Anda di halaman 1dari 20

AHKAM

Ditunjukkan untuk memenuhi tugas Kelompok


Mata kuliah : Usul Fiqih

Fakultas : Perbankan Syari’ah

Semester : VII ( Tujuh )

Dosen pengampu : Dr. H. Syarif Muhammad Yahya, M. Si.

Oleh :

1. IIP ABDUL LATIP


2. IMAM BADRUTAMAM

PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARI’AH


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MA’HAD ALI
Blok Kasab, Babakan, Ciwaringin, cirebon,Jawa Barat 45167

2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
selesainya makalah yang berjudul Ahkam.
Makalah ini disusun dengan tujuan sebagai salah satu tugas pembelajaran
mata kuliah Usul Fiqih.
Adapun sumber dari makalah ini, kami dapat dari buku dan internet.
Dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari sempurna, untuk itu kami mohon
kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada semua


pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini terutama kepada
dosen.

Cirebon, 05 Oktober 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar...........................................................................................................
i
Daftar Isi.....................................................................................................................
ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.....................................................................................................
1
B. Rumusan Masalah................................................................................................
3
C. Tujuan .................................................................................................................
3

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Ahkam................................................................................................
4
B. Pembagian Hukum...............................................................................................
4
..............................................................................................................................
C. Mahkum Bih / Mahkum Fih( Pembuat Hukum )
..............................................................................................................................
10
D. Al Hakim ( Pembuat Hukum )
..............................................................................................................................
13

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan
.............................................................................................................................
15

ii
B. Saran
.............................................................................................................................
15

DAFTAR PUSTAKA
....................................................................................................................................
16

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ushul fiqh adalah pengetahuan mengenai berbagai kaidah dan bahasa


yang menjadi sarana untuk mengambil hukum-hukum syara’ mengenai
perbuatan manusia mengenai dalil-dalilnya yang terinci. Ilmu ushul fiqh dan
ilmu fiqh adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Ilmu ushul fiqh dapat
diumpamakan seperti sebuah pabrik yang mengolah data-data dan
menghasilkan sebuah produk yaitu ilmu fiqh.

Kaidah usul fiqh secara umum dibagi kepada dua macam, yaitu kaidah
yang disepakati ulama (muttafaqun alaih) dan kaidah yang tidak disepakati
ulama (mukhtalafun alaih). Kaidah yang disepakati ulama terdiri dari ijma dan
qiyas, sedangkan yang tidak disepakati terdiri dari istihsan, maslahah al-
mursalah, ‘urf, syar’u man qablana, istishab, qaul sahabi dan seterusnya.
Kaidah yang disepakati di sini berarti kaidah yang telah diterima dan digunakan
oleh kalangan mujtahid dari semua mazhab. Sedangkan kaidah yang tidak
disepakati berarti kaidah tersebut hanya diakui oleh sebahagian mujtahid dan
menggunakannya dalam kegiatan ijtihad mereka. Sedangkan mujtahid yang lain
menolaknya, karena menganggapnya salah.
Yang dimaksud sumber fiqih ialah asal pengambilan ketentuan-
ketentuan fikih. Sumber fiqih islam terdiri dari dua macam sumber yaitu
sumber formal yang berasal dari wahyu, baik wahyu yang berupa Al-Qur’an
yang dinamakan “wahyu matluw” maupun yang berupa sunnah yang
dinamakan “wahyu khafi”. Sedang dalil mengandung pengertian sebagai suatu
petunjuk yang dijadikan landasan berfikir yang benar dalam memperoleh
hukum syara’ yang bersifat praktis. Baik yang kedudukannya qath’i (pasti) atau
zhanni (relatif).

