Anda di halaman 1dari 5

Dilema Seorang Pahlawan

Suara putaran roda-roda di atas lantai pualam itu memenuhi lorong disertai teriakan sahut
menyahut antar perawat. Sudah satu minggu lamanya, keadaan serius seperti ini tak kunjung
berkesudahan juga, malahan hampir tiap harinya pasien berdatangan makin bertambah, memenuhi
ruangan-ruangan yang biasanya kosong, hingga terpaksa memindah sebagian dari mereka ke rusun
seberang rumah sakit.

Dari ujung lorong sebelah barat nampak ibu paruh baya merengek-rengek. Rupanya karna
anak laki-laki kecil tak siuman di atas kasur beroda itu yang didorongnya dan beberapa perawat di
sampingnya. Aku tak jauh dari sana spontan mendekat ikut menggiringnya ke ruang UGD.

“Ibu tolong tunggu sini ya! Mohon bantuannya kali ini,” tukasku pelan pada ibu paruh baya
itu untuk duduk di kursi depan ruangan sembari menunggu.

Aku hanya mengangguk meyakinkan, meninggalkan depan ruangan ,menutup pintu. Seperti
biasa, jas putih dan masker sekali pakai yang melekat di mulutku sudah melekat sejak tadi. Suara
AC di dinding mendesing pelan, membuat satu ruangan mendadak dingin. Kukenakan stetoskop
yang tergeletak di atas meja. Menempelkan ujung belalainya ke leher anak mungil itu. Badannya
panas, gumamku melepas stetoskop. Aku terdiam sejenak teringat anak perempuan alias putri
kesayanganku yang akhir-akhir ini jarang bersamaku itu. Namanya Dila. Dila Amelia Putri. Masih
duduk di bangku SD. Terlalu muda untuk ditinggalkan sosok ayah yang bekerja di luar kota.
Mungkin sekarang Dila hanya diam di rumah bersama nenek kesayangannya atau lebih tepatnya ibu
mertuaku, mengingat masa PSBB yang tak kunjung usai membuat sekolah Dila harus ditutup, Dila
terpaksa harus bertatap muka secara tak langsung lewat layar handphone bersama teman-temannya.
Membosankan, bukan hanya itu aku dan Dila sendiri hanya bisa saling mengabari lewat video call
saja. Itu pun tak lama untuk dokter sepertiku tak banyak waktu senggang yang kudapatkan. Masih
banyak pasien yang harus kutangani dan entah sampai kapan wabah ini mereda.

Ruangan lenggang. Menyisakan aku dan anak kecil yang belum bangun juga dari tidurnya.
Brukk, botol air minum di atas meja itu tak sengaja tersenggol tangan anak muda tersebut. Matanya
terbuka pelan, menengok-nengok kiri kanan setengah sadar, putaran matanya terhenti melihatku,
aku menatapnya balik tersenyum.

“Siapa namanya dik?” tanyaku memungut botol air minum yang terjatuh tadi.

“Bagus dok” jawabnya.

Aku berbincang-bincang sedikit dengan Bagus. Menanyakan kepadanya kenapa ia bisa


pingsan dan jawabannya umum, pusing biasa, lemas dan lain-lain. Bagus benar-benar lupa sakitnya
itu. Hampir sepuluh menit kami mengobrol ini itu, tentang rumahnya, orang tuanya, saudarap-
saudaranya dan masih banyak lagi. Semua pertanyaan itu selalu berakhir dengan tawa darinya.
Anak itu sungguh periang. Gumamku beranjak dari kursi.

“Bagus, nenekmu menunggu, sebentar ya dokter panggilkan” ujarku meninggalkan ruangan.

Nenek itu rupanya sudah tidak sabar menunggu momen ini. Saat melihatku ia langsung
mengangkat badan tuanya seraya mendekat.
“Gimana keadaan cucu saya, dok?” desak ibu paruh baya itu menanyakan perihal cucunya.

“Alhamdulillah Bagusnya sudah siuman” jawabku membuka pintu lebar-lebar.

