Anda di halaman 1dari 20

TUGAS KELOMPOK IV

NAMA DOSEN : SITTI SATRIANI IS, S.Pd.I., M.Pd.I

POSITIVISME
&
POSTPOSITIVISME

AL MUTHAHHARAH ( 105241100420 )

NUR JUHARIAH NAHRI ( 105241101420 )

MUH ZULKIFLI ( 105241101820 )

PENDIDIKAN BAHASA ARAB


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2021
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Puji syukur hanya bagi Allah SWT atas berkat, rahmat dan hidayahNya, yang
tidak henti diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ini sesuai dengan
waktu yang telah ditetapkan. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada
Baginda Nabiullah Muhammad SAW.

Makalah ini disusun sebagai tugas mata kuliah filsafat dalam proses penulisan
makalah ni tentunya tidak sedikit hambatan yang penulis hadapi. Namun, semuanya itu
dapat dihadapi berkat bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, terkhususkan kepada
Allah SWT yang telah memberikan karunia-Nya berupa nikmat kesehatan, kesempatan dan
ilmu yang bermanfaat.

Saran dan kritik yang membangun begitu penulis harapkan untuk menjadikan
makalah ini tidak hanya sekedar ide yang berujung pada sebuah gagasan tertulis. Semoga
makalah ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Makassar, 08 januari 2022

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.

Pendidikan belakangan ini mengalami kondisi yang memprihatinkan, dengan maraknya

tawuran antar remaja di berbagai kota ditambah dengan sejumlah perilaku mereka yang

cenderung anarkis, meningkatnya penyalahgunaan narkoba, dan suburnya pergaulan bebas

di kalangan pelajar adalah bukti bahwa pendidikan telah gagal membentuk akhlak anak

didik. Pendidikan selama ini memang telah melahirkan alumnus yang menguasai sains-

teknologi melalui pendidikan formal yang diikutinya. Akan tetapi, pendidikan yang ada tidak

berhasil menanamkan nilai-nilai kebajikan atau karakter yang baik. Dapat di lihat di berapa

banyak lulusan pendidikan memiliki kepribadian yang justru merusak diri mereka. Tampak

dunia pendidikan di Indonesia masih perlu perbaikan karena sekarang ini yang dikejar

hanya gelar dan angka. Bukan hal mendasar yang membawa peserta didik pada kesadaran

penuh untuk mencari ilmu pengetahuan dalam menjalani realitas kehidupan. Pendidikan

semacam itu tidak terjadi di negeri ini sebab orientasinya semata-mata sebagai sarana

mencari kerja. Kenyataannya yang dianggap sukses dalam pendidikan adalah mereka yang

dengan sertifikat kelulusannya berhasil menduduki posisi pekerjaan yang menjanjikan gaji

tinggi. sementara nilai-nilai akhlak dan budi pekerti menjadi `barang langka’ bagi dunia

pendidikan.

Pendidikan juga masih menghasilkan lulusan berakhlak buruk seperti suka menang sendiri,

pecandu narkoba dan hobi tawuran, senang curang dan tidak punya kepekaan sosial, atau

gila harta dan serakah. Kegagalan pendidikan bukan hanya diukur dari standar pemenuhan

lapangan kerja. Masalah yang lebih besar adalah pendidikan kita belum bisa menghasilkan

lulusan yang berakhlak mulia. Ahmad Tafsir menegaskan, bangsa-bangsa yang

dimusnahkan Tuhan bukan karena tidak menguasai iptek atau kurang pandai, namun

karena buruknya akhlak.


Karena itu, mengutip kata-kata bijak para filosof, pendidikan sejatinya ditujukan untuk

membantu memanusiakan manusia. Pendidikan tersebut harus mencakup unsur jasmani,

rohani dan kalbu. Implementasi ketiga unsur itu dalam format pendidikan niscaya

menghasilkan lulusan dengan nilai kemanusiaan yang tinggi. Hanya saja, kita melihat

pendidikan di Indonesia sangat jauh dari yang diharapkan bahkan jauh tertinggal dengan

Negara-negara berkembang lainnya. Hal ini setidaknya dapat dilihat dari rendahnya kualitas

SDM yang dihasilkan. Pendek kata, pendidikan kita belum mampu mengantarkan anak didik

pada kesadaran akan dirinya sebagai manusia. Padahal, manusia adalah pelaku utama

dalam proses pendidikan. Pentingnya Suatu Penentuan Filsafat dalam Pendidikan :Dr. Omar

Muhammad al-Taumy al-Syaibani mengemukakan pentingnya penentuan suatu falsafat bagi

pendidikan sebagai berikut, Filsafat pendidikan itu dapat menolong perancang-perancang

pendidikan dan orang-orang yang melaksanakan pendidikan dalam suatu negara untuk

membentuk pemikiran yang sehat terhadap proses pendidikan. Post positivisme merupakan

aliran yang ingin memperbaiki kelemahan-kelemahan positivisme yang hanya

mengandalkan kemampuan pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti. Secara

ontologis aliran ini bersifat critical realisme yang memandang bahwa realitas memang

