Anda di halaman 1dari 4

Hubungan Antara Matematika Dengan Tauhid

Matematika merupakan cermin bagi peradaban manusia. Maka sejarah


matematika merupakan sejarah peradaban manusia. Para ahli matematika bangga
karena pengetahuan yang mereka ciptakan yaitu matematika lebih dari
pengetahuan yang lain, baik dari segi eksaknya, maupun dari segi kegunaannya
(mathemathics is the queen of science).
Juniardi Arjanto dan Eko Untung Handjatmeko dalam bukunya yang
berjudul Matematika: Membangun Dunia, Menuju Tuhan (UIN Syarif
Hidayatullah, 2002) menjelaskan bahwa dalam filsafat Islam klasik, matematika
merupakan salah satu cabang yang utama. Dalam pandangan dunia Islam
tradisional, subjek dan objek pengetahuan bersifat hierarkis, yang realitas
objeknya terentang dari yang paling materi sampai yang realitas mutlak, yaitu
Tuhan. Realitas wujud ini pun berdiri paralel dengan realitas ilmu atau sains.
Sehingga ilmu atau sains pun memiliki hierarki mulai dari yang terendah sampai
dengan yang tertinggi.
Semua ilmu yang bercabang-cabang itu saling berhubungan satu dengan
yang lainnya, dan semuanya bergerak ke atas menuju yang tertinggi, yaitu Tuhan.
Dengan kata lain, tujuan tertinggi semua ilmu adalah “menuju Tuhan”. Dengan
demikian, ilmu-ilmu itu semuanya diklasifikasikan oleh para ilmuwan-filosof
Muslim dengan kesadaran yang mendalam akan kehadiran Tuhan. Melewati ilmu-
ilmu inilah para manusia, mencari kebenaran, yaitu Tuhan.
Tuhan mengatakan bahwa Dia menyebarkan tanda-tanda-Nya di segenap
penjuru alam dan pada diri manusia sendiri. Sebagaimana firman Allah SWT
dalam al-Qur’an surat Fushshilat ayat 53 yang artinya: “Kami akan
memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) kami di segala wilayah
bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa al-Qur’an itu
adalah benar. Tidakkah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas
segala sesuatu?”
Ilmu-ilmu layaknya seperti cabang-cabang pohon yang menjadi satu. Yang
satu merupakan bagian tak langsung dari yang lain. Jadi, tidak ada pemisahan
antara ilmu satu dengan ilmu yang lain, apalagi antara ilmu yang dianggap ilmu
agama dengan ilmu umum. Kehadiran Tuhan dan kemenyatuan ilmu inilah yang
membedakan peradaban Islam dan peradaban yang dikembangkan di dunia Barat.
Dalam prinsip ilmu Islam, semua ilmu ditujukan semata-mata untuk Tuhan.
Semua perjalanan menuju-Nya adalah proses penyempurnaan kemanusiaan.
Proses menjadi manusia seutuhya yaitu manusia yang sempurna.
Ketika mempelajari, memahami dan mendalami matematika dengan
melewati perspektif paradigma ini, maka secara otomatis manusia memposisikan
diri sebagai bagian yang sedang bergerak menuju Tuhan. Kesadaran akan posisi
masing-masing akan membawa seseorang pada kedudukan saling menghormati.
Dan ia akan mengetahui, seseorang sedang menguasai berbagai cabang ilmu
dengan kesungguhan dan karya nyata, maka tentulah ia menampilkan kesan
lahiriah sebagai orang yang shaleh, orang berilmu yang lebih mulia dibandingkan
dengan yang lain. Dengan kata lain, penghargaan dan pemuliaan seseorang
terhadap seseorang, dapat diukur (dalam maknanya yang paling sederhana) dan
sangat tergantung pada kesungguhan orang itu dalam berjalan menuju-Nya, serta
karya nyata yang telah disumbangkannya kepada kemanusiaan secara tulus dan
ikhlas.
Setiap ilmu yang bersifat material maupun yang bersifat spiritual akan
berpuncak pada ketidaktahuan dan pada ketakhinggaan yang tidak dapat
dijangkau dengan akal. Semua ilmu adalah perjalanan menuju Dzat Wajib al-
wujud Al-Haq-Al-Mutlaq. Tidak terkecuali matematika, ia dengan sangat jelas
menggambarkan perjalanan seseorang menjadi Ahlu Tauhid, ia menjadi seperti
peta, dengan kesederhanaan dan keanggunannya serta keindahanya, ia menyibak
hutan belantara kemajemukan dan melihat hakikat kalimat Tauhid.
Tauhid merupakan hakikat matematika, karena tidak dinamakan
matematika jika masih merujuk pada kenyataan (alam semesta, sesuatu yang tidak
pasti). Sedangkan Tauhid hanya merujuk pada sesuatu yang pasti ia tidak
menggunakan alam semesta sebagai dalil (argumentasinya) tetapi Dzat Allah-lah
dalil itu sendiri.
