Anda di halaman 1dari 34

14

BAB II
LANDASAN TEORI

2.1. Pejalan Kaki


Menurut Pedoman Teknis Perkayaan Fasilitas Pejalan Kaki di Wilayah Perkotaan
Tahun 1997, pejalan kaki adalah orang yang melakukan aktivitas berjalan kaki
dan merupakan salah satu unsur pengguna jalan. Aktivitas berjalan kaki dari satu
titik ke titik lainnya, membentuk pola pergerakan yang berkaitan erat dengan
penggunaan lahan. Pola penggunaan yang ada merupakan pola dasar dari alasan
tujuan para pejalan kaki. Pejalan kaki ditunjang oleh berbagai fasilitas yang
bertujuan untuk mempermudah aktivitas para pejalan kaki.

2.2 Fasilitas Pejalan Kaki


Tercantum dalam Pedoman Perencanaan Jalur Pejalan Kaki Pada Jalan Umum
No.032/T/BM/1999 fasilitas pejalan kaki didefinisikan, seluruh bangunan
pelengkap yang disediakan untuk pejalan kaki guna memberikan pelayanan demi
kelancaran, keamanan dan kenyamanan, serta keselamatan bagi pejalan kaki.
Dalam perencanaan fasilitas bagi pejalan kaki, termasuk fasilitas penyeberangan
haruslah memperhatikan tujuh sasaran utama yaitu: keselamatan (safety),
keamanan (security), kemudahan (convenience), kelancaran (continuity),
kenyamanan (comfort), keterpaduan sistem (system coherence), dan daya tarik
(attractiveness) (John J. Fruin (1997) dalam Amelia (2012)). Ketujuh faktor
tersebut saling berhubungan (inter-related) dan saling tumpang tindih
(overlapping). Fasilitas pejalan kaki sangat penting untuk menunjang semua
aktivitas pejalan kaki dengan adanya 7 (tujuh) sasaran utama menunjukan bahwa
fasilitas pejalan kaki harus terlayani semaksimal mungkin.

Dalam penyediannya fasilitas pejalan kaki memiliki ketentuan-ketentuan yaitu:


a. Pada tempat-tempat dimana pejalan kaki keberadaannya sudah menimbulkan
konflik dengan lalu lintas kendaraan atau mengganggu peruntukan lain seperti
taman, dan lain-lain.
b. Pada lokasi yang dapat memberikan manfaat baik dari segi keselamatan,
keamanan, kenyamanan dan kelancaran.

14
15

c. Jika berpotongan dengan jalur lalu lintas kendaraan harus dilengkapi rambu
dan marka atau lampu yang menyatakan peringatan atau petunjuk bagi
pengguna jalan.
d. Koridor Jalur Pejalan Kaki (selain terowongan) mempunyai jarak pandang
yang bebas ke semua arah.
e. Dalam merencanakan lebar lajur dan spesifikasi teknik harus memperhatikan
peruntukan bagi penyandang cacat.
Dalam ketentuan di atas dapat dilihat bahwa fasilitas pejalan kaki harus
menunjang keamanan, kenyaman dan keselamatan pejalan kaki. Fasilitas-fasilitas
yang menunjang berbagai kegiatan pejalan kaki yang paling utama adalah adanya
jalur pejalan kaki atau pedestrian.

2.2.1 Jalur Pejalan Kaki / Pedestrian


Pejalan kaki tidak terlepas dari jalur pejalan kaki. Jalur pejalan kaki adalah jalur
yang disediakan untuk pejalan kaki guna memberikan pelayanan kepada pejalan
kaki sehingga dapat meningkatkan kelancaran, keamanan dan kenyamanan
pejalan kaki tersebut. (Tata Cara Perencanaan Fasilitas Pejalan Kaki Dikawasan
Perkotaan No:011/T/Bt/1995 tentang Jalan). Jalur pejalan kaki memiliki 2 jenis
yaitu trotar dan non trotoar yang pengertiannya adalah:
a. Trotoar adalah jalur pejalan kaki yang terletak pada daerah milik jalan, diberi
lapisan permukaan, diberi elevasi yang lebih tinggi dari permukaan
perkerasan jalan, dan pada umumnya sejajar dengan jalur lalu lintas
kendaraan.
b. Non Trotoar adalah jalur pejalan kaki yang dibangun pada prasarana umum
lainnya diluar jalur; seperti pada taman, di perumahan dan lain-lain.
Jalur trotoar atau non trotoar adalah pendukung para pejalan kaki melakukan
aktivitas pergerakannya sehingga jalur ini salah satu hal terpenting di daerah
perkotaan. Selain itu jalur pejalan kaki tidak lepas dari arus pejalan kaki. Arus
pejalan kaki diartikan sebagai jumlah pejalan kaki yang melewati suatu titik
tertentu, biasanya dinyatakan dengan jumlah pejalan kaki per satuan waktu
(pejalan kaki/menit).
16

Hal ini pula yang menentukan penyedian sarana maupun prasarana bagi pejalan
kaki agar tidak bersinggungan dengan arus kendaraan sehingga pejalan kaki tetap
merasa aman, nyaman hingga tempat yang akan dituju.

Berdasarkan Pedoman Perencanaan, Penyediaan, dan Pemanfaatan Prasarana dan


Sarana Jaringan Pejalan Kaki di Perkotaan, jalur pejalan kaki atau pedestrian
memiliki keriteria dan ketentuan teknis. Ketentuan tersebut adalah sebagai
berikut:
a. Jalur pejalan kaki berdasarkan kebutuhan ruang gerak untuk berdiri dan
berjalan dihitung berdasarkan dimensi tubuh manusia. Dimensi tubuh yang
lengkap berpakaian adalah 45 cm untuk tebal tubuh sebagai sisi pendeknya dan
60 cm untuk lebar bahu sebagai sisi panjangnya. Berdasarkan perhitungan
dimensi tubuh manusia, kebutuhan ruang minimum pejalan kaki:
1) Tanpa membawa barang dan keadaan diam yaitu 0,27 m2;
2) Tanpa membawa barang dan keadaan bergerak yaitu 1,08 m2; dan
3) Membawa barang dan keadaan bergerak yaitu antara 1,35 m2 -1,62 m2.

Kebutuhan ruang gerak minimum tersebut di atas harus memperhatikan kondisi


perilaku pejalan kaki dalam melakukan pergerakan, baik pada saat membawa
barang, maupun berjalan bersama (berombongan) dengan pelaku pejalan kaki
lainnya, dalam kondisi diam maupun bergerak. Dapat disimulasikan dengan
Gambar 2.1

b. Penghitungan lebar trotoar minimal menggunakan persamaan berikut:

Dimana :
Q15 = Arus pejalan kaki pada interval 15 menitan terbesar,(orang/m/menit)
Nm = jumlah pejalan kaki terbanyak pada interval 15 menitan, (orang)
WE = lebar efektif trotoar, (m)

WE = WT – B
Dimana:
WE = lebar efektif trotoar, (m)
WT = lebar total trotoar, (m)
B = lebar total halangan yang tidak bisa digunakan untuk berjalan kaki, (m)
17

Sumber: Pedoman Perencanaan, Penyediaan, dan Pemanfaatan Prasarana dan


Sarana Jaringan Pejalan Kaki di Perkotaan Tahun 2014.
Gambar 2.1 Kebutuhan Ruang Per Orang Secara Individu, Membawa Barang, dan
Kegiatan Berjalan Bersama

Tabel 2.1 Nilai N Sesuai Dengan Keadaaan Setempat


N (Meter) Keadaan

1,5 Jalan di daerah dengan bangkitan pejalan kaki tinggi

1 Jalan di daerah dengan bangkitan pejalan kaki sedang

0,5 Jalan di daerah dengan bangkitan pejalan kaki rendah


Sumber: Perencanaan Teknis Fasilitas Pejalan Kaki, Direktorat Bina Marga. Tahun 1995.

c. Bila pada trotoar akan dipasang fasilitas pendukung, maka dimensi trotoar
yang disediakan dilihat pada tabel berikut:
18

Tabel 2.2 Lebar Trotoar Yang Disarankan Bila Akan Dipasang Fasilitas Pendukung

Zona
Lokasi Bagian Total
Jalur Lebar
Kereb Depan
Fasilitas Efektif
Gedung
Daerah dengan
Jumlah Pejalan Kaki
yang tinggi
Jalan Arteri Pusat Kota 0,15 m 1,2 m 2,4 m+ 0,75 m 4,5 m
Sepanjang Taman,
Sekolah, Serta Pusat
pembangkit pejalan
kaki utama lainnya
Daerah dengan
Jumlah Pejalan Kaki
Jalan yang tinggi
0,15 m 0,9 m 1,8 m 0,45 m 3,6 m
Kolektor Daerah komersial
atau industri diluar
pusat kota (CBD)
Jalan Lokal 0,15 m 0,9 m 1,8 m 0,15 m 3,0 m
Jalan Lokal dan Lingkungan 2,7
0,15 m 0,9 m 1,5 m 0,15 m
(wilayah perumahan) m
Sumber: Perencanaan Teknis Fasilitas Pejalan Kaki, Direktorat Bina Marga. Tahun 1995.