Fisafat sikap atau pandangan hidup dan sebuah bidang terapan unuk membantu individu

untuk mengevaluasi keberadaanya dengan cara memuaskan. Filsafat Post Positivisme

lawan dari positivisme yaitu cara berpikir yg subjektif Asumsi terhadap realitas: there are

multiple realities (realitas jamak), Kebenaran subjektif dan tergantung pada konteks value,

kultur, tradisi, kebiasaan, dan keyakinan. Natural dan lebih manusiawi.[1]

Di samping itu dapat menolong terhadap tujuan-tujuan dan fungsi-fungsinya serta

meningkatkan mutu penyelesaian masalah pendidikan; Filsafat pendidikan dapat

membentuk azas yang khamenyangkut kurikulum, metode, alat-alat pengajaran, dan lain-

lain. Filsafat pendidikan menjadi azas terbaik untuk mengadakan penilaian pendidikan dalam

arti menyeluruh. Penilaian pendidikan meliputi segala usaha dan kegiatan yang dilakukan

oleh sekolah dan institusi-institusi pendidikan.


Filsafat pendidikan dapat menjadi sandaran intelektual bagi para pendidik untuk membela

tindakan-tindakan mereka dalam bidang pendidikan. Dalam hal ini juga sekaligus untuk

membimbing pikiran mereka di tengah kancah pertarungan filsafat umum yang mengusasi

dunia pendidikan. Filsafat pendidikan positivisme akan membantu guru sebagai pendidik

untuk pendalaman pikiran bagi penyusunan kurikulum dan pembelajaran serta pendidikan

siswanya di sekolah dan mengaitkannya dengan factor-faktor spiritual, social, ekonomi,

budaya dan lain-lain, dalam berbagai bidang kehidupan untuk menciptakan insane yang

sempurna baik lahir maupun batinnya, hal inilah yang melatarbelakangi penulis untuk

menyusun makalah yang membahas mengenai “ Peran Post positivisme dalam pendidikan.

B. Rumusan Masalah.

1. Apa yang dimaksud dengan Positivisme dan Post-Positivisme?

2. Bagaimana Paradigma Post-Positivisme ?

3. Bagaimana Asumsi dasar Post-Positivisme?

C. Tujuan Penulis

1. Mengetahui apa itu Positivisme dan Post-Positivisme

2. Mengetahui Bagaimana Positivisme

3. Mengetahui Bagaimana Post-Positivisme


BAB II

PEMBAHASAN

A.    Positivisme

Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya
sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisik.
Tidak mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan pada data empiris.

Menurut Amsal Bakhtiar dalam bukunya filsafat agama bahwa positivisme adalah kelanjutan
dari empirisme. Kalau empirisme menekankan pada pengalaman saja dan merendahkan
fungsi akal, adapun positivise menggabungkan keduanya.

Positivisme, kata asalnya adalah “positif”, berarti yang diketahui, yang factual, dan yang
positif. Segala uraian yang diluar fakta atau kenyataan dikesampingkan. Oleh karena itu,
metafisika ditolak. Apa yang diketahui secara positif adalah segala yang tampak dan yang
dapat diukur. Dengan demikian positivisme membatasi filsafat dan ilmu pada bidang gejala-
gejala saja.[3]

Dalam paradigma ilmu, ilmuwan telah mengembangkan sejumlah perangkat keyakinan


dasar yang mereka gunakan dalam mengungkapkan hakikat ilmu yang sebenarnya dan
bagaimana cara untuk mendapatkannya.
Tradisi  pengungkapan  ilmu  ini  telah  ada  sejak  adanya  manusia,  namun  secara
sistematis  dimulai  sejak  abad  ke-17,  ketika  Descartes  (1596

1650)  dan  para  penerusnya
mengembangkan  cara  pandang  positivisme,  yang  memperoleh  sukses  besar  sebagiam
ana  terlihat pengaruhnya dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa
ini. Paradigma ilmu pada dasarnya berisi jawaban atas pertanyaan fundamental proses
keilmuan manusia, yakni bagaimana, apa, dan untuk apa. Tiga pertanyaan dasar itu
kemudian dirumuskan menjadi beberapa dimensi.[4]

a.    Dimensi  ontologis,  pertanyaan  yang  harus  dijawab  oleh  seorang ilmuwan adalah:
Apa sebenarnya hakikat dari sesuatu yang dapat diketahui (knowable), atau apa sebenarnya
hakikat dari suatu realitas (reality). Dengan demikian dimensi yang dipertanyakan adalah hal
yang nyata (what is nature of reality?).
b.    Dimensi epistemologis, pertanyaan yang harus dijawab oleh seorang ilmuwan adalah:
Apa sebenarnya hakikat hubungan antara pencari ilmu (inquirer) dan objek yang ditemukan
(know atau knowable)?

c.    Dimensi  axiologis,  yang  dipermasalahkan  adalah  peran  nilai-nilai  dalam  suatu  kegia
tan penelitian.

d.   Dimensi retorik yang dipermasalahkan adalah bahasa yang digunakan dalam penelitian.

