Anda di halaman 1dari 10

Hanan Nugroho PERENCANAAN PEMBANGUNAN Edisi 03/Th.

XI/ Maret – Juni 2006

Apakah program percepatan pembangunan PLTU menjadi


momentum perbaikan infrastruktur transportasi batubara di
Tanah Air?
Tinjauan terhadap infrastruktur transportasi batubara di
Kalimantan1

Oleh Hanan Nugroho 2

Abstrak
Kalimantan merupakan pusat produksi batubara, yang menghasilkan lebih 90% batubara
dari Indonesia (kini pengekspor terbesar kedua di dunia). Kalimantan dianugerahi dengan
sungai-sungai dan tambang batubara yang terletak dekat pantai, memungkinkan transportasi
batubara dapat dilakukan tanpa pengembangan infrastruktur yang intensif dan berbiaya mahal.
Bagaimanapun, fasilitas yang diberikan alam tersebut kini tak memadai lagi seiring dengan
perkembangan produksi batubara di Kalimantan yang melesat pesat dari 2 juta ton (1985)
menjadi 145 juta ton ( 2005).
Pembangunan PLTU skala besar yang direncanakan Pemerintah akan mendongkrak
permintaan terhadap batubara di Kalimantan lebih tinggi lagi. Batubara harus hadir di mulut
PLTU (sebagian besar di Jawa) dan ini merupakan tantangan yang serius dari segi
transportasinya.
Makalah ini menunjukkan kondisi infrastruktur transportasi pertambangan batubara di
Kalimantan, tantangan yang dihadapi, dikaitkan dengan rencana percepatan pembangunan
PLTU 17.000 MW serta target Pemerintah untuk meningkatkan pangsa batubara dalam energy
mix nasional. Usulan disampaikan untuk meningkatkan kapasitas infrastruktur transportasi, di
antaranya merealisasikan pembangunan jalur kereta api dan mengembangkan kemitraan
pemerintah-swasta yang lebih baik.

1. Pengantar
Indonesia dalam 2 dekade belakangan telah meningkatkan produksi batubaranya besar-
besaran dari hanya 2 juta ton pada tahun 1985 menjadi 145 juta ton pada tahun 2005. Sebagian
besar dari produksi batubara tersebut diekspor terutama ke negara industri Asia (Taiwan, Jepang,
Hong Kong dan Korea Selatan). Indonesia saat ini tercatat sebagai pengekspor batubara terbesar
kedua di dunia, mengekspor 92,5 juta ton pada tahun 2005.
Kalimantan merupakan pusat produksi batubara Indonesia, yang menghasilkan lebih dari
90% produksi batubara di Tanah Air (Gambar 1). Cadangan batubara Kalimantan sebenarnya
hanyalah sekitar 51% dari cadangan batubara (resources) di Tanah Air, sementara daerah lain,
terutama Sumatra, juga memiliki cadangan batubara dalam jumlah besar, khususnya yang

1
Disampaikan sebelumnya dalam Seminar Peran Penting Batubara Menyongsong Era Energy-Mix 2025, dalam
rangka COAL 2006, The 1st International Trade Exhibition on Coal Mining Technology & Equipment, Jakarta
International Convention Center, 24-27 May 2006.
2
Perencana Senior (Ahli Perencana Madya) Bidang Energi & Pertambangan di BAPPENAS. Email:
nugrohohn@bappenas.go.id

1
Hanan Nugroho PERENCANAAN PEMBANGUNAN LainnyaEdisi 03/Th. XI/ Maret – Juni 2006
1%
terbukti (proven reserves).
Sumatra Selatan
Mutu batubara Kalimantan Kalimantan
7%
sangat baik dengan kandungan Selatan
panas tinggi serta kadar abu dan 41%
belerang yang rendah,
membuatnya sangat laku, baik
untuk ekspor maupun pasaran
domestik. Kalimantan Timur
Dibandingkan Sumatra 51%
yang juga memiliki cadangan Gambar 1.
cukup besar dan beberapa Produksi batubara Indonesia berdasarkan propinsi asal (2004)
tambang batubara, industri
batubara di Kalimantan
diuntungkan dengan
keberadaan tambang-tambang yang berada relatif dekat dengan pantai serta sungai besar (Barito,
Mahakam) yang memungkinkan batubara dapat ditransport tanpa harus mengembangkan
infrastruktur transportasi yang mahal untuk itu.
Bagaimanapun, kapasitas dari infrastruktur transportasi batubara yang ada di Kalimantan
saat ini –khususnya yang disediakan oleh alam—sudah sangat terbatas dan tak layak dipaksa
lagi untuk melayani lalulintas batubara yang semakin banyak, apalagi bila produksi batubara
ditingkatkan secara besar-besaran. Investasi untuk meningkatkan kapasitas transportasi
dibutuhkan untuk memenuhi peningkatan permintaan batubara yang akan terjadi.
Makalah ini menggambarkan kondisi pertambangan batubara di Kalimantan, infrastruktur
transportasi batubara yang terdapat dan permasalahannya, serta usulan untuk meningkatkan
kapasitas infrastruktur transportasi. Hal ini dikaitkan terutama dengan rencana Pemerintah
melakukan pembangunan PLTU Batubara secara besar-besaran (kapasitas 17.000 MW).