Catatan: Bila kondisi lahan eksisting memiliki keterbatasan ruang dengan arus
pejalan kaki maksimum pada jam puncak <50 pejalan kaki/menit, lebar dapat
disesuaikan dengan justifikasi yang memadai dengan memperhatikan kebutuhan
lebar lajur minimum pejalan kaki. Contoh sketsa pembagian zona dapat dilihat
pada Gambar 2.2

Sumber: Perencanaan Teknis Fasilitas Pejalan


Kaki, Direktorat Bina Marga,1995.

Gambar 2.2. Contoh Pembagian Zona Ruang Pejalan Kaki


19

Tercatat dalam Pedoman Perencanaan, Penyediaan, dan Pemanfaatan Prasarana


dan sarana jaringan pejalan kaki di kawasan perkotaan, fasilitas pejalan kaki
memiliki ketentuan lebar berdasarkan jenis jalan dan penggunaan lahan.
Pedestrian memiliki kebutuhan dalam penyediaannya dapat dilihat pada Tabel 2.3
dalam penyediaan fasilitasnya berdasarkan karakteristik atau fungsi jalan harus
mempertimbangkan:
a. Dimensi atau ketersediaan ruang pada ruang milik jalan yang cukup.
b. Volume dan kecepatan kendaraan.
c. Jumlah penduduk, pengunjung, dan jumlah unit rumah.
d. Tingkat pelayanan jalan dan tingkat pelayanan trotoar yang memadai
e. Interkoneksi antar moda transportasi dan ketersediaan sistem angkutan umum.

Tabel 2.3 Kebutuhan Pengembangan Jaringan Pejalan Kaki Berdasarkan Fungsi


Jalan dan Penggunaan Lahan
Perumahan
Jenis Jalan Komersial
0-3 unit/ha 4-10 unit/ha >10 unit/ha
Arteri 2 2 2 2
Kolektor 2 2 2 2
Lokal/Lingkungan 2 0 1 2
Sumber:Pedoman Perencanaan, Penyediaan, dan Pemanfaatan Prasarana dan Sarana Jaringan
Pejalan Kaki di Kawasan Perkotaan. Tahun 2014.

Keterangan:
2 = Dibutuhkan pada kedua sisi jalan
1 = Dibutuhkan hanya pada satu sisi jalan
0 = Diharapkan namun tidak terlalu diperlukan

Penggunaan lahan sekitar pejalan kaki mempengaruhi banyaknya arus pejalan


kaki sehingga berdasarkan pedoman lebar pedestrian memiliki ketentuan yaitu
sekitar 2 meter hingga 1 meter lebar minimum pedestrian berdasarkan
penggunaan lahan di sekitarnya. Untuk lebih jelas dapat di lihat pada Tabel 2.4

Tidak hanya dalam ketentuan lebar minimum jalur pedestrian tetapi pedestrian
memiliki ketentuan penyedian pelayanan ruang pejalan kaki. Tingkat pelayanan
jaringan pejalan kaki pada pedoman ini bersifat teknis dan umum, serta dapat
disesuaikan dengan kondisi lingkungan yang ada.
20

Tabel 2.4 Lebar Jaringan Pejalan Kaki Sesuai dengan Penggunaan Lahan
Lebar
No Penggunaan Lahan Minimum Lebar yang Dianjurkan (m)
(m)
1 Perumahan 1,6 2,75
2 Perkantoran 2 3
3 Industri 2 3
4 Sekolah 2 3
5 Terminasl/stop bis/TPKPU 2 3
6 Pertokoan/perbelanjaan/hiburan 2 4
7 Jembatan, terowongan 1 1
Sumber: Pedoman Perencanaan, Penyediaan, dan Pemanfaatan Prasarana dan Sarana Jaringan
Pejalan Kaki di Kawasan Perkotaan. Tahun 2014.

Keterangan : TPKPU singkatan dari Tempat Pemberhentian Kendaraan


Penumpang Umum.

Standar penyediaan dapat dikembangkan dan dimanfaatkan sesuai dengan tipologi


ruang pejalan kaki dengan memperhatikan aktivitas dan kultur lingkungan sekitar
(Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Prasarana dan Sarana Ruang Pejalan
Kaki Di Perkotaan, Direktorat Penataan Ruang Nasional). Tingkat pelayanan
(level of service/LOS) pejalan kaki dibagi atas beberapa pelayanan yaitu sebagai
berikut:

 LOS A
Jalur pejalan kaki seluas >5,6 m2/pedestrian, besar arus
pejalan kaki <16 pedestrian/menit/meter. Pada ruang
pejalan kaki dengan LOS A orang dapat berjalan
dengan bebas, para pejalan kaki dapat menentukan
arah berjalan dengan bebas, dengan kecepatan yang
relatif cepat tanpa menimbulkan gangguan antar sesama pejalan kaki.

 LOS B
Standar penyediaan ini dapat dikembangkan dan dimanfaatkan sesuai dengan
tipologi ruang pejalan kaki dengan memperhatikan aktivitas dan kultur
lingkungan sekitar (Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Prasarana dan Sarana
Ruang Pejalan Kaki Di Perkotaan, Direktorat Penataan Ruang Nasional).
21

Jalur pejalan kaki seluas 5,6 m2/pedestrian, besar


arus pejalan kaki >16-23pedestrian/menit/meter.
Pada LOS B, ruang pejalan kaki masih nyaman
untuk dilewati dengan kecepatan yang cepat.
Keberadaan pejalan kaki yang lainnya sudah mulai
berpengaruh pada arus pedestrian, tetapi para
pejalan kaki masih dapat berjalan dengan nyaman
tanpa mengganggu pejalan kaki lainnya.

 LOS C
Jalur pejalan kaki seluas >2,2–3,7m2/pedestrian,
besar arus pejalan kaki >23-33 pedestrian/
menit/meter. Pada LOS C, ruang pejalan kaki masih
memiliki kapasitas normal, para pejalan kaki dapat
bergerak dengan arus yang searah secara normal
walaupun pada arah yang berlawanan akan terjadi
persinggungan kecil. Arus pejalan kaki berjalan
dengan normal tetapi relatif lambat karena
keterbatasan ruang antar pejalan kaki.

 LOS D
Jalur pejalan kaki seluas >1,1–2,2m2/pedestrian,
besar arus pejalan kaki >33-49
pedestrian/menit/meter. Pada LOS D, ruang
pejalan kaki mulai terbatas, untuk berjalan
dengan arus normal harus sering berganti posisi
dan merubah kecepatan. Arus berlawanan pejalan
kaki memiliki potensi untuk dapat menimbulkan
konflik. LOS D masih menghasilkan arus
ambang nyaman untuk pejalan kaki tetapi
berpotensi timbulnya persinggungan dan interaksi antar pejalan kaki.
22

 LOS E

Jalur pejalan kaki seluas >0,75–1,4m2/ pedestrian,


besar arus pejalan kaki >49-75pedestrian/
menit/meter. Pada LOS E, setiap pejalan kaki akan
memiliki kecepatan yang sama, karena banyaknya
pejalan kaki yang ada. Berbalik arah, atau berhenti
akan memberikan dampak pada arus secara
langsung. Pergerakanakan relatif lambat dan tidak
teratur. Keadaan ini mulai tidak nyaman untuk
dilalui tetapi masih merupakan ambang bawah dari
kapasitas rencana ruang pejalan kaki.

 LOS F
Jalur pejalan kaki seluas <0,75 m2/pedestrian,besar
arus pejalan kaki beragam pedestrian/menit/meter.
Pada LOS F, kecepatan arus pejalan kaki sangat
lambat dan terbatas. Akan sering terjadi konflik
dengan para pejalan kaki yang searah ataupun
berlawanan. Untuk berbalik arah atau berhenti
tidak mungkin dilakukan. Karakter ruang pejalan
kaki ini lebih kearah berjalan sangat pelan dan
mengantri. LOS F ini merupakan tingkat
pelayanan yang sudah tidak nyaman dan sudah
tidak sesuai dengan kapasitas ruang pejalan kaki.