Segala amal perbuatan manusia, perilaku dan tutur katanya tidak dapat lepas
dari ketentuan hukum syari’at, baik hukum syari'at yang tercantum di dalam
Qur’an dan Sunnah, maupun yang tidak tercantum pada keduanya, akan tetapi

1
terdapat pada sumber lain yang diakui syari’at. Sebagaimana yang di katakan
Imam Ghazali, bahwa mengetahui hukum syara’ merupakan buah (inti) dari
ilmu Fiqh dan Ushul fiqh. Sasaran kedua di siplin ilmu ini memang mengetahui
hukum syara’ yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf. Meskipun
dengan tinjauan yang berbeda. Ushul fiqh meninjau hukum syara’ dari segi
metodologi dan sumber-sumbernya, sementara ilmu fiqh meninjau dari segi
hasil penggalian hukum syara’, yakni ketetapan Allah yang berhubungan
dengan perbuatan orang-orang mukallaf, baik berupa igtidha (tuntutan perintah
dan larangan), takhyir (pilihan), maupun berupa wadhi (sebab akibat), yang di
maksud dengan ketetapan Allah ialah sifat yang telah di berikan oleh Allah
terhadap sesuatu yang berhubungan dengan orang-orang mukallaf. Seperti
hukum haram, makruh, wajib, sunnah, mubah, sah, batal, syarat, sebab,
halangan (mani’) dan ungkapan lain yang akan kami jelaskan pada makalah ini
yang kesemuanya itu merupakan objek pembahasan ilmu Ushul fiqh.

Memperhatikan jenis-jenis metode penemuan hukum ataupun metode


penerapan hukum dalam ilmu hukum Islam (istinbath al-hukm) dan penerapan
hukum (tathbiq alhukm), dalam hukum Islam sebenarnya tidak jauh berbeda
dengan metode penemuan hukum dan penerapan hukum yang digunakan oleh
praktisi hukum umum. Demikian pula dengan metode yang diberlakukan dalam
suatu negara menurut hukum Islam yang telah dikemukan oleh para Juris Islam
(fuqaha‟) dan sangat mendasar metode yang mereka temukan, seperti
pemahaman hukum yang terdapat dalam teks hukum dikaji dengan metode
seperti dengan metode hermeneutika maupun dari segi bahasanya yang disebut
Ushul Fqh.

Di dalam ilmu Ushul Fiqh dirumuskan metode memahami hukum Islam


dan memahami dalil-dalil hukum yang mana dengan dalil-dalil tersebut
dibangun hukum Islam yang ketentuan hukum nya sesuai dengan akal sehat (a
reasionable assumption). Imam Syafi‟i contohnya mempunyai jasa dan andil
yang besar sebagai pendiri atau guru arsitek Ushul Fiqh dalam kitabnya “Ar
Risalah” yang tidak hanya karya pertamanya membahasa Ushul Fiqh, tetapi
juga sebagai model bagi ahli-ahli hukum dan para teorisasi yang muncul
kemudian.

2
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu Ahkam dalam Usul Fiqih ?
2. Mencangkup Apa saja yang ada di Ahkam ?
C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui Ahkam dalam Usul Fiqih
2. Mengetahui Ruang Lingkup Ahkam.

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ahkam
Mayoritas ulama ushul mendefinisikan hukum sebagai berikut :
“Kalam Allah yang menyangkut perbuatan orang dewasa dan berakal sehat,baik
bersifat imperative,fakultatif atau menempatkan sesuatu sebagai sebab,syarat dan
penghalang “.
Hukum syara’ menu rut definisi ahli ushul ialah: Khitab (titah) Allah yang
menyangkut tindak tanduk mukalaf dalam bentuk tun tutan, pilihan berbuat atau
tidak; atau “dalam bentuk ketentuan- ketentuan
Yang dimaksud khitab Allah yakni semua bentuk dalil. Dan yang dimaksud
mukallaf adalah perbuatan manusia yang berakal sehat meliputi perbuatan
hati,ucapan dan perbuatan.
B. Pembagian Hukum
Bertitik tolak dari definisi hukum syar‘i di atas, yaitu titah Allah yang
menyangkut perbuatan mukalaf dalam bentuk tuntutan, pilihan dan ketentuan,
maka hukum syara’ itu terbagi dua:
 Titah Allah yang berbentuk tuntutan dan pilihan, yang disebut hukum
taklifi. Penamaaan hukum syara’ dengan taklifi, karena titah di sini
langsung mengenai perbuatan orang yang sudah mukalaf.
 Titah Allah yang berbentuk wadh’i yang berbentuk ketentuan yang
ditetapkan Allah, tidak langsung mengatur perbuatan mukalaf, tetapi
berkaitan dengan perbuatan mukalaf itu, seperti tergelincirnya matahari
menjadi sebab masuknya waktu dzuhur.

