Anda di halaman 1dari 12

Buku saku panduan merdeka belajar

A. Merdeka belajar
Arti kata “Merdeka” dan konsep “Belajar” itu sendiri. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI), kata Merdeka memiliki tiga pengertian: (1) bebas (dari perhambatan,
penjajahan dan sebagainya), berdiri sendiri; (2) tidak terkena atau lepas dari tuntutan; (3) tidak
terikat, tidak oleh tergantung kepada orang atau pihak tertentu.
Merdeka Belajar adalah program kebijakan baru Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia (Kemendikbud RI) yang dicanangkan oleh Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan RI Kabinet Indonesia Maju, Nadiem Anwar Makarim. Esensi kemerdekaan berpikir,
menurut Nadiem, harus didahului oleh para guru sebelum mereka mengajarkannya pada siswa-
siswi. Nadiem menyebut, dalam kompetensi guru di level apa pun, tanpa ada proses
penerjemahan dari kompetensi dasar dan kurikulum yang ada, maka tidak akan pernah ada
pembelajaran yang terjadi.
Pada tahun mendatang, sistem pengajaran juga akan berubah dari yang awalnya bernuansa di
dalam kelas menjadi di luar kelas. Nuansa pembelajaran akan lebih nyaman, karena murid dapat
berdiskusi lebih dengan guru, belajar dengan outing class, dan tidak hanya mendengarkan
penjelasan guru, tetapi lebih membentuk karakter peserta didik yang berani, mandiri, cerdik
dalam bergaul, beradab, sopan, berkompetensi, dan tidak hanya mengandalkan sistem ranking
yang menurut beberapa survei hanya meresahkan anak dan orang tua saja, karena sebenarnya
setiap anak memiliki bakat dan kecerdasannya dalam bidang masing-masing. Nantinya, akan
terbentuk para pelajar yang siap kerja dan kompeten, serta berbudi luhur di lingkungan
masyarakat.
Adapun konsep “Belajar” menurut Sagala (2006), dapat dipahami sebagai usaha atau
berlatih supaya mendapatkan suatu kepandaian. Ditambahkan pula menurut Sudjana (2013),
belajar bukan semata kegiatan menghafal dan bukan mengingat. Belajar adalah; (1) suatu proses
yang ditandai dengan adanya perubahan pada diri seseorang, dapat ditunjukkan seperti berubah
pengetahuannya, pemahamannya, sikap dan tingkah lakunya, keterampilannya, kecakapan, dan
kemampuannya, daya reaksinya, daya penerimaannya dan lain-lain aspek yang ada ada individu;
(2) belajar adalah proses aktif, proses berbuat melalui berbagai pengalaman; (3) belajar adalah
proses mereaksi terhadap semua situasi yang ada di sekitar individu; (4) Belajar adalah proses
yang diarahkan kepada tujuan; dan (5) Belajar adalah proses melihat, mengamati, memahami
sesuatu.
Jadi apabila kita berbicara tentang belajar, maka prinsipnya berbicara bagaimana mengubah
tingkah laku seseorang. Berdasarkan kajian teori tersebut diatas maka konsep Merdeka dan
Belajar menurut hemat penulis dapat dipersepsikan sebagai upaya untuk menciptakan suatu
lingkungan belajar yang bebas untuk berekspresi, bebas dari berbagai hambatan terutama
tekanan psikologis. Bagi guru dengan memiliki kebebasan tersebut lebih fokus untuk
memaksimalkan pada pembelajaran guna mencapai tujuan (goal oriented) pendidikan nasional,
namun tetap dalam rambu kaidah kurikulum.
Bagi siswa bebas untuk berekspresi selama menempuh proses pembelajaran di sekolah, namun
tetap mengikuti kaidah aturan di sekolah. Siswa bisa lebih mandiri, bisa lebih banyak belajar
untuk mendapatkan suatu kepandaian, dan hasil dari proses pembelajaran tersebut siswa
berubah secara pengetahuan, pemahaman, sikap/karakter, tingkah laku, keterampilan, dan daya
reaksinya, sejalan dengan apa yang diamanatkan dalam tujuan UU Sisdiknas Tahun 2003, yakni;
untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.
Hal lain yang menariknya lagi bahwa semangat Program Merdeka Belajar ternyata jika
dihubungkan dengan gagasan pemikiran Bapak Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara
menunjukkan adanya benang merah keterkaitannya, antara lain: (1) diantara salah satu dari lima
dasar pendidikan mengajarkan untuk menjunjung tinggi kemerdekaan; (2) kemerdekaan diri
harus diartikan swadisiplin atas dasar nilai hidup yang tinggi, baik hidup sebagai individu maupun
sebagai anggota masyarakat. Kemerdekaan harus juga menjadi dasar untuk mengembangkan
pribadi yang kuat dan selaras dengan masyarakat (dalam Afifuddin, 2007); dan (3)
Implementasinya dalam hal pendidikan dan pengajaran, bahwa pengaruh pengajaran itu
umumnya memerdekakan manusia atas hidupnya lahir, sedangkan merdekanya hidup batin
terdapat dari pendidikan (https://www.finansialku.com/hari-pendidikan-nasional-ki-hajar-
dewantara/). Dengan demikian ternyata banyak hal tentang dasar-dasar pendidikan yang
diajarkan beliau masih relevan dengan kondisi kekinian termasuk konsep Merdeka Belajar.
Program Merdeka Belajar menurut Mendikbud akan menjadi arah pembelajaran ke depan
yang fokus pada meningkatkan kualitas sumber daya manusia, sebagaimana arahan bapak
presiden dan wakil presiden (dikutip dari situs web kemendikbud.go.id, Rabu, 11/12). Selanjutnya
dijelaskan oleh Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Masyarakat Ade Erlangga, Merdeka Belajar
merupakan permulaan dari gagasan untuk memperbaiki sistem pendidikan nasional yang
terkesan monoton.