2. Pertambangan Batubara di Kalimantan


Pada tahun 2005, cadangan sumberdaya (resources) batubara Indonesia ditaksir berjumlah
57,8 milyar ton dan 51% dari cadangan tersebut (29,7 milyar ton) berada di Kalimantan. Dari
sekitar 29,7 milyar ton tersebut, 9,7 milyar ton diklasifikasikan sebagai cadangan terunjuk, dan
4,2 milyar ton merupakan cadangan terbukti (proven reserves). Cadangan batubara Kalimantan
menyebar terutama di Kalimantan Timur dan Selatan, namun hampir tidak ada yang di
Kalimantan Barat. Ini sesuai dengan karakteristik geologi pulau Kalimantan, dimana bagian
Timur-Selatan dari pulau itu kaya dengan sumber-sumber bahan bakar fosil.
Kalimantan bagian timur dan selatan memiliki kandungan batubara bermutu tinggi dengan
kandungan panas tinggi dan kadar belerang dan abu yang rendah. Sekitar sepertiga dari
batubara Kalimantan memiliki kategori kandungan panas tinggi (lebih dari 6.1000 kkal/kg),
sedangkan sekitar 45% berkategori kandungan panas sedang (5.100 – 6.100 kkal/kg).
Di Kalimantan (2005) tercatat 70 tambang dalam tahap produksi, konstruksi, studi
kelayakan, eksplorasi dan survei umum. Dari 70 tambang tersebut, 69 tambang berlokasi di
Kalimantan Timur, Selatan dan Tengah, dan hanya 1 beroperasi di Kalimantan Barat.
Penambangan dilakukan baik oleh perusahaan tambang kelas dunia (Adaro, Kaltim Prima Coal,
Arutmin, dll) berdasarkan Kuasa Pertambangan, Perjanjian Kerja Perusahaan Pertambangan
Batubara (PKP2B) maupun unit-unit koperasi serta pertambangan tanpa izin (PETI) yang
mengusahakan penambangan batubara skala kecil.
Tabel 1 menunjukkan produksi batubara dari Kalimantan dari perusahaan-perusahaan
utama. Lebih dari 90% dari produksi tersebut diekspor. Terlihat 4 perusahaan utama (Adaro,
Kaltim Prima Coal, Arutmin, Kideco Jaya Agung) yang memproduksi sekitar 70% dari produksi
batubara Kalimantan, dengan masing-masing perusahaan memproduksi lebih dari 10 juta
ton/tahun, atau lebih besar dari produksi oleh produsen utama batubara di Sumatra (PT Batubara
Bukit Asam) yang hanya di bawah 10 juta ton/tahun.

2
Hanan Nugroho PERENCANAAN PEMBANGUNAN Edisi 03/Th. XI/ Maret – Juni 2006

Mutu batubara Kalimantan, berdasarkan kandungan panasnya, dapat dibedakan


berdasarkan basin batubara yang ada. Basin Tarakan di bagian utara Kalimantan Timur
memiliki batubara dengan kandungan panas (calorific value) 5.700 – 6.000 kkal/kg, sementara
basin Kutai memiliki batubara dengan kandungan panas yang lebih tinggi (5.800 – 7.100
kkal/kg). Batubara di basin Pasir, di wilayah pantai Kalimantan Selatan, memiliki kandungan
panas yang relatif rendah (4.300 – 6.800 kkal/kg) sedang batubara di basin Barito memiliki
kandungan panas yang bervariasi dari yang rendah (4.800 kkal/kg) sampai yang tinggi (7.000
kkal/kg).