Secara garis besar para Ulama ushul fiqh membagi hukum kepada dua
macam,yaitu:
 Hukum Taklifi

 Hukum Wadh’i

Hukum taklifi menurut para ahli ushul fiqh adalah : ketentuan-ketentuan Allah
dan Rasul-Nya yang berhubungan langsung dengan perbuatan mukalaf,baik

4
dalam bentuk perintah, anjuran untuk melakukan, larangan, anjuran untuk tidak
melakukan, atau dalam bentuk memberi kebebasan untuk berbuat atau tidak
berbuat.
Sedangkan yang dimaksud dengan hukum wadh’i adalah: ketentuan-ketentuan
hukum yang mengatur tentang sebab, syarat, mani’ (sesuatu yang
menjadipenghalang kecakapan untuk melakukan hukum taklifi).

Dengan mengemukakan batasan dari dua macam hukum tersebut dapat


deketahui perbedaan antara keduanya. Ada dua perbedaan mendasar antara dua
macam hukum tersebut:
 Hukum taklifi adalah hukum yang mengandung perintah, larangan, atau
memberi pilihan terhadap seorang mukalaf, sedangkan hukum wadh’i
berupa penjelasan hubungan suatu peristiwa dengan hukum taklifi.
Misalnya, hukum taklifi menjelaskan bahwa sholat wajib dilaksanakan
umat islam, dan hukum wadh’i menjelaskan bahwa waktu matahari
tergalincir di tengah hari menjadi sebab tanda bagi wajibnya seseorang
menunaikan shalat zuhur.
 Hukum taklifi dalam berbagai macamnya selalu berada dalam batas
kemampuan seorang mukalaf. Sedangkan hukum wadh’i sebagiannya ada
yang diluar kemampuan manusia dan bukan merupakan aktifitas manusia.
a) Hukum Taklifi
Hukum taklifi adalah hukum syar’i yang mengandung tuntutan ( untuk
dikerjakan atau ditinggalkan oleh para mukallaf ) atau yang mengandung pilihan
antara yang dikerjakan dan ditinggalkan.

Hukum taklifi terbagi menjadi lima bagian yaitu:

1. Wajib

 Pengertian Wajib

Wajib adalah suatu perbuatan yang di tuntut Allah SWT untuk di lakukan
secara tuntutan pasti yang di beri pahala bagi yamg melakukan dan di
ancam dengan dosa bagi yang meningggalkan.
 Pembagian Wajib

5
Bila dilihat dari sisi orang yang di bebani kewajiban hukum wajib di bagi
menjadi dua :
a) Wajib ‘aini yaitu kewaiban yang di bebenkan kepada setiap orang
yang sudah berakal (mukallaf) tanpa kecuali. Kewajiban ini tidak bisa
gugur kecuali di lakukan sendiri, misalnya melakukan solat lima
waktu.

b) Wajib kifayah yaitu kewajiban yang di berikan kepada seluruh


mukallaf , namun bilamana telah dilakukan oleh sebagian umat islam
maka kewajiban itu sudah di anggap terpenuhi. Wajib kifayah
terkadang berubah menjadi wajib ‘aini , bilamana di suatu negara
tidak ada lagi orang yang mwmpu melaksanaakannya selain dirinya,
contoh sholat jenazah.
Bila dilihat dari sisi kandungan perintah, hukum wajib dibagi menjadi dua
macam :

