OLEH :
GDE DIPTA DHIATMIKA
219012684
A. Definisi
Gagal ginjal kronis (GGK) adalah hasil dari perkembangan dan
ketidakmampuan kembalinya fungsi nefron. Gejala klinis yang serius
sering tidak terjadi sampai jumlah nefron yang berfungsi menjadi rusak
setidaknya 70-75% di bawah normal. Bahkan, konsentrasi elektrolit darah
relatif normal dan volume cairan tubuh yang normal masih bisa di
kembalikan sampai jumlah nefron yang berfungsi menurun di bawah 20-
25 persen.(Guyton and Hall, 2016).
Menurut Syamsir (2017) Chronic Kidney Disease (CKD) adalah
kasus penurunan fungsi ginjal yang terjadi secara akut (kambuhan)
maupun kronis (menahun). Penyakit ginjal kronis (Chronic Kidney
Disease) terjadi apabila kedua ginjal sudah tidak mampu mempertahankan
lingkungan dalam keadaaan yang cocok untuk kelangsungan hidup.
Kerusakan pada kedua ginjal bersifat ireversibel.
Dari beberapa pengertian diatas dapat dikemukakan bahwa gagal
ginjal kronis adalah kerusakan ginjal yang ireversibel sehingga fungsi
ginjal tidak optimal dan diperkukan terapi yang membantu kinerja ginjal
serta dalam beberapa kondisi diperlukan transplantasi ginjal.
Ada tiga prinsip yang mendasari cara kerja hemodialisis menurut
Syamsir Alam, dkk (2017), yaitu:
1. Difusi
Toksik dan limbah di dalam darah dialihkan melalui proses difusi.
Melalui cara bergeraknya darah yang berkosentrasi tinggi ke cairan
dialisat yang berkonsentrasi lebih rendah. Cairan dialisat tersusun dari
elektrolit yang penting dengan konsentrasi ekstrasel yang ideal. Kadar
elektrolit darah dapat dikendalikan dengan mengatur rendaman
dialisat secara tepat.
2. Osmosis
Air yang berlebih dikeluarkan melalui proses osmosis. Keluarnya air
dapat diatur dengan menciptakan gradien tekanan. Air bergerak dari
tekanan yang lebih tinggi (tubuh) ke tekanan yang lebih rendah (cairan
dialisat).
3. Ultrafiltrasi
Peningkatan gradien tekanan dengan penambahan tekanan negatif
yang biasa disebut ultrafiltrasi pada mesin dialysis. Tekanan negatif
diterapkan pada alat ini. Untuk meningkatkan kekuatan penghisap
pada membrane dan memfasilitasi pengeluaran air. Kekuatan ini
diperlukan hingga mencapai isovolemia (keseimbangan cairan).
B. Etiologi
Etiologi GGK/CKD menurut Syamsir Alam, dkk (2017), adalah:
1. Infeksi saluran kemih (pielonefritis kronis).
2. Penyakit peradangan (glomerulonefritis).
3. Penyakit vaskuler hipertensif (nefrosklerosis, stenosis arteri renalis).
4. Gangguan jaringan penyambung (lupus eritematosus sistemik,
poliarteritis nodusa, sklerosis sitemik progresif).
5. Penyakit kongenital dan herediter (penyakit ginjal polikistik, asidosis
tubulus ginjal).
6. Penyakit metabolik (DM, gout, hiperparatiroidisme).
7. Nefropati toksikmisalnya penyalahgunaan analgesik,nefropati timbal.
8. Nefropati obstruktif misalnya saluran kemih bagian atas: kalkuli
neoplasma, fibrosis netroperitoneal. Saluran kemih bagian bawah:
hipertropi prostat, striktur uretra, anomali kongenital pada leher
kandung kemih dan uretra.
C. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis CKD menurut Syamsir Alam, dkk (2017), adalah:
1. Gangguan pada sistem gastrointestinal: Anoreksia, nausea, vomitus
yag berhubungan dengan ganguan metabolisme protein di dalam usus,
terbentuknya zat-zat toksin akibat metabolisme bakteri usus seperti
ammonia dan melil guanidine serta lembabnya mukosa usus.
2. Faktor uremik disebabkan oleh ureum yang berlebihan pada air liur
diubah oleh bakteri dimulut menjadi amoni sehingga nafas berbau
amonia. Gastritis erosife, ulkus peptic dan colitis uremik.
3. Kulit: Kulit berwarna pucat, anemia dan kekuning-kuningan akibat
penimbunan urokrom. Gatal-gatal akibat toksin uremin dan
pengendapan kalsium di pori-pori kulit. Ekimosis akibat gangguan
hematologi. Ure frost: akibat kristalsasi yang ada pada keringat.
Bekas-bekas garukan karena gatal.
4. Sistem Hematologi: Anemia yang dapat disebabkan oleh berbagai
faktor, antara lain: Berkurangnya produksi eritropoitin, hemolisis
akibat berkurangnya masa hidup eritrosit dalam suasana uremia toksin,
defisiensi besi, asam folat, dan lain-lain akibat nafsu makan yang
berkurang, perdarahan, dan fibrosis sumsum tulang akibat
hipertiroidism sekunder. Gangguan fungsi trombosit dan
trombositopenia.
5. Sistem saraf dan otot: Restless Leg Syndrome, pasien merasa pegal
pada kakinya sehingga selalu digerakkan. Burning Feet Syndrome,
rasa semutan dan seperti terbakar terutama di telapak kaki.
Ensefalopati metabolik, lemah, tidak bisa tidur, gangguan konsetrasi,
tremor, asteriksis, mioklonus, kejang. Miopati, kelemahan dan
hipertrofi otot terutama ekstermitas proksimal.
6. Sistem kardiovaskuler: Hipertensi akibat penimbunan cairan dan
garam atau peningkatan aktivitas sistem renin angiotensin aldosteron.
Nyeri dada dan sesak nafas akibat perikarditis atau gagal jantung
akibat penimbunan cairan hipertensif. Gangguan irama jantung akibat
aterosklerosis, gangguan elektrolit dan klasifikasi metastasik. Edema
akibat penimbunan cairan.
7. Sistem Endokrin: Gangguan seksual, libido, fertilitas, dan ereksi
menurun pada laki-laki akibat testosteron dan spermatogenesis
menurun. Pada wanita timbul gangguan menstruasi, gangguan ovulasi,
sampai amenore. Gangguan metabolisme glokusa, resistensi insulin
dan gangguan sekresi insulin. Gangguan metabolisme lemak.
Gangguan metabolisme vitamin D.
8. Gangguan Sistem Lain: Tulang osteodistropi ginjal, yaitu
osteomalasia, osteoslerosis, osteitis fibrosia dan klasifikasi metastasik.
Asidosis metabolik akibat penimbuna asam organik sebagai hasil
metabolisme. Elektrolit: hiperfosfotemia, hiperkalemia, hipokalsemia.
D. Patofisiologi dan Pathway
Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron (termasuk
glomerulus dan tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak (hipotesa
nefron utuh). Nefron-nefron yang utuh hipertrofi dan memproduksi
volume filtrasi yang meningkat disertai reabsorpsi walaupun dalam
keadaan penurunan GFR/daya saring. Metode adaptif ini memungkinkan
ginjal untuk berfungsi sampai ¾ dari nefron–nefron rusak. Beban bahan
yang harus dilarut menjadi lebih besar daripada yang bisa direabsorpsi
berakibat diuresis osmotik disertai poliuri dan haus.Selanjutnya karena
jumlah nefron yang rusak bertambah banyak oliguri timbul disertai retensi
produk sisa. Titik dimana timbulnya gejala-gejala pada pasien menjadi
lebih jelas dan muncul gejala-gejala khas kegagalan ginjal bila kira-kira
fungsi ginjal telah hilang 80%-90%. Pada tingkat ini fungsi renal yang
demikian nilai kreatinin clearance turun sampai 15 ml/menit atau lebih
rendah itu. Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang
normalnya diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi
uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan
produk sampah maka gejala akan semakin berat. Banyak gejala uremia
membaik setelah dialisis (Syamsir, 2017).