e.    Dimensi metodologis, seorang ilmuwan harus menjawab pertanyaan: bagaimana cara


atau
metodologi  yang  dipakai  seseorang  dalam  menemukan  kebenaran  suatu  ilmu  pengeta
huan? Jawaban terhadap kelima dimensi pertanyaan ini, akan menemukan posisi paradigma
ilmu untuk menentukan paradigma apa yang akan dikembangkan seseorang dalam kegiatan
keilmuan.[5]

Positivisme merupakan paradigma ilmu pengetahuan yang paling awal muncul dalam dunia
ilmu pengetahuan. Keyakinan dasar aliran ini berakar dari paham ontologi realisme yang
menyatakan bahwa realitas ada (exist) dalam kenyataan yang berjalan sesuai dengan
hukum alam (natural laws). Dengan kata lain, Positivisme merupakan suatu aliran filsafat
yang menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisik. Tidak mengenal adanya
spekulasi, semua didasarkan pada data empiris.

Sesungguhnya aliran ini menolak adanya spekulasi teoritis sebagai suatu sarana untuk
memperoleh pengetahuan (seperti yang diusung oleh kaum idealisme khususnya idealisme
Jerman Klasik). Positivisme merupakan empirisme, yang dalam segi-segi tertentu sampai
kepada kesimpulan logis ekstrim karena pengetahuan apa saja merupakan pengetahuan
empiris dalam satu atau lain bentuk, maka tidak ada spekulasi dapat menjadi pengetahuan.

Filsafat positivisme lahir pada abad ke-19. Titik tolak pemikirannya, segala yang diketahui
adalah yang faktual dan yang positif, sehingga metafisika ditolaknya. Positif adalah segala
gejala dan segala yang tampak seperti apa adanya, sebatas pengalaman-pengalaman
obyektif. Jadi, setelah fakta diperoleh, maka fakta-fakta tersebut kita atur untuk dapat
memberikan asumsi (proyeksi ke masa depan). Beberapa tokoh diantaranya, August Comte
(1798-1857), Jonh S. Mill (1806-1873), Herbert Spencer (1820-1903).[6]

Positivisme muncul pada abad ke-19 dimotori oleh sosiolog Auguste Comte, dengan buah
karyanya yang terdiri dari enam jilid dengan judul The Course of Positive Philosophy (1830-
1842). Ia lahir di Montpellier, Prancis. Sebuah karya penting, Cours de Philosofia Positif
(kursus tentang filsafat positif), dan berjasa dalam mencipta ilmu sosiologi.

Positivisme memandang agama sebagai gejala peradaban manusia yang primitive. August
Comte, tokoh positivisme, membagi sejarah umat manusia atas tiga tahap. Pertama, tahap
teologis, yaitu manusia masih terpaku pada hakikat ‘batin’ segala sesuatu, sebab pertama,
dan tujuan terakhir. Jadi seseorang masih percaya kepada Yang Mutlak. Tingkat teologi
menerangkan segala-galanya dengan pengaruh dan sebab-sebab yang melebihi kodrat.
[7]
 Kedua, tahap metafisika, yaitu perubahan bentuk saja dari zaman teologis. Kekeuatan-
kekuatan adikridati yang berupa dewa diganti dengan kekuatan yang abstrak lewat proses
generalisasi. Ketiga, tahap positif, yairtu ketika orang sadar bahwa tidak ada gunanya untuk
berusaha mencapai pengenalan, baik teologis maupun metafisis. Zaman ini, seseorang tidak
mau lagi melihat awal dan tujuan alam semesta, tetapi berusaha menemukan hokum-hukum
kesamaan yang ada dibelakang fakta lewat pengamatan dan akanya. Tujuan tertinggi pada
zaman ini akan tercapai, bila mana segala gejala telah dapat disusun dan diatur di dalam
satu fakta yang umum saja.[8]

Comte berpendapat bahwa tiga tahap perkembangan umat manusia tidak saja berlaku bagi
suatu bangsa atau suku, tetapi juga individu dan ilmu. Ketika masa kanak-kanak, seseorang
menjadi teolog. Ketika remaja, dia menjadi meyafisikus, dan ketika dewasa dia menjadi
positivis. Ilmu juga demikian. Pada awalnya ilmu dikuasai oleh teologis, sesudah itu di
abstraksikan oleh metafisika, dan akhirnya baru dicerahkan oleh hokum-hukum positif.

Alat penelitian yang pertama menurut Comte adalah observasi, tindak  mengamati


sekaligusmenghubungkan  dengan  sesuatu  hukum  yang  hipothetik  diperbolehkan
oleh  Comte.  merupakan  kreasi  simultan  observasi  dengan  hukum  dan  merupakan  ling
karan  yang  tak berujung.  Eksperimentasi menjadi metode yang kedua menurut Comte
yaitu suatu proses reguler phenomena dapat diintervensi dengan sesuatu yang lain.
Komparasi dipakai untuk halhal yang lebih kompleks seperti biologi dan sosiologi.