a) Wajib muayyan yaitu suatu kewajiban di mana orang yang menjadi


obyeknya adalah tertentu tanpa ada pilihan lain . seperti kewajiban
sholat lima waktu , puasa romadlon dan zakat.
b) Wajib mukhayyar adalah suatu kewajiban di mana yang menjadi
obyeknya boleh di pilih antara beberapa alternative seperti kewajiban
membayar kaffarat (denda melanggar) sumpah (QS , 5:89)
Bila dilihat dari sisi waktu pelaksanaannya hukum wajib di bagi menjadi
dua macam :
a) Wajib mutlaq adalah suatu kewajiban yang pelaksanaannya tidak di
batasi dengan waktu tertentu. seperti kewajiban membayar puasa
romadlon yang tertinggal.
b) Wajib muaqqat adalah suatu kewajiban yang pelaksanaannya di batasi
waktu tertentu.
2. Mandub

 Pengertian Mandub

Mandub secara lughowi adalah seruan untuk sesuatu yang penting. Secara
istilah, sebagian ulama mendefinisikan mandub adalah sesuatu yang di beri

6
pahala orang yang melakukannya dan tidak di siksa orang yang
meninggalkannya. Selain kata mandub , juga digunakan lafadz lain yang
artinya samadengan kata mandub, seperti sunnah, nafal, tathawu’,
mustahab, dan mustahsan.
 Pembagian Mandub

a) Sunnah muakkadah adalah sunnah yang sangat di anjurkan, yaitu


perbuatan yang biasa di lakukan oleh rasul dan jarang di
tinggalkannya. Misalnya sholat sunnah sebelum fajar dsb.
b) Sunnah ghairu muakkad adalah sunnah biasa, sesuatu yang di lakukan
rasul, namun bukan menjadi kebiasaannya.

c) Sunnah al zawaid yaitu mengikuti kebiasaan rasul sehari hari sebagai


manusia, seperti sopan santun, makan dan minum, dll.
3. Haram

 Pengertian Haram

Haram (‫ )الحرام‬atau muharram (‫ )المحرم‬secara lughowi berarti sesuatu


yang lebih banyak kerusakannya atau larangan, sesuatu yang dianut
syari’(pembuat hukum) untuk tidak melakukannya.
 Pembagian Haram

a) Al muharram li dzatihi sesuatu yang di haramkan oleh syariat karna


esensinya mengandung mudharat bagi kehidupan manusia, dan
kemudharatan itu tidak bisa terpisah dari dzatnya misalnya : larangan
zina(QS,17:32), memakan bangkai(QS, 5:38), dan mencuri(QS. 5:38),
b) Al muharram li ghairihi sesuatu yang di laramg bukan karna esensinya
tapi karna ada pwrtimbangan eksternal yang akan membawa kepada
sesuatu yang di laang secara esensial. Misalnya, larangan jua beli di
waktu sholat jumat(QS, 62:9)
4. Makruh

 Pengertian Makruh

Makruh (‫ )المكروه‬secara lughowi berrarti yang di benci semakna dengan ( ‫الق‬


‫ ب)ه‬yang buruk, secara istilah ada dua definisi. Dari segi esensinya makruh

7
adalah sesuatu yang apabila ditinggalkan mendapat pujian dan apabila
dikerjakan pelakunya mendapat celaan.
 Pembagian Makruh

Menurut Hanafiyah makruh dibagi menjadi dua macam

a) Makruh tahrim adalah sesuatu yang yang dilarang oleh syariat, tetapi
dalil yang dilarangnya bersifat dzanni, seperti larangan memakai
sutera dan perhiasan.
b) Makruh tanzih adalah yang di anjurkan oleh syariat untuk
menjalakannya, misalnya memakan daging kuda.
5. Mubah

 Pengertian Mubah

Kata “Mubah” (‫اح‬X X X‫ )المب‬berasal dari fi’il madhi “a ba ha” dengan arti
menjelaskan dan “memberitahukan”. Kadang-kadang muncul dengan arti
“melepaskan” dan mengizinkan. Dalam istilah hukum mubah berarti
Sesuatu yang diberi kemungkinan oleh pembuat hukum untuk memilih
antara memperkuat dan meninggalkan. Ia boleh melakukan atau tidak.
 Pembagian Mubah