Merdeka Belajar menjadi salah satu program untuk menciptakan suasana belajar di sekolah
yang bahagia suasana yang happy, bahagia bagi peserta didik maupun para guru. Makanya tag-
nya merdeka belajar. Adapun yang melatarbelakangi diantaranya banyak keluhan para orangtua
pada sistem pendidikan nasional yang berlaku selama ini. Salah satunya ialah keluhan soal
banyaknya siswa yang dipatok dengan nilai-nilai tertentu
(https://mediaindonesia.com/read/detail/278427).
Ditambahkan pula bahwa program Merdeka Belajar merupakan bentuk penyesuaian
kebijakan untuk mengembalikan esensi dari asesmen yang semakin dilupakan. "Konsepnya,
mengembalikan kepada esensi undang-undang kita untuk memberikan kemerdekaan sekolah
menginterpretasi kompetensi-kompetensi dasar kurikulum, menjadi penilaian mereka sendiri,
seperti disampaikan Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan (Dirjen GTK) Kemendikbud Supriano
(https://www.alinea.id/nasional/merdeka-belajar).

Program pendidikan “Merdeka Belajar” meliputi empat pokok kebijakan, antara lain: 1) Ujian
Sekolah Berstandar Nasional (USBN); 2) Ujian Nasional (UN); 3) Rencana Pelaksanaan
Pembelajaan (RPP), dan 4) Peraturan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) zonasi. Bila dicermati
dari isi pokok kebijakan merdeka belajar jelas lebih difokuskan pada jenjang pendidikan dasar dan
menengah, meskipun pada perkembangan selanjutnya berdimensi juga ke jenjang pendidikan
tinggi (Dikti) melalui program “Kampus Merdeka”.
Pastinya program “Merdeka Belajar” bukanlah sebuah kebijakan yang secara tiba-tiba
muncul, melainkan melalui serangkaian proses yang panjang dan matang, setelah beberapa
waktu lalu pasca dilantik menjadi Mendikbud banyak melakukan kajian komprehensif dengan
mengundang dan mendatangi para pakar pendidikan, pengawas, kepala sekolah, guru-guru,
organisasi profesi guru dan lain sebagainya, untuk mendengar berbagai masukan terkait
permasalahan praktik pendidikan. Lebih jelasnya lagi keempat prinsip merdeka belajar tersebut
diuraian sebagai berikut.
Pertama; USBN 2020. Berdasarkan Permendikbud Nomor 43 Tahun 2019, tentang
Penyelenggaraan Ujian yang Diselengarakan Satuan Pendidikan dan Ujian Nasional, khususnya
pada Pasal 2, ayat 1; menyatakan bahwa ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan
merupakan penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan yang bertujuan untuk menilai
pencapaian standar kompetensi lulusan untuk semua mata pelajaran.
Selanjutnya dijelaskan pada Pasal 5, ayat 1, bahwa; bentuk ujian yang diselenggarakan oleh
Satuan Pendidikan berupa portofolio, penugasan, tes tertulis, atau bentuk kegiatan lain yang
ditetapkan Satuan Pendidikan sesuai dengan kompetensi yang diukur berdasarkan Standar
Nasional Pendidikan. Ditambahkan pula pada penjelasan Pasal 6, ayat 2, bahwa; untuk kelulusan
peserta didik ditetapkan oleh satuan pendidikan/program pendidikan yang bersangkungan.
Dengan demikian jika melihat isi Permendikbud tersebut menunjukkan, bahwa Guru dan sekolah
lebih merdeka untuk menilai hasil belajar siswa. Kedua; UN adalah kegiatan pengukuran capaian
kompetensi lulusan pada mata pelajaran tertentu secara nasional dengan mengacu pada standar
kompetensi lulusan. Merupakan penilaian hasil belajar oleh pemerintah pusat yang bertujuan
untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu
(Permendikbud No. 43 Tahun 2019). Terkait untuk pelaksanaan UN tahun 2020, sebagaimana
disampaikan
Mendikbud merupakan kegiatan UN yang terakhir kalinya, selanjutnya ditahun 2021
mendatang UN akan digantikan dengan istilah lain yaitu Asesmen Kompetensi Minimun dan
Survey Karakter. Asesmen dimaksudkan untuk mengukur kemampuan peserta didik untuk
bernalar menggunakan bahasa dan literasi, kemampuan bernalar menggunakan matematika atau
numerasi, dan penguatan pendidikan karakter. Adapun untuk teknis pelaksanaan ujian tersebut
akan dilakukan ditengah jenjang sekolah.
Misalnya di kelas 4, 8, 11, dengan maksud dapat mendorong guru dan sekolah untuk
memetakan kondisi pembelajaran, serta mengevaluasi sehingga dapat memperbiki mutu
pembelajaran. Dengan kata lain, agar bisa diperbaiki kalau ada hal yang belum tercapai. Sebagai
catatan hasil ujian ini tidak digunakan sebagai tolok ukur seleksi siswa kejenjang berikutnya.
Adapun untuk standarisasi ujian, arah kebijakan ini telah mengacu pada level internasional,
mengikuti tolok ukur penilain yang termuat dalam Programme for International Student
Assessment (PISA) dan Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS), tetapi
penuh dengan kearifan lokal (Media Indonesia, 12/12/2019).
