Anda di halaman 1dari 5

Tren dan Isu pada Klien Kelompok Rentan: Narapidana dan Penyalahgunaan NAPZA

Ditya Khairiani Sugito, 2006464934, Kep. Kesehatan Jiwa Psikiatri

Sebelum membahas mengenai tren dan isu pada klien rentan kita harus mengetahui apa arti
dari tren dan isu itu sendiri. Tren dapat diartikan sebagai kata benda yang memiliki makna gaya
mutakhir (KBBI 2016). Sedangkan isu adalah arti yang masih tabu keberadaanya serta perlu
diperbincangkan secara serius (Handoko, 2017). Hal ini mendorong banyak orang untuk
mengikuti tren dan isu, sedangkan tren dan isu yang sedang ada di masyarakat belum tentu
sesuatu yang baik dan benar. Sementara, tren isu dalam keperawatan dapat diartikan sebagai
sesuatu yang sedang dibicarakan banyak orang tentang praktik atau mengenai keperawatan
baik fakta / tidak yang menyangkut aspek legal dan etis keperawatan.

Kelompok rentan pertama yang saya bahas adalah tentang tren dan isu kesehatan jiwa pada
narapidana. Narapidana yang dapat menjadi rentan terhadap gangguan kesehatan jiwa memiliki
beberapa kelompok, yaitu digolongkan menurut usia terpidana, jenis kelamin, lama pidana,
jenis kejahatan, dan perkembangan pembinaan hal ini diatur juga dalam UU No. 12 Tahun
1995 tentang Pemasyarakatan (Handoko, 2017). Selain itu stigma yang beredar di masyarakat
juga memberikan tekanan lain kepada para mantan narapidana kedepanya, dengan stigma
seorang narapidana adalah orang persakitan, tidak memeiliki hak karena sudah merebut hak
orang lain, dan juga harus dijauhi (Wing dan Kevin 2013).

Lebih dari 10 juta orang di dunia berada di Lapas. Pada tahun 2015, jumlah napi di Indonesia
adalah 161.692 orang. Pada tahun 2018 Indonesia merupakan negara ke-3 dengan jumlah napi
terbanyak di Asia yaitu 248.765 napi. Pada tahun 2020, Indonesia menjadi negara ke-2 dengan
jumlah napi terbanyak di Asia yaitu 270.387 napi. Indonesia menempati peringkat kedelapan
dengan jumlah narapida pada tahun 2021. Hal ini menjadikan kesehatan mental menjadi isu
yang memerlukan perhatian dalam kehidupan di Lapas. Kondisi Lapas yang sangat berbeda
dengan dunia luar menimbulkan banyak stressor bagi narapidana. Mereka kehilangan
otonominya, keterbatasan ruang gerak, serta berkumpul dengan orang-orang baru yang tidak
diinginkan.

Menurut Gresham M. Sykes, terdapat lima hal yang hilang, yaitu kehilangan kebebasan (The
Deprivation of Liberty), kehilangan hubungan (The Deprivation of Relationships), kehilangan
kemandirian (The Deprivation of Autonomy), kehilangan pelayanan (The Deprivation of
Goods and Service), dan kehilangan rasa aman (The Deprivation of Security). Pada suatu
penelitian Sekitar 23% narapidana mengalami ADHD memiliki gejala pada masa kanak-kanak
dan masih memiliki gejala ADHD meskipun berada di penjara (Sanchez, 2019). Attention
Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) merupakan gangguan perkembangan dalam
peningkatan aktivitas sehingga menyebabkan aktvitas anak tidak lazim bahkan cenderung
berlebihan. Sekitar 2 dari 30 narapidana didiagnosis ADHD selama masa kanak-kanak.
Penelitian lain yang dilaksanakan pada tahun 2011-2012 di Negara Amerika memiliki sebuah
survey penelitian, sekitar 24% narapidana mengalami gangguan depresi mayor, sekitar 18%
mengalami gangguan bipolar, 13% mengalami gangguan stress-pasca trauma (PTSD), 9%
mengalami gangguan psikotik, 11% mengalami gangguan kecemasan, dan mengalami
gangguan kepribadian 13% (Bureau of Justice Statistics, 2017). Menyandang status sebagai
narapidana merupakan suatu hal yang tidak mudah untuk dijalani dan diterima. Oleh karena
itu, narapidana dikatakan memiliki risiko tinggi untuk mengalami beberapa masalah kesehatan
mental (Fazel, et al., 2016). Sebagai seorang perawat memiliki peran untuk menghadapi tren
dan isu pada narapidana seperti, pembentukan konsep diri, memberikan asuhan komprehensif,
memberikan pemahaman faktor konsep diri, serta menonjolkan kompetensi untuk layanan
sesuai kebutuhan.

