Anda di halaman 1dari 5

MEMAKNAI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

NOMOR 23/PUU – XIX/2021


TENTANG UPAYA HUKUM KASASI DALAM
PUTUSAN PKPU.
Oleh : Herman Susetyo, SH.MHum.
I. Pendahuluan :
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disingkat dengan
PKPU) merupakan salah satu lembaga hukum yang diatur dalam UU. No.
37 Tahun 2004 Tentang Kerpailitan dan Penundaan Kewajiban Utang
(selanjutnya disingkat dengan UUK), yang merupakan salah satu pilihan
hukum untuk menyelesaikan masalah utang – piutang oleh Kreditor
maupun Debitor selain melalui lembaga Kepailitan.
Sedangkan lembaga Kepailitan lebih merupakan ultimum remedium bagi
Debitor jika merupakan suatu badan usaha, terutama yang berbentuk
Perseroan Terbatas (selanjunya disingkat dengan PT), agar Pengurus dari
badan usaha tersebut selalu berhati-hati dalam melakukan pengurusan
perusahaannya. Sehingga bagi PT, Direksi PT harus selalu menerapkan
prinsip fiduciary duty dalam melakukan pengurusan PT sesuai dengan
maksud dan tujuan didirikannya PT serta untuk kepentingan PT, agar
tercapai penerapan Good Corporate Governance dalam membangun
kegiatan usaha yang sehat. Sebab jika Direksi sebagai agents dalam
perusahaan, tidak melakukan pengurusan PT secara total, tidak
memperhatikan prinsip – prinsip :
1. Duty of Care and Skill.
2. Duty of Loyalty.
3. Duty of Good Faith.

Mengakibatkan PT dinyatakan pailit, dan harta kekayaan PT tidak cukup


untuk melunasi kewajibannya dalam kepailitan, maka Direksi PT
1
bertanggungjawab atas seluruh kewajiban yang tidak terlunasi tersebut
(berdasarkan ketentuan Pasal 102 (2) UUPT). Bahkan Direksi yang
menjabat 5 tahun sebelum putusan pailit diucapkan, turut
bertanggungjawab (berdasarkan ketentuan Pasal 104 (3) UUPT). Bahkan
apabila PT dalam pailit tersebut memenuhi ketentuan Pasal 142 (1) d
dan e UUPT, maka PT bubar demi hukum.

II. PKPU.

PKPU yang merupakan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalah


utang – piutang seperti diatur dalam UUK, memberikan kesempatan
bagi Debitor untuk menyelesaikan kewajibannya kepada Kreditor
dengan menawarkan rencana perdamaian kepada para Kreditornya.
Dalam PKPU Debitor wajib menawarkan rencana perdamaian kepada
para Kreditor, jika tidak maka Debitor PKPU akan dinyatakan dalam
keadaan pailit.

Rencana perdamaian yang ditawarkan Debitor dapat berupa


restrukturisasi utang kepada para Kreditor. Diantaranya penjadwalan
kembali pembayaran utang, pembebasan/pengurangan bunga dan
denda. Jika PT sebagai Debitor PKPU, dapat juga menawarkan konversi
kewajiban pembayaran utang dengan saham.

Rencana perdamaian yang ditawarkan kepada para Kreditor akan


diputuskan dapat diterima atau ditolak oleh para Kreditor dalam Rapat
Perdamaian, yang dilaksanakan baik selama PKPU (S) maupun PKPU (T).

Permohonan PKPU menurut ketentuan yang diatur dalam Pasal 222 (1)
UUK dapat diajukan baik oleh Debitor maupun Kreditor. Jika
permohonan PKPU dikabulkan oleh Pengadilan Niaga, maka Debitor
dinyatakan dalam PKPU (S) selama jangka waktu 45 hari, yaitu sampai
dengan diselenggarakannya Sidang Permusyawaratan Hakim pada hari
ke 45 tersebut. PKPU (S) dapat diperpanjang dengan diberikannya PKPU
(T) untuk jangka waktu tidak boleh melebihi 270 hari (seperti ditentukan
dalam Pasal 228 (6) UUK).

2
Dalam Rapat Perdamaian, rencana perdamaian yang ditawarkan Debitor
PKPU dapat disetujui atau dapat pula tidak disetujui oleh para Kreditor.
Jika rencana perdamaian disetujui dan kemudian mendapat homologasi
dari Pengadilan Niaga, maka setelah putusan homologasi mempunyai
kekuatan hukum tetap, PKPU bagi Debitor berakhir (seperti ditentukan
dalam Pasal 228 UUK). Penyelesaian kewajiban Debitor dilakukan
melalui perdamaian yang sudah disyahkan oleh Pengadilan Niaga. Tetapi
jika rencana perdamaian tidak disetujui oleh para Kreditor, maka
Debitor PKPU dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga.

