POSITIVISME
&
POSTPOSITIVISME
AL MUTHAHHARAH ( 105241100420 )
Puji syukur hanya bagi Allah SWT atas berkat, rahmat dan hidayahNya, yang
tidak henti diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ini sesuai dengan
waktu yang telah ditetapkan. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada
Baginda Nabiullah Muhammad SAW.
Makalah ini disusun sebagai tugas mata kuliah filsafat dalam proses penulisan
makalah ni tentunya tidak sedikit hambatan yang penulis hadapi. Namun, semuanya itu
dapat dihadapi berkat bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, terkhususkan kepada
Allah SWT yang telah memberikan karunia-Nya berupa nikmat kesehatan, kesempatan dan
ilmu yang bermanfaat.
Saran dan kritik yang membangun begitu penulis harapkan untuk menjadikan
makalah ini tidak hanya sekedar ide yang berujung pada sebuah gagasan tertulis. Semoga
makalah ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.
tawuran antar remaja di berbagai kota ditambah dengan sejumlah perilaku mereka yang
di kalangan pelajar adalah bukti bahwa pendidikan telah gagal membentuk akhlak anak
didik. Pendidikan selama ini memang telah melahirkan alumnus yang menguasai sains-
teknologi melalui pendidikan formal yang diikutinya. Akan tetapi, pendidikan yang ada tidak
berhasil menanamkan nilai-nilai kebajikan atau karakter yang baik. Dapat di lihat di berapa
banyak lulusan pendidikan memiliki kepribadian yang justru merusak diri mereka. Tampak
dunia pendidikan di Indonesia masih perlu perbaikan karena sekarang ini yang dikejar
hanya gelar dan angka. Bukan hal mendasar yang membawa peserta didik pada kesadaran
penuh untuk mencari ilmu pengetahuan dalam menjalani realitas kehidupan. Pendidikan
semacam itu tidak terjadi di negeri ini sebab orientasinya semata-mata sebagai sarana
mencari kerja. Kenyataannya yang dianggap sukses dalam pendidikan adalah mereka yang
dengan sertifikat kelulusannya berhasil menduduki posisi pekerjaan yang menjanjikan gaji
tinggi. sementara nilai-nilai akhlak dan budi pekerti menjadi `barang langka’ bagi dunia
pendidikan.
Pendidikan juga masih menghasilkan lulusan berakhlak buruk seperti suka menang sendiri,
pecandu narkoba dan hobi tawuran, senang curang dan tidak punya kepekaan sosial, atau
gila harta dan serakah. Kegagalan pendidikan bukan hanya diukur dari standar pemenuhan
lapangan kerja. Masalah yang lebih besar adalah pendidikan kita belum bisa menghasilkan
dimusnahkan Tuhan bukan karena tidak menguasai iptek atau kurang pandai, namun
rohani dan kalbu. Implementasi ketiga unsur itu dalam format pendidikan niscaya
menghasilkan lulusan dengan nilai kemanusiaan yang tinggi. Hanya saja, kita melihat
pendidikan di Indonesia sangat jauh dari yang diharapkan bahkan jauh tertinggal dengan
Negara-negara berkembang lainnya. Hal ini setidaknya dapat dilihat dari rendahnya kualitas
SDM yang dihasilkan. Pendek kata, pendidikan kita belum mampu mengantarkan anak didik
pada kesadaran akan dirinya sebagai manusia. Padahal, manusia adalah pelaku utama
dalam proses pendidikan. Pentingnya Suatu Penentuan Filsafat dalam Pendidikan :Dr. Omar
pendidikan dan orang-orang yang melaksanakan pendidikan dalam suatu negara untuk
membentuk pemikiran yang sehat terhadap proses pendidikan. Post positivisme merupakan
ontologis aliran ini bersifat critical realisme yang memandang bahwa realitas memang
Fisafat sikap atau pandangan hidup dan sebuah bidang terapan unuk membantu individu
lawan dari positivisme yaitu cara berpikir yg subjektif Asumsi terhadap realitas: there are
multiple realities (realitas jamak), Kebenaran subjektif dan tergantung pada konteks value,
membentuk azas yang khamenyangkut kurikulum, metode, alat-alat pengajaran, dan lain-
lain. Filsafat pendidikan menjadi azas terbaik untuk mengadakan penilaian pendidikan dalam
arti menyeluruh. Penilaian pendidikan meliputi segala usaha dan kegiatan yang dilakukan
tindakan-tindakan mereka dalam bidang pendidikan. Dalam hal ini juga sekaligus untuk
membimbing pikiran mereka di tengah kancah pertarungan filsafat umum yang mengusasi
dunia pendidikan. Filsafat pendidikan positivisme akan membantu guru sebagai pendidik
untuk pendalaman pikiran bagi penyusunan kurikulum dan pembelajaran serta pendidikan
budaya dan lain-lain, dalam berbagai bidang kehidupan untuk menciptakan insane yang
sempurna baik lahir maupun batinnya, hal inilah yang melatarbelakangi penulis untuk
menyusun makalah yang membahas mengenai “ Peran Post positivisme dalam pendidikan.