Kelompok rentan yang selanjutnya dalam pembahasan kali ini adalah tren dan isu kesehatan
jiwa pada pengguna NAPZA. Para pengguna yang menyalah gunakan NAPZA memiliki lime
klasifikasi, yaitu experiment user (rasa ingin rahu), rekretional user (Pengguna pada moment
tertentu), situational user (Saat memiliki masalah), intensifed user (NAPZA menjadi
kebutuhan), dan compulsive dependence user (berlebihan dan dosis tinggi). Ada pula beberapa
masalah yang beredar pada masyarkat, hal tersebut menjadikan para korban narkoba semakin
tertekan. Masalah tersebut seperti, korban narkoba yang dipenjara sedangkan menururut UU
No. 25 tahun 2009 pasal 54 pengguna narkoba wajib menjalani rehabilitasi medis dan sosial,
juga stigma masyarakat yang menganggap korban narkoba adalah penjahat. Perawat menjadi
salah satu peran yang sangat penting untuk melawan atau menangani korban penyalah gunaan
NAPZA. Peran perawat dalam menangani kelompok rentan penyalahguanaan NAPZA adalah
sebagai advokat, manajer

Indonesia memiliki persentase yang cukup besar terhadap penyalahgunaan NAPZA. Badan
Narkotika Nasional (BNN) memberikan perhitungan statistik setiap tahunnya mengenai
penyalahgunaan NAPZA dan penyalahgunaan mengalami peningkatan di kalangan remaja,
didapatkan angka sebesar 24--28%. Pada tahun 2017, angka penyalahgunaan narkoba
mencapai 3.376.115 orang dengan rentang usia 10—59 tahun dengan angka prevalensi satu
tahun terakhirnya adalah 1,77%. Kemudian pada tahun 2018, penyalahgunaan narkoba di
kalangan remaja mencapai 2,29 juta orang. Remaja lebih rentan menjadi pengguna jangka
panjang karena memiliki waktu yang cukup panjang untuk mengkonsumsi NAPZA (hidupnya
bisa dibilang masih panjang). Usia yang rentan terpapar penyalahgunaan narkoba adalah 15—
35 tahun. (BNN, 2019)

Pada tahun 2019, 3,4 juta (1,8%) masyarakat Indonesia menjadi pengguna narkoba selama satu
tahun terakhir. Peningkatan ini naik sebesar 0,03% dibandingkan tahun 2017. Selain itu, BNN
juga membandingkan prevalensi penyalahgunaan NAPZA berdasarkan jenis kelamin serta
daerah tempat tinggalnya. Laki-laki yang tinggal di kota memiliki prevalensi sebesar 5,0%
sedangkan yang di desa 4,6%. Hal ini membuktikan bahwa faktor lingkungan sangat
mempengaruhi penyalahgunaan pemakaian NAPZA. Apabila dilihat dari latar belakang
pendidikan, prevalensi penyalahguna narkoba yang berpendidikan SMA ke atas 2,1% lebih
tinggi dibandingkan yang berpendidikan SMP (2%). Sedangkan pada masyarakat yang
berpendidikan SD adalah sebesar 1%. Hal ini membuktikan bahwa pengguna narkoba telah
merata bahkan ke segala tingkatan pendidikan. Secara statistik dapat dilihat bahwa
penyalahgunaan terjadi paling banyak pada kalangan remana. Hal ini karena para rema
cenderung butuh pengakuan, pergaulannya juga mulai luas, dan memiliki keinginan tinggi
untuk mencoba hal-hal baru.