Untuk kompetensi PISA lebih difokuskan pada penilaian kemampuan membaca, matematika,
dan sains, yang diberlakukan pada negara-negara yang tergabung dalam Organization for
Economic Cooperation and Development (OECD), sedangkan untuk kompetensi TIMSS lebih
menekankan pada penilaian kemampuan matematika, dan sains, sebagai indikator kualitas
pendidikan, yang tergabung dalam wadah International Association for the Evaluation of
Educational Achievement, berpusat di Boston, Amerika Serikat (Koran Tempo, 12/12/2019).
Terkait Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter, dimaksudkan supaya setiap
sekolah bisa menentukan model pembelajaran yang lebih cocok untuk murid-murid, daerah, dan
kebutuhan pembelajaran mereka, serta Asesmen Kompetensi Minimum tidak sekaku UN, seperti
yang disampaikan Dirjen GTK Supriano (https://www.alinea.id/nasional/merdeka-belajar).
Selanjutnya untuk aspek kognitif Asessmen Kompetensi Minimum, menurut Mendikbud
materinya dibagi dalam dua bagian: (1) Literasi; bukan hanya kemampuan untuk membaca, tapi
juga kemampuan menganalisa suatu bacaan, kemampuan memahami konsep di balik tulisan
tersebut; (2) Numerasi; berupa kemampuan menganalisa, menggunakan angka-angka.
Jadi ini bukan berdasarkan mata pelajaran lagi, bukan penguasaan konten, atau materi.
Namun ini didasarkan kepada kompetensi dasar yang dibutuhkan murid-murid untuk bisa belajar,
apapun mata pelajarannya (Media Indonesia, 12/12/2019).
Ketiga; Dalam hal RPP, berdasarkan Surat Edaran Mendikbud Nomor 14 Tahun 2019, tentang
Penyederhanaan RPP, isinya meliputi: (1) penyusunan RPP dilakukan dengan prinsip efisien,
efektif, dan berorientasi pada siswa; (2) Dari 13 komponen RPP yang tertuang dalam
Permendikbud Nomor 22 Tahun 2016, yang menjadi komponen inti adalah tujuan pembelajaran,
langkah-langkah pembelajaran, dan penilaian pembelajaran (assesment) yang wajib dilaksanakan
oleh guru, sedangkan sisanya hanya sebagai pelengkap; dan (3) Sekolah, Kelompok Guru Mata
Pelajaran dalam sekolah, Kelompok Kerja Guru/Musyawarah Guru Mata Pelajaran (KKG/MGMP)
dan individu guru secara bebas dapat memilih, membuat, menggunakan, dan mengembangkan
format RPP secara mandiri untuk sebesar-besarnya keberhasilan belajar siswa. Adapun RPP yang
telah dibuat dapat digunakan dan dapat disesuaikan dengan ketentuan sebagaaimana maksud
pada angka 1, 2, dan 3.
Bila dicermati dari keseluruhan isi surat edaran mendikbud tersebut, dapat dimaknai bahwa
penyusunannya lebih disederhanakan dengan memangkas beberapa komponen. Guru diberikan
keleluasaan dalam proses pembelajaran untuk memilih, membuat, menggunakan, dan
mengembangkan format RPP, sebab gurulah yang mengetahui kebutuhan siswa didiknya dan
kebutuhan khusus yang diperlukan oleh siswa di daerahnya, karena karakter dan kebutuhan siswa
di masing-masing daerah bisa berbeda. Untuk penulisan RPP-nya supaya lebih efisiensi dan
efektif, cukup dibuat ringkas bisa dalam satu halaman, sehingga guru tidak terbebani oleh
masalah administrasi yang rijit. Diharapkan melalui kebebasan menyusun RPP kepada guru, siswa
akan lebih banyak berinteraksi secara aktif, dinamis, dengan model pembelajaran yang tidak
kaku.
Keempat; Untuk PPDB, berdasarkan Permendikbud baru Nomor 44 Tahun 2019 tentang PPDB
2020, sebagaimana dinyatakan pada Pasal 11, dalam persentase pembagiannya meliputi: (1)
untuk jalur zonasi paling sedikit 50 persen; (2) jalur afirmasi paling sedikit 15 persen; (3) jalur
perpindahan tugas orang tua/wali lima persen; dan (4) jalur prestasi (sisa kuota dari pelaksanaan
jalur zonasi, afirmasi dan perpindahan orang tua /wali (0-30 persen). Jelas ini berbeda dengan
kebijakan PPDB pada tahun-tahun sebelumnya, setidaknya terdapat dua hal penting: (1) kuota
penerimaan siswa baru lewat jalur berprestasi, semula 15 persen, sekarang menjadi 30 persen;
dan (2) adanya satu penambahan baru jalur PPDB, yaitu melalui jalur afirmasi, yang ditujukan
terutama bagi mereka yang memegang Kartu Indonesia Pintar (KIP).
Dengan demikian untuk PPDB 2020 masih tetap menggunakan sistem zonasi, akan tetapi
dalam pelaksanaannya lebih bersifat fleksibel, dengan maksud agar dapat mengakomodir
ketimpangan akses dan kualitas di berbagai daerah. Terpenting dalam prorporsi finalisasinya,
daerah berwenang untuk menentukan dan menetapkan wilayah zonasinya. Secara umum sistem
zonasi dalam PPDB itu sudah baik, karena dapat mendorong hilangnya diskriminasi bagi anggota
masyarakat untuk bersekolah di sekolah-sekolah terbaik.
B. Merdeka belajar - kampus merdeka
Kampus Merdeka, merupakan konsep baru merdeka belajar di perguruan tinggi yang dirilis
oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim. ... Dalam konsep
Kampus Merdekanya, Nadiem bahkan memberikan keluasaan bagi mahasiswa dengan jatah dua
semester untuk kegiatan di luar kelas.