Mubah dibagi menjadi tiga bagian

a) Perbuatan yang di tetapkan secara tegas kebolehannya oleh syara’ dan


manusia di beri kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukannya.
b) Perbuatan yang tidak ada dalil syara’ menyatakan kebolehan
memilih, tetapi ada perintah untuk melakukannya.
Perbutan yang sama sekali tidak ada keteranagan dari syara’ tentang
kebolehan atau ketidak bolehannya.
b) Hukum Wad’i
Dalam pengantar terdahulu disebutkan bahwa titah Allah yang
berhubungan dengan tingkah laku mukalaf dalam bentuk tuntutan dan pemberian
pilihan untuk berbuat atau tidak berbuat dinamakan hukum taklifi. Titah Allah
yang berhubungan dengan sesuatu yang berkaitan dengan hukum-hukum taklifi
itu disebut hukum wadh‘i. Hukum wadh‘i ini tidak harus berhubungan dengan

8
tingkah laku manusia tetapi bisa berbentuk ketentuan-ketentuan yang ada
kaitannya dengan perbuatan mukalaf yang dinamakan hukum taklifi, baik
hubungan itu dalam bentuk sebab dan yang diberi sebab; atau syarat dan yang
diberi syarat atau penghalang dan yang dikenakan ha langan. Dengan demikian,
hukum wadh‘i itu ada tiga macam, yaitu: sabab (sebab), syarat, dan mani’.

Kelangsungan sesuatu hukum taklifi berkaitan dengan tiga hal tersebut.


Bila sesuatu perbuatan yang dituntut ada sebabnya, juga telah memenuhi syarat-
syaratnya dan telah terhindar dari segala mani’ (penghalang), maka perbuatan itu
dinyatakan sudah memenuhi ketentuan hukum.

Ditinjau dari segi hasil sesuatu perbuatan hukum dalam hubungannya


dengan tiga hal di atas, para ahli memasukkan ke dalam hukum wadh‘i tiga hal
lagi, yaitu: shah, fâsid, dan bathal.

Hukum wadh’i sebagaimana telah di sebutkan dalam kitab Al-wadhih fii


Usulil Fiqih, yang di tulis oleh Muhammad Sulaiman Abdullah al-Assqar.
Bahwasannya Allah SWT dalam kitabnya, dengan menjadikan sebuah perintah,
menjadi tanda atas perintah yang lainnya.

Adapun menurut pendapat yang lainnya, hukum wadh’i adalah hukum


yang berhubungan dengan dua hal, yakni antara dua sebab (sabab) dan yang
disebabi (musabbab), antara syarat dan disyarati (masyrut), antara penghalang
(mani’) dan yang menghalangi (mamnu), antara hukum yang sah dan hukum
yang tidak sah.

Menurut Dr. Abdul Karim ibnu Ali An-namlah, bahwasannya hukum


wadh’i adalah sebagaimana Allah berfirman yang berhubungan dengan
menjadikan sesuatu sebab kepada sesuatu yang lainnya, syaratnya, larangannya,
kemudahannya, hokum asal yang telah ditetapkan oleh Syari’ (Allah).

Hukum ini dinamakan hukum wadh’i karena dalam hokum tersebut


terdapat dua hal yang saling berhubungan dan berkaitan. Seperti hubungan sebab
akibat, syarat, dan lain-lain.Tapi pendapat lain mengatakan bahwa definisi
hukum wadh’i adalah hukum yang menghendaki dan menjadikan sesuatu
sebagai sebab (al-sabab), syarat (al- syarthu), pencegah (al-mani’), atau

9
menganggapnya sebagai sesuatu yang sah (shahîh), rusak atau batal (fasid),
‘azimah atau rukhshah. Definisi ini adalah menurut Imam Amidi, Ghazali, dan
Syathibi.