Pathway
E. Komplikasi
Seperti penyakit kronis dan lama lainnya, penderita CKD akan
mengalami beberapa komplikasi. Komplikasi dari CKD menurut Syamsir
Alam, dkk (2017), adalah:
1. Hiperkalemi akibat penurunan sekresi asidosis metabolik,
katabolisme, dan masukan diit berlebih.
2. Perikarditis, efusi perikardial, dan tamponad jantung akibat retensi
produk sampah uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
3. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem
renin angiotensin aldosteron.
4. Anemia akibat penurunan eritropoitin.
5. Penyakit tulang serta klasifikasi metabolik akibat retensi fosfat, kadar
kalsium serum yang rendah, metabolisme vitamin D yang abnormal
dan peningkatan kadar alumunium akibat peningkatan nitrogen dan
ion anorganik.
6. Uremia akibat peningkatan kadar uream dalam tubuh.
7. Gagal jantung akibat peningkatan kerja jantung yang berlebihan.
8. Malnutrisi karena anoreksia, mual, dan muntah.
9. Hiperparatiroid, Hiperkalemia, dan Hiperfosfatemia.
F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang CKD menurut Syamsir Alam, dkk (2017), adalah:
1. Radiologi: Ditujukan untuk menilai keadaan ginjal dan derajat
komplikasi ginjal.
2. Ultrasonografi ginjal digunakan untuk menentukan ukuran ginjal dan
adanya massa kista, obtruksi pada saluran perkemihan bagianatas.
3. Biopsi Ginjal dilakukan secara endoskopik untuk menentukan sel
jaringan untuk diagnosis histologis.
4. Endoskopi ginjal dilakukan untuk menentukan pelvis ginjal.
5. EKG mungkin abnormal menunjukkan ketidakseimbangan elektrolit
dan asam basa.
6. Foto Polos Abdomen: Menilai besar dan bentuk ginjal serta adakah
batu atau obstruksi lain.
7. Pielografi Intravena: Menilai sistem pelviokalises dan ureter, beresiko
terjadi penurunan faal ginjal pada usia lanjut, diabetes melitus dan
nefropati asam urat.
8. USG: Menilai besar dan bentuk ginjal, tebal parenkin ginjal, anatomi
sistem pelviokalises, dan ureter proksimal, kepadatan parenkim ginjal,
anatomi sistem pelviokalises dan ureter proksimal, kandung kemih
dan prostat.
9. Renogram: Menilai fungsi ginjal kanan dan kiri, lokasi gangguan
(vaskuler, parenkhim) serta sisa fungsi ginjal.
10. Pemeriksaan Radiologi Jantung: Mencari adanya kardiomegali, efusi
perikarditis.
11. Pemeriksaan radiologi Tulang: Mencari osteodistrofi (terutama pada
falangks/jari) kalsifikasi metatastik.
12. Pemeriksaan radiologi Paru: Mencari uremik lung yang disebabkan
karena bendungan.
13. Pemeriksaan Pielografi Retrograde: Dilakukan bila dicurigai adanya
obstruksi yang reversible.
14. EKG: Untuk melihat kemungkinan adanya hipertrofi ventrikel kiri,
tanda-tanda perikarditis, aritmia karena gangguan elektrolit
(hiperkalemia).
15. Biopsi Ginjal: dilakukan bila terdapat keraguan dalam diagnostik
gagal ginjal kronis atau perlu untuk mengetahui etiologinya.
16. Pemeriksaan laboratorium menunjang untuk diagnosis gagal ginjal:
a. Laju endap darah
b. Urin
1) Volume: Biasanya kurang dari 400 ml/jam (oliguria atau urine
tidak ada (anuria)).