Tabel 2.5 Tingkat Standar Pelayanan Jalur Pejalan Kaki

Sumber: Pedoman Perencanaan, Penyediaan, dan Pemanfaatan Prasarana dan Sarana


Jaringan Pejalan Kaki di Kawasan Perkotaan, Tahun 2014
23

Berdasarkan Pedoman Perencanaan, Penyediaan, dan Pemanfaatan Prasarana dan


Sarana Jaringan Pejalan Kaki di Kawasan Perkotaan minimum tingkat pelayanan
level of service (LOS) adalah C, semakin tinggi arus pejalan kaki semakin rendah
tingkat pelayanan dan menimbulkan ketidak nyaman bagi para pejalan kaki.

2.2.2 Fasilitas Penyeberangan


Selain jalur pejalan kaki/pedestrian dalam fasilitas pejalan kaki ditunjang juga
dengan fasilitas penyeberangan, karena aktivitas pejalan kaki tidak hanya
menyusuri jalan namun melintasi arus lalu lintas untuk mencapai tujuan pejalan
kaki tersebut. Fasilitas penyeberangan dibagi 2 jenis yaitu penyeberangan
sebidang dan tidak sebidang, berikut penjelasannya.

2.2.2.1 Penyeberangan sebidang


Penyeberangan sebidang merupakan tipe fasilitas penyeberangan yang paling
banyak digunakan karena biaya pengadaan dan operasionalnya relatif murah.
Bentuk paling umum adalah berupa uncontrolled crossing (penyeberangan tanpa
pengaturan), light-controlled crossing (penyeberangan dengan lampu sinyal) dan
person-controlled crossing (penyeberangan yang diatur oleh manusia) (TRRL
dalam ruddy (2006)). Penyeberangan sebidang memiliki kriteria dalam
pemilihannya yang didasarkan pada rumus empiris (PV2), dimana P adalah arus
pejalan kaki yang menyeberang ruas jalan sepanjang 100 meter tiap jam-nya
(pejalan kaki/jam) dan V adalah arus kendaraan tiap jam dalam dua arah
(kendaraan/jam) dan P dan V merupakan arus rata-rata pejalan kaki dan kendaraan
pada jam sibuk, dengan rekomendasi awal seperti pada Tabel 2.6

Menggunakan perhitungan berdasarkan penentuan fasilitas penyeberangan


sebidang yang dapat digunakan pada ruas jalan maupun persimpangan.
Penyeberangan sebidang memiliki 2 jenis fasilitas penyeberangan yaitu
penyeberangan zebra cross dan penyeberangan pelican yaitu:

Keterangan:
P = Arus lalu lintas penyeberangan pejalan kaki sepanjang 100 meter, dinyatakan
dengan orang/jam
V = Arus lalu lintas kendaraan dua arah per jam, dinyatakan kendaraan/jam
24

Tabel 2.6 Kriteria Penentuan Fasilitas Penyeberangan Sebidang


P V
PV2 Rekomendasi
(org/jam) (Kend/jam)
50-1100 300-500 >108 Zebra cross
8
50-1100 400-750 >2x10 Zebra cross dengan lapak tunggu
8
50-1100 >500 >10
Pelican
>1100 >300 >108
50-1100 >750 >2x108
Pelican dengan lapak tunggu
>1100 >400 >2x108
Sumber: Perencanaan Teknis Fasilitas Pejalan Kaki, Direktorat Bina Marga. Tahun 1995.

a. Penyeberangan Zebra Cross


Zebra Croos adalah fasilitas penyeberangan yang ditandai dengan garis-garis
berwarna putih searah arus kendaraan dan dibatasi garis melintang lebar jalan.
Zebra cross ditempatkan di jalan dengan jumlah aliran penyeberang jalan atau
arus yang relatif rendah sehingga penyeberang masih mudah memperoleh
kesempatan yang aman untuk menyeberang. Tipe Fasilitas ini dianjurkan
ditempatkan pada jalan dengan 85% arus lalu lintas kendaraan berkecepatan 35
Mph (56 km/jam), Jalan di daerah pertokoan yang ramai atau terminal dimana
arus penyeberang jalan tinggi dan terus menerus sehingga dapat mendominasi
penyeberangan dan menimbulkan kelambatan bagi arus kendaraan yang cukup
besar. Jalan dimana kendaraan besar yang lewat cukup banyak (300
kendaraan/jam selama empat jam sibuk).

b. Penyeberangan Pelican
Penyeberangan pelican adalah Zebra Croos yang dilengkapi dengan lampu
pengaturan bagi penyeberang jalan dan kendaraan. Fase berjalan bagi
penyeberang jalan dihasilkan dengan menekan tombol pengatur dengan lama
periode berjalan yang telah di tentukan. Fasilitas ini bermanfaat bila ditempatkan
di jalan dengan arus penyeberang jalan yang tinggi. Pelican di pasang pada ruas
jalan, minimal 300 m dari persimpangan dan atau pada jalan dengan kecepatan
rata-rata lalu lintas kendaraan >40 km/jam

.
25

2.2.2.2 Penyeberangan Tidak Sebidang


Penyeberangan tidak sebidang merupakan pemisahan ketinggian antara pejalan
kaki dan kendaraan; pertama kali diperkenalkan oleh Leonardo da Vinci yang
merencanakan kota dengan sistem jalan raya berganda (double network streets)
dimana para pejalan kaki berada di level atas dan kendaraan berada di level bawah
(Fruin, 1974). Penyeberangan tidak sebidang digunakan bila:
 Fasilitas penyeberangan sebidang sudah mengganggu arus lalu lintas yang ada
 Frekuensi kecelakaan yang melibatkan pejalan kaki sudah cukup tinggi
 Pada ruas jalan dengan kecepatan rencana 70 km/jam
 Pada kawasan strategis, tetapi tidak memungkinkan para penyeberang jalan
untuk menyeberang jalan selain pada penyeberangan tidak sebidang

Beberapa ketentuan yang harus diperhatikan dalam perencanaan fasilitas


penyeberangan tidak sebidang:
 Penyeberangan tidak sebidang harus dapat diakses dengan mudah oleh
penyandang cacat, misal dengan penambahan ram (pelandaian) atau dengan
elevator.
 Fasilitas penyeberangan tersebut harus dilengkapi dengan pencahayaan yang
baik yang dapat meningkatkan keamanan bagi para pejalan kaki
 Lokasi dan bangunan harus memperhatikan nilai estetika serta kebutuhan
pejalan kaki.
Kriteria pemilihan dalam penyeberangan tidak sebidang dapat dilihat pada Tabel
2.7.
Tabel 2.7. Kriteria Penentuan Fasilitas Penyeberangan Tidak Sebidang
P V
PV2 Rekomendasi
(org/jam) (Kend/jam)
>110 >750 >2x108 Penyeberangan tidak sebidang
Sumber: Perencanaan Teknis Fasilitas Pejalan Kaki, Direktorat Bina Marga Tahun 1995.

Berdasarkan perhitungan tersebut dapat dilihat pada ketentuannya, jika tingkat


arus lalu lintas yang tinggi yaitu sekitar 750 kendaraan/jam maka tidak
memungkinkan untuk mengunakan penyeberangan sebidang sehingga di
26

rekomendasikan untuk penyeberangan tidak sebidang. Penyeberangan tidak


sebidang terdapat beberapa jenis yaitu:

a. Jembatan Penyeberangan Orang


Pengertian jembatan adalah bangunan pelengkap jalan yang berfungsi melewatkan
lalulintas yang terputus pada kedua ujung jalan yang diakibatkan adanya
hambatan berupa sungai, selat, lembah, serta jalan dan jalan kereta api yang
menyilang. Berdasarkan fungsinya jembatan penyeberangan juga dapat digunakan
untuk keselamatan pejalan kaki dari tingginya arus lalu lintas ketika menyeberang
jalan selain itu biasanya jembatan penyeberangan orang atau biasa di singkat JPO
ini juga dapat digunakan untuk menuju ketempat pemberhentian bis atau angkutan
karena biasanya para pejalan kaki menyeberangi jalan untuk berpindah moda
transportasi. Selain itu jembatan penyeberangan juga dapat mempermudah
penyandang disabilitas dalam menyeberang jalan.

