Anda di halaman 1dari 1

KISAH KECEBONG

Suatu hari 5 tahun lalu di sebuah TK di Jakarta Timur.... Guru mengajak murid-muridnya melihat kolam di belakang
sekolah mereka. Berbekal ember dan jaring. Bu guru Ati mengaduk kolam diiringi riuh rendah pertanyaan murid-
muridnya. “ bu Ati, tangkap ikannya, ayo....tangkap bu guru. ih...ih lucu.....kita bisa pelihara ya Adriel?

Sementara seorang anak tidak sabar, mencoba menangkap sendiri. Sayang tangan kecil mereka kalah lincah dengan
hewan air berwarna hitam itu. Bu Ati kok pinter ya, aku gak bisa-bisa” Luthfi mengapresiasi bu gurunya penuh tatapan
kagum.

Kemudian bu Ati bertanya, “Anak-anakku, apa nama hewan yang masuk jaring kita ini?” hampir semua anak menjawab
bahwa makhluk itu adalah ikan. Bu Ati senyum ramah menatap murid-muridnya. Saat bu Ati menyampaikan bahwa yang
mereka tangkap itu adalah kecebong, mulut-mulut mungil itu serentak menjawab “Ooo...” tangan mereka yang mungil
langsung memegang hewan itu, memuaskan rasa ingin tahunya.

Bu Ati penuh kelembutan menceritakan asal-usul berudu atau kecebong yang beribukan katak alias kodok. Seusai
bercerita dan menjawab berbagai pertanyaan murid-muridnya, bu Ati mengajak anak-anak bernyanyi “ Katak” karangan
Pak Daljono

Lompatlah, lompatlah, katak-katak berlompat


Di kolam yang jernih, katak-katak nyanyilah
Suara mu gembira, di petang hari
Damai bersuka ria, di malam sunyi

Usai bernyanyi dengan murid-murid, bu Ati mengajak mereka mengembalikan lagi kecebong ke tempat asalnya. Seorang
anak berteriak kecewa “jangan bu guru, aku suka kecebong itu. Kan lucu bu guru. Ia berjalan seperti ini.” Tiba-tiba
Nabiel, langsung berbaring di rumput dan berenang menirukan kecebong. Semua temannya ikut latah dan mengikuti
gaya dan ulah Nabiel.

Semua murid bu Ati telah menjadi kecebong, pun termasuk seorang anak Autis yang pendiam. Mereka mampu
bernegosiasi dengan komunikasi bahasa tubuh mereka sebagai anak. Membuat bu Ati terenyuh dan mengabulkan
keinginan mereka.

Setiap anak mendapat tiga ekor kecebong. Mereka boleh membawanya pulang. Tentunya dengan syarat, harus bisa
merawatnya hingga kelak kecebong berubah menjadi katak. Bu Ati menuliskan di buku komunikasi untuk orang tua,
mengabarkan bahwa anak-anak membawa tiga ekor kecebong yang membutuhkan bantuan untuk dipelihara.

Siang itu semua anak pulang ke rumahnya masing-masing membawa 3 ekor anak katak bernama kecebong. Bungkusan
plastik itu mereka pegang erat-erat bagaikan harta karun yang sangat berharga.

Kisah berudu atau kecebong tidak usai hingga di situ..................................

apa yang terjadi pada kehidupan seorang anak bernama Nabiel sesaat setelah sampai di rumah? Baru saja tiba di depan
pagar rumahnya, ia berteriak kencang “ kecebong.....kecebong. Bu Ati hebat, tangkap kecebong.”

Lupa makan, lupa segalanya. Ia mengajak teman-temannya mengintip kecebong yang telah dipindahkan ke dalam
stoples. Tanpa lelah ia berenang menirukan gaya kecebong-kecebong itu.

Hari ke tiga, sepulang sekolah, seekor kecebong tidak lagi bergerak, mereka bertiga menggali tanah menyiapkan upacara
pemakaman kecebong. Afi memetik kembang yang ada di halaman rumahnya. Sesaat setelah kecebong ditimbun tanah,
mereka pun menabur bunga dengan duka yang dalam penuh khidmat.

Air mata membasahi pipi mungil mereka. Saat Nabiel diminta berdoa, ia pun membacakan doa makan. “Nabiel kok doa
makan”, Afi protes. Nabiel melanjutkan dengan doa tidur. Ketiga anak itu berdoa bergantian, membacakan semua doa
yang mereka ingat dan diajarkan bu guru. Sangat lama dan khidmat. Semua doa mereka praktikkan dengan baik.

Anda mungkin juga menyukai