Kebijakan Merdeka Belajar - Kampus Merdeka ini sesuai dengan Permendikbud Nomor 3
Tahun 2020 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi, pada Pasal 18 disebutkan bahwa
pemenuhan masa dan beban belajar bagi mahasiswa program sarjana atau sarjana terapan dapat
dilaksanakan: 1) mengikuti seluruh proses pembelajaran dalam program studi pada perguruan
tinggi sesuai masa dan beban belajar; dan 2) mengikuti proses pembelajaran di dalam program
studi untuk memenuhi sebagian masa dan beban belajar dan sisanya mengikuti proses
pembelajaran di luar program studi.
Merdeka belajar adalah istilah baru di dunia pendidikan, Merdeka Belajar dimaksudkan untuk
memberikan kebebasan kepada mahasiswa untuk memilih bidang sesuai yang mereka butuhkan.
Dengan demikian diharapkan akan tercipta kultur belajar yang inovatif, tidak mengekang, dan
sesuai dengan kebutuhan mahasiswa. Mahasiswa diberikan kesempatan maksimal 40 sks untuk
belajar dan berlatih di luar kampus, ditambah lagi 20 sks di luar prodi.
Tentu hal ini sebagai upaya agar kurikulum kampus lebih dekat dan sesuai dengan standard
dan kebutuhan user. Artinya, mahasiswa tidak hanya unggul dari sisi akademis melainkan juga
terampil dari sisi keterampilan yang diperlukan pasar. Caranya adalah dengan menambah porsi
vokasional melalui blended kurikulum akademik-vokational. Ini mirip dengan konsep link and
match yang sangat popular di tahun 90-an era Menteri Pendidikan Wardiman Djoyonegoro
(1992-1998).
Namun yang menjadi pembeda adalah pada keluasan cakupan kegiatan pembelajaran luar
kampus yang dapat direkognisi sebagai kegiatan pembelejaran dan kebebasan mahasiswa dalam
memilih bidang kegiatan yang diinginkan. Merdeka Beajar ala mas Menteri Nadiem menawarkan
minimal 8 kegiatan luar kampus sebagai berikut:
1. Magang/praktik kerja
Nantinya, mahasiswa bisa ikut kegiatan magang di sebuah perusahaan, yayasan nirlaba,
organisasi multilateral, institusi pemerintah, maupun perusahaan rintisan (startup).

Selama magang, mahasiswa itu wajib dibimbing oleh seorang dosen atau pengajar. Tujuannya
agar teori di kampus bisa diterapkan di tempat magang tersebut.
2. Proyek di desa
Ada satu hal yang menarik disini. Sebab, kegiatan ini hampir sama dengan Kuliah Kerja Nyata
(KKN). Hanya saja, mahasiswa akan dilibatkan pada proyek yang ada di desa.
Proyek sosial ini untuk membantu masyarakat di pedesaan atau daerah terpencil dalam
membangun ekonomi rakyat, infrastruktur, dan lainnya.
3. Mengajar di sekolah
Selain mendapat ilmu dari kampus, mahasiswa dituntut untuk melakukan kegiatan mengajar di
sekolah. Ini bisa dilakukan di SD, SMP, atau SMA.
Kegiatan dilakukan selama beberapa bulan dan sekolahnya bisa di kota atau di daerah terpencil.
Nantinya, mahasiswa yang mengambil kegiatan di luar kampus dari program Kampus Merdeka ini
akan difasilitasi langsung oleh Kemendikbud.
4. Pertukaran pelajar
Salah satu kegiatan di luar kampus ini pasti banyak diminati mahasiswa. Sebab, mahasiswa
mengambil kelas atau semester di perguruan tinggi luar negeri maupun dalam negeri.
Jadi, mahasiswa bisa mendapat tambahan ilmu dan suasana baru di kampus lain. Namun, semua
berdasarkan perjanjian kerjasama yang sudah diadakan Pemerintah.
Nilai dan SKS yang diambil di PT luar akan disetarakan oleh PT masing-masing.
5. Penelitian/riset
Untuk kegiatan riset akademik, baik sains maupun sosial humaniora, dilakukan di bawah
pengawasan dosen atau peneliti. Kegiatan ini dapat dilakukan untuk lembaga riset seperti
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) atau Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
6. Kegiatan wirausaha
Mahasiswa yang mengembangkan kegiatan kewirausahaan secara mandiri harus dibuktikan
dengan penjelasan/ proposal kegiatan kewirausahaan dan bukti transaksi konsumen atau slip gaji
pegawai. Bagi mahasiswa yang ikut kegiatan ini wajib dibimbing oleh seorang dosen/pengajar.
7. Studi/proyek independen
Mahasiswa dapat mengembangkan sebuah proyek berdasarkan topik sosial khusus dan dapat
dikerjakan bersama-sama dengan mahasiswa lain. Mahasiswa yang ikut kegiatan ini juga wajib
dibimbing oleh seorang dosen/pengajar.
8. Proyek kemanusiaan
Bagi yang suka kegiatan sosial, maka ikut proyek kemanusiaan bisa diikuti mahasiswa. Kegiatan
sosial untuk sebuah yayasan atau organisasi kemanusiaan harus yang disetujui perguruan tinggi,
baik di dalam maupun luar negeri. Untuk contoh organisasi formal yang dapat disetujui Rektor
ialah Palang Merah Indonesia, Mercy Corps, dan lain-lain.
Semua kegiatan di Kampus Merdeka wajib dibimbing oleh seorang dosen / pengajar. Kegiatan
yang berada di luar Perguruan Tinggi asal (misalnya magang atau proyek di desa) dapat diambil
sebanyak dua semester atau setara dengan 40 sks.