B. Rumusan Masalah.
C. Tujuan Penulis
PEMBAHASAN
A. Positivisme
Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya
sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisik.
Tidak mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan pada data empiris.
Menurut Amsal Bakhtiar dalam bukunya filsafat agama bahwa positivisme adalah kelanjutan
dari empirisme. Kalau empirisme menekankan pada pengalaman saja dan merendahkan
fungsi akal, adapun positivise menggabungkan keduanya.
Positivisme, kata asalnya adalah “positif”, berarti yang diketahui, yang factual, dan yang
positif. Segala uraian yang diluar fakta atau kenyataan dikesampingkan. Oleh karena itu,
metafisika ditolak. Apa yang diketahui secara positif adalah segala yang tampak dan yang
dapat diukur. Dengan demikian positivisme membatasi filsafat dan ilmu pada bidang gejala-
gejala saja.[3]
1650) dan para penerusnya
mengembangkan cara pandang positivisme, yang memperoleh sukses besar sebagiam
ana terlihat pengaruhnya dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa
ini. Paradigma ilmu pada dasarnya berisi jawaban atas pertanyaan fundamental proses
keilmuan manusia, yakni bagaimana, apa, dan untuk apa. Tiga pertanyaan dasar itu
kemudian dirumuskan menjadi beberapa dimensi.[4]
a. Dimensi ontologis, pertanyaan yang harus dijawab oleh seorang ilmuwan adalah:
Apa sebenarnya hakikat dari sesuatu yang dapat diketahui (knowable), atau apa sebenarnya
hakikat dari suatu realitas (reality). Dengan demikian dimensi yang dipertanyakan adalah hal
yang nyata (what is nature of reality?).
b. Dimensi epistemologis, pertanyaan yang harus dijawab oleh seorang ilmuwan adalah:
Apa sebenarnya hakikat hubungan antara pencari ilmu (inquirer) dan objek yang ditemukan
(know atau knowable)?
c. Dimensi axiologis, yang dipermasalahkan adalah peran nilai-nilai dalam suatu kegia
tan penelitian.
d. Dimensi retorik yang dipermasalahkan adalah bahasa yang digunakan dalam penelitian.
Positivisme merupakan paradigma ilmu pengetahuan yang paling awal muncul dalam dunia
ilmu pengetahuan. Keyakinan dasar aliran ini berakar dari paham ontologi realisme yang
menyatakan bahwa realitas ada (exist) dalam kenyataan yang berjalan sesuai dengan
hukum alam (natural laws). Dengan kata lain, Positivisme merupakan suatu aliran filsafat
yang menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisik. Tidak mengenal adanya
spekulasi, semua didasarkan pada data empiris.
Sesungguhnya aliran ini menolak adanya spekulasi teoritis sebagai suatu sarana untuk
memperoleh pengetahuan (seperti yang diusung oleh kaum idealisme khususnya idealisme
Jerman Klasik). Positivisme merupakan empirisme, yang dalam segi-segi tertentu sampai
kepada kesimpulan logis ekstrim karena pengetahuan apa saja merupakan pengetahuan
empiris dalam satu atau lain bentuk, maka tidak ada spekulasi dapat menjadi pengetahuan.