Tabel 1.
Produksi batubara dari Kalimantan Selatan dan Timur (juta ton/tahun)

Kalimantan Selatan 2004 2005 Kalimantan Timur 2004 2005


Adaro Indonesia, PT 22.5 24.3 Baradinamika Muda Sukses, P 0.3 -
Antang Gunung Meratus, PT 0.5 1.1 Berau Coal, PT 7.4 9.1
Anugerah Bara Kaltim/Shawindo, PT 2.5 3.4 Bukit Baiduri Enterprise, PT 2.4 1.4
Arutmin Indonesia, PT 13.6 15.0 Fajar Bumi Sakti, PT 0.0 0.2
Bahari Cakrawala Sebuku, PT 2.0 2.5 Gunung Bayan Pratamacoal, P 3.3 3.4
Balangan Putera, CV - 0.1 Indominco Mandiri, PT 6.3 7.1
Bara Pinang Corporation, CV - 0.2 Kaltim Prima Coal, PT 16.2 21.3
Baramata, PD 0.7 1.0 Kartika Selabumi Mining, PT 0.3 0.7
Baramuli Susessarana, PT 0.0 0.1 Kideco Jaya Agung, PT 14.1 16.9
Bumi Dharma Kencana, PT - 0.3 Kitadin Corporation, PT 2.3 1.8
Cenco International, PT - 0.2 Lanna Harita Indonesia, PT 1.2 1.7
Jorong Barutama Greston, PT 2.9 2.8 Multi Harapan Utama, PT 1.6 1.5
Kalimantan Energi Utama, PT - 0.7 Mandiri Inti Perkasa, PT - 0.6
Markulin, KUD - 0.7 Marunda Graha Mineral, PT - 0.5
Nusantara, KUD - 0.2 Tanito Harum, PT 2.2 2.3
Satui Bara Tama, PT - 0.4 Sub Total 57.7 68.4
Sumber Kurnia Buana, PT 0.9 0.8
Surya Kencana Jorong Mandiri, PT - 0.0 Sumber: Indonesia Coal Statistic, 2005
Surya Sakti Dharma Kencana, PT - 0.3
Tani Jaya Murni, KUD - 0.1
Tanjung Jaya Alam, PT 0.5 0.2
Sub Total 46.1 54.5

Keterangan: Tidak ada produksi di Kalimantan Barat

Operasi tambang batubara di Kalimantan sampai saat ini dilakukan di tambang terbuka
(open pit mining), menggunakan teknologi penambangan sederhana mengandalkan truk dan
mobil “penggaruk” (shovel), dan hanya menerapkan pengolahan lanjut yang minimal sebelum
batubaranya dikirimkan.
Tambang-tambang yang sekarang dalam status “produksi” sebagian besar berlokasi di
dekat-dekat sungai atau tepi pantai. Sementara itu, beberapa studi kelayakan sedang dilakukan
untuk mengembangkan tambang-tambang yang berada lebih di pedalaman. Terdapat indikasi
bahwa cadangan batubara yang bermutu sangat tinggi (khususnya cooking coal yang berharga
sangat mahal) berada di wilayah-wilayah pedalaman yang masih jauh dari jangkauan
infrastruktur transportasi saat ini.
Gambar 2 menunjukkan tambang-tambang di Kalimantan dalam berbagai status operasi,
serta gambaran infrastruktur transportasi batubara yang ada, khususnya sungai-sungai dan
terminal batubara.

3
Hanan Nugroho PERENCANAAN PEMBANGUNAN Edisi 03/Th. XI/ Maret – Juni 2006

Gambar 2.
Tambang di Kalimantan dalam berbagai status operasi (2005)