Pada peluncuran paket pendidikan kali ini, ada empat kebijakan pendidikan yang dikeluarkan,
yaitu kemudahan dalam membuka program studi baru, akreditasi Perguruan tinggi, perubahan
status menjadi Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum, dan belajar di perguruan tinggi (hak
belajar tiga semester di luar program studi). Paket “Kampus Merdeka” ini tidak berlaku untuk
bidang pendidikan dan kesehatan.
Dengan kebijakan “Kampus Merdeka” ini kampus link and mach dengan dunia yang nyata.
Kebijakan ini sekaligus menjawab kritik selama ini terdengar bahwa kampus hanya di jejali
dengan teori-teori dan tidak link and mach dengan dunia luar kampus atau dengan istilah
perguruan tinggi seolah hanya menjadi sebuah menara gading, hanya indah dilihat.
Pada empat paket kebijakan tersebut, Nadiem menekankan bahwa inti dari kampus adalah
mahasiswa. Segala kegiatan yang dilakukan di kampus diarahkan untuk menjadikan mahasiswa
sebagai fokus utama di perguruan tinggi. Oleh karena itu dalam peluncuran paket kebijakan
untuk perguruan tinggi tersebut, paket “Hak untuk belajar tiga semester atau setara 60 SKS di
luar program studi” merupakan paket favorit bagi menteri yang lebih suka disebut dengan mas
menteri ini. Selanjutnya Nadiem mengatakan bahwa paket keempat ini merupakan kebijakan
yang paling penting karena dampaknya untuk negara dapat dilaksanakan secara cepat, bersifat riil
dan masif.
Dasar pemikiran dari paket “hak tiga semester belajar di luar prodi” bagi mahasiswa adalah
banyak dari lulusan suatu prodi yang bekerja tidak dalam bidang rumpun ilmunya, misalnya
lulusan pertanian bekerja di bank, sosiologi menjadi presenter, dokter jadi bintang film. Selain itu
zaman sekarang, suatu profesi yang memerlukan satu rumpun ilmu saja hampir tidak ada.
Semua profesi butuh kombinasi beberapa ilmu. Insinyur yang baik memerlukan ilmu desain,
pengacara yang baik harus mengerti akutansi, bagaimana membuat perjanjian pembangunan
sebuah gedung bila lulusan hukum tidak mengerti tentang seluk beluk konsep-konsep penting
dalam membangun suatu gedung, sutradara yang baik perlu mengetahui tentang pemasaran dan
hukum serta kebiasaan masyarakat dalam menonton film, begitu juga para sosiolog perlu
keterampilan membuat presentasi yang baik dan kecakapan berbicara dihadapan orang banyak
(public speaking).
Kebijakan Tiga Semester di Luar Prodi, Paket Kebijakan Kampus merdeka sangat ditunggu banyak
kalangan. Carut marut dunia pendidikan tinggi Indonesia seolah mendapat jawaban manakala
menterinya di jabat oleh orang yang selama ini tidak bergelut di dunia pendidikan. Langkah yang
diambil seolah menyiratkan keinginan pihak luar kampus terhadap apa yang diinginkan terjadi di
kampus.
Dengan kebijakannnya ini Menteri Nadiem mencoba mengubah pendidikan tinggi yang selama ini
dirasakannya kurang berperan dalam dunia nyata. Perguruan tinggi Indoesia tidak menghasilkan
SDM yang siap pakai. Setelah keluar dari kampus, para mahasiswa harus diberikan banyak
pelatihan oleh institusi penerimanya agar mach dengan kebutuhannya. Mahasiswa harus belajar
mandiri kembali dalam menghadapi dunia kerjanya. Hal ini tentu menjadi beban bagi kedua
pihak.

Paket hak untuk belajar tiga semester di luar prodi, dibagi dalam dua jenis yaitu : satu semester
atau setara 20 SKS di dalam PT yang sama, dan dua semester atau setara 40 SKS di luar PT yang
bersangkutan. Karena semangat dari kebijakan ini, agar mahasiswa mendapatkan keilmuan di
luar prodinya seperti mahasiswa hukum mengetahui akutansi, sosiologi memahami presentasi
yang baik, tentu arah dari kebijakan ini tidak tepat diterapkan pada mata kuliah umum atau mata
kuliah universitas seperti Pancasila, Kewarganegaraan, Agama, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris
dan mata kuliah dasar kependidikan. Ini artinya mahasiswa prodi tertentu akan mengambil
matakuliah inti di prodi lain.
Di tengah banyaknya keluhan di mana prodi-prodi kekurangan dosen, kebijakan ini akan
menyulitkan dalam pengaplikasiannya. Setiap dosen telah memiliki mata kuliah tertentu yang
diambil mahasiswa prodinya. Ruang kuliah di perguruan tinggi rata-rata disetting untuk 40 sampai
45 mahasiswa. Kalaupun ada ruang kuliah yang berkapasitas lebih besar, tentu juga tidak efektif
dalam proses pembelajaran dan hal ini juga tidak akan mencapai tujuan dari apa yang diharapkan
dari kebijakan “kampus merdeka”. Alih-alih memberikan perspekftif ilmu yang berbeda bagi
mahasiswa, kebijakan ini justru akan kontraproduktif, karena mengganggu perkuliahan
mahasiswa prodi asal.