Filsafat positivisme lahir pada abad ke-19. Titik tolak pemikirannya, segala yang diketahui
adalah yang faktual dan yang positif, sehingga metafisika ditolaknya. Positif adalah segala
gejala dan segala yang tampak seperti apa adanya, sebatas pengalaman-pengalaman
obyektif. Jadi, setelah fakta diperoleh, maka fakta-fakta tersebut kita atur untuk dapat
memberikan asumsi (proyeksi ke masa depan). Beberapa tokoh diantaranya, August Comte
(1798-1857), Jonh S. Mill (1806-1873), Herbert Spencer (1820-1903).[6]
Positivisme muncul pada abad ke-19 dimotori oleh sosiolog Auguste Comte, dengan buah
karyanya yang terdiri dari enam jilid dengan judul The Course of Positive Philosophy (1830-
1842). Ia lahir di Montpellier, Prancis. Sebuah karya penting, Cours de Philosofia Positif
(kursus tentang filsafat positif), dan berjasa dalam mencipta ilmu sosiologi.
Positivisme memandang agama sebagai gejala peradaban manusia yang primitive. August
Comte, tokoh positivisme, membagi sejarah umat manusia atas tiga tahap. Pertama, tahap
teologis, yaitu manusia masih terpaku pada hakikat ‘batin’ segala sesuatu, sebab pertama,
dan tujuan terakhir. Jadi seseorang masih percaya kepada Yang Mutlak. Tingkat teologi
menerangkan segala-galanya dengan pengaruh dan sebab-sebab yang melebihi kodrat.
[7]
Kedua, tahap metafisika, yaitu perubahan bentuk saja dari zaman teologis. Kekeuatan-
kekuatan adikridati yang berupa dewa diganti dengan kekuatan yang abstrak lewat proses
generalisasi. Ketiga, tahap positif, yairtu ketika orang sadar bahwa tidak ada gunanya untuk
berusaha mencapai pengenalan, baik teologis maupun metafisis. Zaman ini, seseorang tidak
mau lagi melihat awal dan tujuan alam semesta, tetapi berusaha menemukan hokum-hukum
kesamaan yang ada dibelakang fakta lewat pengamatan dan akanya. Tujuan tertinggi pada
zaman ini akan tercapai, bila mana segala gejala telah dapat disusun dan diatur di dalam
satu fakta yang umum saja.[8]
Comte berpendapat bahwa tiga tahap perkembangan umat manusia tidak saja berlaku bagi
suatu bangsa atau suku, tetapi juga individu dan ilmu. Ketika masa kanak-kanak, seseorang
menjadi teolog. Ketika remaja, dia menjadi meyafisikus, dan ketika dewasa dia menjadi
positivis. Ilmu juga demikian. Pada awalnya ilmu dikuasai oleh teologis, sesudah itu di
abstraksikan oleh metafisika, dan akhirnya baru dicerahkan oleh hokum-hukum positif.
Comtelah yang pertama kali menggunakan istilah sosiologi untuk menggantikan istilah
phisique sociale dari Quetelet. Ia membedakan antara social statics dan social dynamic.
Pembedaan itu hanyalah untuk tujuan analisis, keduanya menganalisa fakta sosial yang
sama, hanya dengan tujuan yang berbeda. Yang pertama menelaah fungsi jenjang-jenjang
peradaban, yang kedua menelaah perubahan-perubahan jenjang tersebut.[9]
Menurut Emile Durkheim (1982:59) objek studi sosiologi adalah fakta sosial (social-
fact): Fakta sosial yang dimaksud meliputi: bahasa, sistem hukum, sistem politik, pendidikan,
dan lain-lain. Sekalipun fakta sosial berasal dari luar kesadaran individu, tetapi dalam
penelitian positivisme, informasi kebenaran itu ditanyakan oleh penelitian kepada individu
yang dijadikan responden penelitian. Untuk mencapai kebenaran ini, maka seorang pencari
kebenaran (penelitian) harus menanyakan langsung kepada objek yang diteliti, dan objek
dapat memberikan jawaban langsung kepada penelitian yang bersangkutan. Hubungan
epistemologi ini, harus menempatkan si peneliti di belakang layar untuk mengobservasi
hakekat realitas apa adanya untuk menjaga objektifitas temuan. Karena itu secara
metodologis, seorang penelitian menggunakan metodologi eksperimen-empirik untuk
menjamin agar temuan yang diperoleh betul-betul objektif dalam menggambarkan keadaan
yang sebenarnya. Mereka mencari ketepatan yang tinggi, pengukuran yang akurat dan
penelitian objektif, juga mereka menguji hipotesis dengan jalan melakukan analisis terhadap
bilangan-bilangan yang berasal dari pengukuran.