Pandemi Covid-19 ini sangat rentan memicu stress bagi beberapa orang. Kondisi ini dapat
mempengaruhi seseorang terjerumus menggunakan NAPZA. Pada masa pandemi Badan
Narkotika Nasional (BNN) menyampaikan tren peredaran napza di masa pandemi COVID-19
mengalami peningkatan. BNN menyatakan bahwa pada tahun 2021 tiga bulan pertama
(januari-maret) jumlah barang bukti napza yang berhasil diamankan melonjak sekitar 143%
dari periode sebelumnya. Peningkatan penggunaan napza selama pandemi ternyata juga secara
global. Situasi pandemi tidak membuat para pengedar kehilangan akalnya untuk
mendistribusikan narkoba. Mereka mengedarkan napza melalui rute dan metode baru yaitu
lewat jaringan internet gelap atau darknet maupun dengan melalui pos.

Pada level internasional, tren dan isu mengenai NAPZA juga ramai. World Drugs Report
(2018) menyebutkan bahwa sebanyak 275 juta penduduk di dunia atau sekitar 5,6% dari
penduduk dunia (berusia 15-64 tahun) pernah menggunakan narkoba. WHO menyatakan
gangguan penggunaan NAPZA merupakan penyakit otak kronis kambuhan yang dapat
ditanggulangi dengan berbagai program pencegahan dan pemulihan. Gangguan ini dalam ICD-
10 disebut sebagai gangguan mental dan perilaku akibat zat psikoaktif (Ditjen P2P Kemenkes,
2020). Hal ini yangmenjadi trend dan isu terhadap penyalahguna NAPZA.

Menurut UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Pasal 54 menyatakan, pengguna


narkoba wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Akan tetapi, pada
praktiknya, rehabilitasi tersebut masih dijalankan dengan konsep punitif daripada rehabilitatif.
Orientasi pembinaan yang dilakukan lebih bersifat top down approach, yaitu program sudah
ditetapkan dan seluruh narapidana harus berpartisipasi (Budisetyani & Swandi, 2019). Konsep
pembinaan tersebut membuat para pecandu atau pengguna NAPZA hanya sebagai objek yang
menyebabkan kebutuhan individu dalam membangun diri dan berkelompok tidak terpenuhi.
Konsekuensinya adalah kebutuhan psikologis para pecandu cenderung kurang diperhatikan.
Pada dasarnya, penyalahguna NAPZA sebagai manusia juga memiliki hak dan kebutuhan dasar
untuk mencapai pemulihan dari narkoba secara total. Pecandu Narkoba pada dasarnya adalah
individu yang menyalahgunakan narkoba karena mengalami ketergantungan pada satu atau
lebih zat NAPZA, baik ketergantungan secara fisik maupun psikologis (Budisetyani & Swandi,
2019). Pecandu narkoba biasanya mengalami konflik batin dalam dirinya yang membuat
mereka sulit berpikir positif untuk menyelesaikan masalah dengan benar sehingga membuat
mereka memilih melarikan diri dan menghindar dari masalah yang dihadapi agar kembali
merasa tenang, nyaman, dan bebas dari masalah yang dihadapi (Rachmawati, 2010 dalam
Budisetyani & Swandi, 2019).
Referensi

BNN. (2019). Pengertian Narkoba Dan Bahaya Narkoba Bagi Kesehatan.

BNN. (2020). Ramadhan: Ancaman Narkoba Di Tengah Pandemi Corona. Bnn.Go.Id.


https://bnn.go.id/ramadhan- ancaman-narkoba-tengah-pandemi- corona/

Budisetyani, I. G., & Swandi, N. L. (2019). Kebutuhan psikologis pada pecandu narkoba
(Tinjauan kualitatif dengan teknik journaling sebagai metode penggalian data). Jurnal
Psikologi Udayana, 6(2), 400-407. doi: 10.24843/JPU.2019.v06.i02.p20

Bureau of Justice Statistics. [2017). Indicators of mental health probiems reported by prisoners
and jail. Retrieved from https://www.bjs.gov/content/pub/pdf/imhprpji112.pdf

Handoko, D. (2017). Asas-asas hukum pidana dan hukum penitensier di Indonesia.Pekanbaru:


Hawa dan Ahwa.

KBBI Daring. (2016). Isu. Reterieved https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/isu on Maret 01 2021

Sanchez, L. A. ([2019). ADHD and Crime. Retrieved from


https://www.rcpsych.ac.uk/docs/default source/members/faculties/forensic-
psychiatry/lucia-almazan-sanchez.pdf?sfvrsn=8c570edd_2

Anda mungkin juga menyukai