2) Warna: Secara normal perubahan urine mungkin disebabkan
oleh pus/nanah, bakteri, lemak, partikel koloid,fosfat, sedimen
kotor, warna kecoklatan menunjukkan adanya darah, miglobin,
dan porfirin.
3) Berat Jenis: Kurang dari 1,015 (menetap pada 1,010
menunjukkan kerusakan ginjal berat).
c. Osmolalitas: Kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkan kerusakan
tubular, amrasio urine/ureum sering 1:1.
d. Ureum dan Kreatinin: Kadar kreatinin 10 mg/dL diduga tahap
akhir (mungkin rendah yaitu 5).
e. Hiponatremia
f. Hiperkalemia
g. Hipokalsemia dan hiperfosfatemia
h. Hipoalbuminemia dan hipokolesterolemia
i. Gula darah tinggi
j. Hipertrigliserida
k. Asidosis metabolik
G. Penatalaksanaan Medis
Tujuan utama penatalaksanaan pasien GGK adalah untuk
mempertahankan fungsi ginjal yang tersisa dan homeostasis tubuh selama
mungkin serta mencegah atau mengobati komplikasi. Terapi konservatif
tidak dapat mengobati GGK namun dapat memperlambat progres dari
penyakit ini karena yang dibutuhkan adalah terapi penggantian ginjal baik
dengan dialisis atau transplantasi ginjal. Pengobatan gagal ginjal kronik
dapat dibagi menjadi 2 (dua) tahap, yaitu tindakan konservatif dan dialisis
atau transplantasi ginjal (Syamsir, 2017).
1. Tindakan Konservatif: Tujuan pengobatan pada tahap ini adalah untuk
meredakan atau memperlambat gangguan fungsi ginjal progresif,
pengobatan antara lain:
a. pengaturan diet protein, kalium, natrium, dan cairan,
b. pencegahan dan pengobatan komplikasi; hipertensi, hiperkalemia,
anemia, asidosis,
c. diet rendah fosfat.
d. Pengobatan hiperurisemia: Adapun jenis obat pilihan yang dapat
mengobati hiperuremia pada penyakit gagal ginjal lanjut adalah
alopurinol. Efek kerja obat ini mengurangi kadar asam urat dengan
menghambat biosintesis sebagai asam urat total yang dihasilkan
oleh tubuh.
2. Dialisis
a. Hemodialisa: Hemodialisa merupakan suatu proses yang
digunakan pada pasien dalam keadaan sakit akut dan memerlukan
terapi dialysis jangka pendek (beberapa hari sampai beberapa
minggu) atau pada pasien dengan gagal ginjal kronik stadium akhir
atau End Stage Renal Desease (ESRD) yang memerlukan terapi
jangka panjang atau permanen. Sehelai membran sintetik yang
semipermeabel menggantikan glomerulus serta tubulus renal dan
bekerja sebagai filter bagi ginjal yang terganggu fungsinya itu.
Pada penderita gagal ginjal kronik, hemodialisa akan mencegah
kematian. Namun demikian, hemodialisa tidak menyembuhkan
atau memulihkan penyakit ginjal dan tidak mampu mengimbangi
hilangnya aktivitas metabolik atau endokrin yang dilaksanakan
ginjal dan dampak dari gagal ginjal serta terapinya terhadap
kualitas hidup pasien. Pasien dengan gagal ginjal kronik yang
mendapatkan replacement therapy harus menjalani terapi dialisis
sepanjang hidupnya atau biasanya tiga kali seminggu selama paling
sedikit 3 atau 4 jam per kali terapi atau sampai mendapat ginjal
pengganti atau baru melalui operasi pencangkokan yang berhasil.