Comtelah  yang  pertama  kali  menggunakan  istilah  sosiologi  untuk  menggantikan  istilah
phisique  sociale  dari  Quetelet. Ia membedakan antara social statics dan social dynamic.
Pembedaan itu hanyalah untuk tujuan analisis, keduanya menganalisa fakta sosial yang
sama, hanya dengan tujuan yang berbeda. Yang pertama menelaah fungsi jenjang-jenjang
peradaban, yang kedua menelaah perubahan-perubahan jenjang tersebut.[9]

Menurut Emile Durkheim (1982:59) objek studi sosiologi adalah fakta sosial (social-
fact): Fakta sosial yang dimaksud meliputi: bahasa, sistem hukum, sistem politik, pendidikan,
dan lain-lain. Sekalipun fakta sosial berasal dari luar kesadaran individu, tetapi dalam
penelitian positivisme, informasi kebenaran itu ditanyakan oleh penelitian kepada individu
yang dijadikan responden penelitian. Untuk mencapai kebenaran ini, maka seorang pencari
kebenaran (penelitian) harus menanyakan langsung kepada objek yang diteliti, dan objek
dapat memberikan jawaban langsung kepada penelitian yang bersangkutan. Hubungan
epistemologi ini, harus menempatkan si peneliti di belakang layar untuk mengobservasi
hakekat realitas apa adanya untuk menjaga objektifitas temuan. Karena itu secara
metodologis, seorang penelitian menggunakan metodologi eksperimen-empirik untuk
menjamin agar temuan yang diperoleh betul-betul objektif dalam menggambarkan keadaan
yang sebenarnya. Mereka mencari ketepatan yang tinggi, pengukuran yang akurat dan
penelitian objektif, juga mereka menguji hipotesis dengan jalan melakukan analisis terhadap
bilangan-bilangan yang berasal dari pengukuran.

Di bawah naungan payung positivisme, ditetapkan bahwa objek ilmu pengetahuan maupun
pernyataan-pernyataan ilmu pengetahuan (Scientific Proporsition) haruslah memenuhi
syarat-syarat (Kerlinger, 1973) sebagai berikut: dapat di/ter-amati (observable), dapat di/ter-
ulang (repeatable), dapat di/ter-ukur (measurable), dapat di/ter-uji (testable), dan dapat
di/ter-ramalkan (predictable).[10]

Tokoh semasa dengan Comte yang juga memberi landasan positivisme adalah Jeremy
Bentham dan James Mill (1806-1873),[11] menurut keduanya ilmu yang valid adalah ilmu
yang dilandaskan pada fakta. Ethik tradisional yang dilandaskan pada moral diganti dengan
ethik pada motif perilaku pada kepatuhan manusia pada aturan. Mill menolak absolut dari
agama. Mill berpendapat bahwa kebebasan manusia itu bagaikan a secrad fortress (benteng
suci) yang aman dari penyusupan otoritas apapun, wawasan yang menjadi marak pada
akhir abad 20-an ini.

Salah seorang pendukung positivism adalah Herbert Spencer. Spencer sependapat dengan
Comte, terutama tentang eksistensi Tuhan. Menurutnya, keterangan mengenai dunia, baik
yang bersifat keagamaan maupun yang bersifat metafisik menimbulkan pertentangan.
Agama dan metafisik ingin memberikan penjelasan tentang asal mula sesuatu, padahal
manusia tidak mampu mengetahui hal itu.

Pemikiran Herbert Spencer (1820-1903) berpusat pada teori evolusi ia telah mendahului


Carles Darwin, ia memutuskan menulis karya tulis yang menetrpkan prinsip evolusi srta
sistematis. Hasilnya karya yang berjudul A system of synthetic philosophy. Menurutnya kita
hanya bisa mengenal gejala-gejala saja walaupun dibelakang gejala tersebut ada dasar
yang absolut, tetapi absolut itu tidak dapat dikenal.
Seorang positivis, membatasi dunia pada hal-hal yang bias dilihat, yang bisa diukur, dan
yang bias dibuktikan kebenarannya. Karena agama-maksudnya Tuhan tidak tidak bias
dilihat, diukur, dan dibuktikan, maka agama tidak mempunyai arti dan faedah. Suatu
pernyataan dianggap benar oleh positivisme apabila pernyataan itu sesuai dengan fakta.

Paradigma positivisme telah menjadi pegangan para ilmuwan untuk mengungkapkan


kebenaran realitas. Kebenaran yang dianut positivisme dalam mencari kebenaran adalah
teori korespondensi. Teori korespondensi menyebutkan bahwa suatu pernyataan adalah
benar jika terdapat fakta-fakta empiris yang mendukung pernyataan tersebut. Atau dengan
kata lain, suatu pernyataan dianggap benar apabila materi yang terkandung dalam
pernyataan tersebut bersesuaian (korespodensi) dengan obyek faktual yang ditunjuk oleh
pernyataan tersebut.[12]

Setelah positivisme ini berjasa dalam waktu yang cukup lama (± 400 tahun), kemudian
berkembang sejumlah ‘aliran’ paradigma baru yang menjadi landasan pengembangan ilmu
dalam berbagai bidang kehidupan.

