Anda di halaman 1dari 9

KOMUNIKASI POLITIK

“Persepsi Khalayak Media Massa Terhadap Kepemimpinan Politik Presiden SBY”

Oleh :

Nur Farahin
Raditya
Fery
Rizaldi
M. Akbar Mukramin
Fintia
Ririn
Sigit
Florezia
PENDAHULUAN

KOMUNIKASI Politik (political communication) adalah komunikasi yang melibatkan


pesan-pesan politik dan aktor-aktor politik, atau berkaitan dengan kekuasaan, pemerintahan, dan
kebijakan pemerintah. Dengan pengertian ini, sebagai sebuah ilmu terapan, komunikasi politik
bukanlah hal yang baru.
Komunikasi politik juga bisa dipahami sebagai komunikasi antara “yang memerintah”
dan “yang diperintah”. Mengkomunikasikan politik tanpa aksi politik yang kongkret
sebenarnya. telah dilakukan oleh siapa saja: mahasiswa, dosen, tukang ojek, penjaga warung, dan
seterusnya. Tak heran jika ada yang menjuluki Komunikasi Politik sebagai neologisme, yakni
ilmu yang sebenarnya tak lebih dari istilah belaka.
Dalam praktiknya, komuniaksi politik sangat kental dalam kehidupan sehari-hari. Sebab,
dalam aktivitas sehari-hari, tidak satu pun manusia tidak berkomunikasi, dan kadang-kadang
sudah terjebak dalam analisis dan kajian komunikasi politik. Berbagai penilaian dan analisis
orang awam berkomentar sosal kenaikan BBM, ini merupakan contoh kekentalan komunikasi
politik. Sebab, sikap pemerintah untuk menaikkan BBM sudah melalui proses komunikasi politik
dengan mendapat persetujuan DPR
Konsep, strategi, dan teknik kampanye, propaganda, dan opini publik termasuk dalam
kajian bidang ilmu komunikasi politik.
Beberapa Definisi
Gabriel Almond (1960): komunikasi politik adalah salah satu fungsi yang selalu ada dalam
setiap sistem politik. “All of the functions performed in the political system, political
socialization and recruitment, interest articulation, interest aggregation, rule making, rule
application, and rule adjudication,are performed by means of communication.”
Komunikasi politik merupakan proses penyampaian pesan-pesan yang terjadi pada saat
keenam fungsi lainnya itu dijalankan. Hal ini berarti bahwa fungsi komunikasi politik terdapat
secara inherent di dalam setiap fungsi sistem politik.
Process by which a nation’s leadership, media, and citizenry exchange and confer meaning upon
messages that relate to the conduct of public policy. (Perloff).
Communication (activity) considered political by virtue of itsconsequences (actual or
potential) which regulate human conduct under the condition of conflict (Dan Nimmo).
Kegiatan komunikasi yang dianggap komunikasi politik berdasarkan konsekuensinya (aktual
maupun potensial) yang mengatur perbuatan manusia dalam kondisi konflik. Cakupan:
komunikator (politisi, profesional, aktivis), pesan, persuasi, media, khalayak, dan akibat.
Communicatory activity considered political by virtue of its consequences, actual, and
potential, that it has for the funcioning of political systems (Fagen, 1966).
Political communication refers to any exchange of symbols or messages that to a
significant extent have been shaped by or have consequences for the political system (Meadow,
1980).
Komunikasi politik merupakan salah satu fungsi partai politik, yakni menyalurkan aneka ragam
pendapat dan aspirasi masyarakat dan mengaturnya sedemikian rupa –”penggabungan
kepentingan” (interest aggregation” dan “perumusan kepentingan” (interest articulation) untuk
diperjuangkan menjadi public policy. (Miriam Budiardjo).
Jack Plano dkk. Kamus Analisa Politik: penyebaran aksi, makna, atau pesan yang
bersangkutan dengan fungsi suatu sistem politik, melibatkan unsur-unsur komunikasi seperti
komunikator, pesan, dan lainnya. Kebanyakan komunikasi politik merupakan lapangan
wewenang lembaga-lembaga khusus, seperti media massa, badan informasi pemerintah, atau
parpol. Namun demikian, komunikasi politik dapat ditemukan dalam setiap lingkungan sosial,
mulai dari lingkup dua orang hingga ruang kantor parlemen.
Wikipedia: Political communication is a field of communications that is concerned with
politics. Communication often influences political decisions and vice versa. The field of political
communication concern 2 main areas: 1. Election campaigns – Political communications deals
with campaigning for elections. 2. Political communications is one of the Government
operations. This role is usually fullfiled by the Ministry of Communications and or Information
Technology.
PEMBAHASAN