Hukum wadh’i adalah titah Allah yang menjadikan sesuatu sebagai sebab
bagi adanya sesuatu yang lain, atau sebagai syarat bagi sesuatu yang lain atau
juga sebagai penghalang bagi adanya sesuatu yang lain tersebut.

Jadi, dapat kita simpulkan bahwa hokum wadh’i adalah hukum yang
yangberkaitan dengan dua hal, yaitu sebab dan yang disebabi. Seperti contonya:
orang yang junub menyebabkan orang tersebut harus mandi, dan adanya orang
yang memiliki harta yang sudah mencapai Nisab menyebabkan orang tersebut
harus berzakat.
Adapun pembagian hukum wadh’i terbagi menjadi tiga macam yaitu; Sebab,
Syarat, dan Mani’ Penghalang. Namun sebagian ulama memasukkan sah dan
batal, azimah dan rukhshah.

C. Mahkum Bih / Mahkum Fih( Pembuat Hukum )


Yang dimaksud dengan objek hukum atau mahkum bih ialah sesuatu yang
dikehendaki oleh pembuat hukum untuk dilakukan atau ditinggalkan oleh
manusia, atau dibiarkan oleh pembuat hukum untuk dilakukan atau tidak. Dalam
istilah ulama ushul fiqih, yang dimaksud mahkum bih atau objek hukum yaitu
sesuatu yang berlaku padanya hukum syara’. Objek hukum adalah “perbuatan” itu
sendiri. Hukum itu berlaku pada perbuatan dan bukan pada zat. Contohnya
”daging babi”.
Para ahli Ushul fiqih menetapkan beberapa syarat untuk suatu perbuatan sebagai
objek hukum,yaitu:
1. Perbuatan itu sah dan jelas adanya;
2. Perbuatan itu tertentu adanya dan dapat diketahui oleh orang yang akan
mengerjakan serta dapat dibedakan dengan perbuatan lainnya.
3. Perbuatan itu sesuatu yang mungkin dilakukan oleh mukallaf dan berada
dalam keampuannya untuk melakukannya
Persyaratan ketiga yaitu bahwa perbuatan itu berada dalam batas kemampuan
mukallafmenjadi pokok pembicaraan ahli Ushul Fiqih dalam hal objek hukum.

10
Mereka sepakat dalam hal tidak dituntutnya seorang mukallaf melakukan sesuatu
perbuatan kecuali terhadap perbuatan yang ia mampu melaksanakannya. Seorang
hamba tidak akan dituntut melakukan sesuatu yang ia tidak mungkin
melakukannya. Yang menjadi dasar ketentuan ini adalah firman Allah,
“Allah tidak membebani seseorang kecuali semampunya.”
Dengan penjelasan ayat tersebut dapat dipahami bahwa Tuhan tidak
menginginkan manusia dalam kesulitan. Selanjutnya menjadi pembahasan pula
“kesulitan”atau masyaqqah dalam hubungannya dengan objek hukum.
Dalam hal ini ulama membagi kesulitan atau masyaqqah itu pada dua tingkatan;
1. Masyaqqah yang mungkin dilakukan dan berketerusan dalam
melaksanakannya. Contoh;puasa dan ibadah haji.
2. Masyaqqah yang tidak mungkin seseorang melakukannya sacara
berketerusan atau tidak mungkin dilakukan kecuali dengan pengerahan
tenaga yang maksimal. Pemaksaan diri dalam melakukannya akan
membawa kerusakan terhadap jiwa atau harta. Contoh: berperang
dalam jihad di jalan Allah
3. Sehubungan dengan persyaratan bahwa objek hukum itu harus sesuatu
yang jelas kebradaannya, para ulama Ushul memperbincangkan
kemungkinan berlakunya taklif terhadap sesuatu yang mustahil
adanya.Dalam hal ini ulama ushul membagi mustahil pada lima
tingkatan:
a) Mustahil adanya menurut zat perbuataan itu sendiri,seperti
menghimpun dua hal yang berlawanan.
b) Mustahil menurut adat, yaitu sesuatu yang tidak mungkin
dilakukan menurut biasanya,seperti menyuruh anak kecil
mengangkat batu besar.
c) Mustahil karena adanya halangan berbuat, yaitu suatu perbuatan
pada dasarnya dapat dilakukan, tetapi oleh karena suatu sebab
yang dating kemudian,perbuatan itu tidak dapat
dilakukan.Umpamanya menyuruh orang yang diikat kakinya
untuk berlari.