Walaupun paket “hak tiga semester di luar prodi” sifatnya pilihan bukan kewajiban, namun
dalam realisasinya perlu di dipikirkan secara matang. Permasalahan yang timbul dengan
diterapkannya ketentuan ini antara lain: pertama, banyak dari mata kuliah yang ada di tingkat
prodi yang pembelajarannya berkesinambungan. Misalnya, untuk mengambil hukum acara
pidana, mahasiswa harus terlebih dahulu mengambil hukum pidana, sedangkan kedua mata
kuliah tersebut sering kali ada pada semester yang berbeda.
Kedua, akan terjadi penumpukan peminatan mahasiswa pada mata kuliah tertentu, sedangkan
dosen pengajar di tingkat prodi terbatas. Ketiga, perlu di antisipasi kecenderungan sebagian kecil
mahasiswa untuk mengambil mata kuliah yang mudah agar cepat lulus.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, perlu di pertimbangkan menghimpun minat
mahasiswa terlebih dahulu di tingkat prodi, kemudian prodi memfasilitasi penyediaan dosen
pengampu yang bisa diambil dari dalam universitas sendiri maupun praktisi. Artinya administrasi
memilih SKS tetap dilakukan di prodi, bukan diserahkan pada mekanisme kemerdekaan
mahasiswa untuk memilih prodi yang diinginkannya. Apabila minat mahasiswa ternyata beragam
sehingga tidak dimungkinkan untuk membuka kelas sendiri, ini baru bisa di bawa ketingkat
universitas untuk dihimpun dari berbagai prodi, dan selanjutnya menjadi tanggung jawab
universitas untuk memfasilitasinya.
Kata semester juga perlu di kritisi. Semester selama ini di artikan satuan masa studi selama 6
bulan (dalam praktek empat bulan). Artinya dalam suatu masa studi tertentu mahasiswa tersebut
tidak mengambil satupun mata kuliah di prodi tersebut. Oleh karena itu Jika dilihat dari dasar
pemikiran paket ke empat dari kampus merdeka, sebaiknya di mungkinkan bukan dalam satu
semester, tapi dasarnya adalah SKS. Artinya 20 SKS bisa diambil oleh mahasiswa antar prodi
dalam satu universitas. Mereka bisa saja mengambilnya di semester berapapun dengan hitungan
maksimal 20 SKS. Dua semester atau setara 40 SKS di luar Perguruan Tinggi
Dalam penjelasan ”Kampus Merdeka” disebutkan bahwa 40 SKS di sini dapat dilakukan dalam
bentuk : magang/praktik Kerja, proyek di desa, mengajar di sekolah, pertukaran pelajar,
penelitian / riset kegiatan wirausaha, studi/ proyek independen, dan proyek kemanusiaan.
Terlihat bahwa semangat dari aturan ini adalah agar kegiatan PT link dan mach dengan dunia
luar.
Mahasiswa tidak di jejali dengan teori-teori di kelas, namun langsung praktek di dunia nyata.
Dengan kebijakan ini Mas menteri menginginkan dunia baru sistem pendidikan, dimana
pendidikan tinggi tidak lagi hanya tanggung jawab perguruan tinggi, namun hasil gotong royong
seluruh aspek masyarakat. Mahasiswa bisa dilatih di perusahaan karena pada umumnya di setiap
perusahaan yang besar ada manajemen training. Pembebasan sks akan memaksakan perbauran
ini.
Apa yang di uraikan di atas bukanlah hal yang baru dalam dunia pendidikan tinggi Indonesia.
Praktik magang sudah ada hampir disetiap prodi. Kesulitan yang ada selama ini adalah sulitnya
mahasiswa untuk mendapatkan tempat magang di perusahaan-perusahaan terbaik tanah air.
Kalau pun ada, hanya perguruan tinggi tertentu dan ternama saja yang bisa masuk ke pihak
industri dan perusahaan yang mapan. Disisi lain, praktik magang untutk universitas yang jauh dari
pusat industri sering kali menyulitkan mahasiswa.
Pada praktiknya pilihan tempat magang berkorelasi dengan biaya yang akan dikeluarkan.
Mahasiswa di Jakarta lebih memilih tempat magang di Jakarta dibandingkan industri yang ada di
Bekasi atau Karawang, agar tidak menambah beban tempat tinggal dan transportasi. Selain itu
dengan adanya kebijakan ini psikologis mahasiswa juga perlu mendapat perhatian. Dengan
kondisi di mana sebagian teman sekelasnya magang, sebagian yang tidak mengikuti magang akan
berkurang semangat belajarnya di kelas. Secara sosial pun dikhawatirkan muncul stikma-stikma
tertentu bagi mereka yang tidak bisa mengikuti pemagangan.
Kondisi yang hampir sama juga terjadi untuk kegiatan mengajar di sekolah, di mana tidak
semua sekolah dapat menerima mahasiswa untuk mengajar. Dengan mahasiswa dari prodi
kependidikan saja, sekolah-sekolah kewalahan mengatur pola belajar mengajar di sekolah,
sekolah-sekolah yang jauh tidak diminati oleh mahasiswa dan lagi untuk kegiatan di sekolah
perlu kontrol dari pihak kampus karena ada kekhawatirkan surat keterangan melaksanakan
kegaitan dari sekolah mudah dikeluarkan karena adanya hubungan mahasiswa dan orang tua
mahasiswa dengan pihak sekolah.
Begitu juga dengan kegiatan kegiatan lainnya, semuanya telah dilakukan oleh pihak kampus.
Proyek di desa ada dalam mata kuliah KKN, KKL, dan nama-nama lainnya. Studi independen,
misalnya, ada dalam mata kuliah tugas akhir, penelitian dan pengabdian telah mejadi kewajiban
yang dilakukan oleh setiap dosen.