Menurut Pedoman Perencanaan Teknis Fasilitas Pejalan Kaki, Direktorat Bina


Marga Jembatan penyeberangan pejalan kaki merupakan bangunan jembatan
yang diperuntukkan untuk menyeberang pejalan kaki dari satu sisi jalan ke sisi
jalan yang lainnya. Jenis penyeberangan ini digunakan apabila jenis jalur
penyeberangan dengan mengunakan zebra croos atau pelikan sudah menganggu
arus lalulintas. Pada ruas jalan dimana frekuensi terjadi kecelakaan yang
melibatkan pejalan kaki cukup tinggi. Pada ruas jalan yang memiliki arus lalu
lintas dan arus pejalan kaki yang cukup tinggi.
Jembatan penyeberang pejalan kaki harus dibangun dengan konstruksi yang kuat
dan mudah dipelihara. Berikut beberapa Ketentuan teknis konstruksi jembatan
penyeberangan mengikuti Tata Cara Perencanaan Jembatan Penyeberangan untuk
Pejalan Kaki di Perkotaan antara lain:
 Jembatan penyeberangan pejalan kaki memiliki lebar minimum 2 (dua) meter
dan kelandaian tangga maksimum 20º.
 Bila jembatan penyeberangan juga diperuntukkan bagi sepeda, maka lebar
minimal adalah 2,75 m.
 Jembatan penyeberangan pejalan kaki harus dilengkapi dengan pagar yang
memadai.
27

 Pada bagian tengah tangga jembatan penyeberangan pejalan kaki harus


dilengkapi pelandaian yang dapat digunakan sebagai fasilitas untuk kursi roda
bagi penyandang cacat.
 Lokasi dan bangunan jembatan penyeberang pejalan kaki harus sesuai dengan
kebutuhan pejalan kaki dan estetika.
 Penempatan jembatan tidak boleh mengurangi lebar efektif trotoar.

Menurut Pedoman Teknis Perekayasaan Fasilitas Pejalan Kaki di Wilayah Kota


Tahun 1997, departemen Perhubungan, persyaratan jembatan penyeberangan
berdasarkan keselamatan dan keamanan bagi pejalan kaki dengan ketentuan
sebagai berikut:
 Kebebasan vertikal antara jembatan dan jalan raya 5,0 meter
 Tinggi maksimum anak tangga 0,15 meter
 Lebar anak tangga 0,30 meter
 Panjang jalur turun minimum 1,5
 Lebar landasan, tangga dan jalur berjalan minimal 2,0 meter
 Kelandaian maksimum 20o
Dasar penetapan tersebut adalah dengan asumsi kecepatan berjalan kaki sebagai
berikut:
- Pada jalan datar : 1,5 m/detik
- Pada kemiringan : 1,1 m/detik
- Pada tangga : 0,2 m/detik secara vertikal

Sumber: Perencanaan Teknis Fasilitas Pejalan Kaki, Direktorat Bina Marga. Tahun 1995.
Gambar 2.3 Perspektif Jembatan Penyeberangan Orang
28

Selain itu untuk menunjang kenyaman dan keamanan bagi para pejalan saat
berada pada jembatan penyeberangan orang yaitu :
 Lampu
Lampu di peruntukan untuk penerangan JPO terutama saat malam hari dengan
adanya lampu penerangan yang berada di JPO mempermudah pengguna untuk
melintas dan memberikan rasa nyaman saat melintas tidak gelap gulita.
 Kamera CCTV
Pemasangan kamera pada JPO untuk memberikan rasa kenyamanan pada
pengguna selain itu dengan adanya kamera cctv pun dapat memantau kegiatan
para pengguna diharapkan terhindar dari tindak kriminalitas baik siang hari
maupun malam hari.
 Tanaman
Tanaman berfungsi untuk menambah estetika jembatan agar terasa asri dan
nyaman saat digunakan oleh pengguna JPO.
 Halte
Sarana penunjang untuk para pejalan kaki dalam berganti moda transportasi
umum. Halte disebut juga sebagai simpul pejalan kaki, tempat naik dan turunnya
ataupun berganti moda dari angkutan kota seperti bis dan transportasi umum
lainnya. Dominan pejalan kaki yang mengunakan JPO adalah pejalan kaki yang
mengunakan transportasi umum.

b. Terowongan
Jenis penyeberangan ini sama halnya dengan jembatan penyeberangan orang,
untuk menyeberang jalan tanpa adanya singungan dengan kendaraan dan
meningkatkan keamanan dan kenyamanan bagi para pejalan kaki. Terowongan
digunakan apabila jenis jalur penyeberangan dengan mengunakan jembatan
penyeberangan tidak memungkinkan untuk diadakan dan jika lokasi lahan
memungkinkan untuk dibangun underground/terowongan, karena dalam
pembuatannya dibutuhkan daya yang cukup besar.

2.3 Jalan
Perkembangan suatu kota tidak lepas dari peran jalan yang berpengaruh kepada
aksesibilitas kota tersebut. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006
29

tentang Jalan, jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala
bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang
diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas
permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan
air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel. Untuk itu jaringan jalan
merupakan salah satu prasarana yang digunakan untuk transportasi manusia dan
barang untuk memenuhi kebutuhan aktivitas masyarakat sebagai pengguna jalan.
Pejalan kaki dan pengendara kendaraan adalah salah satu pengguna jalan yang
harus diperhatikan kebutuhan dan keselamatan terutama dalam proses
perancangan jaringan jalan.

Dalam jaringan jalan terdapat sistem jaringan jalan. Sistem jaringan jalan
merupakan satu kesatuan jaringan jalan yang terdiri dari sistem jaringan jalan
primer dan sistem jaringan jalan sekunder yang terjalin dalam hubungan hirarki.
Sistem jaringan jalan disusun dengan mengacu pada rencana tata ruang wilayah
dan dengan memperhatikan keterhubungan antar kawasan dan/atau dalam
kawasan perkotaan, dan kawasan perdesaan. Sistem jaringan jalan terbagi 2 yaitu:

2.3.1 Sistem Jaringan Jalan Primer


Sistem jaringan jalan primer disusun berdasarkan rencana tata ruang dan
pelayanan distribusi barang dan jasa untuk pengembangan semua wilayah di
tingkat nasional, dengan menghubungkan semua simpul jasa distribusi yang
berwujud pusat-pusat kegiatan sebagai berikut:
a. menghubungkan secara menerus pusat kegiatan nasional, pusat kegiatan
wilayah, pusat kegiatan lokal sampai ke pusat kegiatan lingkungan; dan
b. menghubungkan antarpusat kegiatan nasional.

2.3.2 Sistem Jaringan Jalan Sekunder


Sistem jaringan jalan sekunder disusun berdasarkan rencana tata ruang wilayah
kabupaten/kota dan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk masyarakat di
dalam kawasan perkotaan yang menghubungkan secara menerus kawasan yang
mempunyai fungsi primer, fungsi sekunder kesatu, fungsi sekunder kedua,fungsi
sekunder ketiga, dan seterusnya sampai ke persil. Setiap sistem jaringan jalan
30

memiliki karakter yang berbeda antara jaringan jalan primer dan sekunder.
Karakteristik yang dilihat dari rencana kecepatan dan lebar jalan untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada Tabel 2.8.

Tabel 2.8. Karakteritik Sistem Jaringan Jalan Primer dan Sistem Jaringan Jalan
Sekunder.

Lebar
Sistem
Kecepatan Badan
Jaringan Jenis
Definisi Rencana Jalan
Jalan Jalan
(Km/Jam) Minimal
(Meter)
Menghubungkan antar pusat
kegiatan nasional atau antara
Arteri 60 11
pusat kegiatan nasional dengan
pusat kegiatan wilayah
Menghubungkan pusat kegiatan
nasional dengan pusat kegiatan
Kolektor 40 9
lokal, antarpusat kegiatan wilayah
dengan pusat kegiatan lokal
Menghubungkan pusat kegiatan
nasional dengan pusat kegiatan
Primer lingkungan, pusat kegiatan
wilayah dengan pusat kegiatan
lingkungan, antar pusat kegiatan
Lokal 20 7,5
lokal, atau pusat kegiatan lokal
dengan pusat kegiatan
lingkungan, dan antara pusat
kegiatan lingkungan.