11
d) Mustahil karena tidak mampunya berbuat saat berlakunya taklif
meskipun saat malaksanakan ada kemungkinan berbuat seperti
taklif pada umumnya.
e) Mustahil karena menyangkut ilmu Allah seperti keharusan
beriman bagi seseorang yang jelas kafirnya.
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa tidak mungkin berlaku taklif pada yang
mustahil. Alasan mereka adalah isyarat allah dalam Al-Qur’an:
“Allah tidak menjadikan untukmu kesulitan dalam agama”.
Perbuatan yang berlaku pada taklif ditinjau dari segi hubungannya dengan Allah
dan dengan hamba terbagi empat:
1. Perbuatan yang merupakan hak Allah secara murni,dalam arti tidak ada
sedikitpun hak manusia.
2. Perbuatan yang merupakan hak hamba secara murni,yaitu tindakan yang
merupakan pembelaan terhadap kepentingan peribadi.
3. Perbuatan yang di dalamnya bergabung hak allah dan hak hamba,tetapi
hak Allah lebih domonan
4. Perbuatan yang di dalamnya bergabung padanya hak allah dan hak
hamba,tetapi hak hamba lebih dominan
Selanjutnya, setiap perbuatan sebagai objek hukum selalu terkait dengan pelaku
perbuatan yang dibebani taklif itu.
Dapat tidaknya taklif itu dilakukan orang lain berhubungan erat dengan kaitan
taklif dengan hukum.Dalam hal ini objek hukum terbagi tiga:
1. Objek hukum yang pelaksanannya mengenai diri pribadi yang dikenai
taklif, umpamanya shalat dan puasa.
2. Objek hukum yang pelaksanaannya berkaitan dengan harta benda pelaku
taklif, umpamanya kewajiban zakat.
3. hukum yang pelaksanaannya mengenai diri pribadi dan harta diri pelaku
taklif, umpamanya kewajiban haji.
Setiap taklif yang berkaitan dengan harta benda, pelaksanaannya dapat digantikan
oleh orang lain. Dengan demikian pembayaran zakat dapat dilakukan orang lain.
Setiap taklif yang berkaitan dengan diri pribadi, harus dilakukan sendiri oleh yang
dikenai taklif dan tidak dapat digantikan orang lain. Setiap taklif yang berkaitan