Di bawah naungan payung positivisme, ditetapkan bahwa objek ilmu pengetahuan maupun
pernyataan-pernyataan ilmu pengetahuan (Scientific Proporsition) haruslah memenuhi
syarat-syarat (Kerlinger, 1973) sebagai berikut: dapat di/ter-amati (observable), dapat di/ter-
ulang (repeatable), dapat di/ter-ukur (measurable), dapat di/ter-uji (testable), dan dapat
di/ter-ramalkan (predictable).[10]
Tokoh semasa dengan Comte yang juga memberi landasan positivisme adalah Jeremy
Bentham dan James Mill (1806-1873),[11] menurut keduanya ilmu yang valid adalah ilmu
yang dilandaskan pada fakta. Ethik tradisional yang dilandaskan pada moral diganti dengan
ethik pada motif perilaku pada kepatuhan manusia pada aturan. Mill menolak absolut dari
agama. Mill berpendapat bahwa kebebasan manusia itu bagaikan a secrad fortress (benteng
suci) yang aman dari penyusupan otoritas apapun, wawasan yang menjadi marak pada
akhir abad 20-an ini.
Salah seorang pendukung positivism adalah Herbert Spencer. Spencer sependapat dengan
Comte, terutama tentang eksistensi Tuhan. Menurutnya, keterangan mengenai dunia, baik
yang bersifat keagamaan maupun yang bersifat metafisik menimbulkan pertentangan.
Agama dan metafisik ingin memberikan penjelasan tentang asal mula sesuatu, padahal
manusia tidak mampu mengetahui hal itu.
Setelah positivisme ini berjasa dalam waktu yang cukup lama (± 400 tahun), kemudian
berkembang sejumlah ‘aliran’ paradigma baru yang menjadi landasan pengembangan ilmu
dalam berbagai bidang kehidupan.
B. Pengertian Post-Positivisme.
Filsafat Post Positivisme lawan dari positivisme yaitu cara berpikir yang subjektif Asumsi
terhadap realitas: there are multiple realities (realitas jamak), Kebenaran subjektif dan
tergantung pada konteks value, kultur, tradisi, kebiasaan, dan keyakinan. Natural dan lebih
manusiawi. Post Positivisme lawan dari positivisme: cara berpikir yg subjektif Asumsi thd
realitas: there are multiple realities (realitas jamak), Kebenaran subjektif dan tergantung
pada konteks value, kultur, tradisi, kebiasaan, dan keyakinan. Natural dan lebih manusiawi.