Menghubungkan pusat kegiatan


antar pusat kegiatan pedesaan dan
Lingkungan 15 6,5
jalan lingkungan kawasan
perdesaan.
Menghubungkan kawasan primer
Arteri 30 11
dan kawasan sekunder
Menghubungkan antar kawasan
Kolektor 20 9
sekunder
Sekunder
Menghubungkan antara kawasan
Lokal 10 7,5
sekunder hingga ke perumahan
Menghubungkan antar persil
Lingkungan 10 6,5
dalam kawasan perkotaan
Sumber: Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan

2.3.3 Tingkat Pelayanan Jalan


Sistem jaringan jalan berkaitan dengan volume lalu lintas, volume lalu lintas
adalah banyaknya kendaraan yang melewati suatu titik atau garis tertentu pada
suatu penampang melintang jalan. Volume lalu lintas melihat kapasitas jalan dari
31

hal tersebut dapat menghitung tingkat pelayanan jalan. Tingkat pelayanan


menggambarkan kualitas atau unjuk kerja pelayanan lalu lintas. Tingkat
pelayanan jalan didefinisikan, sejauh mana kemampuan jalan menjalankan
fungsinya. Menurut Manual Kapasitas Jalan Indonesia yang seterusnya akan di
singkat MKJI tahun 1997 yang digunakan sebagai parameter adalah Derajat
Kejenuhan (Degree of Saturation, DS). Derajat kejenuhan merupakan rasio
volume terhadap kapasitas, sebagai faktor utama untuk menentukan tingkat
kinerja sipang atau ruas jalan. Dari hasil perhitungan mengenai Volume (V)
dengan kapasitas (C), dapat dilakukan analisis mengenai ruas jalan dengan cara
membandingkan nilai (V) dengan nilai (C). Jika hasil dari nilai V/C ratio rendah
maka jalan tersebut memiliki tingkat kualitas yang tinggi. Sebaliknya, jika nilai
V/C ratio tinggi maka jalan tersebut memiliki kualitas jalan yang rendah. Tingkat
pelayanan pada ruas jalan pada sistem jaringan jalan sesuai fungsinya telah
ditetapkan didalam Peraturan Menteri Perhubungan No.KM 14 Tahun 2006
tentang Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas Jalan.

Peraturan tersebut menyebutkan bahwa :


1. Jalan arteri primer, tingkat pelayanan sekurang-kurangnya B
2. Jalan kolektor primer, tingkat pelayanan sekurang-kurangnya B
3. Jalan lokal primer, tingkat pelayanan sekurang-kurangnya C
4. Jalan tol, tingkat pelayanan sekurang-kurangnya B
5. Jalan arteri sekunder, tingkat pelayanan sekurang-kurangnya C
6. Jalan kolektor sekunder, tingkat pelayanan sekurang-kurangnya C
7. Jalan lokal sekunder, tingkat pelayanan sekurang-kurangnya D
8. Jalan lingkungan, tingkat pelayanan sekurang-kurangnya D.

Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada Tabel 2.9 mengenai nilai tingkat
pelayanan jalan berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan No. KM 14 Tahun
2006 tentang Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas di Jalan.

Berdasarkan Manual Kapasitas Jalan Indonesia, kapasitas adalah jumlah


maksimum kendaraan bermotor yang melintasi suatu penampang jalan tertentu
pada suatu ruas jalan dalam satuan waktu tertentu.
32

Tabel 2.9 Tingkat Pelayanan Jalan


Kecepatan
Tingkat
No. D=V/C Ideal Kondisi/Keadaan Lalu Lintas
Pelayanan
(km/jam)
1. 1. Arus bebas dengan volume lalu
lintas rendah dan kecepatan
tinggi
2. Kepadatan lalu lintas sangat
rendah dengan kecepatan yang
dapat dikendalikan oleh
A < 0.04 > 60 pengemudi berdasarkan
batasan kecepatan
maksimum/minimum dan
kondisi fisik jalan
3. Pengemudi dapat
mempertahankan kecepatan
yang diinginkannya dengan
sedikit tundaan.
2. 1. Arus stabil dengan volume lalu
lintas sedang dan kecepatan
mulai dibatasi oleh kondisi lalu
lintas
0.04- 2. Kepadatan lalu lintas rendah
B 50-60 hambatan internal lalu lintas
0.24 belum mempengaruhi
kecepatan
3. Pengemudi masih punya cukup
kebebasan untuk memilih
kecepatannya dan lajur jalan
yang digunakan.
3. 1. arus stabil tetapi kecepatan dan
pergerakan kendaraan
dikendalikan oleh volume lalu
lintas yang lebih tinggi
0.25- 2. kepadatan lalu lintas sedang
C 40-50
0.54 karena hambatan internal lalu
lintas meningkat
3. pengemudi memiliki
keterbatasan untuk memilih
kecepatan, pindah lajur atau
mendahului.
4. 1. Arus mendekati tidak stabil
dengan volume lalu lintas
0.55- tinggi dan kecepatan masih
D 35-40
0.80 ditolerir namun sangat
terpengaruh oleh perubahan
kondisi arus
2. Kepadatan lalu lintas sedang
33

Kecepatan
Tingkat
No. D=V/C Ideal Kondisi/Keadaan Lalu Lintas
Pelayanan
(km/jam)
namun fluktuasi volume lalu
lintas dan hambatan temporer
dapat menyebabkan
penurunan kecepatan yang
besar
3. Pengemudi memiliki
kebebasan yang sangat terbatas
dalam menjalankan kendaraan,
kenyamanan rendah, tetapi
kondisi ini masih dapat
ditolerir untuk waktu yang
singkat.
5. 1. Arus lebih rendah daripada
tingkat pelayanan D dengan
volume lalu lintas mendekati
kapasitas jalan dan kecepatan
0.81- sangat rendah;
E 30-35
1.00 2. Kepadatan lalu lintas tinggi
karena hambatan internal lalu
lintas tinggi;
3. Pengemudi mulai merasakan
kemacetan-kemacetan durasi
pendek.
6. 1. Arus tertahan dan terjadi
antrian kendaraan yang
F > 1.00 < 30 panjang
2. Kepadatan lalu lintas sangat
tinggi dan volume rendah serta
terjadi kemacetan untuk durasi
yang cukup lama.
Sumber:Peraturan Menteri Perhubungan No. KM 14 Tahun 2006 Tentang Manajemen dan
Rekayasa Lalu Lintas di Jalan.

Kapasitas didefinisikan sebagai arus maksimum melalui suatu titik di jalan yang
dapat dipertahankan per satuan jam pada kondisi tertentu. Untuk jalan dua lajur,
dua arah, kapasitas ditentukan untuk arus dua arah (kombinasi dua arah), tetapi
untuk jalan dengan banyak lajur, arus dipisahkan per arah dan kapasitas
ditentukan per lajur.
Nilai kapasitas dihasilkan dari pengumpulan data arus lalu lintas dan data
geometrik jalan yang dinyatakan dalam satuan mobil penumpang (smp). Untuk
34

jalan dua lajur, dua arah, penentuan kapasitas berdasarkan arus lalu lintas total,
sedangkan untuk jalan dengan banyak lajur perhitungan dipisahkan secara per
lajur (Tamrin, 2000). Persamaan untuk menentukan kapasitas adalah sebagai
berikut:

Nilai variabel-variabel yang termasuk dalam kapasitas, antara lain:

 Faktor Kapasitas Dasar (Co) ditunjukkan dalam Tabel 2.10


Tabel 2.10 Variabel Kapasitas Dasar (Co)
Kapasitas
Tipe Jalan/ Tipe Alinyemen Dasar Keterangan
(smp/jam)
4 Lajur terbagi
 Datar 1900
 Berbukit 1850 per lajur
 Pengunungan 1800
4 lajur tak terbagi
 Datar 1700
 Berbukit 1650 per lajur
 Pegunungan 1600
2 lajur tak terbagi
 Datar 3100
 Berbukit 3000 Total 2 arah
 Pegunungan 2900
Sumber: Manual Kapasitas Jalan Iindonesia. Tahun 1997.

 Faktor penyesuaiankapasitas akibat pemisahan arah (FCSP)


Tabel 2.11 Variabel Penyesuaian kapasitas (FCSP)
Pemisah arah SP %-% 50-50 55-45 60-40 65-35 70-30
Dua - lajur (2/2) 1 0,97 0,94 0,92 0,88
Empat - lajur (4/2) 1 0,975 0,95 0,925 0,9
Sumber: Manual Kapasitas Jalan Iindonesia. Tahun 1997.

