Anda di halaman 1dari 10

Nama : Hendri Aptiarmi

NPM : 2048201130
Mata Kuliah : Farmakoekonomi
Dosen Pengampu : Medi Andriani. MPharm, Sci

Analisisi Metode Cost-minimization analysis (CMA)


Penggunaan Amoksilin dan Cefadroxil terhadap penderita ISPA balita

1. Pendahuluan
Penganalisis farmakoekonomi perlu dilakukan untuk bahan pertimbangan dalam
menentukan pemilihan obat dan alat kesehatan yang akan masuk ke dalam Formularium.
Pelaksanaan analisis farmakoekonomi biasanya dilakukan di fasilitas kesehatan sehingga,
perlu adanya acuan berupa pedoman teknis analisis farmakoekonomi (Direktorat Jenderal
Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Kementrian Kesehatan Repuplik Indonesia , 2016)
A. Perspektif Penilaian
Sebelum melakukan studi farmakoekonomi perlu digunakan perspektif yang akan
digunakan untuk menentukan jenis biaya yang diperhitungkan. Ada tiga perspektif yang
digunakan dalam studi farmakoekonomi , yaitu perspektif masyarakat, perspektif
kelembagaan , dan perspektif individu .

a. Perspektif masyarakat (societal).


Sebagai contoh Kajian Farmakoekonomi yang mengambil perspektif
masyarakat luas adalah penghitungan biaya intervensi kesehatan, seperti program
penurunan konsumsi rokok,untuk memperkirakan potensi peningkatan produktivitas
ekonomi (PDB, produk domestik bruto) atau penghematan biaya pelayanan kesehatan
secara nasional dari intervensi kesehatan tersebut.
b. Perspektif kelembagaan (institutional).
Contoh kajian farmakoekonomi yang terkait kelembagaan antara lain
penghitungan efektivitas-biaya pengobatan untuk penyusunan Formularium Rumah
Sakit. Contoh lain, di tingkat pusat, penghitungan AEB untuk penyusunan DOEN dan
Formularium Nasional.
c. Perspektif individu (individual perspective)
Salah satu contoh kajian farmakoekonomi dari perspektif individu adalah
penghitungan biaya perawatan kesehatan untuk mencapai kualitas hidup tertentu
sehingga pasien dapat menilai suatu intervensi kesehatan cukup bernilai atau tidak
dibanding kebutuhan lainnya (termasuk hiburan)
B. Hasil Pengobatan (outcome)
Kajian farmakoekonomi senantiasa mempertimbangkan dua sisi, yaitu biaya
(cost) dan hasil pengobatan (outcome). Kenyataannya, dalam kajian yang mengupas sisi
ekonomi dari suatu obat/pengobatan ini, faktor biaya (cost) selalu dikaitkan dengan
efektivitas (effectiveness), utilitas (utility) atau manfaat (benefit) dari pengobatan
(pelayanan) yang diberikan.
Efektivitas merujuk pada kemampuan suatu obat dalam memberikan peningkatan
kesehatan (outcomes) kepada pasien dalam praktek klinik rutin (penggunaan sehari-hari
di dunia nyata, bukan di bawah kondisi
optimal penelitian). Dengan mengaitkan pada aspek ekonomi, yaitu biaya, kajian
farmakoekonomi dapat memberikan besaran efektivitas-biaya (cost effectiveness) yang
menunjukkan unit moneter (jumlah rupiah yang harus dibelanjakan) untuk setiap unit
indikator kesehatan baik klinis maupun nonklinis (misalnya, dalam mg/dL penurunan
kadar LDL dan/atau kolesterol total dalam darah) yang terjadi karena penggunaan suatu
obat. Semakin kecil unit moneter yang harus dibayar untuk mendapatkan unit indikator
kesehatan (klinis maupun non-klinis) yang diinginkan, semakin tinggi nilai efektivitas-
biaya suatu obat.
Utilitas merujuk pada tambahan usia (dalam tahun) yang dapat dinikmati dalam
keadaan sehat sempurna oleh pasien karena menggunakan suatu obat. Jumlah tahun
tambahan usia (dibanding kalau tidak diberi obat) dapat dihitung secara kuantitatif, yang
jika dikalikan dengan kualitas hidup yang dapat dinikmati
Sementara itu, manfaat (benefit) merujuk pada nilai kepuasan yang diperoleh
pasien dari penggunaan suatu obat. Nilai kepuasan ini dinyatakan dalam besaran moneter
setelah dilakukan konversi dengan menggunakan “nilai rupiah yang rela dibayarkan
untuk mendapat kepuasan tersebut”(willingness to pay). Semakin tinggi willingness to
pay relatif terhadap harga riil obat (cost), semakin layak obat tersebut dipilih.
2. Analisis minimalisasi biaya ( cost minimization analysis, CMA)