Aktor: Komunikator Politik


Komunikator Politik pada dasarnya adalah semua orang yang berkomunikasi tentang
politik, mulai dari obrolan warung kopi hingga sidang parlemen untuk membahas konstitusi
negara.
Namun, yang menjadi komunikator utama adalah para pemimpin politik atau pejabat
pemerintah karena merekalah yang aktif menciptakan pesan politik untuk kepentingan politis
mereka. Mereka adalah pols, yakni politisi yang hidupnya dari manipulasi komunikasi, dan vols,
yakni warganegara yang aktif dalam politik secara part timer ataupun sukarela.
Komunikator politik utama memainkan peran sosial yang utama, teristimewa dalam
proses opini publik. Karl Popper mengemukakan “teori pelopor mengenai opini publik”, yakni
opini publik seluruhnya dibangun di sekitar komunikator politik.
Komunikator Politik terdiri dari tiga kategori: Politisi, Profesional, dan Aktivis.
1. Politisi adalah orang yang bercita-cita untuk dan atau memegang jabatan pemerintah, seperti
aktivis parpol, anggota parlemen, menteri, dsb.;
2. Profesional adalah orang yang menjadikan komunikasi sebagai nafkah pencahariannya, baik di
dalam maupun di luar politik, yang uncul akibat revolusi komunikasi: munculnya media massa
lintas batas dan perkembangan sporadis media khusus (majalah internal, radio siaran, dsb.) yang
menciptakan publik baru untuk menjadi konsumen informasi dan hiburan. Terdiri dari jurnalis
(wartawan, penulis) dan promotor (humas, jurubicara, jurukampanye, dsb.).
3. Aktivis – (a) Jurubicara (spokesman) bagi kepentingan terorganisasi, tidak memegang atau
mencita-citakan jabatan pemerintahan, juga bukan profesional dalam komunikasi. Perannya
mirip jurnalis. (b) Pemuka pendapat (opinion leader) –orang yang sering dimintai petunjuk dan
informasi oleh masyarakat; meneruskan informasi politik dari media massa kepada masyarakat.
Misalnya tokoh informal masyarakat kharismatis, atau siapa pun yang dipercaya publik.