 Faktor Penyesuaian kapasitas akibat lebar jalur lalu lintas (FCw)


35

Tabel 2.12 Variabel Penyesuaian Kapasitas Akibat Lebar Jalur Lalu Lintas
(FCw)
Tipe Jalan Lebar Efektif Jalan FCw

Empat-lajur Terbagi per lajur


Enam-lajur Terbagi 3 0,91
3,25 0,96
3,5 1
3,75 1,03
Empat-lajur tak terbagi Per lajur
3 0,91
3,25 0,96
3,5 1
3,75 1,03
Total kedua arah
Dua-lajur Tak terbagi
5 0,69
6 0,91
7 1
8 1,08
9 1,15
10 1,21
11 1,27
Sumber: Manual Kapasitas Jalan Iindonesia. Tahun 1997.

 Faktor penyesuaian kapasitas akibat hambatan samping (FCSF)


Berdasarkan ketentuan dan rumus perhitungan pada Tabel 2.12 dapat
menghasilkan nilai berapa kapasitas jalan pada ruas jalan. Dari hal tersebut
di hitung embali dan mendapatkan hasil yang telah di jelaskan di atas
melihat tingkat pelayanan pada saru ruas jalan.

Tabel 2.13 Variabel Penyesuaian Kapasitas Akibat Hambatan Samping (FCSF)


Kelas Faktor Penyesuaian hambatan samping (FCSF)
Tipe Jalan hambatan Lebar bahu efektif (Ws)
jalan ≤ 0,5 1 1,5 ≥2,0
VL 0,99 1 1,01 1,03
L 0,96 0,97 0,99 1,01
4.2 D M 0,93 0,95 0,96 0,99
H 0,9 0,92 0,95 0,97
VH 0,88 0,9 0,93 0,96
2/2 UD VL 0,97 0,99 1 1,02
4/2 UD L 0,93 0,95 0,97 1
M 0,88 0,91 0,94 0,98
H 0,84 0,87 0,91 0,95
VH 0,8 0,83 0,88 0,93
Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia. Tahun 1997.
36

2.4 Teori Tata Guna Lahan


Tata guna lahan adalah wujud dalam ruang di alam tentang bagaimana
penggunaan lahan tertata, baik secara alami maupun direncanakan. Dari sisi
pengertian perencanaan sebagai suatu intervensi manusia, maka lahan secara
alami dapat terus berkembang tanpa harus ada penataan melalui suatu intervensi
sedangkan pada keadaan yang direncanakan, tata guna lahan akan terus
berkembang sesuai dengan upaya perwujudan pola struktur ruang pada jangka
waktu yang ditetapkan. (Baja, 2012) Tata guna lahan secara umum tergantung
pada kemampuan lahan dan pada lokasi lahan (Widayanti,2010). Pada prinsipnya
tata guna lahan (Land use) adalah pengaturan penggunaan lahan untuk
menentukan pilihan yang terbaik dalam mengalokasikan fungsi tertentu, sehingga
secara umum dapat memberikan gambaran keseluruhan bagaimana daerah pada
suatu kawasan tersebut seharusnya berfungsi.

Lahan Secara umum, lahan memiliki karakteristik tertentu yang membedakan


dengan sumber daya alam yang lain, yaitu:
1. Lahan mempunyai sifat tertentu yang berbeda dengan sumber daya yang lain,
meliputi:
a) Lahan merupakan aset ekonomis yang tidak terpengaruh olehpenurunan
nilai dan harganya tidak terpengaruh oleh faktor waktu.
b) Jumlah lahan terbatas dan tidak dapat bertambah, kecuali melalui
reklamasi.
c) Lahan secara fisik tidak dapat dipindahkan, sehingga lahan yang luas di
suatu daerah merupakan keuntungan bagi daerah tersebut yang tidak dapat
dialihkan dan dimiliki oleh daerah lain.
2. Lahan mempunyai nilai dan harga.
3. Hak atas lahan dapat dimiliki dengan aturan tertentu.

Tata Guna Lahan memiliki peran penting serta bermanfaat untuk pengembangan
sekaligus pengendalian investasi pembangunan. Selain itu, tata guna lahan perlu
mempertimbangkan dua hal yaitu pertimbangan umum dan pertimbangan pejalan
kaki yang akan menciptakan ruang yang manusiawi. Pada skala makro, tata guna
lahan lebih bersifat multifungsi atau mixed use.
37

Dalam Tata Guna Lahan terdapat aturan mengenai zoning yang memperhatikan
aspek fisik bangunan seperti mengatur ketinggian, pemunduran (setback) dan
lantai dasar yang diperlukan untuk menunjang public space. Dalam elemen-
elemen pembentuk kota, penggunaan lahan termasuk dalam tipe Penggunaan
dalam suatu area, spesifikasi fungsi dan keterkaitan antar fungsi dalam pusat kota,
ketinggian bangunan dan skala fungsi dari peruntukan lahan tersebut. Selain itu,
terdapat pula kebijaksanaan dalam tata guna lahan adalah sebagai berikut:
 Tipe penggunaan lahan yang diizinkan untuk dikembangkan pada wilayah
tersebut.
 Keterkaitan atau hubungan antar fungsi yang harus ada dalam sebuah
kawasan atau pusat kegiatan.
 Daya tampung maksimum lahan (floor area) sesuai dengan masing-masing
fungsi kawasan.
 Skala pembangunan baru
Tipe intensif pembangunan yang sesuai untuk dikembangkan pada area
dengan karakteristik tertentu.

2.4.1 Perubahan Tata Guna Lahan


Perubahan tata guna lahan adalah bertambahnya suatu penggunaan lahan dari satu
sisi penggunaan ke penggunaan yang lainnya diikuti dengan berkurangnya tipe
tata guna lahan yang lain dari suatu waktu ke waktu berikutnya atau berubahnya
fungsi suatu lahan pada jangka waktu yang berbeda (Wahyunto et al, 2001).
Perubahan tata guna lahan dalam pelaksanaan pembangunan tidak dapat dihindari.
Perubahan tersebut terjadi karena dua hal, pertama adanya keperluan untuk
memenuhi kebutuhan penduduk yang makin meningkat jumlahnya dan kedua
berkaitan dengan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik
(Widayanti,2010). Pendapat lain menurut Para ahli bahwa perubahan tata guna
lahan lebih disebabkan oleh adanya kebutuhan dan keinginan manusia perubahan
pemanfaatan lahan tidak terjadi pada semua lokasi. Hal ini terjadi karena adanya
pertimbangan lokasi (produktivitas lahan) sebagai salah satu faktor penyebab
perubahan pemanfatan lahan (Alit, 2001). Oleh karena itu, kecenderungan
perubahan pemanfaatan lahan terjadi pada lokasi-lokasi yang menawarkan
38

peluang dan kemudahan dibandingkan dengan lokasi lainnya, seperti tingkat


aksesibilitas tinggi dan kelengkapan utilitas.

2.4.2 Bangkitan Perjalanan


Tata guna lahan berdasarkan peruntukannya meliputi; permukiman, pusat
pendidikan, perbelanjaan, perkantoran dan lain-lain. Masing-masing tata guna
lahan tersebut, akan menghasilkan pola kegiatan berupa pergerakan orang maupun
barang. Jenis dan intensitas tata guna lahan berpengaruh pada jumlah bangkitan
lalu lintas sehingga jelas bahwa bangkitan pergerakan sangat berkaitan dengan
sebaran pergerakan. Bangkitan pergerakan memperlihatkan banyaknya lalu lintas
yang dibangkitkan oleh setiap tata guna lahan, sedangkan sebaran pergerakan
menunjukkan ke mana dan dari mana lalu lintas tersebut, untuk lebih jelasnya
dapat di lihat pada Gambar 2.4.

Sumber: Perancangan dan Permodelan Transportasi Tahun 2000.