Pada kajian farmakoekonomi dikenal empat metode analisis yang tidak hanya
mempertimbangkan efektivitas, keamanan, dan kualitas obat yang dibandingkan, tetapi juga
aspek ekonominya.
Di antara empat metode tersebut, analisis minimalisasi biaya (AMiB) / cost
minimization analysis (CMA) adalah yang paling sederhana, dimana membandingkan dua
intervensi kesehatan yang telah dibuktikan memiliki efek yang sama, serupa, atau setara. Jika
dua terapi atau dua (jenis, merek) obat setara secara klinis, yang perlu dibandingkan hanya
biaya untuk melakukan intervensi. Sesuai prinsip efisiensi ekonomi, jenis atau merek obat
yang menjanjikan nilai terbaik adalah yang membutuhkan biaya paling kecil per periode
terapi yang harus dikeluarkan untuk mencapai efek yang diharapkan.
Analisis minimalisasi biaya ( cost minimization analysis, CMA) merupakan teknik
analisis ekonomi untuk membandingkan dua pilihan (opsi, option) intervensi atau lebih yang
memberikan hasil (outcome) kesehatan setara untuk mengidentifikasi pilihan yang
menawarkan biaya lebih rendah (Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan,
2013)
Cost Minimization Analysis (CMA) adalah tipe analisis yang menentukan biaya
program terendah dengan asumsi besarnya manfaat yang diperoleh sama. Analisis ini
digunakan untuk menguji biaya relatif yang dihubungkan dengan intervensi yang sama dalam
bentuk hasil yang diperoleh. Suatu kekurangan yang nyata dari analisis cost-minimization
yang mendasari sebuah analisis adalah pada asumsi pengobatan dengan hasil yang ekivalen.
Langkah terpenting yang harus dilakukan sebelum menggunakan metode ini adalah
menentukan kesetaraan (equivalence) dari intervensi (misalnya obat) yang akan dikaji. Tetapi,
karena jarang ditemukan dua terapi, termasuk obat, yang setara atau dapat dengan mudah
dibuktikan setara, penggunaan metode CMA agak terbatas, misalnya untuk:
a. Membandingkan obat generik berlogo (OGB) dengan obat generik bermerek dengan bahan
kimia obat sejenis dan elah dibuktikan kesetaraannya melalui uji bioavailabilitas-
bioekuivalen (BA/BE). Jika tidak ada hasil uji BA/BE yang membuktikan kesetaraan hasil
pengobatan, Analisis minimalisasi biaya tidak layak untuk digunakan.
b. Membandingkan obat standar dengan obat baru yang memiliki efek setara.
A. Tahap Analisis minimalisasi biaya / cost minimization analysis (CMA)
Dalam tahap pelaksanaan penerapan Kajian Farmakoekonomi, beberapa langkah pokok
harus diambil. Langkah-langkah dalam kajian ekonomi untuk program intervensi
kesehatan atau pemilihan dan penggunaan obat tersebut adalah:
a. Identifikasi masalah dan menentukan tujuan
Pada tahap ini harus ditentukan masalah apa yang akan diatasi.
b. Identifikasi alternatif pemecahan masalah
Pada tahap ini ditentukan alternatif pengobatan apa yang akan digunakan. Untuk
menentukan alternatif ini beberapa faktor yang harus diperhatikan termasuk jenis,
dosis, formulasi, dan rute pemberian obat.
c. Identifikasi besarnya efektivitas pilihan pengobatan
Mendapatkan informasi tentang efektivitas dari literatur uji klinik. Setiap jenis
penyakit dan pengobatan dapat memiliki tingkat efektivitas yang berbeda. Salah satu
cara untuk mendapatkan data/literatur tentang efektivitas obat tersebut adalah
melalui produsen dari obat yang akan dikaji. Cara yang umum adalah dengan
melakukan penelusuran literatur atau jurnal ilmiah melalui situs internet resmi yang
ada.
d. Identifikasi biaya
Identifikasi biaya yang dikeluarkan untuk setiap pilihan pengobatan, termasuk biaya
langsung dan tidak langsung serta biaya medis dan non-medis.
e. Melakukan analisis minimalisasi-biaya (AMiB)
Yaitu jika obat yang akan dibandingkan memberikan hasil yang sama, serupa, atau
setara atau dapat diasumsikan setara.
f. Interpretasi Hasil
Obat yang didominasi oleh obat lain bukan merupakan alternatif yang layak dipilih.
Untuk alternatif obat yang memerlukan perhitungan , hasil perhitungan yang
diperoleh merupakan gambaran besarnya biaya lebih yang harus dikeluarkan jika
dilakukan pemindahan dari obat standar ke alternatif.
B. Penerapan Metode Analisis minimalisasi biaya / cost minimization analysis (CMA)