Pasien memerlukan terapi dialisis yang kronis kalau terapi ini
diperlukan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya dan
mengendalikan gejala uremia.
b. CAPD: Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD)
merupakan salah satu cara dialisis lainnya, CAPD dilakukan
dengan menggunakan permukaan peritoneum yang luasnya sekitar
22.000 cm2. Permukaan peritoneum berfungsi sebagai permukaan
difusi .
c. Transplantasi Ginjal (TPG): Tranplantasi ginjal telah menjadi
terapi pilihan bagi mayoritas pasien dengan penyakit renal tahap
akhir hampir di seluruh dunia. Manfaat transplantasi ginjal sudah
jelas terbukti lebih baik dibandingkan dengan dialisis terutama
dalam hal perbaikan kualitas hidup. Salah satu diantaranya adalah
tercapainya tingkat kesegaran jasmani yang lebih baik
H.
Nadi Normal
2 Gangguan nutrisi kurang Setelah dilakukan asuhan keperawatan 1100 Nutritional Management
dari kebutuhan tubuh b.d selama 3x24 jam nutrisi seimbang dan
Monitor adanya mual dan muntah
anoreksia mual muntah. adekuat.
Monitor adanya kehilangan berat badan dan perubahan
Kriteria Hasil:
NOC : Nutritional Status status nutrisi.
Nafsu makan meningkat Monitor albumin, total protein, hemoglobin, dan hematocrit
level yang menindikasikan status nutrisi dan untuk
Tidak terjadi penurunan BB
perencanaan treatment selanjutnya.
Masukan nutrisi adekuat
Monitor intake nutrisi dan kalori klien.
Menghabiskan porsi makan
Berikan makanan sedikit tapi sering
Hasil lab normal (albumin, kalium
Berikan perawatan mulut sering
3 Perubahan pola napas Setelah dilakukan asuhan keperawatan 3350 Respiratory Monitoring
berhubungan dengan selama 1x24 jam pola nafas adekuat.
Monitor rata – rata, kedalaman, irama dan usaha respirasi
hiperventilasi paru
Kriteria Hasil:
Catat pergerakan dada,amati kesimetrisan, penggunaan otot
NOC : Respiratory Status tambahan, retraksi otot supraclavicular dan intercostal
Peningkatan ventilasi dan oksigenasi Monitor pola nafas : bradipena, takipenia, kussmaul,
yang adekuat hiperventilasi, cheyne stokes
Bebas dari tanda tanda distress Auskultasi suara nafas, catat area penurunan / tidak adanya
pernafasan ventilasi dan suara tambahan
Suara nafas yang bersih, tidak ada
sianosis dan dyspneu (mampu
Oxygen Therapy
mengeluarkan sputum, mampu
bernafas dengan mudah, tidak ada 3320 Auskultasi bunyi nafas, catat adanya crakles
pursed lips)
Ajarkan pasien nafas dalam
Tanda tanda vital dalam rentang
Atur posisi senyaman mungkin
normal
Batasi untuk beraktivitas
4 Gangguan perfusi jaringan Setelah dilakukan asuhan keperawatan 4066 Circulatory Care
berhubungan dengan selama 3x24 jam perfusi jaringan
Lakukan penilaian secara komprehensif fungsi sirkulasi
penurunan suplai O2 dan adekuat.
periper. (cek nadi priper,oedema, kapiler refil, temperatur
nutrisi ke jaringan sekunder.
Kriteria Hasil: ekstremitas).
Membran mukosa merah muda Inspeksi kulit dan Palpasi anggota badan
Conjunctiva tidak anemis Atur posisi pasien, ekstremitas bawah lebih rendah untuk
memperbaiki sirkulasi.
Akral hangat
Monitor status cairan intake dan output
TTV dalam batas normal. Evaluasi nadi, oedema
Guyton & Hall. 2016. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran edisi 12, Jakarta: EGC.
Nurarif. A.H. & Kusuma. H. 2015. Aplikasi NANDA NIC-NOC. Jilid 1, 2 dan 3,
Yogyakarta: Media Action.
Syamsir Alam, dkk. 2017. Gagal Ginjal, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.