Gambar 2.4 Pergerakan zona i ke d

Bangkitan pergerakan bertujuan untuk mendapatkan jumlah pergerakan yang


masuk di suatu zona ( Trip Attraction ) dan yang meninggalkan suatu zona ( Trip
Production). Kedua hal tersebut dianalisis secara terpisah, tujuan perencanaan
bangkitan adalah untuk mengetahui besarnya bangkitan pada masa sekarang yang
kemudian dapat digunakan untuk memprediksi pergerakan dimasa yang akan
datang.
Dalam penelitian ini untuk mengetahui nilai bangkitan perjalanan pejalan kaki
digunakan perhitungan korelasi agar dapat mengetahui seberapa besar bangkitan
yang ada di kawasan lokasi studi. Korelasi dapat diartikan korelasi merupakan
suatu Teknik Statistik yang dipergunakan untuk mengukur kekuatan hubungan 2
Variabel dan juga untuk dapat mengetahui bentuk hubungan antara 2 Variabel
39

tersebut dengan hasil yang sifatnya kuantitatif. Kekuatan hubungan antara 2


Variabel yang dimaksud disini adalah apakah hubungan tersebut erat, lemah,
ataupun tidak erat sedangkan bentuk hubungannya adalah apakah bentuk
korelasinya Linear Positif ataupun Linear Negatif. Dengan rumusan ;

R = nΣxy – (Σx) (Σy)


. √{nΣx² – (Σx)²} {nΣy2 – (Σy)2}

Keterangan :
n = Banyaknya Pasangan data X dan Y
Σx = Total Jumlah dari Variabel X
Σy = Total Jumlah dari Variabel Y
Σx2= Kuadrat dari Total Jumlah Variabel X
Σy2= Kuadrat dari Total Jumlah Variabel Y
Σxy= Hasil Perkalian dari Total Jumlah Variabel X dan Variabel Y

Diagram Tebar (Scatter Diagram) sebenarnya juga dapat mempelajari hubungan


2 Variabel dengan cara menggambarkan hubungan tersebut dalam bentuk grafik.
Tetapi Diagram tebar hanya dapat memperkirakan kecenderungan hubungan
tersebut apakah Linear Positif, Linear Negatif ataupun tidak memiliki Korelasi
Linear. Kelemahan Diagram Tebar adalah tidak dapat menunjukkan secara tepat
dan juga tidak dapat memberikan angka Kuantitas tentang kekuatan hubungan
antara 2 variabel yang dikaji tersebut.Kekuatan Hubungan antara 2 Variabel
biasanya disebut dengan Koefisien Korelasi dan dilambangkan dengan symbol
“r”. Nilai Koefisian r akan selalu berada di antara -1 sampai +1.

Pola / Bentuk Hubungan antara 2 Variabel :


1. Korelasi Linear Positif (+1)
Perubahan salah satu Nilai Variabel diikuti perubahan Nilai Variabel yang lainnya
secara teratur dengan arah yang sama. Jika Nilai Variabel X mengalami kenaikan,
maka Variabel Y akan ikut naik. Jika Nilai Variabel X mengalami penurunan,
maka Variabel Y akan ikut turun. Apabila Nilai Koefisien Korelasi mendekati +1
(positif Satu) berarti pasangan data Variabel X dan Variabel Y memiliki Korelasi
Linear Positif yang kuat/Erat.
40

2. Korelasi Linear Negatif (-1)


Perubahan salah satu Nilai Variabel diikuti perubahan Nilai Variabel yang lainnya
secara teratur dengan arah yang berlawanan. Jika Nilai Variabel X mengalami
kenaikan, maka Variabel Y akan turun. Jika Nilai Variabel X mengalami
penurunan, maka Nilai Variabel Y akan naik. Apabila Nilai Koefisien Korelasi
mendekati -1 (Negatif Satu) maka hal ini menunjukan pasangan data Variabel X
dan Variabel Y memiliki Korelasi Linear Negatif yang kuat/erat.

3. Tidak Berkorelasi (0)


Kenaikan Nilai Variabel yang satunya kadang-kadang diikut dengan penurunan
Variabel lainnya atau kadang-kadang diikuti dengan kenaikan variabel yang
lainnya. Arah hubungannya tidak teratur, kadang-kadang searah, kadang-kadang
berlawanan. Apabila Nilai Koefisien Korelasi mendekati 0 (Nol) berarti pasangan
data Variabel X dan Variabel Y memiliki korelasi yang sangat lemah atau
berkemungkinan tidak berkorelasi.

Ketiga Pola atau bentuk hubungan tersebut jika digambarkan ke dalam Scatter
Diagram (Diagram tebar) adalah sebagai berikut :

Pola Hubungan Korelasi Scatter Diagram


Dari hasil tersebut akan nilai R sebagai acuan untuk melihat tingkatan hubungan
korelasi. Untuk lebih jelas dapat di lihat pada Tabel 2.14:

Tabel 2.14 Kriteria Hubungan Korelasi

R Kriteria Hubungan

0 Tidak ada Korelasi

0 – 0.5 Korelasi Lemah

0.5 – 0.8 Korelasi sedang

0.8 – 1 Korelasi Kuat / erat

1 Korelasi Sempurna
Sumber :Suparto.2014.
41

Berdasarkan Tabel 2.14 semakin tinggi nilai korelasinya semakin erat hubungan
korelasi yang ada antara 2 variabel berpengaruh satu dengan yang lainnya dari
hasil nilai koefisien korelasi ini dapat diambil rumus Y yang menjadi rumus dasar
dalam perhitungan untuk menguji hasil dari tingkatan tersebut bisa menjadikan
acuan dalam memproyeksi nilai korelasi kedepannya.

2.5 Peruntukan Lahan di Lokasi Studi berdasarkan RTRW Kota


Tangerang Selatan
Berdasarkan RTRW Kota Tangerang Selatan lokasi studi masuk kedalam
kawasan yang peruntukan lahannya telah direncanakan dalam rencana kawasan
budidaya untuk lebih jelasnya sebagai berikut :

A. Rencana Kawasan Budidaya


Dalam kawasan rencana budidaya terbagi kedalam beberapa kawasan berikut
penjelasannya:
1) Kawasan Perumahan
Pengembangan kawasan peruntukan perumahan direncanakan sebesar kurang
lebih 7.610,67 hektar tersebar di seluruh wilayah kota terdiri atas perumahan
vertikal dan perumahan horizontal meliputi:
 Kawasan Perumahan Kepadatan Sedang
Sebaran kawasan perumahan kepadatan sedang yang direncanakan ada di
Kota Tangerang Selatan pada tahun 2031 meliputi Kecamatan Serpong
Utara, Kecamatan Serpong, Kecamatan Setu, Kecamatan Pondok Aren
dan Kecamatan Ciputat.
 Kawasan Perumahan Kepadatan Tinggi
Sebaran kawasan perumahan kepadatan tinggi yang direncanakan ada di
Kota Tangerang Selatan pada tahun 2031 meliputi Kecamatan Pondok
Aren, Kecamatan Ciputat, Kecamatan Ciputat Timur dan Kecamatan
Pamulang.
2) Kawasan Perdagangan dan Jasa
Rencana pengembangan kawasan peruntukan perdagangan dan jasa terdiri dari
pasar tradisional, pusat perbelanjaan dan toko modern. Kawasan pasar
42

tradisional meliputi Pasar Ciputat di Kecamatan Ciputat, Pasar Ciputat Permai,


di Kecamatan Ciputat, Pasar Jombang di Kecamatan Ciputat, Pasar Bintaro
Sektor 2 di Kecamatan Ciputat Timur, Pasar Serpong di Kecamatan Serpong
dan Pasar Gedung Hijau di Kecamatan Serpong Utara, kemudian pusat
perbelanjaan meliputi pengembangan perdagangan skala regional kota berupa
perdagangan grosir dan pasar besar ditetapkan di Kecamatan Serpong,
Kecamatan Ciputat, Kecamatan Ciputat Timur, Kecamatan Pamulang dan
Kecamatan Pondok Aren dan pengembangan kawasan perdagangan berbentuk
rumah toko di sepanjang jalan arteri sekunder dan jalan kolektor sekunder,
sedangkan toko modern penempatannya ditetapkan dalam peraturan walikota.

3) Kawasan Perkantoran
Kawasan perkantoran merupakan kawasan yang difungsikan untuk kegiatan
kepemerintahan dan perkantoran swasta. Kawasan Peruntukan Perkantoran
pemerintahan meliputi Kecamatan Ciputat, Kecamatan Setu, Kecamatan
Serpong, kantor kecamatan tersebar di setiap kecamatan dan kantor kelurahan
tersebar di setiap kelurahan, sedangkan kawasan perkantoran untuk
perkantoran swasta berada di Kecamatan Pondok Aren, Kecamatan Serpong,
Kecamatan SerpongUtara dan Kecamatan Ciputat.