B. Pengertian Post-Positivisme.

Filsafat Post Positivisme lawan dari positivisme yaitu cara berpikir yang subjektif Asumsi

terhadap realitas: there are multiple realities (realitas jamak), Kebenaran subjektif dan

tergantung pada konteks value, kultur, tradisi, kebiasaan, dan keyakinan. Natural dan lebih

manusiawi. Post Positivisme lawan dari positivisme: cara berpikir yg subjektif Asumsi thd

realitas: there are multiple realities (realitas jamak), Kebenaran subjektif dan tergantung

pada konteks value, kultur, tradisi, kebiasaan, dan keyakinan. Natural dan lebih manusiawi.

Munculnya gugatan terhadap positivisme di mulai tahun 1970-1980an. Pemikirannya

dinamai “post-positivisme”. Tokohnya; Karl R. Popper, Thomas Kuhn, para filsuf mazhab

Frankfurt (Feyerabend, Richard Rotry). Paham ini menentang positivisme, alasannya tidak

mungkin menyamaratakan ilmu-ilmu tentang manusia dengan ilmu alam, karena tindakan

manusia tidak bisa di prediksi dengan satu penjelasan yang mutlak pasti, sebab manusia

selalu berubah karena.


Post positivisme juga merupakan aliran yang ingin memperbaiki kelemahan-kelemahan

positivisme yang hanya mengandalkan kemampuan pengamatan langsung terhadap objek

yang diteliti. Secara ontologis aliran ini bersifat critical realism yang memandang bahwa

realitas memang ada dalam kenyataan, sesuai dengan hukum alam, tetapi satu hal yang

mustahil bila suatu realitas dapat dilihat secara benar oleh manusia (peneliti). Oleh karena

itu, secara metodologis pendekatan eksperimental melalui observasi tidaklah cukup, tetapi

harus menggunakan metode triangulation yaitu penggunaan bermacam-macam metode,

sumber data, peneliti dan teori. Post positivisme merupakan sebuah aliran yang datang

setelah positivism dan memang amat dekat dengan paradigma positivisme. Salah satu

indikator yang membedakan antara keduanya bahwa post positivisme lebih mempercayai

proses verifikasi terhadap suatu temuan.

Post-positivisme merupakan perbaikan positivisme yang dianggap memiliki kelemahan-

kelemahan, dan dianggap hanya mengandalkan kemampuan pengamatan langsung

terhadap objek yang diteliti. Secara ontologis aliran post-positivisme bersifat critical realism

dan menganggap bahwa realitas memang ada dan sesuai dengan kenyataan dan hukum

alam tapi mustahil realitas tersebut dapat dilihat secara benar oleh peneliti. Secara

epistomologis: Modified dualist/objectivist, hubungan peneliti dengan realitas yang diteliti

tidak bisa dipisahkan tapi harus interaktif dengan subjektivitas seminimal mungkin. Secara

metodologis adalah modified experimental/ manipulatif.[3]Post positivisme merupakan

sebuah aliran yang datang setelah positivisme dan memang amat dekat dengan paradigma

positivisme. Salah satu indikator yang membedakan antara keduanya bahwa post

positivisme lebih mempercayai proses verifikasi terhadap suatu temuan hasil observasi

melalui berbagai macam metode. Dengan demikian suatu ilmu memang betul mencapai

objektivitas apabila telah diverifikasi oleh berbagai kalangan dengan berbagai cara

menyamaratakan.[4]

Kesadaran berilmu pengetahuan yg pertama-tama adalah kesadaran manusia tentang

objek-objek intensional. Dua arti objek intensional: semantik dan ontologik. Makna semantik
intensional: bila tidak dapat ditampilkan rumusan equivalennya (satu makna). Ontologik:

sesuatu dikatakan intensional bila kesamaan identitas tidak menjamin untuk dikatakan

equivalen atau identik Inti Pemikiran Husserl. Hubungan antara peneliti dengan realitas

harus bersifat interaktif, untuk itu perlu menggunakan prinsip trianggulasi, yaitu

penggunaan bermacam-macam metode, sumber data, data, dan lain-lain. Paradigma ini

merupakan aliran yang ingin memperbaiki kelemahan-kelemahan positivisme, yang hanya

mengandalkan kemampuan pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti. Secara

ontologis aliran ini bersifat critical realism yang memandang bahwa realitas memang ada

dalam kenyataan sesuai dengan hukum alam, tetapi satu hal yang mustahil bila suatu

realitas dapat dilihat secara benar oleh manusia (peneliti). Oleh karena itu, secara

metodologis pendekatan eksperimental melalui observasi tidaklah cukup, tetapi harus

menggunakan metode triangulation, yaitu penggunaan bermacam-macam metode, sumber

data, peneliti, dan teori.

BagaimanaMunculnya gugatan terhadap positivisme di mulai tahun 1970-1980an.