Produksi

Eksplorasi

Potensi Coking Coal

Studi Kelayakan

Konstruksi Terminal Batubara

0 100 200km

4
Hanan Nugroho PERENCANAAN PEMBANGUNAN Edisi 03/Th. XI/ Maret – Juni 2006

3. Transportasi pertambangan batubara Kalimantan: kondisi saat ini dan


permasalahannya
Alam menganugerahi Kalimantan kemudahan dalam transportasi batubara melalui
keberadaan sungai-sungai panjang serta pantai yang di dekatnya terdapat tambang batubara. Ini
dibandingkan misalnya dengan tambang batubara di Sumatra Selatan yang, walaupun
cadangannya besar, tidak bisa “keluar” karena dibatasi oleh ketersediaan infrastruktur
transportasi, khususnya kereta api. Sungai-sungai di Kalimantan ini adalah juga yang dulu –dan
hingga kini—menjadi andalan untuk melintaskan kayu-kayu yang diambil dari hutan-hutan
Kalimantan, di samping untuk menjadi tempat lalulintas komoditi lain.
Pola angkutan batubara yang berkembang di Kalimantan adalah (i) dari mulut tambang
menggunakan menggunakan truk/conveyor ke pelabuhan muat di tepi pantai, (ii) dari mulut
tambang ke penampungan (stockpile) di tepi sungai, kemudian diangkut dengan tongkang/barge
dan kapal tug ke pelabuhan muat di tepi sungai/pantai/tengah laut. Dari pelabuhan batubara
dikirim ke tujuan ekspor dengan kapal samudra. Terdapat pula tongkang yang mengangkut
batubara dari pelabuhan tepi sungai/stockpile langsung menuju pasar domestik. Frekuensi dan
volume transhipment sangat tinggi dalam pola transportasi ini, atau tidak efisien.
Pengembangan infrastruktur batubara di Kalimantan selama ini terfokus pada pelabuhan
ekspor, yang sebagian besar dilakukan oleh swasta. Di Kalimantan terdapat 13
pelabuhan/terminal batubara, sebagian memiliki kapasitas handling yang besar (Tanjung Bara,
North/South Pulau Laut, Balikpapan) dan sebagian lain merupakan pelabuhan tepi sungai (river
terminal). Kapasitas handling pelabuhan batubara di Kalimantan sekarang sekitar 100
juta/tahun.
Sebagian besar pelabuhan batubara di Kalimantan dibuat khusus untuk melayani
perusahaan tertentu (dedicated), dan hanya Balikpapan Coal Terminal serta Indonesia Bulk
Terminal yang dapat dipergunakan untuk keperluan bersama (common users).
Gambar 3 memperlihatkan pelabuhan batubara di Kalimantan (termasuk kapasitas
pengangkutannya) serta pelabuhan batubara lainnya di Indonesia.

Gambar 3.
Pelabuhan Batubara Indonesia

Sumber: Direktorat Batubara, DESDM.

5
Hanan Nugroho PERENCANAAN PEMBANGUNAN Edisi 03/Th. XI/ Maret – Juni 2006

Mahakam dan Barito merupakan sungai utama di Kalimantan tempat lalulintas tongkang
batubara dilakukan. Tongkang yang dipergunakan untuk angkutan batubara di sungai-sungai
tersebut berukuran 3.000-10.000 DWT. Kapal pengangkut untuk tujuan ekspor berkapasitas
hingga 180.000 DWT. Armada angkutan batubara dikuasai asing.
Kereta api yang merupakan moda angkutan paling efisien dan berdampak lingkungan kecil
untuk pengangkutan bulk batubara (seperti dibuktikan di USA, Australia, dsb.) belum satu jalur
pun terbangun jaringannya di Kalimantan. Studi pembangunan jalur-jalur kereta api batubara di
Kalimantan sebetulnya telah pernah dilakukan, misalnya oleh Institut Ekonomi Energi Jepang,
METI-Jepang maupun BAPPENAS.
Wujud fisik dari jaringan kereta api tersebut belum ada, karena pembangunannya