dinamai “post-positivisme”. Tokohnya; Karl R. Popper, Thomas Kuhn, para filsuf mazhab
Frankfurt (Feyerabend, Richard Rotry). Paham ini menentang positivisme, alasannya tidak
mungkin menyamaratakan ilmu-ilmu tentang manusia dengan ilmu alam, karena tindakan
manusia tidak bisa di prediksi dengan satu penjelasan yang mutlak pasti, sebab manusia
yang diteliti. Secara ontologis aliran ini bersifat critical realism yang memandang bahwa
realitas memang ada dalam kenyataan, sesuai dengan hukum alam, tetapi satu hal yang
mustahil bila suatu realitas dapat dilihat secara benar oleh manusia (peneliti). Oleh karena
itu, secara metodologis pendekatan eksperimental melalui observasi tidaklah cukup, tetapi
sumber data, peneliti dan teori. Post positivisme merupakan sebuah aliran yang datang
setelah positivism dan memang amat dekat dengan paradigma positivisme. Salah satu
indikator yang membedakan antara keduanya bahwa post positivisme lebih mempercayai
terhadap objek yang diteliti. Secara ontologis aliran post-positivisme bersifat critical realism
dan menganggap bahwa realitas memang ada dan sesuai dengan kenyataan dan hukum
alam tapi mustahil realitas tersebut dapat dilihat secara benar oleh peneliti. Secara
tidak bisa dipisahkan tapi harus interaktif dengan subjektivitas seminimal mungkin. Secara
sebuah aliran yang datang setelah positivisme dan memang amat dekat dengan paradigma
positivisme. Salah satu indikator yang membedakan antara keduanya bahwa post
positivisme lebih mempercayai proses verifikasi terhadap suatu temuan hasil observasi
melalui berbagai macam metode. Dengan demikian suatu ilmu memang betul mencapai
objektivitas apabila telah diverifikasi oleh berbagai kalangan dengan berbagai cara
menyamaratakan.[4]
objek-objek intensional. Dua arti objek intensional: semantik dan ontologik. Makna semantik
intensional: bila tidak dapat ditampilkan rumusan equivalennya (satu makna). Ontologik:
sesuatu dikatakan intensional bila kesamaan identitas tidak menjamin untuk dikatakan
equivalen atau identik Inti Pemikiran Husserl. Hubungan antara peneliti dengan realitas
harus bersifat interaktif, untuk itu perlu menggunakan prinsip trianggulasi, yaitu
penggunaan bermacam-macam metode, sumber data, data, dan lain-lain. Paradigma ini
ontologis aliran ini bersifat critical realism yang memandang bahwa realitas memang ada
dalam kenyataan sesuai dengan hukum alam, tetapi satu hal yang mustahil bila suatu
realitas dapat dilihat secara benar oleh manusia (peneliti). Oleh karena itu, secara
filsuf mazhab Frankfurt (Feyerabend, Richard Rotry). Paham ini menentang positivisme,
alasannya tidak mungkin ilmu-ilmu tentang manusia dengan ilmu alam, karena tindakan
manusia tidak bisa di prediksi dengan satu penjelasan yang mutlak pasti, sebab manusia
observasi dianggap bisa saja dipengaruhi oleh persepsi masing-masing orang. Proses dari
2) Hubungan yang kaku antara teori dan bukti. Pengamat memiliki sudut pandang yang
penggerak ide yang menggantikan ide2 positivisme post positivisme memiliki cita-cita ingin
meninggkatkan kondisi ekonomi dan sosial, kesadaran dan akan peristiwa sejarah dan
perkembangan dalam bidang pendidikan Filsafat post positivisme agar pendidikan tidak
hanya kejadian atau hal-hal yang dapat dibuktikan secara impiris atau dapat dilihat
berkarakter itu akan berjalan dengan baik dan memberi dampak yang positip, dilihat bukan
hanya materi dalam pembelajaran melainkan ada juga dari prilaku adri guru, keluarga, dan
B. Paradigma Post-Positivisme.
Dalam proses keilmuan, paradigma keilmuan memegang peranan yang penting. Fungsi
dari proses keilmuan. Menurut Thomas Kuhn, paradigma sebagai seperangkat keyakinan
mendasar yang memandu tindakan-tindakan kita, baik tindakan keseharian maupun dalam
penyelidikan ilmiah.
Denzin & Lincoln (1994:105) mendefinisikan paradigma sebagai: “Basic belief system or
worldview that guides the investigator, not only in choices of method but in ontologically and
adalah sistem keyakinan dasar atau cara memandang dunia yang membimbing peneliti tidak
hanya dalam memilih metode tetapi juga cara-cara fundamental yang bersifat ontologis
dan epistomologis.
