Anda di halaman 1dari 3

Sejarah Piagam Jakarta

Mendirikan Indonesia yang merdeka diperlukan suatu dasar negara, untuk itu dibentuklah
BPUPKI (Badan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang
diketuai oleh Dr. K.R.T Radjiman Wedyodiningrat.

Dikutip dari e-modul Kemdikbud PPKn Paket B Tingkatan III karya Nanik Pudjowati, M.Pd.,
sidang pertama BPUPKI berlangsung pada 29-1 Juni 1945. Ahmad Syafii Maarif dalam bukunya
Islam dan Politik menuliskan Radjiman mengajukan pertanyaan tentang landasan filosofis bagi
negara yang hendak didirikan dalam sidang tersebut.

Sejumlah usulan disampaikan oleh Mr. Muhammad Yamin, Mr. Soepomo, dan Ir. Sukarno. Ki
Bagus Hadikusumo anggota BPUPKI yang juga pimpinan Muhammadiyah mengajukan Islam
sebagai dasar negara. "Usulan ini merupakan antitesis terhadap usul Sukarno-Yamin," tulis
Maarif.
Baca juga:
Ini Hasil Sidang Panitia Sembilan Tanggal 22 Juni 1945 dan Sejarahnya

Dengan munculnya usulan tersebut berarti ada dua usulan yang berbeda. Akhirnya karena tidak
ada kesepakatan, dalam akhir sidang pertama, ketua BPUPKI kemudian membentuk panitia kecil
yang disebut dengan Panitia Sembilan, karena beranggotakan sembilan orang.

Tugas dari Panitia Sembilan adalah untuk menyelidiki usul-usul mengenai perumusan dasar
negara yang akan dibahas pada sidang berikutnya. Anggota-anggota Panitia Sembilan yakni Ir.
Sukarno, Drs. Mohammad Hatta, A.A Maramis, Abikusno Tjokosujono, Abdul Kahar Muzakkir,
Agus Salim, Achmad Subardjo, Wahid Hasyim, dan Muhammad Yamin.

Pada 22 Juni 1945, panitia sembilan mengadakan sebuah rapat untuk membahas rancangan dasar
negara di rumah kediaman Ir. Sukarno, yang beralamat di Jalan Pegangsaan Timur No 56
Jakarta. Dalam rapat yang terjadi, banyak perbedaan pendapat dan paham antara para anggota
Panitia Sembilan, terutama mengenai masalah agama dan negara.

Akhirnya ada kompromi politik dari rapat tersebut yang menghasilkan sebuah naskah rancangan
pembukaan hukum dasar (pembukaan Undang-Undang dasar). "Mukadimah" merupakan kata
yang diusulkan oleh Ir. Sukarno untuk rancangan pembukaan undang-undang dasar, kemudian
Mr. Muhammad Yamin menamakannya sebagai Piagam Jakarta dikenal juga dengan istilah
Jakarta Charter.

Secara garis besar, isi Piagam Jakarta sebagai rumusan dasar negara dari hasil rapat kesepakatan
bersama pada 22 Juni 1945 adalah sebagai berikut:

1. Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya


2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Perubahan Naskah Piagam Jakarta

Naskah Piagam Jakarta tersebut selanjutnya akan dibawa ke sidang kedua BPUPKI pada 10-16
Juni 1945. Setelah sidang kedua dilaksanakan, maka tugas BPUPKI dianggap selesai kemudian
BPUPKI pun dibubarkan lalu digantikan dengan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI).

PPKI diketuai oleh Sukarno, dan Wakilnya Drs. Moh. Hatta kemudian melanjutkan tugas dari
BPUPKI mengenai rancangan hasil Undang-Undang Dasar. Walaupun sudah dirumuskan, bukan
berarti rumusan tersebut mendapatkan kesepakatan final.

Hatta dalam autobiografinya, Mohammad Hatta: Memoir (1979), menyebut seorang opsir
Angkatan Laut Jepang (Kaigun) mendatanginya setelah naskah proklamasi
dibacakan 17 Agustus 1945. Di Indonesia, Kaigun berkuasa di wilayah Indonesia timur ditambah
Kalimantan.

Opsir tersebut memberitahukan wakil-wakil Protestan dan Katolik di Indonesia timur sangat
keberatan dengan kalimat Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
Baca juga:
Usulan Dasar Negara Indonesia Merdeka Diungkapkan oleh Siapa Saja? Ini Jawabannya

Syafii Maarif dalam bukunya menyebut Sukarno sebenarnya kewalahan menghadapi Ki Bagus
yang bertahan dalam rumusan Piagam Jakarta. Sebelum sidang PPKI,
Hatta kemudian meminta Teuku Muhammad Hasan wakil Aceh dalam PPKI untuk membujuk Ki
Bagus.

Benedict Anderson dalam bukunya Revoloesi Pemoeda mengungkapkan, reputasi orang-orang


Aceh sebagai penganut Islam yang gigih punya daya tawar tinggi untuk meluluhkan Ki Bagus
untuk menerima penghapusan penyebutan Islam dalam Undang-undang Dasar 1945.

Hasan menekankan pentingnya kesatuan nasional. "Adalah sangat mutlak untuk tidak memaksa
minoritas-minoritas Kristen penting (Batak, Manado, Ambon) masuk ke dalam lingkaran
Belanda yang sedang berusaha datang kembali, " tulis Ben.

Akhirnya, dengan kompromi politik ptersebut, naskah Piagam Jakarta berubah. Kalimat
pengiring Ketuhanan dalam sila pertama dihilangkan diganti atribut Yang Maha Esa. Berikut
adalah perubahan-perubahan naskah Piagam Jakarta yang disepakati antara lain:

Kata "Mukaddimah" diganti dengan kata "Pembukaan".


Sila pertama, yang berbunyi "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya" telah diganti menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa."
Perubahan pasal 6 UUD yang berbunyi "Presiden ialah orang asli Indonesia asli dengan
beragama Islam" berubah menjadi "Presiden ialah orang Indonesia asli."
Pasal 28 UUD 1945 yang berbunyi "Negara berdasar atas Ketuhanan dengan kewajiban
menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya" diganti menjadi pasal 29 UUD 1945
dengan bunyi yang diubah menjadi "Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa."

Perbedaan antara Piagam Jakarta dengan Undang-Undang Dasar 1945

Menurut buku Modul Resmi SKB dan SKD karya Tim Psikologi Salemba, rumusan mengenai
"Ketuhanan" dalam Piagam Jakarta sejatinya belum mampu menggambarkan agama yang dianut
oleh masyarakat Indonesia.

Seperti diketahui, masyarakat Indonesia tidak hanya memeluk agama Islam saja, namun ada juga
beberapa agama lain. Atas dasar tersebut, rumusan dasar negara
dalam sila pertama kemudian diubah.

Berikut rumusan dasar negara dalam Pembukaan UUD 1945 yang telah diubah:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan .
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Anda mungkin juga menyukai