terkendala mahalnya biaya konstruksi, lemahnya kapasitas institusi untuk membangun jalur
baru, termasuk –sementara ini-- UU Kereta Api yang mengizinkan pembangunan jalur kereta api
hanya oleh PJKA/PTKA. Institusi yang tak siap ini termasuk unsur-unsur di pemerintah pusat
dan daerah.
Permasalahan yang kini terjadi dengan sistem angkutan batubara di Kalimantan adalah
kapasitas sungai-sungai untuk menampung lalulintas barge batubara sudah tak mungkin lagi
dilanggar, karena sudah dilampaui. Lalulintas angkutan batubara sangat padat, di beberapa
tempat harus dipandu untuk menghindari “tabrakan” dengan kapal pengangkut lain atau sasaran
lain. Kapasitas angkuta juga menjadi rendah karena berkurangnya jumlah hari traffic disebabkan
perubahan musim dan pendangkalan. Pada musim kemarau, sebagian badan sungai tak dapat
dilayari karena kering, sedangkan di musin penghujan, pelayaran juga sering tak dapat dilakukan
karena banjir.
Peningkatan kapasitas angkut di sungai-sungai utama tak hanya membutuhkan
pengerukan/pelebaran, tapi juga menggantikan jembatan-jembatan. Mahakam, misalnya,
memiliki jembatan panjang (Mahakam) namun tidak cukup lebar untuk armada tongkang dapat
berlalulintas dengan leluasa. Hal ini diperburuk dengan ramainya lalulintas kapal mengangkut
berbagai macam komoditi di muara Mahakam. Barito memiliki tingkat sedimentasi yang tinggi,
bersumber dari muara, apalagi saban musim banjir tiba. Di hulu Barito mungkin digunakan
barge berukuran hingga 10.000 DWT, namun yang harus dipindahkan lagi ke barge yang lebih
kecil (3.000 DWT) di hilir karena kendala perairan dangkal. Frekuensi transhipment yang
terlampau sering ini sangat mengganggu efisiensi angkutan batubara.
Lalulintas batubara yang semrawut, mencemari, mengganggu lalulintas komoditas lain –di
samping pengerukan yang sering terlambat-- membuat Pemerintah Daerah belakangan
mengancam menutup angkutan batubara. 3 Ini jelas membuat situasi semakin rumit.
Tak hanya angkutan sungai, armada truk batubara yang mencemari dengan debu dan
sebagian malah merusak jalan umum merupakan bagian dari keluhan masyarakat sehari-hari di
Kalimantan. Jalan darat untuk lewat truk pengangkut batubara sebagian besar merupakan jalan
tanah yang akan berkumpur ketika hujan tiba, menghalangi kapasitas transportasi batubara.
Selain itu, beban truk yang berat dengan batubara yang diangkut mengakibatkan jalan cepat
rusak dan membutuhkan biaya cukup besar untuk memperbaikinya. Beban untuk membangun
dan memelihara jalan (yang dapat mencapai puluhan, bahkan lebih dari 100 km) sebenarnya
cukup berat untuk ditanggung secara sendiri-sendiri oleh perusahaan tambang.
Pemerintah, baik pusat maupun daerah, belakangan menghadapi kendala penyediaan dana
pembangunan, tercermin jelas pada infrastruktur transportasi di Tanah Air yang meluruh, serta
pelayanan transportasi yang secara umum menurun. Sementara pembangunan PLTU dan
penyiapan tambang adalah wilayah tanggung jawab Departemen Energi & Sumberdaya Mineral,
tidak jelas dari pandangan Sektor Transportasi apakah angkutan batubara (sungai, kereta api,
darat, laut) menjadi prioritas tinggi dibandingkan aneka masalah dalam sektor mereka sendiri?
Bagaimana Pemerintah Daerah atau perencanaan nasional melihat permasalahan infrastruktur