4) Kawasan Industri Kawasan


Peruntukan industri meliputi industri besar, industri menengah dan industri
kecil dan mikro. Kegiatan industri besar dapat dikembangkan di Kecamatan
Serpong dan Kecamatan Ciputat Timur dengan ketentuan kegiatan industri
tidak menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan dan kawasan sekitarnya.
Kegiatan industri menengah dikembangkan di Kecamatan Serpong Utara,
Kecamatan Setu dan Kecamatan Ciputat dengan ketentuan kegiatan industri
tidak menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan dan kawasan sekitarnya,
kemudian kegiatan industri kecil dan mikro dikembangkan pada kawasan
perumahan dengan ketentuan kegiatan dilengkapi dengan sarana dan prasarana
pengelolaan limbah dan sampah untuk mengurangi timbulnya dampak negatif
bagi lingkungan dan kawasan sekitarnya.
43

5) Kawasan Pariwisata
Pengembangan kawasan peruntukan pariwisata, meliputi pengembangan wisata
alam dan rekreasi diarahkan di Sungai Cisadane, Situ Gintung, Situ Ciledug,
Situ Pondok Jagung, taman kota dan hutan kota, pengembangan wisata belanja
diarahkan di Kecamatan Pondok Aren, Kecamatan Serpong, dan Kecamatan
Ciputat Timur serta pengembangan wisata kuliner di Kecamatan Serpong,
Kecamatan Serpong Utara dan Kecamatan Pondok Aren.

6) Kawasan Non Hijau


Sebaran kawasan non hijau yang direncanakan ada di Kota Tangerang Selatan
pada tahun 2030 meliputi pelataran parkir stasiun Pondok Ranji di Kecamatan,
pelataran parkir stasiun Jurang Mangu di Kecamatan, pelataran parkir stasiun
Sudimara di Kecamatan, pelataran parkir stasiun Rawa Buntu di Kecamatan,
pelataran parkir stasiun Serpong di Kecamatan, pelataran parkir terminal
Kecamatan Ciputat, pelataran parkir terminal Kecamatan Pamulang, pelataran
parkir pusat‐pusat perdagangan, perkantoran dan jasa dan pedestrian.

7) Kawasan Evakuasi Bencana


Kawasan evakuasi bencana bertujuan untuk memberikan ruang terbuka yang
aman dari bencana alam sebagai tempat berlindung dan penampungan
penduduk sementara dari suatu bencana alam yang meliputi ruang evakuasi
bencana skala kota dan ruang evakuasi bencana skala lingkungan. Ruang
evakuasi bencana skala kota terdiri dari Lapangan Bola Cilenggang, Alun‐Alun
Kecamatan Pondok Aren, Kantor Kecamatan Pamulang, Kantor Kecamatan
Ciputat Timur, Kawasan Puspiptek dan Stadion Mini Ciputat, sedangkan ruang
evakuasi bencana skala lingkungan meliputi Kecamatan Ciputat, Kecamatan
Serpong Utara, Kecamatan Pondok Aren, Kecamatan Ciputat, Kecamatan
Ciputat Timur, Kecamatan Pamulang dan Kecamatan Setu.

8) Kawasan Peruntukan
Sektor Informal Sebaran ruang bagi kegiatan sektor informal, diantaranya yaitu
sektor 9 Bintaro Jaya Kelurahan Pondok Jaya Kecamatan Pondok Aren, Pasar
Modern Bumi Serpong Damai Kelurahan Kecamatan Lengkong Gudang
Timur, pusat perdagangan Kecamatan Pamulang, Kecamatan Setu, Kecamatan
44

Ciputat, Kecamatan Ciputat Timur dan Kecamatan Pondok Aren, kawasan


stasiun yang berada di kota dan taman jajan Bumi Serpong Damai di
Kecamatan Serpong.

9) Kawasan Peruntukan Lainnya


Kawasan peruntukkan lainnya terdiri dari :
a. Kawasan Pertanian
Pengembangan kawasan peruntukan pertanian meliputi kawasan
pertaniantanaman holtikultura dan kawasan peternakan. Kawasan
pertanianholtikultura dan kawasan peternakan berada di Kota.
b. Kawasan Perikanan
Kawasan perikanan meliputi perikanan budi daya yang ditetapkan di
Kecamatan Setu dan Kecamatan Ciputat.
c. Kawasan Pendidikan
Sebaran Kawasan Pendidikan yang direncanakan hampir di setiap
kecamatan di Kota Tangerang Selatan pada tahun 2030.
d. Kawasan Kesehatan
Sebaran Kawasan kesehatan yang direncanakan ada di Kota tangerang
Selatan pada tahun 2030 berada di seluruh wilayah kota.
e. Kawasan Peribadatan
Sebaran Kawasan peribadatan yang direncanakan ada di Kota tangerang
Selatan pada tahun 2030 berada di seluruh wilayah kota.
f. Kawasan Pergudangan
Sebaran Kawasan pergudangan ditetapkan di Kecamatan setu dan
Kecamatan Serpong.
g. Kawasan Pertahanan dan Keamanan
Sebaran Kawasan militer yang direncanakan ada di Kota Tangerang
Selatan pada tahun 2030 meliputi Markas Batalyon Kaveleri‐9 Kecamatan
Serpong Utara dengan luas 20 hektar, Komando Pendidikan dan Latihan
(KODIKLAT) di Kecamatan Serpong dengan luas 50 hektar, Pusat
Penerbangan Angkatan Darat (PENERBAD) di Kecamatan Pamulang dan
Polisi Udara Di Kecamatan Pamulang, Markas Batalyon Artileri
45

Pertahanan Udara I (Arhanudri I), Rajawali di Kecamatan Serpong Utara


dengan luas kurang lebih 19 hektar, dan masih banyak lainnya.

Rencana Peruntukan Lahan pada RTRW di Kota Tangerang Selatan untuk


Kecamatan Serpong dan Kecamatan Serpong Utara sangat banyak dan telah di
jabarkan secara rinci di atas. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2.5.

2.6 Studi Fasilitas Pejalan Kaki di Dalam dan di Luar Negeri


Berbagai studi pembelajar yang dapat di ambil dari berbagai kota-kota di dalam
negeri maupun kota yang berada di luar negeri mengenai fasilitas pejalan kaki
selengkapnya sebagai berikut:

a) Kota Surabaya
Salah satu kota yang ada di Indonesia adalah Surabaya. Surabaya adalah kota
yang sedang berkembang dan sedang gencar-gencarnya dalam pembangunan
pelayanan kota untuk masyarakatnya. Surabaya membangun fasilitas pejalan kaki,
fasilitas pedestrian dan jembatan penyeberangan terintergrasi dengan baik.
Pedestrian yg dimiliki Kota Surabaya memiliki lebar yang cukup untuk memenuhi
kebutuhan masyarakatnya dalam beraktivitas dan juga sangat lengkap selain
adanya penanda jalur untuk penyandang cacat, terdapat kelengkapan street
furniture sebagai salah satu pelengkap fasilitas pejalan kaki selain untuk
pelayanan pejalalan kaki street furniture juga menambah estetika ruang. Hal ini
adalah bentuk pelayanan pemerintah daerah Kota Surabaya dalam melayani
kebutuhan masyarakat yang bisa di contoh kota-kota lain di Indonesia.

b) Korea Selatan
Negara korea Selatan adalah salah satu Negara di Asia yang memiliki keindahan
kota, salah satunya sebagai contoh penyedian fasilitas terutama pejalan kaki yang
sangat baik. Jalur pejalan kaki di Korea Selatan sangatlah nyaman dan hak-hak
pejalan kaki sangat di hormati, hampir seluruh tepi badan jalan memiliki jalur
pejalan kaki atau pedestrian yang luas bagi pejalan kaki.
46
47

Sumber : http://i1171.photobucket.com/albums/r560/dettapriyandika
Gambar 2.6. Fasilitas Pejalan Kaki di Kota Surabaya

Kelengkapan dan ketersediaan fasilitas pejalan kaki tidak hanya ditemukan di


kota-kota besar tetapi menyeluruh di seluruh Korea selatan termasuk pedesaan
dan kota-kota kecil. Pedestrian yang ada selalu terintegrasi dengan jalur sepeda
dan penitipan sepeda pada pinggir jalannya, selain itu dilengkapi dengan ruang
terbuka hijau. Tidak hanya pedestrian, jembatan penyeberangan dibuat seindah
mungkin untuk fasilitas masyarakatnya. Pembangunan fasilitas untuk pejalan kaki
pada Korea Selatan tidak hanya mementingkan kenyaman saja bagi
penggunannya namun memberikan rasa keindahan bagi para pejalan kaki yang
melakukan aktivitasnya.

Sumber : http://Chokysihombing.com/

Gambar 2.7. Fasilitas Pejalan Kaki di Korea Selatan

47

Anda mungkin juga menyukai