Kepemimpinan Politik SBY


Kepemimpinan SBY belakangan ini tampaknya sedang diuji, baik secara politik maupun
administratif. Publik sangat berharap sang presiden bisa berbuat lebih dari kapasitasnya, yakni
membereskan kasus-kasus hukum seperti berlarut-larutnya kasus Bibit Samad Rianto dan
Chandra Hamzah serta kasus Bank Century. Disatu sisi, SBY tampaknya terus berjuang
meyakinkan publik bahwa ranah hukum bukanlah domainnya, tapi disisi lain beliaupun
berkeinginan kuat untuk berdiri ditengah publik yang kian hari kian skeptis dengan penegak-
penegak hukum kita.Sekilas memang tampak bahwa SBY sedang memosisikan dirinya diluar
masalah, tidak ingin terlibat di dalam, apalagi menjadi bagian dari masalah itu sendiri. Sehingga,
SBY disatu sisi menguatkan institusi-institusi yang sedang berseteru, disisi lain juga
mengkritisi. Akibatnya, SBY pun tidak memperlihatkan rincian-rincian rencana tindakan
kongkret, tapi lebih cendrung mempercayakan rencana aksi perbaikan kepada institusi-institusi
yang berperkara. Padahal sebelumnya beliau mengakui perkembangan opini publik bahwa
lembaga-lembaga yang berperkara ini kurang mendapat kepercayaan dari publik dalam
memproses perkara-perkara hukum besar semacam ini. Lalu pertanyaanya, apakah lembaga-
lembaga ini akan mampu memutuskan langkah kongkret yang pantas untuk memfinalisasi silang
sengketa yang tak kunjung usai ini?Posisi dilematis SBY ini sejatinya menjadi bulan-bulanan
publik segera setelah beliau berpidato.
Ditelevisi-televisi swasta terlihat dengan gamblang bahwa banyak kalangan malah
menjadi semakin bingung dengan sikap SBY. Waktu 30 menit berpidato dianggap berlalu begitu
saja tanpa kesimpulan yang tegas soal harus bagaimana dan seperti apa akhir dari semua kasus-
kasus besar ini.Secara politik, SBY tentu berjuang untuk tidak terkena getah dari kasus-kasus
hukum yang melanda institusi-institusi penegak hukum dibawahnya.
Dan dalam kontek tertentu, sikap ini jelas tidak salah juga. Pasalnya, second term
pemerintahan SBY baru saja dimulai, jika energi kepemimpinannya dihabiskan untuk berjibaku
dalam kasus-kasus ini, maka fokus program-program prioritas kedepannya akan buyar. Tapi
disisi lain, SBY juga tidak mau kepemimpinannya dianggap kurang responsif terhadap kehendak
publik yang berkembang.
Masuknya program pemberantasan mafia hukum kedalam program 100 hari
pemerintahannya menunjukan bahwa masalah-masalah hukum bukan masalah sepele dan
mungkin bisa menjadi batu sandungan bagi kinerja pemerintahaanya di kemudian hari.   
Mengutip ucapan Dwight D. Eisenshower, “kepemimpinan adalah kemampuan untuk
memutuskan apa yang seharusnya dilakukan dan kemudian membuat orang lain melakukannya”,
maka SBY jelas-jelas tidak dalam kapasitas ini karena tidak berani berkeputusan tegas perihal
apa yang seharusnya dilakukan. Hasilnya tentu akan sangat absurd dan tidak terukur, institusi-
institusi yang terkait justru kebingungan untuk menentukan sikap, apalagi mengikuti instruksi.
Pernyataan sikap SBY malah membuahkan perdebatan-perdebatan baru, bahkan bisa bersifat
multitafsir, bukan lagi sebagai langkah nyata dan tegas dari sang pemimpin.
            Dengan begitu banyaknya pihak yang dimintakan penjelasan oleh SBY, beliau malah
terlihat keteteran mengambil benang merah dan kelimpungan untuk menerjemahkannya kedalam
langkah kongkret. Tentu tak ada yang salah jika SBY mengundang banyak pihak untuk
berembuk soal perkara-perkara penting, tapi bukan berarti beliau harus mengaburkan posisi
kepemimpinannya. Karena hasilnya tentu akan kurang baik, bahkan keputusan SBY seolah juga
bagian dari keputusan orang-orang atau pihak-pihak yang dimintakan penjelasan, padahal yang
ditunggu publik adalah sikap SBY sendiri sebagai seorang pemimpin pemerintahan (pemimpin
politik dan administratif).Dalam kasus apapun, orang-orang cendrung lebih memilih pemimpin
yang mengetahui jawaban (Nielche Patric, 2006). Karena bagaimanapun, jawaban tegas dari