Raut wajahnya berubah, bahkan hampir menangis kegirangan. Melihat cucunya duduk
selonjor di atas kasur sembari tersenyum. Aku hanya memandangi mereka tersenyum di samping
pintu ikut senang. Ting! Telepon genggam milikku bergetar di sakuku. Aku yang hanyut melihat
Bagus dan neneknya berpelukan erat berpaling menengok ke dalam saku. Menarik telepon di
dalamnya. Nenek Dila rupanya. Hanya pesan singkat.

“Mira cepat pulang, Dila jatuh di kamar mandi,” aku yang membacanya kaget bukan
kepalang. Baru saja aku memikirkannya. Sekarang, jatuh sakit di Rumah.

Aku terdiam sejenak ditengah-tengah lorong. Menatap kosong perawat yang mondar mandir
antar ruangan. Pikiranku kosong, semuanya terasa berputar.

“Dok! Dokter Mira nggak papa?” Teriak histeris salah satu pelayan rumah sakit yang
menopang badanku yang sempoyongan itu.

“Oh! Nggak papa kok cuma sedikit pusing saja”. Jawabku sambil mengedipkan mata
beberapa kali.

“Mau saya ambilkan air putih, dok?” Tawarnya sambil tersenyum.

“Oh, nggak perlu mbak, terimakasih!”.

Aku hanya menjawab terimakasih dan mulai melangkah lagi di atas lantai pualam. Pergi
menuju ruangan khususku diujung lorong sana. Berbeda dengan keadaan di luar yang hingar bingar.
Ruanganku lengang. Menyisakan meja kayu dan papan namaku di atasnya. “dr. Mita”. Jelas sekali,
bahkan akan terbaca dari luar ruangan transparan itu. Aku bergegas menarik tas bahu dari
tempatnya, menaruh jas di paku dinding. Meninggalkan ruangan itu.

***

Tepat seperdetik setelah pintu lift itu terbuka. Keributan manusia menyambutku, tak lupa
wajah para pelayan rumah sakit yang terlihat kebingungan. Terpaksa aku berdesak-desakkan
diantara mereka mengingat putriku perlu pertolonganku sekarang. Nampak satu dua nenek lanjut
usia hanya terduduk di kursi panjang, seolah-olah tak tahu akan keadaan saat ini. Lepas dari
kerumunan manusia di ruang tengah. Aku membuka pintu utama, bernafas lega sedikit tersengal-
tersengal. Tapi tak apa, mobilku terparkir dekat di depan rumah sakit.

***

Jalanan lengang. Yang lewat hanya beberapa mobil dan motor ditambah angin sore. Lampu-
lampu bertiang sudah menerangi trotoar tapi itu bukan berarti hari akan usai bagi para pengamen di
dekat lampu merah. Mereka masih asyik dengan ukulelenya dan marakas buatannya. Lampu
berganti hijau. Kuinjak pelan pedal gas, mobil melaju pada sorenya kota ini, nampak beberapa
Polisi Lalu Lintas mengadakan razia masker rutin. Aku tak menggubris itu, hanya fokus pada
jalanan beraspal. Rumahku tak jauh lagi mungkin hitungan sepuluh menit akan sampai. Sepertinya
ada yang tak beres dengan kepalaku, gumamku dalam hati memegangi kening. Pusing yang sama
seperti tadi.

Pritt!!! Peluit dari polisi membuat mataku terbuka dan kabar buruknya kakek tua dengan
dagangannya tepat di hadapan mobil yang sedang kukendarai. Tiinn!!! Aku spontan menekan
klakson sembari membanting setir. Untung saja kakek itu selamat. Kalau bukan karena peluit polisi
tadi, mungkin aku akan kembali ke rumah sakit mengantar kakek itu.

Halaman rumahku lengang. Mobilku tepat berhenti di garasi. Kubuka pintu mobil,
membantingnya pergi. Membuka pintu begitu saja. Sekarang yang memenuhi pikiranku hanyalah
Dila, putriku satu-satunya. Kamar Dila terbuka, dengan Dila terbaring lemas didampingi nenek di
sebelahnya. Aku berlari melempar tas mendekatinya, menengok kepala Dila yang hanya dibalut
dengan kain seadanya. Pendarahan yang serius, gumamku menatap nenek Dila.