yang dapat dijelakan dengan bukti-bukti2 empiris bukti empiris kemungkinan menunjukan
fakta anomali)
2. Fakta tidak bebas, melainkan penuh dengan nilai (Interaksi antara subjek dan objek
manusia dan semesta yang penuh dengan persoalan dan senantiasa berubah)
3. Asumsi dasar post-positivisme tentang realitas adalah jamak individual. (Hal itu berarti
bahwa realitas (perilaku manusia) tidak tunggal, melainkan hanya bisa menjelaskan dirinya
Ada empat pertanyaan dasar yang akan memberikan gambaran tentang posisi aliran post-
positivisme yaitu
bentuk lain dari positivisme yang posisinya lebih lemah? Atau karena aliran ini datang
setelah positivisme sehingga dinamakan postpositivisme? Harus diakui bahwa aliran ini
bukan suatu filsafat baru dalam bidang keilmuan, tetapi memang amat dekat dengan
paradigma positivisme. Salah satu indikator yang membedakan antara keduanya bahwa
postpositivisme lebih mempercayai proses verifikasi terhadap suatu temuan hasil observasi
melalui berbagai macam metode. Dengan demikian suatu ilmu memang betul mencapai
objektivitas apabila telah diverifikasi oleh berbagai kalangan dengan berbagai cara.
tua dan usang? Dugaan ini tidak seluruhnya benar. Pandangan awal aliran positivisme (old-
positivism) adalah anti realis, yang menolak adanya realitas dari suatu teori. Realisme
modern bukanlah kelanjutan atau luncuran dari aliran positivisme, tetapi merupakan
Bukankah ini menunjukkan bahwa mereka tidak mengakui adanya sebuah kenyataan
(multiple realities) dan setiap masyarakat membentuk realitas mereka sendiri? Pandangan
ini tidak benar karena relativisme tidak sesuai dengan pengalaman sehari-hari dalam dunia
ilmu. Yang pasti postpositivisme mengakui bahwa paradigma hanyalah berfungsi sebagai
pandangan itu benar, sedangkan realis hanya berkepentingan terhadap pandangan yang
dianggap terbaik dan benar. Postpositivisme menolak pandangan bahwa masyarakat dapat
menentukan banyak hal sebagai hal yang nyata dan benar tentang suatu objek oleh
anggotanya.
4) karena pandangan bahwa persepsi orang berbeda, maka tidak ada sesuatu yang
sama sekali tidak bisa diterima. Objektivitas merupakan indikator kebenaran yang melandasi
semua penyelidikan. Jika kita menolak prinsip ini, maka tidak ada yang namanya
penyelidikan. Yang ingin ditekankan di sini bahwa objektivitas tidak menjamin untuk
characterized as modified version of positivism. Having assessed the damage that positivism
has occured, postpositivists strunggle to limited that damage as well as to adjust to it.
Postpositivisme mempunyai ciri utama sebagai suatu modifikasi dari Positivisme. Melihat
ontologi aliran ini bersifat critical realism yang memandang bahwa realitas memang ada
dalam kenyataan sesuai dengan hukum alam, tetapi suatu hal, yang mustahil bila suatu
realitas dapat dilihat secara benar oleh manusia (peneliti). Oleh karena itu secara
dengan objek atau realitas yang diteliti tidaklah bisa dipisahkan, tidak seperti yang diusulkan
aliran Positivisme. Aliran ini menyatakan suatu hal yang tidak mungkin mencapai atau
melihat kebenaran apabila pengamat berdiri di belakang layar tanpa ikut terlibat dengan
objek secara langsung. Oleh karena itu, hubungan antara pengamat dengan objek harus
bersifat interaktif, dengan catatan bahwa pengamat harus bersifat senetral mungkin,
Dari pandangan Guba maupun Salim yang juga mengacu pandangan Guba, Denzin dan
Lincoln dapat disimpulkan bahwa Postpositivisme adalah aliran yang ingin memperbaiki
bahwa realitas itu memang nyata ada sesuai hukum alam.[7] Tetapi pada sisi lain.