3
Alur Barito Makin Dangkal, Jika Dana Pengerukan Tidak Turun, Angkutan Batubara Dihentikan,
KOMPAS, 3 Mei 2006.

6
Hanan Nugroho PERENCANAAN PEMBANGUNAN Edisi 03/Th. XI/ Maret – Juni 2006

transportasi dalam suatu kawasan pulau besar dari komoditas yang belakangan telah tumbuh
sebagai penyumbang devisa utama dari ekspor sumberdaya alam Indonesia?

4. Percepatan Pembangunan PLTU


Percepatan Pembangunan PLTU Batubara 17.000 MW (PLN 8.700 MW, Swasta 8.300
MW) 4 yang belum lama direncanakan Pemerintah merupakan upaya strategis untuk
meningkatkan rasio elektrifikasi serta menyehatkan energy mix nasional dari ketergantungan
pada BBM.
Program yang mencoba membangun 70% dari kapasitas pembangkitan listrik nasional
atau lebih 2 kali kapasitas PLTU Batubara sekarang (7.550 MW) dan ditargetkan selesai tahun
2010 –serta telah diadopsi dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik- itu pasti berisi
pekerjaan-pekerjaan yang kompleks sekaligus challenging. Sebagai dimaklumi, pembangunan
pembangkit tenaga listrik hingga mencapai kapasitasnya sekarang dilakukan bertahap dan secara
intensif telah dimulai sejak periode REPELITA I (1970-an) dahulu.
Pembangunan PLTU Batubara jelas tidak sekedar memasang mesin-mesin pembangkit
listrik di beberapa tempat, tapi juga menyiapkan berbagai infrastruktur, baik di sisi hulu
maupun hilir (forward and backward linkage). Pertama, agar batubara –sebagai fuel- hadir
dalam jumlah dan mutu yang dibutuhkan di mulut pembangkit listrik. Peranan infrastruktur
transportasi batubara sangat crucial di sini. Kedua, memastikan bahwa listrik yang dihasilkan
dapat disalurkan melalui infrastruktur transmisi dan distribusi, termasuk gardu induk dan gardu
distribusi.
Infrastruktur di sisi hulu maupun hilir pembangunan PLTU mesti disiapkan dengan
memperbesar kapasitas atau membangun baru. Ketidakhati-hatian dalam menyiapkan rantai
proses tersebut dapat berakibat proyek PLTU puluhan trilliun Rupiah yang direncanakan tidak
efisien atau muspra. Pengalaman seperti ini kita punyai, misalnya dalam pembangunan PLTGU
yang kemudian mengalami kesluitan tak mendapat supplai gas bumi atau terjadinya jeda (lag)
yang cukup panjang/lama antara terpasangnya pembangkit listrik dengan ketersediaan fasilitas
transmisi/distribusi.
Pembangunan PLTU batubara pertama di Indonesia, yaitu PLTU Suralaya di awal 80-an
adalah pembangunan Tambang-Transportasi-PLTU yang terintegrasi dan cukup berhasil:
penambangan/ produksi batubara Bukit Asam di Sumsel dilakukan oleh PTBA, pengembangan
jalur kereta api “Babaranjang” oleh PJKA, gerbong kereta oleh PT INKA, pelabuhan laut di
Tarahan (Lampung), armada laut oleh PANN, hingga stockpile batubara dan PLTU oleh PLN,
yang juga meneruskan dengan pembangunan jaringan transmisi/distribusi. Sebagian besar
pembiayaan berasal dari pinjaman ke Bank Dunia. Dibentuk waktu itu --dengan Keputusan
Presiden-- Tim Kordinasi antarsektor kelistrikan, angkutan (darat, laut, kereta api),
pertambangan, teknologi, perencanaan dan pembiayaan. Pembangunan PLTU kemudian seperti
PLTU Paiton maupun penambahan unit Suralaya mendapat manfaat dari telah berkembangnya
sistem pasokan dan transportasi batubara yang lebih baik, didorong oleh meroketnya ekspor
batubara Indonesia dari Kalimantan.
Pertanyaan dasar sehubungan dengan rencana percepatan pembangunan PLTU Batubara
17.000 MW itu adalah dimana unit-unit pembangkit itu akan dibangun dan darimana supplai
batubaranya akan berasal. Jawaban pertanyaan ini, ditambah dengan permintaan batubara untuk
keperluan lain- akan menentukan pola infrastruktur transportasi batubara yang akan dibentuk.
Dapat diperkirakan bahwa lalulintas batubara dalam kerangka percepatan pembangunan PLTU
tersebut akan digunakan untuk memasok batubara ke Jawa dari tambang-tambang batubara di
Kalimantan.
Untuk menjamin keamanan supplai dari rencana PLTU yang sebagian besar berada di
sistem JAMALI (Jawa-Madura-Bali), supply agreement perlu lebi awal dilakukan guna

4
Angka sementara. Detail rencana pembangunan PLTU Batubara yang akan dilakukan, hingga makalah
ini disusun, masih bersifat belum pasti (frozen).

7
Hanan Nugroho PERENCANAAN PEMBANGUNAN Edisi 03/Th. XI/ Maret – Juni 2006

memastikan harga dan bahwa pekerjaan di sisi hulu (penambangan) dapat disiapkan. Hampir
tidak mungkin nanti tiba-tiba mengubah kontrak penjualan perusahaan tambang atau
memperoleh batubara murah dalam skala besar dan kontinu di pasar bebas. Apalagi batubara
Kalimantan/Indonesia memiliki alternatif pemanfaatan/pembeli lain yang dapat menawarkan
harga pembelian yang lebih bersaing dibanding PLTU selama ini.