“Sudah Mit! Cepat bawa dia ke rumah sakit! Keburu habis itu darahnya,” teriak nenek Dila,
mengerutkan alis.

Aku tak menjawab perkataan itu. Aku berlalu begitu saja dari sana menggendong Dila.
Pintu mobilku tertutup rapat dengan Dila dan mertuaku di kursi belakang. Mobil mulai
meninggalkan halaman. Sepanjang perjalanan, aku hanya sibuk mengumpat nenek Dila, bukan apa,
mengurus satu anak di rumah yang tidak terlalu besar saja dia tidak bisa. Toh dari ruang tamu ia
bisa mengawasi cucunya itu. Sesibuk apa sih dia? Menonton serial drama Korea atau sinetron?
Entahlah pokoknya ujung-ujungnya aku yang akan disalahkannya nanti. Itulah sialnya mendapat
mertua seperti dia.

***

Gelap mulai merambat, mengusir cahaya kemerahan dari ufuk barat. Mobil hitamku
berhenti tepat di depan rumah sakit tempatku bekerja. Aku bergegas membuka pintu, menarik Dila
berlari memasuki rumah sakit dibuntuti nenek Dila. Nampaknya ruang tengah tidak lagi
mengadakan bagi-bagi sembako seperti tadi. Hanya tiga empat orang saja yang masih terduduk di
kursi antrean. Kuletakkan badan Mira di atas kasur beroda lalu mendorongnya dengan beberapa
perawat. Lagi-lagi ruang UGD, tapi kali ini bukan orang lain yang kutangani melainkan anakku
sendiri. Lampu-lampu lorong menerangi jalan. Ruang UGD terbuka. Aku yang mendorong kasur
Dila terpaksa berhenti mengingat aku hanya dokter biasa disini, bukan bidangku untuk kecelakaan
seperti ni. Jadi aku hanya bisa menunggu di luar ruangan, berharap ada kabar baik nantinya.
Sedangkan nenek Dila duduk di kursi dengan wajah tak bersalah. Kucoba menengok Dila dari pintu
buram, samar-samar. Hanya nampak layar bergelombang disana. Tak terasa air mataku sudah
membanjiri pipiku dari tadi. Aku menyusul nenek Dila dengan duduk menyebelahinya, menyeka
wajah.

“Semua ini salahmu Mita! Coba saja kau tidak sibuk dengan pekerjaanmu itu! Mungkin
kejadian seperti ini tidak akan terjadi,” bentak nenek Dila melotot.

“Mita kerja bu! Buat makan Dila dan Ibu juga. Dalam situasi wabah yang genting seperti
ini, wajarkan aku sebagai dokter sibuk, bu. Sudah pasti seharusnya ibu paham itu! Balasku memulai
perdebatan.
“Tapi bisakan kamu pulang tidak sampai larut malam setiap hari? Rumah sakit ini besar,
Mit. Dokter bukan hanya kamu saja, kan? Jadi apa lagi alasan untuk tidak bisa pulang lebih awal,
heh?” Balas nenek tua itu sambil mengangkat intonasi suara.

“Cukup, bu. Cukup! Sekarang Dila sakit bu. Bukan waktunya kita berdebat seperti ini.”
Jawabku menyudahi perdebatan.

Ruangan lengang. Tak terdengar suara apapun dari luar sini. Cklek!!! Pintu buram tadi
terbuka perlahan. Dokter berkacamata berdiri disana. Aku dan ibu spontan mendekatinya, berebut
tanya tentang keadaan Dila.

“Maaf, bu. Pendarahan Dila parah. Mungkin karena ia terlambat membawanya kemari. Tapi
kami masih memiliki satu solusi untuk mengatasi hal itu. Solusinya adalah dengan melakukan
donor darah.” Tukas dokter itu dengan suara pelannya.

Aku terdiam sejenak. Saling bertatapan dengan ibu.