Secara umum terlihat bahwa kebijakan pendidikan yang dikeluarkan Menteri Nadiem sesuai
dengan latar belakangnya yang bergelut di dunia industri dan dunia usaha. Sementara pendidikan
tinggi pada dasarnya tidak hanya untuk menyediakan tenaga kerja tapi juga menciptakan calon
intelektual yang bisa berfikir jernih, kritis dan mendasar untuk pengembagan ilmu pengetahuan
itu sendiri. Prodi filsafat misalnya, lulusannya tidak banyak dibutuhkan di dunia kerja, namun
peminatnya setiap tahun tetap banyak. Mereka yang masuk prodi filsafat karana merasakan
adanya kebutuhan untuk mengasah kemampuan berfikir mereka agar dapat melihat persoalan
lebih mendasar. Banyak pertanyaan-pertanyaan mendasar dalam kehidupannya yang tidak bisa
mereka temukan di dunia nyata.
Kebijakan program Kampus Merdeka ini bertujuan untuk mempercepat inovasi di bidang
pendidikan. Dapat disimpulkan dari penjelasan diatas 4 poin dalam program kampus ala Nadiem
Makarim. Berikut ulasannya:
1. Kemudahan Membuka Program Studi Baru
Kebijakan pertama mengenai otonomi bagi Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Swasta (PTS)
untuk melakukan pembukaan atau pendirian program studi (prodi) baru. Otonomi ini, kata
Nadiem diberikan jika PTN atau PTS tersebut memiliki akreditasi A atau B, dan telah melakukan
kerja sama dengan organisasi dan atau universitas yang masuk dalam QS Top 100 World
Universities. "Pengecualian berlaku untuk program kesehatan dan pendidikan. Dan seluruh prodi
baru akan otomatis mendapatkan akreditasi C," paparnya.
Nadiem melanjutkan bahwa kerja sama dengan organisasi akan mencakup penyusunan
kurikulum, praktik kerja atau magang, dan penempatan kerja bagi para mahasiswa. Kemudian
Kemdikbud akan bekerja sama dengan perguruan tinggi dan mitra prodi untuk melakukan
pengawasan. "Tracer study wajib dilakukan setiap tahun. Perguruan tinggi wajib memastikan hal
ini ditetapkan," tegasnya.
2. Memudahkan Proses Akreditasi
Kebijakan Kampus Merdeka adalah mengenai program re-akreditasi yang bersifat otomatis untuk
seluruh peringkat dan bersifat sukarela bagi perguruan tinggi dan prodi yang sudah siap naik
peringkat. Kedepannya, kata Nadiem akreditasi yang sudah ditetapkan Badan Akreditasi Nasional
Perguruan Tinggi (BAN-PT) tetap berlaku selama lima tahun akan diperbaharui secara otomatis.
Nadiem mengatakan, pengajuan re-akreditasi PT maupun prodi dibatasi paling cepat dua tahun
setelah mendapatkan akreditasi yang terakhir kali. Sementara bagi PT yang terakreditasi B dan C
bisa mengajukan peningkatan akreditasi kapan pun.
"Nanti, Akreditasi A pun akan diberikan kepada perguruan tinggi yang berhasil mendapatkan
akreditasi internasional. Daftar akreditasi internasional yang diakui akan ditetapkan dengan
Keputusan Menteri," jelas Nadiem.
Kendati begitu, Nadiem menyebutkan BAN-PT akan melakukan akreditasi bila ditemukan
penurunan kualitas yang meliputi pengaduan masyarakat dengan disertai bukti yang konkret,
serta penurunan tajam jumlah mahasiswa baru yang mendaftar dan lulus dari prodi ataupun
perguruan tinggi.
3 Mempermudah Syarat Kampus Jadi PTN BH
Selanjutnya adalah kebijakan Kampus Merdeka ketiga adalah mengenai otonomi perguruan tinggi
untuk menjadi Perguruan Tinggi Berbadan Hukum (PTN-BH). Bagi PTN Satuan Kerja (Satker) dan
PTN Badan Layanan Umum (BLU) akan dipermudah untuk menjadi PTN-BH.
4. Mahasiswa Bisa Ambil SKS di Prodi Lain
Kebijakan Kampus Merdeka yakni ihwal kebebasan mahasiswa untuk mengambil mata kuliah dan
melakukan perubahan definisi Satuan Kredit Semester (SKS). Saat ini, kata Nadiem bobot SKS
pembelajaran di luar kelas begitu kecil. Di samping juga tidak mendorong mahasiswa untuk
mencari pengalaman baru, terlebih juga banyak kampus yang menunda kelulusan mahasiswa
karena mereka mengikuti pertukaran pelajar atau praktek kerja lapangan.
"Perguruan tinggi wajib memberikan hak bagi mahasiswa untuk secara sukarela, jadi
mahasiswa boleh mengambil ataupun tidak, SKS di luar kampusnya sebanyak dua semester atau
setara dengan 40 SKS. Ditambah, mahasiswa juga dapat mengambil SKS di prodi (program studi)
lain dan dalam kampusnya sebanyak satu semester dari total semester yang harus ditempuh. Ini
tidak berlaku untuk prodi kesehatan," terang Mendikbud.
Mendikbud pun mendefinisikan ulang konsep SKS. Ia menjelaskan SKS diartikan sebagai jam
kegiatan, bukan lagi jam belajar. Kegiatan di sini berarti baik belajar di kelas, magang atau praktek
kerja di industri atau organisasi, pertukaran pelajar, pengabdian masyarakat, wirausaha, riset,
studi independen, maupun kegiatan mengajar di daerah terpencil.

