Anda di halaman 1dari 2

Artikel atau Contoh Kasus Keadilan :

Perkara dan sidang pengadilan atas kasus ”pencurian” sandal sudah dibuka lebar-lebar oleh
berbagai media, baik media cetak maupun elektronik. AAL (15 tahun), pelajar SMK di Palu itu,
dinyatakan terbukti mencuri sandal jepit polisi Polda Sulteng. Walau bersalah, dia tidak dihukum, tetapi
dikembalikan ke orangtuanya. Publik tergagap-gagap dan bertanya, beginikah penegakan hukum di
Indonesia? Pro dan kontra atas kasus itu pun berlangsung dalam perdebatan yang tak jelas juntrungnya.
Perdebatan bukan hanya pada lapisan masyarakat yang ”awam” hukum, melainkan juga mereka yang
”ahli” hukum. Publik menafsirkan dan memaknai kasus sandal itu sesuai tingkat kepahaman masing-
masing tentang hukum dan pengadilan. Tak bisa dimungkiri, kekuatan publik dan media sangat
berpengaruh pada penanganan kasus ini. Aksi pengumpulan ribuan sandal jepit ke Kapolri pun tak luput
dari perhatian presiden meski tanpa diikuti tanggapan apa pun. Secara sosiologis, aksi tersebut pasti
berpengaruh terhadap sikap hakim ataupun kualitas vonis yang dijatuhkannya. Kasus yang tergolong
”kecil” dan dialami orang awam, anak-anak, remaja, atau orang miskin/lemah seperti ini memberi
pelajaran berharga bagi publik bahwa hukum dan pengadilan negara itu amat esoterik, hanya dapat
dipahami oleh profesional di bidang hukum. Langkah ibu AAL yang mendorong agar kasusnya dibuka di
pengadilan untuk membuktikan bahwa anaknya tak mencuri tanpa disadari sudah menceburkan dirinya
ke dalam dunia lain dan asing bagi dirinya, yaitu pengadilan. Logika awam tak mencukupi untuk
memahami bahasa, istilah, konsep, dan berbagai doktrin hukum positif yang berlaku di dunia
pengadilan. Wajar ada pertanyaan, kok, putusannya seperti itu? Seto Mulyadi, Ketua Komisi Dewan
Pembina Komnas Perlindungan Anak Indonesia, kecewa atas vonis hakim ini. Terbayangkan, betapa
berat beban psikologis AAL harus menanggung stigma sebagai ”pencuri” yang melekat sepanjang
hidupnya. Logika awam vs hukum, Kasus ini membuktikan, logika awam dan logika hukum positif
memang berbeda. Ketika kedua logika itu berada dalam jurang pemisah, kekecewaan publik akan
muncul dalam berbagai bentuk, baik halus maupun dengan kekerasan. Di situlah semestinya ada
kesadaran bagi semua profesional hukum untuk mempersempit jurang pemisah logika hukum tersebut.

Pelajaran terbaik dari kasus ini adalah perlunya pembenahan terhadap sistem peradilan pidana.
Profesional hukum (polisi, jaksa, hakim, dan pengacara) bekerja berdasarkan sistem itu, padahal
kewenangan masing-masing berpotensi besar berbenturan dengan keinginan publik. Indonesia perlu
mengubah sistem itu menjadi social juctice system. Apabila sistem ini terbangun, semua kekuatan publik
dan profesional hukum dapat berangkulan dalam satu panggung penegakan hukum sehingga logika
publik dan logika hukum positif dapat dipertemukan. Bukankah penegakan hukum itu wajib berdasarkan
Pancasila, yang sila kelima berbunyi: ”Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”?

Sumber artikel:http://nasional.kompas.com/read/2012/01/06/17550755/Keadilan.Sosial.Kasus.Sandal

Pendapat dan Saran :

Pendapat saya tentang artikel diatas adalah keadilan yang diterapkan di Indonesia belum
terlaksana dengan baik dan belum sempurna, keadilan yang didefinisikan sebagai suatu sikap, perilaku
dan tindakan untuk tidak memihak kesalah satu pihak atau orang tidak terlaksankan disini, kenapa orang
yang mencuri sendal saja harus dihukum lama sedangkan para koruptor yang mencuri uang rakyat tidak
dihukum seberat – beratnya walaupun dia dihukum  tapi mereka masih mendapat fasilitas yang cukup
baik walaupun dipenjara, keadilan yang ada dinegara ini harus segera ditegakan supaya keadaan dan
suasana di Indonesia menjadi lebih terkendali dan lebih nyaman, mereka para penegak keadilan
harusnya lebih paham dan lebih tidak memihak kaum berduit saja tetapi adil tidak memihak antara
kaum berduit dan kaum yang tidak berduit juga. Pembaharuan sebaiknya harus segera dilaksankan
untuk menjadikan bangsa dan negara ini lebih maju dan lebih baik lagi.

Anda mungkin juga menyukai