5. Kerjasama pelaksanaan proyek terpadu: beberapa usulan


Cadangan (proven reserves) batubara Indonesia 7 milyar ton, cukup besar untuk
memenuhi permintaan rencana PLTU yang akan membutuhkan supplai hingga 75 juta ton/tahun.
Kalimantan selama ini merupakan pemasok batubara utama dan masih dapat diandalkan ke
depan, namun demikian Sumatra –mengingat cadangannya yang sangat besar—juga dapat
dijadikan alternatif untuk memasok kebutuhan batubara oleh PLTU nanti. Keduanya dapat
berlaku hanya apabila infrastruktur transportasi batubara dikembangkan untuk dapat melakukan
tugas pemasokan itu.
Membumbungnya permintaan batubara untuk PLTU 17.000 MW akan membutuhkan
peningkatan kapasitas pelabuhan, jalan, angkutan sungai, armada transportasi (jalan darat,
sungai, laut, gerbong kereta api), termasuk penampungan (stockpile) di lokasi PLTU.
Infrastruktur transportasi batubara kita yang kini carut marut pastilah tak memadai buat
menampung lonjakan permintaan batubara oleh 17.000 MW PLTU. Karenanya, mesti disiapkan
kapasitas transportasi batubara setara dengan yang ada sekarang, namun –kemungkinan besar--
dengan komposisi moda yang tidak seperti sekarang.
Biaya untuk komponen transportasi ini bisa bernilai setara atau lebih mahal daripada
installasi mesin-mesin PLTU itu sendiri. Pekerjaan besar dan kompleks ini tanggungjawab siapa,
bagaimana pengorganisasian kerjanya? Bagaimana membiayainya?
Beberapa pendapat/usulan kami sampaikan sebagai berikut:
Pertama, seyogyanya pembangunan infrastruktur transportasi batubara tidak lagi hanya
menjadi tanggungjawab perusahaan tambang sebagaimana disyaratkan dalam Perjanjian Karya
Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B), tapi dibimbing oleh suatu master plan
pengembangan wilayah yang dirumuskan oleh unsur-unsur pertambangan, perhubungan,
keuangan, serta pemerintah pusat dan daerah. Mekanisme kerja antarsektor (serta swasta) di
bidang ini mesti diperkuat, atau disiapkan, apalagi ke depan, pekerjaan perencanaan skala besar
dan terintegrasi ini akan menjadi mode yang banyak diterapkan.
Tugas penyediaan infrastruktur transportasi oleh perusahaan tambang secara sendiri-
sendiri hanya akan bermuara pada sistem transportasi yang tidak efisien (mahal), tidak
terintegrasi dan berdampak lingkungan buruk sebagai yang kita alami sekarang di Kalimantan.
Kedua, perlu disiapkan skema financing yang mencerminkan pola kemitraan pemerintah-
swasta (public private partnership) yang efisien dan berimbang. Dalam setiap proyek
pembangunan infrastruktur transportasi batubara yang dilakukan, apakah itu akan diterapkan
dengan pola pola BOT (build, operate, transfer), membentuk konsorsium atau special purpose
vehicle, perlu dikaji dengan tepat. Peran pemerintah pusat dan daerah mesti dipertegas, diiringi
semangat mengembangkan kemampuan daerah.
Ketiga, mengembangkan alternatif pengangkutan lain, terutama karena kapasitas sungai-
sungai di Kalimantan sudah tak mungkin ditingkatkan lagi untuk menampung lonjakan
permintaan batubara dari PLTU, yang sebagian besar akan berada di Jawa. Alternatif angkutan
lain mesti diwujudkan; dalam hal ini dapat dimanfaatkan berbagai studi transportasi batubara
yang pernah dilakukan.
Berbagai studi sebelumnya 5 telah mengidentifikasikan jalur-jalur kereta api batubara yang
perlu dibangun, yaitu (i) jalur Mangkupadi, (ii) jalur Senggata, (iii) jalur Mahakam, (iv) jalur
Balikpapan Selatan, (v) jalur Selatan dan (vi) jalur Batu (Gambar 3). Pembangunan jalur

5
Di antaranya yang belakangan dilakukan oleh Intititut Ekonomi Energi Jepang, BAPPENAS dan Kementrian
Ekonomi, Perdagangan dan Industri (Jepang).

8
Hanan Nugroho PERENCANAAN PEMBANGUNAN Edisi 03/Th. XI/ Maret – Juni 2006

kereta api batubara perlu direalisasikan, dengan atau sebetulnya tanpa dikaitkan dengan
percepatan pembangunan PLTU Batubara 17.000 MW, karena kebutuhannya yang sudah sangat
mendesak.
Pembangunan tersebut dapat dimulai dari jalur yang paling significant dampaknya terhadap
peningkatan produksi serta kapasitas angkut batubara, yaitu jalur Mahakam. Keberhasilan
dalam mewujudkan satu jalur kereta api merupakan proses belajar yang sangat baik untuk
mewujudkan jalur-jalur lainnya yang akan menunjang efektivitas angkutan batubara di Tanah
Air.
Tak hanya jalur kereta api, pengembangan jaringan jalan, angkutan sungai dan terutama
terminal-terminal batubara perlu dirumuskan kembali. Perlu ditekankan bahwa pembangunan
infrastruktur transportasi tak hanya akan bermanfaat bagi kegiatan penambangan batubara saat
ini, namun juga –nantinya- untuk kebutuhan angkutan lain, termasuk manusia. Pembangunan
infrastruktur transportasi tersebut dapat dipertimbangkan sebagai bentuk “bayar hutang”
terhadap bumi Kalimantan yang sebelumnya telah dieksploitasi --termasuk hutan, minyak dan
gasnya-- tanpa warisan infrastruktur yang memadai.