III. UPAYA HUKUM DALAM PKPU.


Menuurut UUK, upaya hukum dalam PKPU berbeda dengan upaya
hukum dalam Kepailitan. Dalam Kepailitan, menurut ketentuan yang
diatur dalam Pasal 11 (1) UUK, upaya hukum yang dapat diajukan
terhadap putusan atas permohonan pernyataan pailit adalah kasasi ke
Mahkamah Agung. Upaya hukum Kasasi dapat diajukan baik oleh
Debitor Pailit maupun oleh Kreditor sebagai pihak dalam persidangan
tingkat pertama yang tidak puas atas putusan pernyataan pailit tersebut.
Bahkan menurut ketentuan yang diatur dalam Pasal 11 (3) UUK, dapat
pula diajukan oleh Kreditor lain yang belum merupakan pihak pada
persidangan tingkat pertama yang tidak puas terhadap putusan atas
permohonan pernyataan pailit. Debitor Pailit maupun Kreditor sebagai
pihak dalam kepailitan juga dapat mengajukan peninjauan kembali (PK)
terhadap putusan atas permohonan pernyataan pailit yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap (seperti ditentukan dalam Pasal 14
(1) bsd. Pasal 295 UUK).
Berbeda dengan Kepailitan, pada PKPU menurut Pasal 235 UUK
ditentukan bahwa terhadap putusan PKPU tidak dapat diajukan upaya
hukum apapun. Kemudian lebih lanjut ditentukan dalam Pasal 293 (1)
UUK, bahwa terhadap putusan Pengadilan Niaga berdasarkan ketentuan
dalam Bab III (tentang PKPU) tidak terbuka upaya hukum, kecuali
ditentunkan lain dalam UUK. Ketentuan lain itu diatur dalam Pasal 293
(2) UUK, bahwa upaya hukum kasasi dalam PKPU dapat diajukan oleh

3
Jaksa Agung demi kepentingan hukum. Kemudian juga diatur dalam
Pasal 285 (4) UUK, bahwa upaya hukum Kasasi dapat diajukan untuk
Putusan Pengadilan Niaga yang mengesahkan perdamaian.

IV. MAKNA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 23/PUU – XIX/2021


TENTANG UPAYA HUKUM KASASI DALAM PKPU.

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 23/PUU – XIX/2021 tersebut


berkaitan dengan diajukan uji materi terhadap Pasal 235 (1) dan Pasal
293 (1) UUK yang dianggap bertentangan dengan Pasal 28 D (1) UUD
1945. Sehubungan dengan adanya permohonan PKPU yang diajukan
oleh Kreditor terhadap Debitor dan telah dikabulkan oleh Pengadialan
Niaga, tetapi kemudian rencana perdamaian yang ditawarkan Debitor
PKPU ditolak oleh Kreditor dalam rapat perdamaian, sehingga Debitor
PKPU dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga. Para pihak dalam PKPU
yang tidak puas dengan putusan Pengadilan Niaga tersebut, sesuai
dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 285 (4) UUK tidak dapat
mengajukan upaya hukum Kasasi dengan ditolaknya perdamaian yang
ditawarkan oleh Debitor PKPU. Alasan inilah yang dijadikan dasar bagi
pemohon uji materi ke Mahkamah Konstitusi karena UUK khususnya
Pasal 235 (1) dan Pasal 293 (1) yang dianggap oleh Pemohon secara
konstitusional bertentangan dengan ketentuan Pasal 28 D (1) UUD 1945
yang menentukan bahwa : “ Setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan
yang sama di hadapan hukum “.
Atas permohonan uji materi tersebut, Mahkamah Konstitusi dengan
Putusan Nomor 23/PUU – XIX/2021 telah memberikan Putusan bahwa
Pasal 235 (1) dan Pasal 293 (1) UUK dinyatakan inkonstitusional
bersyarat. Menyatakan Pasal 235 (1) dan Pasal 293 (1) UUK
bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan mengikat,
sepanjang tidak dimaknai “diperbolehkannya upaya hukum Kasasi
terhadap Putusan PKPU yang diajukan oleh Kreditor dan ditolaknya
tawaran perdamaian dari Debitor “.
4
Memaknai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 23/PUU – XIX/2001
tersebut, diketahui :
1. Bahwa ketentuan Pasal 235 (1) dan Pasal 293 (1) UUK tidak memiliki
kekuatan hukum mengikat untuk upaya hukum Kasasi yang diajukan
terhadap Putusan PKPU yang diajukan oleh Kreditor dan ditolaknya
tawaran perdamaian oleh Debitor. Artinya jika permohonan upaya
hukum Kasasi dalam konteks upaya hukum a quo maka terbuka
upaya hukum Kasasi.
2. Bahwa esensi permohonan PKPU adalah merupakan suatu upaya
hukum untuk menghindari kepailitan bagi Debitor. Memberikan
kesempatan kepada Debitor melalui perdamaian yang
ditawarkannya, untuk menyelesaikan kewajiban pembayaran
utangnya kepada para Kreditor melalui restrukturisasi utang. Hal
tersebut berdemensi positif dalam lapangan usaha guna menjaga
stabilitas perekonomian suatu Negara, dengan menghindari
bergugurannya badan – badan usaha yang bubar karena dinyatakan
Pailit.
3. Bahwa harus segera diterbitkan regulasi berkaitan dengan tata cara
pengajuan upaya hukum Kasasi terhadap putusan PKPU yang
diajukan oleh Kreditor dan tawaran perdamaian dari Debitor ditolak
oleh Kreditor agar tidak terjadi kekosongan aturan hukum a quo.

V. SUMBER BACAAN :
- Undang – Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
- Undang – Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan
Terbatas.
- Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 23/PUU – XIX/2021 Tentang
Upaya Hukum Kasasi Dalam PKPU.
- Aspek Hukum Pengelolaan Perusahaan. Penerbit Refika Aditama,
Bandung, Cetakan Pertama, September 2018.

Anda mungkin juga menyukai