seorang pemimpin atas kasus-kasus yang melanda wilayah kekuasaannya adalah bukti dari
sebuah tanggung jawab. Nah, sudahkan pernyataan sikap SBY tersebut menjadi jawaban bagi
publik yang haus akan kepastian?
            Tampaknya belum, jawaban-jawaban SBY ternyata belum bisa memfinalisasi perdebatan
yang berkembang soal kelangsungan kasus-kasus hukum ini. Buktinya, tidak ada kepastian dari
SBY yang bisa dipegang oleh publik. Alih-alih menelurkan sebuah kepastian, pernyataan-
pernyataan SBY malah menjadi bahan perdebatan tak berujung dimana-mana dan tak sedikit 
skepisisme yang dituai.
Idealnya, memberikan sikap yang tegas atas berbagai kekisruhan publik adalah bagian
dari tanggung jawab SBY sebagai pemimpin nasional, politis ataupun administratif. Bukankah
harga dari kejayaan yang diperoleh SBY dalam dua laga Pilpres lalu adalah tanggung jawab atas
kepastian perkembangan dan kemajuan negeri ini dalam berbagai bidang. Setidaknya begitulah
inti pesan dari Winston Churchil yang mesti diingat selalu oleh SBY. Pesannya adalah “harga
dari sebuah kejayaan adalah tanggung jawab”, begitu ucap Churchil.Implikasi lebih lanjut dari
hilangnya ketegasan dalam kepemimpinan SBY adalah kemungkinan memudarnya orkestrasi
(orchestration) dalam implementasi program-program pemerintahan di kemudian hari.
Secara politik, menurut Stanley A. Renshon, kepemimpinan politik mensyaratkan tiga
tugas essensial yang mesti diemban pemimpin, yakni mobilisasi, orkestrasi (orchestration), dan
konsolidasi. Tugas pertama berhubungan dengan kemampuan pemimpin dalam membangunkan
dan menggerakan pendukungnya. Tugas kedua merefleksikan kemampuan seoarang pemimpin
dalam mengorganisasi pendukungnya untuk mencapai sebuah tujuan bersama.
Dan tugas terakhir meliputi kemampuan pemimpin untuk mewujudkan tujuan bersama
tersebut secara aktual (The Political Science Quarterly, 123, 2008) Nah, jika SBY tidak sanggup
memperlihatkan sikap yang tegas, baik dalam kasus-kasus yang sedang berkembang atau kasus-
kasus lainya di kemudian hari, maka SBY akan kesulitan untuk memobilisasi dukungan, baik
secara internal (pendukung dan jajaran sendiri) atau dari publik.  Ini tentu akan berakibat buruk
pada program-program boombastis yang sudah dicanangkan SBY karena masih menyisakan
celah untuk gagal jika melulu ketegasan tersebut tidak dihadirkan.
Pendeknya, dalam perkembangan belakangan ini, kepemimpinan dan kewibawaan SBY,
baik secara politik ataupun administratif, benar-benar sedang diuji, bahkan mungkin
dipertaruhkan. Dengan banyaknya sketisisme yang muncul, tak ada alasan lagi bagi SBY untuk
berputar-putar dalam menyampaikan sikap alias tidak tegas. Secara politik SBY mampu untuk
itu.
Kenyataannya adalah  bahwa Partai Demokrat merupakan rulling party saat ini dan
koalisi yang mem-back up pun terhitung besar, maka ketegasan itu mestinya tidak susah. Dan
jika SBY masih berat hati untuk menunjukan sebuah ketegasan, maka jangan salahkan publik
ketika dugaan-dugaan yang tak sedap mulai jadi pergunjingan. Dan ini tentu akan menjadi
alamat buruk bagi keberadaan program-program prioritas pemerintahan SBY dalam lima tahun
mendatang karena barhubungan langsung dengan dukungan publik yang semakin memudar.
Selanjutnya akan berimbas buruk pula pada popularitas Partai Demokrat dalam kontestasi 2014
mendatang.
Jadi singkatnya, mumpung masih dekat dengan garis start, SBY ada baiknya
mempertimbangkan sebuah karakter baru dalam kepemimpinannya yang sempat diragukan
publik eksistensinya , yakni pemimpin yang tegas dalam bersikap dan berkeputusan. Rasanya ini
tidak akan merusak citra SBY dimata siapapun, termasuk dimata komunitas internasional
sekalipun.
Persepsi Media Massa Terhadap SBY
Media massa merupakan sumber informasi bagi masyarakat yang selalu menyajikan
peristiwa peristiwa actual dan factual. Ketidaktegasan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