Untuk memudahkan dalam melakukan penerapan metode Farmakoekonomi


Analisis minimalisasi biaya / cost minimization analysis (CMA) berikut ini disajikan
contoh metode tersebut dimana di ambil contoh penggunaan Amoksilin dan Cefadroxil
terhadap dana Kapitasi untuk pasien ISPA Balita di Puskesmas.
Menurut ketentuan mekanisme dana kapitasi setiap peserta JKN (Jaminan
Kesehatan Nasional) yang terdaftar di unit layanan puskesmas yang memberikan
pelayanan 24 jam tarif kapitasinya berada dalam rentang Rp. 3.500-Rp.6.000 (Kurniawan
dkk., 2016).
Dana kapitasi di Puskesmas merupakan anggaran biaya obat yang dikeluarkan
untuk rawat jalan. Misalnya dari hasil survei dana kapitasi JKN yang diberikan ke
puskesmas yaitu per orang yaitu Rp. 5.700. Hasil survei menyatakan sudah terjadi
kelebihan dana kapitasi rawat jalan terutama untuk pasien ISPA balita. Kelebihan biaya
pengobatan dari dana kapitasi tidak akan mendapat tanggungan dari JKN, dan dapat
menyebabkan puskesmas mengalami kerugian. Obat dalam resep rawat jalan ISPA akut
yang paling banyak digunakan adalah antibiotika. Hasil penelitian menemukan obat
dengan kelas terapi antibiotik yang paling banyak mengalami DRP (38,45 %) (Chaliks
dkk., 2017) . Menurut pedoman pharmaceutical care 2005, amoksilin merupakan terapi
pertama untuk pengobatan ISPA (Departemen Kesehatan RI, 2005).
Dari hasil data di Puskesmas tersebut , penggunaan antibiotika yang paling
banyak untuk pengobatan ISPA adalah golongan amoksilin dan cefadroxil. Perbedaan
harga antara amoksilin sirup dan cefadroxil sirup adalah Rp 2.090 dan Rp 3.926.
Perbedaan harga antibiotika cefadroxil lebih tinggi daripada amoksilin dapat
menyebabkan kelebihan biaya dana kapitasi.
Untuk populasinya adalah semua pasien balita yang mengalami ISPA pada
periode Januari-Juni 2020. Tekhnik pengambilan sampel secara purposive sampling.
Kriteria inklusi untuk penelitian ini adalah pasien ISPA balita (0-5 tahun) JKN
Puskesmas , menggunakan maksimal satu antibiotika (amoksilin atau cefadroxil) dalam
resep dan data rekam medis lengkap yang menunjukkan jenis kelamin balita perempuan
lebih banyak terkena infeksi ISPA dibandingkan dengan laki-laki, sehingga dapat
dikatakan bahwa jenis kelamin wanita lebih rentan terhadap penyakit hormonal, genetik
dan lingkungan.
Hasil penelitian mengenai umur balita >39 bulan lebih banyak terkena resiko
penyakit ISPA dibandingkan ≤39 bulan. Hal ini disebabkan karena umur >39 bulan
adalah masa balita paling aktif dengan lingkungan. Hasil penelitian mirip menyatakan
semakin tinggi umur balita maka makin mudah terpapar oleh lingkunga dan memudahkan
anak untuk menderita ISPA (Nur’aini et al.,2014). Hasil penelitian lain juga menyatakan
pneumonia pada anak balita lebih banyak terjadi pada umur 2-3 Tahun.
Penelitian hasil CMA antibiotika rata-rata biaya total obat sirup cefadroxil lebih
mahal dibandingkan dengan amoksilin, tetapi secara statistika tidak berbeda secara
signifikan. Hal ini disebabkan karena rata-rata biaya obat sirup amoksilin dan cefadroxil
tidak melewati dana kapitasi puskesmas dan membuktikan penggunaan antibiotika sirup
amoksilin dan cefadroxil sudah sesuai untuk pelaksanaan dana kapitasi. Hasil ini
didukung oleh penelitian yang menyatakan penggunaan antibiotik harus berdasarkan pada
peraturan yang berlaku dan biaya merupakan elemen utama yang harus dipertimbangkan
untuk setiap keputusan penggunaan peresepan antibiotik (Kourkouta dkk., 2017). adanya
penambahan biaya biasanya di sebabkan penambahan dan penggunaan obat simtomatik
seperti Ambrokxol, CTM, Dexametahosn, Paracetamol , Vitamin C, Vitamin B Complex
yang merupakan obat tambahan sebagai obat simtomatik dan vitamin pada terapi ISPA
yang lebih mahal dari sirup antibiotik amoksilin dan cefadroxil.

Pustakan :
1. http://journal.poltekkes-mks.ac.id/
2. Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi. Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia. 2013
3. Pedoman Teknis Analisis Farmakoekonnmi di Fasilitas Kesehatan. Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta. 2016.
JURNAL

Anda mungkin juga menyukai