“Saya saja dok! Kebetulan darah saya golongannya A sama seperti Dila.” Tak sengaja
kalimat yang sama keluar dari mulut kami berdua. Membuat dokter di depan kami kebingungan.

“Sudah begini saja. Ibu rundingkan saja baik-baik dulu. Hasilnya beritahu saya lima menit
lagi,” dokter itu meninggalkan kami berdua begitu saja.

Aku bukan orang yang suka berdebat. Jadi sekarang aku akan mencoba berbicara baik-baik
saja dengan ibu, sebelum semuanya akan menjadi lebih rumit.

“Bu, biar Mita saja ya? Nanti siapa yang nemenin Dila dirumah? Lagipula donor darah ini
berpengaruh pada kesehatan ibu nantinya.” Ucapku pelan tersenyum sambil memegang pundaknya.

Lengang….

Ibu menganggukkan dagu keriputnya. Mengalah. Mungkin kali ini dia sadar akan
ucapannya tadi. Aku melihat itu sangat bersyukur.

“Terimakasih, bu” Itulah kalimat terakhirku sebelum memasuki ruangan. Aku beranjak
pergi kedepan pintu buram, mengetuknya pelan.

***

Aku sudah terbaring di samping Dila. D iatas kasur putih seperti biasanya. Selang mungil
sudah terlebih dahulu melekat di tanganku. Dokter sudah mengatakannya tadi. Aku akan
mengalami anemia. Itulah penyebab kepalaku pusing dan hampir pingsan. Dan kabar buruknya
adalah donor darah ini membuat anemiaku semakin parah. Dan Dila perlahan hilang dari
pandanganku.

***

Mata Dila berkedip, terbuka sipit menengak-nengok. Aku dan ibu sudah lebih dulu di
sampingnya. Menunggu dari tadi. Kata dokter Dila bisa segera pulang sore ini. Jadi tak perlu lagi
aku tidur menjaganya semalaman. Kami mulai berkemas. Meninggalkan ruangan membosankan ini.
***

Jalanan lengang. Tak nampak lalu lalangnya kendaraan. Aku hanya diam menyetir.
Menikmati jalan. Seolah-olah ujian kali ini kulewati begitu saja. Lega rasanya.

“Maaf ya Mit. Kalau ibu semena-mena waktu itu. Menyalahkanmu begitu saja. Padahal
sepenuhnya itu juga salah ibu yang lalai menjaga Dila.” Ujar ibu tiba-tiba mencomot kata-kata dari
langit sore.

“Nggak papa, bu. Mita paham.” Setidaknya hanya itu jawabanku, tidak terlalu panjang.

Kuinjak pedal rem pelan. Membuat berhenti roda mobil di atas halaman rumah yang lama
kutinggal itu. Nenek dan Dila lebih dulu masuk rumah cekikikan bercanda, sudah akur. Aku
menyusul mereka ingin menutup pintu. Tanganku terhenti melihat seorang anak yang tidak asing
dan kedua orangtuanya.

“Bagus,” gumamku sadar bahwa itu adalah Bagus. Anak kecil yang kemarin bersamaku di
ruang UGD. Aku ingat betul jawabannya saat kutanya dimamna orangtuanya. “Yatim Piatu”. Aku
membungkam mulutku saat itu. Iba.

Untuk dilema hari ini aku memilih merelakan separuhnya. Memang terkadang tuhan
menakdirkan sesuatu tak sejalan dengan yang kita inginkan. Jadi, tabah dan menerima, akan cukup
membalas itu semua. Aku tahu kabar baiknya. Jadwalku bekerja hanya separuh hari saja. Tengah
hari aku bisa pulang menemani Dila dan ibu. Menyenangkan. Itu semua pun karena aku tak boleh
banyak atau terlalu lama bekerja. Takutnya anemiaku kambuh.

Tentang hari ini, sebut saja pelajaran. Bahwa skenario tuhan adalah takdir terbaik tuk
hambanya.

Oleh:

Alif Muhammad Iqbal

4A - Kalimantan

Anda mungkin juga menyukai