Pemikirannya dinamai “post-positivisme”. Tokohnya; Karl R. Popper, Thomas Kuhn, para

filsuf mazhab Frankfurt (Feyerabend, Richard Rotry). Paham ini menentang positivisme,

alasannya tidak mungkin ilmu-ilmu tentang manusia dengan ilmu alam, karena tindakan

manusia tidak bisa di prediksi dengan satu penjelasan yang mutlak pasti, sebab manusia

selalu berubah. Observasi yang didewakan positivisme dipertanyakan netralitasnya, karena

observasi dianggap bisa saja dipengaruhi oleh persepsi masing-masing orang. Proses dari

positivisme ke post-positivisme melalui kritikan dari tiga hal yaitu :

1) Observasi sebagai unsur utama metode penelitian

2) Hubungan yang kaku antara teori dan bukti. Pengamat memiliki sudut pandang yang

berbeda dan teori harus mengalah pada perbedaan waktu,

3)Tradisi keilmuan yang terus berkembang dan dinamis (Salim, 2001).


Filsafat post positivisme tehadap dalam Pendidikan indonesia post positivisme adalah suatu

penggerak ide yang menggantikan ide2 positivisme post positivisme memiliki cita-cita ingin

meninggkatkan kondisi ekonomi dan sosial, kesadaran dan akan peristiwa sejarah dan

perkembangan dalam bidang pendidikan Filsafat post positivisme agar pendidikan tidak

hanya kejadian atau hal-hal yang dapat dibuktikan secara impiris atau dapat dilihat

melainkan menggambugkan antara yang dilihat dan dirasakan contoh pendidikan

berkarakter itu akan berjalan dengan baik dan memberi dampak yang positip, dilihat bukan

hanya materi dalam pembelajaran melainkan ada juga dari prilaku adri guru, keluarga, dan

lingkungan serta emosi anak.

B. Paradigma Post-Positivisme.

Dalam proses keilmuan, paradigma keilmuan memegang peranan yang penting. Fungsi

paradigma ilmu adalah memberikan kerangka, mengarahkan, bahkan menguji konsistensi

dari proses keilmuan. Menurut Thomas Kuhn, paradigma sebagai seperangkat keyakinan

mendasar yang memandu tindakan-tindakan kita, baik tindakan keseharian maupun dalam

penyelidikan ilmiah.

Denzin & Lincoln (1994:105) mendefinisikan paradigma sebagai: “Basic belief system or

worldview that guides the investigator, not only in choices of method but in ontologically and

epistomologically fundamental ways.”Pengertian tersebut mengandung makna paradigma

adalah sistem keyakinan dasar atau cara memandang dunia yang membimbing peneliti tidak

hanya dalam memilih metode tetapi juga cara-cara fundamental yang bersifat ontologis

dan epistomologis.

C. Asumsi dasar Post-Positivisme


1. Fakta tidak bebas nilai, melainkan bermuatan teori. ( falibilitas teori tidak satupun teori

yang dapat dijelakan dengan bukti-bukti2 empiris bukti empiris kemungkinan menunjukan

fakta anomali)

2. Fakta tidak bebas, melainkan penuh dengan nilai (Interaksi antara subjek dan objek

penelitian. Hasil penelitian bukanlah reportase objektif, melainkan hasil interaksi

manusia dan semesta yang penuh dengan persoalan dan senantiasa berubah)

3. Asumsi dasar post-positivisme tentang realitas adalah jamak individual. (Hal itu berarti

bahwa realitas (perilaku manusia) tidak tunggal, melainkan hanya bisa menjelaskan dirinya

sendiri menurut unit tindakan yang bersangkutan)

4. Fokus kajian post-positivisme adalah tindakan-tindakan (actions) manusia sebagai

ekspresi dari sebuah keputusan. [5]

Ada empat pertanyaan dasar yang akan memberikan gambaran tentang posisi aliran post-

positivisme yaitu

1) dalam kancah paradigma ilmu pengetahuan, yaitu:Bagaimana sebenarnya posisi

postpositivisme di antara paradigma-paradigma ilmu yang lain? Apakah ini merupakan

bentuk lain dari positivisme yang posisinya lebih lemah? Atau karena aliran ini datang

setelah positivisme sehingga dinamakan postpositivisme? Harus diakui bahwa aliran ini

bukan suatu filsafat baru dalam bidang keilmuan, tetapi memang amat dekat dengan

paradigma positivisme. Salah satu indikator yang membedakan antara keduanya bahwa

postpositivisme lebih mempercayai proses verifikasi terhadap suatu temuan hasil observasi

melalui berbagai macam metode. Dengan demikian suatu ilmu memang betul mencapai

objektivitas apabila telah diverifikasi oleh berbagai kalangan dengan berbagai cara.

2) Bukankah postpositivisme bergantung pada paradigma realisme yang sudah sangat

tua dan usang? Dugaan ini tidak seluruhnya benar. Pandangan awal aliran positivisme (old-

positivism) adalah anti realis, yang menolak adanya realitas dari suatu teori. Realisme
modern bukanlah kelanjutan atau luncuran dari aliran positivisme, tetapi merupakan

perkembangan akhir dari pandangan postpositivisme.

3) banyak postpositivisme yang berpengaruh yang merupakan penganut realisme.

