuk saling percaya.

KESIMPULAN

Pendidikan dasar dari orang tua merupakan hal yang sangat penting
untuk seorang anak sebelum menerima pendidikan dari luar.
Pengenalan terhadap emosi, cara menghadapi masalah pun adalah
sesuatu yang akan sangat baik jika diajarkan lebih dini kepada anak.
Sehingga ketika beranjak remaja, anak memiliki kemungkinan lebih
kecil untuk terjerumus ke dalam sesuatu yang salah. Meski masa
remaja adalah masa ketika anak tidak stabil emosinya, sang anak tetap
tahu apa yang harus dilakukannya karena kebiasaan yang telah
terbentuk sejak kecil.

Dan meskipun remaja yang saat ini dibatasi ruang geraknya oleh
pandemi. Terciptanya sistem yang baik di keluarga akan mengurangi
risiko stres, salah satunya karena anak memiliki tempat bercerita dan
merasa aman karena hal tersebut.

Anda mungkin juga menyukai