Al-Junaid Ra pernah berkata : “Wujudku yang sebenarnya adalah etika aku hilang
dari rasa wujud, karena ada kejelasan bagiku berupa penyaksian pada Tuhanku.”
Merupakan anugerah yang sangat besar saat menikmati keindahan segala
sesuatu termasuk matematika ketika seseorang bertasbih kepada Allah, karena
tidak ada sesuatupun di langit dan di bumi yang tidak bertasbih kepada Allah.
Mereka semua bertasbih, angka-angka, bilangan, huruf, bahasa, ilmu, semuanya
bertasbih kepada Allah.
Matematika adalah sebuah kata dari bahasa Yunani. Apabila
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia secara murni artinya adalah tekun
belajar, mencari ilmu, dan pengkajian. Sedangkan dalam bahasa Arab adalah
Tholabul Ilmi’, atau di ringkas dengan iqro. Jadi Matematika Tauhid artinya
belajar ilmu tauhid. Pemberian judul matematika tauhid karena memang ada
hubungannya dengan matematika yang matematis.
Matematika dalam terminologi umum merupakan pengkajian ilmu yang
ruang lingkupnya menyempit, sering dikatakan sebagai sesuatu yang bersifat
matematis (bilangan, ruang, bidang, fungsi dan lain-lain). Matematika adalah ilmu
yang membahas bagaimana menegaskan kebenaran struktur abstrak dengan
memeriksa aksioma.
Sesungguhnya tauhid merupakan ibu ilmu pengetahuan. Ia adalah konsep
matematika yang menggambarkan perjalanan seluruh perbuatan, nama, sifat dan
dzat menuju pada satu Wujud Tunggal (Allah) yang masih berupa struktur abstrak
dengan cara memeriksa aksioma yang wujudnya adalah Alam arwah.
Membahas tauhid adalah membahas matematika, membahas bilangan-
bilangan, angka-angka, fungsi, ruang karena tauhid sendiri berarti mengesakan,
menyatukan artinya menyederhanakan dengan menghimpun ketakhinggaan
bilangan, geometri, sifat, fungsi yang memiliki rupa masing-masing menjadi satu
bilangan yang bernama “X”.
Bilangan “X” bisa dibagi dengan bilangan apa saja, dan hasilnya akan
bermacam-macam sesuai dengan besarnya bilangan pembagi. Keunikan terjadi
ketika bilangan “X” dibagi dengan bilangan yang sama yaitu hasilnya akan
x
menjadi satu, = 1. Lebih unik lagi ketika x = 0, maka hasilnya bukan 1 tapi nol
x
dan akan tetap selalu 0. Bilangan 0 (jika bisa disebut sebagai bilangan) adalah
pintu untuk memasuki ketakhinggaan, jika ia menjadi bilangan utama bukan
pembagi, ia akan tetap 0 tidak ada perubahan, namun jika ia menjadi bilangan
pembagi maka ia akan memasuki wilayah ketakhinggaan (struktur abstrak),
wilayah dimana akal tak mampu lagi mencerna dan menganalisa itulah “Wujud
Mutlak”. Dikatakan Wujud Mutlak, karena memiliki sifat ketakhinggaan.
Ketakhinggaan itu bukanlah suatu keadaan ataupun ketiadaan, tak bisa dikatakan
isi ataupun kosong, ia tak terpengaruh oleh keadaan (1) ataupun ketiadaan (0).
Untuk memasuki ketakhinggaan “Wujud Mutlak”, sesuatu harus keluar
dari akal yang masih memegang erat prinsip-prinsip bilangan, yaitu berupa hukum
alam dan kemajemukan bilangan. Rumus untuk keluar dari aqal adalah “Laa
ilaaha illa Allah” maknanya adalah meniadakan segala sesuatu dan menetapkan
sesuatu sebagai satu-satunya yang ada yaitu Allah, setiap sesuatu itu fana (0) sejak
dulu, sekarang dan yang akan datang tetap fana (0).
Derajat (pangkat) setiap kemajemukan bilangan (x) adalah ketiadaan, dan
setiap bilangan jika disematkan pangkat ketiadaan hasilnya adalah satu. Jadi Laa
ilaaha illa Allah jika dirumuskan dalam kalimat matematika adalah x0 = 1. x =
semua fungsi, bilangan, himpunan bilangan, deret bilangan dan semuanya yang
masih ada di dalam aqal 0 = ketiadaan.
Tauhid dengan matematika sepintas tidak ada hubungannya. Tauhid
identik dengan agama sedangkan matematika identik dengan angka. Tetapi jika di
gali lebih dalam, maka terdapat kesamaan konsep antara tauhid dan matematika.
Yaitu satu. Tauhid mengandung makna bahwa manusia hidup di dunia ini adalah
satu atau tunggal, karena proses kejadiannya diciptakan dari Dzat yang satu, yaitu
Allah SWT.
Matematika, berapapun angka yang dihitung maka semua berawal dari
angka satu. Angka 99999999 juga berawal dari angka satu. Semua tidak akan bisa
dimulai dan dihitung jika angka satu tidak muncul. Jadi, erat kaitannya antara
matematika dengan tauhid.

Anda mungkin juga menyukai