Bukankah ini menunjukkan bahwa mereka tidak mengakui adanya sebuah kenyataan

(multiple realities) dan setiap masyarakat membentuk realitas mereka sendiri? Pandangan

ini tidak benar karena relativisme tidak sesuai dengan pengalaman sehari-hari dalam dunia

ilmu. Yang pasti postpositivisme mengakui bahwa paradigma hanyalah berfungsi sebagai

lensa bukan sebagai kacamata. Selanjutnya, relativisme mengungkap bahwa semua

pandangan itu benar, sedangkan realis hanya berkepentingan terhadap pandangan yang

dianggap terbaik dan benar. Postpositivisme menolak pandangan bahwa masyarakat dapat

menentukan banyak hal sebagai hal yang nyata dan benar tentang suatu objek oleh

anggotanya.

4) karena pandangan bahwa persepsi orang berbeda, maka tidak ada sesuatu yang

benar-benar pasti. Bukankah postpositivisme menolak kriteria objektivitas? Pandangan ini

sama sekali tidak bisa diterima. Objektivitas merupakan indikator kebenaran yang melandasi

semua penyelidikan. Jika kita menolak prinsip ini, maka tidak ada yang namanya

penyelidikan. Yang ingin ditekankan di sini bahwa objektivitas tidak menjamin untuk

mencapai kebenaran. Postpositivisme.[6]

Guba (1990:20) menjelaskan Postpositivisme sebagai berikut: “Postpositivism is best

characterized as modified version of positivism. Having assessed the damage that positivism

has occured, postpositivists strunggle to limited that damage as well as to adjust to it.

Prediction and control continue to be the aim.”Kutipan tersebut mempunyai arti

Postpositivisme mempunyai ciri utama sebagai suatu modifikasi dari Positivisme. Melihat

banyaknya kekurangan pada Positivisme menyebabkan para pendukung Postpositivisme

berupaya memperkecil kelemahan tersebut dan menyesuaikannya. Prediksi dan kontrol

tetap menjadi tujuan dari Postpositivisme tersebut.”


Salim (2001:40) menjelaskan Postpositivisme sebagai berikut: Paradigma ini merupakan

aliran yang ingin memperbaiki kelemahan-kelemahan Positivisme yang hanya

mengandalkan kemampuan pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti. Secara

ontologi aliran ini bersifat critical realism yang memandang bahwa realitas memang ada

dalam kenyataan sesuai dengan hukum alam, tetapi suatu hal, yang mustahil bila suatu

realitas dapat dilihat secara benar oleh manusia (peneliti). Oleh karena itu secara

metodologi pendekatan eksperimental melalui metode triangulation yaitu penggunaan

bermacam-macam metode, sumber data, peneliti dan teori.

Selanjutnya dijelaskan secara epistomologis hubungan antara pengamat atau peneliti

dengan objek atau realitas yang diteliti tidaklah bisa dipisahkan, tidak seperti yang diusulkan

aliran Positivisme. Aliran ini menyatakan suatu hal yang tidak mungkin mencapai atau

melihat kebenaran apabila pengamat berdiri di belakang layar tanpa ikut terlibat dengan

objek secara langsung. Oleh karena itu, hubungan antara pengamat dengan objek harus

bersifat interaktif, dengan catatan bahwa pengamat harus bersifat senetral mungkin,

sehingga tingkat subjektivitas dapat dikurangi secara minimal (Salim, 2001:40).

Dari pandangan Guba maupun Salim yang juga mengacu pandangan Guba, Denzin dan

Lincoln dapat disimpulkan bahwa Postpositivisme adalah aliran yang ingin memperbaiki

kelemahan pada Positivisme. Satu sisi Postpositivisme sependapat dengan Positivisme

bahwa realitas itu memang nyata ada sesuai hukum alam.[7] Tetapi pada sisi lain.

Postpositivisme berpendapat manusia tidak mungkin mendapatkan kebenaran dari realitas

apabila peneliti membuat jarak dengan realitas atau tidak terlibat secara langsung dengan

realitas. Hubungan antara peneliti dengan realitas harus bersifat interaktif, untuk itu perlu

menggunakan prinsip trianggulasi yaitu penggunaan bermacam-macam metode, sumber

data, data, dan lain-lain. Salah satu indikator yang membedakan antara keduanya bahwa

postpositivisme lebih mempercayai proses verifikasi terhadap suatu temuan hasil observasi

melalui berbagai macam metode. Dengan demikian suatu ilmu memang betul mencapai

objektifitas apabila telah diverifikasi oleh berbagai kalangan dengan berbagai cara. Kedua,
Bukankah postpositivisme bergantung pada paradigma realisme yang sudah sangat tua dan

usang? Dugaan ini tidak seluruhnya benar. Pandangan awal aliran positivisme (old-

positivism) adalah anti realis, yang menolak adanya realitas dari suatu teori. Realisme

modern bukanlah kelanjutan atau luncuran dari aliran positivisme, tetapi merupakan

perkembangan akhir dari pandangan postpositivisme.[8] Ketiga, banyak postpositivisme

yang berpengaruh yang merupakan penganut realisme. Bukankah ini menunjukkan bahwa

mereka tidak mengakui adanya sebuah kenyataan (multiple realities) dan setiap masyarakat

membentuk realitas mereka sendiri? Pandangan ini tidak benar karena relativisme tidak

sesuai dengan pengalaman sehari-hari dalam dunia ilmu. Yang pasti postpositivisme

mengakui bahwa paradigma hanyalah berfungsi sebagai lensa bukan sebagai kacamata.