Gambar 4.
Gagasan Pengembangan Jalur Kereta Api Batubara di Kalimantan

1 ) M a n g k a p a d ie L in e (3 5 4 k m )

2 ) S e n g g a ta L in e
(1 4 9 k m )

T a n ju n g B a ra

B o n ta n g

3 ) M a h a k a m L in e (3 5 0 k m )
BCT

4 ) S o u th B a lik p a p a n L in e (2 1 8 k m )

5 ) S e la ta n L in e
(2 4 0 k m )

NPLCT

6 ) B a tu L in e (1 5 1 k m )
IB T
0 100 200km

Sumber: IEEJ, Bappenas, METI.

9
Hanan Nugroho PERENCANAAN PEMBANGUNAN Edisi 03/Th. XI/ Maret – Juni 2006

Keempat, Pemerintah perlu tetap memimpin pekerjaan percepatan pembangunan PLTU


serta kebutuhan infrastruktur transportasi yang harus disiapkan, paling tidak dalam bidang
perencanaan dan kordinasi. Pembangunan infrastruktur transportasi -termasuk prasarana/sarana
kereta api- bagian tak terpisahkan dari upaya pembangunan PLTU Batubara 17.000 MW.
Meskipun pembangunan PLTU akan mengandalkan PLN dan Independent Power Producers,
keterlibatan Pemerintah, terutama dalam pembangunan infrastruktur, tak bisa dilepas.
Model pengadaan batubara “tunjuk langsung” atau business to business yang sementara ini
menjadi wacana jelas jauh dari konsep penyelesaian problem penyediaan sistem angkutan
batubara yang efisien. Dari aspek pembiayaan proyek PLTU sendiri, hampir tidak mungkin
pemberi pinjaman (lender) menyediakan pinjaman (loan) tanpa meminta semacam jaminan
(guarantee) dari Pemerintah Indonesia, apalagi mempertimbangkan nilai pinjaman yang sangat
besar, pengalaman melakukan proyek serupa yang minim serta ketidakjelasan dalam proyeksi
arus pendapatan (revenues) dari proyek nantinya.
Kelima, ambil pelajaran (lesson learned) dari pembangunan PLTU pertama di Indonesia,
yaitu PLTU Suralaya, yang cukup berhasil melakukan pembangunan PLTU-Tambang-
Transportasi yang terintegrasi dalam tahun 1980-an, dan merupakan suatu pengalaman
mengerjakan proyek comprehensive yang hampir tak lagi kita alami. Model kerja sama
antarsektor dan pengorganisasian proyek dalam pembangunan PLTU Suralaya dulu layak ditiru
oleh crash program PLTU 17.000 MW, meskipun tantangan kali ini akan jauh lebih
kompleks/rumit karena melibatkan “berbagai sumber dan berbagai tujuan” (multi sources, multi
destinatons) dalam angkutan batubaranya.
Harapan terakhir, semoga program percepatan pembangunan PLTU Batubara 17.000 MW
dapat menjadi momentum untuk mengembangkan infrastruktur angkutan batu bara di Tanah Air
yang kini carut marut. Tugas tidak gampang, tapi menantang***

Pustaka
• Mimuroto & Shugiuchi, Preliminary Feasibility Study on Railway Coal Transportation in
Kalimantan, Indonesia, Japan Institute of Energy Economics, 2002.
• Bappenas, Studi Kebijakan Bauran Energi Nasional, Laporan Akhir, 2003.
• Ministry of Economy, Trade and Industry (Japan), Kalimantan Coal Transport Program
(Project Assistance for Private Initiative Infrastructure Project in Developing Countries), Final
Report, Maret 2006.
• Hanan Nugroho, Percepatan Pembangunan PLTU: Tantangan Transportasi Batubara dan
Pembiayaan, Investor Daily, 12 Mei 2006.
• Hanan Nugroho, Pipa Transmisi Gas Bumi Kalimantan Timur – Jawa Sebagai Alternatif Untuk
Memasok Kebutuhan Energi di Jawa, Perencanaan Pembangunan 02/XI/ Januari-Maret 2006.
• Hanan Nugroho, Apakah persoalannya pada subsidi BBM? Tinjauan terhadap masalah subsidi
BBM, ketergantungan pada minyak bumi, manajemen energi nasional, dan pembangunan
infrastruktur energi, Perencanaan Pembangunan Edisi 02 Tahun X, 2005.
• Asian Development Bank, Gas Transportation Project Through Public-Private Partnership
(East Kalimantan – Java), ADB TA 4360-INO, Part A, Final Report, Januari 2006.

10

Anda mungkin juga menyukai