Proses pembelajaran dalam Kampus Merdeka merupakan salah satu perwujudan pembelajaran
yang berpusat pada mahasiswa (student centered learning) yang sangat esensial. Pembelajaran
dalam Kampus Merdeka memberikan tantangan dan kesempatan untuk pengembangan
kreativitas, kapasitas, kepribadian, dan kebutuhan mahasiswa, serta mengembangkan
kemandirian dalam mencari dan menemukan pengetahuan melalui kenyataan dan dinamika
lapangan seperti persyaratan kemampuan, permasalahan ril, interaksi sosial, kolaborasi,
manajemen diri, tuntutan kinerja, target dan pencapaiannya.
Melalui Merdeka Belajar – Kampus Merdeka diharapkan dapat menjawab tantangan Perguruan
Tinggi untuk menghasilkan lulusan sesuai perkembangan IPTEK dan tuntutan dunia usaha dan
dunia industri.

C. Landasan Hukum Program Kampus Merdeka adalah sebagai berikut.


(1) Permendikbud Nomor 3 Tahun 2020
Permendikbud Nomor 3 Tahun 2020 mengatur tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi.
(2) Permendikbud Nomor 4 Tahun 2020
Permendikbud Nomor 4 Tahun 2020 mengatur tentang Akreditasi Program Studi dan Perguruan
Tinggi.
(3) Permendikbud Nomor 5 Tahun 2020
Permendikbud Nomor 5 Tahun 2020 mengatur tentang
(4) Permendikbud Nomor 6 Tahun 2020
Permendikbud Nomor 6 Tahun 2020 mengatur tentang Penerimaan Mahasiswa Baru Program
Sarjana pada Perguruan Tinggi Negeri (PTN).
(5) Permendikbud Nomor 7 Tahun 2020
Permendikbud Nomor 5 Tahun 2020 mengatur tentang Pendirian, Perubahan, Pembubaran
Perguruan Tinggi Negeri, dan Pendirian, Perubahan, Pencabutan Izin Perguruan Tinggi Swasta.
D. Tujuan Merdeka Belajar – Kampus Merdeka
1) Mendorong proses pembelajaran di Perguruan Tinggi yang semakin otonom dan fleksibel.
2) Menciptakan kultur belajar yang inovatif, tidak mengekang, dan sesuai dengan kebutuhan
mahasiswa.

E. Bentuk Kegiatan Belajar Program Kampus Merdeka


Ada beberapa bentuk kegiatan belajar yang bisa dilakukan dalam kerangka pertukaran pelajar
dalam Program Kampus Merdeka, antara lain:
1. Pertukaran pelajar antar program studi pada perguruan tinggi yang sama
Bentuk pembelajaran yang dapat diambil mahasiswa untuk menunjang terpenuhinya capaian
pembelajaran baik yang sudah tertuang dalam struktur kurikulum program studi maupun
pengembangan kurikulum untuk memperkaya capaian pembelajaran lulusan yang dapat
berbentuk mata kuliah pilihan.
2. Mekanisme Program Studi
Menyusun atau menyesuaikan kurikulum yang memfasilitasi mahasiswa untuk mengambil mata
kuliah di program studi lain.
Menentukan dan menawarkan mata kuliah yang dapat diambil mahasiswa dari luar prodi.
Mengatur kuota peserta yang mengambil mata kuliah yang ditawarkan dalam bentuk
pembelajaran dalam Proram Studi lain pada Perguruan Tinggi yang sama.
Mengatur jumlah SKS yang dapat diambil dari prodi lain.
3. Mekanisme Mahasiswa
Mendapatkan persetujuan Dosen Pembimbing Akademik (DPA).
Mengikuti program kegiatan luar prodi sesuai dengan ketentuan pedoman akademik yang ada.
Kegiatan pembelajaran dalam Program Studi lain pada Perguruan Tinggi yang sama dapat
dilakukan secara tatap muka atau dalam jaringan (daring).
Mahasiswa Desain Produk harus mampu menguasai minimal ketiga CPL prodi tersebut, namun
memerlukan kompetensi tambahan yang dapat diambil dari prodi lain yang menunjang
kompetensi lulusan.
Oleh karena itu, mahasiswa yang bersangkutan dapat mengambil mata kuliah di program studi
akuntansi, manajemen dan komunikasi.
4. Pertukaran Pelajar dalam Program Studi yang sama pada Perguruan Tinggi yang berbeda
Bentuk Pembelajaran yang dapat diambil mahasiswa untuk memperkaya pengalaman dan
konteks keilmuan yang didapat di perguruan tinggi lain yang mempunyai kekhasan atau wahana
penunjang pembelajaran untuk mengoptimalkan CPL.
5. Kegiatan Pembelajaran
Kegiatan pembelajaran dalam Program Studi lain pada Perguruan Tinggi yang berbeda dapat
dilakukan secara tatap muka atau dalam jaringan (daring). Pembelajaran yang dilakukan secara
daring dengan ketentuan mata kuliah yang ditawarkan harus mendapat pengakuan dari
Kemdikbud. Mahasiswa Teknik Industri pada PT A harus menguasai CPL (Capaian Pembelajar
Lulusan) untuk merancang sistem/komponen, proses dan produk industri untuk memenuhi
kebutuhan dalam batasan-batasan realistis (misalnya ekonomi, lingkungan, kesehatan). Namun
memerlukan kompetensi tambahan yang dapat diambil dari prodi lain pada PT Berbeda.

Oleh karena itu, mahasiswa yang bersangkutan dapat mengambil mata kuliah Energi dan Mesin
Pertanian pada prodi Teknologi Pertanian PT B, dan mata kuliah Pemodelan Ekonomi Sumber
Daya dan Lingkungan pada prodi Ilmu Ekonomi PT C

Anda mungkin juga menyukai