Selanjutnya, relativisme mengungkap bahwa semua pandangan itu benar, sedangkan realis

hanya berkepentingan terhadap pandangan yang dianggap terbaik dan benar.

Postpositivisme menolak pandangan bahwa masyarakat dapat menentukan banyak hal

sebagai hal yang nyata dan benar tentang suatu objek oleh anggotanya. Keempat, karena

pandangan bahwa persepsi orang berbeda, maka tidak ada sesuatu yang benar-benar pasti.

Bukankah postpositivisme menolak kriteria objektivitas? Pandangan ini sama sekali tidak

bisa diterima. Objektivitas merupakan indikator kebenaran yang melandasi semua

penyelidikan Untuk mengetahui lebih jauh tentang postpositivisme empat pertanyaan dasar

berikut, akan memberikan gambaran tentang posisi aliran ini dalam kancah paradigma ilmu

pengetahuan ; Pertama, Bagaimana sebenarnya posisi postpositivisme di antara paradigma-

paradigma ilmu yang lain? Apakah ini merupakan bentuk lain dari positivisme yang posisinya

lebih lemah? Atau karena aliran ini datang setelah positivisme sehingga dinamakan

postpositivisme? Harus diakui bahwa aliran ini bukan suatu filsafat baru dalam bidang

keilmuan, tetapi memang amat dekat dengan paradigma positivisme Jika kita menolak

prinsip ini, maka tidak ada yang namanya penyelidikan.


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Filsafat Post Positivisme lawan dari positivisme yaitu cara berpikir yg subjektif Asumsi

terhadap realitas: there are multiple realities (realitas jamak), Kebenaran subjektif dan

tergantung pada konteks value, kultur, tradisi, kebiasaan, dan keyakinan. Natural dan lebih

manusiawi. Post Positivisme lawan dari positivisme: cara berpikir yg subjektif Asumsi thd

realitas: there are multiple realities (realitas jamak), Kebenaran subjektif dan tergantung

pada konteks value, kultur, tradisi, kebiasaan, dan keyakinan. Natural dan lebih

manusiawi.Post-positivisme merupakan perbaikan positivisme yang dianggap memiliki

kelemahan-kelemahan, dan dianggap hanya mengandalkan kemampuan pengamatan

langsung terhadap objek yang diteliti.

Dalam proses keilmuan, paradigma keilmuan memegang peranan yang penting. Fungsi

paradigma ilmu adalah memberikan kerangka, mengarahkan, bahkan menguji konsistensi

dari proses keilmuan. Menurut Thomas Kuhn, paradigma sebagai seperangkat keyakinan

mendasar yang memandu tindakan-tindakan kita, baik tindakan keseharian maupun dalam

penyelidikan ilmiah.Asumsi dasar Post-Positivisme antara lain yaitu :

1. Fakta tidak bebas nilai, melainkan bermuatan teori.

2. Fakta tidak bebas, melainkan penuh dengan nilai.

3. Interaksi antara subjek dan objek penelitian. Hasil penelitian bukanlah reportase

objektif, melainkan hasil interaksi manusia dan semesta yang penuh dengan persoalan

dan senantiasa berubah.

4. Asumsi dasar post-positivisme tentang realitas adalah jamak individual.


5. Hal itu berarti bahwa realitas (perilaku manusia) tidak tunggal, melainkan hanya bisa

menjelaskan dirinya sendiri menurut unit tindakan yang bersangkutan.

B. Saran

Dalam mempelajari pengetahuan, kita dianjurkan untuk mempelajari filsafat degan berbagai

macam cabang ilmunya. Karena dengan cara kerja yan bersifat sistematis, universal

(menyeluruh) dan radikal, yang mengupas, menganalisa sesuatu secara mendalam, ternya

sangat relavan dengan problematika hidup dan kehidupan manusia serta mampu menjadi

perekat antara berbagai disiplin ilmu yng terpisah kaitan satu sama lain. Dengan demikian,

menggunakan analisa filsafat, berbagai macam disiplin yang berkembang sekarang ini, akan

menentukan kembali relevansinya dengan hidup dan kehidupan masayrakat adan akan lebih

mampu lagi meninggkatkan fungsi bagi kesajrahan hidup manusia.


DAFTAR PUSTAKA

Abdul Hakim Atang, Filsafat umum Pustaka setia : Bandung, 2009

Mustansyi Rizal dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010

Santoso Purwo, Membedah M etodologi Ilmu Politik, (Yogyakarta, UGM 2012)

Gaffar Afan, Bahan ajar mata kuliah Skope dan Metodologi Ilmu Politik Yogyakarta, 1989

Anda mungkin juga menyukai