apabila peneliti membuat jarak dengan realitas atau tidak terlibat secara langsung dengan
realitas. Hubungan antara peneliti dengan realitas harus bersifat interaktif, untuk itu perlu
data, data, dan lain-lain. Salah satu indikator yang membedakan antara keduanya bahwa
postpositivisme lebih mempercayai proses verifikasi terhadap suatu temuan hasil observasi
melalui berbagai macam metode. Dengan demikian suatu ilmu memang betul mencapai
objektifitas apabila telah diverifikasi oleh berbagai kalangan dengan berbagai cara. Kedua,
Bukankah postpositivisme bergantung pada paradigma realisme yang sudah sangat tua dan
usang? Dugaan ini tidak seluruhnya benar. Pandangan awal aliran positivisme (old-
positivism) adalah anti realis, yang menolak adanya realitas dari suatu teori. Realisme
modern bukanlah kelanjutan atau luncuran dari aliran positivisme, tetapi merupakan
yang berpengaruh yang merupakan penganut realisme. Bukankah ini menunjukkan bahwa
mereka tidak mengakui adanya sebuah kenyataan (multiple realities) dan setiap masyarakat
membentuk realitas mereka sendiri? Pandangan ini tidak benar karena relativisme tidak
sesuai dengan pengalaman sehari-hari dalam dunia ilmu. Yang pasti postpositivisme
mengakui bahwa paradigma hanyalah berfungsi sebagai lensa bukan sebagai kacamata.
Selanjutnya, relativisme mengungkap bahwa semua pandangan itu benar, sedangkan realis
sebagai hal yang nyata dan benar tentang suatu objek oleh anggotanya. Keempat, karena
pandangan bahwa persepsi orang berbeda, maka tidak ada sesuatu yang benar-benar pasti.
Bukankah postpositivisme menolak kriteria objektivitas? Pandangan ini sama sekali tidak
penyelidikan Untuk mengetahui lebih jauh tentang postpositivisme empat pertanyaan dasar
berikut, akan memberikan gambaran tentang posisi aliran ini dalam kancah paradigma ilmu
paradigma ilmu yang lain? Apakah ini merupakan bentuk lain dari positivisme yang posisinya
lebih lemah? Atau karena aliran ini datang setelah positivisme sehingga dinamakan
postpositivisme? Harus diakui bahwa aliran ini bukan suatu filsafat baru dalam bidang
keilmuan, tetapi memang amat dekat dengan paradigma positivisme Jika kita menolak
PENUTUP
A. Kesimpulan
Filsafat Post Positivisme lawan dari positivisme yaitu cara berpikir yg subjektif Asumsi
terhadap realitas: there are multiple realities (realitas jamak), Kebenaran subjektif dan
tergantung pada konteks value, kultur, tradisi, kebiasaan, dan keyakinan. Natural dan lebih
manusiawi. Post Positivisme lawan dari positivisme: cara berpikir yg subjektif Asumsi thd
realitas: there are multiple realities (realitas jamak), Kebenaran subjektif dan tergantung
pada konteks value, kultur, tradisi, kebiasaan, dan keyakinan. Natural dan lebih
Dalam proses keilmuan, paradigma keilmuan memegang peranan yang penting. Fungsi
dari proses keilmuan. Menurut Thomas Kuhn, paradigma sebagai seperangkat keyakinan
mendasar yang memandu tindakan-tindakan kita, baik tindakan keseharian maupun dalam
3. Interaksi antara subjek dan objek penelitian. Hasil penelitian bukanlah reportase
objektif, melainkan hasil interaksi manusia dan semesta yang penuh dengan persoalan
B. Saran
Dalam mempelajari pengetahuan, kita dianjurkan untuk mempelajari filsafat degan berbagai
macam cabang ilmunya. Karena dengan cara kerja yan bersifat sistematis, universal
(menyeluruh) dan radikal, yang mengupas, menganalisa sesuatu secara mendalam, ternya
sangat relavan dengan problematika hidup dan kehidupan manusia serta mampu menjadi
perekat antara berbagai disiplin ilmu yng terpisah kaitan satu sama lain. Dengan demikian,
menggunakan analisa filsafat, berbagai macam disiplin yang berkembang sekarang ini, akan
menentukan kembali relevansinya dengan hidup dan kehidupan masayrakat adan akan lebih
Mustansyi Rizal dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010
Gaffar Afan, Bahan ajar mata kuliah Skope dan Metodologi Ilmu Politik Yogyakarta, 1989