dalam merespons kasus ini menunjukkan bahwa pemerintahan eksekutif yang terpilih melalui
pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat pada tahun 2009 terbukti gamang dalam
memperjuangkan agenda antikorupsi ataupun menyelesaikan konflik antara lembaga negara yang
berada di bawah otoritasnya.
Sementara lembaga legislatif sebagai lembaga perwakilan rakyat belum menunjukkan
komitmennya terhadap suara rakyat yang menghendaki pengungkapan seterang-terangnya
kejahatan korupsi yang melibatkan elite- elite kekuasaan.Sementara itu, kita telah menyaksikan
bagaimana sejuknya suasana pembicaraan dalam rapat kerja antara DPR dan kepolisian ataupun
kejaksaan berbanding terbalik dengan panasnya gejolak tuntutan masyarakat yang menginginkan
terbukanya kasus Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Bank Century, beserta selubung
kepentingan- kepentingan elite politik yang ada di dalamnya.
Pertanyaan penting yang patut dilontarkan terkait dengan kaburnya respons elite politik
terhadap suara publik adalah mengapa para elite yang baru saja terpilih ini dapat begitu mudah
abai, bahkan melawan kehendak publik. Bagaimana sebenarnya para elite politik ini memaknai
masyarakat sebagai konstituen politik mereka. Pendeknya, jawaban terhadap persepsi elite
politik akan dinamika suara di arus bawah akan memastikan arah dan kualitas dari politik
representasi selama lima tahun ke depan untuk membawa perubahan politik yang
bermakna.Terkait dengan persepsi elite politik terhadap dinamika suara rakyat yang tentunya
dapat menjadi acuan kita dalam melihat karakter elite di Indonesia, WF Wertheim (1984) dalam
Elite Perception and The Masses; The Indonesian Case menguraikan pandangannya tentang
sociology of ignorance (sosiologi ketidaktahuan).
Menurut Wertheim, ketidaksensitifan elite terhadap aspirasi dan kehendak rakyat,
terlepas dari mereka kerap menyatakan diri sebagai artikulator kehendak publik, menunjukkan
dua hal. Pertama, ada tembok yang begitu tebal membatasi kehidupan sosial dari kelompok elite
dengan masyarakatnya. Mereka hidup di ruang-ruang yang terpisah dan jarang sekali terdapat
hubungan intens antara elite dan publik.
Untuk kasus interaksi antara kelompok elite politik dan masyarakat di Indonesia dapat
dikatakan bahwa mereka yang terpilih menjadi anggota Dewan segera menjadi elite politik
minoritas dan menarik batas tegas dari dinamika kehendak publik. Para elite politik itu segera
membentuk gaya hidup komunitasnya sendiri dan berjarak dengan denyut nadi kehidupan rakyat.
Kedua, semestinya meskipun mereka berjarak dengan suasana dan kehidupan dari
masyarakatnya, para elite ini mampu berhubungan, mendengar, dan bertindak sesuai dengan
aspirasi publik mengingat mereka dekat dan menguasai saluran-saluran komunikasi. Dalam
konteks ini, para elite politik sebenarnya mengetahui apa yang hadir dan menjadi kegelisahan di
kalangan masyarakat akar rumput. Meski demikian, mereka memanfaatkan informasi yang
mereka terima ataupun pengetahuan mereka akan realitas sosial di tingkat bawah untuk
kepentingan-kepentingan mereka sendiri yang terpisah dengan kepentingan publik.
Pada kasus kriminalisasi KPK, informasi dan pengetahuan para elite tentang tuntutan
publik akan keadilan dan terbukanya jejaring intrik dan kepentingan ekonomi-politik yang ada di
dalamnya bertolak belakang dengan kepentingan politik mereka. Dominasi kepentingan
kekuasaan dalam konfigurasi politik di DPR dan bungkamnya suara oposisi terkait dengan
dugaan penyuapan dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda Goeltom
membatasi potensi DPR sebagai penyeimbang eksekutif ataupun kekuatan kunci yang berpotensi
membuka misteri kasus ini.
Artinya, para elite politik sebenarnya mengetahui kegelisahan yang muncul di publik,
tetapi mereka menyimpan rapat-rapat pengetahuan itu karena bertentangan dengan kepentingan
utama dari kelompok mereka.

Anda mungkin juga menyukai