12
dengan pribadi dan harta yang dikenai taklif dapat digantikan orang lain pada saat
tidak mampu melaksanakannya. Beberapa kewajiban haji dapat diwakilkan
kepada orang lain dalam keadaan tidak mampu
D. Al-Hakim ( Pembuat Hukum )
Definisi hukum syar’I adalah “Titah Allah yang berhubungan dengan
tingkah laku orang mukallaf dalam bentuk tuntutan, pilihan untuk berbuat dan
ketentuan-ketentuan”.
Dalam definisi ini dapat dipahami bahwa “Pembuat Hukum” dalam pengertian
islam adalah Allah SWT. Dia menciptakan manusia di atas bumi ini dan Dia pula
yang menetapkan aturan-aturan bagi kehidupan manusia, baik dengan
hubungnnya dengan kepentingan hidup dunia maupun untuk kepentingan hidup
diakhrat, baik aturan yang menyangkut hubungan manusia dengan Allah, maupun
hubungan manusia dengan sesamanya dan alam sekitar.
Dari uraian di atas dapat pula dipahami bahwa Pembuat Hukum satu satunya bagi
umat islam adalah Allah. Hal ini manifestasi dari iman kepada Allah ,sebagaimana
dditegaskan firman Allah dalam surat Al-An’am (6):57, Yusuf (12), 40 dan 67.
“Sesungguhnya tidak ada hukum kecuali bagi Allah”.
Untuk membawa dan menyampaikan hukum atau syariat kepada manusia.
Hakim : yaitu Allah menciptakan utusan-utusan yang disebut dengan Rasulullah.
Sebelum Allah mengutus para Rasul, tidak ada syariat yang berlaku. Dalam hal ini
Hanafi mengutamakan dua pendapat;
1. Pendapat yang dikemukakan oleh kaum Asy’ariyah yang dipelopori oleh
Abdul Hasan Al-asy’ari, yang berpendapat bahwa hukum-hukum Allah
tidak dapat diketahui oleh akal semata-mata. Oleh kerena itu, seluruh
bentuk perbuatan menusia yang terjadi sebelum diangkat utusan-utusan
Allah, tidak ada hukumnya atau tidak ada sanki bagi pelaku perbuatan
tersebut, sebagaimana kufur tidak haram dan iman tidak diwajibkan.
2. Pendapat dari kaum Mu’tazilah, yang dipelopori oleh Wasil bin Atha,
berpendapat bahwa hukum dan syariat Allah sebelum dibangkitkan
utusan-utusan Allah dapat diketahui oleh akal. Akal dapat mengetahui baik
dan buruknya suatu perbuatan kerena sifat-sifatnya.

13
3. Kelompok Maturidiyah berpendapat bahwa pada suatu perbuatan dengan
semata melihat pada materi perbuatan itu mempunyai nilai baik dan
buruk.karena itu akal dapat menetapkan suatu perbuatan itu baik atau
buruk. Dalam hal ini kelompok Maturidiyah sependapat debgan kaum
Mu’tazilah.
1)

14
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Ahkam yaitu Kalam Allah yang menyangkut perbuatan orang dewasa dan
berakal sehat,baik bersifat imperative,fakultatif atau menempatkan sesuatu
sebagai sebab,syarat dan penghalang.

Secara garis besar para Ulama ushul fiqh membagi hukum kepada dua
macam,yaitu: Hukum Taklifi dan Hukum Wadh’i.

Hukum taklifi menurut para ahli ushul fiqh adalah : ketentuan-ketentuan


Allah dan Rasul-Nya yang berhubungan langsung dengan perbuatan
mukalaf,baik dalam bentuk perintah, anjuran untuk melakukan, larangan, anjuran
untuk tidak melakukan, atau dalam bentuk memberi kebebasan untuk berbuat
atau tidak berbuat.
Sedangkan yang dimaksud dengan hukum wadh’i adalah: ketentuan-
ketentuan hukum yang mengatur tentang sebab, syarat, mani’ (sesuatu yang
menjadipenghalang kecakapan untuk melakukan hukum taklifi).
B. Saran
Akhirnya kami sebagai penyusun mengharapkan dengan adanya makalah ini kita
semua akan lebih mempelajari lagi dan mendalami tentang hukum-hukum
terutama kajian yang terkandung dalam ajaran agama islam. Kritik dan saran
sangat kami harapkan untuk perbaikan makalah kami selanjutnya.
Demikianlah makalah yang kami buat harap menjadi maklum adanya, bila
memiliki banyak kekurangan, itu dikarenakan terbatasnya pengetahuan dari
penyusun. Semoga makalah ini bisa menambah ilmu pengetahuan kita.

15
DAFTAR PUSTAKA
As-Shabuni Ali Muhammad. Ushul Fiqih Praktis. Jakarta: Pustaka Amani.2001
Djalal Abdul.. Ushul Fiqih
Hamid Shalahudin.Study Ushul Fiqh. Jakarta: Intimedia.2002
Prof. Dr. H. Syafe’i Rachmat ,M . A.,Ilmu Ushul Fiqih. Bandung:
CV.PUSTAKA SETIA, 1999

16

Anda mungkin juga menyukai